Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi dalam Hukum Kepailitan

(1)

ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI

DALAM HUKUM KEPAILITAN

TESIS

O L E H :

HABIBA HANUM 057005008 / HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Habiba Hanum

Tempat / Tgl. Lahir : Medan/ 15 Juni 1983

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

Pendidikan : SD Negeri 067246 Medan (Tahun 1988-1994) SMP Negeri 10 Medan (Tahun 1994-1997) SMU Negeri 15 Medan (Tahun 1997-2000)

Sarjana Hukum (Perdata Dagang) USU (Tahun 2000-2004) Magister Hukum (Hukum Bisnis) Sekolah Pascasarjana USU (Tahun 2005-2007)


(3)

ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN

Habiba Hanum1 Bismar Nasution2

Sunarmi3 Mahmul Siregar4

ABSTRAK

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utang-utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam hukum kepailitan, debitor dapat dinyatakan pailit apabila debitor tersebut berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar). Hal tersebut dikarenakan karena adanya krisis finansial yang dialami debitor untuk membayar seluruh utang-utangnya kepada para kreditor. UUK dan PKPU tidak mensyaratkan agar debitor benar-benar dalam keadaaan insolven. Tidak diterapkannya insolvency test menyebabkan banyaknya perusahaan di Indonesia bangkrut secara hukum, padahal mungkin perusahaan tersebut perusahaan yang masih mampu membayar utang-utangnya atau solven. Salah satu kasus mengenai masalah insolvensi yang mengundang kontraversial dapat dilihat pada kasus PT. AJMI yang dipailitkan oleh PN. Niaga Jakarta, namun hal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi.

Penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan menggunkan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelaaah terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data sekunder, dengan tehnik pengumpulan data melalui studi dokumen, dengan penelusuran kepustakaan. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualiatif.

Insolvensi diartikan sebagai keadaan berhenti membayar, namun dalam hal ini tidak dijelaskan secara terperinci apakah keadaaan tersebut karena ketidakmampuan membayar atau disebabkan alasan tertentu. Dalam beberapa putusan yang penulis analisis, terdapat perbedaan penafsiran tentang standar insolvensi, tergantung pada hakim untuk menilai apakah permohonan tersebut telah memenuhi syarat kepailitan, sehingga menghasilkan putusan yang berbeda-beda.

Kata Kunci : Insolvensi, Kepailitan

1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2 Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3 Seketaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4 Dosen Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Tiada kata pembuka yang paling pantas dikemukakan selain mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufik dan rahmat-Nya dengan memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Juga disampaikan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, para tabi`in dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Tesis ini diberi judul “Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam

Hukum Kepailitan”. Tesisi ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan yang

harus dilengkapi dalam rangkaian studi di Magister Ilmu Hukum pada Program Studi Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian tesisi ini, penulis telah banyak memperoleh dorongan, pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menghanturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(5)

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan sekaligus merupakan dosen pembimbing yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi hari depan penulis. 4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Seketaris ProgramStudi Ilmu Hukum

dan sekaligus merupakan dosen pembimbing yang dengan sabar telah membantu dan memberikan bimbingan dan saran kepada penulisdalam penyusunan tesis ini.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku staf pegajar dan dosen pembimbing yang banyak membantu saya serta memberikan bimbingan dan saran kepada penulis guna kesempurnaan penyusunan tesis ini.

6. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH, M.Hum dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan demi memperkaya penulisan tesis ini. Serta kepada seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Hukum yang selama ini telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat kepada penulis untuk hari depan.

Secara khusus penulis hanturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan kasih sayang penulis persembahkan kepada Ayahanda Makdin Amrin Munthe, SH, MH dan Ibunda Dra. Siti Bunga Sitohang, SH, M.Hum, karena berkat dukungan, motivasi, kesabaran dan doa yang merupakan rahmat bagiku dalam menyelesaikan studi dan tugas akhir ini.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Rukman Hadi, SH selaku Hakim Pengadilan Niaga Medan, Bapak Amri Marjunin, SH selaku Kepala Balai


(6)

Harta Peninggalan (BHP) serta Bapak Syuhada, SH selaku Kurator di BHP. Karena atas bantuan mereka tesis ini dapat terselesaikan.

Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman seangkatanyang tidak mungkin disebutkan satu persatu namanya yang telah memberikan motivasinya hingga selesainya tesis ini. Juga kepada para staf secretariat Program Studi Ilmu Hukum yang telah membantu dalam mengurus Administrasi selama perkuliahan.

Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis berdoa semoga ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan bangsa dan agama.

Medan, September 2007 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

Latar Belakang ………... 1

Perumusan Masalah ………... 8

Tujuan Penelitian ………... 9

Manfaat Penelitian ……….. 9

Keaslian Penulisan ………. 10

Kerangka Teori dan Konsepsi .………. …. 10

Metode Penelitian……… 25

BAB II PENGATURAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA ………. 29

A. Pengertian Berhenti Membayar ..……….. 29

1. Menurut Faillissmentverordening ……….. 29

2. M enurut UU No. 4 Tahun 1998 ……… 31

3. Menurut UU No. 37 Tahun 2004 ……… 35


(8)

C. Akibat Hukum Kepailitan ..……….. 41

D. Kelemahan-Kelemahan Hukum Kepailitan ………. 42

1. Kelemahan Faillissmentverordening ……… 42

2. Kelemahan UU No. 4 Tahun 1998 ……….. 45

3. Kelemahan UU No. 37 Tahun 2004 ………. 51

E. Tahap Fase Insolvensi ……… 53

F. Pemberesan Harta Pailit ………. 56

BAB III PENENTUAN STANDAR INSOLVENSI DALAM KEPUTUSAN KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA ……… 58

A. Menurut Faillissmentverordening ……… 58

1. Putusan Pengadilan Negeri I Bandung No. 231/250/71/ D/Bdg Tertanggal 27 Juli 1972 ………. 2. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2 / Pdt. Pailit / 1987/ PN. Medan, Tanggal 12 Desember 1987 ………... 61

B. Menurut UU No. 4 Tahun 1998 1. Putusan Pengadilan Niaga No. 10/Pailit/PN.Jakpus/2000 antara PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT. DSS) Vs. PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) ………….. 64

2. Putusan Pengadilan Niaga N0. 13/Pailit/20004/PN. Niaga antara Mr. Lee Bon SiongVs. Prudential Life Assurance …….. 78 C. Menurut UU No. 37 Tahun 2004


(9)

2005/ PN.Niaga/Mdn, Tanggal 27 Desember 2005 ………. 85

2. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pailit/ 2007/PN.Niaga/Mdn, Tanggal 7 Agustus 2007 ………. 90

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………. 97

A. Kesimpulan ……… 97

B. Saran ………. 98


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peraturan kepailitan di Indonesia sudah ada sejak lahirnya Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) di Buku III yang berjudul “van de voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden” tentang peraturan ketidakmampuan pedagang yang diatur dalam Pasal 749 sampai Pasal 910 WvK (wet book van koophandel), kemudian dirubah dengan berlakunya “Verordening op het Faillisment en Suerceance van Betalig voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblaads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 384 Faillissmentsverordening.5

Lahirnya Undang-undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan tentang kepailitan peninggalan kolonial mendapat sambutan hangat masyarakat keuangan internasional. 6

Dasar Pertimbangan dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang adalah untuk mengatasi masalah utang-piutang akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 yang kemudian ternyata berlanjut untuk tahun-tahun

5 Kartini Muljadi, “Perubahan pada Faillissmentsverordening dan Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Kepailitan menjadi UU” makalah dalam seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia, Jakarta 23 Juli 2003. 6 Pada masa pemerintahan Kolonial berlaku KUHD dan diganti dengan Faillissementverordening S.1905-217 jo. S.1906-348 hingga tahun 1998. Peraturan ini kemudian diubah dengan Perpu No. 1 tahun 1998, yang kemudian diterima dan disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-undang No.1 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian mengalami perubahan dengan Undang-undang No. 37 tahun 2004 dan berlaku sampai sekarang ini.


(11)

berikutnya. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatannya dan menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat.

Penyelesaian masalah utang piutang merupakan agenda utama nasional dalam rangka pemenuhan ekonomi secara cepat dan efisien. Untuk itu pula peraturan mengenai kepailitan sangat penting dilaksanakan agar penundaan kewajiban pembayaran utang menjadi masalah yang penting untuk segera diselesaikan.7

Inisiatif pemerintah untuk merevisi peraturan tentang kepailitan sebenarnya timbul karena ada tekanan dari Dana Moneter Internasional/ International Monetary Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor. IMF merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan tidak dapat memenuhi tuntutan zaman.8

Ditetapkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disingkat UUK) dalam mengatasi gejolak moneter yang diharapkan menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan utang piutang antara kreditor dan debitor secara cepat, adil dan efektif tidak terlaksana, hal ini dikarenakan desakan untuk sesegera mungkin memperbaiki peraturan kepailitan dengan cara tambal sulam

7 Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, (Karawaci :Deltacitra Grafindo, 2000), hal 1.

