Self Construal Dan Kontak Sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi Pada Perguruan Tinggi Di Kota Medan)
SELF CONSTRUAL DAN KONTAK SEBAGAI PREDIKTOR
UNIVERSAL-DIVERSE ORIENTATION
(STUDI PADA PERGURUAN TINGGI DI KOTA MEDAN)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
081301063
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
i
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :
Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation
(Studi pada Perguruan Tinggi Kota Medan)
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 28 Oktober 2013
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA NIM 081301063
(3)
ii
Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota Medan)
Moyang Kasih Dewimerdeka dan Meutia Nauly
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi faktor prediktor universal-diverse orientation (UDO) pada mahasiswa kota Medan. UDO adalah suatu kesadaran dan penerimaan bahwa setiap manusia memiliki persamaan sekaligus perbedaan yang penting sebagai kompetensi multikultural. Self contsrual dan kontak diprediksi berkontribusi pada UDO. Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan partisipan 197 mahasiswa yang direkrut secara incidental. Analisis terhadap hasil penelitian mendukung hipotesis bahwa interdependent self construal dan kontak menjadi prediktor yang signifikan dari UDO. Program intervensi atau kurikulum pendidikan yang mampu meningkatkan UDO pada mahasiswa perlu dirancang sebagai upaya merawat keharmonisan dalam keberagaman Indonesia.
Kata kunci : multikultural, keberagaman, self construal, kontak, universal-diverse orientation
(4)
iii
Self Construal and Contact as Predictors of Universal-Diverse Orientation (Study at Universities in Medan)
Moyang Kasih Dewimerdeka and Meutia Nauly
ABSTRACT
This study aims to explore any predictors of universal-diverse orientation (UDO) within individual. UDO is an awareness and acceptance of both similarities and differences that exist among people which is important as multicultural competence. It is predicted that self contsrual and contact will contribute to UDO. By using quantitative approach, a research was conducted with 197 students who were recruited incidentally. Results of the study support the hypothesis that interdependent self construal and contact are significant predictors of UDO. Intervention programs or additional curriculum should be designed to increase UDO within university student and therefore could contribute in creating harmony in diversity of Indonesia.
Keywords: multicultural, diversity, self construal, contact, universal-diverse orientation
(5)
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang tak pernah alpa memberi nikmat tak peduli seberapa jauh penulis berpaling dan abai. Berkat nikmat kecerahan pikir, kesempatan, dan keteguhan hati yang dilimpahkanNya, penulis dapat merampungkan karya skripsi yang berjudul “Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota Medan)” ini. Semoga penelitian ini tak berakhir sekedar sebagai persyaratan gelar namun dapat bermanfaat bagi sebanyak-banyak orang.
Karya kecil ini penulis persembahkan untuk menggenapi kepercayaan yang diberikan wanita perkasa panutan dan sumber kekuatan, Ibunda Luzi Diamanda. Ini juga menjadi hadiah sederhana bagi Papi Asraferi Sabri dan saudara-saudara yang tak pernah bosan mengirim doa: Rara Paramitha, Sagita Widuri, Ichsan Saputra, Rinai Bening Kasih, Serai Wangi Bumi, dan Titah Siti Bungsu.
Proses penulisan skripsi ini merupakan jalan panjang yang terbuat dari kontemplasi berlebihan, kekhawatiran tak beralasan, dan hasrat akan kesempurnaan. Tanpa bantuan, bimbingan, dan cambukan dari pihak-pihak berikut, penulis akan tersesat di jalan panjang tersebut. Maka, kasih sebesar-besarnya penulis berikan pada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi atas ilmu yang telah beliau bagi dan kepemimpinan yang menginspirasi.
2. Ibu Meutia Nauly, M.Si, psikolog, dosen pembimbing yang kesabaran dan keyakinannya kepada penulis tiada tara. Terima kasih telah membagi waktunya yang berharga untuk meladeni kegalauan dan kebingungan penulis.
(6)
v
3. Bapak Ari Widiyanta, M.Si, psikolog, dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan masukan bermakna bagi penulis sepanjang berproses di Fakultas Psikologi.
4. Seluruh jajaran staf pengajar dan staf Fakultas Psikologi USU untuk ilmu, kesempatan berdiskusi, dan kesediaan memfasilitasi kelancaran proses penelitian ini.
5. Keluarga besar Pers Mahasiswa SUARA USU, kampus kedua yang tak hanya sekedar memberi ilmu jurnalistik namun juga keteguhan akan idealisme dan keluarga yang tak tergantikan.
6. Keluarga besar program Study in US Institute on Religious Pluralism and Democracy di Temple University yang mengajarkan penulis logika sederhana “You don’t have to be wrong in order for me to be right.”
7. Keluarga besar Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Kompak Medan, dan Formasi Al Qalb, batu pijakan penulis belajar berorganisasi, mengaplikasikan ilmu, dan terlebih lagi memanajemen diri.
8. Sahabat berbagi kegilaan sekaligus penjaga kewarasan: Kemala Hayati, Dini Arini, Filisia Ayunani, Tania Arfiani, Mutia Karmila, dan Nana Ade Suryana. Tetaplah merawat dan memperjuangkan mimpi.
9. Para redaktur tampan dan mamang yang bisa diandalkan: Januar, Febrian, Andika Bakti, dan Harry Yassir Elhadidy Siregar. Semoga jalan kita ke depan tetap bersilangan.
10. Mereka yang di tanah jauh dari rumah ini telah penulis anggap dan bersedia mengambil peran sebagai keluarga dan saudara: Taci Zulni Erma, Om
(7)
vi
Akhmad Nurdin, Artika Novriyana, Wan Ulfa, Kartini Zalukhu, dan Viki Aprilita serta segenap penghuni Sarmin 23 dan Teratai 18 B.
11. Teman-teman seangkatan 2008 yang dalam anggapan penulis tentunya adalah angkatan terbaik yang pernah ada. Semoga kita bisa menjadi yang selalu kita nyanyikan itu yakni untuk “berperan serta dalam pembangunan bangsa dalam mengemban tugas yang mulia”
Seberapapun penulis berusaha, karya ini tak bisa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Kritik akan penulis terima dengan lapang dada dan saran akan penulis jadikan masukan untuk melakukan perbaikan ke depannya. Semoga penelitian ini dapat bernilai dalam upaya merawat keberagaman negeri ini.
