Perbandingan Efektivitas Aspirin, Propolis, dan Bee Pollen sebagai Antiplatelet Berdasarkan Waktu Perdarahan pada Mencit

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hemostasis dan Platelet
2.1.1. Hemostasis
Istilah hemostasis berarti mencegah terjadinya kehilangan darah (Guyton & Hall,
2006). Secara lebih spesifik, hemostasis merupakan proses pembentukan gumpalan
darah (blood clot) pada dinding pembuluh darah yang mengalami kerusakan dan
berguna

untuk

mencegah

terjadinya

kehilangan

darah


sementara

tetap

mempertahankan darah dalam kondisi cair di dalam sistem vaskuler. Sekumpulan
mekanisme kompleks yang saling berhubungan bekerja untuk menjaga keseimbangan
antara proses koagulasi dan antikoagulasi (Barrett, et al., 2012).
Proses hemostasis terjadi dengan melibatkan interaksi yang kompleks dari
dinding pembuluh darah, platelet, sistem koagulasi, dan fibrinolisis (Thornton &
Douglas, 2010). Hemostasis dapat dicapai dengan beberapa cara : konstriksi pembuluh
darah, pembentukan sumbatan platelet, pembentukan blood clot akibat terjadinya
penggumpalan darah, dan yang terakhir terbentuknya jaringan fibrosa pada gumpalan
darah tadi untuk menutup daerah yang rusak pada pembuluh secara permanen (Guyton
& Hall, 2006). Walaupun terkesan rumit dan seolah bertahap, interaksi komponen
hemostasis ini sebenarnya saling berpaut dan berkerja secara efisien untuk
menghentikan perdarahan (Rodvien & Mielke, Jr., 1976).
Ketika pembuluh darah mengalami kerusakan, beberapa mekanisme akan
teraktivasi untuk melakukan kompensasi. Jika pembuluh tersebut memiliki lapisan
otot, maka vasokonstriksi terjadi. Selanjutnya, di setiap pembuluh darah, jika

antarmuka antara darah dan pembuluh mengalami perubahan seperti saat ruptur, maka
akan menyebabkan terjadinya perlekatan platelet pada struktur subintima yang baru
terpapar. Platelet yang melekat ini selanjutnya melepaskan ADP (adenosine

6

diphosphate) dan menyebabkan platelet-platelet yang lain ikut melepaskan lebih

banyak ADP, sehingga terjadilah agregasi platelet yang pada akhirnya membentuk
sumbatan platelet (Rodvien & Mielke, Jr., 1976). Sumbatan platelet ini sangat efektif
untuk mencegah terjadinya kehilangan darah pada pembuluh darah dengan diameter
yang relatif kecil. Terbentuknya benang-benang fibrin pada tahapan pengumpalan
darah selanjutnya akan membuat sumbatan platelet ini menjadi lebih kuat. Sumbatan
platelet sendiri dapat menghentikan perdarahan secara sempurna jika kerusakan yang
terjadi pada pembuluh darah tidak mencakup area yang terlalu luas (Tortora, 2009).
Selanjutnya, proses pembentukan gumpalan atau sumbatanan sekunder secara
definitif dilakukan oleh suatu proses yang disebut jalur koagulasi. Pada jalur ini,
interaksi sejumlah protein yang dikenal sebagai faktor penggumpalan bersama dengan
platelet dan jaringan berkerja untuk membentuk jaring (benang-benang) fibrin yang
menstabilkan gumpalan darah. Secara klasik, proses ini terjadi dalam dua jalur yaitu

