Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Kepailitan Suami/Istri Terhadap Perjanjian Kredit Bank

(1)

TINJAUAN YURIDIS AKIBAT HUKUM KEPAILITAN SUAMI/ISTRI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Oleh :

MELLISA YANWAR NIM 070200245

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT SUAMI/ISTRI TERHADAP JAMINAN KREDIT BANK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

MELLISA YANWAR NIM : 070200245

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh;

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S.H, M.Hum NIP :

197501122005012002

Pembimbing I

Pembimbing II

Ramli Siregar, S.H, M.Hum

Windha, S.H, M.Hum

NIP :195611101985031022 NIP :

197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “TINJAUAN

YURIDIS AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT SUAMI/ISTRI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK”.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Papa ANWAR NIRMALA, yang telah mendidik penulis dan banyak mengajari penulis tentang hidup, dan Mama ENITA, yang telah memberi banyak dukungan dan kesetiaannya dalam menyemangati penulis. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Ibu Windha, S.H.,M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing II yang telah menuntun penulis dengan kesabaran awal sampai akhir pembuatan skripsi yang ini sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

6. Bapak Ramli, S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas dan selaku Dosen Pembimbing I yang banyak memberi masukan-masukan berarti bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7. Bapak dan Ibu Dosen pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang berlimpah kepada penulis sepanjang masa studi penulis di Fakultas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada adik-adik (Hanna, Suwina, Ariyanto), nenek penulis (Enie), paman dan bibi penulis (Paiman dan Taha Sistja) serta segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan doa untuk penulis.

10.Kepada orang-orang yang menjadi bagian dari hidup penulis (Yanti, Jeans, Anas, Santi, Berly, Cur, Etrie, Nora, Fenny, Isuya, Ophie, Lyra, Pepi, Desi) yang selalu memberi dukungan semangat dan doa yang tak pernah habis-habisnya. Dan tak lupa juga kepada teman-teman lainnya yang banyak membantu saya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan baik dari struktur bahasa, maupun teknik penyajiannya, ini semua karena keterbatasan ilmu dan kemampuan yang ada pada


(5)

penulis. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sehat yang bersifat membangun demi kesempurnaan isi skripsi ini, namun demikian penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Medan, 2011


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……… iv

ABSTRAKSI ……… vi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 9

D. Keaslian Penulisan 11

E. Tinjauan Kepustakaan 11

F. Metode Penelitian 22

G. Sistematika Penulisan 24

BAB II : PERJANJIAN KREDIT DALAM PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK

A. Pengertian Perjanjian Kredit dan Dasar Hukumny 26

B. Para Pihak dalam Perjanjian Kredit 37

C. Isi dari Perjanjian Pemberian Kredit 53

BAB III : AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT SUAMI/ISTRI

A. Pernyataan Pailit Suami/Istri 60 B. Harta Kekayaan Suami/Istri dalam Kepailitan 64


(7)

C. Akibat Pernyataan Pailit Suami/Istri 69

BAB IV : AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT SUAMI ISTRI ATAS PERJANJIAN KREDIT BANK

A. Macam-Macam Kreditor 81

B. Kedudukan Bank sebagai Kreditor Separatis Pemegang Hak Jaminan menurut Undang-Undang Nomor 37 tahun

2004 88 C. Tanggung Jawab Suami / Istri sebagai Debitor dalam Perjanjian

Kredit Bank 93

D. Penyelesaian Kredit Bank oleh Debitor Pailit 104

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 110

B. Saran 111


(8)

TINJAUAN YURIDIS AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT SUAMI/ISTRI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK

Ramli Siregar, S.H,M.Hum ∗ Windha, S.H, M.Hum∗∗

Mellisa Yanwar∗∗∗

Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU ∗∗ Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU ∗∗∗ Mahasiswa

ABSTRAKSI

Dalam kehidupan, baik perorangan ataupun suatu badan hukum adakalanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai keperluan dan kegiatannya. Untuk dapat mencukupi kekurangan uang tersebut, uang atau perusahaan dapat antara lain melakukannya dengan meminjam uang yang dibutuhkan itu dari pihak lain. Bank merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Bank sebagai pemberi kredit memerlukan agunan atau jaminan. Jaminan tersebut merupakan segala kekayaan debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari. Pailit adalah keadaan dimana Debitor tidak mampu membayarkan utangnya kepada Kreditor. Dengan dinyatakannya pailit suami/istri memberi dampak terhadap kedua pihak yang terikat dalam perkawinan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini, permasalahan yang dibahas adalah mengenai bagaimana pengaturan perjanjian kredit dalam perjanjian kredit bank, bagaimana akibat hukum pernyataan pailit suami/istri dan bagaimanakah akibat pailit suami/istri tersebut terhadap perjanjian kredit bank.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library research) yakni penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku, literatur-literatur yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

Akibat hukum putusan pailit suami/istri sama dengan akibat hukum dari adanya suatu putusan pernyataan pailit yang diatur dalam UU Kepailitan yang pada dasarnya adalah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, hanya saja kekhususannya terletak pada adanya harta bersama jika suami/istri yang merupakan Debitor Pailit menikah dalam persatuan harta. Akibatnya terhadap perjanjian kredit bank, karena bank merupakan kreditor pemegang hak jaminan maka bank dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan dengan tetap memperhatikan ketentuan untuk menangguhkan hak eksekusi paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pilit diucapkan.


(9)

TINJAUAN YURIDIS AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT SUAMI/ISTRI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK

Ramli Siregar, S.H,M.Hum ∗ Windha, S.H, M.Hum∗∗

Mellisa Yanwar∗∗∗

Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU ∗∗ Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU ∗∗∗ Mahasiswa

ABSTRAKSI

Dalam kehidupan, baik perorangan ataupun suatu badan hukum adakalanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai keperluan dan kegiatannya. Untuk dapat mencukupi kekurangan uang tersebut, uang atau perusahaan dapat antara lain melakukannya dengan meminjam uang yang dibutuhkan itu dari pihak lain. Bank merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Bank sebagai pemberi kredit memerlukan agunan atau jaminan. Jaminan tersebut merupakan segala kekayaan debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari. Pailit adalah keadaan dimana Debitor tidak mampu membayarkan utangnya kepada Kreditor. Dengan dinyatakannya pailit suami/istri memberi dampak terhadap kedua pihak yang terikat dalam perkawinan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini, permasalahan yang dibahas adalah mengenai bagaimana pengaturan perjanjian kredit dalam perjanjian kredit bank, bagaimana akibat hukum pernyataan pailit suami/istri dan bagaimanakah akibat pailit suami/istri tersebut terhadap perjanjian kredit bank.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library research) yakni penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku, literatur-literatur yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

Akibat hukum putusan pailit suami/istri sama dengan akibat hukum dari adanya suatu putusan pernyataan pailit yang diatur dalam UU Kepailitan yang pada dasarnya adalah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, hanya saja kekhususannya terletak pada adanya harta bersama jika suami/istri yang merupakan Debitor Pailit menikah dalam persatuan harta. Akibatnya terhadap perjanjian kredit bank, karena bank merupakan kreditor pemegang hak jaminan maka bank dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan dengan tetap memperhatikan ketentuan untuk menangguhkan hak eksekusi paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pilit diucapkan.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Selain hak dan kewajiban suami isteri, dalam suatu perkawinan juga terdapat kedudukan suami isteri yang secara garis besar adalah sama, baik Kerjasama yang baik antara suami dan isteri dalam hal menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak sangat diperlukan dalam mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan. Hak adalah sesuatu yang seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi kewajibannya, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk mendapatkan hak. Suami isteri wajib saling setia dan mencintai, hormat-menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Dalam hubungan suami isteri maka suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, hal ini tidak berarti suami boleh bertindak bebas tanpa memperdulikan hak-hak isteri. Apabila hal ini terjadi maka isteri berhak untuk mengabaikannaya.