Medan, 28 Oktober 2013
(8)
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II LANDASAN TEORI ... 13
A. Universal-Diverse Orientation ... 13
1. Multikulturalisme ... 13
2. Definisi Universal-Diverse Orientation ... 17
3. Aspek-aspek Universal-Diverse Orientation ... 20
4. Faktor yang Mempengaruhi Universal-Diverse Orientation 21 B. Self Construal ... 23
1. Definisi Self Construal ... 23
2. Interdependent dan Independent Self Construal ... 24
C. Kontak ... 26
1. Definisi Kontak ... 26
2. Kondisi Kunci Kontak Antar Kelompok ... 28
3. Proses Perubahan Melalui Kontak Antar Kelompok ... 29
4. Kontak dan Perguruan Tinggi ... 30
D. Self Construal dan Kontak sebagai prediktor UDO ... 33
E. Hipotesis Penelitian ... 37
(9)
viii
A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38
B. Definisi Operasional ... 38
1. Universal-Diverse Orientation ... 39
2. Self Construal ... 40
3. Kontak ... 41
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 41
1. Populasi dan Sampel ... 41
2. Metode Pengambilan Sampel ... 42
D. Alat Ukur Penelitian ... 43
1. Skala UDO ... 44
2. Skala Self Construal ... 45
E. Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 45
1. Validitas Alat Ukur ... 46
2. Uji Daya Beda Aitem ... 47
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 48
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 48
1. Hasil Uji Coba Skala UDO ... 48
2. Hasil Uji Coba Skala Self Construal ... 50
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 51
1. Tahap Persiapan Penelitian ... 51
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 52
3. Tahap Analisa Data ... 53
H. Uji Asumsi ... 53
1. Uji Normalitas ... 54
2. Uji Linearitas ... 54
3. Uji Multikolinearitas ... 54
4. Uji Heteroskedastisitas ... 55
I. Metode Analisa Data... 55
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 57
A.Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 57
(10)
ix
2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa ... 58
3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama... 59
4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Keterlibatan ... 59
Organisasi B.Hasil Penelitian ... 60
1. Uji Normalitas ... 60
2. Uji Linearitas ... 60
3. Uji Multikolinearitas ... 61
4. Uji Heteroskedastisitas ... 62
C. Hasil Utama Penelitian ... 62
D. Hasil Analisa Tambahan ... 64
1. Perbandingan Nilai Mean Empirik dan Hipotetik UDO ... 64
2. Kategorisasi Skor UDO ... 65
3. Perbandingan Nilai Mean Empirik dan Hipotetik ... 66
Self Construal 4. Kategorisasi Skor Self Construal ... 67
E. Pembahasan ... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 74
1. Saran Metodologis... 74
2. Saran Praktis ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 76 LAMPIRAN
(11)
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print UDO Sebelum Uji Coba ... 44
Tabel 2. Blue Print Self Construal Sebelum Uji Coba ... 45
Tabel 3. Hasil Uji Daya Beda Aitem UDO ... 49
Tabel 4. Blue Print UDO Setelah Uji Coba ... 49
Tabel 5. Hasil Uji Daya Beda Aitem Self Construal ... 50
Tabel 6. Blue Print Self Construal Setelah Uji Coba ... 50
Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 57
Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Suku Bangsa/Etnis... 58
Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Agama ... 59
Tabel 10. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Keterlibatan Organisasi 59 Tabel 11. Hasil Uji Normalitas ... 60
Tabel 12. Hasil Uji Linearitas ... 61
Tabel 13. Hasil Uji Multikolinearitas ... 61
Tabel 14. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 62
Tabel 15. Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik UDO ... 65
Tabel 16. Uji Beda Mean Empirik UDO ... 65
Tabel 17.Kategorisasi Subjek pada Variabel UDO... 66
Tabel 18. Deskripsi Mean Empirik dan Hipotetik Self Construal ... 66
Tabel 19. Uji Beda Mean Empirik Self Construal ... 67
(12)
xi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN AI. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Skala Universal-Diverse Orientation
II. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Skala Self Construal
LAMPIRAN B
I. Data Subjek Penelitian
II. Kategori Subjek pada Self Construal dan Universal-Diverse Orientation III. Sebaran Data pada Skala Universal-Diverse Orientation
IV. Kategori Subjek pada Skala Self Construal
LAMPIRAN C
I. Hasil Uji Asumsi Penelitian II. Hasil Uji Hipotesis Penelitian
LAMPIRAN D I. Alat Ukur Penelitian
(13)
ii
Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor Universal-Diverse Orientation (Studi pada Perguruan Tinggi di Kota Medan)
Moyang Kasih Dewimerdeka dan Meutia Nauly
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi faktor prediktor universal-diverse orientation (UDO) pada mahasiswa kota Medan. UDO adalah suatu kesadaran dan penerimaan bahwa setiap manusia memiliki persamaan sekaligus perbedaan yang penting sebagai kompetensi multikultural. Self contsrual dan kontak diprediksi berkontribusi pada UDO. Pendekatan penelitian kuantitatif dilakukan dengan partisipan 197 mahasiswa yang direkrut secara incidental. Analisis terhadap hasil penelitian mendukung hipotesis bahwa interdependent self construal dan kontak menjadi prediktor yang signifikan dari UDO. Program intervensi atau kurikulum pendidikan yang mampu meningkatkan UDO pada mahasiswa perlu dirancang sebagai upaya merawat keharmonisan dalam keberagaman Indonesia.
Kata kunci : multikultural, keberagaman, self construal, kontak, universal-diverse orientation
(14)
iii
Self Construal and Contact as Predictors of Universal-Diverse Orientation (Study at Universities in Medan)
Moyang Kasih Dewimerdeka and Meutia Nauly
ABSTRACT
This study aims to explore any predictors of universal-diverse orientation (UDO) within individual. UDO is an awareness and acceptance of both similarities and differences that exist among people which is important as multicultural competence. It is predicted that self contsrual and contact will contribute to UDO. By using quantitative approach, a research was conducted with 197 students who were recruited incidentally. Results of the study support the hypothesis that interdependent self construal and contact are significant predictors of UDO. Intervention programs or additional curriculum should be designed to increase UDO within university student and therefore could contribute in creating harmony in diversity of Indonesia.
Keywords: multicultural, diversity, self construal, contact, universal-diverse orientation
(15)
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Lembaga internasional yang mengawasi penegakan hak asasi manusia di dunia, Human Rights Watch, pada awal 2013 menyebut Indonesia berada pada kondisi gawat darurat yang butuh segera ditangani dalam hal intoleransi beragama (Kine, 2013). Pernyataan ini dipublikasikan Human Rights Watch setelah laporan tentang kebebasan beragama di Indonesia yang dirilis lembaga ini pada Februari 2013 ditolak pemerintah Indonesia. Laporan berjudul Atas Nama Agama ini mengungkap data dan fakta tentang kasus kekerasan terhadap kelompok agama minoritas yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2011-2013.
Berdasarkan temuan Human Rights Watch (2013), sepanjang tahun 2012 kasus kekerasan pada kelompok minoritas agama di Indonesia terjadi secara rutin dan cenderung memakan korban. Kekerasan dilakukan baik oleh kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, hingga pemerintah Indonesia sendiri. Setara Institute (2013), lembaga independen yang mengawasi kebebasan beragama, mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia dari 216 kasus di tahun 2010 menjadi 244 kasus di tahun 2011. Selanjutnya, tercatat ada 214 kasus kekerasan sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2012.
Selain kekerasan pada kelompok agama minoritas, konflik antar kelompok etnis pun berulang kali terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, pecahnya konflik etnik di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah antara etnik Madura dengan Dayak yang menewaskan ratusan orang pada tahun 2001 (Chang, 2011). Selain
(16)
itu, reformasi 1998 juga menandai salah satu sejarah kelam Indonesia di mana sekelompok masyarakat melakukan tindakan agresif terhadap etnis Tionghoa. Tercatat ada 1.300 orang yang menjadi korban serta kerugian material mencapai milyaran rupiah (Tyas, 2011).
Kondisi demografis Indonesia yang sangat beragam memang mustahil tidak mengundang konflik. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki lebih dari 13.000 pulau besar maupun kecil. Tiap-tiap pulau dihuni oleh kelompok masyarakat yang memiliki budaya dan ciri khasnya sendiri. Masing-masing kelompok masyarakat juga berbicara dalam dialek bahkan bahasa yang berbeda sama sekali dengan bahasa Indonesia. Selain keberagaman suku dan bahasa, terdapat pula keragaman agama, etnis, dan adat kebiasaan yang telah berbeda sejak dulu kala (Hadiluwih, 2008). Arifinsyah (dalam Anto, 2013) juga menyebutkan bahwa di Indonesia dewasa ini terdapat tidak kurang dari 100 suku dengan 726 ragam bahasa suku.
Keberagaman budaya, suku, dan agama yang ada di Indonesia dapat menjadi modal sosial dalam membangun bangsa (Suyono, 2005). Akan tetapi, di sisi lain, pluralitas kultural juga menyimpan potensi sebagai pemicu disintegrasi bangsa. Pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk menyulut konflik suku, agama, ras dan antara golongan (SARA), meskipun sebenarnya faktor–faktor penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan-persoalan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik (Suyono, 2005).
Salah satu wilayah yang dianggap mampu mengelola keberagaman dan konflik dengan baik di Indonesia adalah kota Medan, Sumatera Utara. Medan bisa
(17)
3
disebut sebagai miniatur Indonesia karena kondisinya yang sangat multikultur. Delapan suku asli hidup bersama di kota Medan, ditambah dengan beberapa suku pendatang seperti Tionghoa dan India (atau dikenal juga dengan sebutan Tamil). Pola imigrasi berlangsung sangat dinamis di kota Medan karena sejak dulu Medan dikenal sebagai lintas perdagangan sehingga menarik banyak pendatang. Hal ini membuat ruang-ruang di kota Medan hampir mustahil ada yang homogen (Arifinsyah dalam Anto, 2013).