8 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan Seri Hukum Bisnis, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2002), hal 1.


(12)

pasal peraturan kepailitan yang ada, sehingga banyak ketentuan dalam pasal-pasal yang diubah tidak sempurna.9

Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa amandemen atas UUK sangat dominan melindungi kepentingan kreditor. Hal ini bisa dilihat dari syarat untuk dinyatakan pailit sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka (1) UUK yaitu adanya dua atau lebih utang dan salah satunya telah jatuh tempo. Namun dalam amandemen UUK tersebut tidak satu ketentuan yang mensyaratkan bahwa debitor harus dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvency). Tentunya hal ini bertentangan dengan filosofi universal dari UUK yaitu memberikan jalan keluar bagi debitor dan kreditor bilamana debitor sudah dalam keadaan tidak lagi mampu membayar utangnya.10

Praktek penjatuhan pailit dalam UUK banyak menimbulkan problematik dan debat yuridis. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaturannya banyak yang tidak jelas, sehingga memberikan peluang untuk beragam penafsiran yang berakibat ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.11 Di samping itu, penggunaan instrumen hukum acara perdata tidak selamanya cocok dalam praktik pengadilan niaga yang proses acara pemeriksaannya dibatasi dengan limit waktu yang relatif singkat dan terinci untuk setiap langkah proses permohonan penjatuhan pailit.

9 J. Djohansah, “Hukum Asuransi yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Hukum Kepailitan Nasional”, Makalah yang disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tekhnis Fungsional Peningkatan Profesionalisme Bagi Hukum Pengadilan Niaga, Tanggal 17-21 Juni 2001, di Jakarta, hal 3.

10 Hikmahanto Juwana, “Hukum sebagai Instrumen Politik : Intervensi atas kedaulatan dalam proses Legislasi di Indonesia”, disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies Natalies fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ke-50, Tanggal 12 Januari 2004, hal 12.

11 Surya Perdamaian, “Syarat-syarat Pengajuan Kepailitan dan Kelemahan Hukum Acara Kepailitan dalam Prakek Pengadilan Niaga”, Makalah yang di sampaikan dalam acara Forum Diskusi Tanggal 12 Oktober 2001 di Medan, hal 5.


(13)

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya.12 Pernyataan tersebut mengakibatkan debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pukul 00.00 waktu setempat pada tanggal putusan diucapkan.13

Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi. Tahap ini penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan. Apakah harta debitor akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun debitor masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau restrukturisasi utang. Apabila debitor sudah dinyatakan insolvensi, maka debitor sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.14

Secara umum dalam hukum kepailitan, debitor baru dapat dinyatakan pailit apabila debitor tersebut berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar). Persyaratan ini didasarkan karena adanya krisis finansial yang dialami debitor (liquidity crisis) untuk membayar seluruh utang-utangnya dan dengan adanya keadaan tersebut kepentingan kreditor secara keseluruhan harus dilindungi (common

12 J. Djohansah, “Pengadilan Niaga” di dalam Rudy Lontoh (Ed), Penyelesaian Utang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung :Alumni, 2001), hal 23, lihat juga Pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1998.

13 Pasal 24 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat UUK dan PKPU)

14 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1999), hal 135


(14)

pool problems). Prinsip inilah yang membedakannya dengan upaya hukum perdata yang harus dilakukan dengan gugatan biasa di Peradilan perdata. Secara substansial, hakekat dari fungsi hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah sebagai alat atau sarana penagih atau penyelesaian utang antara kreditor dan debitor secara cepat dan efektif dibandingkan dengan jalur hukum perdata biasa.

Menurut Friedman, insolvensi (insolvency) diartikan sebagai15 :

a. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau

b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.

Dari pengertian di atas, maka apabila suatu saat debitor tidak mempunyai banyak uang kontan dibandingkan banyaknya utang-utangnya, atau apabila suatu ketika aset utamanya hilang dicuri orang atau terbakar, maka tidak berarti pada saat tersebut debitor dalam keadaan insolvensi. Tetapi keadaan kewajiban melebihi aset-asetnya haruslah berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang wajar (reasonable time).

Apabila debitor dalam keadaan insolvensi kepada seorang kreditor saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditor-kreditor lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik. Karena belum tentu debitor itu tidak mampu melunasi utangnya, tetapi mungkin saja debitor tidak melunasi utangnya karena ada alasan tertentu.16 Maka terhadap debitor tersebut tidak dapat dipailitkan sebelum dilakukan insolvency test. Hal ini berguna

15 Ibid, hal 116, Lihat juga buku Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms, (New York USA :Baron`s Educational Series, 1987), hal 289.


(15)

agar perusahaan atau seorang debitor yang jumlah asetnya melebihi jumlah utang-piutang sehingga dalam kenyataannya cukup untuk membayar utang-utang tersebut tidak serta merta dapat dipailitkan

Jadi, hukum kepailitan hanya dapat dipergunakan apabila debitor tidak mampu (insolven) untuk membayar utang-utangnya kepada seluruh kreditor dan aset yang ada dipergunakan untuk kepentingan lebih dari satu kreditor (the interest of the claims as group)17.

Untuk mempailitkan debitor, UUK dan PKPU tidak mensyaratkan agar debitor berada dalam keadaan insolvensi. Hal ini tentu melindungi kepentingan kreditor, tidak diterapkannya insolvency test mengakibatkan banyaknya perusahaan di Indonesia bangkrut secara hukum. Padahal dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini bila persyaratan insolvensi diterapkan maka akan sulit membuat debitor Indonesia dinyatakan pailit. Logikanya dapat dilihat pada krisis moneter sebenarnya tidak membuat debitor Indonesia dalam keadaan insolvensi karena kehilangan pangsa pasar (market share) atau pendapatan dalam bentuk rupiah. Krisis moneter menyebabkan debitor tidak lagi mampu membayar utang karena adanya perbedaan kurs yang mengakibatkan utang dalam mata uang asing tidak terbayarkan dengan pendapatan dalam mata uang rupiah. 18 Seharusnya konsep insolvensi test dimasukkan dalam UUK dan PKPU terutama dalam rangka pemberian perlindungan terhadap debitor, selain untuk mengetahui apakah ketidakmampuan membayar debitor disebabkan

17 Asra, Kontroversi Pailitnya Debitor Solven, (Jakarta :Pascasarjana UI, 2003), hal 3. 18 Hikmanto Juwana, Op. Cit, hal 16-17.


(16)

karena perusahaan bangkrut ataukah karena tidak mau membayar utangnya karena ada alasan tertentu. Namun sayangnya kondisi solvennya debitor Indonesia ini tidak diperhatikan oleh para penyusun UUK, para penyusun adalah konsultan hukum dan mereka tampaknya tidak peduli dengan kesulitan perusahaan di Indonesia. Faktor emosional untuk menghukum pihak yang bersalah mendominasi penyusunan tersebut.19

Dalam konteks hukum kepailitan negara-negara common law system, keadaaan insolvensi debitor biasanya menggunakan pendekatan cash flow test atau pratical insolvency.20 Cash flow adalah pendekatan yang melihat solvabilitas debitor diukur dengan fakta apakah debitor membayar utangnya atau tidak. Jika ternyata debitor membayar utangnya yang telah jatuh tempo, hal ini mengindikasikan debitor ada dalam keadaan mampu membayar atau solven. Atau dapat juga dilihat dengan memeriksa aktiva dap pasiva perusahaan melalui pembukuan perusahaan.

Masalah insolvensi yang terjadi pada perusahaan Indonesia dapat dilihat pada kasus antara PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) v. PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT. DSS) No. 10/Pailit/2002/PN. Niaga Jkt. Pusat tanggal 13 Juni 2000 jo. No. 21 K/2002 tangal 5 Juni 2002.21 Dalam kasus ini PT. AJMI yang

19 “Perpu yang Bikin Kiamat”, Kontan No. 39 Tahun II, 29 Juni 1998 (dikutip dari ringkasan disertasi Sunarmi, Tinjauan Kritis terhadap Undang-undang Kepailitan : Menuju Hukum Kepailitan yang Melindungi Kepentingan Debitor dan Kreditor (Medan : Pascasarjana USU, 2005), hal 58-59). 20 J.B. Huizink, Insolventie, (dikutip dari disertasi Sunarmi, Ibid, hal 532).

