Pengaruh Karakteristik Pekerja dan Kualitas Udara terhadap Gangguan Pernafasan Pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Udara

2.1.1.Pengertian Pencemaran Udara

Salah satu jenis pencemaran lingkungan hidup adalah pencemaran udara. Menurut Farsiaz (1992), udara di alam yang kita hirup tidak pernah ditemukan benar-benar bersih tanpa polutan sama sekali tetapi selalu mengandung partikel-partikel asing yang jika konsentrasinya terlalu tinggi ataupun melewati nilai ambang batas yang ditentukan akan dapat menyebabkan kualitas udara menurun atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan permukaannya. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara menyatakan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energy, dari komponen lain ke dalam udara ambient oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak dapat memenuhi fungsinya.

Menurut Mukono (2003) pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substraks fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tetentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat dihitung atau di ukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang vegetasi dan material selain itu pencemaran udara dapat pula dikatakan sebagai perubahan


(2)

atmosfer oleh karena masuknya bahan kontaminan alami atau buatan ke dalam atmosfer tersebut.

Menurut Aditama (1992), pengertian lain dari pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrak fisik dan kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang dan mineral dikarenakan oleh kontaminan alami dan buatan kedalam atmosfer.

Menurut Maters (1991) yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substratfisik atau kimia kedalam manusia (atau yang dapat, dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material. Selain itu pencemaran udara dapat pula dikatakan sebagai perubaban atmosfer oleh karena masuknya bahan kontaminan alami atau buatan ke dalam atmosfer tersebut.

Bahan pencemar udara atau polutan dapat di klasifikasikan menjadi 2 bagian (Mukono H.J, 1997) yaitu :

Pencemaran udara oleh partikel dapat disebabkan karena peristiwa alamiah dan dapat juga disebabkan oleh ulah manusia, lewat kegiatan industri dan tekhnologi. Partikel yang mencemari udara banyak macam dan jenisnya tergantung pada macam dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada (Summa’mur, 1995).

1. Polutan Primer adalah polutan yang dikeluarkan langsung dari sumber tertentu dan dapat berupa :


(3)

a) Polutan gas seperti CO, CO2, Sulfur Oksida, Nitrogen Oksida, Amoniak, dan senyawa halogen (fluor, klorin, hydrogen khlorida, hidrokarbon terkhlorinisi, dan bromin).

b) Partikel yang ada di atmosfer mempunyai karakteristik yang spesifik, dapat berupa zat padat maupun suspense aerosol cair diatmosfer. Bahan partikulat tersebut berasal dari proses kondensasi, proses disperse (seperti proses menyemprot/spraying) maupun proses erosi bahan tertentu. Asap (smoke) sering kali dipakai untuk menunjukkan campuran bahan partikulat (partikulat matter), uap (fumes), gas dan kabut (mist).

Penyebab terjadinya pencemaran lingkungan di atmosfer biasanya berasal dari sumber kendaraan bermotor dan atau industri. Bahan pencemar yang dikeluarkan antara lain gas NO2, SO2, SO3, Ozon, CO, HC dan partikel debu. Gas NO2, SO2, CO, dan HC dapat dihasilkan oleh proses pembakaran dari mesin yang menggunakan bahan bakar yang berasal dari fosil.

2. Polutan sekunder

Biasanya terjadi karena reaksi kimia dari dua atau lebih bahan kimia di udara, misalnya reaksi foto kimia. Sebagai contoh adalah disosiasi NO2 yang menghasilkan NO dan O radikal. Proses kecepatan dan arah reaksinya dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : konsentrasi relative dari bahan reaktan, derajat fotoaktivasi, kondisi iklim, fotografi local dan adanya embun. Polutan sekunder mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak stabil. Termasuk


(4)

dalam polutan sekunder ini adalah ozon, Peroxy Acyl Nitrat (PAN), dan formaldehid.

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udara adalah juga atmosfir yang berada disekeliling bumi yang fungsinya sangat penting bagi kehidupan didunia. Dalam udara terdapat oksigen (O2) untuk bernapas, CO2 untuk proses fotosintesis oleh klorofil daun dan Ozon (O3

Komposisi udara normal terdiri dari oksigen yang menempati 20% secara proporsional, nitrogen sebesar 78 hingga 79%, selebihnya sekitar 1% ditempati oleh berbagai zat, seperti CO2, argon, methane, ozone, NO2, amoniak, hydrogen dan lain sebagainya (Achmadi, 1978, Mukono, 2009).

) untuk menahan sinar ultraviolet.

Pengertian lain dari pencemaran udara adalah terdapat bahan kontaminan di atmosfer karna ulah manusia (man made). Hal ini untuk membedakan dengan pencemaran udara alamiah dan pencemaran udara di tempat kerja (occupational air

pollution).

Asal pencemaran udara dapat diterangkan dengan 3 (tiga) proses yaitu atrisi

(attrition), penguapan (vaporization) dan pembakaran (combuslion). Dari ketiga

proses tersebut di atas, pembakaran merupakan proses yang sangat dominan dalam kemampuannya menimbulkan bahan polutan.


(5)

2.1.2.Tipe dan Bentuk Bahan Pencemaran Udara

Menurut Kusnoputranto (2000), tipe pencemaran udara dibagi menjadi 6 bagian yaitu :

a. Karbondioksida, yaitu CO2, sulfur oksida yaitu SO2,

b. Hidrokarbon, yaitu senyawa organik yang mengandung karbon dan hydrogen seperti metana, butane, benzene.

Nitrogen oksida

c. Partikel (padat atau cair diudara), asap, debu, asbestos, partikel logam, minyak, garam-garam sulfur.

d. Oksidan fotokimia, yaitu ozon, PAN dan beberapa senyawa aldehid.

e. Senyawa anorganik (mengandung karbon), estisida, herbisida berbagai jenis alcohol, asam dan zat kimia lainnya.

f. Zat radioaktif tritium, radon, enzim dan pembangkit tenaga.

Bentuk bahan pencemar yang sering ditemukan yaitu (Sastrawijaya, 1991): a. Gas yaitu uap yang dihasilkan dari zat padat atau zat cair karena dipanasi atau

karena menguap sendiri contohnya SO2

b. Aerosol, yaitu suspense udara yang bersifat padat (detex) atau cair (kabut, asap, uap) yang berukuran < 1 mikron

, CO dan NO

Selanjutnya Sastrawijaya (1991), masalah pencemaran udara bukanlah masalah ringan karena dampak yang ditimbulkan sangat luas dan merugikan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Dampak negatif secara langsung dialami manusia adalah pada aspek kesehatan, kenyamanan hidup dan keselamatan.


(6)

Sedangkan dampak negative tidak langsung yaitu berupa penyakit pada lingkungan hidup, perekonomian, estetika dan tumbuhan.

Menurut WHO (2000), kriteria penentuan udara tercermar atau tidaknya suatu daerah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Kriteria Udara Bersih dan Udara Tercemar oleh WHO

Parameter Udara Bersih Udara Tercemar

Bahan Partikel 0,01 – 0,02 mg/m3 0,07 – 0,7 mg/m3

SO2 0,003 – 0,02 ppm 0,02 – 2 ppm

CO < 1 ppm 5 – 200 ppm

NO2 0,003 – 0,02 ppm 0,02 – 0,1 ppm

CO2 310 – 330 ppm 350 – 700 ppm

Hidrokarbon < 1 ppm 1 – 2 ppm

Sumber: WHO, 2000

2.2.Debu di Lingkungan Kerja 2.2.1.Pengertian Debu

Menurut Suma’mur (1998) debu adalah partikel-partikel zat padat yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan baik organik maupun anorganik.

Secara fisik debu atau particulate dikategorikan sebagai pencemar udara yaitu

dust dan aerosol.