Hadiluwih (2008) mengatakan bahwa konflik etnik secara terbuka belum pernah terjadi di Medan, apalagi hingga menggunakan kekerasan. Kelompok etnis dengan komposisi paling besar di Medan adalah Jawa diikuti oleh Batak Toba, Tionghoa, dan Mandailing. Meskipun jumlah populasinya paling banyak, suku Jawa tidak dipandang sebagai ancaman oleh suku-suku asli yang berdiam di kota Medan seperti suku Melayu. Oleh karenanya, suku-suku yang tinggal di Medan dapat hidup berdampingan dengan damai.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa konflik, menurut Sarapung (2002) merupakan salah satu konsekuensi logis dari kemajemukan SARA, baik yang positif-konstruktif, maupun negatif-destruktif. Konflik merupakan satu kesatuan dengan pluralisme. Tidak ada pluralisme tanpa konflik kecuali bila direkayasa sedemikian rupa sehingga konflik bisa ditutup-tutupi. Konflik merupakan salah satu bentuk dinamika dalam pluralitas. Ketika masyarakat yang berbeda-beda agama atau suku berinteraksi, pada saat itu, kemungkinan terjadinya konflik menjadi sangat terbuka (Qodir, 2002).
(18)
Sayangnya, konflik bagi masyarakat Indonesia umumnya merupakan sesuatu yang tabu, karena selama ini dianggap sebagai hal yang negatif dan perlu dihindari. Keadaan ini sudah menjadi kebiasaan di Indonesia yang tidak mempersiapkan masyarakat untuk terbuka pada konflik yang dikarenakan oleh adanya perbedaan. Masyarakat tidak dididik untuk bisa menghadapi dan mengelola konflik serta menerima pluralitas secara objektif dan terbuka (Sarapung, 2002).
Hal ini terbukti dari sikap pemerintah yang terkesan menutup mata pada konflik-konflik yang terjadi di negara ini. Sebagaimana dilaporkan Human Rights Watch, Presiden Indonesia melalui juru bicaranya, Julian Adrian Pasha, mengkritik laporan Human Rights Watch tentang kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia karena dianggap memprovokasi dan tidak objektif (Kine, 2013). Terlebih lagi, kasus-kasus kekerasan yang dilakukan pada kelompok minoritas agama di Indonesia tidak dipandang sebagai kasus intoleran melainkan ekspresi perselisihan kelompok semata. Sikap pemimpin bangsa yang tidak mengakui adanya konflik dan karenanya tidak melakukan tindakan apa-apa untuk menangani konflik ini dapat mencoreng reputasi Indonesia sebagai negara yang mampu menyeimbangkan keberagaman dan toleransi (Kine, 2013).
Begitu pun di kota Medan. Julukan Medan sebagai kota multikuluralisme barangkali membuat kita menjadi menutup mata pada konflik maupun potensi konflik yang ada di tengah kota Medan. Padahal, keberagaman kota Medan sangat mungkin menyulut adanya perselisihan dalam interaksi antar kelompok.
(19)
5
Aliansi Sumut Bersatu pada 2011 mengeluarkan laporan berjudul Potret Kehidupan Beragam/Berkeyakinan di Sumatera Utara. Laporan tersebut memuat data kasus-kasus kekerasan yang terjadi sepanjang 2011 di Sumatera Utara, khususnya kota Medan. Tercatat ada 63 kasus kekerasan dengan perincian 24 kasus (38%) adalah tuntutan/seruan diskriminatif dari organisasi masyarakat atau ormas, 13 kasus (21%) terkait kebijakan pemerintah daerah yang diskriminatif, 11 kasus (17%) sweeping, 4 kasus (6%) pernyataan diskriminatif, 3 kasus (5%) penistaan/pelecehan terhadap agama, masing-masing 3 kasus (5%) izin pendirian rumah ibadah dan tindakan yang diskriminatif, serta 2 kasus (2%) permasalahan simbol keagamaan dan penolakan rumah ibadah.
Potensi konflik antaretnis pun tidak dapat dipungkiri ada di kota Medan. Stereotype negatif dan prasangka masih melekat pada kelompok etnis tertentu. Kelompok Tamil di Medan masih dijuluki orang Keling dan suka menipu. Kelompok Tamil menghadapi diskriminasi dalam kesempatan kerja dan tidak bisa duduk di parlemen daerah (Kholil, 2011). Begitu pula dengan kelompok Tionghoa. Etnis Tionghoa di kota Medan belum dianggap sebagai suku asli dan ada julukan „cina eksklusif‟ dari etnis pribumi terhadap mereka (Achmad, 2011).
Sikap dan perilaku mengabaikan adanya konflik maupun potensi konflik di tengah keberagaman Indonesia hanya akan menjadi bom waktu untuk terjadinya perpecahan dan ketidaksetaraan antara kelompok-kelompok yang ada. Pada kondisi ini, yang diperlukan adalah sebuah kompetensi yang mampu menjadikan individu arif dalam menerima keberagaman dan mampu memaknai keberagaman sebagai hal yang memperkaya diri.
(20)
Universal-diverse orientation, selanjutnya akan disebut dengan UDO, yang dikemukakan Miville, Romans, Johnson, dan Lone (1999) dapat menjadi jawaban atas kebutuhan ini. Miville dkk (1999) mendefinisikan UDO sebagai berikut:
“Universal-diverse orientation is thus defined as an attitude toward all other persons that is inclusive yet differentiating in that similarities and differences are both recognized and accepted; the shared experience of being human results in a sense of connectedness with people and is associated with a plurality or diversity of interactions with others.”
Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku dan afektif dari UDO. Lebih jauh, definisi ini dapat dimaknai bahwa individu yang menempatkan dirinya pada suatu lingkungan yang beragam berperilaku demikian karena didorong oleh penghargaan mereka atas persamaan dan perbedaan yang ada antara manusia. Oleh karena itu, individu tersebut akan merasa terhubung dengan individu lainnya secara emosional sehingga meningkatkan penerimaan mereka atas keberagaman. Faktor-faktor ini berdampak pada kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok maupun antar kelompok (Strauss & Connerley, 2003).
UDO tidak hanya sekedar bicara tentang menghindari prasangka atau konflik pada masyarakat multikultural dengan cara menghargai perbedaan. Sesuai namanya, UDO menyeimbangkan antara nilai universal sekaligus nilai keberagaman yang ada pada manusia. Menurut Miville (2001) kesadaran akan adanya persamaan dan perbedaan di antara manusia dapat membuat individu memiliki ikatan dengan orang lain yang memiliki kesamaan namun juga secara
(21)
7
bersamaan mampu menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang memiliki perbedaan.
Sejumlah penelitian membuktikan, UDO bermanfaat dalam mengembangkan kesadaran berbudaya pada seorang individu. Brummet, Wade, Ponterotto, dan Lewis (2007) menemukan bahwa nilai positif pada UDO berkorelasi dengan kesejahteraan psikososial seorang individu. UDO juga menjadi prediktor kepribadian sehat yang dimiliki individu. Meski demikian, kebanyakan riset masih berfokus pada manfaat UDO bagi individu, kelompok, maupun level organisasi sedangkan apa-apa saja faktor prediktor munculnya UDO masih belum terlalu luas diteliti (Miville, 2002).
Penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi prediktor melemah atau menguatnya UDO pada individu. Melakukan penelitian yang dapat mengungkap tentang UDO di kota Medan diharapkan dapat menghasilkan sebuah temuan yang kaya mengingat kondisi kota Medan yang sangat multikultural. Terlebih lagi, penelitian ini dilakukan pada perguruan tinggi dengan mahasiswa sebagai partisipan yang diharapkan memiliki kompetensi multikultural sebagai kaum terdidik yang nantinya akan terjun ke masyarakat dan membuat perubahan (Hammer, 2011).
Perguruan tinggi merupakan salah satu tempat membangun dan mengembangkan karakter mahasiswa. Mahasiswa hendaknya dipersiapkan untuk menjadi agen-agen dengan kompetensi dan karakater yang baik sehingga mampu membuat perubahan positif dalam masyarakat. (Asyanti, 2012). Kompetensi multikulturalisme seperti UDO merupakan salah satu hal yang hendaknya
(22)
diajarkan dan didorong untuk tumbuh dalam diri mahasiswa, terutama dengan beragamnya latar belakang kelompok-kelompok mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi. Menemukan variabel apa yang dapat memprediksi UDO pada mahasiswa dan bagaimana meningkatkannya dapat menjadi masukan bagi perguruan tinggi dalam mengembangkan kurikulum pendidikan atau program intervensi untuk meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa.