intrinsik dan ekstrinsik dimana terdapat perbedaan pada inisiasinya walaupun
sebenarnya kedua jalur ini berkerja secara paralel (Palta, et al., 2014).
Ketika proses perbaikan dinding pembuluh darah selesai dan pada akhirnya
digantikan oleh jaringan fibrosa, gumpalan yang telah terbentuk juga akan menghilang.
Proses pembersihan gumpalan ini berlangsung paralel dengan pembentukannya
sehingga berfungsi juga untuk membatasi ukuran gumpalan. Plasminogen yang
terjebak dalam gumpalan darah nantinya akan diaktifkan oleh aktivatornya (tPA atau
u-PA) menjadi plasmin yang memiliki kemampuan untuk mengurai bekuan fibrin
menjadi FDP (fibrin degradation product) dan D-dimer (Colvin, 2004).
Sebagai kesimpulan, hemostasis adalah suatu proses fisiologis yang kompleks
untuk mempertahankan tingkat fluiditas darah melalui mekanisme koagulasi dan
antikoagulasi yang ada dalam tubuh. Ketidakseimbangan dari dua komponen ini
merupakan penyebab terjadinya perdarahan atau trombosis. Proses ini perlu dimengerti
untuk

dapat

memperkirakan

konsekuensi


patologis

dan

klinis

diimplementasikannya suatu intervensi farmakologis (Palta, et al., 2014).
.

sebelum

7

Gambar 2.1. Respon alami darah terhadap perubahan pada dinding pembuluh
darah
2.1.2. Platelet
Platelet, atau juga dikenal dengan trombosit, adalah sel-sel bergranula yang
bersirkulasi dan merupakan mediator penting pada proses hemostasis karena
membentuk agregat di tempat cedera pembuluh darah. Sel ini tidak memiliki nukleus

dan berdiameter 2-4 µm. Jumlahnya sekitar 300.000/µL darah dan pada keadaan
normal mempunyai waktu-paruh sekitar 4 hari. Megakariosit, yaitu sel raksasa di
sumsum tulang, membentuk platelet dengan cara mengeluarkan secuil sitoplasma ke
dalam sirkulasi. Antara 60% dan 75% platelet yang telah dilepas dari sumsum tulang
berada di dalam peredaran darah, sedangkan sisanya sebagian besar terdapat di dalam
limpa. Pengangkatan limpa (splenektomi) menyebabkan peningkatan hitung platelet
(trombositosis).
Platelet mempunyai suatu cincin mikrotubulus di sekeliling tepinya dan
invaginasi (lekukan) membran yang luas dengan sistem saluran kompleks yang
berhubungan dengan cairan ekstrasel. Membran selnya mengandung reseptor untuk

8

kolagen, ADP, faktor dinding pembuluh von Willebrand, dan fibrinogen.
Sitoplasmanya mengandung aktin, miosin, glikogen, lisosom, dan dua macam granula
: (1) granula padat, mengandung senyawa-senyawa nonprotein yang akan disekresikan
sebagai respons terhadap aktivasi platelet, mencakup serotonin, ADP, serta nukleotida
adenine lainnya, dan (2) granula α, yang mengandung protein sekresi selain hidrolase
lisosom. Protein tersebut meliputi faktor-faktor penggumpalan dan platelet-derived
growth factor (PDGF). PDGF juga dibentuk oleh makrofag dan sel endotel. Senyawa


ini merupakan dimer yang tersusun dari polipeptida subunit A dan B. PDGF ditemukan
baik sebagai senyawa bentuk homodimer (AA dan BB) maupun heterodimer (AB).
PDGF merangsang penyembuhan luka dan merupakan mitogen kuat bagi otot polos
vaskular. Platelet maupun dinding pembuluh darah mengandung faktor von Willebrand
yang berperan pada proses adhesi dan mengendalikan kadar faktor VIII dalam
sirkulasi.
Bila dinding pembuluh darah cedera, platelet akan melekat ke kolagen dan faktor
von Willebrand yang terpapar di dinding pembuluh melalui reseptor di membrane
platelet. Faktor von Willebrand adalah suatu molekul yang sangat besar yang
dihasilkan sel endotel. Perlekatan menyebabkan aktivasi platelet yang mengeluarkan
isi granulanya. ADP yang dibebaskan bekerja pada reseptor ADP platelet untuk
meningkatkan akumulasi platelet (agregasi platelet). Manusia memiliki paling sedikit
tiga jenis reseptor ADP platelet : P2Y1, P2Y2, dan P2X1. Reseptor-reseptor ini jelas
merupakan objek yang menarik untuk penelitian obat, dan beberapa inhibitor baru
tampaknya memberi harapan pada pengobatan serangan jantung dan stroke. Proses
agregasi ini juga dirangsang oleh platelet-activating factor (PAF), yakni suatu sitokin
yang disekresi oleh neutrophil dan monosit serta oleh platelet. Senyawa ini juga
memiliki aktivitas inflamasi. PAF merupakan eter fosfolipid, 1-alkil-2-asetilgliseril-3fosforilkolin, yang dibentuk dari lipid membrane. Senyawa ini bekerja melalui reseptor
terkait-protein G untuk meningkatkan produksi derivate asam arakidonat, termasuk