21 Dilihat dari laporan PT. AJMI, Dirjen Lembaga Keuangan sebagai pembina dan Pengawas Industri Asuransi, menilai PT. AJMI sehat dan dapat membayar kewajiban (solven). Laporan itupun diumumkan secara luas di media massa. Dari laporan PT. AJMI per Maret 2002, kekayaan yang diperkenankan mencapai Rp. 1.812 milyar, kewajiban Rp. 1.596 milyar, tingkat solvabilitas minimum Rp. 126 milyar, kelebihan batas tingkat solvbilitas Rp. 87 milyar dan Ratio Risk Based Capital sebesar


(17)

merupakan perusahaan solven dengan 72 cabang perusahaan di Indonesia dipailitkan karena tidak membayar utang senilai Rp. 32.789.856.000, dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa dalam kenyataanya pihak debitor dalam keadaan masih mampu untuk membayar utangnya, namun PN. Niaga malah memutuskan untuk mempailitkan PT. AJMI tersebut.

Tidak adanya insolvency test dalam UUK dan PKPU jelas menunjukkan bahwa hukum kepailitan lebih melindungi kepentingan kreditor dibandingkan debitor. Seharusnya kasus-kasus di kepailitan terhadap perusahaan di Indonesia yang mengakibatkan kerugian yang seharusnya tidak terjadi ataupun kurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya menjadi acuan bagi pembuat Undang-undang khususnya mengenai hukum kepailitan.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam tesis ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan insolvensi dalam Undang-undang Kepailitan di Indonesia? 2. Bagaimana penentuan standar-standar insolvensi dalam keputusan-keputusan

kepailitan di Pengadilan Niaga?

167,26% dalam kasus PT. AJMI, “Bom Waktu Industri Asuransi”, Kompas, Rabu 19 Juni 2002, hal 15, (dikutip dari ringkasan disertasi Sunarmi , Op. Cit, hal 59).


(18)

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian ini adalah untuk mencari pemahaman yang benar tentang masalah yang dirumuskan. Lebih rinci tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis pengaturan insolvensi dalam Undang-undang Kepailitan di Indonesia.

2. Untuk menganalisis penentuan standar-standar insolvensi dalam keputusan-keputusan kepailitan di Pengadilan Niaga.

D. Manfaat Penelitian

Terwujudnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian yang diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis penelitian ini terutama adalah untuk mengembangkan informasi dan teori yang relevan dengan fokus penelitian guna memperkaya khasanah kepustakaan ilmu hukum dan jika mungkin dapat mengembangkan doktrin-doktrin hukum terkait kepailitan

2. Dalam tatanan kegunaan praktis, hasil penelitian sangat bermanfaat bagi praktisi hukum yang diharapkan dapat sebagai masukan dalam menangani masalah kepailitan, sebagai bahan dasar pertimbangan hakim dalam memilih dan memutuskan suatu perkara kepailitan yang dihadapi dan juga bermanfaat bagi


(19)

pelaku bisnis yang mengalami permasalahan dalam hukum kepailitan khususnya terkait dengan keadaan insolvensi atau tidaknya pihak debitor.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan untuk menghindari persamaan penelitian terhadap masalah yang sama, dan pada waktu melakukan pengumpulan data serta pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu, ternyata belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama.

Oleh karena itu, penelitian tesis ini dapat disebut “asli”, jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yaitu kejujuran, rasional, objektif dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah,22 sehingga kebenaran penelitian juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya, sehingga lahirlah Undang-undang kepailitan. Namun seiring

22 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal 244.


(20)

berjalannya waktu peraturan tersebut tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat sehingga beberapa kali dilakukan perbaikan, penambahan dan meniadakan beberapa ketentuan yang dianggap tidak sesuai lagi.

UUK dan PKPU didasarkan atas beberapa asas yaitu :23 1. Asas Keseimbangan

Perwujudan dari asas keseimbangan adalah, di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan

Usaha dalam Undang-undang ini, memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.


(21)

4. Asas Integrasi

Asas ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Lahirnya peraturan mengenai kepailitan diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam perekonomian nasional dan memberikan rasa keadilan, baik terhadap kreditor maupun terhadap debitor. Menurut W. Friedman, suatu Undang-undang atau peraturan haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi itu; kalau tidak ada kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan sosial saja.24

Salah satu paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat, kegunaan dan kepastian hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan “hukum sebagai perwujudan nilai-nilai mengandung arti; bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.25

Aristoteles menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah bahwa 26:

24 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum diterjemahkan dari Buku aslinya Legal Theori oleh Muhammad Arifin (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1993), hal 7.

25 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, (Surakarta :Universitas Muhammadiyah, 2002), hal 60.

26 Aristoteles, Ethics. Terjemahan ke dalam Bahasa Inggris oleh JAK Thomson, Harmondsworth, (Middlesex, England :Penguin Books Ltd, 1970), hal 140.


(22)

a. Seorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawfull” yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti, dan b. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti

persamaan hak (equal).

Salah satu cara pembagian keadilan menurut Aristoteles adalah seperti yang tertuang dalam bukunya Etika, Aristoteles membagi keadilan kedalam dua golongan sebagai berikut 27:

a. keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian kehormatan atau kekayaan ataupun kepemilikan lainnya kepada masing-masing anggota masyarakat, dan

b. Keadilan Korektif, yaitu keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi terhadap kejadian yang tidak adil.

Pemberlakuan prinsip keadilan dalam hukum kepailitan adalah, apabila debitor mempunyai paling sedikit dua kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu tidak melakukan pembayaran diharapkan tidak lari dari tanggung jawab untuk melaksakan pembayaran terhadap kreditor dengan cara penjualan seluruh aset debitor dan hasilnya akan dibagi-bagi kepada kreditor secara adil dan merata serta berimbang. Di sisi lain, kreditor juga tidak bisa hanya memikirkan kepentingan sepihak saja tanpa memikirkan kreditor lainnya dan juga itikad baik dari debitor yang meminta penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dalam hal perdamaian.

27 Ibid, hal 144.


(23)

Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) bagi debitor ataupun kreditor, maka sektor hukum yang berperan untuk mengembalikan keadaaan sehingga keadilan yang telah hilang (the lost justice) kembali dapat ditemukan oleh pihak yang telah dirugikan, atau terjadi keadilan korektif menurut klasifikasi Aristoteles.

Lembaga kepailitan merupakan perwujudan dari pelaksanaan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata jo. 1132 KUHPerdata.28 Namun, bukan berarti ketentuan hukum kepailitan memiliki sifat sebagai hukum privat. Sebab ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (publik) dan tidak dapat disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para pihak.29

Pengertian kepailitan (insolvency) harus dibedakan dengan insolven. Menurut Setiawan30, istilah kepailitan berasal dari kepustakaan Belanda dengan menggunakan kata Faillissmentsverordening yang pengucapannya berubah menjadi kepailitan, sementara itu, pengaruh kepustakaan common law menggunakan istilah bankruptcy yang juga bermakna kepailitan. Kemudian dalam Ordonantie tahun 1905 istilah insolvency ditemukan dalam istilah Belanda yaitu insolventie, yang secara tehnis berbeda dengan istilah kepailitan sesuai dengan Pasal 168 Ordonantie 1905 diamana

28 Pasal 1131 KUHPerdata adalah : Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.

Pasal 1132 KUHPerdata adalah : Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

29 Setiawan, Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga, (Jakarta :Mahkamah Agung RI, 1998), dikutip dari Varia Peradilan, IKAHI-Mari Jakarta, No. 156 September 1998, hal 59.


(24)

insolventie terjadi jika dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian atau bila perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau pengesahan perdamaian itu dengan pasti telah ditolak, rumusan ini juga dimasukkan kedalam Pasal 178 UUK dan PKPU.

Kepailitan menurut UUK dan PKPU menyatakan :

“Kepailitan adalah sitaan umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.31

Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU menyatakan bahwa insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar, namun sampai saat ini tidak ada kriteria ataupun batasan yang menyatakan bagaimana seorang debitor dikatakan tidak mampu membayar atau insolvensi. Dengan tidak ada syarat tersebut, penerapan Undang-undang kepailitan diharapkan akan lebih mudah. Dengan demikian Indonesia diharapkan akan lebih mudah keluar dari krisis ekonomi. Adanya dampak putusan-putusan pengadilan terhadap perkembangan ekonomi dinyatakan oleh Rudolpho Sandoval bahwa :32

“ …..it is longer disputed that many of the public issues facing the nation have serious implications. Because of this, it hase become increasingly important for lawyers to have at least a basic understanding of economic theory. By examining the

31 Pasal 1 ayat (1) UUK dan PKPU.

32 Erman Rajagukguk (ed), Peranan hukum dalam Pembangunan ekonomi,(Jakarta :Pascasarjana UI,2000) hal 16, Rudolpho Sandoval, Judicial decisions within the framework of an economic structur, St. Marys Law Jurnal Vol.11 tahun 1980, hal 4.


(25)

interrelationship of law and economics, it may be possible to deduce the basic formal charecteristic of the law from economic theory”.