Debu terdiri dari dua golongan, yaitu padat dan cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat dibagi menjadi 3 macam :


(7)

1. Dust

Debu atau dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat terhirup ke dalam paru-paru.

2. Fumes

Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari

bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat seperti logam Cadmium dan timbal (Plumbum).

3. Smoke

Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan organik yang tidak

sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron. 2.2.2. Macam dan Sifat-sifat Debu

Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu (Depkes R.I, 1993) :

1. Debu organik adalah debu yang berasal dari makhluk hidup (debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dan sebagainya).

2. Debu metal adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam (Pb, Hg, Cd, dan Arsen).

3. Debu mineral ialah debu yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks (SiO2, SiO3, dll).


(8)

Debu memiliki karakter atau sifat yang berbeda-beda, antara lain debu fisik (debu tanah, batu, dan mineral), debu kimia (debu organik dan anorganik) dan debu biologis (virus, bakteri, kista), debu eksplosif atau debu yang mudah terbakar (batu bara, Pb), debu radioaktif (uranium, tutonium), debu inert (debu yang tidak bereaksi kimia dengan zat lain). Debu di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi. Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi.

Menurut Depkes RI (1993) sifat-sifat debu adalah sebagai berikut : 1. Sifat Pengendapan

Yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya gravitasi bumi. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.

2. Permukaan Cenderung Selalu Bersih

Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.

3. Sifat Penggumpalan

Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah maka debu satu dengan yang lainnya cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di udara mempermudah debu membentuk gumpalan.


(9)

4. Debu Listrik Statik

Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel dalam larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan.

5. Sifat Opsis

Opsis adalah partikel yang basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.

Berdasarkan sifat kimianya dibedakan atas 3 golongan yaitu (Depkes RI, 1993) :

1. Inert Dust

Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paru-paru. Efeknya sangat sedikit sekali pada penghirupan normal. Reaksi jaringan pada paru-paru terhadap jenis debu ini adalah :

a. Susunan saluran nafas tetap utuh

b. Tidak terbentuk jaringan parut ( fibrosis) di paru-paru

c. Reaksi jaringan potensial dapat pulih kembali dan tidak menyebabkan gangguan paru-paru.

2. Profilferative Dust

Golongan debu ini di dalam paru-paru akan membentuk jaringan parut (Fibrosis).

Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga

mengganggu fungsi paru. Contoh debu ini yaitu debu silika, kapur, asbes dan sebagainya.


(10)

3. Debu Asam atau Basa Kuat

Golongan debu yang tidak ditahan dalam paru namun dapat menimbulkan efek iritasi. Efek yang ditimbulkan bisa efek keracunan secara umum misalnya debu arsen dan efek alergi, khususnya golongan debu organik.

2.2.3. Klasifikasi Debu

Berdasarkan kemudahan mengendapnya, debu industri yang terdapat dalam udara terbagi dua yaitu (Pudjiastuti, 2002) :

1. Deposit Particulate Matter

Yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara, partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi.

2. Suspended Particulate Matter

Yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Debu dapat mengakibatkan gangguan pernafasan bagi pekerja pada industri-industri yang berhubungan dengan debu yang dihasilkan proses produksinya.

Lestari (2007) membedakan klasifikasi debu berdasarkan ukuran debu dan lokasi tempat partikulat dapat terdeposit. Klasifikasi ini dibedakan atas dua fraksi, yaitu non inspirable fraction dan inspirable fraction. Inspirable fraction dapat di subklasifikasikan menjadi lagi menjadi tiga bagian, yaitu fraksi nasofaring, fraksi trakeobronkial dan fraksi respirable.


(11)

Gambar 2.1. Klasifikasi Debu

Sumber : Lestari, 2007

2.2.4. Ukuran Partikel Debu

Tidak semua partikel dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.Partikulat yang terdeposit pada bagian sistem pernafasan manusia sangat bergantung kepada ukuran partikel tersebut. Partikulat dengan ukuran ≥ 100μm

terdeposit pada bagian hidung dan disebut sebagai inhalable particle. Partikulat dengan ukuran >4-10 μm terdeposit pada bagian toraks dan disebut thoracic particle.Dan partikulat < 4 μm terdeposit pada bagian paru dan disebut sebagai

partikel respirabel (particle respirable)(Lestari, 2007).

Partikel debu yang berdiameter > 10 μ yang disebut coarse particle

merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan saluran pernafasan, karena adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran pernafasan dengan kadar partikel debu di udara (Pope, 2003).

Debu Total

Fraksi Non Inspirable Fraksi Inspirable

Fraksi Nasofaring Fraksi

Trakeobronkial

Fraksi


(12)

2.2.5. NAB Debu di Lingkungan Kerja

Untuk menghindari bahaya gangguan kesehatan pekerja akibat paparan debu, pemerintah telah nenetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) debu lingkungan kerja. NAB debu adalah standar konsentrasi debu yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit gangguan kesehatan untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi pada praktek hygiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya terhadap kesehatan.

Untuk partikel debu telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER 13/MEN/X/2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Udara Lingkungan Kerja adalah bahwa NAB kadar debu di udara tidak boleh melebihi 3,0 mg/m³. NAB dari debu-debu yang hanya mengganggu kenikmatan kerja adalah 10 mg/m³. Nilai Ambang Batas (NAB) Konsentrasi debu pada udara ambien di Indonesia diatur juga dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, sebesar 10 mg/m3

2.2.6. Mekanisme Pengendapan Debu di dalam Paru

untuk waktu pengukuran rata-rata 8 jam.

Dengan menarik nafas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru-paru. Partikel debu yang dapat dihirup oleh pernafasan manusia mempunyai ukuran 0,1 mikron sampai 10 mikron. Pada hidung dan tenggorokan bagian bawah ada cilia


(13)

yang berfungsi menahan benda-benda asing seperti debu dengan ukuran 5-10 mikron yang kemudian dikeluarkan bersama secret waktu bernafas. Sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan pada bagian tengah jalan pernafasan. Penumpukan dan pergerakkan debu pada saluran nafas dapat menyebabkan peradangan jalan nafas. Peradangan yang terjadi dapat menyebabkan penyumbatan jalan nafas sehingga akhirnya dapat menurunkan fungsi paru (Suma’mur, 1998).

Untuk partikel 1- 3 mikron dapat masuk ke alveoli paru – paru dan partikel 0,1- 1 mikron tidak mudah hinggap di permukaan alveoli karena adanya gerakan

Brown, tetapi akan membentur permukaan alveoli dan dapat tertimbun di alveoli.

Debu yang masuk alveoli dapat menyebabkan pengerasan pada jaringan (fibrosis) dan bila 10 % alveoli mengeras akibatnya mengurangi elastisitasnya dalam menampung volume udara. Kemampuan elastisitas alveoli yang berkurang akan menyebabkan kemampuan untuk mengikat oksigen juga menurun. Fibrosis yang terjadi ini dapat menurunkan kapasitas vital paru (Pudjiastuti, 2002).

Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama paparan berlangsung, maka jumlah partikel yang mengendap di paru-paru juga semakin banyak. Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap

alveoli paling sedikit menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000

partikel per millimeter kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru-paru. Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering dihubungkan dengan terjadinya pneumoconiosis (Mangkunegoro, 2003).


(14)

Menurut Pope (2003) mekanisme pengendapan partikel debu di paru berlangsung dengan berbagai cara sebagai berikut:

a. Gravitation, sedimentasi partikel yang masuk saluran napas karena gaya gravitasi.

b. Impaction yaitu terbenturnya di percabangan bronkus dan jatuh pada percabangan

yang kecil.

c. Brown Difusion yang mengendapnya partikel yang diameter lebih besar dari dua

mikron yang disebabkan oleh terjadinya gerakan keliling (gerakan Brown) dari partikel oleh energi kinetik.

d. Elektrostatic terjadi karena saluran napas dilapisi mukus, yang merupakan

konduktor yang baik secara elektrostatik.

e. Interception yaitu pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel

berupa ukuran panjang/besar partikel hal ini penting untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan.