Sejumlah variabel telah diajukan sebagai variabel yang berhubungan dengan UDO. Faktor demografis menjadi isu utama. Ras, etnis, dan gender ditemukan berkorelasi dengan UDO (Singley, 2009). Dalam penelitian Singley (2009) tersebut ditemukan bahwa wanita menunjukkan nilai UDO yang lebih tinggi dibanding responden pria. Selanjutnya, ras berwarna juga memiliki UDO lebih tinggi dibanding ras kulit putih di Amerika Serikat.
Mengetahui hanya faktor demografis yang menjadi prediktor UDO pada mahasiswa tentu tak cukup. Tinggi rendahnya kesadaran seorang mahasiswa dalam menyikapi keberagaman yang ada di sekitarnya akan berdampak pada individu, organisasi, dan masyarakat tempat mahasiswa tersebut nantinya akan mengamalkan ilmunya. Tsui dan Gutek (1999) menyebutkan bahwa mahasiswa kurang dipersiapkan untuk menaklukkan tantangan keberagaman demografis di masyarakat. Untuk itu, perlu digali variabel-variabel lain yang dapat menjadi prediktor UDO sehingga dapat diketahui langkah apa yang perlu dilakukan agar mahasiswa memiliki level UDO yang baik.
Penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi faktor individual dan situasional yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku mahasiswa kota Medan
(23)
9
terhadap keberagaman di kota multikultur ini. Faktor individual yang akan dikaitkan dengan UDO dalam penelitian ini adalah self construal. Selanjutnya, kontak akan menjadi faktor situasional yang berkaitan dengan tinggi rendahnya UDO pada mahasiswa kota Medan.
Self construal merupakan orientasi kultural individu yang dibedakan menjadi independent dan interdependent (Markus & Kitayama, 1998; Singelis, 1994; Yeh & Hwang, 2000). Perbedaan self construal pada individu mempengaruhi perkembangan hubungannya dengan orang lain (Cross, 2000). Oleh karena itu, self construal diprediksikan akan menjadi variabel yang menghubungkan antara keragaman budaya dan perilaku (Markus & Kitayama, 1998).
Faktor situasional yang diprediksi akan menjadi prediktor UDO adalah kontak. Tinggi rendahnya keterlibatan seorang individu, atau dengan kata lain melakukan kontak, dalam masyarakat dengan anggota kelompok yang beragam akan berdampak pada sikap yang lebih positif terhadap kelompok-kelompok tersebut (Allport, 1954; Amir, 1969). Lebih jauh lagi, Liebkind, Haaramo, dan Jasinskaja-Lahti (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengurangi prasangka negatif antara anggota kelompok yang berbeda adalah dengan membuat mereka saling berinteraksi satu sama lain. Oleh karena itu, diperkirakan tinggi rendahnya kontak mahasiswa dengan kelompok-kelompok yang berbeda di lingkungan perguruan tinggi akan berkaitan dengan tinggi rendahnya level UDO yang ia miliki.
(24)
Perbedaan kontak ini akan dilihat pada dua perguruan tinggi di kota Medan yang memiliki perbedaan dalam hal komposisi kelompok mahasiswa. Selanjutnya, penelitian ini akan mencoba mengeksplorasi faktor individual dan situasional tersebut dan kaitannya dengan level UDO pada mahasiswa kedua perguruan tinggi tersebut.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang dikemukakan maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah self construal dan kontak dapat menjadi prediktor dari universal-diverse orientation?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap kontribusi variabel self construal dan kontak sebagai prediktor universal-diverse orientation pada mahasiswa kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan bidang ilmu psikologi, yaitu dalam bidang Psikologi Sosial terutama dalam bidang multikulturalisme berupa variabel UDO dan variabel-variabel apa saja yang menjadi prediktornya.
(25)
11
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam merancang kurikulum pendidikan atau program intervensi sebagai upaya meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisi uraian singkat tentang latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan di dalam penelitian ini, diantaranya teori tentang UDO, self construal, dan kontak. Bab ini juga mengemukakan hipotesis penelitian sebagai dugaan sementara terhadap masalah penelitian.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai identifikasi variabel, metode pengumpulan data, subjek/partisipan penelitian, desain penelitian, tehnik pengambilan sampel, prosedur penelitian, dan teknik analisa data.
Bab IV : Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi uraian mengenai hasil utama penelitian serta pembahasan. Bab V : Kesimpulan dan Saran
(26)
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan saran peneliti untuk penelitian selanjutnya.
(27)
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Universal-Diverse Orientation
1. Multikulturalisme
Seiring dengan perubahan demografis budaya di masyarakat, rasanya wajar bila mengasumsikan akan ada individu yang mampu beradaptasi dengan lebih cepat dan lebih efektif terhadap masyarakat multikultur dibanding beberapa individu lainnya. Misalkan saja, pada masyarakat yang beragam, seorang individu diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya melalui cara berkomunikasi dan penghargaan atas nilai-nilai budaya sendiri maupun budaya orang lain. Dengan demikian, memahami bagaimana proses adaptasi individu serta atribut personal apa yang berperan dalam keefektivan berada di lingkungan multikultur menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas oleh peneliti, pendidik, maupun penyedia jasa profesional (Ponterotto, Utsey, & Pedersen, 2006).
Multikulturalisme perlu dikembangkan di masyarakat karena menunjukkan peran yang amat penting sebagai alternatif mencegah konflik sosial. Berry, Poortinga, Segall, dan Dasen (1997) menjelaskan multikulturalisme sebagai kompetensi yang menjadikan individu mampu mengembangkan kesehatan jati diri sekaligus mengembangkan sikap antar kelompok yang positif.
Beberapa model konseptual telah diajukan untuk menjelaskan mengenai karakteristik individu yang efektif dalam lingkungan multikultur. Model-model tersebut berfokus pada topik-topik seperti membantu klien dalam konseling untuk
(28)
mengembangkan keterampilan bikultural dan orientasi multikultural dalam kehidupan (Ramirez, 1999), membantu siswa menjadi „masyarakat multikultural‟ ataupun „individu multikultural‟ (Banks, 2001; Nieto, 2000), dan memahami karakteristik personal individu yang berhasil mengatasi lingkungan kerja yang beragam latar belakang budaya, khususnya dalam setting internasional (Van Der Zee, Atsma, dan Brodbeck, 2004; Van Der Zee dan Van Oudenhoven, 2000).
Dalam rentang dekade terakhir, penelitian mengenai multikulturalisme telah dilakukan dengan berbagai pendekatan. Istilah-istilah yang digunakan yang mengacu pada konsep ini berbeda-beda tergantung disiplin ilmu dan pendekatan yang digunakan. Misalnya saja, praktisi kerja sosial menggunakan istilah cultural competence sementara pakar teknik lebih memilih istilah global competence. Ada juga istilah-istilah lain yang digunakan seperti multicultural competence dan intercultural maturity.
Fantini (2009) menemukan beragam istilah yang digunakan dalam literatur maupun alat ukur yang memiliki definisi kurang lebih sama seperti multiculturalism, cross-cultural adaptation, intercultural sensitivity, cultural intelligence, cross-cultural awareness, dan sebagainya. Model yang saat ini sedang menjadi fokus utama dalam riset multikultural adalah universal-diverse orientation atau UDO (Vargas, 2010).
