Hubungan Universal-Diverse Orientation dengan Psychological Capital

14

BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. PSYCHOLOGICAL CAPITAL

1. Definisi
Luthans, Youssef, & Avolio (2007) dalam bukunya mendefinisikan
Psychological Capital (PsyCap) sebagai berikut:
“PsyCap is an individual’s positive psychological
state of development and is characterized by: (1) having
confidence (self-efficacy) to take on and put in the
necessary effort to succeed at challenging tasks; (2) making
a positive attribution (optimism) about succeeding now and
in the future; (3) persevering toward goals and, when
necessary, redirecting paths to goals (hope) in order to
succeed; and (4) when beset by problems and adversity,
sustaining and bouncing back and even beyond (resiliency)
to attain success”.
Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa PsyCap merupakan

kondisi perkembangan psikologis seseorang yang positif yang memiliki
beberapa karakteristik, yakni:
a. Kepercayaan

diri

(self-efficacy)

untuk

berusaha

agar

dapat

menyelesaikan tugas yang menantang.
b. Memiliki atribusi positif (optimism) tentang keberhasilan di masa
sekarang dan masa depan.
c. Tetap mengejar tujuan dan mengatur ulang cara mencapai tujuan jika

diperlukan (hope) agar berhasil/sukses.

Universitas Sumatera Utara

15

d. Dapat bertahan bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya ketika
mengalami kesulitan dan masalah (resiliency) untuk memperoleh
kesuksesan.
Luthans, Youssef, & Avolio (2007) lebih lanjut menjelaskan
bahwa PsyCap bersifat terbuka terhadap perubahan, dalam artian PsyCap
dapat terus berkembang. Tidak seperti human capital yang berbicara
tentang apa yang seseorang ketahui, atau social capital yang berbicara
tentang siapa yang seseorang ketahui, PsyCap lebih mengacu kepada diri
individu itu sendiri dan akan menjadi apa individu tersebut ke depannya.
Karena berfokus kepada siapa individu tersebut, PsyCap dapat mencakup
pengetahuan, skill, kemampuan teknikal, dan pengalaman. PsyCap juga
mencakup metakonstuk level kelompok seperti dukungan sosial dan relasi
yang juga menjadi bagian dari diri individu. Individu dengan PsyCap yang
tinggi dapat bertindak dalam “kapasitas yang berbeda-beda” secara

fleksibel dan adaptif agar sesuai dengan tuntutan yang ada dan PsyCap
mereka akan membantu mereka merasakan well-being dan menyadari
kompetensi tinggi yang mereka miliki.
2. Dimensi
a. PsyCap Efficacy
Disebut juga dengan confidence to succeed (keyakinan akan
memperoleh keberhasilan). Self-efficacy merupakan konsep yang
digunakan Albert Bandura (dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007)
yang mengacu pada perkiraan individu akan kemampuan mereka

Universitas Sumatera Utara

16

melakukan

suatu

pekerjaan


atau

kepercayaan

mereka

terkait

kemampuan yang mereka miliki dalam menyesuaikan motivasi,
sumber kognitif, dan tindakan mereka yang dibutuhkan untuk
melakukan

suatu

pekerjaan

dalam

suatu


konteks.

Tingkat

kemungkinan untuk kemampuan melakukan pekerjaan tersebut disebut
level of self-efficacy. Dalam pengertian aslinya, self-efficacy lebih
berfokus pada keyakinan akan kemampuan yang dimiliki individu
untuk melakukan pekerjaan tertentu saja, namun dalam hal ini sifatnya
lebih general.
PsyCap efficacy berperan dalam memotivasi individu untuk
memilih dan menerima tantangan dan menggunakan kekuatan dan
kemampuan yang ada dalam menghadapi tantangan tersebut. PsyCap
efficacy juga berperan untuk mendorong individu untuk mengejar
tujuan dan menggunakan waktu dan usaha keras untuk memperoleh
tujuan-tujuan tersebut. Peran lain dari PsyCap efficacy ialah membantu
individu untuk bertahan ketika menemui kendala yang membuat
individu ingin menyerah dan akan menghubungkannya dengan hope,
optimism, dan resiliency individu tersebut.
PsyCap efficacy merupakan dimensi yang terdapat di dalam
diri individu yang terus berkembang dan merupakan kesadaran

individu tentang dirinya dan dapat diubah secara positif sehingga
sesuai dengan yang diharapkan.