Pendapat diatas didasari oleh teori The Legal Economic Analisis dari Richard Posner33 dan sejalan dengan pendapat itu, Charles Himawan menyatakan bahwa putusan-putusan pengadilan dapat mempengaruhi perkembangan dan perbaikan ekonomi. Hukum merupakan benang merah yang terlupakan dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.34

Menurut Oxford Dictionary of Law35, Bankrupty (kepailitan) adalah : “the state of person who has been adjudgedby a court to be insolvent”. Jadi, kepailitan ada apabila menurut pengadilan adanya ketidakmampuan untuk membayar utang (insolvent) dan ditinjau dari asal kata, istilah bankruptcy berasal dari bahasa romawi, yaitu kata “Bancarupta”, yang berarti : “the process by which the state takes possesion of the property of a bangkrupty throught the officialtrustee”36

Menurut Douglas37 pengertian insolvensi adalah : “A debtor is solvent if sum of the debtor`s debts is greater than all of the debtor`s assets at fair valuation”. Menurut Cambriedge International Dictionary, insolvensi adalah : “insolvensi adalah (khusus buat perusahaan), not having enough money to pay debts, buy goods, etc” ,

33 Richard Posner, Economic Analiysis of Law, (Boston :Little, Brown and Company ,Fourth Edition, 1992), hal 393

34 Jakarta Post, 1998, hal 9.

35 A Dictionary of law, (New York : Oxford University Press, 1994), hal 58. 36 Asra, Op. Cit, hal 10.


(26)

dan menurut Concise Australian Legal Dictionary, insolvensi adalah : “debtor who is unable to pay debts as and when they fall due for payment”.38

Pada prinsipnya hukum kepailitan adalah merupakan suatu lembaga penagih utang yang disebut dengan debt Collection Law39 atau collective debt collection

device40, dan yang membedakannya dengan prosedur gugatan perdata biasa karena

adanya unsur insolvensi41 dimana harta kekayaan debitor yang ada tidak dapat untuk membayar seluruh tagihan yang diajukan oleh debitor, sebagaimana yang dinyatakan oleh Thomas H. Jakson. 42

Menurut Jordan et. al, yang dikutip oleh Remy Syahdeni ada tiga tujuan hukum kepailitan yaitu 43:

a. Untuk menjamin pembahagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara para kreditor.

b. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor.

c. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.

Seorang debitor baru dapat dinyatakan pailit atau dalam keadaan pailit, apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan44 dengan suatu keputusan

38 Roman Tomasic, Australian Corporate Insolvency, (Sydney : Butterworth, 1993), hal 164. 39 Bismar nasution dan Sunarmi, Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan : Program MKn Pasca USU, 2007), hal 14.

40 Asra, Op. Cit, hal 11. 41 Ibid.

42 Ibid.


(27)

hakim. Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan putusan pailit itu telah ditentukan secara tegas di dalam Undang-undang Kepailitan.45

Ada beberapa persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU yang menyatakan :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang46 yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonanya sendiri maupun atas satu atau lebih kreditornya”.

Keharusan memiliki kreditor 2 (dua) atau lebih dikenal sebagai concorsus

creditorum,47 keharusan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132

KUHPerdata.48 Apabila debitor hanya memiliki seorang kreditor saja, maka kreditor berhak atas semua aset debitor, tidak ada lagi keperluan pembagian aset. Sebaliknya dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba

44 Hakim dan Pengadilan yang dimaksud adalah Hakim dan Pengadilan Niaga, Lihat Pasal 1 ayat (7) UUK dan PKPU.

45 Lihat Pasal 3 UUK dan PKPU

46 Setelah keluarnya UUK dan PKPU, utang mempunyai defenisi dan batasan yang jelas yaitu : kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

47 Sutan Remy Syahdeini (I), Op. Cit, , hal 64.

48 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta : Raja Grafindo Press, 2003), hal 107.


(28)

dengan cara, baik yang halal maupun yang tidak untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.49

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sumir (sederhana) bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terbukti,50 dimana permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan oleh Debitor itu sendiri, Seorang kreditor atau lebih, BI (Bank Indonesia), Bapepam, dan Menteri Keuangan. 51

Pada dasarnya, sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitor untuk melakukan semua tindakan hukum harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitor menurut perundang-undangan.52

Setelah pengadilan mengucapkan putusan pailit dalam sidang terbuka untuk umum terhadap debitor, maka hak dan kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Akan tetapi si pailit masih berhak melakukan tindakan-tindakan atas harta kekayaannya sepanjang tindakan itu membawa/memberikan manfaat terhadap boedelnya. Sebaliknya tindakan yang tidak memberikan manfaat bagi boedel, tidak mengikat boedel tersebut.53

49 Http : // WWW. Solusi Hukum.Com/artikel 36.php> (“Kepailitan di Indonesia, Suatu Pengantar”), diakses 9 Juli 2007.

50 Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU. Dalam Penjelasannya dinyatakan : Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannnya putusan pernyataan pailit.

51 Lihat Pasal 2 UUK dan PKPU.

52 Rudy A. Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU, (Bandung :Alumni, 2001), hal 301.

53 Imran Nating, Peran dan Tanggung jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2004), hal 40.


(29)

1. Terhadap Debitor

Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan54 dan bukan mengenai perorangan debitor, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke macht). Pengurusan benda-benda anaknya tetap padanya, seperti ia melaksanankan sebagai seorang wali. Debitor tidak kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum tersebut menyangkut pengurusan dan pengalihan harta benda yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya, debitor tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima harta benda yang akan diperolehnya itu, namun harta yang akan diperolehnya itu akan menjadi bagian dari harta pailit.55

Setelah keluarnya pernyataan pailit, debitor kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pukul 00.00 waktu setempat pada tanggal putusan diucapkan.56 Pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit debitor akan diambil alih oleh kurator yang ditunjuk oleh hakim pengadilan, dalam hal ini kurator harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan.57

54 Menurut Fred. B. G. Tumbuan, Kekayaan adalah semua barang dan hak atas benda yang dapat diuangkan (ten gelde kunnenworden gemaakt), Rudy A. Lontoh, Op. Cit, hal 128.

55 Sutan Remy Syahdeini (I), Op. Cit, hal 257. 56 Lihat Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU.

57 Lihat Pasal 15 UUK dan PKPU, dalam penjelasannya Independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan adalah bahwa kelangsungan keberadaan kurator tidak tergantung pada debitor atau kreditor, dan kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentingan ekonomis debitor dan kreditor.


(30)

2. Terhadap Kreditor

Pada dasarnya kedudukan kreditor adalah sama (paritas creditorium). Oleh karena itu mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing, asas tersebut mengenal pengecualian yaitu golongan kreditor yang memegang hak agunan atas kebendaan dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan UUK dan PKPU dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.58

Pengertian kreditor terdiri atas :59 a. Kreditur Separatis

Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Kreditor ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil sebesar piutangnya, sedangkan kalau ada sisanya disetorkan ke kas kurator sebagai boedel pailit. Sebaliknya jika hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditur tersebut untuk tagihan yang belum terbayar, dapat memasukkan kekurangannya sebagai kreditor bersaing (Concurent).

58 Kreditor yang mempunyai hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak inilah yang kemudian ditangguhkan selama 90 hari terhitung sejak tanggal tanggal penetapan pailit. Jangka waktu tersebut bias berakhir karena hukum pada saat pailit diakhiri lebih dini atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi.


(31)

b. Kreditur Preferen/Istimewa

Kreditor preferen adalah kreditor yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditor istimewa berada di bawah pemegang hak tanggungan dan gadai. Pasal 1133 KUHPerdata mengatakan bahwa hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai dan hipotik.60

c. Kreditur Kongkuren/Bersaing

Kreditor kongkuren memiliki hak yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditor pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditor kongkuren tersebut.

3. Terhadap harta Pailit

Harta benda debitor yang pailit diatur berdasarkan hukum kebendaan, bahwa suatu hak kebendaan ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, kekuasaan mana dapat dipertahankan terhadap tiap orang.61 Akan tetapi,

60 Lihat Pasal 1133 KUHPerdata.


(32)

mengingat keadaan atau status yang melekat pada dirinya maka hak-hak tersebut diambil alih oleh suatu badan atau lazim saat ini disebut kurator.62

Setelah adanya pernyataan pailit oleh hakim, maka dengan sendirinya telah terjadi sita umum atas seluruh harta kekayaan debitor, dan debitor akan kehilangan haknya untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang kemudian diambil alih oleh kurator dan diawasi oleh hakim pengawas.

Apabila setelah adanya putusan pailit, debitor tidak mengajukan perdamaian (akor), atau perdamaian tidak mendapat persetujuan pihak kreditor ataupun perdamaian yang telah disetujui oleh kreditor tidak mendapat homologasi oleh hakim, maka kepailitan dengan sendirinya telah memasuki tahap insolvensi. Setelah tahap inilah kurator mulai mengambil tindakan yang menyangkut pemberesan harta pailit yang meliputi penjualan harta pailit di muka umum, namun apabila tidak tercapai dapat dilakukan penjualan di bawah tangan dengan izin Hakim Pengawas dan melakukan pembagian atas hasil penjualan harta pailit dengan memperhatikan kedudukan dari masing-masing debitor yang mempunyai hak istimewa, pemegang hipotik, gadai, fidusia, hak tanggungan serta kreditor bersaing63.

