Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Umum Dalam Hukum Kepailitan

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Perkembangan perekonomian dunia pada saat ini telah berada dalam tren

perdagangan bebas yang membawa konsekuensi berupa peningkatan arus
perdagangan barang maupun uang antar Negara.Keadaan ini sebagai dampak
diratifikasinya Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia).WTO adalah organisasi perdagangan Internasional dengan
tujuan utama menciptakan perdagangan bebas, adil dan membantu menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan umat
manusia. Selaras dengan cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub di dalam
Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa tujuan dari Negara Indonesia adalah untuk
memajukan kesejahteraan umum.
Ciri dari perdagangan bebas itu sendiri adalah dengan berkurangnya campur
tangan pemerintah yang menghambat perdagangan.


Perdagangan bebas

menghendaki setiap individu yang berkeinginan masuk dalam dunia perdagangan
harus memiliki kualitas barang atau jasa yang baik sehingga mengakibatkan
semakin tajamnya persaingan produk di pasar dunia.
Untuk itu dalam memproduksi suatu barang atau jasa yang berkualitas
dibutuhkan faktor-faktor produksi yaitu alat atau sarana untuk melakukan proses
produksi. Faktor-faktor produksi yang dimaksud dalam ilmu ekonomi adalah

Universitas Sumatera Utara

manusia, modal, sumber daya alam dan skill. 1 Modal sebagai bagian dari
peningkatan produksi dapat diperoleh dari modal sendiri maupun dari berutang
kepada pihak lain.
Di dalam negeri sendiri masalah di bidang ekonomi tidaklah sesederhana
yang dipikirkan.Orientasi perekonomian ke arah perdagangan bebas membawa
konsekuensi perkembangan perdagangan yang semakin kompleks.Masalah utang
piutang dalam jalur perdagangan juga semakin rumit dan beragam.Tidak jarang
utang piutang pada akhirnya menimbulkan sengketa diantara para pihak.Salah
satu masalah yang sering muncul adalah debitor yang tidak mampu membayar

utangnya kepada kreditor. Kondisi dimana debitor tidak mampu membayar bukan
disebabkan oleh itikad buruk, melainkan kondisi dari debitor yang sudah bangkrut
perlu diberi perlindungan dengan tetap memperhatikan hak-hak dari kreditor,
karena pada dasarnya semua orang sama kedudukannya di dalam hukum
sebagaimana amanat pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum.”
Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ini mengisyaratkan bahwa walaupun usaha debitor telah bangkrut, ia harus tetap
memenuhi kewajibannya sebagai pihak yang terhutang. Selain itu kreditor sebagai
pihak yang terhutang juga tidak bisa sewenang-wenang merampas hak milik dari

1

Iskandar Putong, Teori Ekonomi Mikro, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2005, hal. 203.

Universitas Sumatera Utara

debitor.Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak agar

tercipta perlindungan dan kepastian hukum yang adil.
Implikasi globalisasi itu terhadap hukum tidak bisa dihindarkan.Pranata
hukum suatu Negara “tidak bisa tidak” harus mengikuti arus globalisasi ekonomi,
dalam arti, substansi dari berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian
menyebar melewati batas-batas Negara (cross-border). 2Sehingga tepatlah
pandangan Lawrence M. Friedman, yang mengatakan bahwa hukum itu bersifat
otonom, tetapi sebaliknya hukum bersifat terbuka setiap waktu terhadap pengaruh
luar. 3
Untuk itu dalam menghadapi tantangan dunia bisnis sebagai jaminan
kepastian hukum, pemerintah sebagai pembuat kebijakan telah mengeluarkan
instrument hukum berupa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam menghadapi
debitor yang tidak mampu membayar hutang kepada kreditor.Indonesia
membutuhkan kepercayaan dunia internasional terhadap iklim bisnis di Indonesia,
dan di lain pihak, para kreditor asing membutuhkan suatu aturan hukum yang
cepat dan pasti bagi penyelesaian piutang-piutangnya pada berbagai perusahaan di
Indonesia yang berada pada kondisi corporate failure.Untuk itu digunakanlah
instrument hukum kepailitan yang tidak memakan waktu yang lama, berbelit-belit
dan menjamin kepastian hukum.