Tromboksan A2.

9

Pembentukan platelet diatur oleh berbagai faktor perangsang koloni (CSF) yang
mengontrol produksi megakariosit, serta trombopoietin, yakni suatu faktor protein
yang beredar di dalam darah. Faktor ini, yang mempermudah pematangan
megakariosit, dibentuk secara konstan oleh hati dan ginjal, dan platelet memiliki
reseptor untuk trombopoietin. Akibatnya, bila jumlah platelet rendah, trombopoietin
yang terikat akan berkurang dan lebih banyak tersedia untuk merangsang pembentukan
platelet. Sebaliknya, bila jumlah platelet tinggi, lebih banyak trombopoietin yang
terikat dan hanya sedikit yang bebas. Hal ini merupakan suatu bentuk kontrol umpanbalik pada pembentukan platelet. Bagian terminal-amino pada molekul trombopoietin
memiliki kemampuan untuk merangsang platelet, sedangkan bagian terminal-karboksil
mengandung banyak residu karbohidrat dan berperan pada ketersediaan trombopoietin
(Ganong, 2008).

2.1.3. Peran Platelet dalam Proses Hemostasis
Adanya kerusakan pada dinding pembuluh darah mengaktivasi platelet untuk
memulai proses penggumpalan, atau seperti yang telah diuraikan sebelumnya, proses
hemostasis. Platelet yang bersifat dinamis dapat segera diaktifkan atau dihambat oleh

beberapa stimulus endogen maupun eksogen, dan memulai proses hemostasis primer
dengan melengketkan dirinya pada dinding pembuluh darah yang mengalami
kerusakan. Reseptor GPIb-V-IX dan GPIa-IIa dan komponen-komponen subndotel
seperti vWf dan kolagen saling berinteraksi untuk memediasi proses ini (Gambar 2.2.).
Pengikatan ligan pada reseptor GP mengubah bentuk platelet dan memicu pelepasan
granul-granulnya, yang pada akhirnya membentuk agregarasi yang juga dikenal
dengan “sumbatan platelet” atau “trombus putih” (Gambar 2.3.).
Platelet memulai perubahan bentuknya dengan pembentukan pseudopoda ketika
konsentrasi Ca2+ intrasel melebihi suatu ambang tertentu. Selama proses perubahan ini,
terjadi pemaparan dan pengaktivan reseptor fibrinogen platelet (GPIIb/IIIa), dan proses
agregasi platelet terinisiasi. Proses ini disebut juga sebagai agregasi primer yang mana
bersifat reversible. Namun demikian, platelet yang sedang berada dalam fase istirahat

10

Gambar 2.2. Ilustrasi fungsi vWf pada proses perlekatan platelet

Gambar 2.3. Proses aktivasi platelet

tidak bisa berikatan dengan fibrinogen. Jalur tromboksan asam arakidonat adalah jalur

yang penting dalam aktivasi platelet (Gambar 2.4.).
ADP adalah aktivator platelet yang juga penting. P2Y12, yang merupakan
reseptor spesifik ADP, terdapat pada membrane platelet bersama dengan protein-G
inhibitory dan memediasi pelepasan Ca2+ yang diinduksi oleh ADP, menghambat
adenylate cyclase dan mengaktivasi reseptor GPIIb/IIIa yang menyebabkan agregasi

11

Gambar 2.4. Jalur biosintesis tromboksan
platelet. Tromboksan A2, ADP, dan substansi-substansi lain seperti serotonin
dilepaskan dari platelet yang teraktivasi, dan menyediakan umpan balik positif yang
penting dan memperkuat gumpalan kaya-platelet untuk menginisiasi proses agregasi
sekunder yang bersifat ireversibel (Gambar 2.5.). (Ghoshal & Bhattacharyya, 2014) .

