Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Teoritis
2.1.1

Pengembangan Karir

2.1.1.1 Pengertian Pengembangan Karir
Pengembangan karir sangat diharapkan oleh setiap karyawan yang bekerja
di suatu perusahaan. Pengembangan karir tercermin dalam gagasan bahwa orang
selalu ingin bergerak maju dan meningkat dalam pekerjaan yang dipilihnya.
Pengembangan karir didalam perusahaan sangat mempengaruhi kualitas sumber
daya

manusia

di

perusahaan

tersebut.


Apabila

terdapat

suatu

proses

pengembangan karir yang baik maka keinginan karyawan untuk meningkatkan
kinerja semakin tinggi.
Dengan adanya pengembangan karir maka karyawan akan mendapatkan
hak-hak yang lebih baik dari apa yang telah mereka dapatkan sebelumnya baik
material maupun non material. Hak-hak yang bersifat material dapat berupa
kenaikan pendapatan, perbaikan fasilitas dan sebagainya. Sementara hak-hak yang
bersifat non material dapat berupa perubahan status sosial, rasa bangga dan
sebagainya.
Mangkunegara (2005 : 77) mengatakan “Pengembangan karir adalah
aktifitas kepegawaian yang membantu pegawai-pegawai merencanakan karir masa
depan mereka diperusahaan agar perusahaan dan pegawai yang bersangkutan

dapat mengembangkan diri secara maksimum. Karyawan bekerja di sebuah
perusahaan tentunya untuk membantu dirinya menjadi lebih baik dari taraf hidup

Universitas Sumatera Utara

sebelumnya. Untuk itu karyawan harus memiliki sebuah perencanaan karir masa
depan. Rivai (2008 : 290) mengatakan bahwa “pengembangan karir adalah proses
peningkatan kemampuan kerja individu yang dicapai dalam rangka mencapai karir
yang diinginkan”. Dalam hal ini proses pengembangan karir merupakan usaha
sesorang yang dilalui melalui proses dengan meningkatkan kemampuan kerja
yang karyawan miliki sehingga mereka mampu meningkatkan kinerja dan berhasil
mencapai karir yang diinginkan. Karyawan tidak akan bekerja diperusahaan
tersebut apabila tidak terdapat sebuah sistem pengembangan karir yang jelas
karena karyawan bekerja untuk mencapai target karir yang mereka inginkan.
Mondy (2008 : 243) “Pengembangan karir adalah pendekatan formal yang
digunakan organisasi untuk memastikan bahwa orang dengan kualifikasi dan
pengalaman yang tepat tersedia jika dibutuhkan”. Pengembangan karir merupakan
suatu pendekatan formal didalam sebuah organisasi dimana organisasi mampu
menentukan karyawan dengan kualifikasi yang tepat serta pengalaman yang tepat
jika dibutuhkan didalam sebuah jabatan. Pengalaman kerja yang dimiliki

karyawan juga merupakan salah satu hal yang mampu

membantu karyawan

dalam mencapai sasaran karir mereka. Pengertian pengembangan karir menurut
Flippo (2000 : 243) dapat diartikan sebagai “sederetan kegiatan kerja yang
terpisah-pisah namun masih merupakan atau mempunyai hubungan yang saling
melengkapi, berkelanjutan, dan memberikan makna bagi kehidupan seseorang”.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
pengembangan karir adalah kegiatan untuk melakukan perencanaan karir dalam
rangka meningkatkan pribadi dimasa yang akan datang agar kehidupannya

Universitas Sumatera Utara

menjadi lebih baik. Bagi karyawan pengembangan karir merupakan hal yang
sangat penting untuk meningkatkan motivasi kerja dalam usaha untuk mencapai
target karir yang mereka inginkan. Semakin tinggi pencapaian karir seseorang
didalam sebuah perusahaan maka karyawan semakin mampu dalam meningkatkan
taraf dan kualitas hidup yang lebih baik dari kehidupannya yang sebelumnya.


2.1.1.2 Faktor-faktor Pengembangan Karir
Siagian (2006 : 2015) menyatakan ada tujuh cara yang dapat dilakukan
untuk melihat dimensi dari pengembangan karir, antara lain:
1. Prestasi Kerja
Faktor yang paling penting untuk meningkatkan dan mengembangkan karir
seorang karyawan adalah pada prestasi kerjanya dalam melakukan tugas yang
dipercayakan kepadanya. Tanpa prestasi yang memuaskan, sukar bagi seorang
pekerja untuk diusulkan oleh atasan agar dipertimbangkan untuk dipromosikan
ke pekerjaan atau jabatan yang lebih tinggi dimasa depan.
2. Pengenalan oleh Pihak Lain
Adalah berbagai pihak yang berwenang memutuskan layak tidaknya seseorang
dipromosikan seperti atasan langsung dan pimpinan bagian kepegawaian yang
mengetahui kemampuan dan prestasi kerja seorang pegawai.
3. Kesetiaan Pada Organisasi
Merupakan dedikasi seorang karyawan yang ingin terus berkarya dalam
organisasi tempatnya bekerja untuk jangka waktu yang lama.
4. Pembimbing dan Sponsor

Universitas Sumatera Utara


Pembimbing adalah orang yang memberikan nasehat-nasehat atau saran-saran
kepada karyawan dalam upaya mengembangkan karirnya
5. Dukungan Para Bawahan
Merupakan

dukungan

yang

diberikan

para

bawahan

dalam

bentuk

mensukseskan tugas manajer yang bersangkutan

6. Kesempatan Untuk Bertumbuh
Merupakan kesempatan yang diberikan kepada karyawan untuk meningkatkan
kemampuannya,

baik

melalui

pelatihan-pelatihan,

kursus,

dan

juga

melanjutkan jenjang pendidikannya.
7. Berhenti Atas Kemauan Sendiri
Merupakan keputusan seorang karyawan untuk berhenti bekerja dan beralih ke
institusi pendidikan lain yang memberikan kesempatan lebih besar untuk

mengambangkan karir.
2.1.1.3 Tujuan Pengembangan Karir
Untuk menghadapi tuntutan dan tugas sekarang dan terutama untuk
menjawab tantangan masa depan, pengembangan karyawan merupakan keharusan
mutlak. Kemutlakan itu tergambar pada berbagai jenis manfaat yang dapat dipetik
daripadanya, baik organisasi, para karyawan maupun bagi pertumbuhan dan
pemeliharaan hubungan yang serasi antara berbagai kelompok kerja dalam suatu
organisasi. Berarti semuanya bermuara pada peningkatan produktivitas kerja
organisasi secara keseluruhan.
Menurut Rivai (2008 : 290) menyatakan bahwa tujuan dari program karir
adalah “Untuk menyesuaikan antara kebutuhan dan tujuan karyawan dengan