2. Kerangka Konsep

Peranan konsep dalam penelitian diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal khusus, yang disebut dengan defenisi

62 Kurator adalah Balai harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan. 63 Lihat Pasal 185 dan Pasal 189 UUK dan PKPU.


(33)

operasional. Pentingnya defenisi operasional adalah agar tidak terjadinya masalah dalam menafsirkan konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, selain itu juga dipergunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian.

Selanjutnya defenisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan adalah :

a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas. 64

b. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.65

c. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.66

d. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.67

64 Pasal 1 angka (1) UUK dan PKPU 65 Pasal 1 angka (2) UUK dan PKPU 66 Pasal 1 angka (3) UUK dan PKPU 67 Pasal 1 angka (6) UUK dan PKPU


(34)

e. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah pengawasan hakim pengawas.68

f. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam ruang lingkup peradilan umum.69

g. Insolvensi adalah ketidakmampuan membayar utang oleh debitor kepada

kreditor.70

h. Hukum adalah Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan itu akan diambil tindakan atau sanksi.71

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

68 Pasal 1 angka (5) UUK dan PKPU 69 Pasal 1 angka (7) UUK dan PKPU

70 Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU

71 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Pascasarjana UI, 2003), hal 34.


(35)

Menurut Ronald Dworkin, penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisa baik hukum sebagai law is written in book, maupun hukum sebagai law as it decided by the judge throught judicial process.72

Sifat penelitian dilakukan dengan pendekatan yang bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan dan menganalisis teori-teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data

Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berupa data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan,73 yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu Faillissmentsverordening (stb. 1905 No.217 jo. Stb. 1906 No. 384), Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 dan

72 Bismar Nasution, disampaikan pada ‘Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum” (Pada “Makalah Akreditasi” Fakultas Hukum USU, tanggan 18 Februari 2003), hal 1.

73 Bahan kepustakaan ini mencakup : 1. bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, peraturan perundang-undangan dan peraturan setaraf (dan berjenjang ke bawah), maupun bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat dan yurisprudensi; 2. bahan hukum sekunder adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Rancangan Undang-undang, Hasil-hasil Penelitian dll; 3. bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus ensiklopedi dan lainnya. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1995), hal 23).


(36)

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dan Putusan-putusan Pengadilan perihal masalah kepailitan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian ini.74

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.75

3. Tehnik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melaui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran koseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya juga dilakukannya wawancara dengan para pakar terhadap permasalahan yang relevan dengan tesis ini. Hasil penelitian yang diperoleh melalui studi kepustakaan dianalisa secara kualitatif dengan pendekatan juridis normatif.

74 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta :Ghalian Indonesia, 1982) hal 24.


(37)

4. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya adalah kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analis dan konstruksi. Kegiatan tersebut antara lain :

a. Memilih bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier termasuk putusan-putusan pengadilan yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan berkaitan dengan insolvensi bagi praktisi hukum, hakim dan pelaku bisnis dalam kaitannya dengan hukum kepailitan.

b. Membuat sistematik dari bahan-bahan hukum sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu yang selaras dengan insolvensi bagi praktisi hukum, hakim dan pelaku bisnis dalam kaitannya dengan hukum kepailitan.

c. Menjelaskan hubungan konsep atau teori dengan klasifikasi atau teori yang dirumuskan.

d. Hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Maksudnya bahwa hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat.

e. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diangkat.


(38)

BAB II

PENGATURAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

A. Pengertian Berhenti Membayar

Pengertian keadaan “berhenti membayar” tidak dijumpai perumusannya secara jelas baik di dalam Undang-undang, yurisprudensi maupun pendapat para sarjana. Berikut ini diuraikan pengertian “berhenti membayar” menurut peraturan dalam hukum kepailitan.

1. Menurut Faillissmentsverodening

Berlakunya Faillissmentsverodening (disingkat Fv) di Indonesia pada tanggal 1 November Tahun 1906 berdasarkan Stb. 1906-348 mencabut peraturan kepailitan sebelumya yaitu wetboek van koophandel (WvK) Buku III dan Reglement op de Rechtsverordering (Rv) Buku III bab VII.

Timbulnya keadaan insolvensi debitur menurut Faillissmentsverodening adalah karena debitur berhenti membayar. Namun ukuran atau standar dalam keadaan berhenti membayar tersebut masih bervariasi dikarenakan tidak ditemukannya batasannya dalam Undang-undang.

Dasar insolvensi menurut Faillissmentsverodening terdapat pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :

“Setiap yang berutang (debitor) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih


(39)

berpiutang (kreditor), dengan keputusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit”.

Gambaran pailit dalam Faillissmentsverodening ini tidak dilengkapi dengan defenisi atau apa yang menjadi kriteria dari “berhenti membayar”. Hal ini dengan sendirinya melahirkan keputusan-keputusan yang beragam tentang standar terjadinya keadaan “berhenti membayar”.

Keanekaragaman pengertian tentang berhenti membayar dapat dilihat dari putusan-putusan pengadilan dibawah ini :76

a. Putusan Hoge Raad 17 Desember 1920 N.J. 1921 No. 276 berbunyi : Bahwa keadaan berhenti membayar dapat ada, juga bilamana kredit-kredit yang lain tidak mendesak dibayarnya atau memiliki eksekusi di luar kepailitan.

b. Putusan Hoge Raad 3 Juni 1920 N.J. 1921

Bahwa membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang, membayar berarti memenuhi suatu perikatan ini dapat diperuntukkan untuk menyerahkan barang.

c. Putusan Hoge Raad 15 Mei 1925 N.J. 1925 No. 995, Berbunyi :

Keadaan bahwa aktiva boedel kemudian terbukti cukup untuk membayar semua hutangnya, itu tidak menghalangi bahwa debitur sekarang dalam keadaan berhenti membayar.

76 Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta :Rineka Cipta, 1993), hal 40-41.


(40)

d. Putusan Hoge Raad 6 Desember 1946 N.J. 1946 No 233, berbunyi :

Bahwa keadaan berhenti membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitor tidak membayar hutang-hutang itu.

e. Putusan Hoge Raad 10 April 1959 N.J. 1959 No. 232, berbunyi :

Bahwa tidak membayar hutang pemohon yang sudah dapat ditagih dan disamping itu adanya hutang-hutang yang lain yang terbukti dari laporan kurator, membuktikan adanya keadaan berhenti membayar.

Berdasarkan keputusan pengadilan diatas dapat disimpulkan bahwasanya tidak ada pertimbangan oleh hakim bahwa debitor baru sekali atau dua kali tidak membayar utangnya. Jadi, dengan adanya bukti sumir terhadap debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh temponya dapat dijatuhkan pailit. Sedangkan menurut Tirtaatmidjaja bahwa debitor yang baru sekali saja menolak pembayaran maka hal itu belumlah merupakan suatu keadan berhenti membayar.77

2. Menurut UU No. 4 Tahun 1998

Pada Bulan Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia. Krisis ini diawali dengan melemahnya nilai tukar rupaih terhadap dollar AS. Hal tersebut menyebabkan utang-utang para pengusaha Indonesia yang dalam valuta asing (terutama yang kreditornya dari luar negeri) menjadi sangat tinggi. Akibatnya banyak debitor yang


(41)

tidak dapat membayar utang-utangnya. Dihadapkan pada situasi tersebut, para kreditor mulai mencari sarana untuk dapat menagih utang-utangnya. Peraturan yang ada pada waktu itu (Faillissmentverordening) sangat tidak dapat diandalkan karena dianggap lama prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Maka masyarakat kreditor terutama dari luar negeri menghendaki agar peraturan kepailitan secepatnya diganti atau diubah. Keinginan ini didukung oelh IMF selaku pemberi utang kepada Indonesia. IMF berpendapat bahwa salah satu upaya krisis moneter Indonesia tidak terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri. Oleh karena itu IMF mendesak pemerintah Indonesia agar segera mengganti atau mengubah peraturan kepailitan (Faillissmentverordening) yang berlaku, sebagai sarana untuk menyelesaikan utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya.

Sebagai hasil desakan tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan dengan lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4Tahun 1998 tentang Undang-undang Kepailitan. Namun, Perpu No. 1 Tahun 1998 bukanlah pengganti Peraturan Kepailitan sebelumnya, melainkan hanya sekedar mengubah atau menambah saja. Perubahan Perpu tersebut diharapkan sebagai dewa penolong bagi lancarnya proses ekonomi, dan bukan bagi kreditor semata. Melihat penanganan kasus-kasus kepailitan menimbulkan kekecewaan dimasyarakat. Sebenarnya untuk mengatasi pelaksanan Perpu yang kurang baik tidaklah terlalu sukar, karena orang dengan mudah dapat menunjuk peraturan yang dilanggar.78

78 Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima : Hukum Kepailitan atau Kepailitan Hukum, (Jakarta : Kompas, 2003), hal 69.