Gambar 2.5. Ilustrasi jalur hemostasis
Respon pada platelet dilipatgandakan melalui substansi-substansi yang
dilepaskan oleh granul-granul platelet yang merekrut platelet-platelet lain serta sel-sel
darah. Sumbatan platelet yang terbentuk pada hemostasis primer relatif tidak stabil.

12


Jalur/kaskade penggumpalan darah dan pembentukan thrombin serta fibrin
memperpanjang hemostasis sekunder. Selama proses aktivasi platelet, lapisan
fosfolipid membran platelet menjadi bermuatan negatif, sehingga memfasilitasi
aktivasi proses penggumpalan (mis. FV, FVIIIa, FIXa, dan FX). Pengikatan kompleks
protrombinase (FXa, FVa, Ca2+, dan protrombin) pada membrane platelet terjadi pada
tahap ini. Proses aktivasi platelet selanjutnya diinisiasi oleh pembentukan trombin.
Kaskade ini pada akhirnya akan membentuk “trombus merah” yang akan memperkuat
gumpalan darah (Munnix, et al., 2009).
Lapisan endotel pembuluh darah yang utuh melepaskan dua antiagregasi utama,
yaitu prostasiklin (PGI2) dan nitric oxide (NO). Kedua substansi ini mencegah
terbentuknya trombus di dalam pembuluh darah (Gryglewski, et al., 1988).

2.2. Aspirin
Aspirin telah dievaluasi secara teliti penggunaannya sebagai obat antiplatelet.
Dalam sebuah penelitian meta-analisis dengan lebih dari 100 percobaan secara random
pada pasien dengan risiko tinggi, aspirin telah terbukti dapat mencegah kematian akibat
penyakit vaskuler hingga 15% dan mencegah kejadian vaskuler yang tidak fatal hingga
mencapai 30% (Patrono, et al., 2004).


2.2.1. Farmakokinetik
Asam salisilat adalah asam organik sederhana dengan pKa 3,0. Aspirin
(Acetylsalicylic Acid : ASA) mempunyai pKa 3,5. Salisilat cepat diabsorbsi dari
lambung dan usus halus bagian atas, menghasilkan kadar puncak dalam plasma dalam
waktu 1-2 jam. Aspirin diabsorbsi begitu saja dan cepat dihidrolisis (waktu-paruh
serum 15 menit) menjadi asam asetat dan salisilat oleh esterase dalam jaringan dan
darah. Salisilat terikat pada albumin, tetapi ikatan dan metabolisme salisilat dapat
menjadi jenuh sehingga fraksi yang tidak terikat meningkat seiring meningkatnya
konsentrasi total. Di luar kandungan dalam tubuh total sebesar 600 mg, peningkatan

13

dosis salisilat meningkatkan konsentrasi salisilat secara tidak proporsional. Seiring
meningkatnya dosis aspirin, waktu-paruh eliminasi salisilat meningkat dari 3-5 jam
(untuk dosis 600 mg/hari) menjadi 12-16 jam (dosis >3,6 g/hari). Alkalinisasi urine
meningkatkan laju ekskresi salisilat bebas dan konjugatnya yang larut dalam air
(Katzung, 2012).