1


(11)

kedudukannya sebagai manusia maupun dalam kedudukannya dalam fungsi keluarga. Tujuan dari pasal tersebut adalah agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga diantara suami isteri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina dan membentuk keturunan.2

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa untuk dapat menciptakan sebuah keluarga yang harmonis diharapkan bagi suami isteri untuk menelaah lebih dalam dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari hari makna dari sebuah perkawinan, termasuk hak dan kewajiban suami isteri. Dengan adanya ikatan perkawinan yang sah maka diharapkan terbentuk lembaga rumah tangga atau keluarga yang akan menjadi titik tolak tercapainya kebahagiaan, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua perkawinan berjalan dengan baik dan timbul masalah yang diantaranya adalah mengenai harta bersama.3

Perkawinan merupakan ikatan sosial atau ikatan

pribadi yang membentuk biasanya intim dan seksual.Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara membent cukup uang untuk membiayai keperluan atau kegiatannya. Untuk dapat mencukupi kekurangan uang tersebut, suami/istri dapat melakukan pinjaman

2

Komar Andasasmita, Notaris III – Hukum Harta Perkawinan dan Waris menurut

Undang-Undang Hukum Perdata (Teori dan Praktek), (Bandung : Sumur Bandung, 1992), hal.

36.

3

Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, HukumKewarisan, Hukum Acara Peradilan


(12)

kepada pihak lain. Memang tersedia sumber-sumber dana bagi seseorang atau badan hukum yang ingin memperoleh pinjaman. Dari sumber-sumber dana itulah kekurangan dana dapat diperoleh.

Apabila seserang atau suatu badan hukum memperoleh pinjaman dari pihak lain (orang lain atau badan hukum), maka pihak yang memperoleh pinjaman itu disebut Debitor sedangkan pihak yang memberikan pinajaman itu disebut Kreditor. Pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh Kreditor dapat berupa :

1. Kredit dari bank, kredit dari perusahaan selain bank, atau pinjaman dari orang perorangan (pribadi) berdasarkan perjanjian kredit atau perjanjian meminjam uang

2. Surat-surat utang jangka pendek (sampai dengan 1 tahun), seperti misalnya

commercial paper yang pada umumnya berjangka waktu tidak lebih dari 270

hari.

3. Surat-surat utang jangka menengah (lebih dari 1 tahun sampai dengan 3 tahun) 4. Surat-surat utang jangka panjang (di atas 3 tahun), antara lain berupa obligasi

yang dijual melalui pasar modal atau dijual melalui direct placement.

Pada dasarnya pemberian kredit oleh Kreditor kepada Debitor dilakukan karena Kreditor percaya bahwa Debitor akan mengembalikan pinjamannya itu pada waktunya. Dengan demikian faktor pertama yang menjadi pertimbangan bagi Kreditor adalah kemauan baik dari Debitor untuk mengembalikan utangnya. Tanpa adanya kepercayaan (trust) dari Kreditor kepada Debitor tersebut, maka niscayalah Kredtor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman tersebut. Karena


(13)

itulah mengapa pinjaman dari seorang Kreditor kepada Debitor disebut kredit (credit) yang berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan atau trust.

Untuk memantapkan keyakinan Kreditor bahwa Debitor akan secara nyata mengembalikan pinjamanya setelah jangka waktu pinjaman sampai, maka hukum memberlakukan beberapa asas. Salah satu asas tersebut menyangkut jaminan.4

Dalam penjanjian hutang-piutang, jaminan atau agunan adalah peminjam yang dijanjikan kepada pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. Jika peminja pinjaman dapat memiliki agunan tersebut. Dala sering menjadi faktor penting untuk meningkatkan nilai kredit perseorangan ataupun perusahaan. Bahkan dalam perjanjia satu-satunya faktor yang dinilai dalam menentukan besarnya pinjaman.

Keberadaan jaminan kredit merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana jaminan adalah sarana perlindungna bagi keamanan Kreditor yaitu kepastian hukum akan pelunasan hutang Debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oeh Debitor atau oleh penjamin Debitor.5

4

Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto

Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 5-7.

5

Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang

Melekat Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Hosrisontal, (Bandung : PT.

Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 23.

Pemberian jaminan kebendaan selalu menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang (si pemberi jaminan) dan menyediakan guna pemenuhan kewajiban (pembaaran hutang) seorang Debitor, sedangkan jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara si pemberi piutang


(14)

(Kreditor) dengan seorang ketiga, yang menjmin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (Debitor).6

Dari pengertian bankrupt yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas, diketahui bahwa pengertian “pailit” dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang Debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk Istilah “pailit”dijumpai dalam pembendaharaan bahasa Belanda, Prancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Prancism istilah “failite” artinya pemogola atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le Failili. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillite yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure. Di Negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah, “bankrupt” dan bankruptcy. Terhadap perusahaan-perusahaan Debitor yang berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan “insolvency”.

Sedangkan pengertian Kepailitan adalah segala sesuatu yang menyangkut peristiwa pailit. Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau “Bankrupt” adalah

“the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation,

multicipality who is unable to pay it’s debt as the are, become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has bed adjudged a bankrupt”.

6

R.Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia


(15)

tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan proses pengajuan ke Pengadilan, baik atas permintaan Debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya.

Selanjutnya, pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang Debitor. Putusan tentang pailitnya Debitor haruslah berdasarkan Putusan Pengadilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga yang diberikan kewenangan untuk meNo.lak atau menerima permohonan tentang ketidakmampuan Debitor. Putusan pengadilan ini diperlukan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga perihal ketidakmampuan seorang Debitor itu akan dapat diketahui oleh umum. Seorang Debitor tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada Putusan Pailit dari pengadilan yg berkekuatan hukum tetap.7

Dalam Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa harta kekayaan Debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada

Dalam hal suami atau istri dinyatakan pailit, istri atau suaminya berhak mengambil kembali semua kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh suami atau istri dan harganya belum dibayaar atau hasil penjualan belum tercampur dalam harta pailit maka istri dan suami berhak mengambil kembali uang hasi penjualan tersebut (Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan).

7


(16)

maupun yang aka nada dikemudian hari, menjadi agunan utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan dari utang itu. Dalam hal Debitor yang dimaksud adalah suami istri maka sesuai dengan hukum perkawinan bagi mereka yang tunduk pada KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) mengenal asas bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlaku pencampuran atau persatuan , harta kekayaan antara suami dan istri, sepanjang tidak diperjanjian lain dalam suatu perjanjian antara suami dan istri (Pasal 119 (1) KUHPerdata). Sepanjang perkawinan, persatuan harta kekayaan itu tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan perjanjian diantara suami dan istri (Pasal 119 (2) dan Pasal 186 ayat (2) KUHPerdata). Persatuan harta kekayaan itu hanya dapat diubah dengan keputusahn hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (1) KUHPerdata. Menurut ketentuan Pasal 186 ayat (1) KUHPerdata, tuntutan tersebut hanya dapat diajukan oleh istri dan hanya apabila suami telah melakukan atau bersikap sebagai berikut :

1.Jika suami karena kelakuannya yang nyata-nyata tidak baik yang telah memboroskan harta kekayaan persatuan dan karena itu telah menghadapkan segenap anggota keluarganya kepada bahaya keruntuhan.

2.Jika karena tidak tertibnya atau cara suami mengurus harta kekayaan tersebut tidak baik dan sebagai akibatnya tidak ada lagi jaminan bagi harta kawin (harta bawaan) istri dan bagi segala hak istri, atau jika karena kelalaian besar dari suaminya dalam mengurs harta kawin istri maka harta kawin istri itu dalam keadaan bahaya.


(17)

Menurut ketentuan Pasal 139 KUHPerdata, dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami-istri berhak melakukan penyimpangan terhadap ketentuan undang-undang yang menyangkut persatuan harta kekayaan (penyimpangan terhadap Pasal 119 KUHPerdata) sepanjang, perjanjian itu tidak menyalahi kesusilaan, ketertiban umum dan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal-Pasal selanjutnya yang menyangkut perjanjian kawin.

