Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Umum Dalam Hukum Kepailitan
DAFTAR PUSTAKA Buku
Ali, H. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Asikin, Zainal, 2002, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta.
Bahsan, M, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Fuady, Munir, 1999, Hukum Pailit, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Hamzah, Andi, 2010, Asas-asas hukum pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 2009, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta. , 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika.
Hartono, Sri Rejeki, 2010, Paramita Prananingtyas, dan Fahima, Kamus Hukum Ekonomi, Ghalia Indonesia, Bogor.
Natadimaja, Harumiati, 2009, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Hutagalung, Sophar Maru, 2012, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta.
Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta. Nasir, Muhammad, 2005, Hukum Acara Perdata, Djambatan, Jakarta.
Nasution, Bismar, 2007, Hukum Kegiatan Ekonomi I, BooksTerrace & Library, Bandung.
Nating, Imran, 2004, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta, RajaGrafindo Persada.
Putong, Iskandar, 2005, Teori Ekonomi Mikro, Mitra Wacana Media, Jakarta. Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta. Silondae, Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas, 2012, Pokok-pokok Hukum Bisnis,
(2)
Siregar, Tampil Anshari, 2005, Metode Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan.
Soejono dan H. Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Soeparmono, R, 2006, Masalah Sita Jaminan (C.B.) dalam Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, Bandung.
Sunarmi, 2010, Hukum Kepailitan, Sofmedia, Jakarta.
Suyuthi, Wildan, 2004, Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, PT. Tatanusa, Jakarta.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, 2004, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Rajawali Press, Jakarta.
Widjaja, Gunawan, 2005, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Wignjosumarto, Parwoto, 2003, Hukum Kepailitan Selayang Pandang: Himpunan Makalah, PT. Tatanusa, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Jurnal
Effendi, Mohammad, 2007, Implikasi Penyitaan Barang-barang Milik Negara dan Konsekuensi Hukumnya, UNISIA, Vo. XXX No.66 Desember 2007. Wijayanta, Tata, 2010, Urgensi Pembentukan Pengadilan Niaga Baru, Mimbar
(3)
Internet
Diani, Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya dalam Era Globalisasi,
Haris, Albert. Masalah Penyitaan dan Benda Sit
Hukum-on, Pengertian Supremasi Hukum dan Penegakkan Hukum
Hukum Online.Prokontra Sita Pidana VS Sita Umum
Paili
Munirah, Aswanto, dan Nurfaidah Said, Kedudukan Hukum Kreditor Pemegang Hak Tanggungan terhadap Objek Jaminan yang Dirampas oleh Negara
dalam Tindak Pidana Korupsi,
Rahmadewi, Maria Regina Fika, Penyelesian Utang Debitor Terhadap Kreditor
melalai Kepailitan,
S, Uray Yanice N., Kepailitan Badan Milik Negara (Analisis Kasus Putusan Niaga
No.24/Pailit/1998/Niaga/Jkt.Pst)
Setiarto, Yulius, Hak Eksekutorial Kreditor Separatis,
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System),
Wasito, Budi Wasito, Evaluasi Demi Penyempurnaan Konstitusi,
(4)
BAB III
HUKUM KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A. Pengertian, Dasar Hukum, Asas dan Fungsi Hukum Kepailitan
Sebagai catatan perlu diketahui bahwa peraturan kepailitan sudah dikenal oleh bangsa Indonesia mulai sejak Pemerintahan penjajahan Belanda. Pengaturan mengenai kepailitan pada awalnya diatur dalam 2 (dua) sumber hukum, yaitu:
1. Buku III KUH Dagang dengan judul “van de voorzieningen in geval van onvermogen van de kooplieden”, yang diatur dari Pasal 749-910 KUH Dagang, berlaku bagi para pedagang (kooplieden).
2. Titel VII dari Buku III Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang berjudul
“van de toestand van kennelijk onvermogen”, yang diatur dari Pasal 899-915 Rv, berlaku untuk pedagang (niet kooplieden).
Adanya dua peraturan diatas yang membedakan antara kooplieden dan niet kooplieden ternyata banyak menimbulkan kesulitan dan tidak disukai oleh para sarjana hukum waktu itu antara lain Prof. Mollengraf. Pemerintah Belanda bermaksud untuk meniadakan pemisahan hukum tersebut dengan menciptakan satu hukum bagi seluruh rakyat Belanda.Akhirnya Prof. Mollengraaf ditugaskan oleh pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-Undang Kepailitan dan berhasil pada tahun 1887. Rancangan tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang dengan namaFaillisementwet dan mulai berlaku pada 1 September 1896 (Lembaran Negara Tahun 1893 No.140). Faillisementwet ini sekaligus mencabut Buku III WvK dan Buku III titel 8 Wetboek van
(5)
Rechtsvordering dan berati juga tidak dapat lagi perbedaan antara hukum yang berlaku bagi kooplieden dan niet kooplieden.40
Bahwa krisis moneter yang melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional.Dimana pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan.Perpu tersebut tidak mencabut Faillisementwet dan hanya menambahnya saja.
Kemudian pada tanggal 9 September 1998 dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang, ditingkatkan Perpu No. 1 Tahun 1998 menjadi undang-undang. Dengan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
Faillisementwet tetap diberlakukan setelah Indonesia merdeka bersama dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Lima tahun kemudian pemeritah bersama-sama dengan DPR menerbitkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berlaku sampai sekarang.
Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris.Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran.Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le faille.Di dalam bahasa
40
(6)
Belanda dipergunakan istilah faillite yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat.Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure.
Di Negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”.Terhadap perusahaan-perusahaan debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan “insolvency”.41
Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt is the state or condition of person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”42
Dari pengertian yang diberikan Black Law’s Dictionary tersebut, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.Ketidakmampuan membayar tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan.Maksud pengajuan pailit tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitor.Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor.Keadaan ini kemudian diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit
41
Ibid, hal. 23.
42
Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, dalam Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 83.
(7)
oleh hakim pengadilan, baik putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.43
Dalam Kamus Hukum Ekonomi, Kepailitan adalah sita umum atas kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur di dalam undang-undang.44
Mengenai defenisi kepailitan itu sendiri, tidak ditemukan dalam faillisement verordening maupun dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.Dalam pasal 1 ayat (1) Faillisement Verordening hanya menjelaskan bahwa “setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditor) dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.”
Dari rumusan pasal 1 ayat (1) Faillisement Verordening di atas, dapat diketahui bahwa agar Debitor dapat dinyatakan pailit, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Terdapat keadaan berhenti membayar, yakni bila seorang debitor sudah tidak mampu atau tidak mau lagi membayar utang-utangnya;
2. Harus terdapat lebih dari seorang kreditor; dan
3. Salah seorang dari mereka itu piutangnya sudah dapat ditagih.
Pengertian dari “keadaan berhenti membayar” ini tidak dijumpai perumusannya baik dalam Undang-Undang, yurisprudensi, maupun pendapat para sarjana.Hanya ada pedoman umum yang disetujui oleh para pengarang, yaitu
43
Ibid, hal. 83-84.
44
(8)
untuk pernyataan kepailitan tidak perlu ditunjukkan bahwa debitor tidak mampu untuk membayar utangnya, dan tidak diperdulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau tidak mau membayar.45
Dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998, pengertian “pailit” tercermin dalam Pasal 1 ayat (1) yang menentukan:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya”.