2.2.7.Pengaruh Debu terhadap Pernafasan

Debu terinhalasi akan memberikan efek terhadap saluran pernapasan. Efek tersebut dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut (Robbin & Cotran, 2006) :

1. Banyaknya debu yang tertahan. Keadaan ini menggambarkan konsentrasi awal, lamanya pajanan dan keefektifan mekanisme untuk membersihkannya.

2. Ukuran, bentuk dan keterapungan partikel. Partikel yang berukuran 1-5 µm cenderung mengendap di dalam alveoli dan merupakan partikel yang secara patologik paling signifikan.


(15)

3. Reaktifitas fisika kimiawi dan kelarutan partikel. Partikel yang bersifat sangat larut dapat menimbulkan toksisitas dengan cepat. Partikel lainnya mungkin tidak bisa bisa dilarutkan dan dengan bertahan dalam keadaan tak larut, partikel tersebut berpotensi untuk menimbulkan reaksi fibrotik yang kronik.

Dari hasil penelitian ukuran partikel debu dapat mencapai target organ sebagai berikut (Depkes RI, 2001) :

1. Partikel diameter > 5,0 mikron terkumpul di hidung dan tenggorokan. Ini dapat menimbulkan efek berupa iritasi yang ditandai dengan gejala faringitis.

2. Partikel diameter 0,5–5,0 mikron terkumpul di paru-paru hingga alveoli. Ini dapat menimbulkan efek berupa bronchitis, alergi, atau asma.

3. Partikel diameter < 0,5 mikron terkumpul di alveoli dan dapat terabsorbsi ke dalam darah.

Paparan debu yang sama baik jenis, ukuran partikel, konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat, namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama sekali. Menurut Miller (1989) hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi sebagai berikut (Mangkunegoro, 2003) : 1. Secara Mekanik

Pertahanan tubuh secara mekanik yaitu pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan berlangsung dihidung, nasofaring dan saluran nafas


(16)

bagian bawah yaitu bronkus dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu silia yang terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.

2. Secara Kimia

Pertahanan tubuh secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan silia yang “mucociliary escalator” ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksifikasi dan bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terus menerus dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.

3. Secara Imunitas

Pertahanan tubuh secara imunitas adalah melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler.

Ketiga sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme rekasi atau perpindahan partikel.

Debu yang masuk ke dalam saluan napas menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat


(17)

terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya bila kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin banyak atau mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi saluran napas sehingga resistensi jalan napas meningkat.

Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh makrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap makrofag seperti silika bebas menyebabkan terjadinya autolisis. Makrofag yang lisis bersama silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Makrofag baru memfagositosis silika bebas tadi sehingga terjadi lagi autolisis. Keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan interstisial. Akibat fibrosis paru menjadi kaku, menimbulkan gangguan pengembangan paru yaitu kelainan fungsi paru (Pope, 2003).

2.3.Sistem Pernafasan 2.3.1.Pengertian Pernafasan

Pernapasan atau respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 atau oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 atau karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar


(18)

tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Pernafasan dapat berarti pengangkutan oksigen kesel dan pengangkutan CO2

1. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dandari alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena masih ada udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume residu. Volume ini penting karena menyediakan O

dari sel kembali ke atmosfer. Proses inidapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu (Guyton & Hall, 1997) :

2

2. Difusi O

dalam alveoli untuk menghasilkan darah. 2 dan CO2

3. Pengangkutan O

antara alveoli dan darah. 2 dan CO2

4. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.

dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari sel-sel.

Menurut Raharjo dkk (1994) dari aspek fisiologis ada dua macam pernafasan, yaitu :

a. Pernafasan luar (external respiration) yaitu penyerapan oksigen dan pengeluaran karbondioksida dari paru-paru.

b. Pernafasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah pertukaran gas pada metabolisme energi dalam sel.


(19)

2.3.2. Anatomi Pernafasan

Munurut Mukono (1997) anotomi saluran pernafasan terdiri dari: 1. Hidung

Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membrane mukosa bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernafasan, yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan silia menuju pharing. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga dalam keadaan normal, jika udara tersebut mencapai pharing, dapat dikatakan hampir “bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh dan kelembabannya 100%.

2. Pharing

Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi dalam tiga bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing merupakan saluran penghubung ke saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Normalnya bila makanan masuk melalui oropharing, epiglotis akan menutup secara otomatis sehingga aspirasi tidak terjadi. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap benda-benda asing (organisme) yang masuk ke hidung dan pharing.


(20)

Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan disini didapatkan pita suara dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah antara saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Kalau ada benda asing masuk sampai melewati glotis, maka dengan adanya reflex batuk akan membantu mengeluarkan benda atau sekret dari saluran pernafasan bagian bawah.

4. Trachea

Terletak di bagian depan esophagus, dari mulai bagian bawah krikoid kartilago laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau5. Trachea bercabang menjadi bronchus kanan dan kiri. Tempat percabangannya disebut karina yang terdiri dari 6-10 cincin kartilago.

5. Bronkhus

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang-cabang menjadi segmen lobus, kemudian menjadi segmen brokus. Percabangan ini diteruskan sampai cabang terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus, bergaris tengah sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan yang dikelilingi otot polos.

6. Bronchiolus

Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan alveolus terminal, merupakan struktur akhir paru-paru. Anderson (1999) mengatakan bahwa diluar bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan tempat pertukaran gas, asinus tersebut terdiri dari bronkiolus respirasi yang mempunyai alveoli.


(21)

Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total seluas sebuah lapangan tenis. Alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein yang disebut surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan resistensi terdapat pengembangan pada waktu inspirasi serta mencegah kolapsnya alveolus pada waktu respirasi (Davis dan Cornwell, 1991). Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus tergantung dari beberapa faktor antara lain pendewasaan sel alveolus dan sel sistem biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran darah kedinding alveolus. Surfaktan merupakan faktor penting dan berperan sebagai pathogenesis beberapa penyakit rongga dada (Raharjoe dkk, 1994).

Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakhea, bronkus dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjarserosa (Ganong, 1998).

Anatomi sistem pernafasan manusia dapat ditunjukkan seperti gambar 2.2 dibawah ini :


(22)

Gambar 2.2. Anatomi Sistem Pernafasan Manusia

Sumber : Pearce, 1986

2.3.3.Volume dan Kapasitas Paru

Selama pernapasan berlangsung volume paru selalu berubah-ubah, dimana mengembang sewaktu inspirasi dan mengempis sewaktu ekspirasi.Dalam keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif dan berlangsung hampir tanpa disadari (Suma’mur, 1998). Beberapa parameter yang menggambarkan volume paru adalah: a. Volume Tidal (Tidal Volume = TV)adalah volume udara yang dihirup atau yang

dihembuskan pada satu siklus pernapasan selama pernafasan biasa. Besarnya TV orang dewasa sebanyak 500 ml.

b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV) adalah volume udara yang masih dapat dihirup ke dalam paru sesudah inspirasi biasa. Besarnya IRV pada orang dewasa adalah 3100 ml.

c. Volume Cadangan Ekspirasi (Ekspiratory Reserve Volume = ERV) adalah volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa. Besarnya ERV pada orang dewasa adalah 1200 ml.

d. Volume Residu (Residual Volume = RV) adalah udara yang masih tersisa di dalam paru sesudah ekspirasi maksimal.