2.2.2. Mekanisme Kerja
2.2.2.1.Efek antiplatelet
Aspirin menghambat agregasi platelet melalui asetilasi reversibel dan inaktivasi
COX, menyebabkan penghambatan produksi TxA2 (Corazzi, et al., 2005). Platelet
dewasa normal pada manusia hanya mengekspresikan COX-1 karena platelet tidak
memiliki nukleus, sehingga tidak mampu mensintesis enzim secara de novo. Hal ini
menyebabkan efek aspirin pada platelet bersifat permanen. Dengan demikian, efek
kardioprotektif aspirin dicapai melalui gangguan terhadap fungsi platelet yang
bergantung pada tromboksan A2 secara permanen dan ireversibel, sehingga dapat
menurunkan tingkat kejadian trombosis arteri akut.

2.2.2.2.Efek Lainnya
Aspirin

dalam

penggunaan

klinis

tidak

hanya

digunakan

sebagai

antiplatelet,namun juga sebagai antiinflamasi, analgesik, dan juga antipiretik.
Sebagai antiinflamasi, aspirin merupakan penghambat nonselektif untuk kedua
isoform COX, tapi salisilat lebih tidak efektif dalam menghambat isoform tersebut.
Salisilat nonterasetilasi dapat bekerja sebagai penangkap radikal oksigen. Aspirin
secara ireversibel menghambat COX dan menghambat agregasi platelet, sementara
salisilat non-terasetilasi tidak.
Sebagai analgesik, aspirin paling efektif meredakan nyeri dengan intensitas
ringan sampai sedang melalui efeknya pada peradangan dank arena aspirin
kemungkinan menghambat rangsang nyeri pada lokasi subkortikal

14

Sedangkan efek antipiretik aspirin mungkin diperantarai baik oleh inhibisi
COX di susunan saraf pusat maupun oleh inhibisi interleukin-1 (yang dilepaskan dari
makrofag selama episode inflamasi) (Katzung, 2012).

2.2.3.Efek Simpang
Pada dosis biasa, efek simpang aspirin yang utama adalah gangguan lambung
(intoleransi) dan ulkus lambung serta duodenum. Hepatotoksisitas, asma, ruam, dan
toksisitas ginjal lebih jarang terjadi. Peningkatan perdarahan fekal yang berhubungan
dengan sosis, rutin disebabkan oleh pemberian aspirin, meskipunt terjadi beberapa
adaptasi mukosa pada banyak pasien sehingga perdarahan kembali ke nilai dasar dalam
waktu 4-6 minggu.
Pada dosis yang lebih tinggi, pasien dapat mengalami salisilisme seperti muntah,
tinnitus, pendengaran berkurang, dan vertigo, yang dapat dipulihkan dengan
menurunkan dosis. Dosis salisilat yang besar tetap menyebabkan hiperpnea melalui
efek langsung pada medula oblongata. Pada kadar salisilat yang toksik, alkalosis
respiratorik diikuti oleh asidosis metabolic (akumulasi salisilat), depresi pernapasan,
dan bahkan dapat terjadi kardiotoksisitas dan intoleransi glukosa. Penggunaan aspirin
dikontraindikasikan pada pasien hemophilia.
Overdosis salisilat merupakan suatu kegawatdaruratan medis dan membutuhkan
tindakan rawat inap (Katzung, 2012).

2.3. Propolis
Propolis merupakan suatu campuran alami yang dihasilkan oleh lebah Apis
mellifera dari zat-zat yang dikumpulkan dari beberapa bagian tumbuhan, tunas, dan

eksudat. Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, dimana kata pro berarti ‘tempat
masuk’ dan polis berarti ‘komunitas’ atau ‘kota’, dimana artinya produk alami ini
digunakan dalam pertahanan sarang lebah. Istilah lain dari propolis adalah bee glue
(lem lebah). Sesuai dengan sifatnya yang lunak dan fungsinya secara mekanis, lebah