Universitas Sumatera Utara

17

Individu yang memiliki PsyCap efficacy memiliki karakteristik
berikut ini:
(1) Membuat goal (tujuan) yang tinggi untuk mereka sendiri dan lebih
self-select terhadap tugas-tugas yang sulit;
(2) Menerima dan berjuang dalam menghadapi tantangan;
(3) Sangat self-motivated;
(4) Melakukan usaha seperlunya untuk memperoleh tujuan mereka;
(5) Tetap teguh meski menghadapi kendala dalam mengejar tujuan.
Meski kesuksesan berperan penting dalam PsyCap efficacy,
namun kesuksesan tidak sama dengan PsyCap efficacy. Kesuksesan
individu dapat mempengaruhi PsyCap efficacy-nya namun hal ini tidak
terjadi secara serta merta, individu harus melewati proses kognitif
hingga akhirnya kesuksesan yang dialaminya dapat memberi pengaruh

positif bagi PsyCap efficacy. Di samping itu, PsyCap efficacy pada
individu juga harus sesuai dengan konteks yang ada dan cenderung
spesifik serta fokus terhadap hal yang sedang terjadi pada individu.
Dalam penelitiannya, Luthans, Youssef, & Avolio (2007)
menjelaskan 5 temuan kunci dalam PsyCap efficacy. Kelima temuan
tersebut ialah:
(1) PsyCap

efficacy

bersifat

domain-specific.

Keyakinan

akan

kemampuan diri tidak bersifat general yang berarti bahwa individu
yang yakin mampu menyelesaikan tugas tertentu belum tentu yakin

bahwa ia mampu dalam menyelesaikan tugas atau hal yang lain;

Universitas Sumatera Utara

18

(2) PsyCap efficacy didasarkan pada latihan atau mastery. Ketika
individu menghadapi suatu tugas atau kegiatan berkali-kali,
individu akan menjadi semakin yakin bahwa ia mampu
mengerjakan tugas tersebut;
(3) Selalu ada hal yang harus diperbaiki dalam PsyCap efficacy.
Individu mungkin sangat yakin akan kemampuannya dalam
menyelesaikan tugas tertentu, meski demikian ia tetap memiliki
beberapa hal yang pelu diperbaiki atau ditingkatkan. Sebagai
contoh, seseorang memiliki kemampuan komunikasi yang sangat
baik namun tidak mampu berpikir secara mendetail dan kritis;
(4) PsyCap efficacy dipengaruhi oleh orang lain. Pengaruh dari orang
lain dapat berupa penilaian yang positif terhadap diri individu
sehingga mampu meningkatkan keyakinan individu terhadap
kemampuannya. Selain itu dengan melihat orang yang sama

dengan diri individu itu sendiri berhasil dalam suatu hal akan
membuat individu yakin dirinya juga mampu berhasil dalam hal
tersebut;
(5) PsyCap efficacy bervariasi. PsyCap efficacy tergantung dari banyak
faktor, baik yang berasal dari dalam diri individu (pengetahuan,
kecakapan,

dan

kemampuan),

dari

lingkungan

(misalnya

ketersediaan sumber yang membantu pencapaian tujuan), dan
kesejahteraan fisik dan psikologis.


Universitas Sumatera Utara

19

PsyCap efficacy dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kesuksesan dan proses kognitif dan magnitud (tingkat kesulitan yang
ingin dicapai individu), serta kekuatan (tingkat keyakinan individu
terhadap kemampuannya menyelesaikan tantangan dalam tiap tingkat
kesulitan).
b. PsyCap Hope
Disebut juga the will and the way. Luthans, Youssef, & Avolio
(2007) menjelaskan PsyCap hope sebagai harapan yang dimiliki
individu untuk mencapai tujuan dan keyakinan bahwa individu
tersebut bertanggung jawab secara pribadi terhadap tujuannya sendiri
serta dapat mencari alternatif jalan untuk mencapai tujuannya ketika
menemukan suatu hambatan. Dalam bukunya, Luthans, Youssef, &
Avolio (2007) mengutip pernyataan C. Rick Snyder – seorang profesor
psikologi klinis di University of Kansas – yang mendefinisikan hope
sebagai “a positive motivational state that is based on an interactively
derived sense of successful (1) agency (goal-directed energy) and (2)