Kapasitas paru merupakan penjumlahan dari dua volume paru atau lebih (Suma’mur,1998).Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan sebagai berikut :


(23)

a. Kapasitas Inspirasi

Kapasitas Inspirasi (Inspiration Capacity/IC) adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru sampai jumlah maksimum (kira-kira 3500 ml). Nilai kapasitas ini merupakan hasil dari penjumlahan nilai volume tidal (TV) dengan volume cadangan inspirasi (IRV).

b. Kapasitas Residu Fungsional

Kapasitas Residu Fungsional (Fungtional Residual Capacity/FRC) adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 ml). Nilai kapasitas ini adalah hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV) ditambah volume cadangan ekspirasi (ERV).

c. Kapasitas Paru Total

Kapasitas paru total (Total Lung Capacity/TLC) adalah volume maksimum di mana paru dapat dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira 5800 ml).

d. Kapasitas Vital

Kapasitas vital paru (Vital Capacity/VC) adalah jumlah gas yang dapat diekspirasi setelah inspirasi secara maksimal. Besarnya adalah 4800 ml. Kapasitas vital paru-paru merupakan hasil penjumlahan dari volume tidal, volume cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi, seharusnya 80 % TLC. Berdasarkan pada tinggi badan seseorang dapat ditaksir besar kapasitas vitalnya. Orang yang semakin tinggi cenderung mempunyai kapasitas vital paru-paru yang lebih besar dari orang


(24)

yang tinggi badannya rendah. Pada pria kapasitas vital prediksi = (27,63-0,112 U)TB. U merupakan umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam cm. Persentase kapasitas paru dapat diukur dengan membandingkan kapasitas vital hasil pengukuran dengan spirometer terhadap kapasitas paru di prediksi dan dinyatakan dalam satuan persen.

Gambar 2.3. Kurva Volume dan Kapasitas Paru 2.3.4.Nilai Standar Kapasitas Paru

Menurut Pinzon (1999), kapasitas paru prediksi untuk pria adalah (27,63-0,112 U) TB, sementara pada wanita adalah (21,78-0,101 U) TB dimana U adalah umur dalam tahun dan TB adalah tinggi badan dalam centimeter.

Menurut Koesyanto (2005) nilai standar kapasitas paru dibagi kedalam perbedaan jenis kelamin adalah seperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.2. Nilai Standar Kapasitas Paru Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Usia

(Tahun)

Nilai Standar Kapasitas Paru(ml)

Usia (Tahun)

Nilai Standar Kapasitas Paru (ml)


(25)

Laki-laki Perempuan Laki-Laki Perempuan

17 4100 2750 27 4180 2740

18 4200 2800 28 4150 2720

19 4300 2800 29 4120 2710

20 4320 2800 30 4100 2700

21 4320 2800 31-35 3990 2640

Tabel 2.2. (Lanjutan) Usia

(Tahun)

Nilai Standar Kapasitas

Paru(ml) Usia

(Tahun)

Nilai Standar Kapasitas Paru (ml)

Laki-laki Perempuan Laki-Laki Perempuan

22 4300 2800 36-40 3800 2520

23 4280 2790 41-45 3600 2390

24 4250 2780 46-50 3410 2250

25 4220 2770 51-55 3240 2160

26 4200 2760 56-60 3100 2060

Sumber : Koesyanto (2005)

2.3.5.Pemeriksaan Kapasitas Paru

Pemeriksaan kapasitas paru adalah suatu pemeriksaan yang sering digunakan secara klinik sebagai indeks fungsi paru (Ganong, 2003).

Pengukuran faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan spirometer dengan alasan spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah, ringan praktis, bisa dibawa kemana-mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup sensitif, akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup dapat memberi sejumlah informasi handal (Yunus, 2006).

Cara kerja spirometer adalah dengan cara menarik nafas dan menghembuskan nafas) dalam keadaan hidung ditutup, sementara itu drum pencatat bergerak sesuai jarum jam sehingga pencatat akan mencatat sesuai dengan gerak tabung yang berisi udara.


(26)

Dengan spirometri ini dapat diketahui uji fungsi paru dasar yang meliputi (Price and Wilson, 1992) :

1. Vital Capacity (VC), adalah jumlah udara maksimal yang dapat diekspirasi

sesudah inspirasi maksimal

2. Force Vital Capacity (FVC), adalah pengukuran kapasitas vital yang didapat pada

ekspirasi dengan dilakukan secepat dan sekuat mungkin.

3. Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1), adalah volume udara yang

dapat diekspirasi dalam waktu satu detik selama tindakan FVC .

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru dengan menggunakan Spirometer, maka kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain (Aurorina, 2003) :

1. Normal bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC ≥ 80%

2. Gangguan restriksi bila FEV1/FVC ≥ 75% dan FVC < 80%

3. Gangguan obstruktif bila FEV1/FVC < 75%, FVC ≥ 80% dan FEV1 < 95% prediksi.

4. Gangguan campuran (restriksi dan obstruktif) bila FEV1/FVC < 75% dan FVC < 80%.

Hasil pengukuran kapasitas paru tersebut dapat diklasifikasikan seperti pada gambar 2.4 dibawah ini.

FEV1/FVC

Normal

75%

Obstruksi Restriksi

Obstuksi Restriksi


(27)

Gambar 2.4. Klasifikasi Penilaian Faal Paru

Sumber :American Thoracic Society, 1995

Menurut Alsagaf (2004) Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV) adalah besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu detik pertama. Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80% dari nilai FVC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada perbandingan dengan FVC-nya. Bila FEV/FVC lebih dari 75% berarti normal. Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal) sehingga rasio FEV1/FVC kurang 80%.

2.3.6. Penyakit Gangguan Paru

Gangguan fungsi paru adalah gangguan atau penyakit yang dialami oleh paru-paru yang disebabkan oleh berbagai sebab, misalnya virus, bakteri, debu maupun partikel lainnya. Penyakit-penyakit pernapasan yang diklasifikasikan karena uji spirometri ada 2 macam, yaitu penyakit-penyakit yang menyebabkan gangguan ventilasi obstruktif dan penyakit-penyakit yang menyebabkan ventilasi restriktif (Guyton, 1994).


(28)

Penyakit Paru-paru Obstruktif Menahun (PPOM) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Suyono, 1995). Menurut Guyton (1994), penyakit-penyakit yang terrmasuk PPOM yaitu: a. Bronkitis Kronik

Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang terdapat pada daerah industri.

b. Emfisema

Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat berkurangnya elastisitas

paru dan luas permukaan Alveolus. Resiko primer untuk emfisema adalah merokok. Pajanan berulang ke asap rokok (perokok pasif) juga dapat menyebabkan emfisema. Selain itu terdapat suatu suatu bentuk emfisema

familial yang timbul pada orang-orang yang tidak terpajan asap rokok.

c. Asma

Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-cabang takeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-saluran napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme.


(29)

Bronkiektasis adalah peradangan nekrosis kronis yang menyebabkan atau

mengikuti dilatasi abnormal dari bronki. Secara klinik, ditandai dengan batuk, demam, dan dahak yang purulen, banyak sekali dan berbau.