Universitas Sumatera Utara

kesempatan karir yang tersedia diperusahaan saat ini dan dimasa mendatang”.
Karena itu, usaha pembentukan sistem pengembangan karir yang dirancang secara
baik akan dapat membantu karyawan dalam menentukan kebutuhan karir mereka
sendiri, dan menyesuaikan antara kebutuhan karyawan dengan tujuan perusahaan.
Menurut Sutrisno (2009 : 182) pengembangan karir bertujuan untuk :
a. Memberikan kepastian arah karir karyawan dalam kiprahnya di lingkup

organisasi.
b. Meningkatkan daya tarik organisasi atau institusi bagi para karyawan yang
berkualitas
c. Memudahkan

manajemen

dalam

menyelanggarakan

program-program

pengembangan sumber daya manusia, khususnya dalam rangka mengambil
keputusan dibidang karir serta perencanaan sumber daya manusia organisasi
atau perusahaan yang selarasa dengan rencana pengembangan organisasi.
d. Memudahkan administrasi kepegawaian, khususnya dalam melakukan
administrasi pergerakan karyawan dalam hal karir promosi, rotasi, ataupun
demosi jabatan.
2.1.1.4 Bentuk-bentuk Pengembangan Karir

Bentuk-bentuk pengembangan karir tergantung pada jalur karir yang
direncanakan oleh masing-masing organisasi. Bagaimana suatu perusahaan
menentukan suatu jalur karir bagi karyawannya tergantung pada kebutuhan dan
situasi perusahaan itu sendiri, namun pada umumnya yang sering dilakukan
perusahaan adalah melalui pendidikan dan pelatihan, promosi serta mutasi
(Nitisemito, 2001 : 173).

Universitas Sumatera Utara

Pengertian mengenai ketiga hal tersebut dapat dijelaskan dibawah ini :
1. Pendidikan dan pelatihan adalah suatu kegiatan yang diselenggarakan
perusahaan yang dimaksudkan untuk memperbaiki dan mengembangkan sikap,
tingkah laku, keterampilan, dan pengetahuan para karyawan sesuai dengan
pekerjaan masing-masing karyawan.
2. Promosi
Promosi diartikan sebagai perubahan posisi/jabatan dari tingkat yang lebih
rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Perubahan ini biasanya akan diikuti dengan
meningkatnya tanggungjawab, hak, serta status sosial seseorang. Dalam
pelaksanaanya, suatu promosi harus didasarkan pada syarat-syarat tertentu yang
bagi setiap organisasi dapat berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan organisasi itu

sendiri. Adapun syarat yang dipergunakan ini dapat member jaminan bahwa
tenaga kerja yang dipromosikan ini layak dan pantas untuk menduduki
jabatan/pekerjaan yang akan ditempati. Berikut ini contoh syarat yang harus
dipenuhi seorang karyawan dalam promosi diantaranya kejujuran, loyalitas,
tingkat pendidikan, pengalaman kerja, tanggung jawab, kepemimpinan,
kerjasama, dan inisiatif.
3. Mutasi
Mutasi adalah perpindahan pekerjaan seseorang dalam suatu organisasi yang
memiliki tingkat level yang sama dari posisi pekerjaan sebelum mengalami
pindah kerja. Kompensasi gaji, tugas dan tanggung jawab yang baru umumnya
adalah sama seperti sedia kala. Mutasi dilakukan untuk menghindari kejenuhan
karyawan pada rutinitas pekerjaan yang terkadang membosankan serta memiliki

Universitas Sumatera Utara

fungsi tujuan lain supaya seseorang dapat menguasai dan mendalami pekerjaan
lain dibidang yang berbeda pada suatu perusahaan. Mutasi terkadang dapat
dijadikan sebagai tahapan awal atau batu loncatan untuk mendapatkan promosi di
waktu mendatang. Hakekatnya mutasi adalah bentuk perhatian pimpinan terhadap
bawahan.

Tujuan mutasi adalah :
1. Untuk meningkatkan produktivitas karyawan
2. Untuk menciptakan keseimbangan antar tenaga kerja dengan komposisi
pekerjaan atau jabatan.
3. Untuk memperluas atau menaambah pengetahuan karyawan
4. Untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh terhadap pekerjaannya
5. Untuk memberikan perangsang dalam meningkatkan karir karyawan yang
lebih tinggi
6. Untuk menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan
Sebab-sebab pelaksanaan mutasi digolongkan sebagai berikut :
1. Permintaan Sendiri
Mutasi atas permintaan sendiri adalah mutasi yang dilakukan atas
keinginan sendiri dari karyawan yang bersangkutan dan dengan mendapat
persetujuan pimpinan organisasi. Mutasi permintaan sendiri pada
umumnya hanya pemindahan jabatan yang peringkatnya sama baik
antarbagian maupun pindah ketempat lain
2. Alih Tugas Produktif (ATP)

Universitas Sumatera Utara

Alih tugas produktif (ATP) adalah mutasi karena kehendak pimpinan
perusahaan untuk meningkatkan kinerja dengan menempatkan karyawan
yang bersangkutan ke jabatan atau pekerjaan yang sesuai dengan
kecakapannya.

2.1.2

Konflik Peran Ganda

2.1.2.1 Pengertian Peran Ganda
Peran adalah bagian yang dimainkan individu pada setiap keadaan dan
cara tingkah lakunya untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Peran
diwujudkan dalam perilaku. Peran ganda dapat didefinisikan dimana seseorang
memiliki jabatan atau posisi atau keadaan yang lebih dari satu sehingga membuat
orang tersebut memiliki tanggungjawab yang lebih banyak (Indriyani, 2009:14).
Dengan banyaknya peran yang dimiliki seseorang maka timbulah konflik peran
ganda.
2.1.2.2 Pengertian Konflik Peran Ganda
Konflik dapat didefinisikan sebagai segala macam interaksi pertentangan
antara dua pihak atau lebih. Menurut Tampubolon (2008:140) konflik umumnya
berasal dari ketidaksesuaian dan pembagian sumber daya yang tidak rasional.
Pada masa sekarang ini peran wanita dalam kehidupannya bukan hanya
sebagai ibu rumah tangga. Kebutuhan hidup yang semakin lama semakin banyak
dan bervariasi menuntut wanita untuk memiliki peran ganda dimana mereka
berperan sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja atau pegawai. Hal ini
merupakan hal yang tidak mudah dijalankan bagi wanita yang telah berumah