(42)

Sebaliknya untuk mengatasi kepailitan hukum tidaklah mudah. Tidak cukup lagi pengadilan melihat pada pasal peraturan tertulis yang bersangkutan. Badan peradilan terutama MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan, perlu memperhatikan keadaan lingkungan bisnis sekitar gugatan kepailitan bersangkutan. Badan Peradilan perlu memperhitungkan untung-rugi (cost benefit analysis) akibat putusannya, misalnya, apakah putusan tersebut memperlancar atau menghambat proses ekonomi dan apakah keputusan tersebut tidak merugikan para stakeholder79

Timbulnya dasar insolvensi menurut UU No 4 Tahun 1998 tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditor.”

Dasar insolvensi diartikan sebagai “tidak membayar”, Pradjoto mengartikannya sebagai :80

a. Menolak untuk membayar b. Cidera janji atau wanprestasi

79 Ibid.

80 Pradjoto, “RUU Kepailitan ditinjau dari Aspek Perbankan”, Makalah disampaikan dalam Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, Jakarta 27-28 Juli 1999, hal 5.


(43)

c. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya.

d. Tidak diharuskan debitor memiliki kemampuan untuk membayar (onvermogen) dan memikul seluruh utangnya.

e. Istilah tidak membayar harus diartikan sebagai Naar de letter, yaitu debitor pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali berhenti membayar utangnya.

Permasalahan yang menarik tentang “tidak membayar” terjadi pada kasus PT. AJMI. Yang menjadi permasalahan adalah, tidak membayarnya debitor itu karena debitor benar-benar tidak mampu membayar atau tidak mau membayar padahal debitor masih memiliki kekayaan yang cukup besar untuk membayar utang-utangnya. Sutan Remy berpendapat bahwa, hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya kepada salah satu kreditornya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolvensi.81

Seorang debitor berada dalam keadan insolvensi hanyalah apabila debitor tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar para kreditornya. Seorang debitor tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolven apabila hanya kepada seorang kreditor saja debitor tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada para kreditor-kreditor lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik.

81 Sutan Remy Syahdeini (II), Hukum Kepailitan Memahami Faillissmentsverordening jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta :Pustaka Utama Grafiti, 2003), Hal 71.


(44)

Oleh karena itu yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitor tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk ketidakmampuan debitor tersebut untuk melunasi uatang-utangnya seperti yang telah diperjanjikan. 82

3. Menurut UU No. 37 Tahun 2004

Pada tanggal 18 Oktober 2004, Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang UUK dan PKPU. Dengan tujuan untuk memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat yang jika ditinjau dari segi materi masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Perubahan yang dilakukan meliputi perubahan terhadap substansi, prosedur dan belum adanya kemungkinan untuk melakukan restrukturisasi utang.

Timbulnya dasar insolvensi menurut UU No 37 Tahun 2004 tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu :

“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih , dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”

82 Ricardo Simanjuntak, “Rancangan Perubahan Undang-undang Kepailitan dalam Perspektif Pengacara (Komentar terhadap perubahan Undang-undang Kepailitan)”, Artikel Utama, Jurnal Hukum Bisnis Vol 17, Januari 2002, hal 6.


(45)

Dasar insolvensi diartikan sebagai “tidak membayar lunas” utangnya. Pasal ini merupakan salinan dari Pasal 1 ayat (1) UUK yang mengatur ketentuan yang sama. Bedanya terletak pada kata “lunas” . keadaan tidak membayar lunas diartikan sebagai sudah pernah membayar sekali, dua kali dan seterusnya tetapi tidak seluruhnya. Atau debitor sudah membayar pokoknya tetapi belum membayar bunganya.

Ketentuan “tidak membayar lunas” menurut UUK dan PKPU pada prinsipnya sama dengan “keadaan berhenti membayar” utang-utangnya menurut Fallissment verordening. Karena berhenti membayar berarti sudah pernah membayar namun suatu saat berhenti.83

B. Pernyataan Pailit

Mengajukan permohonan pailit tidaklah sedemikian mudahnya, haruslah memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) UUK dan PKPU. Jika tidak, semua orang akan dapat mengajukan permohonan pailit. Hal ini nantinya tidak akan menciptakan ketertiban dan keteraturan serta kepastian dalam hukum, tetapi nantinya akan mengacaukan jalannya hukum dan merugikan masyarakat secara lebih jauh.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU, hakim harus mengabulkan permohonan pailit apabila :

1. Minimal harus ada dua kreditor.

83 Man S Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung :Alumni, 2006), hal 18.


(46)

2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

3. kedua hal tersebut dapat dibuktikan secara sederhana

Bagir Manan menyatakan bahwa “syarat kepailitan yang terlalu sederhana, hanya cukup dengan adanya dua kreditor dan adanya utang yang telah jatuh tempo sehingga orang bisa mengajukan pailit, ini tentu menimbulkan suatu masalah”.84persoalan pailit bukan saja menyangkut kepentingan perusahaan semata”. Hal ini didasarkan oleh banyaknya pengajuan pailit yag tidak pernah mempertimbangkan aspek lain, seperti kepentingan sosial, dan pelayanan umum yang bakal ditimbulkannya. Misalnya, perusahaan yang asetnya banyak dan jumlah tenaganya besar, tetapi dengan mudahnya saja dipailitkan.

Permohonan pernyataan pailit dalam UUK dan PKPU dapat diajukan oleh : a. Debitor itu sendiri

Permohonan pailit dapat diajukan oleh debitor sendiri bilamana debitor tidak mempunyai harapan untuk dapat memenuhi kewajibannya terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para kreditor. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Negeri Niaga ditempat kedudukan hukum debitor. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit terhadap debitor

84 ‘Ketua MA Prihatin Banyak Proses Kepailitan yang Disalahgunakan”, Http://www.hukum online.com /detail.asp?id=9604&cl=Berita, diakses tgl 15 Juni 2007.


(47)

itu sendiri, kadangkala hakim mewajibkan pembuktian melalui audit pejabat publik.85

b. Seorang kreditor atau lebih

Apabila seorang kreditur atau lebih mengajukan permohonan kepailitan harus memenuhi syarat bahwa hak menuntutnya terbukti (pembuktian sumir), baik kreditor yang merupakan perorangan maupun perusahaan.

c. Jaksa demi kepentingan umum

Pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor berdasarkan alasan demi kepentingan umum.86

Berdasarkan keputusan Hof Amsterdam 9 November 1922, N.J. 1923, 171, alasan kepentingan umum itu ada bilamana tidak dapat lagi dikatakan ada kepentingan-kepentingan perseorangan melainkan alasan-alasan yang bersifat lebih umum dan lebih serius yang memerlukan penanganan oleh suatu lembaga /alat perlengkapan negara.87

Menurut M.H. Tirtaamidjaja, bahwa pailit itu juga dapat dinyatakan atas tuntutan jaksa, tuntutan mana harus berdasarkan alasan-alasan untuk dengan tidak menyelesaikan urusan-urusannya. Atau debitor sedang berusaha menggelapkan harta kekayaannya dengan merugikan kreditor-kreditornya.88

85 Putusan MA No. 03 K/N/1999 tertanggal 5 Mei 1999.

86 Menurut Penjelasan Pasal 2 angka (2) UUK dan PKPU, kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarkat luas.

87 Chidir Ali, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, (Jakarta :Pradnya Paramita, 1982), hal 11.


(48)

d. Bank Indonesia (BI)

Sutan Remy menyatakan bahwa ketentuan yang menyatakan bahwa hanya BI yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang merupakan bank adalah standart ganda (double standart).89 Ketentuan ini telah merampas hak kreditor dari suatu bank. Kreditor bank pada umumnya adalah juga bank, yang memberikan fasilitas kepada bank itu melalui interbank money market. Dengan adanya Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut, maka hilanglah hak bank untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya yang merupakan juga bank.90

Apabila kreditor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada bank bukan Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat bank akan senantiasa dibayang-bayangi pengajuan permohonan pailit. Pemberian hak-hak khusus kepada Bank Indonesia yang mewakili kepentingan umum harus mendapat dukungan karena berkaitan dengan dana masyarakat yang terhimpun dalam bank. Perlindungan terhadap masyarakat luas ini harus dijaga dan dilindungi secara proporsional. Apabila bank yang dengan mudahnya pailit oleh kreditor bukan Bank Indonesia terjadi, tentunya akan menganggu kinerja perbankan nasional dan tentunya hal ini berdampak pula pada perekonomian Indonesia. 91

89 Sutan Remy Syahdeini, “Undang-undang Kepailitan : Dalam Perspektif Hukum,Politik dan Ekonomi”, Makalah disajikan Pada Tanggal 7 Mei 1998 di Jakarta, hal 3.