15

Apis mellifera menggunakan propolis untuk mengonstruksi dan memperbaiki sarang

mereka, misalnya untuk menutup celah dan retakan serta merapikan dinding sarang
bagian dalam (Burdock, 1998) dan sebagai sawar pelindung daripada pemangsa
eksternal seperti ular, cicak, dan sebagainya, atau untuk melindungi dari angin dan
hujan. Lebah Apis mellifera mengumpulkan propolis dari tumbuh-tumbuhan yang
berbeda pada zona dengan iklim dan temperatur yang berbeda.
Sejak masa lalu, propolis telah digunakan secara luas oleh manusia, terutama
dalam pengobatan tradisional untuk menyembuhkan beberapa penyakit. Penduduk
Mesir Kuno menggunakan propolis untuk membalsami mayat-mayat mereka. Suku
Inca menggunakan propolis sebagai agen antipiretik. Tabib-tabib Romawi dan Yunani
menggunakannya sebagai desinfektan mulut dan sebagai antiseptik dan obat
penyembuh pada penanganan luka, diresepkan untuk terapi topikal pada luka
permukaan kulit maupun mukosa (Bankova, et al., 2000). Karena aktivitas
antibakterinya, propolis menjadi sangat popular di Eropa antara abad ke-17 dan abad
ke-20.
Penelitian ilmiah pertama terhadap propolis dipublikasikan pada tahun 1908
termasuk kandungan kimia dan komposisinya. Karena efeknya sebagai antiplatelet,
antimikrobial, antiviral, dan antioksidan, propolis digunakan secara luas pada obatobatan untuk manusia dan hewan, farmakologi, dan kosmetik (Wagh, 2013).

2.3.1.Karakteristik dan Komposisi
2.3.1.1.Karakteristik
Propolis (lem lebah) merupakan bahan liat dan kaku yang mengandung resin,
memiliki bau aromatik, pada suhu di bawah 15oC akan mengeras, menjadi liat dan
lengket pada suhu 36oC, dan akan meleleh menjadi cairan yang lekat pada suhu 6070oC. Berat jenisnya bervariasi tergantng dari jenis tanaman yang dikoleksi yaitu
berkisar dari 1,1112 sampai 1,136. Propolis tidak larut dalam air, sedikit larut dalam
terpentin, sebagian larut dalam alkohol, dan mudah larut dalam eter dan kloroform.

16

2.3.1.2.Komposisi
Propolis memiliki komposisi yang kompleks. Pada umumnya propolis mentah
mengandung sekitar 50% resin, 30% lilin, 10% minyak esensial, 5% serbuk sari, dan
5% komponen organik yang bervariasi. Lebih dari 300 unsur telah diidentifikasi dari
sampel propolis yang berbeda-beda. Proporsi dari unsur-unsur yang terkandung di
dalam propolis bergantung pada tempat dan waktu dari pengumpulannya.
Banyak metode analisis yang telah digunakan untuk memisahkan dan
mengidentifikasi unsur-unsur yang menyusun propolis. Unsur-unsur yang telah
diidentifikasi ternyata memiliki kesamaan secara kimia : polifenol, asam benzoat dan
turunannya, alkohol sinamik dan asam sinamik beserta turunannya, hidrokarbon
seskuiterpena dan triterpena, turunan benzaldehida, asam-asam lain beserta
turunannya, alkohol, keton, dan komponen heteroaromatik, alkohol terpena dan
seskuiterpena beserta turunannya, hidrokarbon alifatik, mineral, hidrokarbon sterol dan
steroid, gula dan asam amino (Walker & Crane, 1987). Dan seperti yang diharapkan,
komponen volatile hanya terdapat dalam jumlah yang relative rendah (Castro, 2001).
Beberapa komponen terdapat dalam semua sampel propolis sehingga menentukan
karakteristik kandungannya.
Propolis dari sumber yang berbeda mengandung unsur-unsur yang berbeda.
Beberapa unsur terdapat dalam banyak sampel dari daerah yang berbeda. Sementara
beberapa lainnya hanya ditemukan pada sampel dari daerah yang spesifik.
Sampel propolis dari sumber dengan keadaan geografis yang berbeda memiliki
aktivitas biologis yang berbeda pula sesuai dengan kondisi iklim yang berbeda.
Komponen utama yang memiliki aktivitas biologis adalah polifenol, asam aromatic,
dan asam diterpenat, namun sejumlah kecil propolis dengan tipe yang berbeda
memiliki perbedaan pada kompenen bioaktif utamanya. Perbedaan komposisi juga
berhubungan dengan jenis flora spesifik yang digunakan sebagai bahan mentahnya
(Wagh, 2013).