Universitas Sumatera Utara

tangga. Wanita dengan peran konflik peran ganda memiliki tingkat stress yang
lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan peran tunggal. Mereka harus
mampu membagi waktu dengan seimbang antara dunia kerja dan dunia rumah
tangga.
Definisi konflik peran ganda menurut Kahn dkk (dalam Greenhaus &
Beutell, 1985) konflik peran ganda adalah bentuk dari konflik antar peran yang
mana tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga bertentangan. Selain itu Khan
(dalam Behr, 1995) menyatakan bahwa konflik peran ganda merupakan adanya
ketidakcocokan antara harapan - harapan yang berkaitan dengan suatu peran
dimana dalam kondisi yang cukup ekstrim, kehadiran dua atau lebih harapan atau
tekanan akan sangat bertolak belakang sehingga peran yang lain tidak dapat
dijalankan. Penelitian yang dilakukan oleh Duxburry dan Higgins (2003) sejalan
dengan pernyataan sebelumnya, namun ia menambahkan dampak yang
ditimbulkan dari konflik peran ganda yaitu partisipasi seseorang pada satu peran
menyulitkan partisipasi pada peran yang lainnya.
Menurut Netemeyer dkk (dalam Hennesy, 2005) mendefinisikan “konflik
peran ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggungjawab yang
berhubungan dengan pekerjaan mengganggu permintaan, waktu, dan ketegangan
dalam keluarga”. Hennesy (2005) juga memberikan defenisi dari konflik peran
ganda yaitu, “konflik yang terjadi ketika konflik sebagai hasil dari kewajiban
pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga”.
Paden dan Buchler (dalam Simon, 2002) mendefinisikan “konflik peran
ganda merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang

Universitas Sumatera Utara

berbeda yang dimiliki seseorang”. Dalam pekerjaan, seorang wanita yang
profesional diharapkan agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya
dalam pekerjaan. Sedangkan di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk
merawat anak, menyayangi, dan menjaga suami dan anaknya.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda
adalah salah satu bentuk konflik antar peran yang diakibatkan pekerjaan dan
keluarga saling tidak cocok satu sama lain, kewajiban pekerjaan yang
mengganggu kehidupan rumah tangga, permintaan, waktu dan ketegangan dalam
keluarga yang disebabkan harapan dari dua peran yang berbeda. Konflik peran
ganda muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh
seseorang. Di pekerjaan, seorang wanita yang professional diharapkan untuk
agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya pada pekerjaan. Di
rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak, menyanyangi dan
menjaga suaminya.

2.1.2.3 Dimensi Konflik Peran Ganda
Menurut Greenhaus & Beutell (1985) konflik peran ganda memiliki sifat
yang bidirectional dan multidimensi. Adapun bidirectional yang dimaksud terdiri
dari:
a. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab
pekerjaan yang mengganggu tanggungjawab terhadap keluarga.
b. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggung jawab
terhadap keluarga mengganggu tanggungjawab terhadap pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) multidimensi dari konflik dapat
muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work
family conflict maupun family work conflict memiliki masing-masing 3 dimensi
yaitu:
a. Time Based Conflict
Yang dimaksud dengan time based conflict adalah konflik yang terjadi karena
waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk
memenuhi peran lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seorang yang
mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran
sekaligus. Tuntutan waktu ini dapat terjadi tergantung dari alokasi waktu kerja
dan kegiatan keluarga yang dipilih berdasarkan preferensi dan nilai yang dimiliki
individu.
Peran ganda mungkin dapat menyulitkan dan seolah berlomba
mendapatkan waktu seseorang. Waktu yang dihabiskan dalam satu peran secara
umum tak bisa di curahkan kepada aktivitas dalam peran lainnya. Time based
conflict memiliki 2 bentuk; (a) tuntutan waktu dari peran yang satu membuat
individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspektasi dari peran yang lain; (b)
adanya tuntutan waktu, dapat menyebabkan individu terokupasi dengan peran
yang satu, pada saat seharusnya individu mencoba memenuhi tuntutan peran yang
lain (Bartolome & Evans, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).
Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:
1. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan. Konflik pekerjaan – keluarga
berhubungan positif dengan jumlah jam kerja dalam setiap minggunya (Burke

Universitas Sumatera Utara

dkk, Keith & Schaf, Plect dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985) dan jumlah jam
perjalanan pulang – pergi rumah ke tempat kerja dalam setiap minggunya (Bohen
& Viveros-Long, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Konflik pekerjaan- keluarga
juga memiliki hubungan yang positif dengan jumlah dan frekuensi lembur serta
adanya ketidakteraturan dalam pengaturan jam kerja (Pleck dkk, dalam Greenhaus
& Beutell, 1985). Jadwal kerja yang tidak fleksibel juga akan menimbulkan
konflik pekerjaan – keluarga (Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).
Khususnya pada ibu bekerja yang memiliki tanggung jawab mengurus anak.
2. Sumber konflik yang berasal dari keluarga. Karakteristik peran keluarga yang
mengharuskan seseorang menghabiskan sebagian besar dari waktunya dalam
aktivitas keluarga dapat menghasilkan konflik pekerjaan – keluarga. Sependapat
dengan itu, Herman & Gyllstrom (dalam Greenhaus & Beutell,1985) menemukan
bahwa orang – orang yang menikah lebih banyak mengalami konflik pekerjaan –
keluarga dibandingkan dengan mereka yang tidak menikah. Selanjutnya, dapat
diperkirakan bahwa mereka yang memiliki anak akan mengalami konflik
pekerjaan – keluarga yag lebih besar ketimbang mereka yang belum memiliki
anak. Tanggung jawab yang besar dalam perkembangan anak mungkin akan
menjadi konstributor yang besar bagi konflik pekerjaan – keluarga (Bohen &
Viveros-Long,dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Sejumlah studi menunjukan
bahwa orang tua dari anak yang masih kecil (usia prasekolah) merasakan konflik
yang lebih besar daripada orang tua yang memiliki anak relatif sudah lebih besar
(Greenhaus & Beutell, Greenhaus & Kopelman, Pleck dkk, dalam Greenhaus &
Beutell, 1985). Keluarga yang besar yang diasumsikan memiliki lebih banyak

Universitas Sumatera Utara

tuntutan daripada keluarga kecil, memiliki hubungan yang positif dengan
tingginya tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Cartwright, Keith & Schefer,
dalam Greenhaus & Beutell, 1985).
Kesimpulannya, jadwal kerja, orientasi kerja, pernikahan, anak – anak,
dan pola pekerjaan pasangan seluruhnya mungkin menghasilkan tekanan untuk
berpartisipasi secara luas dalam peran pekerjaan atau peran keluarga. Konflik
dialami ketika tekanan –tekanan waktu ini tidak kompetibel dengan tuntutan
domain peran lain.
b. Strain Based Conflict
Yang dimaksud dengan strain based conflict yaitu ketegangan yang dihasilkan
oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran
yang lain. Ketegangan yang ditimbulkan akan mempengaruhi kualitas hidup
secara keseluruhan. Ketegangan peran ini termasuk stres, tekanan darah
meningkat, kecemasan, cepat marah, dan sakit kepala.
Strain based conflict muncul saat ketegangan yang diakibatkan dari
menjalankan peran yang satu, mempengaruhi performa individu di perannya yang
lain. Peran – peran tersebut menjadi bertentangan karena ketegangan akibat peran
yang satu membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan perannya yang lain.
Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:
1. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.
Peran dalam pekerjaan yang tidak jelas (ambigu) dan atau konflik dalam peran di
pekerjaan memiliki hubungan yang positif dengan konflik pekerjaan – keluarga
(Jones & Butler, Kopelman dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Kurangnya