2. Penyakit Pernapasan Restriktif

Menurut Suyono (1995), ada beberapa macam penyakit pernapasan restriktif, yaitu:

a. Sarkoidosis

Penyakit ini relatif sering ditemukan yang ditandai dengan grunuloma

non-kaseosa pada jaringan manapun. Paru adalah tempat yang biasa terkena,

secara karakteristik granuloma tersebar difus (menunjukkan gambaran

retikuloduner pada foto sinar X) dan tidak terlihat secara makroskopik kecuali

fokus granuloma yang berpadu. Lesi paru condong untuk penyembuh sehingga mungkin terlihat sebagai parut secara mikroskopik.

b. Fibrosis Paru Idiopatik

Kelainan yang ditandai oleh fibrosis interstinum paru progresif yang menyebabkan hipoksia. Penyakit ini progresif pada kebanyakan kasus, berakibat insufisiensi paru, kor pulmonaler dan payah jantung.

c. Pneumokoniosis

Pneumokoniosis adalah sekelompok penyakit yang disebabkan karena inhalasi

debu organik dan anorganik tertentu. Penyakit ini sering dikaitkan dengan penyakit akibat kerja. Bahan-bahan lain yang dapat menyebabkan


(30)

pneumokoniosis antara lain silika, batu bara, besi, asbes. Pneumokoniosis

hanya timbul setelah terpajan bertahun-tahun.

d. Pneumonitis Hipersensitivitas

Kelainan karena faktor imunologik ini disebabkan oleh debu atau antigen terinhalasi, misalnya spora pada jerami, protein bulu dan bakteri termofilik. e. Eosinofilia Paru

Bermacam-macam kondisi klinikopatologik yang ditandai oleh sebutan (infiltrasi) eosinofil dalam interstinum paru dan/atau ruang alveolus, meliputi

eosinofilia paru sederhana, eosinofilia tropikal, eosinofilia paru kronik

sekunder, pneumonia eosinofilia kronik idiopatik. f. Bronkiolitis Obliterans atau Pneumonia Terorganisasi

Respons yang terjadi terhadap infeksi atau jejas radang pada paru, secara klinis terkait dengan batuk, sesak napas, dan sering dengan infeksi paru yang baru, hubungan etiologi lain adalah toksin terinhalasi, obat, dan penyakit

vaskuler-kolagen.

g. Hemoragi Paru Difus

Komplikasi yang serius pada beberapa penyakit paru interstisial, terutama yang disebut sindrom paru hemoragik, termasuk dalam penyakit ini adalah sindrom goodpasture, hemosiderosis pulmonal idiopatik dan pendarahan yang berkaiatan dengan vaskulitis.


(31)

h. Proteinosis Alveolar Paru

Penyakit ini dapat terjadi setelah pemaparan debu dan bahan kimia yang menyebabkan iritasi dan pada penderita yang tertekan kemampuan imunologiknya. Bersifat progresif pada kebanyakan penderita, tetapi beberapa penderita dapat mengalami perjalanan-perjalanan penyakit yang ringan dan akhirnya terjadi resolosilesi.

2.4.Pabrik Gula

2.4.1.Pabrik Gula Sei Semayang

Pabrik Gula Sei Semayang (PGSS) adalah salah satu dari dua unit pabrik penghasil gula yang dimiliki PT Perkebunan Nusantara II. PGSS adalah suatu perusahaan penghasil gula yang pertama didirikan di luar pulau Jawa yang mempunyai kantor besar di jalan Tembakau Deli No. 4 Medan. Pabrik Gula Sei Semayang merupakan industri manufaktur yang memproduksi gula pasir. Bahan baku utama dari produk tersebut adalah tebu yang berasal dari penyedian bahan baku. PGSS yang telah mengolah selama ± 30 tahun, tahun awal 4.000 ton perhari dan sampai saat ini masih tetap berkapasitas 4.000 ton per hari dan masih mengolah tebu menjadi gula. Perusahaan ini dalam masa operasinya, sering disebut dengan masa giling gula, yaitu apabila bahan baku (tebu), mengalami masa panen yang cukup untuk digiling dalam produksi. Produk gula yang dihasilkan sampai sekarang hanya untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri saja, khususnya daerah yang terdapat di pulau Sumatera.


(32)

Berdasarkan pengelompokan gula negara, Pabrik Gula Sei semayang dikategorikan dalam D pengelompokan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.59/ Kpst/EKK /10/1977 yang mengelompokan pabrik gula berdasarkan kapasitas:

a. Golongan A untuk pabrik dengan kapasitas 800 – 1200 ton b. Golongan B untuk pabrik dengan kapasitas 1200 – 1800 ton c. Golongan C untuk pabrik dengan kapasitas 1800 – 2700 ton d. Golongan D untuk pabrik dengan kapasitas 2700 – 4000 ton

Produk gula yang dihasilkan sampai sekarang hanya untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri saja, khususnya daerah yang terdapat di pulau Sumatera. 2.4.2. Proses Pengolahan Tebu menjadi Gula di Pabrik Gula Sei Semayang

Tebu adalah tanaman yang di tanam untuk bahan baku gula. Tanaman tebu dapat tumbuh hingga 3 m di kawasan yang mendukung.Umur tanaman sejak di tanam sampai bisa di panen kurang lebih dari satu tahun. Tebu dapat dipanen dengan cara manual atau menggunakan mesin-mesin pemotong tebu. Daun kemudian dipisahkan dari batang tebu, kemudian di bawa ke pabrik untuk diproses menjadi gula.

Tahap-tahapan dalam proses pembuatan gula di mulai dari penanaman tebu, proses ekstrasi, pembersih kotoran, penguapan, kristalisasi, afinasi, kabonisasi, penghilangan warna dan sampai proses pengepakan sehingga sampai ke tangan konsumen. Proses produksi yang terdapat di PGSS yang memproduksi Gula GKP (Gula Kristral Produk 1) dengan bahan baku utama adalah tebu dan bahan pembantu proses adalah kapur tohor dan belerang. Tanaman tebu dipanen saat tanaman memiliki kadar gula dan sukrosa yang tinggi yakni pada umur sekitar 10-12 bulan.


(33)

Kadar gula yang diperoleh dari batang tebu adalah 7-8 %. Batang tebu pada dasarnya terdiri dari :

• Zat padat (sabut)

• Zat cair terdiri dari : air, gula bukan gula (kotoran terlarut)

Tebu segar menggambarkan bahwa tebu digiling dalam rentang waktu kurang dari 24 jam setelah ditebang. Tebu yang terlambat tergiling biasanya mengandung destran dalam jumlah banyak sehingga akan menggangu proses pemurnian dan menurunkan perolehan sukrosa. Tebu yang layak giling bila telah mencapai fase kemasakan dimana rendeman batang tebu bagian pucuk mendekati rendeman bantang tebu bagian bawah. Tebu yang masak selnya mudah pecah sehingga pemecahan dapat optimal dibandingkan dengan tebu yang belum masak.

Proses Pengolahan Tebu menjadi gula di PGSS dilakukan pada 7 stasiun yaitu ;

1. Stasiun Gilingan

Tebu yang telah ditimbang kemudian disorong oleh chanehilo langsung ke atas meja (chane peeding table). Setelah itu tebu di potong-potong dengan alat pemotong 1 (cane cutter 1) dan kemudian diteruskan ke alat pemotong 2 (Cane

cutter 2) yang berfungsi untuk menyayat tebu sampai menjadi serpihan tebu


(34)

sebanyak 5 kali yang terdiri dari lima unit gilingan yang disusun seri dengan memakai tekanan hidrolik yang berbeda-beda.

Pada dasarnya sistem kerja penggilingan yaitu nira yang terekstraknya (nira mentah) dari batang akan jatuh ke bagian bawah gilingan, sementara ampas akan terus bergerak hingga gilingan akhir. Ampas tebu dari gilingan 5 yang memiliki kadar kering ampas 0,8-0.9 di bawa menuju boiler untuk bahan bakar dan sebagian dibawa menuju ke gudang ampas sebagai cadangan.

2. Stasiun Pemurnian

Pada pabrik gula proses pemurnian yang digunakan adalah gabungan antara proses defikasi dan sulfitrasi. Tujuan utama dari stasiun pemurnian adalah untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang terkandung dalam nira mentah. Di dalam proses pemurnian ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu:

a. Timbangan Nira mentah b. Pemanas Nira

c. Tangki Mashall d. Tangki Defikasi e. Tangki Sulfitrasi f. Pemanas Nira II g. Tangki Pengembangan h. Tangki Pengendapan


(35)

Stasiun penguapan pada proses pengolahan gula menggunakan 4 unit evaporator yang disebut Quabruple evaporator dan memakai forward feed. Tujuan dari stasiun penguapan adalah untuk menguapkan air yang terkandung dalam nira encer sehingga nira akan lebih mudah dikristalkan di stasiun masakan. Temperatur penguapan dalam evaporator berada pada rentang suhu 50°C - 110°C.