Perubahan redaksi dari berhenti membayar menjadi tidak membayar terjadi karena pada masa krisis moneter sesungguhnya debitor Indonesia dalam keadaan tidak mampu membayar utang, tetapi karena pada saat itu mereka kekurangan dana segar. Asset masih jauh lebih besar dibandingkan dengan utangnya.Apabila dapat dijual tentu debitur Indonesia masih dapat membayar utang.Permasalahannya adalah bahwa ketika asset itu dijual dan tidak ada yang membeli disebabkan krisis perekonomian di Indonesia berada dalam masa krisis sehingga terjadi kesulitan keuangan.
Apabila konsep berhenti membayar tetap dipertahankan dalam redaksi Pasal 1 Fv, maka akan sulit bagi kreditor untuk mempailitkan perusahaan-perusahaan di Indonesia karena asset masih jauh lebih besar dari utang. Akhirnya konsep “berhenti membayar” ini diubah menjadi “tidak membayar”.46
Setelah keluarnya Undang-Undang No.37 Tahun 2004, pengertian pailit dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan :
45
H.F.A Vollmar, De Faillissementsweet, dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Sofmedia, Jakarta, 2010, hal. 27
46
(9)
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Dari defenisi tersebut dapat dijelaskan, bahwa dikatakan sebagai sita umum karena sita yang dilaksanakan bukan untuk kepentingan seseorang atau beberapa orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur.Hal ini untuk mencegah penyitaan atau eksekusi yang dilaksanakan secara perorangan.
Secara singkat esensi kepailitan dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu debitur dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. Berkaitan dengan digunakannya istilah “sita umum” perlu dijelaskan, karena sita tersebut bukan untuk kepentingan seorang atau beberapa orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata lain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara Perorangan.47
Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 berikut ini :
“Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”
47
(10)
Namun terdapat beberapa benda yang di luar budel pailit, artinya tidak termasuk yang disita, yaitu :
1. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
2. segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
3. uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.48
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah:
1. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan
48
Pasal 22 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(11)
yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Ada beberapa fungsi perlu dikeluarkannya Hukum Kepailitan yaitu : a. Untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu
yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor.
b. Untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang
(12)
milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
Menurut Rudhi Prasetyo lembaga kepailitan berfungsi untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak kreditor yang memaksa dengan berbagai cara agar debitor membayar utang.49Dengan adanya lembaga kepailitan ini debitor dapat dengan tenang, tertib dan adil membayar utang-utangnya, yaitu dengan dilakukannnya penjualan atas harta pailit yang ada yakni harta kekayaan debitor yang tersisa.Kemudian membagi hasil penjualan harta pailit tersebut kepada kreditur yang telah diperiksa sebagai kreditur yang sah masing-masing sesuai dengan hak preferensinya dan proporsional dengan hak tagihnya dibandingkan dengan besarnya hak tagihan kreditur kongkuren lainnnya.
49
Maria Regina Fika Rahmadewi, Penyelesian Utang Debitor Terhadap Kreditor melalai
Kepailitan, diakses
(13)
B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit terhadap Harta Kekayaan Debitor
Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. “Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 terhitung sejak putusan pernyataan pailit diucapkan pukul 00.00 waktu setempat.
Bila sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan, transfer tersebut wajib diteruskan. Demikian pula bila sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan Transaksi Efek di Bursa Efek maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.50
Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, maka semua perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit.51
Selanjutnya, selama berlangsungnya kepailitan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap Debitor Pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.52
50
Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sedangkan
51
Pasal 25 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
52
Pasal 27 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(14)
tuntutan hukum di Pengadilan yang diajukan terhadap Debitor sejauh bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan, gugur demi hukum dengan diucapkan putusan pernyataan pailit terhadap Debitor.
1. Akibat kepailitan terhadap
perjanjian-perjanjian
a. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal
balik
Terhadap perjanjian yang melahirkan perikatan, berdasarkan para pihak yang menerima prestasi yang dilakukan, dapat digolongkan ke dalam perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.53
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana diuraikan di atas, baik yang disepakati bersama ataupun yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut maka perjanjian berakhir
Terhadap perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan Debitor dapat meminta kepada Kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator dan pihak tersebut.Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu sebagaimana tersebut tidak tercapai, Hakim Pengawas menetapkan jangka waktu tersebut.
53
Dalam KUH Perdata dipakai istilah “Cuma-cuma” untuk perjanjian sepihak dan “dengan beban” untuk perjanjian timbal balik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1314 ayat (1) KUH Perdata.
(15)
dan pihak tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren. Sebaliknya jika Kurator menyatakan kesanggupannya maka Kurator wajib memberi jaminan atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian tersebut.54
Terhadap perjanjian yang hanya dapat dilaksanakan oleh debitor sendiri, putusan pernyataan pailit mengakibatkan hapusnya perikatan demi hukum. Pihak kreditor demi hukum pula menduduki posisi yang sama sebagai kreditor konkuren terhadap harta pailit. Dalam hal yang demikian, kurator tidak memiliki kewenangan untuk mengambil alih maupun melakukan suatu perbuatan yang baik secara eksplisit, menyatakan kehendaknya untuk tetap atau tidak melanjutkan perjanjian tersebut.55
Undang-Undang Kepailitan juga memberikan hak kepada pihak kreditor dan/atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan untuk memintakan permohonan pembatalan atas perbuatan-perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, yang bersifat merugikan, baik harta pailit secara keseluruhan maupun terhadap kreditor konkuren tertentu.Hal yang penting untuk ditekankan di sini adalah bahwa perjanjian atau perbuatan hukum tersebut bersifat dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum. Hal ini harus kita kembalikan kepada prinsip dasar dari
54
Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
55
(16)
sahnya suatu perjanjian, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata jo. 1338 KUH Perdata dan Pasal 1341 KUH Perdata.Ini berarti perjanjian dan atau perbuatan hukum yang dapat dibatalkan adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat kecakapan dan ketiadaan kesepakatan, serta perjanjian yang tidak diwajibkan yang dibuat tidak dengan itikad baik yang merugikan kepentingan kreditor.56
b. Perjanjian penyerahan barang
Perjanjian timbal balik untuk menyerahkan benda dagangan yang biasa diperdagangkan, dimana penyerahan barang tersebut akan dilaksanakan pada suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit, dan dalam hal pihak lawan dirugikan karena penghapusan maka yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Selanjutnya, jika dengan berakhirnya perikatan tersebut harta pailit dirugikan, maka pihak lawan wajib membayar ganti kerugian tersebut.57
c. Perjanjian kerja
Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan
56
Ibid, hal. 90.