Universitas Sumatera Utara

dukungan dari atasan juga menyebabkan tingginya konflik peran pekerjaan (Jones
& Butler, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Stresor yang berasal dari pekerjaan
seperti budaya kerja yang berubah – ubah, stres dalam komunikasi dan
konsentrasi yang dibutuhkan dalam menjalankan pekerjaan, menurut Bruke dkk
(dalam Greenhaus & Beutell, 1985) memiliki hubungan yang positif dengan
konflik pekerjaan – keluarga. Selain itu, penggunaan sebagian besar waktu untuk
melakukan salah satu peran juga dapat mengakibatkan ketegangan. Seperti,jam
kerja yang panjang dan tidak fleksibel, serta adanya kerja lembur dapat
menyebabkan time based conflict begitu juga strain based conflict. Walaupun
keduanya merupakan konsep yang berbeda, namun ada beberapa sumber konflik
yang dapat digolongkan kepada kedua dimensi konflik tersebut.

2. Sumber konflik yang berasal dari keluarga.
Bagi mereka yang mempunyai pasangan yang mendukung dapat mengurangi
tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Holahan & Gilbert, dalam Greenhaus &
Beutell, 1985). Menurut Beutell &Greenhaus (dalam Greenhaus & Beutell, 1985)
perempuan yang memiliki orientasi karier yang berbeda dengan suaminya,
merasakan tingkatan konflik antar peran yang lebih tinggi. Besar kemungkinan
perbedaan pasangan dalam keyakinan – keyakinan fundamental dapat
melemahkan sistem dukungan mutual dan dapat menghasilkan stres.
Kesimpulannya, ketegangan, konflik, atau kurangnya dukungan dari
keluarga dapat menyebabkan konflik pekerjaan – keluarga. Sedangkan pada
domain pekerjaan, karakteristik peran keluarga yang menghasilkan komitmen

Universitas Sumatera Utara

waktu ekstensi juga dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan
ketegangan.
c. Behaviour Based Conflict
Yang dimaksud dengan behaviour based conflict adalah konflik yang muncul
ketika suatu tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan
untuk peran yang lain. Ketidakefektifan tingkah laku ini dapat disebabkan oleh
kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah lakunya kepada orang lain.
Atau perilaku – perilaku yang diharapkan muncul pada saat menjalankan peran
yang satu kadang bertentangan dengan ekspektasi dari peran yang lain. Misalnya
seorang ibu yang diharapkan menekankan perilaku yang tegas, stabil secara
emosional dan objektif (Schein, dalam Greenhaus & Beutell, 1985), diharapkan
oleh anggota keluarganya untuk berperilaku hangat, penuh kasih sayang,
emosional dan peka saat berinteraksi dengan mereka.
Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua:
1. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.
Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan adalah work ambiguity dan work
involvement. Yang dimaksud dengan work involvement adalah sebuah konsep
yang menjelaskan tentang respon psikologis individu tentang perannya dalam
pekerjaan serta tingkatan dimana individu secara psikologis mengidentifikasikan
dirinya dengan pekerjaannya, dan pentingnya pekerjaan tersebut terhadap
gambaran dan konsep dirinya (Lodahl & Kehner, 1965, Yogev & Brett, 1985,
dalam Duxburry & Higgins, 1991)
2. Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Sumber konflik dari keluarga misalnya adalah peran yang membingungkan di
dalam keluarga (ambigu), konflik intra keluarga, dukungan sosial dan family role
involvement (Carlson, Kecmar, & Williams, 2000, dalam Greenhaus & Beutell,
1985). Family role involvement adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang
tingkatan dimana individu secara psikologis mengidentfikasikan dirinya dengan
peran – peran dalam keluarga, pentingnya keluarga terhadap konsep diri dan
gambaran dirinya serta komitmen individu terhadap peran – peran dalam keluarga
(Yogev & Brett, 1985 dalam Duxburry & Higgins, 1991).
Dimensi – dimensi yang diungkapkan oleh Greenhaus &Beutell (1985)
merupakan elemen – elemen yang dapat menimbulkan konflik pekerjaan –
keluarga. Setiap dimensi memiliki sumber konflik yang sesuai dengan definisi
dimensi.

2.1.2.4 Strategi Penyelesaian Konflik Peran Ganda
Setiap permasalahan tentunya memiliki jalan yang keluar yang baik.
Penanganan yang baik terhadap suatu masalah tentunya tidak akan memberikan
dampak negative tetapi akan memberikan dampak positif. Penanganan konflik
peran ganda seharusnya dapat memberikan solusi baik oleh individu maupun
perusahaan, agar keharmonisan rumah tangga dapat tercapai dan tujuan dari
perusahaan juga dapat tercapai. Terdapat dua startegi dalam mengatasi konflik
peran ganda yaitu :
a. Strategi individu

Universitas Sumatera Utara

Strategi yang harus dilakukan oleh seorang individu dalam manajemen waktu
yang baik, sehingga akan terciptanya keseimbangan antara keluarga dan
pekerjaan sehingga dapat memberikan peran yang maksimal untuk masingmasing peran yang dilakukan.
b. Strategi Perusahaan
Menurut Nelson dan Quick (2010) ada beberapa strategi perusahaan yang
harus dilakukan agar konflik peran ganda dapat diminimalisir dan tidak
mengganggu pekerjaan yaitu :
1. Waktu kerja yang fleksibel
2. Adanya jadwal kerja yang alternative
3. Adanya fasilitas penitipan anak
4. Kebijakan izin keluarga
5. Job sharing
Antara individu dan perusahaan haruslah bersama-sama menentukan
kebijakan apa yang diambil sehingga tidak merugikan masing-masing pihak. Dan
yang terpenting pekerja wanita tidak mengalami stress yang berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan maupun mutu dari kehidupan berkeluarga wanita tersebut
sehingga tidak mengurangi keharmonisan dalam keluarga.