4. Stasiun Talodura

Stasiun Talodura bertujuan untuk memusnahkan kotoran yang terkandung dalam nira kental yang sudah disulfitasi. Sebelum diproses, nira kental ditampung di

Buffer Tank, dari Buffer Tank nira dipompa ke Heat Exhanger untuk pemanasan

pada suhu 80° C dimana pada temperature tersebut dapat menguraikan kotoran- kotoran dalam nira. Kemudian nira kental dialiri dengan asam phospat yang dapat menyerap kotoran melayang yang dikandung nira kental.

Untuk menyempurnakan atau mempercepat proses pengapungan di tambahkan

Talofloc. Kemudian nira kental di alirkan ke Aerator Tank yang dilengkapi

dengan pengaduk yang mengalir ke Talo Clarifier secara Overflow. Sebelumnya ditambahkan Talofloc sebanyak 3 ppm untuk mengikat kotoran. Di Talo Clarifier terjadi pemisahan secara Overflow ke Scum Tank untuk selanjutnya dipompa ke tangki nira mentah tertimbang sedangkan nira kental yng sudah jernih dikeluarkan melalui pengaturan Valve Teleskop yang dialirkan ke Treated Tank dan selanjutnya di pompakan ke stasiun masakan (kristalisasi)


(36)

Nira di pompakan kental dari stasiun Talodura ke stasiun masakan. Kristalisasi adalah salah satu langkah dalam rangkaian proses pengerjaan larutan yang mengandung gula dengan tujuan untuk membentuk Kristal gula dari nira kental sampai kualitas yang mudah ditentukan. Konsentrai nira kental pada stasiun masakan adalah 80 – 85 % brix, % brix kental 60 – 65 % dan kadar air 35 – 40 %.

Proses kristalisasi dilakukan dalam tiga tingkatan masakan yaitu : • Masakan A

• Masakan B • Masakan D

Untuk mencapai kualitas gula dalam nira kental tidak cukup dikristalkan dalam satu kali prose kristalisasi saja. Adapun tujuan utamanya adalah untuk mengeluarkan gula sebanyak mungkin dari nira lewat jenuh dengan cara menguapkan sampai terbentuk Kristal gula dengan temperature masakan 60 – 60 %C.

6. Stasiun Putaran

Fungsi dari stasiun putaran untuk memisahkan Kristal Gula dan Stroop yang masih tersisa pada waktu masakan. Alat putaran ini terdiri dari 2 jenis yaitu : • High Grade Centrifugal 1600 rpm terdiri dari 9 unit putaran yaitu 5 untuk


(37)

• Low Grade Centrifugal terdiri dari 12 putaran yaitu 9 untuk memutar masakan D (gula D1) dan 3 untuk memutarkan masakan D2. Putaran bekerja berdasarkan gaya centrifugal yang menggunakan full automatic discontinue. 7. Finishing

a. Dryer dan Cooler

Pengeringan dilakukan dengan udara panas dengan temperature sekitar 70 °C yang kemudian didinginkan kembali karena gula tidak tahan terhadap temperature tinggi. Tujuan pengeringan ini adalah untuk menghindari kerusakan gula yang disebabkan oleh mikroorganisme dan agar gula tahan lama pada penyimpanan sebelum disalurkan kepada konsumen. Sebelum proses pengeringan ini berlangsung, juga dilakukan pengisapan debu gula dan kotoran-kotoran yang melekat pada Kristal gula dengan menggunakan alat inducedfan.

b. Gudang Penyimpanan

Gula yang sudah ditimbang, dimasukkan ke dalam karung plastik lalu dijahit dengan bag sewing machine kemudian gula dikirimkan ke gudang penyimpanan. Suhu kelembaban dalam gudang harus di jaga. Kelembaban lebih kurang dari 65 % atau lebih rendah. Pengeluaran gula dari gudang juga baru diatur berdasarkan System First in First Out (FIFO). Untuk itu, gudang minimal harus mempunyai 2 pintu, satu untuk memasukkan dan satu untuk


(38)

pengeluaran. Waktu Pengeluaran gula dari gudang juga harus diatur terutama waktu udara luar kering.

2.4.3. Debu di Lingkungan Pabrik Gula Sei Semayang

Limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan tebu menjadi gula adalah limbah cair, limbah padat dan limbah partikulat. Adapun limbah tersebut merupakan : a. Limbah Cair

Merupakan produk sisa kegiatan pabrik gula yang bersumber dari air kondensat dan proses pengilingan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan, stasiun masakan, stasiun putaran serta pencucian peralatan.

b. Limbah padat

Merupakan ampas tebu, blotong, abu ketel dan sluge IPAL c. Limbah Partikulat

Merupakan limbah gas di dalam pabrik dipengaruhi oleh proses pembuatan gas sulfit dari ruangan tobong belerang dan asap pembakaran boiler

Adapun sumber limbah PG Sei Semayang yang dikeluarkan dari masing -masing stasiun adalah merupakan limbah cair, limbah padat serta partikulat adalah sebagai berikut :

1. Stasiun Gilingan : Merupakan tumpahan nira, cipratan nira, bocoran pompa nira serta cucian lantai, ampas, tetesan minyak pendingin metelan.


(39)

3. Stasiun Pemurnian : Tumpahan nira, bocoran pompa dan blotong

4. Stasiun Evaporator : Air soda, bekas skrap tromol evaporator, air cucian lantai 5. Stasiun Masakan : Air Dingin

6. Stasiun putaran : bocoran pompa stroop, tetes, stroop, klare, gula dan kertas bekas tapisan filtrate

2.5.Karakteristik Pekerja 2.5.1. Karakteristik Individu

Kelainan paru karena adanya deposit debu dalam jaringan paru disebut pneumokoniosis. Menurut definisi dari International Labor Organization (ILO) pneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan alveoli telah mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Khumaidah, 2009).

Nilai kapasitas vital paru pada dasarnya dipengaruhi oleh bentuk anatomi tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernapasan serta pengembangan paru dan otot dada (compliance paru). Penurunan kapasitas paru dapat disebabkan oleh kelumpuhan otot pernapasan, misalnya pada penyakit poliomyelitis atau cedera saraf spinal, berkurangnya compliance paru, misalnya pada penderita asma kronik, tuberkulosa, bronchitis kronik, kanker paru dan pleuritis fibrosa dan


(40)

pada penderita penyakit bendungan paru, misalnya pada payah jantung kiri (Guyton, 1994).

Daya tahan kardiorespirasi, yaitu kesanggupan jantung, paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan latihan untuk mengambil oksigen dan mendistribusikan ke jaringan yang aktif untuk metabolisme tubuh, dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor antara lain: keturunan/genetik, usia, jenis kelamin, masa kerja, waktu kerja, kebiasaan merokok, riwayat penyakit gangguan pernafasan, status gizi, kebiasaan berolah raga/aktivitas fisik dan penggunaan alat pelindung diri berupa masker (Yunus, 1997; Guyton & Hall, 1996; Harrington, 2005; Murray & Lopez, 2006; Suma’mur, 1994; Raharjoe dkk, 1994).

Berikut dijabarkan faktor-faktor yang memengaruhi nilai kapasitas vital paru sebagai berikut :

1. Keturunan/Genetik

Dari penelitian diketahui bahwa 93,4% volume O2

2. Umur

max ditentukan oleh faktor genetik. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan latihan yang optimal (Yunus, 1997).