2

John Braithwaite dan Peter Drahos, Global Business Regulation, dalam Bismar
Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, BooksTerrace & Library, Bandung, 2007, hal. 28
3
Lawrence M. Friedmen, Legal Cultur and the Welfare State: Law and Society-An
Introduction, dalam ibid.

Universitas Sumatera Utara

Dari sudut pandang aktivitas bisnis, keberadaan lembaga kepailitan dapat
dianggap sebagai salah satu cara bagi pelaku bisnis yang tidak memiliki
kemampuan untuk keluar dari pasar, baik karena terpaksa atau mungkin dipaksa
keluar dari pasar. Menurut Peter, perangkat peraturan hukum dalam kegiatan
bisnis meliputi 3 (tiga) fungsi yaitu aturan hukum yang memberikan lndasan
hukum bagi keberadan lembaga-lembaga yang mewadahi para pebisnis dalam
arena pasar (substantive legal rules), aturan hukum yang mengatur perilaku
(behaviour) para pelaku bisnis dalam arena pasar dan aturan hukum yang
memungkinkan pelaku keluar dari pasar. 4
Menurut Levintal tujuan hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah:

1. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur di
antara para krediturnya.
2. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan para kreditur.
3. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad dari para
krediturnya dengan cara memperoleh pembebasan utang. 5
Melalui lembaga kepailitan dapat dijamin kepentingan para pihak yang
terkait. Hal ini dikarenakan di dalam kepailitan mempergunakan prinsip paritas
creditorium 6dan

prisip

pari

passu

prorate

parte. 7


Prinsip

paritas

4

Munir Fuady, Hukum Pailit, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 30.
Arus Akbar Silondaedan Wirawan B. Ilyas, Pokok-pokok Hukum Bisnis, Jakarta:
Salemba Empat, 2012, hal. 60.
6
Paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang
yang bergerak maupun yang barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai
debitur dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada penyelesaian
kewajiban debitur.
5

Universitas Sumatera Utara

creditoriumdianut di dalam sistem hukum perdata di Indonesia. Hal itu termuat
dalam pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan si

berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, mejadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan.
Sedangkan prinsip pari passu prorate parte termuat dalam pasal 1132 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersamasama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan
benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada
alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dengan demikian maka kepailitan
adalah pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan yang ada dalam pasal 1131 dan
1132 KUH Perdata.
Mohammad Chidir Ali berpendapat bahwa kepailitan adalah pembeslahan
masal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil-adilnya diantara
para kreditor dengan di bawah pengawasan pemerintah. Selanjutnya dijelaskan
pembeslahan masal, mempunyai pengertian bahwa dengan adanya vonis
kepailitan, maka semua harta pailit kecuali yang tercantum dalam Pasal 20
Faillissement Verordening, dibeslag untuk menjamin semua hak-hak kreditor si
pailit dengan maksud untuk pembayaran yang merata serta pembagian yang
seadil-adilnya menurut posisi dari para kreditor.

7


Pari passu prorate parte berarti bahwa kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama
untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proposional antara mereka, kecuali apabila
antara para kreditur itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.

Universitas Sumatera Utara

Dengan pengawasan pemerintah maksudnya Pemerintah ikut campur dalam
pengertian mengawasi dan mengatur penyelenggaraan penyelesaian boedel palit,
dengan mengerahkan alat-alat perlengkapannya yaitu hakim pengadilan niaga,
hakim komisaris, dan kurator. 8
Pasal 299 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa “Kecuali ditentukan
lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum
Acara Perdata.”Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan prosedur
pelaksaan sita umum dalam kepailitan harus tunduk pada hukum acara perdata.
Jimly Asshidiqie menyatakan bahwa konstitusi di negara manapun di dunia
ini tidak ada yang sempurna, apalagi konstitusi itu produk politik. 9 Sama halnya
dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang merupakan sebuah produk

politik yang tidak mungkin, tidak mempunyai kekurangan. Di dalam undangundang tersebut masih memiliki kelemahan yang mesti diperhatikan pemerintah.
Salah satunya berkaitan dengan sita pidana atas sita umum dalam kepailitan.
Sebagaimana kasus antara Bareskrim Polri dengan PT. Sinar Central
Rezeki.Terhadap kasus ini, pengadilan tingkat pertama mengabulkan gugatan
kurator, tetapi pada tingkat Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan
Niaga tersebut.
Kondisi ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai bagaimana sebenarnya
sita pidana atas sita umum dalam hukum kepailitan.Karena di dalam Pasal 31 ayat
8

