Analisis Tindak Kekerasan Pada Perilaku Kolektif Dalam Gerakan Sosial Mahasiswa

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.

Gerakan Sosial sebagai Aksi Kolektif
Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang
dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan
ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk
melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada. Dalam
sosiologi, gerakan tersebut di atas diklarifikasikan sebagai suatu bentuk
perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial. Sejumlah ahli
sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan
diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi
dan kesinambungan. Sebagai sebuah aksi kolektif, umur gerakan sosial
tentu sama tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Perubahan
suatu peradaban ke peradaban lain tidaklah selalu melalui jalan “damai”
bahkan sejarah membuktikan perubahan peradaban masyarakat kerap
terjadi melalui gerakan-gerakan kolektif atau yang lebih dikenal dengan
istilah gerakan sosial sekarang ini 14.
Alain Touraine 15, seorang sosiolog asal Perancis mengatakan

bahwa gerakan sosial merupakan perilaku/tindakan kolektif yang
terorganisir dari aktor berbasiskan kelas yang berjuang melawan kelas
yang menjadi lawan (musuh) dalam untuk mengambil kontrol sosial secara

14

Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan Sosial (Studi Kasus Beberapa Perlawanan).
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
15
http://iesdepedia.com/blog/2013/01/13/new-sosial-movement/ (diakses 13 Desember 2013,
1.07 WIB)

Universitas Sumatera Utara

historis dalam sebuah komunitas yang konkret. Historisitas yang dimaksud
Touraine tersebut adalah keseluruhan sistem pemaknaan (system of
meaning) yang menciptakan aturan-aturan dominan dalam sebuah
masyarakat yang sudah terbentuk.
Aturan-aturan dominan yang dimaksud disini adalah kebijakan
pemerintah yang cenderung menjadi “musuh” bagi masyarakat. Gerakan

sosial timbul apabila masyarakat sudah menyadari bahwa mereka memiliki
musuh bersama sehingga dilakukan aksi perlawanan untuk menciptakan
suatu perubahan sosial.
Alain Touraine berpendapat pada John Scott (2012), yang
memegang peranan paling penting dalam perlawanan dan perjuangan kelas
ini adalah mahasiswa karena mahasiswa-lah yang paling terpapar
kekuasaan teknokratis, selama pendidikan mereka dan juga ketika masuk
ke pasar kerja. Touraine juga melihat unsur utama dari pergerakan
mahasiswa adalah bahwa mahasiswa berbicara berdasarkan pengetahuan
untuk melawan aparat yang berusaha untuk menundukkan pengetahuan
pada kepentingan mereka sendiri, dan mereka menyekutukan diri terhadap
mereka yang dipaksa untuk menyingkir oleh perangkat pusat dan tunduk
pada kekuasaannya 16. Itulah mengapa mahasiswa selalu digaungkan
sebagai agen perubahan.
Hariman Siregar (1994) menyebutkan gerakan mahasiswa memiliki
ciri-ciri tersendiri, yaitu :
1.

Spontanitas para pelaku.


16

Scott, John. 2012. Teori Sosial Masalah-masalah Pokok Dalam Sosiologi. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar (hal 328).

Universitas Sumatera Utara

Ini karena persamaan perasaan dan pikiran terhadap nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan dan kemerdekaan. Persamaan perasaan dan pikiran
terhadap nilai-nilai tersebut sangat kuat di kalangan mahasiswa sehingga
mendorong mereka pada tindakan yang sama.
2.

Pengorganisasian bersifat gerakan yang tidak punya hirarki

ketat, tidak birokratis dan sangat desentralisir.
3.

Tidak memiliki ideologi yang ketat.


Meski selalu mengenai prinsip-prinsip dasar yang berbangsa dan
bernegara. Umumnya menghendaki pemerintah yang lebih terbuka dan
demokratis, menjamin hak dan keselamatan rakyatnya, dan berusaha
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2.2.