Pada individu normal terjadi perubahan nilai fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai pada fase anak sampai kira-kira umur 22-24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi paru menetap (stasioner) kemudian menurun


(41)

secara gradual (pelan – pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru (FVC = Force Vital Capacity/Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Force Expiratory Volum/Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rata-rata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun umur individu (Pearce, 1986).

Kapasitas paru orang berumur > 30 tahun rata-rata 3.000 ml sampai 3.500 ml, dan pada mereka yang berusia > 50 tahun lebih kecil dari 3.000 ml. Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja (Yunus, 2006).

3. Jenis Kelamin

Nilai kapasitas vital paru pria dan wanita sampai usia pubertas tidak berbeda, namun setelah itu dewasa laki-laki lebih tinggi 20-25% dari pada wanita dewasa. Hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan kekuatan otot pria dan wanita (Yunus, 1997).

4. Kebiasan Merokok

Raharjoe dkk (1994) mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi paru karena menyebabkan iritasi dan sekresi mucus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosilier dan membawa partikel-partikel debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri.


(42)

Yunus (1997) mengatakan asap rokok meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronchitis dan kanker paru, untuk itu tenaga kerja hendaknya berhenti merokok bila bekerja pada tempat yang mempunyai risiko terjadi penyakit tersebut.

Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,721 ml untuk non perokok dan 38,4 ml untuk bekas perokok dan 41,7 ml untuk perokok aktif. Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pengaruh debu yang hanya sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes RI, 2009).

Kebiasaan merokok menurut Jama (1994) telah membagi menjadi 3 (tiga) kategori perokok yaitu sebagai berikut :

a. Perokok ringan, bila jumlah rokok yang dihisap antara 1-6 batang/hari b. Perokok sedang, bila jumlah rokok yang dihisap antara 7-12 batang/hari c. Perokok berat, bila jumlah rokok yang dihisap lebih dari 12 batang/hari. 5. Kebiasaan Berolah Raga

Faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal balik. Gangguan faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga. Sebaliknya, latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan faal paru (Yunus, 1997). Secara umum olah raga akan meningkatkan total kapasitas paru. Pada banyak individu yang melakukan olah raga secara teratur maka kapasitas paru akan meningkat meskipun hanya sedikit, tetapi pada saat yang bersamaan residual volume atau jumlah udara yang tidak dapat berpindah atau keluar dari paru akan menurun. Selanjutnya untuk meningkatkan kapasitas vital paru, olah raga yang dilakukan hendaknya


(43)

memperhatikan empat hal, yaitu mode atau jenis olah raga, frekuensi, durasi, dan intensitasnya (Wilmore, 1994).

6. Waktu Kerja

Menurut Harrington (2005), lama bekerja adalah durasi waktu untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan jam. Budiono (2003) menyatakan lama kerja sebagai durasi waktu pekerja terpapar risiko faktor fisika atau faktor kimia dalam melakukan pekerjaannya (time

exposure).

Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan waktu bekerja sehari-hari yaitu selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu (UU Nomor 13, 2003).

7. Masa Kerja

Masa kerja merupakan kurun waktu atau lamanya tenaga kerja bekerja di suatu tempat.Menurut Suma’mur (1994) semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

Lama kerja diperlukan untuk menilai lamanya pekerja terpajan debu. Semakin lama seseorang terpajan debu, akan semakin besar risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu lama memiliki risiko tinggi terkena penyakit paru obstruktif. Masa


(44)

kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya obstruksi pada pekerja di industri yang berdebu lebih dari 5 tahun (Khumaidah, 2009).

8. Riwayat Penyakit Gangguan Pernafasan

Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit (Ganong, 2002). Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot pernapasan (Price & Wilson, 1995).

Mukono (1997) mengatakan bahwa pada orang normal tidak ada perbedaan antara

Force Vital Capacity (FVC) dan Vital Capacity (VC), sedangkan pada keadaan

kelainan obstruksi terdapat berbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity (VC) merupakan refleksi dari kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding toraks. Vital Capacity (VC) yang menurun merupakan kekuatan jaringan paru atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan pemenuhan (compliance) paru atau dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.

9. Penggunaan Masker

Masker dan respirator digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan uap logam), pencemaran oleh gas atau uap. Alat pelindung pernafasan adalah


(45)

bagian dari alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi pernafasan terhadap gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat bersifat racun ataupun korosi. Pelindung pernafasan adalah alat yang penting, mengingat 90% kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan kimia beracun atau korosi lewat saluran pernafasan (Milos, 1991).

Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung, ada juga yang mencakup wajah dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan apa yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi dan berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut.

Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu (Milos, 1991) : a. Respirator yang Bersifat Memurnikan Udara

Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis,yaitu respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter mekanik, respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia.

b. Respirator yang Dihubungkan dengan Suplai Udara

Suplaiudaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat pernapasan yang mengandung udara (self contained breathing apparatus). c. Respirator dengan Suplai Oksigen

Biasanya berupa self contained breathing apparatus. Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Masker berguna untuk melindungi masuknya debu atau


(46)

partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru, sehingga pengendapan partikel dan penurunan nilai kapasitas vital paru dapat diminimalisir.

Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi (Suma’mur, 1996).

2.5.2. Kondisi Fisik Lingkungan Kerja

Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya pada aspek tenaga kerja selain dipengaruhi oleh karakteristik individu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja yaitu ventilasi, suhu dan kelembaban. Faktor lingkungan ini diuraikan sebagai berikut :

1. Suhu

Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 180C sampai 310C. Suhu yang rendah dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar,


(47)

sedangkan peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan suatu polutan udara, yang menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja lebih banyak. Hal itu yang menjadikannya faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru bagi pekerja. Bila suhu udara > 310C perlu menggunakan alat penata udara seperti air

conditioner, kipas angin dan lain-lain.Bila suhu udara luar < 18 0

2. Kelembaban

C perlu menggunakan alat pemanas ruangan (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13/MEN/X/2011).

Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah.Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan


(48)

(Suma’mur,1996). Bila kelembaban udara ruang kerja>95% perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja <65 % perlu menggunakan humidifier (Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).

2.6.Landasan Teori

Menurut Achmadi (2012) gangguan kesehatan terhadap seseorang atau masyarakat disebabkan oleh adanya agen penyakit yang sampai pada tubuhnya.Agen yang berasal dari sumbernya menyebar melalui simpul media atau wahana yang meliputi udara, air, tanah, makanan dan vektor atau manusia itu sendiri.

Mengacu dari tinjauan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan pernapasan dalam membuat kerangka konsep, peneliti menggunakan landasan teori dari Achmadi (2012) tentang paradigma kesehatan lingkungan dengan teori simpul kejadian penyakit. Dalam teori simpul kejadian penyakit tersebut, proses kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni sebagai berikut :

1. Simpul 1 disebut sumber penyakit

Sumber penyakit adalah titik yang secara konstan maupun sewaktu-waktu mengeluarkan satu atau lebih berbagai agent penyakit. Sumber penyakit dalam penelitian ini yaitu agen penyakit (risk agent) berupa adanya bahan pencemar di lingkungan kerja yang berasal dari partikel debu akibat proses pengolahan tebu


(49)

menjadi gula di Pabrik Gula Sei Semayang yang dapat menimbullkan gangguan penyakit melalui kontak langsung atau melalui media perantara.

2. Simpul 2 merupakan komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit.

Media transmisi penyakit dalam penelitian ini yaitu udara lingkungan tempat kerja di PGSS yang telah tercemar dengan partikel debu (risk agent)

3. Simpul 3 merupakan perilaku pemajanan (Behavioral Exposure)

Perilaku pemajanan (Behavioral Exposure) adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agen penyakit). Dalam penelitian ini adalah kadar partikel debu di PGSS yang terhirup oleh para pekerja selama bertahun – tahun di tempat kerja yang berdebu serta ketika sedang bekerja tidak menggunakan masker dan perilaku merokok.