Sebelum membahas lebih dalam mengenai UDO, penulis akan mencoba merinci dimensi apa saja yang ada dalam masyarakat yang menjadikan masyarakat tersebut disebut multikultur atau beragam. Istilah kultur di masa sekarang ini telah berkembang dan tidak hanya merujuk pada kelompok etnis atau
(29)
15
budaya tertentu, melainkan juga termasuk kelompok bangsa-negara, kelompok agama, kelompok ras, serta perusahaan (Betancourt & Lopez, 1993). Dalton (2007) menjelaskan mengenai dimensi-dimensi kunci dari keberagaman manusia dalam perspektif psikologi komunitas sebagai berikut:
a. Budaya
Perdebatan panjang para ilmuwan sosial belum bisa mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud dengan budaya, namun ada beberapa elemen budaya yang dapat diidentifikasi. Elemen tersebut antara lain adanya seperangkat norma perilaku yang disepakati bersama, adanya persamaan bahasa, serta adanya tradisi yang diwariskan secara turun temurun.
b. Ras
Ras didefinisikan sebagai pengelompokan sosial yang didasarkan pada kriteria fisik. Manusia membedakan ras berdasarkan asumsi atas kualitas fisik yang dapat diobservasi seperti warna kulit. Perbedaan ras pada manusia sebenarnya tak berarti apa-apa. Sejumlah penelitian menemukan bahwa tingkat IQ ataupun atribut lain pada seseorang tidak ditentukan oleh ras melainkan variasi pada variabel sosial dan ekonomi. Meski demikian, perbedaan ras menjadi perbincangan karena konstruksi manusia yang menjadikan ras satu lebih superior dibanding ras lainnya.
c. Etnis
Etnis dapat didefinisikan sebagai identitas sosial yang didasarkan pada asal-usul nenek moyang yang dimodifikasi dengan budaya setempat. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani ethnos yang dapat diartikan sebagai suku atau
(30)
kebangsaan. Namun, kebangsaan tak selamanya berarti etnis. Sebagai contoh, bangsa Jepang terdiri atas beragam etnis, begitu pula Indonesia. Etnis ditentukan oleh bahasa, kebiasaan, adat-istiadat, nilai, dan aspek lain dari budaya subjektif. d. Spiritualitas dan agama
Spiritualitas dan agama mengacu pada tradisi ketuhanan dan segala perspektif yang berkaitan dengan aspek transenden. Spiritualitas dan agama saling berkaitan dengan budaya dan etnis. Mustahil untuk memahami budaya tanpa memahami terlebih dahulu institusi agama dan praktek spiritual yang ada dalam budaya tersebut. Di sisi lain, agama dan spiritualitas tak juga semata soal budaya. Banyak agama yang multikultural, sebaliknya ada pula budaya yang di dalamnya terdapat banyak agama.
e. Gender
Perbedaan lelaki dan perempuan menjadi dasar konstruksi sosial akan konsep dan makna perbedaan seksual. Gender mengacu pada bagaimana perbedaan tersebut diinterpretasi dan direfleksikan dalam sikap, peran sosial, dan institusi sosial, termasuk pembagian sumber daya dan kekuasaan. Gender merupakan aspek yang penting dalam identitas diri seseorang.
f. Orientasi seksual
Orientasi seksual mengacu pada kecenderungan dalam ketertarikan secara seksual, kedekatan romantis, seta emosi terkait lainnya. Orientasi seksual berbeda dengan identitas gender.
(31)
17
Aspek ini terutama ditentukan oleh seberapa besar pendapatan atau aset material yang dimiliki serta status pekerjaan dan level pendidikan. Kelas sosial tidak hanya sekedar faktor demografis namun juga menentukan perbedaan dalam hal kekuasaan, khususnya kuasa atas sumber daya ekonomi dan peluang.
h. Ability/disability
Orang-orang dengan keterbatasan sering mengalami stigma, pengucilan, dan ketidakadilan karena keterbatasan mereka. Keterbatasan ini membuat mereka harus menjalani hidup dengan cara berbeda dengan orang „normal‟.
i. Usia
Anak-anak, remaja, orang dewasa berbeda secara psikologis, tahap perkembangan, serta keterlibatan dalam komunitas. Menuanya usia juga membawa perubahan pada hal pemegang kekuasaan dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat.
Selanjutnya, istilah keberagaman atau multikulturalisme dalam masyarakat yang disebutkan dalam penelitian ini akan mengacu pada beragamnya aspek-aspek yang disebutkan di atas dalam masyarakat tersebut.
2. Definisi Universal-Diverse Orientation
Miville (1999) mengajukan bahwa kepekaan dan penerimaan atas perbedaan dan persamaan lah yang krusial dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan multikultur. UDO kemudian muncul dengan berlandaskan pada tulisan konseling eksistensial dari Vontress (1988, 1996).
(32)
Lebih spesifik, Vontress (1996) mengajukan bahwa kemampuan untuk secara terus-menerus menerima dan mengapresiasi perbedaan dan persamaan budaya dengan orang lain merupakan hal yang penting dalam membangun hubungan antara orang-orang yang berbeda kebudayaan sama halnya dengan adaptasi individu dalam lingkungan multikultur.
UDO dikembangkan oleh Miville, Gelso, Pannu, Liu, Touradji, Holloway, dan Fuertes (1999) yang didefinisikan sebagai,
“Sikap inklusif sekaligus menganggap unik setiap manusia dengan cara menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki kesamaan serta perbedaan; pengalaman serupa sebagai manusia menciptakan rasa keterhubungan antar satu sama lain sekaligus memberikan kesadaran bahwa terdapat keberagaman di antara manusia.”
Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku dan afektif dari UDO. UDO didefinisikan sebagai kesadaran dan penerimaan terhadap persamaan maupun perbedaan yang ada di antara setiap manusia. Kesadaran atas persamaan (universal), atau aspek yang dimiliki bersama oleh setiap manusia, dapat menyatukan orang-orang. Sementara itu, perbedaan (diverse) merupakan aspek unik yang dimiliki manusia tergantung pada budaya maupun faktor individual lainnya (ras, jenis kelamin, agama, orientasi seksual, nasionalisme, kepribadian). Faktor-faktor ini berdampak pada kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok maupun antar kelompok (Strauss & Connerley, 2003).
UDO muncul untuk memberi penjelasan lebih lanjut atas kompetensi multikultural yang mencakup kemampuan umum untuk menerima dan memahami perbedaan (Vargas, 2010). Miville (1999) menyatakan bahwa individu yang
(33)
19
menempatkan diri sendiri pada beragam situasi merupakan individu yang mampu mengapresiasi perbedaan dan persamaan sehingga memiliki keterikatan emosi yang dapat memperkuat UDO mereka.
Konsep UDO dapat memberi arah baru yang penting dalam asesmen pada konseling multikultural maupun perancangan program diversitas (Fuertes dkk 2000; Miville dkk, 1999). Tak hanya sekedar ada tidaknya prasangka, UDO juga melihat apakah individu cenderung mendekati atau menghindari situasi keberagaman. Dengan mengetahui tingkat UDO, praktisi dan peneliti bisa menetapkan dasar dalam merancang program multikultural (Singley & Sedlacek, 2009).
UDO merefleksikan sikap kesadaran dan penerimaan pada adanya kesamaan maupun perbedaan di antara manusia (Miville dkk, 1999). Menyadari adanya persamaan universal di antara setiap manusia membuat individu mampu melihat adanya koneksi dengan setiap manusia yang ada di dunia. Sebaliknya, secara sadar mengakui bahwa masing-masing manusia juga memiliki perbedaan membuat individu mampu melihat sisi unik dari setiap manusia. Penerimaan akan kesamaan dan perbedaan ini membuat individu menjadi lebih menghargai keunikan yang ada pada masing-masing manusia karena perbedaan latar belakang namun di sisi lain tahu bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki persamaan (Yeh & Arora, 2003).
Miville (1999) mengartikan persamaan atau universalitas sebagai aspek-aspek dalam diri manusia yang dianggap sama antara satu orang dengan orang lainnya. Sementara itu perbedaan atau diversitas dimaknai sebagai aspek-aspek
(34)
unik dalam diri manusia yang muncul karena adanya perbedaan budaya dan perbedaan individual. Menurut Miville, kesadaran akan adanya persamaan dan perbedaan di antara manusia dapat membuat individu memiliki ikatan dengan orang lain yang memiliki kesamaan namun juga secara bersamaan mampu menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang memiliki perbedaan (dalam Yeh & Arora, 2003).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka definisi UDO yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kesadaran bahwa pada satu sisi setiap manusia memiliki persamaan sehingga muncul perasaan terhubung antar sesama manusia dan di sisi lain tiap-tiap manusia juga memiliki perbedaan yang memunculkan penerimaan dan penghargaan atas keunikan yang dimiliki masing-masing orang.
3. Aspek-aspek Universal-Diverse Orientation
UDO terdiri dari tiga aspek yang merepresentasikan dimensi kognitif, perilaku, dan afektif dari persepsi atas keberagaman. Dimensi kognitif disebut sebagai Relativistic Appreciation, dimensi perilaku disebut Diversity of Contact, dan dimensi afektif disebut Comfort with Differences (Miville dkk, 2000).