Mohammad Chidir, et. All, Kepailitan dan Penundaan kewajiban pembayaran, dalam
Sunarmi, Hukum Kepailitan, Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 26
9
Wiwik
Budi
Wasito,
Evaluasi
Demi
Penyempurnaan
Konstitusi,

http://www.jimly.com/kegiatan?page=134, diakses Tanggal 12 Maret 2014 Pukul 15.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara

(2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Semua penyitaan
yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus
memerintahkan pencoretannya.”
Sementara Pasal 39 ayat (2) KUHAP menyatakan benda yang berada dalam
sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana.Kedua pasal
ini merupakan pasal-pasal yang diterapkan di dua bidang hukum yang berbeda.
Sehingga tidak bisa diterapkan asas lex specialis derogate lex generalis.
Adanya gesekan antara bidang hukum perdata dan pidana ini menimbulkan
perbedaan pendapat antara hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan hakim
Mahkamah Agung. Selain itu, KUHAP maupun Undang-Undang No. 34 Tahun
2004 tidak menjelaskan proses seperti apa yang seharusnya dilalui untuk dapat
melakukan sita pidana atas sita umum dalam hukum kepailitan.
Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan sita pidana lebih didahulukan
dibandingkan dengan sita umum dalam hukum kepailitan mengakibatkan hak dari
kreditor separatis tercederai dikarena hak untuk didahulukan untuk pembayaran

utang menjadi tidak jelas muaranya.Padahal Pasal 55 Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 jelas menyatakan bahwa kreditor separatis dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepaillitan.
Seluruh persoalan yang telah diuraikan di atas disebabkan oleh tidak adanya
instrumen hukum yang jelas untuk menangani kasus seperti ini, sehingga tercipta
penegakkan hukum dan keputusan peradilan yang seragam mengenai kasus
tersebut.Untuk itulah perlu adanya kajian yang mendalam guna menemukan

Universitas Sumatera Utara

formulasi yang jelas berkaitan dengan sita pidana atas sita umum dalam hukum
kepailitan.

B.

Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, beberapa permasalahan pokok

yang akan dibahas oleh penulis dirumuskan antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur pelaksanaan kepailitan dan sita umum dalam Putusan
Mahkamah Agung No. 157 K/Pdt.Sus/2012 ?
2. Bagaimana penerapan sita dan akibat sita dalam ilmu hukum?
3. Bagaimana sita umum dalam hukum kepailitan ditinjau dari Putusan
Mahkamah Agung No. 157 K/Pdt.Sus/2012 ?

C.

Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka

untuk mengarahkan suatu penulisan diperlukan adanya tujuan, adapun yang
menjadi tujuan penulis dalam menyusun tulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui prosedur pelaksanaan kepailitan dan sita umum dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 157 K/Pdt.Sus/2012.
2. Untuk mengetahui penerapan sita dan akibat sita dalam ilmu hukum.
3. Untuk mengetahui sita umum dalam hukum kepailitan ditinjau dari Putusan
Mahkamah Agung No. 157 K/Pdt.Sus/2012.
D.

Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang
bertalian dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari
penulisan ini yaitu:
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya serta Hukum Perdata khususnya mengenai sita
umum dalam hukum kepailitan.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang sita umum dalam
hukum kepailitan.
c. Hasil penulisan ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penulisan-penulisan sejenis untuk tahap berikutnya.

2.

Manfaat Praktis
Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini berkaitan
dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penulisan ini yaitu:
a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi
pemerintah dalam membuat regulasi mengenai sita umum
dalam hukum kepailitan.

Universitas Sumatera Utara

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat, khususnya para penegak hukum menghadapi sita
umum dalam hukum kepailitan.

E.

Metode Penelitian
Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah dilakukan

melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung
penulisan skripsi ini sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat
memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan
skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulisan
skripsi ini metode yang dipakai adalah sebagai berikut:
1.

Jenis Penelitian
Pengelompokkan jenis-jenis penelitian tergantung pada pedoman dari

sudut pandang mana pengelompokkan itu ditinjau.Ditinjau dari jenis
penelitian hukum menurut Soerjono Soekanto dibagi atas 2 (dua) yaitu
penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. 10 Penelitian
hukum yang digunakan dalam skripsi ini termasuk penelitian hukum
normatif yang mencakup:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitan terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
10

H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 22.