Perilaku Kolektif
Paul B. Horton dan Charles L. Hunt (Razak : 2007) berpendapat
bahwa perilaku kolektif ialah mobilisasi berlandaskan pandangan yang
mendefinisikan kembali tindakan sosial. Menurut Stanley Milgam (Razak :
2007) perilaku kolektif ialah suatu perilaku yang lahir secara spontan,
relatif, tidak terorganisasi serta hampir tidak bisa diduga sebelumnya,
proses kelanjutannya tidak terencana dan hanya tergantung pada stimulasi
timbal balik yang muncul di kalangan para pelakunya 17.
Adapun ciri-ciri perilaku kolektif (Komsiah : 2010) adalah sebagai

berikut 18 :
1. Dilakukan bersama oleh sejumlah orang.
17


Yusron Razak. 2007. Sosiologi Sebuah Pengantar. Bandung : Gamma Press (hal. 24)
Komsiah, Siti. S.IP, M.Si., Modul Pengantar Sosiologi, Jakarta : Pusat Pengembangan Bahan Ajar
Universitas Mercu Buana, 2010 (hal 4)
18

Universitas Sumatera Utara

2. Tidak bersifat rutin / hanya insidential.
3. Dipacu oleh beberapa rangsangan masalah
Perilaku kolektif bisa terjadi dimasyarakat mana saja, baik masyarakat
yang sederhana maupun yang kompleks. Menurut teori Le Bon perilaku
kolektif dapan ditentukan oleh 6 faktor19, yaitu :
1. Situasi sosial
Situasi yang menyangkut ada tidaknya pengaturan dalam
instansi tertentu.
2. Ketegangan struktural
Adanya perbedaan atau kesenjangan disuatu wilayah
akan menimbulkan ketegangan yang dapat menimbulkan
bentrok ketidakpahaman

3. Berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum.
Misalnya : berkembangnya isu-isu tentang pelecehan
suatu agama atau penindasan suatu kelompok yang dapat
menyinggung kelompok lain
4. Faktor yang mendahului
Yakni

faktor-faktor

penunjang

kecemasan

dan

kecurigaan yang dikandung masyarakat. Misalnya desas-desus
isu kenaikan harga BBM, yang diperkuat dengan pencabutan
subsidi BBM, hal ini dapat memicu kuat sekelompok orang
untuk protes.


19

Ibid (hal 6)

Universitas Sumatera Utara

5. Mobilisasi perilaku oleh pemimpin untuk bertindak.
Perilaku kolektif akan terwujud apabila khalayak ramai
dikomando/dimobilisasikan oleh pimpinannya.
6. Berlangsungnya suatu pengendalian sosial (kontrol sosial)
Merupakan hal penentu yang dapat menghambat,
menunda bahkan mencegah ke 5 faktor diatas, misalnya :
pengendalian polisi dan aparat penegak hukum lainnya.
Dari keenam faktor penentu tersebut merupakan suatu rangkaian
yang dapat menyebabkan terjadinya suatu perilaku kolektif dengan
berbagai macam bidang. Menurut John Lofland ada empat bidang-bidang
perilaku kolektif antara lain : kerumunan (crowd), masa (mass), publik
(public), dan gerakan sosial (social movement) 20.
Gerakan sosial dianggap memiliki keistimewaan dibanding
perilaku kolektif yang lain, utamanya tentang pengorganisasian kelompok

yang tidak kelihatan pada jenis perilaku kolektif yang lain.

2.3.

Demonstrasi sebagai Protes
John Lofland dalam bukunya yang berjudul Protes (2003)
berpendapat demonstrasi merupakan bentuk perjuangan lewat protes yang
dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada pilihan antara pejuangan
santun dan perjuangan dengan kekerasan karena di satu sisi protes
berusaha

20

menghindari

kerusakan

fisik

yang


berlebihan

apabila

John Lofland. 2003. PROTES. Yogyakarta : InsisT Press. (hal 43)

Universitas Sumatera Utara

menggunakan perjuangan dengan kekerasan 21. Namun di sisi lain juga
tidak bisa menerima perjuangan santun seperti lobbying, negosiasi melalui
representatif kelompok yang berkepentingan yang terkadang malah
terjebak dalam praktik-praktik ilegal seperti penyuapan. Sehingga protes
merupakan bentuk perjuangan yang posisinya di tengah (middle force)
antara sopan dan tidak sopan.
John Lofland (2003), mengajukan empat kelas aksi protes yang
sistem tantangan dan keseriusan defenisi sosialnya dapat diurut mulai dari
terendah sampai ke yang tertinggi, yaitu :
1. Protes Simbolik, yaitu cara-cara teratur, tidak merusak dan
kurang begitu atraktif yang dilakukan secara kolektif untuk