Strauss & Connerley (2003) menjelaskan lebih terperinci mengenai ketiga aspek tersebut sebagai berikut:
a. Diversity of Contacts
Aspek perilaku dari UDO yang menjelaskan tentang tingkat ketertarikan atau kecenderungan individu untuk berinteraksi dalam lingkungan sosial yang memiliki keragaman serta ikut serta dalam kegiatan-kegiatan lintas budaya. Aspek
(35)
21
ini melihat bagaimana individu secara aktif bersedia untuk berinteraksi dalam lingkungan yang plural.
b. Relativistic Appreciation
Aspek kognitif dari UDO yang melihat sejauh mana individu mampu merekognisi, memberi nilai, dan menerima persamaan dan perbedaan yang ada antara manusia. Aspek ini menjelaskan tingkat apresiasi individu akan pentingnya menyadari persamaan dan perbedaan yang ada di antara kelompok-kelompok yang beragam serta menyadari bahwa hal tersebut akan memberi dampak positif pada perkembangan dirinya.
c. Comfort with Difference
Aspek afektif dari UDO ini menjelaskan bagaimana individu merasa terhubung dengan manusia lain karena adanya pengalaman yang sama sebagai manusia. Individu mampu merasa nyaman dengan ide untuk berinteraksi dalam lingkungan sosial yang memiliki keragaman.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Universal-Diverse Orientation
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk merumuskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya level UDO pada individu. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Faktor demografis
Faktor yang paling banyak dikaitkan dengan UDO adalah faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, dan ras. Ras minoritas seperti ras Afrika-Amerika terbukti memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding ras kulit putih
(36)
(Strauss & Connerley, 2003; Singley & Sedlacek, 2009). Begitu pula dalam hal gender. Wanita ditemukan memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding kaum pria (Singley & Sedlacek, 2009). Hal ini dikarenakan baik ras minoritas maupun wanita, secara umum mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat sehingga membuat mereka lebih peka pada pentingnya bersikap menghargai keberagaman. b. Faktor kepribadian
Penelitian Thompson dkk (2002) menemukan bahwa terdapat hubungan kepribadian yang ditinjau dari Five Factor Model dengan level UDO seseorang. Individu dengan tipe kepribadian opennes to experience ditemukan memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding tipe kepribadian lainnya.
c. Faktor pengetahuan
Pengetahuan tentang multikulturalisme dan multicultural competence yang didapat melalui seminar, pelatihan, maupun pelajaran di kelas terbukti berperan dalam meningkatkan level UDO individu (Yeh & Arora, 2003).
d. Faktor interaksi
Pendidikan inklusi dikatakan Allenby (2009) berperan dalam mengubah sikap terhadap keberagaman para siswa menjadi lebih positif. Hal ini dikarenakan siswa dapat berinteraksi secara langsung dengan siswa lain yang memiliki disability. Keterlibatan siswa dalam organisasi dan aktivitas yang memungkinkan mereka bertemu dan bekerjasama dengan kelompok-kelompok berbeda latar belakang juga dapat meningkatkan level UDO siswa (Allenby, 2009).
(37)
23
B.Self Construal
1. Definisi Self Construal
Dalam sejarahnya, psikolog sosial memiliki kecenderungan untuk berpikir bahwa konstruk diri merupakan suatu entitas yang independen dan terpisah dari orang lain. Akan tetapi, bukti-bukti terkini, terutama dari perspektif lintas budaya, menunjukkan bahwa konstruk diri sangat bergantung pada variabel sosial seperti hubungan dengan orang lain atau keanggotaan dalam suatu kelompok (Brewer & Gardner, 1996; Markus & Kitayama, 1991).
Individu sering kali mencari makna akan dirinya melalui afiliasi dengan kelompok tertentu yang disebut social self (Brewer & Gardner, 1996). Faktanya, teori motivasi terkini menunjukkan bahwa keterkaitan dan perasaan memiliki dengan orang lain merupakan hal fundamental yang terus menerus dicari oleh manusia (Baumeister & Leary, 1995). Hal ini lah yang memunculkan konsep self construal.
Self construal berbicara tentang cara individu memandang diri mereka dalam relasi dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Cara pandang yang dimaksud adalah apakah individu memandang diri mereka sebagai bagian yang otonom dari orang lain atau sebaliknya memiliki koneksi dan kelekatan dengan orang lain. Self construal merupakan pikiran dan perasaan individu terkait hubungannya dengan orang lain dan keunikannya dari orang lain (Singelis, 1994). Teori self construal melihat bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh cara individu itu sendiri dalam memandang dirinya, memandang orang lain, dan memandang hubungannya dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991).
(38)
Self construal sangat terkait dengan budaya dan merupakan hal yang paling banyak dikaji pada penelitian lintas budaya (Kam, Zhou, Zhang, & Ho, 2012). Budaya timur yang kolektivis dan budaya barat yang lebih individualistis dipercaya berkontribusi pada tipe self construal seperti apa yang dimiliki individu dari budaya tersebut.
Dengan demikian, definisi self construal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara pandang individu terhadap dirinya dalam relasi dengan orang lain.
2. Interdependent dan Independent Self Construal
Riset mengenai self construal membedakan variabel ini menjadi dua tipe yakni independent dan interdependent self construal yang didasarkan pada riset lintas budaya. Pada awalnya, peneliti mengajukan konsep bahwa interdependent dan independent self construal merupakan kutub yang berlawanan dari sebuah variabel kontinuum self construal (Schimmack, Oishi, & Diener, 2005). Akan tetapi, faktor analisis yang dilakukan terhadap aitem-aitem self construal menunjukkan hasil bahwa interdependent dan independent self construal merupakan konstruk yang terpisah. Seorang individu dapat memiliki kedua tipe self construal secara simultan. Tipe self construal mana yang lebih dominan pada individu tergantung pada tipe mana yang lebih sering diaktifkan dan menjadi norma perilaku pada budaya tempat individu berada (Miramontes, 2011).
Penelitian Markus dan Kitayama (1991) menemukan bahwa orang-orang dari budaya barat (seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa) yang memiliki budaya individualistis cenderung memiliki independent self construal
(39)
25
yang lebih dominan. Sementara itu, budaya kolektivis di timur (seperti negara-negara di Asia) memunculkan individu yang lebih dominan pada interdependent self construal.
Independent self construal ditandai dengan sifat stabil, unik, dan berbeda dari yang lain. Konsep diri seperti ini membutuhkan perasaan terindividuasi dari orang lain dan hasrat untuk menemukan keunikan dalam diri yang berbeda dari orang lain. Perilaku interdependent self construal dicirikan dengan selalu berfokus pada atribut internal dan unik dari diri. Diri dipandang sebagai sesuatu yang otonom dan independen. Tujuan utama adalah tujuan diri sendiri. Independent self construal cenderung menghasilkan self esteem yang tinggi (Singelis, 1994).
Sementara itu, interdependent self construal ditandai dengan individu yang memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. Ia bersifat fleksibel dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan sosial merupakan hal utama. Dalam hal pengambilan keputusan, hubungan sosial, peran diri, dan konteks menjadi pertimbangan yang penting. Individu dengan tipe ini memaknai hidupnya melalui hubungan dengan orang lain. Atribut internal diri sendiri ditempatkan setelah relasi. Gaya komunikasi tipe ini cenderung tidak langsung dan memikirkan perasaan lawan bicaranya (Markus & Kitayama, 1991; Singelis, 1994).
Menurut Markus & Kitayama (1991), budaya memungkinkan tumbuhnya salah satu tipe self construal pada masyarakatnya. Budaya yang menekankan pentingnya relasi sosial sebagaimana terlihat pada budaya Jepang dan kebanyakan negara Asia lainnya memungkinkan tumbuhnya interdependent self construal.
(40)
Sebaliknya, budaya yang lebih mengutamakan prestasi personal seperti budaya Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa Barat, memungkinkan munculnya independent self construal. Budaya yang dimaksud Markus & Kitayama terdiri dari nilai dan norma dalam masyarakat.
Meskipun demikian, Triandis (2001) menyatakan tidak benar bila interdependent dan independent self construal hanya dilihat semata dari kecenderungan individualis atau kolektivis pada suatu budaya. Proses kognitif individu dan situasi juga berpengaruh pada tipe self construal mana yang lebih dominan pada individu tersebut. Terlebih, globalisasi semakin mengaburkan batas antar negara sehingga budaya semata tidak dapat digeneralisasikan dalam memprediksi self construal.