2.1.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda
Menurut Stonner dkk (1990), faktor-faktor yang mempengaruhi konflik
peran ganda adalah :

Universitas Sumatera Utara

a. Time pressure, jika waktu yang digunakan untuk bekerja lebih banyak, maka
waktu yang digunakan untuk keluarga semakin sedikit.
b. Family size and support, jika anggota keluarga semakin banyak jumlahnya
maka akan semakin banyak konflik yang akan timbul. Apabila dengan
banyaknya jumlah anggota keluarga yang memberikan dukungan maka akan
sedikit terjadi konflik.
c. Job satisfaction, konflik akan dirasakan lebih sedikit apabila kepuasan kerja
seorang karyawan tersebut tinggi.
d. Marital and life satisfaction, apabila seorang wanita bekerja, maka semakin
banyak konsekuensi negative dalam pernikahannya.
e. Size of firm, konflik peran ganda mungkin juga dipengaruhi oleh banyak
karyawan yang bekerja didalam perusahaan tersebut.
2.1.3

Kompensasi

2.1.3.1 Pengertian Kompensasi
Kompensasi sangat penting bagi karyawan sebagai individu, karena
besarnya kompensasi merupakan pencerminan atau ukuran nilai pekerjaan.
Sebaliknya besar kecilnya kompensasi dapat mempengaruhi prestasi kerja,
motivasi, dan kepuasan kerja karyawan (Nova, 2012 : 1).
Menurut Garry Dessler dalam Subekhi (2012:175) “kompensasi adalah
setiap bentuk pembayaran atau imbalan yang diberikan kepada karyawan dan
timbul dari pekerjaannya tersebut”. Besarnya kompensasi ditentukan oleh beban
kerja dan resiko kerja yang dimiliki oleh karyawan oleh karena itu dikatakan
bahwa kompensasi timbul dari pekerjaanya.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Sikula dalam Mangkunegara (2007 : 83) bahwa: ”Kompensasi
merupakan sesuatu yang dipertimbangkan sebagai sesuatu yang sebanding. Dalam
kepegawaian, hadiah yang bersifat uang merupakan kompensasi yang diberikan
kepada pegawai sebagai penghargaan dari pelayanan mereka”.
Menurut Mondy (2008) ”kompensasi adalah total seluruh imbalan yang
diterima para karyawan sebagai pengganti jasa yang telah mereka berikan. Tujuan
umum pemberian kompensasi adalah untuk menarik, mempertahankan, dan
memotivasi karyawan”.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kompensasi adalah
segala bentuk balas jasa yang diberikan kepada karyawan atas kontribusinya
terhadap perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Didalam
perusahaan, sistem pemberian kompensasi dapat menjadi motivasi bagi karyawan
untuk bekerja lebih baik dan dapat meningkatkan kinerja karyawan.

2.1.3.2 Jenis-jenis Kompensasi
Salah satu tujuan pokok karyawan dalam bekerja adalah untuk
memperoleh kompensasi yang sering kali berupa gaji yang diterima karyawan
secara periodik. Kompensasi diadakan agar karyawan dapat memenuhi seluruh
atau sebagian kebutuhan dan keinginan karyawan. Perusahaan memberikan
kompensasi sebagai salah satu bentuk penghargaan atau jasa yang telah diberikan
oleh karyawan melalui hasil kerja.
Kompensasi diberikan kepada karyawan dalam dua bentuk yaitu :
A. Kompensasi Finansial

Universitas Sumatera Utara

Kompensasi finansial terdiri dari 2 macam yaitu :
1. Kompensasi finansial langsung
a. Upah, menurut Diana dan Setiawati (2011 : 174) diartikan sebagai
bahwa upah diberikan atas dasar kinerja harian. Upah adakalanya juga
didasarkan pada unit produk yang dihasilkan. Sedangkan Rivai (2004 :
375) mengartikan upah sebagai imbalan finansial langsung yang
dibayarkan kepada karyawan berdasarkan jam kerja, jumlah barang
yang dihasilkan atau banyaknya pelayanan yang diberikan.
b. Gaji, menurut Mardi (2011 : 107) merupakan sebuah bentuk
pembayaran atau sebuah hak yang diberikan oleh sebuah perusahaan
atau instansi kepada pegawai.
c. Bonus, menurut Mathis dan Jackson (2000 : 369) mendefinisikan
bonus sebagai pembayaran satu kali yang tidak menjadi bagian dari
gaji pokok karyawan.
d. Insentif
Insentif merupakan imbalan langsung yang dibayarkan kepada
karyawan karena kinerjanya melebihi standar yang ditentukan. Dengan
mengasumsikan bahwa uang dapat digunakan untuk mendorong
karyawan bekerja lebih giat lagi, maka mereka yang produktif lebih
menyukai gajinya dibayarkan berdasarkan hasil kerja. Untuk itu
diperlukan kemampuan untuk menentukan standar yang tepat. Tidak
terlalu mudah untuk dicapai dan juga tidak terlalu sulit. Standar yang

Universitas Sumatera Utara

terlalu mudah tentunya tidak menguntungkan bagi perusahaan.
Sedangkan yang terlalu sulit menyebabkan karyawan frustasi.
2. Kompensasi Finansial Tidak Langsung/ Tunjangan, yang terdiri atas:
a. Program Asuransi, merupakan jaminan atau pertanggungan kepada
karyawan dan keluarga mereka apabila terjadi suatu resiko finansial
atas diri mereka sesuai dengan jumlah polis yang disepakati. Jaminan
ini diberikan oleh perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan
asuransi. Menurut Rivai (2004 : 398) jaminan asuransi yang dapat
diberikan kepada karyawan antara lain adalah asuransi kesehatan,
asuransi jiwa, asuransi karena ketidakmampuan fisik atau mental
karyawan, dan jaminan asuransi lainnya.
b. Program pensiun, menurut Rivai (2004 : 401) program ini diberikan
kepada yang telah bekerja pada perusahaan untuk masa tertentu, dan
merupakan program dalam rangka memberikan jaminan keamanan
finansial bagi karyawan yang sudah tidak produktif. Program ini
bukanlah sesuatu yang diharuskan oleh pemerintah sehingga hanya
perusahaan swasta bertaraf nasional maupun internasional saja yang
biasanya menggunakan program ini selain instansi pemerintah yang
memang diwajibkan memberikan dana pensiun kepada pegawai
tetapnya.
c. Bayaran saat tidak masuk kerja, menurut Rivai (2004 : 405) yang
termasuk dalam kategori ini adalah istirahat selama jam kerja, cuti

Universitas Sumatera Utara

sakit, cuti dan liburan, bebas dari kehadiran, serta asuransi
pengangguran.
B. Kompensasi Non Finansial
Kompensasi non finansial adalah suatu bentuk kompensasi yang mampu
memenuhi keadaan psikologis karyawan selama bekerja diperusahaan tersebut.
Kompensasi ini dapat berhubungan dengan pekerjaan seperti pemberian tugastugas yang menarik, tantangan baru dalam pekerjaan, tanggungjawab menarik,
pengakuan dari perusahaan, dan rasa pencapaian. Selain berhubungan dengan
pekerjaan, kompensasi non finansial juga dapat berhubungan dengan suasana
tempat kerja seperti kebijakan-kebijakan perusahaan yang sehat, lingkungan kerja
yang nyaman, supervise yang kompeten serta teman kerja yang menyenangkan
sehingga karyawan merasa senang bekerja diperusahaan tersebut.
2.1.3.3 Tujuan Kompensasi
Hasibuan (2012 : 121) memberikan beberapa tujuan kompensasi yaitu :
a. Ikatan kerjasama
Dengan pemberian kompensasi terjalinlah ikatan kerja sama formal antara
majikan dengan karyawan. Karyawan harus mengerjakan tugas-tugasnya
dengan baik, sedangkan pengusaha/majikan wajib membayar kompensasi
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