57
Pasal 37 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(17)
mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.58Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja, Kurator tetap berpedoman pada peraturan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan. Sedangkan yang dimaksud dengan "upah" adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atas suatu pekerjaan atas jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.59
Terkait dengan kedudukan pekerja, Menurut Joseph E. Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul, hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip.Pertama, peran utama kepailitan dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi perusahaan.Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan.Kedua, meskipun tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan
58
Pasal 39 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
59
Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(18)
ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature. Ketiga, Hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja.Ketentuan kepailitan memang telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji buruh yang terutang.Akan tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya.Disamping itu juga perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk.Singkat kata, kepailitan adalah ultimum remedium, upaya terakhir.60
d. Perjanjian pembayaran utang
Jika sebelum putusan pailit dijatuhkan, debitor telah melakukan pembayaran utangnya kepada kreditor tertentu, maka pembayaran utang tersebut dapat dibatalkan apabila:
60
Uray Yanice Neysa S., Kepailitan Badan Milik Negara (Analisis Kasus Putusan Niaga No.24/Pailit/1998/Niaga/Jkt.Pst)
(19)
1) Dapat dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit debitor sudah didaftarkan.
2) Pembayaran tersebut merupakan persengkongkolan antara debitor Antara debitor dan kreditor dengan maksud untuk menguntungkan bagi kreditor tersebut melebihi kreditor-kreditor lainnya.61
Ketentuan pembayaran utang dalam Pasal 45 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ini berbeda dengan action paulina, karena dalam
action paulina, yang hanya dapat dibatalkan adalah perbuatan yang tidak diwajibkan undang-undang. Sedangkan utang seperti yang dimaksud dalam Pasal 45 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ini adalah perbuatan yang diwajibkan udang-undang.
e. Terhadap penjualan surat berharga
Pembayaran yang telah diterima oleh pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk yang karena hubungan hukum dengan pemegang terdahulu wajib menerima pembayaran, pembayaran tersebut tidak dapat diminta kembali. Oleh karena pembayaran tidak dapat diminta kembali, orang yang mendapat keuntungan sebagai akibat diterbitkannya surat pengganti atau surat atas tunjuk, wajib mengembalikan kepada harta pailit jumlah uang yang telah dibayar oleh Debitor apabila:
61
Pasal 45 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(20)
1) dapat dibuktikan bahwa pada waktu penerbitan surat tersebut yang bersangkutan mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit Debitor sudah didaftarkan; atau
2) penerbitan surat tersebut merupakan akibat dari persekongkolan antara Debitor dan pemegang pertama.62
f. Pembayaran kepada debitor pailit akibat perikatan
Setiap orang yang sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan tetapi belum diumumkan, membayar kepada Debitor Pailit untuk memenuhi perikatan yang terbit sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dibebaskan terhadap harta pailit sejauh tidak dibuktikan bahwa yang bersangkutan mengetahui adanya putusan pernyataan pailit tersebut. Pembayaran yang dilakukan sesudah putusan pernyataan pailit diumumkan, tidak membebaskan terhadap harta pailit kecuali apabila yang melakukan dapat membuktikan bahwa pengumuman putusan pernyataan pailit yang dilakukan menurut undang-undang tidak mungkin diketahui di tempat tinggalnya.Pembayaran yang dilakukan kepada Debitor Pailit, membebaskan Debitornya terhadap harta pailit, jika pembayaran itu menguntungkan harta pailit.63
g. Perjumpaan utang
62
Pasal 46 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
63
Pasal 50 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(21)
Salah satu alasan hapusnya perikatan adalah karena adanya perjumpaan utang.64
“Perjumpaan hanya terjadi antara dua utang yang dua-duanya berpokok sejumlah utang, atau sejumlah barang-barang yang dapat dihabiskan dan jenis yang sama, dan yang dua-duanya dapat diselesaikan dan ditagih seketika. . .”
Dalam rumusan Pasal 1425 KUH Perdata jo. Pasal 1426 KUH Perdata dikatakan bahwa jika antara dua orang (pihak) saling berutang maka terjadilah perjumpaan utang diantara mereka, yang menghapuskan utang-utang yang ada di antara mereka, pada saat itu secara timbal balik untuk suatu jumlah yang sama. Pasal 1427 KUH Perdata menyebutkan bahwa:
Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan terjadinya perjumpaan utang pihak yang ditanggungnya dengan kreditur utang tersebut.Namun demikian perjumpaan hanya dapat dilakukan antara masing-masing pihak yang secara langsung memiliki utang terhadap lainnya.Seseorang tidak diperbolehkan memperjumpakan utang miliknya dengan piutang pihak ketiga, meskipun utang terebut merupakan utang yang lahir dari suatu perikatan tanggung menanggung, dan pihak ketiga yang memiliki piutang adalah pihak dalam perikatan tanggung menanggung tersebut. Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada, bertimbal balik
64
(22)
untuk jumlah yang sama.65Bahkan semua penundaan pembayaran kepada seseorang tidak menghalangi suatu perjumpaan utang.66
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 juga mengenal adanya sistem perjumpaan utang yang dimuat di dalam Pasal 51 ayat (1). Dalam rumusan tersebut, secara tegas dikatakan bahwa:
“Setiap orang yang mempunyai utang atau piutang terhadap Debitor Pailit, dapat memohon diadakan perjumpaan utang, apabila utang atau piutang tersebut diterbitkan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, atau akibat perbuatan yang dilakukannya dengan Debitor Pailit sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.”
Dari rumusan tersebut dapat kita ketahui esensi pokok dari setiap perjumpaan utang dalam rangka pemberesan harta pailit adalah bahwa utang dan piutang yang aka diperjumpakan haruslah telah ada sebelum pernyataan pailit diputusan.
Setiap orang yang telah mengambil alih suatu utang atau piutang dari pihak ketiga sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, tidak dapat memohon diadakan perjumpaan utang, apabila sewaktu pengambilalihan utang atau piutang tersebut, yang bersangkutan tidak beritikad baik.Sedangkan semua utang piutang yang diambil alih setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, tidak dapat diperjumpakan.67
65
Pasal 1426 Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata
66
Pasal 1428 Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata
67
Pasal 52 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(23)
Bagi mereka yang mempunyai utang kepada Debitor Pailit, yang hendak menjumpakan utangnya dengan suatu piutang atas tunjuk atau piutang atas pengganti, wajib membuktikan bahwa pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan, orang tersebut dengan itikad baik sudah menjadi pemilik surat atas tunjuk atau surat atas pengganti tersebut.68 h. Terhadap sekutu debitor pailit.
Setiap orang yang dengan Debitor Pailit berada dalam suatu persekutuan yang karena atau selama kepailitan dibubarkan, berhak untuk mengurangi bagian dari keuntungannya yang pada waktu pembagian diadakan jatuh kepada Debitor Pailit, dengan kewajiban Debitor Pailit untuk membayar utang persekutuan.69
i. Hak retensi
Kreditor yang mempunyai hak untuk menahan benda milik Debitor, tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan pailit.70Hak untuk menahan atas benda milik Debitor berlangsung sampai utangnya dilunasi.71
68
Pasal 53 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Ketentuan ini tidak memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi kebendaan tersebut sebagaimana halnya seorang kreditur untuk mengeksekusi dengan jaminan preferens, namun demikian jika kurator bermaksud untuk “menebus”
69
Pasal 54 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
70
Pasal 61 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
71
Penjelasan Pasal 61 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(24)
kebendaan tersebut, maka kurator wajib melunasi utang debitor pailit tersebut terlebih dahulu.72
2. Akibat kepailitan terhadap warisan yang terbuka
Undang-undang memberikan ketentuan khusus atas segala warisan yang jatuh kepada debitur pailit selama kepailitan berlangsung.Kurator oleh undang-undang tidak diperkenankan untuk menerima warisan tersebut, kecuali apabila menguntungkan harta pailit.Jika kurator bermaksud untuk menolak warisan, maka kurator memerlukan kuasa dari Hakim Pengawas.73
3. Akibat kepailitan terhadap suami atau isteri
Pernyataan pailit bukan saja berkaitan dengan diri debitor pailit saja, tetapi juga berpengaruh pada diri suami atau istri. Pasal 23 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa “Debitor Pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari Debitor Pailit”.Konsekuensi dari pasal tersebut adalah suami atau istri yang kawin dengan persatuan harta artinya seluruh harta suami atau istri yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita umum dalam kepailitan dan otomatis masuk ke dalam boedel pailit.