pathways (planning to meet goals)”.
Didasari oleh pengertian ini, PsyCap hope dapat dimengerti
dalam pengertian kognitif atau pemikiran di mana individu mampu
membuat tujuan yang realistis namun menantang dan mencapai tujuan
tersebut dengan mandiri, energi, dan persepsi yang berfokus pada
kontrol

personal

atau

sebagai

kemampuan

individu

dalam

memfokuskan usaha mereka untuk mencapai tujuan dan membuat

Universitas Sumatera Utara

20

strategi alternatif dalam mencapai tujuan tersebut ketika menemukan
hambatan dalam mencapainya.
Namun umumnya pembuatan jalan alternatif dalam mencapai
tujuan ini sering disalahartikan menjadi salah satu dari ketiga dimensi
PsyCap lainnya (resiliency, self-efficacy, dan optimism).
Terdapat 8 (delapan) pendekatan yang berkontribusi dalam
pengembangan PsyCap hope seseorang:
(1) Goal-setting. Goal setting yang diciptakan individu, bersifat
partisipatori, dan tepat dapat mendorong individu melakukan
kinerja yang lebih baik dan mempengaruhi bagaimana seseorang
mendesain cara yang kreatif untuk dapat mencapai tujuan.
(2) Stretch goals. Goal yang berperan baik dalam perkembangan dan
kematangan pikiran yang hopeful harus spesifik, dapat diukur,
bersifat menantang namun dapat dicapai. Stretch goals dapat dilihat
dalam artian hal-hal yang sulit memunculkan semangat dalam
mencapai tujuan namun tetap dapat dicapai.
(3) Stepping. Dalam proses ini, tujuan yang sulit, berjangka panjang,
bahkan yang overwhelming dipecah menjadi bagian-bagian lebih
kecil sehingga dapat dikerjakan secara bertahap.
(4) Involvement. Yang ditekankan dalam hal ini ialah pengambilan
keputusan yang bottom-up dan komunikasi, kesempatan untuk
berpartisipasi, employee empowerment, engagement, delegation,

Universitas Sumatera Utara

21

dan increased autonomy have documented, hasil workplace yang
diharapkan.
(5) Reward systems. PsyCap hope dapat diberi penguatan dengan
pemberian reward bagi individu yang melakukan usaha untuk
mencapai tujuan.
(6) Resources. Pendekatan ini berhubungan dengan PsyCap hope.
Menemukan masalah dalam mencapai tujuan bukanlah suatu hal
yang baru dan umum terjadi. Untuk itu menjadi suatu hal yang
penting bagi individu untuk mampu mengubah usaha-usahanya
agar tujuan tetap dapat tercapai. Pengubahan strategi dalam
pencapaian tujuan ini tidak terlepas dari resource yang tersedia.
Individu yang sulit mendapatkan akses terhadap hal-hal yang
diperlukannya dalam mencapai tujuan lebih cepat membuatnya
merasa hopeless dan apatis. Untuk itu dalam hal ini diperlukan
resources yang berguna bagi individu dalam menemukan jalan
untuk mencapai tujuan. Selain yang bersifat materil, resouces di
juga berbicara mengenai hubungan yang baik antara individu
dengan orang-orang di sekitarnya, untuk itu diperlukan hubungan
yang baik dari orang-orang yang berpengaruh pada individu agar
lebih mudah dalam menemukan jalan untuk memperoleh tujuan
yang ingin dicapai.