C.Kontak
1. Definisi Kontak
Teori kontak menyatakan bahwa menyatukan anggota-anggota dari kelompak yang berbeda dan mendorong mereka untuk saling bekerjasama, memiliki status yang setara, dan memiliki ikatan personal dapat meningkatkan sikap positif kepada out-group dan mampu menciptakan harmoni antar kelompok (Allport 1954; Janowski, 2000).
Kontak yang dimaksud tidak hanya sekedar perjumpaan secara fisik karena pertemuan semata belum cukup untuk mempererat hubungan atau mengubah suatu sikap (Nisbet, 1992). Kontak yang berperan dalam mengurangi prasangka dan mendorong keharmonisan antar kelompok antara lain dicontohkan
(41)
27
seperti pertemuan terstruktur antar kelompok dimana setiap anggota kelompok dapat saling bekerjasama atau kontak yang terjadi dalam pertemanan (Pettigrew, 1998).
Ada beberapa kunci penting yang menjadikan suatu kontak antar kelompok dapat merangsang perubahan perilaku dan sikap. Interaksi yang paling mungkin dapat memberikan dampak positif dalam perubahan sikap adalah interaksi dimana tiap individu memiliki status yang setara, individu-individu tersebut terlibat dalam kegiatan untuk mencapai tujuan yang sama, dan interaksi yang memberikan waktu bagi semua partisipan untuk saling mengenal satu sama lain (Devine & O‟Brien, 2007).
Brickson (2000) menemukan bahwa banyak literatur menunjukkan dampak positif dari kontak paling sering terjadi dalam setting sekolah atau pendidikan. Hal ini dikarenakan syarat-syarat efektifnya kontak terpenuhi dalam setting pendidikan seperti status yang setara antar murid dan peluang terjadinya kerjasama untuk mencapai suatu tujuan.
Sejumlah penelitian mendukung teori kontak yang menyatakan bahwa perubahan sikap yang positif dapat didorong ketika individu memiliki kontak langsung dan positif dengan kelompok-kelompok yang berbeda dari kelompoknya (Allenby, 2009). Teori kontak merumuskan bahwa kontak positif antara kelompok-kelompok berbeda dapat mengurangi bias negatif, stereotype, ekspektasi, dan perilaku diskriminatif (Allport, 1954; Roper, 1990).
Pada penelitian ini, kontak akan dimaknai sebagai interaksi langsung antara individu-individu dari kelompok berbeda namun memiliki status setara
(42)
yang melibatkan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan serta aktivitas bersama untuk dapat saling mengenal satu sama lain.
2. Kondisi Kunci Kontak Antarkelompok
Allport (dalam Pettigrew, 1998) berkeyakinan bahwa efek positif dari kontak antarkelompok hanya dapat terjadi apabila empat kondisi kunci di bawah ini terpenuhi, yakni:
a. Status yang setara
Allport menekankan pentingnya status yang setara dalam situasi kontak antarkelompok. Tiap kelompok yang berinteraksi haruslah merasa memiliki status yang setara satu sama lain. Ketika kelompok yang berinteraksi memiliki perbedaan status, kontak justru dapat menghasilkan efek negatif (Jackman & Crane, 1986). Ruang kelas adalah salah satu tempat dimana setiap kelompok yang berinteraksi dapat merasakan status yang setara (Allenby, 2009).
b. Tujuan yang sama
Menghilangkan prasangka melalui kontak membutuhkan usaha yang aktif dan berorientasi pada tujuan. Ketika kelompok-kelompok yang saling berinteraksi memiliki tujuan yang sama, akan tercipta kondisi saling membutuhkan antara kelompok tersebut agar tujuan dapat tercapai (Pettigrew, 1998).
(43)
29
Tercapainya tujuan yang sama pada kelompok harus terjadi dengan adanya saling kerjasama antara kelompok yang terlibat dalam kontak (Bettencourt, 1992).
d. Adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi
Kondisi terakhir membutuhkan keterlibatan dari pihak-pihak lain yang terkait dengan kelompok-kelompok yang saling berinteraksi. Sebagai contoh, adanya aturan atau sanksi sosial akan membuat kontak antarkelompok diterima lebih luas dan memberikan dampak positif yang lebih besar (Pettigrew, 1998)
3. Proses Perubahan Melalui Kontak Antarkelompok
Studi terkini dari Pettigrew (1998) merumuskan empat langkah yang saling berkaitan dalam proses perubahan sikap melalui kontak. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Mempelajari kelompok lain
Teori awal menyatakan bahwa langkah pertama ini merupakan cara yang paling utama agar kontak antarkelompok membuahkan hasil. Saat proses belajar mampu mengoreksi pandangan negatif yang keliru pada kelompok tertentu, maka kontak akan mampu mengurangi prasangka. Memberikan informasi-informasi baru tentang kelompok yang lain akan mampu mendorong terjadinya perubahan sikap menjadi lebih positif.
b. Mengubah perilaku
Kontak antarkelompok yang optimal merupakan salah satu bentuk awal dari modifikasi perilaku. Perubahan perilaku seringkali menjadi awal terjadinya
(44)
perubahan sikap. Menciptakan situasi baru dimana individu dituntut mengubah perilakunya untuk semakin sering berinteraksi dengan anggota kelompok lain akan semakin memudahkan terjadinya perubahan sikap.
c. Generalisasi ikatan afektif
Emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kontak antarkelompok. Kecemasan pada saat pertama kali berinteraksi dengan kelompok berbeda merupakan hal yang biasa terjadi dan dapat memicu reaksi negatif (Islam & Hewstone, 1993). Kecemasan ini akan semakin berkurang dengan semakin seringnya interaksi. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan emosi-emosi yang muncul dari individu pada saat melakukan kontak dengan kelompok-kelompok lain.
d. Ingroup reappraisal
Kontak antarkelompok yang optimal memberikan pemahaman lebih baik tentang kondisi ingroup sekaligus juga outgroup. Kontak tak hanya membuat individu semakin mengenal kelompok lain namun juga semakin memahami kelompoknya sendiri dengan bercermin pada pengetahuan barunya tentang kelompok lain.
4. Kontak dan Perguruan Tinggi
Flexner (dalam Syukri 2009) menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan sebuah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, memecahkan berbagai masalah, mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan manusia. Lingkungan perguruan tinggi merupakan lingkungan untuk menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa agar memiliki daya nalar tinggi serta
(45)
31
kemampuan analisa yang tajam dan luas (Syukri, 2009). Misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009) yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Terkait dengan kontak antar kelompok, perguruan tinggi merupakan salah satu tempat ideal untuk berlangsungnya kontak yang positif sebagaimana halnya setting sekolah (Brickson, 2000). Interaksi mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi memenuhi kondisi-kondisi kunci terciptanya kontak antar kelompok (Pettigrew, 1998). Peran perguruan tinggi dalam mendorong mahasiswanya memiliki kompetensi multikultural yang baik sangatlah besar. Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai harapan yang tinggi bahwa perguruan tinggi akan menjadi tempat latihan dan pendidikan putra-putrinya untuk menjadi bagian dari kaum intelektual yang berilmu tinggi dan berperilaku terpuji (Syukri, 2009).
Sayangnya, harapan besar masyarakat ini masih belum maksimal diterapkan dalam perguruan tinggi. Sebagaimana dinyatakan Asyanti (2012), perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pendidikan karakter mahasiswa. Kurikulum pendidikan tinggi masih menitikberatkan pada kompetensi akademis.
Melihat bagaimana perbedaan kontak di perguruan tinggi dapat berperan dalam memprediksi munculnya komptensi multikultural perlu dilakukan sebagai salah satu dasar perancangan kurikulum pembentukan karakter mahasiswa. Schwartz (2000) menyatakan universitas, baik yang berlatar belakang religius
(46)
maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulum untuk membentuk pemikiran sekaligus karakter mahasiswa.
Perguruan tinggi pada umumnya menarik mahasiswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kondisi kunci kontak antar kelompok yang terpenuhi dalam interaksi perguruan tinggi akan semakin maksimal dampaknya bila perguruan tinggi tersebut juga memiliki kelompok-kelompok mahasiswa dari berbagai etnis, agama, jenis kelamin, ras, dan budaya. Akan tetapi, tidak semua perguruan tinggi memiliki komposisi mahasiswa yang sangat beragam.