Berkaitan dengan hal tersebut yaitu dimana kekuasaan suami atas harta bersama adalah sangat luas, maka hukum positif memberikan perlindungan hukum yang berupa peletakan sita jaminan terhadap harta bersama jika dikhawatirkan pihak suami melakukan kecurangan, seperti mengalihkan sebagian besar harta bersama kepada pihak ketiga dengan maksud ketika perceraian telah terjadi, harta bersama yang di dapat pihak yang melakukan kecurangan tersebut akan lebih banyak dari yang seharusnya. Sita jaminan terhadap harta bersama tersebut dikenal dengan istilah sita marital yang dapat diletakkan atas harta yang diperoleh baik masing-masing atau suami isteri secara bersama-sama selama ikatan perkawinan berlangsung disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.8

B. Perumusan Masalah

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Putusan

Pernyataan Pailit Suami/Istri Terhadap Perjanjian Kredit Bank.”

8


(18)

Adapun yang merupakan permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan perjanjian kredit dalam pemberian kredit oleh bank? 2. Bagaimanakah akibat hukum putusan pernyataan pailit suami/istri?

3. Bagaimanakah akibat hukum putusan pailit suami/istri atas perjanjian kredit bank?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengaturan perjanjian kredit dalam pemberian kredit oleh bank yang berlaku di Indonesia

b. Untuk mengetahui akibat hukum putusan pernyataan pailit suami/istri.

c. Untuk mengetahui akibat hukum putusan pailit suami/istri atas perjanjian kredit bank.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum kepailitan, khususnya mengenai aspek hukum perjanjian kredit bank pada suami atau istri sebagai dasar permohonan kepailitan.

b. Secara Praktis


(19)

suami atau istri.

2) Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengertian dan pemahaman tentang kewajiban Debitor pailit terhadap bank sebagai Kreditor pailit.

Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkakan pemgetahuan dan kemahaman mengenai hukum jaminan pada umumnya dan hukum kepailitan terhadap suami/istri serta kedudukan Bank sebagai pemegang jaminan kebendaan pada perjanjian kredit pada lembaga jaminan dan apabila Debitor dalam keadaan pailit.

D. Keaslian Penulisan

Pengajuan judul yang disebutkan diatas telah melalui tahap penelusuran pada data pustaka di lingkuangan Universitas Sumatera Utara dan perolehan informasi bahwa belum adanya pengangkatan judul yang diajukan oleh peneliti yaitu tentang Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit

Suami/Istri Terhadap Perjanjian Kredit Bank.

Dari penelurusan yang dilakukan, baik judul, perumusan masalah tidak sama dengan penelitian ini. Maka dapat dikatakan bahwa penelitian skripsi ini adalah asli dan secara keilmuan akademik dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang Debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh


(20)

pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan Debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta Debitor dapat dibagikan kepada para Kreditor sesuai dengan peraturan pemerintah.9

Pengertian pailit jika ditinjau dari segi istilah, dapat dilihat dalam perbendaharan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasa Perancis, istilah faillite artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran sehingga orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar disebut lefailli. Dalam bahasa Belanda untuk arti yang sama dengan bahasa Perancis juga digunakan istilah faillite, sedangkan di dalam bahasa Inggris dikenal istilah to fail dan dalam bahasa Latin dipergunakan istilah

fallire.10

Berdasarkan pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary, dapat dilihat pengertian kepailitan dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar“ dari seorang Debitor atas hutang-hutangnya yang jatuh tempo. Ketidakmampuan ini harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik secara sukarela oleh Debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga melalui permohonan pernyataan pailit ke pengadilan.11

Kepailitan adalah suatu lembaga hukum perdata Eropa sebagai asas realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1131 KUHPerdata disebutkan bahwa semua benda bergerak dan tidak bergerak

9

Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 64.

10

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 72.

11


(21)

dari seorang Debitor, baik yang sekarang ada maupun yang akan diperolehnya bertanggung jawab atas perikatan pribadinya. Sedangkan Pasal 1132 KUHPerdata menyebutkan benda-benda itu dimaksudkan sebagai jaminan bagi para Kreditornya bersama-sama dan hasil penjualan benda-benda itu akan dibagi diantara mereka secara seimbang, menurut imbangan/perbandingan tagihan-tagihan mereka, kecuali bilamana diantara para Kreditor terdapat alasan-alasan pendahulu yang sah.

Berdasarkan uraian kedua Pasal tersebut, maka dapat dilihat bahwa tujuan kepailitan sebenarnya adalah suatu usaha bersama baik oleh Debitor maupun Kreditor untuk mendapatkan pembayaran bagi semua Kreditor secara adil dan proporsional.12

Dalam hal seorang Debitor hanya mempunyai satu Kreditor dan Debitor tidak membayar utangnya dengan suka rela, maka Kreditor akan menggugat Debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta Debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kredit tersebut. Hasil bersih eksekusi harta Debitor dipakai untuk membayar kredit tersebut. Sebaliknya dalam hal Debitor mempunyai banyak Kreditor dan harta kekayaan Debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua Kreditor, maka para Kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.13

Kreditor yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta Debitor sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan

12

Ibid, hal.34.

13


(22)

merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut dengan UUKPKPU), yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang dipaparkan di atas.14

Dari sudut sejarah hukum, UUKPKPU pada mulanya bertujuan untuk melindungi para Kreditor dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar. Dalam perkembangannya kemudian, UUKPKPU juga bertujuan untuk melindungi Debitor dengan memberikan cara untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.15

Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para Kreditor atas kekayaan Debitor oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh Kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan Debitor dapat dibagikan kepada semua Kreditor sesuai dengan hak masing-masing.16

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila Debitor dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:

14

Ibid, hal. 67.

15

Sidharta Gautama. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 71.

16


(23)

Pertama, kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada Kreditor

bahwa Debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua Kreditor.17

Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan

kepada Debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh Kreditor-Kreditornya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.18

Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh Debitor terhadap Kreditor-Kreditornya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun hubungan kedua Pasal tersebut adalah sebagai berikut: Bahwa kekayaan Debitor (Pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua Kreditornya (Pasal 1132) secara proporsional, kecuali Kreditor dengan hak mendahului (hak Preferens).

Adapun syarat-syarat dari kepailitan terdapat dalam undang-undang kepailitan, persyaratan untuk dapat dipailitkan sungguh sangat sederhana. Pasal 1 ayat (1) UUKPKPU, menentukan bahwa yang dapat dipailitkan adalah Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih Kreditornya.

17

Ibid, hal. 73

18


(24)

Dari paparan di atas, maka telah jelas, bahwa untuk bisa dinyatakan pailit, Debitor harus telah memenuhi dua syarat yaitu: memiliki minimal dua Kreditor; tidak membayar minimal satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kreditor yang tidak dibayar tersebut, kemudian dapat dan sah secara hukum untuk mempailitkan Kreditor, tanpa melihat jumlah piutangnya.19

Undang-Undang Kepailitan, sekali lagi memang sangat mempermudah

proses kepailitan.20

19

Ibid, hal.76.

20

Jerry Hoff, Terjemahan Kartini Muljadi, Undang-undang Kepailitan di Indonesia, (Jakarta : Tatatanusa, 2000), hal. 68.

Sebagai contoh, Pasal 6 ayat (3) UUKPKPU menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah terpenuhi.

Bunyi pasal di atas dengan tegas menyatakan bahwa Hakim harus mengabulkan, bukan dapat mengabulkan, jika telah terbukti secara sederhana. Yang dimaksud terbukti secara sederhana adalah Kreditor dapat membuktikan bahwa Debitor berutang kepadanya dan belum dibayarkan oleh Debitor kepadanya padahal telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Kemudian Kreditor tersebut dapat membuktikan di depan pengadilan, bahwa Debitor mempunyai Kreditor lain selain dirinya. Jika menurut hakim apa yang disampaikan Kreditor atau kuasanya benar, tanpa melihat besar kecilnya jumlah tagihan Kreditor, maka hakim harus mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan oleh Kreditor tersebut.