Universitas Sumatera Utara

22

(7) Strategic alignment. Pendekatan ini berbicara tentang kesesuaian
strategi dengan individu yang menjalankannya. Ketika individu
menciptakan strategi yang sesuai, maka kesempatannya untuk
sukses akan tinggi, namun ketika tidak sesuai, maka sedikit
kemungkinan baginya untuk berhasil.
(8) Training. Hal ini dibutuhkan agar individu lebih mudah dalam
mencari cara untuk mencapai tujuannya atau cara menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Training yang dapat meningkatkan
hope mudah dilaksanakan, interaktif, partisipatif, berorientasi pada
kompetensi umum, dan dapat mengembangkan bakat menjadi
kekuatan yang dapat diterapkan dalam berbagai situasi.
c. PsyCap Optimism
Dikenal juga dengan realistic and flexible. Dalam bahasa
sehari-hari, seseorang dikatakan optimis ketika mereka mengharapkan
kejadian yang positif di masa yang akan datang, dan dikatakan pesimis
ketika selalu memiliki pikiran negatif dan berpikir akan kejadian
negatif yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dalam konteks
PsyCap, pengertiannya tidak hanya sebatas demikian. PsyCap
optimism tergantung pada alasan dan atribusi yang digunakan
seseorang untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, apakah bernilai
positif atau negatif, apakah itu terjadi pada masa lalu, sekarang, atau
masa depan (tidak terikat waktu).

Universitas Sumatera Utara

23

Luthans, Youssef, & Avolio (2007) menjelaskan PsyCap
optimism sebagai explanatory atau attributional style. Anggapan ini
didasari oleh pernyataan Martin Seligman yang mendefinisikan
optimism sebagai explanatory style yang mengatribusi kejadian positif
secara personal, permanen, dan pervasif dan kejadian negatif secara
eksternal, sementara, dan terjadi pada situasi spesifik saja (tidak
menyeluruh atau pervasif), sedangkan pesimistic sebaliknya.
Namun perlu diperhatikan bahwa individu yang terlalu atau
over optimistic tidak dapat dikatakan baik karena individu dapat
menerima

tantangan

yang

sebenarnya

terlalu

ekstrim

atau

membahayakan bagi dirinya ataupun orang lain. Untuk itu, Peterson
(dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menekankan agar individu
memiliki “flexible optimism” dan Schneider (dalam Luthans, Youssef,
& Avolio, 2007) menekankan agar memiliki “realistic optimism”.
PsyCap optimism yang harus dimiliki ialah yang efektif dan tidak
ekstrim, serta harus dipandang sebagai pembelajaran untuk disiplin
diri, analisis hal-hal yang terjadi di masa lampau, perencanaan
kontingen, dan program preventif yang tepat. Sehingga individu
dengan PsyCap optimism yang positif, efektif, fleksibel, dan realistis
dapat menikmati implikasinya baik secara kognitif maupun emosional
karena mampu bertanggung jawab atas kesuksesannya dan memiliki
kontrol atas tujuan pribadinya tanpa mengambil resiko berbahaya baik
bagi dirinya maupun orang lain secara tidak sadar.

Universitas Sumatera Utara

24

Individu dengan PsyCap optimism yang positif juga mampu
menunjukkan rasa terima kasih mereka terhadap orang lain atau hal-hal
yang berkontribusi terhadap kesuksesan mereka. Ketika menghadapi
masa-masa sulit, individu dapat menyelidiki masalah, belajar dari
kesalahan, menerima apa yang tidak dapat diubahnya, dan kembali
melanjutkan dan fokus pada apa yang harus dikerjakannya. PsyCap
optimism yang positif dapat diperoleh individu dengan melepaskan apa
yang ada di masa lalu, baik itu yang bersifat positif maupun negatif;
menghargai apa yang sedang terjadi saat ini; dan mencari kesempatan
untuk masa yang akan datang.
d. PsyCap Resiliency
Disebut juga dengan bouncing back and beyond. PsyCap
resiliency tidak hanya berarti kemampuan untuk menjadi teguh
kembali setelah ditimpa kejadian atau hal buruk atau kesulitan, namun
juga menjadi lebih positif dan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Suatu faktor yang mempengaruhi kualitas PsyCap resiliency individu
ialah gaya kepemimpinan orang yang berkuasa terhadap dirinya. Gaya
kepemimpinan yang berpengaruh positif terhadap perkembangan
PsyCap resiliency ialah transformasional yang dapat dirasakan dari
kharisma, pengaruh idealis, stimulasi intelektual, dan pertimbangan
individualisasi orang yang berkuasa atas diri individu. Sedangkan gaya
kepemimpinan yang berpengaruh negatif terhadap PsyCap efficacy
ialah

transaksional.