mengemukakan keluhan. Ada tiga bentuk utama protes
simbolik meliputi prosesi (contoh : jalan kaki/march, parade),
pertemuan/assembly (contoh : rapat umum, mimbar bebas), dan
beragam aksi publik termasuk pagar betis/picketing.
2. Anti kerja sama, atau non-coperation adalah penolakan untuk
meneruskan tatanan sosial yang ada. Ini merupakan bentuk
protes yang sepenuhnya tanpa kekerasan. Yang paling umum
adalah seperti aksi mogok, boikot, pemnggembosan, dan
sebagainya.

21

Ibid (hal 287)

Universitas Sumatera Utara

3. Intervensi. Dibedakan menjadi empat pola, yaitu :
• Harrasment (pelecehan), dilakukan melalui kegiatankegiatan menentang orang yang dimaksud dengan cara-cara
yang tidak lazim.
• System Overloading, karena terlalu banyaknya prosesproses yang diintervensi.

• Blockade, pemrotes secara temporer menghambat gerakan
orang atau properti dari pihak yang ditentang.
• Occupation, atau pendudukan yang dilakukan dengan
memasuki atau menolak meninggalkan tempat-tempat yang
tidak diinginkan atau dari tempat yang dilarang.
4. Lembaga Alternatif. Jika aksi protes lembaga alternatif
menggantikan loyalitas masyarakat, maka aksi telah mencapai
jenis protes yang paling serius dan paling penting. Aksi ini
mampu memicu perubahan yang sangat besar, bahkan revolusi,
yang tidak mungkin dipicu oleh ketiga jenis kelas protes
lainnya.
Dilihat dari tahap-tahapan atau tingkat aksi protes di atas, dalam
setiap aksi demonstrasi sangat dihindari terjadinya tindakan kekerasan.
Namun dalam situasi tertentu, demonstrasi bisa berubah tingkatan kelas
protesnya. Tergantung sejauh mana tanggapan publik yang bersangkutan
terhadap isu yang diangkat.
Seperti pada tahap protes simbolik, dikatakan demikian karena
pihak berwajib atau masyarakat luas sudah siap dengan berlangsungnya

Universitas Sumatera Utara

aksi tersebut tanpa penolakan/hambatan. Namun jika masyarakat (pihak
berwajib atau masyarakat luas) telah menganggap aksi simbolik sebagai
susutau yang mengancam sehingga harus dihentikan atau dikendalikan,
maka aksi kelas pertama ini naik kelas menjadi intervensi.
Aksi demonstrasi menolak kebijakan kenaikan harga BBM yang
terjadi di Kota Medan, sepanjang perjalanannya tidak pernah serta-merta
langsung terjadi chaos, bentrok atau bahkan blokade terhadap saranasarana. Blokade Bandara Polonia oleh pengunjuk rasa pada tanggal 26
Maret 2012 bisa dikatakan sebagai puncaknya aksi menolak kenaikan
harga BBM di Kota Medan. Pada hari-hari sebelumnya, demonstrasi
mahasiswa terjadi di beberapa lokasi namun demonstrasi hanya berbentuk
orasi, teatrikal, march, dan berbagai bentuk lainnya yang tidak berpotensi
pada tindak kekerasan dan cenderung tidak diperhatikan. Dengan kata lain,
aksi demonstrasi harus melalui proses dan tahapan kelas agar tepat sasaran

2.4.

Kontrol Sosial
Kontrol sosial atau pengendalian sosial menurut Robert Z. Lawang,
adalah semua cara

yang dipergunakan suatu masyarakat

untuk

mengembalikan si penyimpang pada garis yang normal atau yang
sebenarnya. Sedangkan menurut Paul B. Horton dan Charles L. Hunt,
pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang ditempuh oleh
sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat
bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat itu sendiri 22.