Ketentuan ini dapat dikecualikan terhadap benda-benda sebagaimana yang ditentukan di dalam Pasal 62 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yaitu:
72
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Rajawali Press, Jakarta, 2004, hal. 45.
73
Pasal 40 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(25)
1) Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit maka istri atau suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
2) Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil penjualan tersebut.
3) Untuk tagihan yang bersifat pribadi terhadap istri atau suami maka Kreditor terhadap harta pailit adalah suami atau istri.
Istri atau suami tidak berhak menuntut atas keuntungan yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan kepada harta pailit suami atau istri yang dinyatakan pailit, demikian juga Kreditor suami atau istri yang dinyatakan pailit tidak berhak menuntut keuntungan yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan kepada istri atau suami yangdinyatakan pailit.74
Kepailitan suami atau istri yang kawin dalam suatu persatuan harta, diperlakukan sebagai kepailitan persatuan harta tersebut. Dengan tidak mengurangi pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, maka kepailitan tersebut meliputi semua benda yang termasuk dalam persatuan, sedangkan kepailitan tersebut adalah untuk
74
Pasal 62 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(26)
kepentingan semua Kreditor, yang berhak meminta pembayaran dari harta persatuan. Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit mempunyai benda yang tidak termasuk persatuan harta maka benda tersebut termasuk harta pailit, akan tetapi hanya dapat digunakan untuk membayar utang pribadi suami atau istri yang dinyatakan pailit.75
C. Hak Eksekutorial Kreditor Separatis dalam Hukum Kepailitan
Kegiatan pinjam-meminjam barang merupakan suatu kegiatan yang sudah lazim dilakukan oleh masyarakat untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomian dan untuk meningkatkan taraf hidup.Ketika terjadi wanprestasi dalam pengembalian uang pinjaman, maka disinilah perlunya peranan hukum jaminan. Dalam hukum positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang, antara lain mengenai prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan, objek jaminan utang, penanggungan utang dan sebagainya. Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut:76
1. Kedudukan harta pihak peminjam
Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya
75
Pasal 64 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
76
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 9-12.
(27)
merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjm, baik yng berupa harta bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang piutang pihak peminjam.
Ketentuan pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut lunas pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya dikemudin hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak menuntut pelunasan utng dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.
2. Kedudukan pihak pemberi pinjaman
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan yaitu:
a. Kreditor yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing; dan
b. Pihak yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.
(28)
Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan. Pihak pemberi pinjaman mempunyai kedudukan didahulukan lazim disebut kreditor separatis dan kreditor preferen sedangkan pinjaman yang mempunyai hak berimbang disebut kreditor konkuren.
Mengenai alasan yang sah untuk didahulukan sebagaimana yang tercantum pada bagian akhir ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata adalah berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan, antara lain berdasarkan ketentuan yang ditetapkan Pasal 1133 KUH Perdata, yaitu dalam hal jaminan utang diikat melalui lembaga gadai atau hipotik. Kedudukan kreditor yang didahulukan juga ditetapkan oleh ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan dan ketentuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia. Pemegang hak tanggungan dan pemegang jaminan fidusia mempunyai hak didahulukan dari kreditor lainnya untuk memperoleh pelunasan piutangnya dari hasil pencarian (penjualan) jaminan utang yang diikat dengan hak tanggungan atau jaminan fidusia.
3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman.
(29)
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang demikian diatur oleh Pasal 1154 KUH Perdata tentang Gadai, Pasal 1178 KUH Perdata tentang Hipotik. Larangan yang sama terdapat pula dalam ketentuaan peraturan perundang-undangan lain, yaitu pada Pasal 12 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan dan Pasal 33 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 mengenai Jaminan Fidusia.
Larangan bagi pihak pemberi pinjaman untuk memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga jaminan tersebut tetunya akan melindungi kepentingan pihak peminjam dan pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang secara serta merta menjadi pemilik objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janjji. Ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas tentunya akan dapat mencegah tindakan sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan pihak peminjam.
Harmonisasi hukum jaminan terhadap hukum kepailitan juga perlu dilakukan.Oleh karena itu semua ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam hukum jaminan berlaku juga di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sebagaimana yang diatur di dalam hukum jaminan yang membagi kreditor ke dalam 3 golongan, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 juga mengenal hal
(30)
tersebut. Golongan kreditor yang dikenal di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yaitu:77
•Golongan Khusus (Separatis) yaitu golongan yang memegang hak hipotik, hak gadai, hak tanggungan, dan hak fidusia.
•Golongan istimewa (Privilege/Preferen) yaitu golongan kreditur yang kedudukan utangnya mempunyai kedudukan yang istimewa dengan memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan lebih dahulu dari hasil penjualan lelang harta pailit. Golongan yang dimaksud diatur di dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata.78
•Golongan konkuren yaitu kreditur-kreditur yang tidak termasuk dalam golongan khusus/istimewa. Pelunasan piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan/pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan istimewa.
Terhadap kreditur separatis ini diberikan hak mendahulu kepada kreditor, pemegang hak jaminan kebendaan tersebut, untuk memperoleh pelunasan atas utang-utang debitor, dengan cara menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan kepada kreditor tersebut untuk memperoleh pelunasan secara mendahulukan. Pemegang hak dapat melaksanakan haknya sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 1178 KUH Perdata, yaitu menjual benda jaminan.
77
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang.
78
Penjelasan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang.
(31)
Ketentuan di atas juga berlaku di dalam Pasal 55 ayat (1) jo. Pasal 61 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang mengakui adanya hak mendahulukan dari kreditor separatis.
Pasal 55
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”
Pasal 61
“Kreditor yang mempunyai hak untuk menahan benda milik Debitor, tidak kehilangan hak karena ada putusan pernyataan pailit.”
Walaupun demikian, ketentuan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menyatakan “dalam hal penagihan suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dan Pasal 137 maka mereka hanya dapat berbuat demikian setelah dicocokkan penagihannya dan hanya untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui dari penagihan tersebut.”