Di

samping

itu,

positive

psychology

Universitas Sumatera Utara

25

mengidentifikasi dan menemukan tiga faktor yang berkontribusi atau
mengganggu perkembangan PsyCap resiliency ini. Ketiga faktor
tersebut ialah:
(1) Resiliency assets. Masten dan Reed (dalam Luthans, Youssef, &
Avolio, 2007) mendefinisikan aset resiliency sebagai karakteristik
situasi dalam kelompok individu yang dapat diukur yang
memprediksi hasil positif di masa depan dalam kriteria hasil yang
spesifik.

Faktor

ini

mengidentifikasi

kemampuan

kognitif,

temperamen, persepsi diri yang positif, keyakinan, pandangan
terhadap hidup, stabilitas emosi, regulasi diri, a sense of humor,
ketertarikan secara umum sebagai aset potensial yang dapat
berkontribusi terhadap peningkatan resiliency (Masten dalam
Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Wolin dan Wolin (dalam
Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) menambahkan daftar aset dari
resiliency

yakni

insight,

kemandirian,

hubungan,

inisiatif,

kreativitas, humor, dan moral. Berdasarkan aliran psikologi positif,
beberapa penekanan berada pada pentingnya aset hubungan dan
kontribusinya dengan resiliency, khususnya dalam konteks
menerima keragaman atau pengalaman negatif. Gorman (dalam
Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) mendukung hubungan integral
baik secara personal maupun aset yang berdasarkan pada hubungan
dalam perannya meningkatkan resiliency dengan menunjukkan
bahwa individu yang dapat menemukan dan mengasah talentanya

Universitas Sumatera Utara

26

dan menemukan mentor yang efektif untuk dapat berhasil dalam
bidangnya akan memiliki kemampuan untuk bouncing back dan
menjadi sukses.
(2) Resiliency risk factors. Masten dan Reed (dalam Luthans, Youssef,
& Avolio, 2007) mendefinisikan resiliency risk factors sebagai
faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya kemungkinan
outcome yang tidak diharapkan. Kirby & Fraser (dalam Luthans,
Youssef, & Avolio, 2007) menyebutnya sebagai “vulnerability
factors” dan mengatakan faktor-faktor resiko ini mencakup
pengalaman

yang

jelas

merusak

dan

disfungsi

seperti

penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan (Johnson, Bryant, Collins,
Noe, Strader, & Berbaum; & Sandau-Beckler, Devall, & de la Rosa
dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007), dan pengalaman
traumatik seperti kekerasan (Qouta, El-Sarraj, & Punamaki dalam
Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Resiko-resiko ini juga dapat
mencakup faktor yang samar dan bertahap namun merusak seperti
stres dan burnout (Baron, Eisman, Scuello, Veyzer, & Lieberman;
& Smith & Carlson dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007),
kesehatan yang tidak baik, pendidikan rendah, dan pengangguran
(Collins dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Faktor-faktor
resiko ini dapat menyebabkan individu mengalami pengalaman
yang tidak diharapkan secara intens sehingga kemungkinan
munculnya outcome yang negatif dapat meningkat (Cowan, et al.;

Universitas Sumatera Utara

27

& Masten dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007). Namun,
munculnya faktor-faktor resiko ini tidak dapat dipandang sebagai
hal yang menyebabkan kegagalan dan berkurangnya resiliency.
Faktor-faktor resiko ini tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu,
menghindar sepenuhnya dari resiko ini dan menutupi diri dan orang
lain dari sumber-sumber resiko ini merupakan hal yang tidak
realistis. Lebih lagi, tantangan sebenarnya dapat memberi
kontribusi yang sangat baik dalam membantu menstimulasi
perkembangan, pencapaian potensi diri dan self-actualization
individu. Proses penggunaan aset untuk mengatasi resiko dapat
membantu mengatasi rasa puas diri, menyelidiki bidang baru,
bahkan memanfaatkan talenta dan kekuatan yang mereka miliki,
namun hanya ketika proses ini dapat diidentifikasi dan dikelola
dengan baik. Faktor-faktor resiko ini penting untuk membantu
individu dapat melakukan “bouncing back and beyond” pada
proses resiliency. Resiliency memungkinan individu menemukan
potensi latennya yang sebelumnya tidak disadarinya. Baik aset dan
faktor-faktor resiko ini harus dipertimbangkan bersama dalam
proses PsyCap resiliency karena keduanya bersifat kumulatif dan
saling berinteraksi.
(3) The role of values in resiliency. Nilai-nilai dan kepercayaan yang
dimiliki individu dapat membantu untuk mengangkat individu ke
luar dari masa-masa sulit yang sedang terjadi, membawa mereka