(25)

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 memberikan perlindungan hukum kepada Kreditor untuk mengajukan permohonan melakukan sita jaminan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 berikut ini :21

1. Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk :

a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor; atau

b. Menunjuk Kurator sementara untuk mengawasi : 1) Pengelolaan usaha Debitor; dan

2) Pembayaran kepada Kreditor, pengalihan atau pengangunan kekayaan Debitor yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator;

2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikabulkan, apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan Kreditor.

3. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikabulkan, Pengadilan dapat menerapkan syarat agar Kreditor pemohon memberikan jaminan yang dianggap wajar oleh Pengadilan.

Upaya pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini bersifat preventif dan sementara, dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan bagi Debitor melakukan tindakan terhadap kekayaannya, sehingga dapat merugikan


(26)

kepentingan kredtior dalam rangka pelunasan utangnya. Namun demikian, untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan Debitor dan Kreditor, Pengadilan dapat mempersyaratkan agar kredtor memberikan jaminan dalam jumlah yang wajar apabila upaya pengamanan tersebut dikabulkan. Dalam menetapkan persyaratan tentang uang jaminan atas keselurahan kekayaan Debitor, jenis kekayaan Debitor dan besarnya uang jaminan yang harus diberikan sebanding dengan kemungkinan besarnya kerugian yang diderita oleh Debitor apabila permohonan pernyatan pailit ditolak oleh Pengadilan.

Menurut UUKPKPU, yang dapat menjadi Kurator adalah :22

1. Perorangan atau Persekutuan Perdata yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau membereskan harta pailit; dan

2. Telah terdaftar pada Departemen Kehakiman

Kurator yang diangkat itu harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor.

Pasal 23 Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit, maka yang pailit tersebut termasuk juga isteri atau suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan Pasal ini membawa konsekuensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan. Suami atau isteri yang kawin atas persatuan harta artinya bahwa seluruh harta isteri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk ke dalam boedel pailit.

22


(27)

Masyarakat pada umumnya telah mengetahui bahwa bank itu adalah tempat menabung, menyimpan uang ataupun meminjam uang bagi masyarakat yang membutuhkan. Berikut akan disampaikan dua definisi bank, sebagai berikut: 1. Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10

Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) menyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

2. Menurut Prof. G.M. Verryn Stuart mendefinisikan: Bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat pembayarannya sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dariorang lain maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat penukar baru berupa uang giral.

3. Somary berpendapat bahwa bank adalah suatu badan yang berfungsi sebagai pengambil dan pemberi kredit, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bank merupakan tempat penyimpanan uang, pemberi atau penyalur kredit dan juga perantara dalam lalu lintas pembayaran

Fungsi perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun, penyalur dan pelayan jasa dalam lalulintas pembayaran dan peredaran uang di masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekoNo.mi dan stabilitas nasional ke arah


(28)

peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Secara ringkas fungsi bank dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

1. Penghimpun dana Untuk menjalankan fungsinya sebagai penghimpun dana maka bank memiliki beberapa sumber yang secara garis besar ada tiga sumber, yaitu:

a. Dana yang bersumber dari bank sendiri yang berupa setoran modal waktu pendirian.

b. Dana yang berasal dari masyarakat luas yang dikumpulkan melalui usaha perbankan seperti usaha simpanan giro, deposito dan tabanas.

c. Dana yang bersumber dari Lembaga Keuangan yang diperoleh dari pinjaman dana yang berupa Kredit Likuiditas dan Call Money (dana yang sewaktu-waktu dapat ditarik oleh bank yang meminjam)

2. Penyalur/pemberi Kredit Bank dalam kegiatannya tidak hanya menyimpan dana yang diperoleh, akan tetapi untuk pemanfaatannya bank menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang memerlukan dana segar untuk usaha. Tentunya dalam pelaksanaan fungsi ini diharapkan bank akan mendapatkan sumber pendapatan berupa bagi hasil atau dalam bentuk pengenaan bunga kredit. Pemberian kredit akan menimbulkan resiko, oleh sebab itu pemberiannya harus benar-benar teliti dan memenuhi persyaratan.


(29)

3. Penyalur dana Dana-dana yang terkumpul oleh bank disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit, pembelian surat-surat berharga, penyertaan, pemilikan harta tetap.

4. Pelayan Jasa Bank dalam mengemban tugas sebagai “pelayan lalu-lintas pembayaran uang” melakukan berbagai aktivitas kegiatan antara lain pengiriman uang, inkaso, cek wisata, kartu kredit dan pelayanan lainnya.

Tujuan Perbankan di Indonesia diatur dalam Pasal 4 UU Perbankan, “Perbankan Indonesia bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka menigkatkan pemerataan, pertumbuhan ekoNo.mi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”.Jenis-jenis Perbankan di Indonesia diatur dalam Pasal 5 UU Perbankan, Pasal 5 ayat (1), berbunyi:

1. Bank Umum, adalah bank yang dapat memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2. Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang menerima simpanan dalam bentuk deposito berjangka dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.Pasal 5 ayat (2):

“Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu”.


(30)

Kredit merupakan tulang punggung pembangunan di bidang ekoNo.mi.23 Itu berarti perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi dan lain sebagainya. Perkreditan juga memberikan perlindungan kepada golongan ekoNo.mi lemah dalam pengembangan usahanya.24 Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil kredit sudah merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis.25

23

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Jakarta: alumni,2006), hal.1.

24

Ibid, hal. 97.

25 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Jaminan dan Kepailitan, (Jakarta :Makalah Pembanding dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, 2000), hal.97.

Untuk melepaskan dunia bisnis dari kaitannya dengan pinjaman kredit Bank sangatlah sulit. Namun bagi perbankan, setiap kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung risiko. Oleh karena itu, bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankan dilakukan dalam pengikatan jaminan.

Dalam perjanjian kredit Bank dengan nasabah (individu atau badan hukum) diperlukan pengamanan yang seluruhnya tertuang dalam isi dari perjanjian kredit tersebut. Untuk suami/istri yang terikat dalam perkawinan, apabila salah satu pihak ingin melakukan perjanjian kredit dengan Bank, maka kedua pihak suami dan istri wajib mengetahui isi dari perjanjian tersebut. Tidak boleh suatu perjanjian kredit atas nama suami/istri tidak ditanda tangani secara bersama-sama atau tanpa sepengetahuan suami/istri.


(31)

F. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan yang bersifat No.rmatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi :

1. Tipe Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum No.rmatif.26

2. Data dan Sumber Data

Langkah pertama dilakukan penelitian No.rmatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan perjanjian utang-piutang, dan Undang-undang kepailitan. penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum perjanjian kredit suami istri sebagai dasar permohonan kepailitan.

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 27

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

:

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar dan majalah, dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

26

SoejaNo. Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 9-10.

27


(32)

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara28

4. Analisis Data

:

Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan..

28


(33)

BAB II : PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK

Bab ini berisikan tentang pengertian perjanjian kredit dan dasar hukumnya, para pihak dalam perjanjian kredit, dan isi dari perjanjian pemberian kredit itu sendiri.

BAB III : AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT SUAMI/ISTRI

Bab ini berisikan tentang pernyataan pailit suami istri, harta kekayaan suami istri dalam kepailitan, dan akibat pernyataan pailit suami istri

BAB IV : AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT SUAMI ISTRI ATAS PERJANJIAN KREDIT BANK

Bab ini menjelaskan tentang macam-macam Kreditor, kedudukan bank sebagai pemegang hak separatis menurut UU No. 37 Tahun 2004, tanggung jawab suami istri sebagai Debitor dalam perjanjian kredit bank serta penyelesaian kredit bank oleh Debitor Pailit.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.