b. Kepuasan Kerja

Universitas Sumatera Utara

Dengan balas jasa, karyawan akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
fisik, status sosial, dan egoisnya sehingga memperoleh kepuasan kerja dari
jabatannya.
c. Pengadaan Efektif
Jika program kompensasi ditetapkan cukup besar, pengadaaan karyawan yang
qualified untuk perusahaan akan lebih mudah.
d. Motivasi
Jika balas jasa yang diberikan cukup besar, manajer akan lebih mudah
memotivasi bawahannya.
e. Stabilitas Karyawan
Dengan program kompensasi atas prinsip adil dan layak serta eksternal
konsistensi yang kompentatif maka stabilitas karyawan lebih terjamin karena
turn-over relative kecil.
f. Disiplin
Dengan pemberian balas jasa yang cukup besar maka disiplin karyawan
semakin baik. Mereka akan menyadari serta menaati peraturan-peraturan yang
berlaku.
g. Pengaruh Serikat Buruh
Dengan program kompensasi yang baik pengaruh serikat buruh dapat
dihindarkan dan karyawan akan konsentrasi pada pekerjaanya.

h. Pengaruh Pemerintah

Universitas Sumatera Utara

Jika program kompensasi sesuai dengan Undang-Undang ketenagakerjaan
yang berlaku (seperti batas upah minimum), maka intervensi pemerintah dapat
dihindarkan.
Sedangkan menurut Handoko (2011 : 156) tujuan kompensasi dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Memperoleh personalia yang qualified
b. Mempertahankan para karyawan yang ada sekarang
c. Menjamin keadilan
d. Menghargai perilaku yang diinginkan
e. Mengendalikan biaya-biaya
f. Memenuhi peraturan-peraturan legal
Dari pengertian diatas terlihat bahwa kompensasi merupakan alat pengikat
perusahaan terhadap karyawannya, dan sebagai faktor penarik serta pendorong
seorang menjadi karyawan yang sukses. Dengan demikian kompensasi
mempunyai fungsi yang cukup penting di dalam memperlancar jalannya roda
organisasi/perusahaan.
2.1.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Kompensasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kompensasi, antara lain
sebagai berikut (Hasibuan, 2011 : 126) :
1) Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja
Jika pencari kerja (penawaran) lebih banyak daripada lowongan pekerjaan
(permintaan) maka kompensasi relatif kecil. Sebaliknya jika pencari kerja lebih
sedikit daripada lowongan pekerjaan, maka kompensasi relatif semakin besar.

Universitas Sumatera Utara

2) Kemampuan dan Kesediaan Perusahaan
Apabila kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk membayar semakin baik
maka tingkat kompensasi akan semakin besar. Tetapi sebaliknya, jika kemampuan
dan kesediaan perusahaan untuk membayar kurang maka tinggkat kompensasi
relatif kecil.
3) Serikat Buruh/Organisasi Karyawan
Apabila serikat buruhnya kuat dan berpengaruh maka tingkat kompensasi semakin
besar. Sebaliknya jika serikat buruh tidak kuat dan kurang berpengaruh maka
tingkat kompensasi relatif kecil.
4) Produktifitas Kerja Karyawan
Jika produktifitas kerja karyawan baik dan layak dan banyak maka kompensasi
akan semakin besar. Sebaliknya kalau produktifitas kerjanya buruk serta sedikit
maka kompensasinya kecil.
5) Pemerintah dengan Undang-Undang dan Keppresnya
Pemerintah dengan Undang-Undang dan Keppresnya menetapkan besarnya batas
upah/balas jasa minimum. Peraturan pemerintah ini sangat penting supaya
pengusaha tidak sewenang-wenang menetapkan besarnya balas jasa bagi
karyawan.
Pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat dari tindakan sewenag-wenang.
6) Biaya hidup
Apabila biaya hidup di daerah itu tinggi maka tingkat kompensasi/upah semakin
besar. Sebaliknya, jika tingkat hidup di daerah itu rendah maka tingkat
kompensasi/upah semakin kecil.

Universitas Sumatera Utara

7) Posisi Jabatan Karyawan
Karyawan yang menduduki jabatan lebih tinggi akan menerima gaji/kompensasi
lebih besar. Sebaliknya karyawan yang menduduki jabatan yang lebih rendah akan
memperoleh kompensasi/gaji yang kecil. Hal ini wajar karena seseorang yang
mendapat wewenang dan tanggung jawab yang

besar harus mendapatkan

gaji/kompensasi yang lebih besar pula.
8) Pendidikan dan Pengalaman Karyawan
Jika pendidikan lebih tinggi dan pengalaman kerja lebih lama maka gaji/balas jasa
akan semakin bear, karena kecakapan serta keterampilannya lebih baik.
Sebaliknya, karyawan yang berpendidikan rendah dan pengalaman kerja yang
kurang maka tingkat gaji/kompensasinya kecil.
9) Kondisi Perekonomian Nasional
Apabila

kondisi

perekonomian

nasional

sedang

maju

maka

tingkat

upah/kompensasi akan semakin besar, karena akan mendekati kondisi full
employment. Sebaliknya, jika kondisi perekonomian kurang maju maka tingkat
upah rendah, karena terdapat banyak pengganggur.
10) Jenis dan Sifat Pekerjaan
Kalau jenis dan sifat pekrjaan yang sulit dan mempunyai resiko (financial,
keselamatan) yang besar maka tingkat upah/balas jasanya semakin besar karena
membutuhkan kecakapan serta ketelitian untuk mengerjakan. Tetapi jika jenis dan
sifat pekerjaannya mudah dan resiko (finansial, kecelakaan) kecil, tingkat
upah/balas jasanya relatif rendah.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4

Intention to Leave (Keinginan Meninggalkan Perusahaan)

2.1.4.1 Pengertian Intention to Leave
Intention to leave adalah minat untuk mengundurkan diri permanen
secara sukarela ataupun tidak dari suatu organisasi (Robbins, 2001). Miller (2007)
menyebutkan bahwa keinginan untuk keluar (intention to leave) pada beberapa
literature disebut juga turnover intention (Chaaban, 2006), anticipated turnover
(Hinshaw & Atwood, 1985), dan intention to quit (Mowday, Stress, & Peter,
1979).
Menurut Glissmeyer, Bishop & Fass, 2008 (dalam I Ilhami Yucel, 2012 :
45) Turnover Intention didefinisikan sebagai sikap yang mempengaruhi niat untuk
berhenti dan benar-benar berhenti dari organisasi.
Firth (2004) mendefinisikan keinginan untuk keluar atau intention to leave
adalah “kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti dari pekerjaannya
secara sukarela menurut pilihannya sendiri”. Keinginan untuk keluar sangat
dipengaruhi oleh ketidakpuasan kerja, rendahnya tingkat komitmen organisasi dan
tingginya stress kerja yang disebabkan oleh job stressor.
Tingkat intention to leave yang tinggi juga mengganggu jalannya efisiensi
organisasi ketika seseorang yang berwawasan dan berpengalaman mengundurkan
diri dan pengganti harus segera ditemukan untuk posisi tersebut. Yang sering
terjadi adalah intention to leave terjadi pada seseorang yang dibutuhkan oleh
organisasi. Jadi ketika intention to leave terjadi secara berlebihan, atau melibatkan
personil yang berkualitas, hal ini dapat menjadi faktor yang mengganggu dan
menghambat efektifitas organisasi.