Frasa “seolah-olah tidak terjadi kepailitan”, tidak berarti bahwa benda yang diikat dengan jaminan kebendaan tertentu menjadi kebal dari kepailitan
(“Bankrupcty Proof”).Benda tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit, namun kewenangan eksekusinya diberikan kepada kreditor pemegang jaminan kebendaan tersebut.Inilah dasar hubungan hukum antara hukum kepailitan dan hukum jaminan.79
79
Yulius Setiarto, Hak Eksekutorial Kreditor Separatis,
(32)
Hak mendahulukan dari kreditur separatis bukan secara otomatis mengizinkan mereka mengeksekusi benda-benda yang dijaminkan, melainkan kepada kreditur separatis diberikan waktu tunggu.Hak eksekusi kreditur separatis tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilah puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.Penangguhan tidak berlaku terhadap tagihan Kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak Kreditor untuk memperjumpakan utang.80
Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan ini bertujuan, antara lain:
− untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau
− untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau
− untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara penangguhan (stay) dalam kepailitan dengan (stay) dalam PKPU yaitu:
1. Dalam kepailitan, lamanya penangguhan ini adalah 90 (Sembilan puluh) hari sejak kepailitan ditetapkan, sedangkan dalam PKPU, lamanya penangguan itu adalah 270 (dua ratus tujuh puluh) hari;
2. Dalam kepailitan yang ditangguhkan eksekusinya adalah hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, kecuali tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utang. Sedangkan dalam PKPU, yang ditangguhkan eksekusinya adalah kreditor yang memegang agunan sebagaimana yang disebut di dalam Pasal 5
80
Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang.
(33)
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, namun tidak ada pengecualian terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditor untuk memperjumpakan utangnya.
3. Dalam PKPU tidak ditangguhkan eksekusi oleh pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor yang pailit atau kurator, walaupun hal ini termasuk dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undanng No. 37 Tahun 2004.
4. Dalam kepailitan, kreditor yang mempunyai hak untuk didahulukan tidak ditunda eksekusinya, sedangkan dalam PKPU, hak kreditor tersebut ditunda eksekusinya.81
Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan.82
Selama jangka waktu penangguhan, Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga.
Perlindungan dimaksud, antara lain, dapat berupa:
1. ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;
81
Sunarmi, Op. Cit., hal. 118.
82
Penjelasan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang.
(34)
2. hasil penjualan bersih;
3. hak kebendaan pengganti; atau
4. imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud tersebut berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut.Apabila Kurator menolak permohonan tersebut, kreditor atau pihak ketiga dapat mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas. Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah permohonan sebagaimana dimaksud di atas, wajib memerintahkan Kurator untuk segera memanggil dengan surat tercatat atau melalui kurir, Kreditor dan pihak ketiga datang untuk didengar pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah permohonan diajukan kepada Hakim Pengawas.
Dalam memutuskan permohonan, Hakim Pengawas mempertimbangkan: 1. lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah berlangsung; 2. perlindungan kepentingan Kreditor dan pihak ketiga dimaksud; 3. kemungkinan terjadinya perdamaian;
(35)
4. dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan manajemen usaha Debitor serta pemberesan harta pailit.83
Penetapan Hakim Pengawas atas permohonan untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat penangguhan tersebut dapat berupa diangkatnya penangguhan untuk satu atau lebih Kreditor, dan/atau menetapkan persyaratan tentang lamanya waktu penangguhan, dan/atau tentang satu atau beberapa agunan yang dapat dieksekusi oleh Kreditor.Apabila Hakim Pengawas menolak untuk mengangkat atau mengubah persyaratan penangguhan tersebut, Hakim Pengawas wajib memerintahkan agar Kurator memberikan perlindungan yang dianggap wajar untuk melindungi kepentingan pemohon.
Terhadap penetapan Hakim Pengawas, Kreditor atau pihak ketiga yang mengajukan permohonan atau Kurator dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan diucapkan, dan Pengadilan wajib memutuskan perlawanan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah perlawanan tersebut diterima. Terhadap putusan Pengadilan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum apapun termasuk peninjauan kembali.84
Dengan tetap memperhatikan ketentuan di atas, Kreditor separatis harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi. Setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan, Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk
83
Pasal 58 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
84
Pasal 58 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(36)
selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, tanpa mengurangi hak Kreditor pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut. Setiap waktu Kurator dapat membebaskan benda yang menjadi agunan dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan dan jumlah utang yang dijamin dengan benda agunan tersebut kepada Kreditor yang bersangkutan.85
Kreditor separatis yang melaksanakan haknya, wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator tentang hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya kepada Kurator. Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan yang kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditor separatis, maka Kreditor separatis tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan. Dalam hal hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang.86
D. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit
85
Pasal 59 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
86
Pasal 60 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(37)
Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya.Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.Fred B.G. Tumbuan menyatakan, bahwa melalui sita umum tersebut dihindari dan diakhiri sita dan eksekusi oleh para kreditur secara sendiri-sendiri.87Dengan demikian para kreditur harus bertindak secara bersama-sama (concursus creditorum88
Dengan dinyatakan pailit maka seorang debitur pailit tidak memiliki kewenangan apapun lagi atas seluruh harta kekayaannya baik yang sudah ada maupun yang akan diterimanya selama kepilitan itu berlangsung.
) sesuai dengan asas sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.
Kepailitan itu sendiri mencakup :
1. Seluruh kekayaan si pailit pada saat dia dinyatakan pailit (dengan beberapa pengecualian untuk si pailit perorangan) serta asset-asset yang diperoleh selama kepailitannya.
2. Hilangnya wewenang si pailit untuk mengurus dan mengalihkan hak atas kekayaannya yang termasuk harta kekayaan.89
Seluruh kewenangan debitur pailit untuk mengurus seluruh harta kekayaanya tersebut tersebut selanjutnya beralih kepada kurator. Kurator adalah
87
Fred B.G. Tumbuan, Pokok-pokok Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh PERPU No. 1/1998 , dalam Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004, hal.3.
88
Concursus creditorum diartikan sebagai keberadaan dua atau lebih kreditor yang merupakan syarat bagi kepailitan.
89
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika Serikat (Common Law System), Maret 2014, Pukul 09.30 WIB.
(38)
Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.90
Kurator menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dapat berasal dari balai harta peninggalan atau kurator lainnya. Sementara itu yang dapat menjadi kurator lainnya adalah :
Kurator yang diangkat haruslah independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor.
a.orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan
b. terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usul penggantian Kurator, setelah memanggil dan mendengar Kurator, dan mengangkat Kurator lain dan/atau mengangkat Kurator tambahan atas:
1. permohonan Kurator sendiri;
2. permohonan Kurator lainnya, jika ada; 3. usul Hakim Pengawas; atau
4. permintaan Debitor Pailit.