(34)

BAB II

PERJANJIAN KREDIT BANK DALAM PEMBERIAN KREDIT OLEH BANK

A.Pengertian perjanjian kredit dan dasar hukumnya

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbullah suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.29

Antara bagian umum dan bagian khusus ini ada hubungannya satu sama lain, yaitu suatu hubungan dimana asas-asas bagian umum dari perikatan berlaku juga bagi perjanjian tertentu sebagaimana yang tercantum/diisyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam hukum perjanjian yang didasarkan pada KUHPerdata berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme yang artinya bahwa perjanjian itu sudah sah dan mengikat apabila kedua belah pihak sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Asas konsensualisme yang terdapat dalam Tentang perjanjian ini diatur dalam buku III KUHPerdata perihal hukum perikatan yang sistematikanya terbagi atas dua bagian, yaitu bagian umum dan khusus.

29


(35)

buku perjanjian lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan:

1. Adanya kesepakatan

Sepakat berarti bahwa kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus benar-benar menyetujui isi perjanjian tersebut. Jadi, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya secara bebas atau suka rela. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata kata sepakat tidak sah apabila diperoleh karena paksaan, kekhilafan dan penipuan.Yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohania atau paksaan jiwa, bukan paksaan badan (fisik) misalnya, seseorang diancam atau ditakut-takuti sehingga menyetujui suatu perjanjian. Sedang kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian sedemikian rupa, sehingga apabila tidak khilaf ia tidak aakan memberikan persetujuan.Penipuan terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangna palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk memberikan persetujuan.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah : a. Orang yang belum dewasa;


(36)

c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Kecakapan harus ada pada subjek yang membuat prjanjian karena ia harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya akibat adanya perjanjian tersebut. KUHPerdata memberikan batas usia dewasa yaitu 21 atau sudah kawin, sedangkan UU Perkawinan memberikan batas usia dewasa itu 18 tahun. Orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang boros atau yang tidak sehat pikirannya, karenanya orang ini tidak dapat berbuat bebas terhadap kekayaannya sehingga ia berada dibawah pengawasan pengampunya.

Dalam Pasal 108 KUHPerdata dinyatakan bahwa wanita yang telah bersuami tidak cakap untuk membuat perjanjian dan karenanya ia harus minta ijin dari suaminya. Namun Mahkamah Agung telah mengeluarkan S.E.M.A No. 3 tahun 1963 yang isinya antara lain agar para hakim tidak lagi menerapkan Pasal 108 KUHPerdata dalam pertimbangan hukumnya. Setelah keluarnya UU Perkawinan tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat 1 dengan jelas mengatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan di masyarakat dan dalam ayat 2 dijelaskan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.


(37)

Dalam Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan bahwa paling tidak objek perjanjian itu harus dapat ditentukan jenisnya, baik benda itu berwujud maupun tidak berwujud. Objek perjanjian dapat berupa benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari.

4. Suatu sebab yang halal

Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian dinyatakan tidak mempunyai kekuatan jika dibuat tanpa sebab atau dibuat berdasarkan sebab yang palsu atau sebab yang terlarang. Perjanjian yang dibuat tanpa sebab, misalnya, jika dibuat suatu perjanjian Novasi atau suatu perjanjian yang tidak ada sebelumnya. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu untuk menutupi sebab yang sebenarnya, misalnya, jual beli narkotika untuk sebab pengobatan ternyata untuk pemakaian secara bebas, sedang sebab yang terlarang adalah sebab yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif karena menyangkut orang atau subjek yang membuat perjanjian, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian atas permohonan yang bersangkutan dapat dimintakan pembatalanya kepada hakim yang berlaku sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sedang syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian dan bila salah satu dari syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum dimana perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak semula dan pembatalan ini juga


(38)

harus dimintakan kepada hakim dimana syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 1320 KUHPerdata berlaku juga di dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian yang diatur dalam bagian khusus harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata.

Lembaga perbankan merupakan lembaga yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Perbankan bahwa :

”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak”

Kebutuhan keuangan atau dana merupakan hal principal agar terselenggaranya kegiatan dunia usaha dan perdagangan, oleh karena itu keterbatasan keuangan atau dana akan menjadi penghambat dalam menjaga kelancaran usaha dan perdagangan tersebut, karena tidak dapat dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan untuk menyelenggarakan mengandalkan lembaga keuangan bank dengan meminta fasilitas kredit.

.Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti “kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan


(39)

membayarnya kelak.30

Peranan bank selaku pemberi kredit baru berfungsi apabila telah dicapai kesepakatan dalam perjanjian kredit antara pihak bank/Kreditor dengan pihak nasabah/Debitor yang selanjutnya diikuti dengan penyerahan uang kepada nasabah/Debitor oleh bank selaku Kreditor. Penyerahan uang sendiri adalah

Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan menyebutkan definisi dari kredit yaitu “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Perjanjian kredit Bank merupakan perjanjian pendahuluan (woorowereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian uang ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima jaminan mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya.

Bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan dari perjanjian kredit ini termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan perjanjian sepihak karena tidak terdapat tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen. Inilah yang kemudian disebut sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku. Perjanjian baku biasanya berupa sebuar formulir yang berisi kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen. Di dalam formulir tersebut pihak bank sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanga hal-hal yang bersifat subjektif, seperti waktu dan identitas.

30

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 6.


(40)

bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang berlaku dalam model perjanjian kredit kedua belah pihak.

Dalam praktek perbankan menunjukkan bahwa seseorang yang bermaksud untuk mendapatkan kredit bank, memulai langkahnya dengan mengajukan permohonan kredit. Untuk itu biasanya bank telah menyediakan formulir tertentu yang harus diisi oleh pemohon kredit. Dalam formulir perjanjian tersebut berisi tentang apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang atau badan hukum untuk mengajukan kredit serta berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila permohonan kredit tersebut diberikan. Secara umum terdapat dua jenis kredit yang diberikan bank kepada nasabahnya, yaitu kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaan dan kredit ditinjau dari segi jangka waktunya. Menurut segi penggunaannya, kredit dibagi menjadi :

1. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya.

2. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang yang perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.

Sedangkan jenis kredit ditinjau dari segi jangka waktunya dapat berupa :

1. Kredit Jangka Pendek, yaitu kredit yang diberikan tidak lebih dari satu tahun. 2. Kredit Jangka Menengah, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari satu

tahun tapi tidak lebih dari tiga tahun.

3. Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari tiga tahun.


(41)

1. Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan (diatur dalam Pasal 1874 KUHPerdata)

Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah maka diperlukan legalisasi oleh No.taris yang berakibat akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik

2. Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik (diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata) Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak.

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara Pemberi utang (Kreditor) disatu pihak dan Penerima utang (Debitor) di lain pihak.

Namun dalam pemberian kredit tersebut haruslah memenuhi unsur- unsur pokok kredit, yaitu :31

1. Kepercayaan, setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh Debitor sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.

2. Waktu, pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali oleh Debitor dipisahkan oleh tenggang waktu.

31

HR Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2005) hal. 24-125


(42)

3. Risiko, pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko di dalamnya yaitu resiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dan pembayaran kembali.

4. Prestasi, setiap terjadi kesepakatan antara bank dan Debitor mengenai suatu pemberian kredit, pada saat itu pula terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi

Dalam prakteknya pemufakatan yang telah dicapai itu tidaklah diiringi dengan penyerahan uangnya, sebab pencairan kredit tersebut harus ada persetujuan berupa penegasan dari bank/Kreditor bahwa pemohon nasabah/Debitor sudah boleh menerima atau mengambil dan mempergunakan kredit itu

Setelah syarat-syarat yang berkenaan dengan permohonan kredit tersebut terpenuhi, maka Bank dalam hal ini melakukan analisa kredit dengan melakukan penilaian apakah permohonan kredit tersebut dapat diteruskan/diajukan kepada direksi atau tidak. Apabila menurut penilaian pemohon dapat diteruskan kepada Direksi, maka permohonan kredit ini kemudian dimintakan persetujuan Direksi dan dalam hal tertentu juga dapat memintakan persetujuan Komisaris. Dalam hal permohonan kredit tersebut disetujui, maka dilakukanlah penandatanganan persetujuan pemberian kredit tersebut dalam bentuk “perjanjian kredit”.32

Dalam ketentuan Pasal 9 dan Pasal 4 huruf b Undang-Undang Perbankan secara tegas disebutkan bahwa yang memberikan kredit adalah bank, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat sedangkan yang menerima kredit secara tegas tidak disebutkan. Bank dalam menilai suatu permintaan kredit yang diajukan

32

H.M Hazniel Harun, Aspek-aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit


(43)

oleh pemohon kredit/calon penerima kredit berpedoman pada faktor-faktor sebagai berikut:

1. Watak atau Characteristic

Maksud watak disini adalah kepribadian, moral dan kejujuran pemohon kredit apakah, dia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik sesuai dengan perjanjian kredit tersebut atau yang akan diadakan.