Universitas Sumatera Utara

28

melihat masa depan yang lebih memuaskan. Avolio dan Luthans
(dalam Luthans, Youssef, & Avolio, 2007) mengatakan hal ini
dapat memotivasi diri individu sehingga pada akhirnya dapat
memunculkan perilaku yang lebih baik. Individu dengan motivasi
untuk berkembang dan belajar akan cenderung berusaha untuk
berhasil mencapai tujuan dan harapan yang menantang. Motivasi
untuk berkembang dan belajar ini dapat dikembangkan dan/atau
dapat dihilangkan dari diri individu, sama halnya dengan resiliency
itu sendiri. Beberapa penelitian mendukung peran dari nilai dan
kepercayaan

yang

bermanfaat

ini

dalam

mempertahankan

resiliency lewat tantangan yang berat baik secara psikologis
maupun fisik. Salah satu penelitian menemukan bahwa individu
yang bertindak sesuai dengan nilai-nilai dalam hidup akan
mengalami peningkatan yang konsisten dalam hal kebebasan,
energi, dan resiliency-nya (Richardson dalam Luthans, Youssef, &
Avolio, 2007). Wolin dan Wolin (dalam Luthans, Youssef, &
Avolio, 2007) berpendapat bahwa moral akan meningkatkan
resiliency dengan menyesuaikan perilaku seseorang dengan sistem
nilai yang menuntun pada penilaian (membedakan antara baik dan
buruk), prinsip (memberi dasar dalam pembuatan keputusan), dan
pelayanan (berkontribusi terhadap well-being orang lain). Dapat
dikatakan bahwa kontribusi utama dari nilai yang dimiliki individu
dalam meningkatkan resiliency ialah pada stabilitas nilai-nilai

Universitas Sumatera Utara

29

sebagai sumber yang bermanfaat (Coutu & Kobsa dalam Luthans,
Youssef, & Avolio, 2007).
B. UNIVERSAL-DIVERSE ORIENTATION
1. Definisi
Universal-diverse orientation (UDO) didefinisikan sebagai sikap
terhadap semua orang yang bersifat inklusif namun tetap menyadari
perbedaan dan persamaan serta menerimanya; pengalaman serupa yang
dimiliki beberapa individu yang membuat adanya sense of connectedness
antar individu tersebut dan berhubungan dengan perbedaan interaksi
dengan orang lain. UDO ini mengindikasikan adanya dorongan yang
bersifat umum untuk bergabung atau mengalami perbedaan budaya dan
orang-orang di lingkungan sekitar (perbedaan dari segi ras, gender,
ataupun orientasi seksual, kepribadian). Berdasarkan hal ini, UDO terlihat
merefleksikan tingkat perkembangan identitas individu yang tinggi seperti
tahap autonomy pada model Helms tentang perkembangan identitas ras
(Fuertes, Miville, Mohr, Sedlacek, & Gretchen, 2000; Singley & Sedlacek,
2004).
Singkatnya, UDO ini diartikan sebagai sikap terhadap orang lain di
luar dirinya yang bersifat inklusif dan sadar serta menerima persamaan dan
perbedaan yang ada antara satu dengan yang lain, termasuk dengan dirinya
sendiri (Miville et al. dalam Toscano, 2012). Persamaan dan perbedaan
budaya yang terdapat dalam kehidupan sosial ini perlu untuk disadari dan