Pengadilan harus memberhentikan atau mengangkat Kurator atas permohonan atau atas usul kreditor konkuren berdasarkan putusan rapat Kreditor
90
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(39)
yang diselenggarakan dengan persyaratan putusan tersebut diambil berdasarkan suara setuju lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat dan yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah piutang kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.91
Berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, Kurator sejak diangkat sebagai pihak yang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit mempunyai tugas pokok sebagai berikut:
1. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas, Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. (Pasal 15 ayat (4))
2. Kurator wajib mengumumkan putusan kasasi atau peninjauan kembali yang membatalkan putusan pailit dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian. (Pasal 17 ayat (1))
3. Melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima. (Pasal 98)
4. Membuat pencatatan harta pailit paling lambat dua hari setelah menerima surat putusan pengangkatan sebagai kurator. (Pasal 100 ayat (1))
91
Pasal 71 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(40)
5. Membuat daftar yang menyatakan sifat, jumlah piutang dan utang harta pailit, serta nama dan tempat tinggal kreditur beserta jumlah piutang masing-masing kreditur. (Pasal 102)
6. Berdasarkan persetujuan panitia kreditur sementara, kurator dapat melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. (Pasal 104)
7. Menyimpan sendiri uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya kecuali apabila oleh hakim pengawas ditentukan lain. (Pasal 108 ayat (1))
8. Melakukan rapat pencocokan perhitungan (verifikasi) piutang yang diserahkan oleh kreditur dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitur pailit, maupun berunding dengan kreditur jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima. (Pasal 116 ayat (1))
9. Membuat daftar piutang yang sementara diakui sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri. (Pasal 117)
Dalam melaksanakan tugasnya, kurator:
1. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; atau
(41)
2. Dapat melakukan pinjaman dari phak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit.92
3. Kurator harus terlebih dahulu mendapat izin dari Hakim Pengawas untuk menghadap di sidang Pengadilan, kecuali menyangkut sengketa pencocokan piutang atau dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.93
Dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga Kurator perlu membebani harta pailit dengan gadai, Jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya maka pinjaman tersebut harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan Hakim Pengawas. Pembebanan harta pailit dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan, hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang belum dijadikan jaminan utang.
Setelah adanya putusan pernyataan pailit dan dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.94
Setelah harta pailit berada dalam keadaan insolvensi maka Hakim Pengawas dapat mengadakan suatu rapat Kreditor pada hari, jam, dan tempat yang
92
Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
93
Pasal 69 ayat (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
94
Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(42)
ditentukan untuk mendengar mereka seperlunya mengenai cara pemberesan harta pailit.95Apabila Hakim Pengawas berpendapat terdapat cukup uang tunai, Kurator diperintahkan untuk melakukan pembagian kepada Kreditor yang piutangnya telah dicocokkan.96
Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, Kurator atau Kreditor yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya perusahaan Debitor Pailit dilanjutkan.97Usul untuk melanjutkan perusahaan, wajib diterima apabila usul tersebut disetujui oleh Kreditor yang mewakili lebih dari 1/2 (satu perdua) dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara, yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya.98Atas permintaan Kreditor atau Kurator, Hakim Pengawas dapat memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan.99
Keuntungan yang diperoleh dengan diteruskannya perusahaan pailit yaitu: 1. Dapat menambah harta pailit dengan keuntungan-keuntungan yang
mungkin diperoleh dari perusahaan itu;
2. Ada kemungkinan lambat laun si pailit akan dapat membayar utangnya secara penuh;
95
Pasal 187 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
96
Pasal 188 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
97
Pasal 179 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
98
Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
99
Pasal 183 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
(43)
3. Kemungkinan tercapainya perdamaian (akkoord).100
Setelah itu, kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit. Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal penjualan di umum tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin hakim pengawas.
100
(44)
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA UMUM DALAM HUKUM KEPAILITAN
A. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Mengadili Kasus Kepailitan
Perkembangan perekonomian dunia yang bergerak ke arah perdagangan bebas berpengaruh terhadap perubahan sistem di setiap Negara termasuk di dalamnya adalah sistem peradilan.Peradilan juga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ekonomi. Hal ini diungkapkan Hilario G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the Philipines), “Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia global menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan independen.Dalam kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan megikis independensi peradilan itu sendiri.”101
Banyak Negara, khususnya Negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional dalam menghadapi era perdagangan bebas. Kondisi ini ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrument badan peradilan di Negara berkembang, termasuk Indonesia.Resesi ekonomi yang melanda dunia dan banyaknya pelaku usaha yang tidak melunasi utangnya pada tanggal jatuh tempo, telah memperparah keterpurukan ekonomi Indonesia pada tahun 1997. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, maka pada tahun 1998 dibentuk dan diberlakukan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
101
Diani, Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perkembangannya dalam Era Globalisasi, hal. 1, Maret 2014, Pukul 10.00 WIB
(45)
Pengganti Undang No 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan menjadi Undang-Undang-Undang-Undang.
Di samping itu, penyelesaian perkara perniagaan (kepailitan) yang sebelumnya menjadi kewenangan pengadilan negeri dianggap kurang efektif. Hal ini disebabkan juga tidak adanya lagi kepercayaan masyarakat (termasuk di antaranya penanam modal asing) kepada sistem peradilan di Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 1996 menunjukkan banyaknya korupsi dan kurangnya pengetahuan undang-undang (incompetency) di kalangan para hakim pengadilan yang memeriksa perkara perniagaan. Kelemahan ini ditambah pula dengan pengadilan yang tidak cakap dalam memberikan keputusan.Pengadilan negeri yang memeriksa perkara kepailitan pada waktu itu dirasa kurang efektif menyelesaikan perkara kepailitan ketika krisis ekonomi melanda Indonesia.Oleh karena itu, atas usulan dan desakan Dana Keuangan Internasional (IMF) maka dibentuk pengadilan niaga.102
Undang-Undang No.4 Tahun 1998 merupakan embrio lahirnya Pengadilan Niaga di Indonesia. Pengadilan Niaga berasal dari dua kata yaitu “Pengadilan” dan “Niaga”. Pengadilan menurut WJS Poerwodarminto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti Dewan yang mengadili perkara.Karena itu perlu dibedakan dengan Peradilan yang berarti segala sesuatu mengenai perkara Pengadilan.Sehingga karena itu dapat disimpulkan bahwa Pengadilan adalah institusi yang bertugas menerima, memeriksa dan mengadili perkara di
102
Tata Wijayanta, Urgensi Pembentukan Pengadilan Niaga Baru, Mimbar Hukum, Volume 22, Nomor 2, Juni 2010, hal.330-331.
(46)
Pengadilan.Sedangkan peradilan adalah sifat dan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan.Niaga menurut WJS Poerwodarminto diartikan sebagai dagang. Dengan kata lain Pengadilan Niaga dapat disamakan dengan Pengadilan Dagang, tetapi bukan dagang Pengadilan.103
Peradilan menurut ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, terdiri atas:
1. Peradilan Umum (Undang-Undang No. 49 Tahun 2009) 2. Peradilan Agama (Undang-Undang No. 50 Tahun 2009) 3. Peradilan Militer (Undang-Undang No. 31 Tahun 1997)
4. Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang No. 51 Tahun 2009) Pengadilan Niaga tidak termasuk sebagai lembaga peradilan tersendiri berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, tetapi hanya merupakan defensiasi atas Peradilan Umum, sebab berdasarkan ketentuan Pasal 281 Undang No.4 Tahun 1998, untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, demikian apabila ditinjau dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang-Undang-Undang No. 49 Tahun 2009, maka Pengadilan Niaga ini dapatlah dinilai sebagai Badan Peradilan Khusus, sebab pembentukannya berdasarkan Undang yaitu Undang-Undang No.4 Tahun 1998.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, hingga saat ini Pengadilan Niaga berwenang menangani perkara-perkara sebagai berikut:
103
Parwoto Wignjosumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang: Himpunan Makalah, PT. Tatanusa, Jakarta, 2003, hal.209.