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.2 Indikasi Terjadinya Intention to Leave
Menurut Harnoto (2009 : 2) Intention to leave ditandai oleh berbagai hal
yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain : absensi yang meningkat, mulai
malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar tata tertib kerja, keberanian
untuk menantang atau proses kepada atasan, maupun keseriusan untuk
menyelesaikan semua tanggungjawab karyawan yang sangat berbeda dari
biasanya. Indikasi-indikasi tersebut bisa digunakan sebagai acuan untuk
memprediksikan intention to leave karyawan dalam sebuah perusahaan.
1. Absensi yang meningkat. Karyawan yang berkeinginan untuk
melakukan pindah kerja, biasanya ditandai dengan absensi yang
semakin meningkat. Tingkat tanggungjawab dalam fase ini sangat
kurang dibandingkan dengan sebelumnya.
2. Mulai malas bekerja. Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan
pindah kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini
adalah bekerja ditempat lainnya yang dipandang lebih mampu
memenuhi semua keinginan karyawan bersangkutan.
3. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja. Berbagai
pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan pekerjaan sering
dilakukan

karyawan

yang

berkeinginan

untuk

meninggalkan

perusahaan. karyawan lebih sering meninggalkan tempat jam kerja
ketika jam-jam kerja sedang berlangsung, maupun berbagai bentuk
pelanggaran lainnya.

Universitas Sumatera Utara

4. Peningkatan protes terhadap atasan. Karyawan yang berkeinginan
untuk melakukan pindah kerja, lebih sering melakuka protes terhadap
kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang
ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain
yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan.
5. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Biasanya hal ini
berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini
mempunyai tanggungjawab yang tinggi terhadap tugas yang
dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan
berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan
meninggalkan perusahaan.

2.1.4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Untuk Keluar (Intention to Leave)
Mor Barak, Nissli, dan Levin (2001) menambahkan tiga kategori yang
menjadi turnover antecedent yaitu, faktor demografis (personal dan workrelated), profession perception (komitmen organisasi dan kepuasan kerja), dan
organizational condition (keadilan dalam memberikan kompensasi dan budaya
organisasi).
a. Faktor demografis
Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa usia, tingkat pendidikan,
jenis kelamin, masa kerja, dan level jabatan menjadi predictor intention to
leave karyawan. Individu yang muda dan memiliki pendidikan yang tinggi
cenderung memiliki keinginan yang lebih besar untuk meninggalkan

Universitas Sumatera Utara

pekerjaannya. Hal ini sejalan dengan temuan Leontaridi dan Ward (2002).
Pekerja minoritas yang berbeda gender, etnik, jenis kelamin, atau usia dengan
lingkungan tempat bekerja memiliki intention to leave yang lebih besar.
Sedangkan individu yang memiliki masa kerja lebih lama dan jabatan yang
lebih tinggi cenderung untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. Mor Barak,
Nissli, dan Levin (2001) menambahkan bahwa faktor demografis merupakan
predictor intention to leave.
b. Professional Perception
Individu yang memiliki konflik nilai dengan organisasi tempatnya bekerja
akan cenderung untuk meninggalkan pekerjaannya. Sedangkan individu yang
memiliki kecocokan dengan nilai organisasi tempatnya bekerja cenderung
untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. Komitmen organisasi merupakan
salah satu predictor intention to leave. Mowday, Steers, dan Porter (1979
dalam Mor Barak, Nissli, dan Levin, 2001) menjelaskan bahwa individu yang
memiliki komitmen tinggi terhadap organisasi, nilai organisasi, dan belief
yang sama dengan organisasi cenderung untuk tetap berada pada organisasi
tersebut. Semakin tinggi komitmen organisasi semakin rendah intention to
leave karyawan. Job satisfaction juga merupakan predictor yang konsisten
terhadap intention to leave dimana semakin tinggi job satisfaction seorang
karyawan, semakin rendah intention to leave yang dimiliki, dan sebaliknya.
Miller (2007) dan Cabigao (2009) juga menemukan hasil serupa bahwa
terdapat hubungan negative antara job satisfaction dan intention to leave.
c. Kondisi Organisasi

Universitas Sumatera Utara

Sebagian besar karyawan pada berbagai sektor organisasi cenderung
mengasosiasikan kondisi organisasi dengan job stress. Beberapa penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki tingkat job stress
yang tinggi akan cenderung untuk meninggalkan pekerjaannya. Job stress
sangat berkorelasi dengan turnover, role overload, dan ketidakjelasan
deskripsi pekerjaan. Dukungan kerja dari karyawan lain dan atasan dapat
mereduksi tingkat job stress pada karyawan. Leontaridi dan Ward (2002)
menambahkan bahwa job stress merupakan determinan dari intention to leave
pada pekerjaan. Hal ini lebih sering ditemukan pada perempuan dari pada lakilaki Avey, Luthans, dan Jensen (2009) memiliki hasil penelitian yang serupa,
yaitu job stress memiliki hubungan positif yang signifikan dengan intention to
leave. Semakin tinggi job stress pada individu, semakin tinggi pula intention
to leave pada individu. American Psychological Assocation (2007, dalam
Avey, Luthans, dan Jensen 2009) mengidentifikasi bahwa pekerjaan yang
menjadi sumber utama stress adalah beban kerja yang berat, harapan kerja
yang tidak menentu, dan panjangnya jam kerja.
Mobley (1986) dalam Rodly (2012) menyatakan bahwa banyak faktor yang
menyebabkan karyawan berpindah dari tempat kerjanya namun faktor
determinan keinginan berpindah diantaranya adalah :
1. Kepuasan Kerja
Pada tingkat individual, kepuasan merupakan variabel psikologi yang
paling sering diteliti dalam suatu model intention to leave. Aspek
kepuasan yang ditemukan berhubungan dengan keinginan individu