22

Nana Supriatna, dkk. 2006. Ilmu Pengetahuan Sosial Sosiologi. Grafindo (hal 280)

Universitas Sumatera Utara

Demonstrasi mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah merupakan
bentuk kontrol sosial mahasiswa terhadap kinerja pemerintah. Artinya
apabila pemerintah menetapkan kebijakan yang menyimpang dari
kepentingan rakyat, maka mahasiswa akan melakukan kontrol sosial
terhada pemerintah melalui demonstrasi.
Soerjono Soekanto mengatakan terdapat beberapa teknik yang
digunakan dalam pengendalian sosial 23, yaitu :
1. Persuasif
Merupakan

cara

pengendalian

sosial

tanpa

menggunakan

kekerasan. Biasanya digunakan dalam masyarakat yang relatif
tentram dan cenderung tidak berubah.
2. Koersif
Merupakan pengendalian sosial yang sudah menggunakan paksaan
dan biasanya dilakukan pada masyarakat yang sedang berubah.
Dalam keadaan seperti ini, pngendalian sosial juga berfungsi untuk
mengganti kaidah-kaidah lama yang telah goyah dengan kaidah
baru.
3. Compulsion
Dalam compulsion, biasanya diciptakan kondisi sedemikian rupa
sehingga suatu pihak terpaksa taat atau mengubah sikapnya dan
menghasilkan kepatuhan secara tidak langsung.
4. Pervassion

23

Ibid (hal 282)

Universitas Sumatera Utara

Nilai atau norma diulang-ulang penyampaiannnya, sehingga pihak
yang menjadi target pengendalian sosial akan mengubah sikapnya
sesuai yang selalu digaungkan.
Mahasiswa kerap dikatakan sebagai sosial of control-nya pemerintah.
Ketika pemerintah menetapkan kebijakan-kebijakan yang cenderung
menyimpang dari kepentingan rakyat, maka mahasiswa dapat melakukan
tindakan pengendalian melalui demonstrasi.

2.5.

Kekerasan dan Perilaku Kolektif
Disadur dari tulisan Makarim Mufti (2012) seorang penggiat anti
kekerasan di KontraS, kekerasan (violence) secara etimologi berasal dari
kata Vi (Bahasa Latin) yang berati kekuasaan/berkuasa. Violence dimaknai
sebagai ekspresi fisik maupun verbal yang mencerminkan tindakan agresi
dan penyerangan terhadap kebebasan atau martabat seseorang, oleh
perorangan atau kelompok, yang didasarkan pada ‘kewenangan’. Artinya,
violence (kekerasan) adalah penggunaan kewenangan tanpa keabsahan
atau tindakan sewenang-wenang Makarim Mufti juga mengatakan bahwa
kekerasan

adalah

setiap

tindakan/kebijakan

disertai

penggunaan

kekuasaan/kekuatan dengan tujuan buruk (yang eksplisit maupun implisit)
dan/atau menentang nilai tertentu (yang sah/disepakati/logis) 24.
Dalam tulisannya, Makarim Mufti juga mengutip rumusan WHO
yang dideklarasikan pada tahun 1996 oleh Dewan Kesehatan Dunia
(World Health Assembly) mengenai resolusi WHA 4925 yang menyatakan
24

http://makaarim.wordpress.com/2012/07/18/memaknai-kekerasan/ (diakses pada 14 Oktober
2014, 23 : 34 WIB)

Universitas Sumatera Utara

kekerasan sebagai masalah kesehatan publik yang utama dan meminta
WHO merumuskan tipologi kekerasan yang menjelaskan beragam tipe
kekerasan 25. Rumusan WHO membagi kekerasan dalam tiga kategori
besar berdasarkan karakteristik pelaku kekerasan, yaitu: 1). Kekerasan
terhadap diri sendiri (self-directed violence); 2). Kekerasan antarperseorangan (interpersonal violence); dan 3). Kekerasan kolektif
(collective violence).
Kekerasan kolektif dilakukan oleh segerombolan orang (mob) dan
kumpulan banyak orang (crowd). Kekerasan dapat digunakan untuk
menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert),
dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive).
Jack Douglas dan France Waksler dalam Thomas Santoso membagi empat
jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi 26 :
1. kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat dilihat.
2. kekerasan tertutup, kekerasan yang tidak dilakukan secara
langsung atau tersembunyi.
3. kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk
perlindungan tapi untuk mendapatkan sesuatu.
4. Kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan untuk melindungi
diri.
Sejarawan Inggris, Norman Gash, menuliskan tentang Perang
Napoleon : “kerusuhan dan kekacuan merupakan reaksi orang
kebanyakan yang sudah lama ada terhadap kesukaran dan keluhan.
25
26