2. Kemampuan atau Capacity

Maksudnya adalah kemampuan mengendalikan, memimpin, menguasai bidang usahakanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa depan, sehingga usaha pemohon kredit berjalan dengan baik dan memberikan keuntungan.

3. Modal atau Capital

Maksudnya adalah pemohon kredit itu wajib memiliki modal sendiri sebab adanya modal sendiri menunjukkan pemohon itu adalah pengusaha lalu untuk mengembangkan perusahaannya perlu mendapat kredit dari bank yang mana kredit ini berfungsi sebagai tambahan modal.

4. Jaminan atau Collateral

Maksudnya adalah kekayaan yang dapat dilihat sebagai jaminan guna pelunasan hutang dikemudian hari seandainya penerima kredit tidak melunasi hutangnya.

5. Kondisi ekoNo.mi atau Condition of EcoNo.my

Maksudnya adalah situasi ekoNo.mi dalam jangka waktu tertentu akan memungkinkan pemohon kredit memperoleh keuntungan yang menurut perhitungan didapat dari kegunaan kredit itu.


(44)

Kelima faktor-faktor tersebut dinamakan Analisa Kredit yang merupakan ukuran kemampuan penerima kredit untuk mengembalikan pinjaman kreditnya dari kelima faktor analisa kredit ini mengandung 3 (tiga) unsur pokok yaitu ; 33 1. Unsur Subjektif, yaitu berupa modal

2. Unsur Objektif, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi, modal dan keadaan ekoNo.mi

3. Unsur Yuridis, yaitu yang berkenaan dengan struktur yuridis dari badan usaha penerima kredit dari bank.

Setelah perjanjian tersebut disepakati, maka lahirlah kewajiban pada diri Kreditor, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada Debitor, dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari Debitor pada waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian pemberian kredit tersebut disetujui oleh para pihak. Hak dan kewajiban Debitor adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban Kreditor.

Jadi dari berdasarkan hal tersebut di atas , diketahui bahwa: 1. Pemberi kredit adalah bank.

2. Penerima kredit adalah pihak yang memberikan jaminan dan memnuhi syarat-syarat dalam analisa kredit.

B. Para Pihak dalam Perjanjian Kredit

Sutan Remy Sahdeini mengartikan perjanjian kredit sebagai perjanjian bank sebagai Kreditor dengan nasabah sebagai Debitor mengenai penyediaan

33


(45)

uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah Debitor untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tetentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.34

Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam pengganti. Meskipun adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan perjanjian khusus karena didalamnya terdapat adanya kekhususan, dimana pihak Kreditor adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian berupa uang.35

1. Pihak Bank

Sesuai dengan Pasal 5 Ayat 1 UU Perbankan, bank terbagi dalam dua jenis yaitu :

a. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan atau memberikan perhatian yang lebih besar pada kegiatan tertentu.

b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR), yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Menurut pembagiannya, Bank dapat dibeda-bedakan menjadi :

34

Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2008), hal.78.

35

Gatot Supramono, Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta: Djambatan, 1996), hal. 62.


(46)

a. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya

1) Bank Sentral

Menurut UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No.3 Tahun 2004 jo UU No. 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia, Bank Sentral adalah lembaga mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat pembayaran yang sah dari suatu menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi serta menjalan fungsi sebagai lender of the last resort. Bank sentral yang dimaksud adalah Bank Indonesia.

2) Bank Umum

Pengertian bank umum menurut Peraturan Bank Indonesia No. 9/7/PBI/2007 adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atauberdasarkan prinsi lalu lintas pembayaran. Jasa yang diberikan oleh bank umum bersifat umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Bank umum sering disebut bank komersial (commercial bank). Bank umum mempunyai banyak kegiatan. Adapun kegiatan-kegiatan bank umum yang utama antara lain:

a) menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan;

b) memberikan kredit;


(47)

d) memindahkan uang, baik untuk kepentingan nasabah maupun untuk kepentingan bank itu sendiri;

e) menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan atau dengan pihak ketiga;

f) menyediakan tempat untuk menyimpan

g) melakukan penempatan dana dari nasabah ke nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.

3) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum. BPR dalam melakukan kegiatannya tidak sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh bank konvensional (bank umum). Ada kegiatan-kegiatan yang tidak boleh dilakukan oleh BPR, yaitu:

a) menerima simpanan berupa giro, b) mengikuti kliring,

c) melakukan kegiatan valuta asing, d) melakukan kegiatan perasuransian

Adapun bentuk kegiatan yang boleh dilakukan oleh BPR meliputi hal-hal berikut ini.


(48)

a) Menghimpun dana dalam bentuk simpanan tabungan dan simpanan deposito.

b) Memberikan pinjaman kepada

c) Menyedikan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsi

b. Jenis Bank berdasarkan Kepemilikannya

Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank terdiri atas bank milik pemerintah, bank milik swasta nasional, dan bank milik swasta asing.

1) Bank Milik Pemerintah

Bank pemerintah adalah bank di mana baik akta pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh pemerintah pula. Contohnya Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri. Selain itu ada juga bank mili tingkat I dan tingkat II masing-masing provinsi, contoh, Bank DKI, Bank Jateng, dan sebagainya.

2) Bank Milik Swasta Nasional

Bank swasta nasional adalah bank yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh swasta nasional serta akta pendiriannya pun didirikan oleh swasta, begitu pula pembagian keuntungannya juga dipertunjukkan untuk swasta pula, contohnya, Bank Muamalat, Bank Danamon, Bank Central Asia, Bank Lippo, Bank Niaga, dan lain-lain.


(49)

Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau pemerintah asing. Kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar negeri, contohnya, ABN AMRO bank, City Bank, dan lain-lain.

c. Jenis Bank Berdasarkan Kegiatan Operasionalnya

1) Bank Konvensional

Pengertian kata “konvensional” menurut Kamus Umum adalah “menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan”. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “berdasarkan kesepakatan umum” seperti adat, kebiasaan, kelaziman. Berdasarkan pengertian itu, bank konvensional adalah bank yang dalam operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu, menjadi kebiasaan dan telah dipakai secara meluas dibandingkan dengan metode bagi hasil. Bank konvensional pada umumnya beroperasi dengan mengeluarkan produk-produk untuk menyerap dana masyarakat antara lain tabungan, simpanan deposito, simpanan giro; menyalurkan dana yang telah dihimpun dengan cara mengeluarkan kredit antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit konsumtif, kredit jangka pendek; dan pelayanan jasa keuangan antara lain kliring, inkaso, kiriman uang, Letter of Credit, dan jasa-jasa lainnya seperti jual beli surat berharga, bank draft, wali amanat, penjamin emisi, dan perdagangan efek. Bank konvensional dapat memperoleh dana dari pihak luar,


(50)

misalnya dari nasabah berupa rekening giro, deposit on call, sertifikat deposito, dana transfer, saham, dan obligasi. Sumber ini merupakan pendapatan bank yang paling besar. Pendapatan bank tersebut, kemudian dialokasikan untuk cadangan primer, cadangan sekunder, penyaluran kredit, dan investasi. Bank konvensional, contohnya, bank umum dan BPR. Kedua jenis bank tersebut telah kalian pelajari pada sub bab sebelumnya.