17

2.3.2. Bioaktivitas
2.3.3.1.Aktivitas Antiplatelet
Penelitian menunjukkan bahwa propolis memiliki efek antiplatelet. CAPE
(Caffeic acid phenethyl ester ), salah satu komponen penyusun propolis, terbukti
memiliki efek ini. CAPE secara spesifik menghambat aktivasi platelet yang diinduksi
oleh kolagen dengan cara mengganggu proses pengikatan kolagen pada reseptornya
(mis. integrin α2β1 dan GP VI) pada membran platelet, sehingga memperpanjang waktu
terbetuknya sumbatan platelet. Namun demikian, daya afinitas ikatan dan jumlah
tempat pengikatan antara CAPE dengan reseptor kolagen ini masih belum diketahui,
sehingga masih perlu diteliti lebih jauh (Hsiao, et al., 2007).
Mekanisme lain yang menjelaskan bagaimana CAPE bisa menghambat agregasi
platelet yang diinduksi oleh kolagen juga pernah diteleiti. Menurut penelitian ini,
CAPE meningkatkan pembentukan siklik-GMP. Hal ini lalu menyebabkan terjadinya
pengaktifan fosforilasi VASP (Vasodilator-stimulated phosphoprotein) Ser157
tergantung siklik-GMP, yang selanjutnya menghambat aktivitas PKC (Protein Kinase
C) dan menghasilkan penghambatan fosforilasi P47, akhirnya menghambat proses
agregasi platelet (Chen, et al., 2007)
Temuan-temuan ini mengindikasikan bahwa CAPE yang terkandung dalam
propolis bisa menjadi agen yang poten dan efektif untuk penanganan kelainan yang
terkait dengan tromboembolik.

2.3.2.2.Aktivitas Antibakteri
Sifat antibaketeri dari propolis yang diambil dari daerah Gujarat terbukti
dengan metode difusi agar terhadap Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis,
Pseudomonas aerugiosa , Escherichia coli, Candida albicans, dan Aspergillus niger .

Ekstrasi dengan etanol dari sampel (kons. 200 mg/mL) menujukkan aktivitas
antibakteri yang tinggi terhadap bakteri Gram-positif, yaitu Bacillus subtilis, tetapi
memiliki aktivitas paling lemah terhadap bakteri Gram-negatif (P. aeruginosa dan E.
coli). C. albicans menunjukkan zona inhibisi yang sedang sedangkan A. niger tidak

18

menunjukkan aktivitas apa-apa. Namun demikian, A. niger diuji coba dengan ekstrak
metanol 40% (Kumar, et al., 2008).

2.3.2.3.Aktivitas Antijamur
Propolis telah menunjukkan efek fungisidal pada jamur yang menyebabkan
pembusukan jus Candida famata , C, glabrata , C. kefyr , C. pelliculosa , C, parapsilosis,
dan Pichia ohmeri. Efek fungisidal tersebut diasosiasikan dengan adanya komponen
flavonoid (Farnesi, et al., 2009). Propolis adalah produk perlebahan dengan aktivitas
antijamur paling tinggi sebagaimana yang telah diujicobakan pada 40 yeast strains dari
C. albicans, C. glabrata, C. krusei, dan Trichosporan spp. (Koç, et al., 2007).

Selain aktivitas-aktivitas yang telah disebutkan di atas, propolis juga masih
memiliki

beragam

bioaktivitas lainnya, diantaranya

antivitas

antiprotozoal,

antioksidan, antiinflamasi, antitumor, dll (Wagh, 2013)