Universitas Sumatera Utara

30

diintegrasikan agar tiap individu dapat menerima dan menghargai orang
lain sehingga interaksi antar individu dapat berjalan secara efektif
(Vontress dalam Fuertes, Miville, Mohr, Sedlacek, & Gretchen, 2000).
Individu dengan UDO yang tinggi akan memiliki tingkat yang
tinggi juga dalam identitas ras yang positif, healthy narcissism, empati,
feminist views, androginy, pembelajaran yang fokus kepada multikultur,
academic self-concept, independent self-construal, self-efficacy, openess,
berpikir positif dan kemampuan skill (Toscano, 2012).
2. Aspek
Terdapat tiga aspek di dalam UDO (Fuertes, Miville, Mohr,
Sedlacek, & Gretchen, 2000). Ketiga aspek tersebut ialah sebagi berikut:
a. Diversity of Contacts
Aspek ini menekankan perilaku dari UDO yang merefleksikan
ketertarikan dan komitmen untuk berpartisipasi dalam keberagaman dan
aktivitas dalam lingkup luas (internasional) yang berfokus pada sosial
dan budaya.
b. Relativistic Appreciation
Relativistic appreciation

merupakan aspek yang menekankan

komponen kognitif UDO. Aspek ini merekfleksikan pada penghargaan
terhadap persamaan dan perbedaan pada tiap orang dan dampak baik
dari persamaan maupun perbedaan tersebut terhadap pemahaman diri
dan perkembangan individu.

Universitas Sumatera Utara

31

c. Comfort with Differences
Aspek ini menekankan pada komponen evaluatif dan afektif dari
UDO. Miville memandang komponen afektif dari UDO sebagai derajat
individu merasakan keterhubungan dengan persamaan dan perbedaan
antara dirinya dengan orang lain (sense of connection).

C. MAHASISWA
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No. 30
tahun 1990, mahasiswa diartikan sebagai peserta didik yang terdaftar di
perguruan tinggi tertentu. Di samping itu Hartaji (2009) mengatakan
mahasiswa merupakan individu yang sedang terdaftar dan belajar di perguruan
tinggi baik di sekolah tinggi, politeknik, akademi, institut, maupun universitas.
Dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, dijelaskan hal-hal yang menjadi
tanggung jawab mahasiswa selama menjadi mahasiswa di suatu universitas,
yaitu:
1. Pendidikan dan Pengajaran. Selama di universitas mahasiswa akan
memperoleh pengetahuan dan keahlian melalui penelitian dan proses
belajar. Kualitas pendidikan semakin dibenahi guna menunjang hal ini
sehingga pada akhirnya mahasiswa dapat berperan dalam meningkatkan
kualitas bangsa dan negaranya secara mandiri.
2. Penelitian dan Pengembangan. Hal ini berguna untuk memajukan ilmu
pengetahuan teknologi agar pembangunan bangsa dapat dilakukan.
Adapun penelitian ini terdiri dari dua jenis: penelitian terapan yang

Universitas Sumatera Utara

32

dilakukan dalam rangka menyelesaikan masalah yang sedang dialami pada
suatu waktu tertentu; dan penelitian terhadap ilmu-ilmu dasar yang
berguna untuk masa depan.
3. Pengabdian pada Masyarakat. Kedua peran di atas juga dilakukan
mahasiswa untuk diterapkan kepada masyarakat (pengabdian masyarakat).
Mengutip pernyataan Jusuf A. Feisal (dalam Hidayat, 2011), dalam
rangka memenuhi tanggung jawab ini, mahasiswa perlu memiliki tiga hal
berikut ini yang dapat membantu mahasiswa dalam memenuhi tugasnya
sebagai mahasiswa:
A. Structured

ideas

and

reasoning,

mahasiswa

perlu

memperoleh

pengembangan baik dalam pikiran maupun penalarannya;
B. Student interest, minat serta kegemaran yang dimiliki mahasiswa; dan
C. Student walfare, kesejahteraan.
Arief Budiman (dalam Hidayat, 2011) menyatakan bahwa yang menjadi
tugas utama mahasiswa ialah belajar yang dapat berdampak pada kemajuan
bangsa. Mahasiswa dikatakan juga memiliki peran yang penting bagi
bangsanya karena sebagai penerus bangsa merekalah yang nantinya
menentukan apakah negaranya mampu bersaing dan maju dibandingkan
dengan negara lain atau tidak dan berdasarkan peran ini maka mahasiswa
dapat dikatakan sebagai agent of change, yakni agen yang membawa
perubahan bagi bangsanya ke arah yang positif (Wardoyo, 2014; Hidayat,
2011).