2) Bank Syariah

Sekarang ini banyak berkembang bank syariah. Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pemrakarsa pendirian bank syariah di Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya adalah efesiensi, keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin. Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi, ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat untuk saling meningkatkan produktivitas. Kegiatan produknya sangat berbeda dengan bank konvensional. Penentua


(51)

bank syariah didasarkan pada kesepakatan antara bank dengan nasabah penyimpan dana sesuai dengan jenis simpanan dan jangka waktunya, yang akan menentukan besar kecilnya porsi bagi hasil yang akan diterima penyimpan. Berikut ini prinsip-prinsip yang berlaku pada rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah harus berlandaskan pada Alquran dan hadis. Bank syariah mengharamkan penggunaan harga produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah, bunga bank adalah riba. Dalam perkembangannya kehadira masyarakat muslim, akan tetapi juga syariah sudah tersebar di berbagai negara-negara muslim dan non muslim, baik di Benua Amerika, Australia, dan Eropa. Bahkan banyak perusahaan dunia yang telah membuka cabang berdasarkan prinsip syariah, contoh bank syariah di Indonesia, yaitu, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri.

Dilihat dari segi kemampuannya melayani masyarakat, bank umum dapat dibagi ke dalam:

a. Bank Devisa, merupakan bank yang dapat melaksanakan transaksi keluar negeri atau yang berhubungan dengan mata uang asing secara menyeluruh. b. Bank No.n Devisa, merupakan bank yang mempunyai izin untuk

melaksanakan transaksi sebagai bank devisa, sehingga tidak dapat melaksankan transaksi seperti halnya bank devisa.

Terhadap jenis-jenis bank tersebut, dapat dilihat dari fungsinya serta kinerjanya, dapatlah diberikan pembagian dari masing-masing bank tersebut.


(52)

Pembagian jenis bank ini sangat penting karena terdapatnya perbedaan jenis kegiatan yang boleh dilakukan oleh bank-bank yang berbeda tersebut. Dalam hal ini kegiatan ini dapatlah disebutkan pembagiannya berdasarkan jenis karena telah diatur oleh Bank Indonesia tentang kegiatan yang boleh dan yang tidak boleh dialkukan oleh bank-bank tersebut. Jenis kegiatan yang dilakukan bank senantiasa di bawah pengawasan Bank Indonesia.

2. Pihak Nasabah

Dalam peraturan bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 jo No. 10/10/PBI/2008 tentang penyelesaian pengaduan nasabah Pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer).

Di dalam UU Perbankan dimuat tentang jenis dan pengerian nasabah. Dalam Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa pengertian nasabah yaitu pihak yang menggunakan jasa bank. Jenis-jenis nasabah ada 2, yakni :36

a. Nasabah Penyimpan, yakni nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simapanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

b. Nasabah Debitor, nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

36

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal 32-33.


(53)

Dari praktek-praktek perbankan, setidaknya dikenal tiga macam nasabah : a. Nasabah Deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank

misalnya dalam bentuk deposito atau tabungan lain.

b. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan, misalnya kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah, dan sebagainya.

c. Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank. Misalnya antara importer sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri untuk transaksi semacam ini biasanya importer membuka letter of credit (L/C) pada suaru bank demi kelancaran dan keamanan pembayaran.

Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum , nasabah dapat berwujud dalam dua bentuk sebagaimana subjek hukum yang diakui dalam hukum, yaitu :37

Perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya. Konsekuensi hukumnya adalah bahwa perjanjian itu tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu syarat a. Orang

Nasabah bank sebagaimana dikaitkan dengan kedudukannya sebagai subjek hukum dapat berupa orang atau badan hukum. Nasabah bank terbagi menjadi orang dewasa dan orang yang belum dewasa. Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa diperuntukkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan atau nasabah lepas untuk transfer dan lain sebagainya.

37

Try Widyono, Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia (Bandung: Ghalia Indonesia, 2006), hal 24-27.


(54)

perjanjian itu dilaksanakan oleh pihak yang cakap untuk membuat perjanjian. Dalam hukum perdata perjajian yang dilakukan oleh pihak yang belum dewasa berarti tidak memenuhi syarat subjektif. Ancaman atas pelanggaran tersebut adalah perjanjian yang dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu dapat dibatalkan oleh pihak yang mewakili anak yang belum dewasa tersebut. Yaitu orang tua atau walinya dengan melalui gugatan pembatalan. Dengan kata lain sepanjang orang tua anak itu tidak melakukan gugatan pembatalan, maka perjanjian tetap sah dan berlaku mengikat.

b. Badan Hukum

Nasabah berupa badan hukum perlu diperhatikan aspek legalitas badan tersebut, serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank. Hal ini terkait dengan aspek hukum perseroan (corporate law). Adapun jenis-jenis badan hukum adalah sebagai berikut :

1) Badan hukum publik, seperti Negara atau Pemda

2) Perseroan Terbatas, diatur dalam UU No. 40 TAhun 2007 tentang Perseroan Terbatas, termasuk perseroan terbatas terbuka yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

3) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.

4) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tetang Badan Usaha Milik Negara. BUMN ini terdiri dari perusahaan persero, perusahaan umum, dan perusahaan jawatan


(55)

5) Koperasi, diatur dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP No.. 4 Tahun 1994 tentang persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi

6) Yayasan, diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001, yang diubah dengan UU No. 28 tahun 2004.

7) Badan Hukum Milik Negara, diatur dalam PP No. 153 tahun 2000 tentang BUMN Universitas Indonesia.

8) Dana pensiun, diatur dalam UU No. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dalam peraturan bank Indonesia No. 7/7/PBI/2005 jo No. 10/10/PBI/2008 tentang penyelesaian pengaduan nasabah Pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk melakukan transaksi keuangan (walk-in customer).

Di dalam UU Perbankan dimuat tentang jenis dan pengerian nasabah. Dalam Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa pengertian nasabah yaitu pihak yang menggunakan jasa bank. Jenis-jenis nasabah ada 2, yakni :38

a. Nasabah Penyimpan, yakni nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simapanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

b. Nasabah Debitor, nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

38

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen, (Bandung : citra Aditya Bakti, 2000), hal 32-33


(56)

Dari praktek-praktek perbankan, setidaknya dikenal tiga macam nasabah

a. Nasabah Deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank misalnya dalam bentuk deposito atau tabungan lain.

b. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan, misalnya kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah, dan sebagainya.

c. Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank. Misalnya antara importer sebagai pembeli dengan eksportir di luar negeri untuk transaksi semacam ini biasanya importer membuka letter of credit (L/C) pada suaru bank demi kelancaran dan keamanan pembayaran.

Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum , nasabah dapat berwujud dalam dua bentuk sebagaimana subjek hukum yang diakui dalam hukum, yaitu :39

a. Orang

Nasabah bank sebagaimana dikaitkan dengan kedudukannya sebagai subjek hukum dapat berupa orang atau badan hukum. Nasabah bank terbagi menjadi orang dewasa dan orang yang belum dewasa. Nasabah orang dewasa hanya diperbolehkan untuk nasabah kredit atau nasabah giro. Sedangkan nasabah simpanan dan atau jasa diperuntukkan orang yang belum dewasa, misalnya nasabah tabungan atau nasabah lepas untuk transfer dan lain sebagainya.