Universitas Sumatera Utara

untuk meninggalkan organisasi meliputi kepuasan akan upah dan
promosi, kepuasan atau supervise yang diterima, kepuasan dengan
rekan kerja dan kepuasan akan pekerjaan dan isi kerja.
2. Komitmen Organisasi
Karena hubungan kepuasan kerja dengan keinginan meninggalkan
tempat kerja hanya menerangkan sebagian kecil varian maka jelas
model proses intention to leave karyawan harus menggunakan variabel
lain diluar kepuasan kerja sebagai satu-satunya variabel penjelas.
Perkembangan selanjutnya dalam studi intention to leave memasukkan
konstruk komitmen organisasional sebagai konsep yang turut
menjelaskan proses tersebut sebagai bentuk perilaku, komitmen
organisasional dapat dibedakan dari kepuasan kerja. Komitmen
mengacu

pada

respon

emosional

(affective)

individu

kepada

keseluruhan organisasi, sedangkan kepuasan mengarah pada respon
emosional atau aspek khusus dari pekerjaan.
Menurut Griffet (1995) dalam Rodly (2012) bahwa hampir semua
model intention to leave dikarenakan oleh tingkat kepuasan kerja dan
komitmen organisasi yang rendah yaitu :
a. Kepuasan kerja adalah sikap yang paling berpengaruh terhadap
intention to leave. Hasil studi menunjukkan bahwa kepuasan kerja
berkaitan erat dengan proses kognisi menarik diri (pre withdrawl
cognition), intensi untuk pergi dan tindakan nyata berupa
keputusan untuk keluar dari tempat kerja.

Universitas Sumatera Utara

b. Komitmen organisasi adalah faktor yang paling berpengaruh
terhadap terjadinya intention to leave dibanding kepuasan kerja.

2.1.4.4.1 Dimensi Keinginan Untuk Keluar (Intention to Leave)
Dimensi keinginan pindah karyawan diukur dengan indikator sebagai
berikut (Mas’ud, 2004) :
1. Sering berfikir keluar dari pekerjaan sekarang
2. Kemungkinan meninggalkan pekerjaan yang sekarang
3. Kemungkinan individu akan meninggalkan organisasi apabila
ada kesempatan yang lebih baik.

2.2 Penelitian Terdahulu
Rinaldi Adji (2015) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Sistem
Pengembangan Karir, Kompetensi dan Kompensasi terhadap Intention to Leave
pada PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sistem pengembangan karir, kompetensi, dan kompensasi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap intention to leave karyawan PT
Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan.
Roby Pardomuan (2015) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Penilaian Kinerja, Kompensasi, dan Jenjang Karir terhadap Intention to Leave
karyawan pada PT CIMB Niaga cabang Siantar. Hasil penelitian menemukan
bahwa secara parsial maupun simultan, penilaian kinerja, kompensasi dan jenjang
karir mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat intention to

Universitas Sumatera Utara

leave pada PT. Bank CIMB Niaga Cabang Pematang Siantar. Dan yang paling
dominan mempengaruhi tingkat intention to leave pada Bank CIMB Niaga
Cabang Pematang Siantar adalah jenjang karir.
Ana Sri Wahyuni (2014) melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention Karyawan Pada Perusahaan
Jasa Konstruksi”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Faktor Internal yang
secara signifikan dan berpengaruh positif terhadap turnover intention karyawan
adalah Komitmen Organisasional dan Hubungan Karyawan dengan Atasan.
Faktor Eksternal yang secara signifikan dan berpengaruh positif terhadap turnover
intention karyawan pada perusahaan jasa konstruksi adalah Gaji, Insentif, dan
Sikap Atasan.
Komariah et al (2012) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Konflik Peran Ganda, Kepuasan Kerja, dan Komitmen Organisasi Terhadap
Turnover Intention Karyawan Pada CV Bartec Semarang”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel Konflik Peran Ganda berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Turnover Intention karyawan. Sedangkan Kepuasan Kerja dan
Komitmen Organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap Turnover
Intention karyawan.
Khairunneezam Mohd Noor (2011) melakukan penelitian dengan judul
“Work-Life Balance and Intention to Leave among academics in Malaysian
Public Higher Education Institution”. Berdasarkan hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Keseimbangan Kehidupan Kerja berpengaruh positif dan

Universitas Sumatera Utara

signifikan

terhadap

Kepuasan

Kerja.

Keseimbangan

Kehidupan

Kerja

berpengaruh negative dan signifikan terhadap Intention to Leave.
Najaf Aghaei, Keivan Moshiri & Shahnaz Shahrbanian (2012) melakukan
penelitian dengan judul “Relationship Between Organizational Justice and
Intention to Leave in Employees of Sport and Youth Head Office of Tehran”. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Keadilan Organisasional berpengaruh Negatif
dan Signifikan terhadap Intention to Leave karyawan.
Safiah Omar (2013) melakukan penelitian dengan judul “Career
Adaptability and Intention to Leave Among ICT Professionals : An Exploratory
Study”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Penyesuaian Karir berpengaruh
negative dan signifikan terhadap Intention to Leave.
Assist.Prof.Dr.Kurtlus KAYMAZ (2014) melakukan penelitian dengan
judul “Effect of Loneliness at Work on The Employees’ Intention to Leave”. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Kesendirian dalam Bekerja berpengaruh positif
dan signifikan terhadap Intention to Leave.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Peneliti

Judul Penelitian

Variabel Penelitian

Adji (2015)

Pengaruh Sistem
Pengembangan Karir,
Kompetensi, dan
Kompensasi terhadap
Intention to Leave di
PT Pelabuhan
Indonesia I (Persero)
Medan

Dependen
a. Sistem
Pengembangan Karir
b. Kompetensi
c. Kompensasi
Independen
a. Intention to Leave

Metode
Penelitian
Analisis
Regresi
Linear
Berganda

Hasil Penelitian
Hasil analisis menunjukkan
bahwa variabel
pengembangan karir,
kompetensi, dan kompensasi
berpengaruh negative dan
signifikan terhadap Intention
to Leave karyawan.

Universitas Sumatera Utara

Lanjutan Tabel 2.1

Pardomuan
(2015)

Pengaruh Penilaian
Kinerja, Kompensasi,
dan Jenjang Karir
terhadap Intention to
Leave Karyawan pada
PT Bank CIMB Niaga
Cabang Pematang
Siantar

Dependen
a. Penilaian Kinerja
b. Kompensasi
c. Jenjang Karir

Analisis Faktor-faktor
yang Mempengaruhi
Turnover Intention
Karyawan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Kompetensi Dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

16 156 130

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

2 18 163

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

0 7 11

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

0 0 2

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

0 2 13

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

0 3 2

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Konflik Peran Ganda, dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Wanita Pada PT Garuda Indonesia, Tbk Medan

0 0 16

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Kompetensi Dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Kompetensi Dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

0 0 9

Pengaruh Sistem Pengembangan Karir, Kompetensi Dan Kompensasi Terhadap Intention To Leave Karyawan Pada Pt. Pelabuhan Indonesia I (Persero) Medan

0 0 11