90 Bismar Nasuton dan Sunarmi, Op. Cit, hal 37. 91 Ibid, hal 38.


(49)

e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)

Debitor yang merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bapepam. Ketentuan tersebut ternyata dalam praktek menimbulkan pro dan kontra baik dalam kalangan ahli hukum maupun para praktisi. Hal tersebut karena berkaitan dengan fungsi dan tugas Bapepam.92

Terhadap perusahaan yang go publik, keterlibatan Bapepam mutlak diperlukan, hal ini mengingat tugasnya untuk mengawasi jalannya kelancaran Pasar Modal. Bapepam mutlak mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh para emiten yang dikhawatirkan akan menganggu kinerja Pasar Modal. Namun di sisi lain, sebaiknya keterlibatan Bapepam hanya cukup dilapori saja. Berdasarkan semangat dan asas UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Bapepam tidak diinginkan untuk turut campur apalagi mengambil hak-hak investor atau emiten.93 f. Menteri Keuangan

Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola resiko

92 Ibid, hal 39.


(50)

dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana dari masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.94

C. Akibat Hukum Kepailitan

Sesuai dengan Pasal 21 UUK dan PKPU, bahwa terhitung sejak ditetapkannya putusan pernyataan kepailitan, debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimaksud dalam kepailitan, termasuk juga kepentingan perhitungan dari pernyataan itu sendiri. Artinya, debitor pailit tidak memiliki kewenangan ataupun tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan beralih atau dialihkan kepada kurator atau BHP yang bertindak sebagai kurator.

Namun demikian, sesudah pernyataan pailit ditetapkan debitor pailit masih dimungkinkan untuk mengadakan perikatan-perikatan. Hal itu akan mengikat bila perikatan-perikatan yang dilakukan tersebut mendatangkan keuntungan.

Ada beberapa akibat hukum pernyataan pailit, yaitu :

1. Akibat kepailitan terhadap kewenangan debitor untuk dapat melakukan perbuatan hukum dan terhadap hartanya.

Putusan pailit oleh pengadilan tidak menyebabkan debitor kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya (volkomen handelingsbevoegd), tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya

94 Ibid, hal 41.


(51)

untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja, atau dengan kata lain kepailitan tersebut berlaku hanya terhadap harta kekayan debitor saja.95

2. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik.

Bila ada perjanjian timbal balik belum dipenuhi pada saat putusan pernyataan pailit, maka para pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepastian kepada kurator tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tesebut dalam suatu waku yang disepakati bersama.96

3. Akibat kepailitan terhadap perjanjian hak jaminan

Dengan dikeluarkannya putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, setiap kreditor yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.97 Namun pelaksanaannya ditangguhkan selama 90 hari terhitung sejak tanggal pailit ditetapkan.98

D. Kelemahan-kelemahan Hukum Kepailitan

1. Kelemahan Faillissmentsverordening

a. Proses pemeriksaan kepailitan memakan waktu yang lama

Faillissmentsverodening tidak ada menentukan berapa lama batasan waktu untuk menyelesaikan perkara kepailitan. Henry Lie A Weng menyebutkan bahwa

95 Pasal 21 ayat (1) UUK dan PKPU. 96 Pasal 36 UUK dan PKPU.

97 Pasal 55 UUK dan PKPU


(52)

peraturan-peraturan tersebut tidak praktis, rumit dan berlangsung terlalu lama dan memakan biaya yang tidak murah.99

Lamanya perkara kepailitan berlangsung karena kadangkala terdapat putusan yang berbeda yaitu pada satu sisi putusan pailit dan pada sisi lain putusan perdata yang saling berbeda. Dalam perkara kepailitan, debitor mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit dan pengadilan mengabulkan permohonan pailit. Pada saat perkara pailit sedang berjalan, kreditor mengajukan gugatan perdata agar debitor membayar utangnya. Keputusan Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan kreditor dan menghukum debitor membayar utangnya kepada kreditor. Akhirnya timbul permasalahan siapa yang akan melaksanakan keputusan tersebut.100

Dengan adanya keputusan yang berbeda dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum atau adanya dualisme hukum. Hal ini dikarenakan, dalam peraturan Faillissmentverordening tidak mengatur batasan mengenai kewenangan menangani suatu perkara. Hal inilah yang merupakan suatu dasar alasan untuk dilakukannya perubahan pada peraturan kepailitan yang lama.

99 Henry Lie Aweng, Tinjauan Pasal demi Pasal Fv (Faillissmentsverodening S. 1905 No. 217 jo. S. 1906 No 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UUNo. 4 Tahun 1998, Medan, hal 4. (dikutip dari rigkasan Disertasi Sunarmi, Op. Cit, hal 41)


(53)

b. Pemeriksaan pembukuan debitor jarang dilaksanakan

Setelah kemerdekaan, hakim tidak melakukan pemeriksaan atas pembukuan debitor. Pemeriksaan tidak dilakukan meskipun para kreditor mengajukan keberatan dan meminta kepada majelis hakim untuk memeriksa pembukuan debitor tetapi diabaikan. Putusan hakim hanya didasarkan atas bukti-bukti yang diajukan oleh debitor.101

c. Gijzeling ditiadakan

Meskipun Faillissmentsverodening mengatur tentang lembaga paksa badan, namun dalam prakteknya hal ini tidak dilaksanakan oleh pengadilan. Lembaga paksa badan ini selama masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda selalu dilaksanakan oleh Pengadilan. Namun setelah kemerdekaan lembaga paksa badan ini tidak dilaksanakan. Hal ini didasarkan oleh keluarnya Surat Edaran No. 2 Tahun 1964, tanggal 22 Januari 1964, No. 82/P/374/M/1964, tentang “penghapusan sandera (Gijzeling)” dan Surat EdaranNo. 04 Tahun 1975, tanggal 1 Desember 1975, No. M.A.Pemb/1020/75, tentang “sandera (Gijzeling)” yang melarang untuk melaksanakan lembaga paksa badan. Larangan ini didasarkan pertimbangan bahwa lembaga tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Hal ini jelas sangat merugikan kepentingan kreditor.bahkan hakim mengabulkan permohonan pailit yang diajukan debitor, meskipun debitor tidak


(54)

pernah hadir di persidangan. Hal ini terjadi dalam perkara Ponimin alias Amin V. Tjong Kim Siong alias Asiong, dkk, No4/Pdt/Failit/1993/PN.Medan. Putusan hakim atas permohonan pailit dalam perkara jelas memihak kepentingan debitor. Hakim tetap mengabulkan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor meskipun diketahui debitor melarikan diri. Apalagi pembelaan hakim terlihat dalam pertimbangan hukumnya yang menyebutkan “selain itu, ketidakhadiran debitor dipersidangan, karena debitor telah diadukan kepada kepolisian sehingga dicari oleh pihak yang berwajib”. Hakim juga seharusnya melindungi kepentingan kreditor.102

2. Kelemahan UU No. 4 Tahun 1998 a. Pengertian utang tidak komprehensif

Kelemahan dari UUK adalah tidak memberikan defenisi yang jelas tentang pengertian “utang” sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (1) UUK. Ketiadaan defenisi utang ini memberikan peluang bagi kreditor untuk dapat memperoleh tagihannya kepada debitor dengan mempergunakan hukum kepailitan. Hal ini terlihat pada kecenderungan dunia usaha untuk mengkonstruksikan sengketa-sengketa niaga yang berkaitan dengan kepailitan dan PKPU, bukan lagi sebagai wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, melainkan dipaksa mendalilkannya dengan utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, yang kemudian diajukan proses pailit.103

102 Ibid, hal 48.


(55)

Bervariasinya kegiatan pelaku usaha juga mempengaruhi jenis utang yang dilakukan oleh debitor. Dari permohonan-permohonan kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga diketahui bahwa jenis utang bukan hanya dilakukan dalam bentuk utang pokok dan bunganya tetapi lebih luas dan bervariasi. Utang dapat juga diartikan sebagai tidak dilakukannya penyerahan tanah yang sudah dibayar lunas.104 Tidak adanya defenisi utang dan batasan mengenai jumlah minimum utang untuk mengajukan permohonan pailit memunculkan suatu perdebatan. Akibatnya dalam praktek pengertian utang diartikan secara sempit dan luas. Pengertian utang bukan hanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK, tetapi berkembang ke arah yang lebih luas. Hakim memberikan penafsiran utang yang berbeda di Pengadilan Niaga maupun pada tingkat kasasi. Perdebatan pengertian utang pada awalnya muncul pada perkara antara PT. Modernland Realty Vs. Drs. Husein Sani dan Johan Subekti No. 07/Pailit/1998/PN. Niaga Jakpus jo. 03 K/N/1998 jo. 06 PK/N/1999.