Perjanjian yang dibuat antara bank dengan nasabah yang belum dewasa tersebut telah disadari konsekuensi hukum yang diakibatkannya. Konsekuensi

39

Try WidyoNo., Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia. (Bandung: Ghalia Indonesia, 2006), hal 24-27


(57)

hukumnya adalah bahwa perjanjian itu tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu syarat perjanjian itu dilaksanakan oleh pihak yang cakap untuk membuat perjanjian. Dalam hukum perdata perjajian yang dilakukan oleh pihak yang belum dewasa berarti tidak memenuhi syarat subjektif. Ancaman atas pelanggaran tersebut adalah perjanjian yang dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu dapat dibatalkan oleh pihak yang mewakili anak yang belum dewasa tersebut. Yaitu orang tua atau walinya dengan melalui gugatan pembatalan. Dengan kata lain sepanjang orang tua anak itu tidak melakukan gugatan pembatalan, maka perjanjian tetap sah dan berlaku mengikat.

b. Badan Hukum

Nasabah berupa badan hukum perlu diperhatikan aspek legalitas badan tersebut, serta kewenangan bertindak dari pihak yang berhubungan dengan bank. Hal ini terkait dengan aspek hukum perseroan (corporate law). Adapun jenis-jenis badan hukum adalah sebagai berikut :

1) Badan hukum publik, seperti Negara atau Pemda

2) Perseroan Terbatas, diatur dalam UU No. 40 TAhun 2007 tentang Perseroan Terbatas, termasuk perseroan terbatas terbuka yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

3) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), diatur dalam UU No..32 Tahun 2004 tentang Pemda.


(58)

4) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tetang Badan Usaha Milik Negara. BUMN ini terdiri dari perusahaan persero, perusahaan umum, dan perusahaan jawatan

5) Koperasi, diatur dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan PP No. 4 Tahun 1994 tentang persyaratan dan Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi

6) Yayasan, diatur dalam UU No. 17 Tahun 2001, yang diubah dengan UU No. 28 tahun 2004.

7) Badan Hukum Milik Negara, diatur dalam PP No. 153 tahun 2000 tentang BUMN Universitas Indonesia.

8) Dana pensiun, diatur dalam UUNo. 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dengan lahirnya Undang-Undang Perbankan Tahun 1976 sebagaimana telah diganti dengan Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka di samping perjanjian pinjam uang yang dikenal di dalam KUHPerdata, Hukum Adat, terdapat ketentuan-ketentuan perjanjian. Kredit yang khusus berlaku bagi bank-bank dan mereka yang memperoleh kredit dari bank-bank tersebut.

Pasal-Pasal 1759, 1760, 1761 dan 1762 KUHPerdata mengatur kewajiban-kewajiban orang yang meminjamkan. Pasal 1759 KUHPerdata menyatakan bahwa: “orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkan sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam persetujuan”. Pasal 1760 KUHPerdata menyatakan jika tidak telah ditetapkan sesuatu waktu, Hakim


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta sekaligus merupakan jawaban dari pada permasalahan yang penulis buat, yaitu:

1. Pengaturan perjanjian kredit dalam pemberian kredit oleh bank pada dasarnya sama seperti pengaturan perjanjian yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata mengenai perikatan termasuk didalamnya antara lain, yaitu, ketentuan tentang syarat sahnya perjanjian, para pihak dan isi suatu perjanjian, namun biasanya perjanjian kredit berbentuk perjanjian baku dimana kedudukan para pihak yaitu Bank sebagai pemberi kredit dan Nasabah Bank sebagai penerima kredit kurang seimbang.

2. Putusan pernyataan pailit terhadap suami/istri mempunyai akibat hukum yang sama dengan akibat hukum dari adanya suatu putusan pernyataan pailit yang diatur dalam Pasal 21-64 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang pada dasarnya adalah kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya, hanya saja kekhususannya terletak pada adanya harta bersama jika suami/istri yang merupakan Debitor Pailit menikah dalam persatuan harta maka harta bersama itu termasuk dalam harta pailit dan para Kreditor berhak meminta pembayaran


(2)

dari harta bersama itu sedangkan jika tidak menikah dalam persatuan harta maka harta istri/suaminya yang bukan Debitor Pailit bukan merupakan harta pailit.

3. Akibat hukum putusan pernyataan pailit suami/istri terhadap perjanjian kredit bank adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bank harus mengajukan tuntutan terhadap Kurator untuk mendapatkan haknya dan mendaftarkannya untuk dicocokkan, namun oleh karena bank merupakan Kreditor Separatis karena memiliki hak jaminan maka bank dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan dengan tetap memperhatikan ketentuan untuk menangguhkan hak eksekusi paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pailit diucapkan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis kemukakan disini sebagai bahan pertimbangan guna penyempurnaan dikemudian hari adalah:

1. Peraturan kepailitan di Indonesia hendaknya memuat sanksi-sanksi pidana yang khusus tentang masalah kepailitan terlepas dari KUHPerdata untuk lebih melindungi para pihak yang dirugikan, karena pada dasarnya masalah-masalah kepailitan berawal mula dari suatu perjanjian yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu Debitor dan Kreditor, sehingga secara otomatis akan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Hak dan kewajiban tersebut


(3)

apabila tidak dipenuhi secara sempurna akan menimbulkan ketidakseimbangan yang berakibat pada kerugian salah satu pihak.

2. Untuk menghindari terjadinya Debitor wanprestasi dan resiko kredit macet, maka proses pemberian kredit sebaiknya dilaksanakan melalui tahapan prosedur yang benar dengan menjalankan prinsip kehati-hatian dan kepatutan. 3. Hendaknya jaminan yang diberikan dalam perjanjian kredit harus lebih besar

daripada nilai kredit yang diberikan oleh bank.

DAFTAR PUSTAKA


(4)

Andasasmita, Komar, Notaris III – Hukum Harta Perkawinan dan Waris menurut Undang-Undang Hukum Perdata (Teori dan Praktek), Bandung : Sumur Bandung, 1992.

Ramulyo, Moh Idris,Hukum Perkawinan, HukumKewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, Jakarta : Sinar Grafika 2006.

Sjahdeni, Sutan Remy, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Hosrisontal, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Subekti, R,Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia (Termasuk Hak Tangungan), Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1991.

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, Jakarta : PT. Sofmedia, 2010.

Satrio, J, Hukum Harta Perkawinan, Bandung : Citra Aditya Bhakti,1993.

Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Gautama, Sidharta, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1998.

Hoff, Jerry, Terjemahan Kartini Muljadi, Undang-undang Kepailitan di Indonesia, Jakarta : Tatatanusa, 2000.

Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Jakarta: alumni,2006.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Jaminan dan Kepailitan, Jakarta :Makalah Pembanding dalam Seminar Sosialisasi Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,2000.

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum Jakarta : UI Press, 1986.

Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung :PT.Citra Aditya Bakti, 1996.


(5)

Naja, HR Daeng, Hukum Kredit dan Bank Garansi, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2005.

Harun, H.M Hazniel, Aspek-aspek Hukum Perdata Dalam Pemberian Kredit Perbankan, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1994.

Mariam Darus Badzulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Medan : 1978.

Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2008.

Supramono, Gatot, Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, 1996.

Widyono, Try, Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia Bandung: Ghalia Indonesia, 2006.

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen, Bandung : citra Aditya Bakti, 2000.

Rahman, Hasanudin, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Revisi, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008.

Tje’Aman, Putra Edy, Kredit Perbankan suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta : Liberty, 1992.

Susanto, Happy, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta : Visimedia Pustaka, 2008.

Sastrawidjaja, H. Man S, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : Alumni, 2006.

Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan, Kepailitan (Seri Hukum Bisnis), Jakarta : Rajagrafindo Persada,2004.

Nating, Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta : Rajagrafindo Persada,2005.

Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsep Penerapan Asas Pemisahan Hosrisontal, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2001.


(6)

Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung :PT.Citra Aditya Bakti, 1996.

Indaryati, Poppy, Diskriminasi Kurator di dalam Kepailitan, Semarang : Tesis Hukum dan TekNo.logi Program Pasca Sarjana Undip,2008.

Hartini, Rahayu, Edisi Revisi Hukum Kepailitan, Malang : UMM Press, 2007.

R Soeroto., Naskah Akedemis Peraturan Perundang-undangan Tentang Kepailitan, Jakarta : BPHN, 1991.

Bagus, Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan: Perusahaan: dan Asuransi, Bandung, Alumni, 2007.

B. Undang-Undang

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Undang-Undang tentang Kepailitan No 37 Tahun 2004 Undang-Undang tentang Perbankan No 10 Tahun 1998 Undang-Undang tentang Perkawinan No 1 Tahun 1974