(47)
1. Kepailitan dan PKPU, serta hal-hal yang berkaitan dengannya, termasuk kasus-kasus actio pauliana dan prosedur renvoi tanpa memperhatikan apakah pembuktiannya sederhana atau tida
2. Hak kekayaan intelektual:
a. Desain Industri
b. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
c. Pat
d. Mer
e. Hak Cipta
f. Rahasia Dagang (Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang);
g. Perlindungan Varietas Tanaman (Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman).
3. Lembaga Penjamin Simpanan
a. Sengketa dalam proses likuidasi.
b. Tuntutan pembatalan segala perbuatan hukum bank yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban bank, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha.
(48)
Lebih rinci lagi mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini dalam Pasal 300 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 disebutkan bahwa:
1. Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang.
2. Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Dan sebelumnya menurut Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dinyatakan juga bahwa: “Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah.”
Berdasarkan ketentuan pada pasal-pasal di atas, maka ada dua hal penting yang perlu dicermati berkaitan dengan Pengadilan Niaga, yaitu:
1. Pengadilan Niaga ditetapkan berada di lingkungan Pengadilan Umum. 2. Kompetensi Pengadilan Niaga salah satunya adalah memeriksa dan
memutus perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
(49)
Pasal 299 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “Kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum AcaraPerdata.” Selain itu kekhususan Pegadilan Niaga dalam perkara kepailitan adalah: (1) Pengadilan ini tidak mengenal banding, sehingga jika ada pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan upaya hukum dengan cara kasasi ke Mahkamah Agung; (2) Jangka waktu proses pendaftaran, pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada tingkat Pengadilan Niaga diatur secara tegas, yaitu, 60 hari; (3) Jangka waktu Kasasi di Mahkamah Agung adalah selama 60 hari.104
B. Prosedur Pelaksanaan Sita Umum dalam Hukum Kepailitan 1. Syarat-syarat mengajukan pailit
Hal mengenai syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit telah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa untuk mengajukan permohonan pailit terhadap seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:105
a.Debitur yang ingin dipailitkan mempunyai sedikitnya dua utang, artinya mempunyai dua atau lebih kreditur. Oleh karena itu, syarat ini disebut syarat concursus creditorium.
104
Diani, Op. Cit., hal. 4
105
(50)
b. Debitur tidak melunasi sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya. Pengetian Utang menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 adalah kewajiban yang dinyatakanatau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
c.Utang tidak dibayar lunas itu haruslah utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (due/expired and payable). Utang yang telah jatuh tempo adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperpanjang karena percepatan waktu penaghannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Menurut ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata saat jatuh tempo utang adalah :
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentuakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa utang jatuh tempo apabila debitur telah diberikan surat teguran atau debitur lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian.
(51)
2. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit
Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, ditentukan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit yaitu:106
a. Debitor sendiri
Dalam UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Pasl 1 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
Debitor dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri
(Voluntary Petition). Debior memohonkan pailit untuk dirinya sendiri biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap kreditornya. Ketentuan tentang Voluntary Petition dianut oleh banyak negara. Meskipun terdapat suatu kekhawatiran bahwa debitor dapat beritikad buruk dengan mengajukan permohonan pailit sebagai alasan untuk menghindarkan pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya.
b. Satu atau Lebih Kreditor
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 pada Pasal 1 angka (2) memberikan pengertian kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
106
(52)
karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan.
Dalam hukum kepailitan dikenal prinsip Paritas creditorum, artinya bahwa semua kreditor konkuren mempunyai hak yang sama atas pembayaran piutangnya. Hasil kekayaan debitor yang telah dijual akan dibagikan secara seimbang proporsional menurut besarnya piutang mereka masing-masing kecuali apabila diantara para kreditor tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan (Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata). Alasan yang sah untuk didahulukann ini adalah karena kreditor tersebut memiliki hak jaminan kebendaan (secured creditor) atau kreditor tersebut memiliki hak preferensi atau keistimewaan.
Permasalahan yang muncul dalm praktek sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 1998 yang berkaitan dengan krditor permohonan pailit adalah:
1) Kreditor separatis
Apakah kreditor separatis dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya padahal ia memiliki hak istimewa. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1998 yang menentukan setiap kreditor yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atau kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Keadaan ini menimbulkan perdebatan berkaitan dalam kasus-kasus dimana seseorang kreitor searais mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya. Dalam UU No. 3 tahun 2004 dinyatakan khusus mengenai kreditor separatis dan
(53)
kreditor preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pailit tanpa harus kehilangan hak-hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor trmasuk hak-hak dari debitor tersebut untuk didahulukan pembayarannya.
2) Kreditor sindikasi
Permasalahan yang muncul yang berkaitan dengan permohonan pailit yang dajukan oleh kreditor sindikasi adalah siapakah yang berwewang untuk mengajukan permohonan pailit, apakah kreditor secara sendiri-sendiri, kreditor sindikasi secara bersama-sama atau agen sindikasi (Arrenger). Permasalahan ini sebenarnya dapat dijawab melalui perjanjian kredit sindikasi tersebut yang dapat menentukan pihak mana yang berwenang mengajukan permohonan pailit.
3) Perusahaan dalam Likuidasi
Perusahaan dalam likuidasi dapat mengajukan permohonan pailit. Permohonan pailit ini dalakukan dalam rangka melaksanakan tugas likuidasi apabila perusahaan telah dinyatakan bubar, namun masih berada dalam tahap likuidasi. Yang dapat mengjukan permohonan pailit dalam tahap likuidasi ini adalah likuidatornya.
4) Badan Penyehatan Perbankan Nasional
Dari beberapa kasus kepailitan yang melibatkan BPPN sebagai kreditor, secara umum terdapat dua permsalahan pokok yaitu pertama, permasalahan sah atau tidaknya cessie yang mengakibatkan beralihnya kewenangan sebgai kreditor BBPN, dan kedua ialah permasalahan
(54)
mengenai bole tidaknya Bank yang berada dalam proses rekapitulasi BPPN menagjukan permohonan pailit. Sebenarnya ada dua cara yang secara hukum dapat dibenarkan bagi BPPN untuk bertindak sebagai kreditor. Pertama, dengan menggunnakan instrumen cessie dengan membuat terlebih dahulu rechtstitel yang dapat berupa suatu akta jual beli tagihan sehingga BPPN dapat bertindak sebagai kreditor atas nama sendiri. Kedua,dengan bertindak utuh dan atas nama bank dalam penyehatan tanpa perlu melakukan jual beli tagihan ataupun cessie.
c.Kejaksaan
Dalam UU No. 37 Tahun 2004, terdapat kewenangan Kejaksaan dalam kepailitan yaitu:
1) Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004 jo PP No. 17 Tahun 2000, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit demi kepentingan umum.
2) Pasal 10 ayat (1) Undang-Undnag No. 37 Tahun 2004,bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor dalam perkara kepailitan.
3) Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, yang menentukan bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul Hakim Pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih setelah mendengar Hakim pengawas dapat memerintahkan
(55)
supaya debitor pailit ditahan. Baik ditempatkan di rumah tahanan maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas
Kewenangan yang diberikan kejaksaan untuk mengajukan permohonan pailit ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk membantu usaha menyelamatka keuangan dan kekayaan negara.