Ibid
Thomas Santoso. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Surabaya : Ghalia Indonesia (hal 11)

Universitas Sumatera Utara

Pecahnya Ludisme yang sangat terlokalisir disebabkan oleh ciri-ciri
masyarakat Inggris yang lebih permanen dan lebih luas : kurang
memadainya bantuan disaat menganggur, hubungan industri yang kurang
baik, kurangnya metode negosiasi upah yang diterima semua pihak,
rentannya majikan terhadap aksi kekerasan, tidak adanya polisi yang
efektif, dan kelemahan umum kekuatan hukum dan ketertiban. Kekerasan
terjadi dimana-mana sebab kekerasan adalah jawaban naluriah dan
karena tidak ada yang dapat digunakan untuk menghentikannya pada
tahap-tahap awalnya.”dituliskan Charles Tilly 27.
Yang dikatakan oleh Gash diatas walaupun menggambarkan
tentang kondisi Britania pasca Perang Napoleon, lebih kurang juga
mendeskripsikan kondisi Indonesia. Hanya saja, aksi kolektif yang
berujung pada kekerasan di Indonesia pada beberapa momentum banyak
digawangi oleh pelajar dan mahasiswa. Fungsi pelajar dan mahasiswa
sebagai agent of change dan penyalur aspirasi rakyat terhadap pemerintah
menyebabkan mahasiswa berinisiatif membentuk gerakan sosial secara
kolektif, walaupun kekerasan tidak selalu dijadikan strategi gerakan untuk
menciptakan perubahan sosial.
Berpulang dari perilaku kolektif yang dilakukan mahasiswa
sebagai pelaku gerakan sosial, kekerasan kolektif seperti yang dikatakan
oleh Gash merupakan kekerasan yang timbul akibat kesamaan latar
belakang dan masalah. Douglas dan Waksler menyebutkan : “pada
umumnya kekerasan kolektif muncul dari situasi konkrit yang sebelumnya

27

Ibid (hal 89)

Universitas Sumatera Utara

didahului oleh sharing gagasan, nilai, tujuan dan masalaha bersama
dalam periode waktu yang lebih lama. Masalah bersama adalah faktor
paling penting dan bisa melibatkan peraaan akan bahaya, dendam atau
marah. Suatu masalah bisa langsung memicu suatu pemberontakan, assa
tapi harus ada sejarah bersama yang bisa menentukan langkah bersama.
Pemberontakan massa bisa menjadi pemicu yang mendorong terjadinya
kekerasan, tetapi harus ada semacam semangat kultural bersama agar
pemberontakan massa tersebut bisa menjadi pemicu yang efektif bagi
terjadinya kekerasan.” 28
Kekerasan kolektif muncul dari sekumpulan (crowd) yang
memiliki permasalahan atau semua jenis tingkat budaya dan organisasi
yang sama. Mulanya karena masih bersifat kerumunan, crowd relatif tidak
terorganisasi. Namun akibat kesamaan masalah dalam periode waktu yang
lama, sehingga anggota kumpulan crowd mencoba untuk mempererat
ikatan mereka dengan pengorganisasian perkumpulan. Pada akhirnya
crowd yang sudah teroganisir lebih baik sehingga memiliki mobilisasi
politik yang tinggi, menimbulkan kekerasan kolektif sebagai respon yang
masuk akal karena didasari oleh masalah bersama untuk menciptakan
revolusi.
Selain itu, kekerasan yang terjadi saat demonstrasi juga diakibatkan
oleh represifitas aparat. Seperti yang didefenisikan Johan Galtung bahwa
kekerasan adalah sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang

28

Ibid (hal 15)

Universitas Sumatera Utara

terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar 29. Kekerasan
struktural yang dikemukakan Galtung menunjukkan bentu kekerasan tidak
langsung, tidak tampak, statis serta memperlihatkan stabilitas tertentu.
Dengan demikian, kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aktor/ kelompok
akor semata, tetapi juga oleh struktur seperti aparatur negara.

29

Ibid (hal 2)

Universitas Sumatera Utara