Universitas Sumatera Utara

d. Penelitian terhadap sejarah hukum; dan
e. Penelitian terhadap perbandingan hukum.

2.

Sumber Data
Menurut Rony Hanitijo Soemitro penelitian hukum normatif yaitu

penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.Apa yang
dimukakan oleh Ronny tersebut juga bersesuai dengan apa yang dikemukan
oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, yang menyatakan bahwa
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian normatif. 11Sehingga data
yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder.Data sekunder adalah
data yang diperoleh dari bahan kepustakaan, bukan langsung dari
wawancara dan/atau survei di lapangan.Dalam pengertian operasionalnya,
bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data tersebut dibaca, ditelaah dan
dikutip hal-hal yang diperlukan sesuai kebutuhan penelitian. 12 Data
sekunder dalam skripsi ini diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh
pihak yang berwenang. 13 Dalam tulisan ini bahan hukum primer yang
digunakan antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang
11

Soejono dan H. Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003,

hal. 56.
12

Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan,
2005, hal. 74-75
13
Ibid, hal. 76.

Universitas Sumatera Utara

Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UndangUndang tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Peraturan Pelaksana Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 157 K/Pdt.Sus/2012, hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lainnya berkaitan
dengan sita umum dalam hukum kepailitan yang memberi penjelasan
tentang bahan hukum primer. 14
c. Bahan hukum tertier
Yaitu kamus, ensiklopedi, dan lain-lain bahan hukum yang
memberi penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder
berkaitan dengan sita umum dalam hukum kepailitan. 15

3.

Tekhnik Analisa Data
Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data

kualitatif, dimana keseluruhan data sekunder akan diolah dan dianalisis
dengan cara menyusun data secara sistematis, dikategorisasikan dan
diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lainnya,
dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial,

14
15

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

serta dilakukan penarikan kesimpulan dari perspektif peneliti setelah
memahami keseluruhan kualitas data. 16

F.

Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan di dalam memahami isi dan tujuan dari penelitian,

maka penulis memaparkan rancangan dari bentuk dan isi skripsi secara
keseluruhan.
BAB I PENDAHULUAN
H. Latar Belakang
I. Permasalahan
J. Tujuan Penulisan
K. Manfaat Penulisan
L. Metode Penelitian
M. Sistematika Penulisan
N. Keaslian Penulisan
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SITA DALAM HUKUM PERDATA
E. Pengertian Sita dalam Hukum Perdata
F. Tujuan dari Sita dan Jenis-jenis Sita dalam Hukum Perdata
G. Prinsip-Prinsip Pokok Sita dalam Hukum Perdata
H. Sita Penyesuaian terhadap Barang yang Telah Disita
BAB

III

HUKUM

KEPAILITAN

DAN

PENUNDAAN

KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG
E. Pengertian, Dasar Hukum, Asas dan Fungsi Hukum Kepailitan
F. Akibat Hukum Pernyataan Pailit terhadap Harta Kekayaan Debitor
G. Hak Eksekutorial Kreditor Separatis dalam Hukum Kepailitan
16

Ibid, hal. 134.

Universitas Sumatera Utara

H. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA UMUM DALAM HUKUM
KEPAILITAN
E. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Mengadili Kasus Kepailitan
F. Prosedur Pelaksanaan Sita Umum dalam Hukum Kepailitan
G. Penerapan Sita dan Akibat Sita dalam Ilmu Hukum
H. Sita Umum dalam Hukum Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung No. 157 K/Pdt.Sus/2012)
BAB V PENUTUP
C. Kesimpulan
D. Saran

G.

Keaslian Penulisan
TinjuanYuridis terhadap Sita Umum dalam Hukum Kepailitan (Studi Kasus

Putusan Mahkamah Agung No. 157 K/Pdt.Sus/2012).Sengaja diangkat sebagai
judul skripsi ini karena telah diperiksa dan diteliti melalui penelusuran
kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Tema di atas
didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, fakta yang terjadi di masyarakat,
referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut belum pernah ditulis di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya.
Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat.Dengan
demikian maka keaslian penulisan skripsi dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah.

Universitas Sumatera Utara