Universitas Sumatera Utara

33

D. DINAMIKA HUBUNGAN UNIVERSAL-DIVERSE ORIENTATION
DENGAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL
Manusia akan terus berkembang baik secara fisik maupun psikologis.
Perkembangan ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satunya
ialah faktor sosialnya. Suatu contoh perkembangan psikologis yang
mencakup level sosial ialah PsyCap. PsyCap yang positif memungkinkan
individu memandang diri dan masa depannya dengan baik dan memiliki
kemampuan sehingga lebih merasa yakin dalam mencapai tujuan meski
terdapat tantangan dalam pencapaian tujuan tersebut (Luthans, Avey, Avolio,
Norman, & Combs, 2006).
Luthans, Avey, Avolio, Norman, & Combs (2006) menjelaskan
PsyCap memang berorientasi pada diri individu. Meski demikian, PsyCap
juga mencakup metakonstruk level kelompok yang berhubungan dengan
adanya dukungan dan hubungan sosial. Mendukung hal ini, pada dimensi
PsyCap hope, salah satu resources yang membantu individu mencapai
tujuannya ialah orang-orang yang berada di sekitar individu yang
berpengaruh baginya. Di samping itu, pada dimensi PsyCap optimism, orang
lain dikatakan turut berkontribusi terhadap pencapaian kesuksesan individu.
Tidak hanya itu, aset hubungan dan kontribusinya terhadap resiliency adalah
hal yang penting khususnya dalam menerima perbedaan atau keragaman yang
dapat mempengaruhi tinggi rendahnya PsyCap resiliency individu (Luthans,
Youssef, & Avolio, 2007).

Universitas Sumatera Utara

34

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa perkembangan
PsyCap juga dipengaruhi oleh dukungan dan hubungan sosial baik dengan
keberagaman tinggi maupun rendah. Perkembangan PsyCap akan mengarah
ke arah yang positif jika pengaruh dari hubungan dan dukungan sosial ini
mendukung.
Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa ketika individu memiliki
PsyCap yang positif, ia akan lebih semangat dalam mengejar tujuannya,
namun hubungan dengan orang-orang di lingkungannya harus positif dan
mendukung.

Ketika

lingkungan

tidak

mendukung,

tidak

menutup

kemungkinan bahwa hal ini dapat menjadi penghalang bagi individu dalam
mencapai tujuannya karena dalam pencapaian tujuanpun individu akan selalu
berhubungan dengan orang lain (Zulkarnain, 2013).
Dalam lingkungan dengan tingkat keberagaman yang tinggi, hal ini
perlu menjadi perhatian karena perbedaan antar anggota dalam suatu
lingkungan/kelompok berkemungkinan dapat memicu terjadinya konflik yang
artinya menyumbang pengaruh negatif dalam hal hubungan sosial individu.
Jika konflik interpersonal muncul, maka hal ini menjadi hambatan dalam
mencapai tujuan bersama (Hogg & Vaughan, 2011). Untuk itu merupakan
suatu hal yang krusial dalam lingkungan yang demikian untuk memiliki
sikap yang menerima dan paham atas persamaan dan perbedaan di dalam
lingkugan sosial tersebut (UDO).
Ketika individu dalam kelompok sosial mau paham dan menerima
setiap persamaan dan perbedaan yang ada, maka tentunya kualitas hubungan

Universitas Sumatera Utara

35

sosial

yang

demikian

dapat

memberi

kontribusi

positif

terhadap

perkembangan PsyCap individu. Asumsi peneliti dalam penelitian ini ialah
dengan tingginya UDO, maka individu yang memiliki PsyCap yang positif
dapat lebih memperoleh penguatan dari segi sosial untuk dapat mencapai
tujuannya.
E. HIPOTESIS
Berdasarkan teori yang telah diuraikan dan analisis terhadap teori-teori
tersebut, diajukan hipotesis sebagai berikut:
Universal-diverse

orientation

(UDO)

memiliki

hubungan

dengan

psychological capital (PsyCap).

Universitas Sumatera Utara

F. KERANGKA BERPIKIR

Tuntutan
perkembangan
zaman

Siswa

Mahasiswa
dipersiapkan secara
Akademis

Lingkup kampus

Non-akademis
memperoleh

- Kemampuan akademis
dan non-akademis;
- Nilai-nilai kampus dan
organisasi;
- PsyCap seolah
meningkat.

Keberagaman
Perlu UDO yang tinggi

Hubungan
PsyCap dan UDO
36

Universitas Sumatera Utara