2.4. Bee Pollen
Bee Pollen berasal dari kata Bee (lebah) dan Pollen (serbuk sari bunga jantan).
Jadi Bee Pollen berarti serbuk sari bunga jantan yang diambil oleh lebah dan digunakan
sebagai bahan pembuatan “roti lebah”. Roti lebah sendiri adalah makanan pokok dari
seluruh koloni lebah madu. Lebah madu mengumpulkan pollen dari antera tanaman,
lalu mencampurnya dengan nektar atau juga sekresi dari kelenjar salivanya, lalu
ditempatkan di dalam suatu keranjang spesifik (corbiculae) yang terletak pada tibia
kaki belakang mereka. Selanjutnya, pollen yang telah dikumpulkan ini dibawa ke
sarang lebah. (Komosinska-Vassev, et al., 2015)

19

2.4.1. Karakteristik dan Komposisi
2.4.1.1.Karakteristik
Bee pollen berbentuk biji-bijian yang berukuran 2,5-250 µm. Bentuk, warna,
ukuran, dan berat dari pollen ini berbeda-beda tergantung pada spsies tumbuhan yang
digunakan sebagai sumber. Variasi dari bentuk pollen mencakup bundar, silinder,
seperti lonceng, segitiga, ataupun berduri-duri. Beratnya sekitar beberapa puluh
mikrogram dan warna dari pollen juga bervariasi muali dari kuning cerah hingga
kehitaman.

2.4.2.1.Komposisi
Bee pollen mengandung rata-rata 22,7% protein, termasuk 10,4% darinya
adalah asam amino esensial seperti methionine, lysine, threonine, histidine, leucine,
isoleucine, valine, phenylalanine, dan tryptophan. Selain itu, di dalam pollen juga

terkandung asam nukleat dalam jumlah yang signifikan, terutama ribonukleat.
Karbohidrat yang dapat dicerna memiliki kadar sekitar 30,8%. Bentuk-bentuk gula
lainnya, terutama fruktosa dan glukosa, terkandung dengan kadar kira-kira 25,7%
Kandungan lipid pada bee pollen berkisar 5,1% (Szczesna, 2006). Selain itu juga
terdapat komponen phenolic sekitar 1,6%, serta juga vitamin dan bioelemen-bioelemen
yang juga merupakan kandungan yang bernilai.

2.4.2.2.Bioaktivitas
Belum pernah ditemukan adanya jurnal-jurnal ilmiah ataupun sumber lainnya
yang membahas efek antiplatelet dari bee pollen. Namun bila ditilik dari segi
komposisi, bee pollen sedikit banyak memiliki komposisi utama yang mirip produkproduk perlebahan lainnya seperti propolis dan madu yang telah terbukti memiliki efek
antiplatelet, sehingga diperkirakan bahwa bee pollen juga memiliki aktivitas
antiplatelet.
Bee pollen telah terbukti memiliki banyak manfaat. Penelitian farmakologi
eksperimental yang dilakukan terhadap mencit dan kelinci menunjukkan bahwa bee

20

pollen mempunyai aktivitas hypolipidemic yang dapat menurunkan kadar lipid total
dan trigliserida plasma. Penelitian klinis telah mengonfirmasi aktivitas hypolipidemic
ini. Bee Pollen mampu menurunkan kadar lipid-lipid di atas 20 hingga 35%.
Penelitian juga telah menunjukkan bahwa Bee Pollen memiliki efek
detoksifikasi. Mencit yang diberikan racun seperti karbon tetraklorida dan
trikloroetilena. Bee Pollen terbukti menurunkan kadar dari zat-zat racun ini di dalam
darah bahkan kembali ke tingkat fisiologis. Pada proses detoksifikasi ini, unsur-unsur
yang berperan penting antara lain polifenol, terutama flavonoid dan asam fenolat
(Komosinska-Vassev, et al., 2015).
Bee Pollen juga memiliki efek antiinflamasi. Mekanisme efek antiinflamasi ini
diperkirakan dengan penghambatan dari aktivitas enzim siklooksigenase dan
lipoksigenase. Unsur yang berperan penting di sini adalah flavonoid dan asam fenolat
selain juga asam lemak dan fistosterol (Choi, 2007).

Selain efek-efek di atas, bee pollen juga merupakan suatu suplemen makanan
yang bernilai gizi tinggi (Komosinska-Vassev, et al., 2015).