Majelis hakim Pengadilan Niaga Berpendapat :

“Meskipun permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit tidak berdasarkan pada utang yang timbul dari konstruksi hukum pinjam-meminjam utang, melainkan berdasarkan utang yang timbul dari perjanjian pengikatan jual-beli rumah susun antara pemohon pailit selaku pembeli dengan PT. Modern Land Realty selaku penjual, namun termohon, yaitu PT. Modern Land Realty belum mengembalikan utang pembayaran yang telah diterima dari pembeli yaitu dari para pemohon pailit, maka termohon pailit, yaitu PT. Modern Land Realty harus dinyatakan telah mempunyai utang kepada masing-maing pemohon pailit (utang dalam arti luas)”.105

104 Ibid, hal 56.


(56)

Sedangkan dalam kasasi, Majelis Hakim Agung berpendapat :

“Pemakaian utang secara luas yang dilakukan oleh majelis hakim pengadilan Niaga jelas bertentangan dengan pengertian utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-unang No. 4 Tahun 1998 tebntang kepailitan. Pengertian utang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUKtersebut tidak bolweh terlepas dari konteksnya baha pengertuian utang yang dimaksud dalam UUK ini harus diartikan dalam konteks pemikiran konsiderans tentang maksud diterbitkannya UU No. 4 Tahun 1998 dan tidak dapat dilepaskan kaitan itu daripadanya yang pada dasarnya menekankan pinjaman-pinjaman swasta sehingga dengan demikian pengertian utang tidak meliputi bentuk wanprestasi lain yang tidak berawal pada kontruksi hukum pinjam-meminjam uang. (makna utang secara sempit)”.106

Pendapat dari Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus Modernland Realty telah tepat dalam menerapkan pengertian utang (dalam secara luas). Hanya saja pendapat hakim Pengadlan Niaga tersebut ditolak/dibtalkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya. Tindakan ini menunjukkan bahwa Hakim Mahkamah Agung pun tidak punya keseragaman pengertian utang dalam UUK. Sebab, dalam putusan Mahkamah Agung sebelumnya, Mahkamah Agung selalu menerapkan pemahaman utang dalam arti luas.

b. Pembuktian secara sederhana

Pasal 6 ayat (3) UUK menyatakan bahwa :

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUK telah terpenuhi”.


(57)

Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 ayat (3) mensyaratkan pembuktian sederhana dalam menentukan dikabulkan atau tidaknya suatu permohonan kepailitan. Namun UUK tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai bagaimana pembuktian sederhana ini dilakukan dalam memeriksa permohonan pailit, kecuali menyatakan bahwa pembuktian sederhana adalah pembuktian sumir pada umumnya.

Menurut Subekti, membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.107

Pada dasarnya, esensi pembuktian adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya terjadi antara para pihak yang berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hal yang didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. Beban pembuktian diletakkan pada pihak yang menyatakannya, maka pihak yang tidak menyangkal dianggap memberikan pengakuan terhadap dalil tersebut. Pondasi dari beban pembuktian adalah keseimbangan kepentingan para pihak yang seyogianya dijaga oleh hakim.

UUK tidak menjawab sejauh mana batasan pembuktian sederhana tersebut. Tidak ada defenisi serta batasan yang jelas yang dapat menjadi pegangan apa yang dimaksud dengan pembuktian sederhana. Sejauh mana hakim menentukan dapat membuktikan secara sederhana atau tidak bila terdapat sanggahan terhadap bukti yang diajukan atau

107 Aria Suyudi, Aryanto Nodroho, Herni Sri Nurbayanti, Kepailitan di Negeri Pailit : Analisis Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta :TIM Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2003), hal 147.


(1)

H. DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ali, Chaidir, Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982.

Arifin, Muhammad, Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kritis atas Teori-teori Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Asra, Kontroversi Pailitnya Debitor Solven, Pascasarjana UI, Jakarta, 2003.

Aweng, Henry Lie, Tinjauan Pasal demi Pasal Fv (Faillissmentsverodening S. 1905 No. 217 jo. S. 1906 No 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UUNo. 4 Tahun 1998, Medan, 2001.

Fuady, Munir, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Hanitijo, Soemitro Ronny, Metodologi Penemuan Hukum, Ghalian Indonesia, Jakarta, 1982.

Hartono, Siti Soemarti, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Seksi Hukum Dagang Fak. Hukum, Yogyakarta, 1981.

Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima : Hukum Kepailitan atau Kepailitan Hukum, Kompas, Jakarta, 2003.

Khairandy, Ridwan, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasarjana UI, Jakarta , 2003.


(2)

Lontoh, Rudy A, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU, Alumni, Bandung, 2001.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, Raja Grafindo Press, Jakarta, 2003.

Nasution, Bismar dan Sunarmi, Hukum Kepailitan di Indonesia, Program MKn Pasca USU, Medan, 2007.

Nating, Imran, Peran dan Tanggung jawab Kuratordalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Posner, Richard, Economic Analiysis of Law, Little, Brown and Company ,Fourth

Edition, Boston, 1992.

Rajagukguk, Erman (ed), Peranan hukum dalam Pembangunan ekonomi, Pascasarjana UI, Jakarta, 2000.

Situmorang, Victor M dan Hendri Soekarso, Pegantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Syahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002. ___________________, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissmentsverordening jo.

Undang-undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2003.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatu tinjauan singkat,Raja Garindo Persada, Jakarta, 1995.


(3)

Sulaiman, Robintan dan Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, PT. Deltacitra Grafindo, Karawaci, 2000.

Sunarmi, Tinjauan Kritis terhadap Undang-undang : Menuju Hukum Kepailitan yang Melindungi Kepentingan Krditor dan Debitor, Disertasi Sekolah Pascasarjana, USU Medan, 2005.

Suriasumantri Jujun S, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1999.

Suyudi, Aria DKK, Kepailitan di Negeri Pailit : Analisis Hukum Kepailitan Indonesia, TIM PSHK, Jakarta, 2003.

Thomson, JAK, Harmondsworth, Penguin Books Ltd, Middlesex, England, 1970. Tirtaatmadjaja, M. H, Pokok-pokok Hukum Perniagan, Djambatan, Jakarta, 1970, Tomasic, Roman, Australian Corporate Insolvency, Butterworth, Sydney, 1993. Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Kepailitan Seri Hukum Bisnis, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2002.

Yunita, Sugiastuti Natasya, Tradisi Hukum China : Negara dan Masyarakat, Studi mengenai Peristiwa-peristiwa Hukum di Pulau Jawa Zaman Kolonial (1870-1942), Pascasarjana UI, Jakarta, 2003.


(4)

MAKALAH

Muljadi, Kartini, “Perubahan pada Faillissmentsverordening dan Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Kepailitan menjadi UU” makalah dalam seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia, Jakarta 23 Juli 2003.

Djohansah, J, “Hukum Asuransi yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Hukum Kepailitan Nasional”, makalah yang disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tekhnis Fungsional Peningkatan Profesionalisme Bagi Hukum Pengadilan Niaga, Tanggal 17-21 Juni 2001, di Jakarta.

Juwana, Hikmahanto, “Hukum sebagai Instrumen Politik : Intervensi atas kedaulatan dalam proses Legislasi di Indonesia”, makalah yang disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies Natalies fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ke-50, Tanggal 12 Januari 2004.

Nasution Bismar, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum” (Pada “Makalah Akreditasi” Fakultas Hukum USU, tanggan 18 Februari 2003).

Perdamaian, Surya, “Syarat-syarat Pengajuan Kepailitan dan Kelemahan Hukum Acara Kepailitan dalam Prakek Pengadilan Niaga”, makalah yang disampaikan dalam acara Forum Diskusi Tanggal 12 Oktober 2001


(5)

Pradjoto, “RUU Kepailitan ditinjau dari Aspek Perbankan”, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, Jakarta 27-28 Juli 1999,

Setiawan, “Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga”, (Jakarta : Mahkamah Agung RI, 1998), hal 59, dikutip dari Varia Peradilan, IKAHI-Mari Jakarta, No. 156 September 1998.

Simanjuntak, Ricardo, “relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis Vol 22 No. 4 Tahun 2003.

Syahdeini, Sutan Remy, “Undang-undang Kepailitan : Dalam Perspektif Hukum, Politik, dan Ekonomi”, Makalah yang disajikan pada tanggal 7 Mei 2003 di Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Subekti R dan Tjitrosudibyo R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

---, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Undang-undang Kepailitan, Paramita, Jakarta, 1985.

Republik Indonesia, Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UU No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998, Nomor 87.


(6)

Republik Indonesia, Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Fokus Media, Bandung, 2005, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 131.

INTERNET

Manan, Bagir, Ketua MA Prihatin banyak Proses Kepailitan yang disalahgunakan, Http://www.hukum online.com, diakses tanggal 15 Juni 2007. Kepailitan di Indonesia, Suatu Pengantar, Http://www.SolusiHukum.com, diakses 9