Kejaksaan dapat mengajukan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum dan syarat untuk pengajuan permohonan pailit telah dipenuhi. Kepentingan umum yang dimaksud disini adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:
1) Debitor melarikan diri;
2) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
3) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;
4) Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;
5) Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
6) dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
(56)
Dalam pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 disebutkan, dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan paili hanya dapat diajukan oleh Bank Inonesia. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini disebutkan, yang dimaksud dengan “bank” adalah bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keunga dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pailit ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait degan ketentuan pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.Badan Pengawas Pasar Modal
Dalam pasal 2 ayat 4 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 disebutkan, dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lmbaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini disebutkan permohonan pailit sebagaimana dimaksud dalam ayat ini hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas`Pasar Modal. Badan PengawasPasar
(57)
Modal juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi-instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan Bank Indonesia terhadap bank.
f.Menteri Keuangan Republik Indonesia
Pasal 2 ayat (5) meyebutkan bahwa dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara kepentingan Publik, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Penjelasan pasal 2 ayat (5) menyebutkn yang dimaksud dengan perusahaan asuransi” adalah perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan ganti kerugian. Kewenangan untuk mengaukan permohonan pernyataan palit bagi perusahaan asuransi dan reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.
Dana Pensiun adalah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Dana Pensiun.Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit bagi Dana Pensiun, sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dana pensiun mengingat dana pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak jumlahnya.Badan Usaha Milik
(1)
4. Dr. Saidin, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. Hasim Purba, S.H. M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. M. Hayat, S.H. Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Sinta Uli, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan bantuan selama penulis mengikuti kuliah.
9. Kedua orang tua penulis, Syahruddin dan Arlinawati yang senantiasa memberikan doa, perhatian, dan dukungan sehingga penulis akhirnya bisa menyelesaikan skripsi ini.
10. Abang penulis Serda Syahrian Kadir Ramadin, adik penulis Syahfitri Saoni dan juga seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan dan doa yang diberikan selama ini.
(2)
11. Kepada orang-orang hebat yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis dalam menjalani kehidupan kampus, Arija Br Ginting, Dwi Susilawati, Solatiah Nasution, Natasha Siregar, Elly Syahfitri Harahap, Wilda Yanthie, Ambar Kusuma, Chairiah Ella Sari, Priawan H.R., M. F. Habibullah, M. Reza Winata, Benni Iskandar, M. Ihsan An Auwali, Dowang Fernando, semoga persahabatan ini tetap terjaga hingga akhir.
12. Kepada ibu peri yang selalu memberikan ilmu dan kasih sayangnya kepada penulis, Kak Windy Sri Wahyuni, Kak Rizky Wirdatul Husna dan Kak Maulida Hadry Sa’adillah.
13. Teman-teman seperjuangan penulis dalam berkompetisi Abangda Sahat Berkat Marbun, Abangda Junitin Nainggolan, Frezi Widianingsih, Rahmat Ramadhan dan Mifta Holis Nasution, terima kasih kepada seluruh pembelajaran yang telah dibagikan kepada penulis.
14. BTM Aladdinsyah, S.H. dan seluruh Kabinet Capucino yang telah menjadi rumah kedua bagi penulis. Terima kasih atas seluruh ilmu dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
15. Meriam Debating Club (MDC) dan seluruh coach serta anggota yang telah memberi kesempatan kesempatan kepada penulis untuk ditempah menjadi seorang debater.
(3)
Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semua pihak yang telah membatu penulis secara langsung ataupun tidak langsung.Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Medan, 14 April 2014 Hormat Saya,
(4)
ABSTRAK Syahariska Dina
M. Hayat, S.H. Sinta Uli, S.H., M.Hum.
Pada prinsipnya penyitaan merupakan suatu tindakan mengambil alih harta kekayaan seseorang yang telah dilegalisasi oleh undang-undang. Salah satu sita yang dikenal dalam bidang hukum perdata adalah sita umum dalam hukum kepailitan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sita umum dalam kepailitan dalam prakteknya sering dihadapkan pada sita pidana.Salah satu kasus dimana terjadi pergesekan antara sita umum dalam kepailitan dengan sita pidana adalah kasus PT. Sinar Central Rejeki.Dimana pada kasus ini terjadi persengketaan antara Bareskrim Polri dengan Kurator PT. Sinar Central Rejeki. Untuk itu dalam skripsi yang berjudul: “Tinjauan Yuridis terhadap Sita Umum dalam Hukum Kepailitan (Studi Kasus Putusan Mahkkamah Agung No. 157 K/Pdt. Sus/2012)” akan mengangkat beberapa permasalahan yaitu bagaimana prosedur pelaksanaan kepailitan dan sita umum, bagaimana penerapan sita dan akibat sita dalam ilmu hukum serta bagaimana sita umum dalam hukum kepailitan ditinjau dari Putusan Mahkamah Agung No. 157 K/Pdt. Sus/2012.
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang bersifat normatif yaitu penelitian yang mencakup asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.Data yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan data sekunder yaitu data data yang diperoleh dari bahan kepustakaan, bukan langsung dari wawancara dan/atau survei di lapangan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.Analisis data yang digunakan peneliti menggunakan tekhnik analisis data kualitatif dengan menarik kesimpulan dari perspektik peneliti berdasarkan data yang tersedia.
Setelah dilakukan kajian yang mendalam, maka dapat dilihat bahwa sita perdata maupun sita pidana memiliki makna yang sama. Namun pada kenyataannya, penerapan sita dalam ilmu hukum khususnya bidang hukum perdata dan pidana memiliki perbedaan yang sangat krusial. Untuk prosedur pelaksanaan sita umum dalam kepailitan sendiri, dapat dilihat di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan apabila terjadi pergesekan antara sita pidana atas sita umum dalam kepailitan, penulis sepakat bahwa untuk Pasal 39 ayat (2) KUHAP harus lebih didahulukan dibandingkan dengan dengan Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Hal ini merujuk pada asas kepentingan hukum publik (pidana) lebih diutamakan dibandingkan dengan hukum privat (perdata).
(5)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 8
D. Manfaat Penulisan ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 12
G. Keaslian Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SITA DALAM HUKUM PERDATA A. Pengertian Sita dalam Hukum Perdata ... 15
B. Tujuan dari Sita dan Jenis-jenis Sita dalam Hukum Perdata ... 20
C. Prinsip-Prinsip Pokok Sita dalam Hukum Perdata... 27
D. Sita Penyesuaian terhadap Barang yang Telah Disita ... 37
BAB III HUKUM KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Pengertian, Dasar Hukum, Asas dan Fungsi Hukum Kepailitan ... 40
B. Akibat Hukum Pernyataan Pailit terhadap Harta Kekayaan Debitor ... 49
(6)
D. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit ... 72
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA UMUM DALAM HUKUM KEPAILITAN
A. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Mengadili Kasus Kepailitan ... 80 B. Prosedur Pelaksanaan Sita Umum dalam Hukum Kepailitan ... 85 C. Penerapan Sita dan Akibat Sita dalam Ilmu Hukum ... 111 D. Sita Umum dalam Hukum Kepailitan (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung No. 157 K/Pdt.Sus/2012) ... 116
BAB V PENUTUP
A. ... Kesi mpulan ... 146 B. ... Sara n ... 147
Daftar Pustaka ... 149