4. Simpul 4 adalah Kejadian Penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manifestasi dampak akibat hubungan antara pekerja dengan lingkungan kerja menghasilkan penyakit pada pekerja. Dalam penelitian ini, yang akan dinilai kapasitas parunya apakah masih normal atau telah mengalami gangguan.


(50)

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Gambar 2.5. Model Simpul Perjalanan Penyakit

Sumber: Achmadi, 2012

2.7.Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik Responden : 1. Umur

2. Masa Kerja

3. Penggunaan Masker 4. Kebiasaan Merokok Sumber : Partikel debu akibat kegiatan pengolahan tebu menjadi gula di Pabrik Gula Sei Semayang

Komponen Lingkungan : Pencemar udara oleh debu yang terhirup oleh pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang

Perilaku Pemajanan : Saluran Pernafasan yang terpapar oleh partikel debu Kejadian Penyakit : Gangguan Pernafasan

Variabel lain yang berpengaruh (Faktor Lingkungan Kerja : Suhu, Kelembaban,dan

lain-lain)

Kualitas Udara: - Suhu

- Kelembaban


(1)

bagian dari alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi pernafasan terhadap gas, uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat bersifat racun ataupun korosi. Pelindung pernafasan adalah alat yang penting, mengingat 90% kasus keracunan sebagai akibat masuknya bahan-bahan kimia beracun atau korosi lewat saluran pernafasan (Milos, 1991).

Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung, ada juga yang mencakup wajah dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan apa yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi dan berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut.

Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu (Milos, 1991) : a. Respirator yang Bersifat Memurnikan Udara

Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis,yaitu respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter mekanik, respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia.

b. Respirator yang Dihubungkan dengan Suplai Udara

Suplaiudaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat pernapasan yang mengandung udara (self contained breathing apparatus). c. Respirator dengan Suplai Oksigen

Biasanya berupa self contained breathing apparatus. Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat


(2)

partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru, sehingga pengendapan partikel dan penurunan nilai kapasitas vital paru dapat diminimalisir.

Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi (Suma’mur, 1996).

2.5.2. Kondisi Fisik Lingkungan Kerja

Banyak faktor yang memengaruhi gangguan saluran pernafasan khususnya pada aspek tenaga kerja selain dipengaruhi oleh karakteristik individu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan kerja yaitu ventilasi, suhu dan kelembaban. Faktor lingkungan ini diuraikan sebagai berikut :

1. Suhu

Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 180C sampai 310C. Suhu yang rendah dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar,


(3)

sedangkan peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan suatu polutan udara, yang menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap oleh pekerja lebih banyak. Hal itu yang menjadikannya faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru bagi pekerja. Bila suhu udara > 310C perlu menggunakan alat penata udara seperti air

conditioner, kipas angin dan lain-lain.Bila suhu udara luar < 18 0

2. Kelembaban

C perlu menggunakan alat pemanas ruangan (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13/MEN/X/2011).

Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah.Kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 65 % - 95 %. Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan


(4)

(Suma’mur,1996). Bila kelembaban udara ruang kerja>95% perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja <65 % perlu menggunakan humidifier (Peraturan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002).

2.6.Landasan Teori

Menurut Achmadi (2012) gangguan kesehatan terhadap seseorang atau masyarakat disebabkan oleh adanya agen penyakit yang sampai pada tubuhnya.Agen yang berasal dari sumbernya menyebar melalui simpul media atau wahana yang meliputi udara, air, tanah, makanan dan vektor atau manusia itu sendiri.

Mengacu dari tinjauan teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan pernapasan dalam membuat kerangka konsep, peneliti menggunakan landasan teori dari Achmadi (2012) tentang paradigma kesehatan lingkungan dengan teori simpul kejadian penyakit. Dalam teori simpul kejadian penyakit tersebut, proses kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni sebagai berikut :

1. Simpul 1 disebut sumber penyakit

Sumber penyakit adalah titik yang secara konstan maupun sewaktu-waktu mengeluarkan satu atau lebih berbagai agent penyakit. Sumber penyakit dalam penelitian ini yaitu agen penyakit (risk agent) berupa adanya bahan pencemar di lingkungan kerja yang berasal dari partikel debu akibat proses pengolahan tebu


(5)

menjadi gula di Pabrik Gula Sei Semayang yang dapat menimbullkan gangguan penyakit melalui kontak langsung atau melalui media perantara.

2. Simpul 2 merupakan komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit.

Media transmisi penyakit dalam penelitian ini yaitu udara lingkungan tempat kerja di PGSS yang telah tercemar dengan partikel debu (risk agent)

3. Simpul 3 merupakan perilaku pemajanan (Behavioral Exposure)

Perilaku pemajanan (Behavioral Exposure) adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agen penyakit). Dalam penelitian ini adalah kadar partikel debu di PGSS yang terhirup oleh para pekerja selama bertahun – tahun di tempat kerja yang berdebu serta ketika sedang bekerja tidak menggunakan masker dan perilaku merokok.

4. Simpul 4 adalah Kejadian Penyakit

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manifestasi dampak akibat hubungan antara pekerja dengan lingkungan kerja menghasilkan penyakit pada pekerja. Dalam penelitian ini, yang akan dinilai kapasitas parunya apakah masih normal atau telah mengalami gangguan.


(6)

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Gambar 2.5. Model Simpul Perjalanan Penyakit

Sumber: Achmadi, 2012

2.7.Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Karakteristik Responden : 1. Umur

2. Masa Kerja

3. Penggunaan Masker 4. Kebiasaan Merokok Sumber : Partikel debu akibat kegiatan pengolahan tebu menjadi gula di Pabrik Gula Sei Semayang

Komponen Lingkungan : Pencemar udara oleh debu yang terhirup oleh pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang

Perilaku Pemajanan : Saluran Pernafasan yang terpapar oleh partikel debu Kejadian Penyakit : Gangguan Pernafasan

Variabel lain yang berpengaruh (Faktor Lingkungan Kerja : Suhu, Kelembaban,dan

lain-lain)

Kualitas Udara: -


Dokumen yang terkait

Hubungan Karakteristik, Kualitas Udara (SO2 dan Partikel Debu) dengan Keluhan Gangguan Pernapasan Pada Masyarakat Sekitar Pabrik Gula Sei Semayang (PGSS) di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

11 87 153

Pengaruh Karakteristik Pekerja dan Kualitas Udara terhadap Gangguan Pernafasan Pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

4 98 152

Pengaruh Karakteristik Pekerja dan Kualitas Udara terhadap Gangguan Pernafasan Pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 1 18

Pengaruh Karakteristik Pekerja dan Kualitas Udara terhadap Gangguan Pernafasan Pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 2

Pengaruh Karakteristik Pekerja dan Kualitas Udara terhadap Gangguan Pernafasan Pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

1 2 6

Pengaruh Karakteristik Pekerja dan Kualitas Udara terhadap Gangguan Pernafasan Pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 6

Pengaruh Karakteristik Pekerja dan Kualitas Udara terhadap Gangguan Pernafasan Pekerja di Pabrik Gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 31

f. Pendidikan - Hubungan Karakteristik, Kualitas Udara (SO2 dan Partikel Debu) dengan Keluhan Gangguan Pernapasan Pada Masyarakat Sekitar Pabrik Gula Sei Semayang (PGSS) di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 27

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Hubungan Karakteristik, Kualitas Udara (SO2 dan Partikel Debu) dengan Keluhan Gangguan Pernapasan Pada Masyarakat Sekitar Pabrik Gula Sei Semayang (PGSS) di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 10

Hubungan Karakteristik, Kualitas Udara (SO2 dan Partikel Debu) dengan Keluhan Gangguan Pernapasan Pada Masyarakat Sekitar Pabrik Gula Sei Semayang (PGSS) di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

0 0 17