Sejumlah perguruan tinggi, terutama yang berafiliasi pada agama, tentu hanya akan memiliki kelompok mahasiswa dari satu agama tertentu. Selain itu, keterkaitan budaya dan agama menjadikan perguruan tinggi yang berafiliasi pada agama tertentu cenderung memiliki kelompok mahasiswa dari budaya tertentu pula. Hal ini bukanlah suatu hal yang buruk mengingat tujuan didirikannya perguruan tinggi berafiliasi agama memang lah untuk memperdalam ilmu mengenai agama itu sendiri. Schwartz (2000) bahkan menyatakan biasanya institusi kecil yang berafiliasi agama lah yang memiliki komitmen luas dan komprehensif terhadap perkembangan karakter dalam semua dimensi kehidupan perguruan tinggi.
Namun, pengembangan kompetensi multikultural pada mahasiswa di perguruan tinggi tetap perlu menjadi perhatian. Mendorong terjadinya kontak-kontak positif antar kelompok mahasiswa perlu dilakukan agar mahasiswa nantinya tak canggung saat masuk ke masyarakat yang multikultur. Oleh karena itu, perlu untuk dilihat bagaimana keberagaman kelompok di lingkungan
(47)
33
perguruan tinggi dapat mendorong terjadinya kontak yang positif dan karenanya turut memicu berkurangnya prasangka antar kelompok. Penelitian ini akan mencoba melihat bagaimana dua level kontak yang berbeda pada perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi yang berafiliasi agama akan berinteraksi dengan level UDO mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut.
D.Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor UDO
Individu dengan interdependent self construal adalah individu yang terhubung, memberi perhatian, dan responsif terhadap orang di sekitarnya (Kondo, 1990). Mereka dengan gaya interdependent selalu mampu menemukan cara untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya, mampu memenuhi tuntutan peran yang diberikan masyarakat padanya, serta menjadi bagian dalam berbagai relasi interpersonal (Yeh & Hwang, 2000). Kemampuan mengendalikan perilaku, pikiran, emosi dan motivasi untuk mengakomodir orang lain pada individu dengan interdependent self construal merupakan sumber dari self-esteem mereka yang cenderung mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri (Markus & Kitayama, 1991).
Pada sisi lain, individu dengan independent self construal seringkali dikarakteristikkan sebagai individu yang terpisah, unik, dan memiliki sense of self yang di luar konteks (Sampson, 1989). Mereka dengan tipe self construal ini terbiasa mengekspresikan pikiran, perasaan, dan perilaku mereka dengan bebas. Lebih jauh, diri sendiri merupakan aktor utama yang mengendalikan perilaku dan interaksi dengan orang lain (Bellah, Madsen, dkk, 1996). Self esteem mereka
(48)
muncul dari sikap asertif, terang-terangan, dan menjadi diri yang unik (Markus dkk, 1997).
Cross (2000) menyatakan bahwa perbedaan self construal pada individu mempengaruhi perkembangan hubungannya dengan orang lain. Baik interdependent maupun independent self construal berperan dalam membentuk norma sosial dan kultural pada saat berinteraksi dalam sebuah hubungan (Markus, 1997). Pada masyarakat yang multikultural, kecenderungan memaknai hubungan sosial akan berdampak pada bagaimana individu bersikap dan berperilaku di tengah keberagaman tersebut. Oleh karena itu, perbedaan tipe self construal yang dominan pada masing-masing individu diprediksi akan mempengaruhi bagaimana ia memberi makna dan memperlakukan keberagaman yang ada di sekitarnya. Pemberian makna dan perlakuan terhadap keberagaman ini yang dicirikan dengan UDO.
Individu dengan interdependent self construal dan independent self construal akan bereaksi berbeda dalam berinteraksi dan menjalin hubungan di masyarakat. Melihat perbedaan karakteristik kedua tipe ini, interdependent self construal diprediksi akan lebih berperan terhadap UDO.
Sebagai contoh, Cross (2000) menemukan bahwa individu dengan interdependent self construal cenderung lebih mempertimbangkan konsekuensi keputusan mereka atas orang lain dan mau mendengarkan opini serta kebutuhan orang lain. Mereka membangun hubungan baru dengan membuka diri dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Sebagai hasilnya, cara interdependent dipandang sebagai cara yang lebih responsif dan menunjukkan kepedulian.
(49)
35
Memiliki interdependent self contrual membuat individu secara konstan menyadari keberadaan orang lain dan fokus pada kebutuhan, hasrat, dan tujuan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Menyadari keberadaan orang lain dan mau menerima orang lain apa adanya merupakan salah satu ciri dari UDO. Temuan Yeh & Arora (2003) menunjukkan individu dengan interdependent self construal lebih sadar dan lebih mau menerima persamaan dan perbedaan mereka dengan orang lain. Menyadari persamaan dan perbedaan dengan orang lain akan mampu membantu individu dalam menjalin ikatan dengan mereka yang memiliki kesamaan sekaligus mampu menghargai keunikan pada mereka yang berbeda.
Selanjutnya, variabel lain yang diprediksi akan berkontribusi pada level UDO adalah faktor situasional berupa level kontak dengan kelompok-kelompok yang beragam. Liebkind (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengurangi sikap antarkelompok yang negatif adalah dengan membiarkan anggota-anggota dari masing-masing kelompok berinteraksi satu sama lain.
Perguruan tinggi bisa menjadi salah satu tempat ideal dimana kontak positif dapat terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan Allport (dalam Pettigrew, 1998) kondisi kunci yang harus dipenuhi agar kontak berdampak positif adalah status yang setara, memiliki tujuan yang sama, terdapat kerjasama antarkelompok, dan adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi.
Mahasiswa di perguruan tinggi memiliki status yang setara sebagai pelajar. Interaksi di ruang kelas yang dibuat oleh otoritas seperti dosen sering kali menempatkan mahasiswa pada kondisi dimana mereka dituntut untuk saling bekerjasama seperti adanya tugas kelompok, metode belajar dengan cara diskusi,
(50)
adanya kompetisi olahraga, minat, bakat dan sebagainya. Mahasiswa akan memiliki tujuan yang sama seperti lulus ujian, mendapatkan nilai tinggi, atau memenangkan kompetisi yang diharapkan akan memicu terjadinya kontak yang positif antara berbagai kelompok mahasiswa.
Meski demikian, tidak semua perguruan tinggi memiliki kelompok mahasiswa yang beragam. Interaksi di perguruan tinggi yang sesuai dengan kondisi kunci terciptanya kontak positif akan sia-sia bila mahasiswa yang ada hanya berasal dari satu atau sedikit kelompok saja. Kondisi seperti ini justru akan memicu semakin menguatnya identitas kekelompokan. Individu yang memiliki kelekatan yang tinggi dengan kelompoknya akan cenderung menjadikan kelompoknya sebagai pusat segalanya, memandang kelompok di mana diri bernaung sebagai kelompok yang paling benar dan memandang kelompok lain melalui sudut pandang kelompok sendiri (Brehm & Kassim, 1989; Stephan & Stephan, 2000). Hal ini bisa saja berdampak negatif pada mahasiswa karena kurangnya interaksi dengan kelompok lain akan memicu munculnya prasangka, stereotip negatif, jarak sosial, dan diskriminasi (Brehm & Kassim, 1989).
Sebaliknya, perguruan tinggi dengan mahasiswa yang berasal dari latar belakang suku bangsa, etnis, dan agama yang beragam akan menjadi tempat yang sangat ideal untuk terciptanya kontak positif. Kerjasama serta perasaan memiliki status setara dan tujuan yang sama akan membuat mahasiswa dari kelompok berbeda menjadi lebih saling mengenal satu sama lain dan menemukan bahwa sebenarnya kelompok lain, meskipun berbeda, sebenarnya juga memiliki persamaan dengan kelompoknya sendiri. Hal ini diharapkan akan berkontribusi
(51)
37
pada meningkatnya level UDO mahasiswa dimana memiliki UDO berarti mampu menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki keterikatan meski masing-masing juga memiliki keunikannya sendiri.
Oleh karena itu, baik self construal maupun kontak akan menjadi prediktor bagi UDO. Selanjutnya, penelitian ini akan mengungkap bagaimana kontribusi kedua variabel tersebut terhadap UDO.
E.Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka dipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Self construal merupakan prediktor dari UDO
2. Kontak merupakan prediktor dari UDO
(52)
38
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Menurut Bordens (2005) dalam studi korelasional ketertarikan utama peneliti adalah untuk melihat apakah dua atau lebih variabel saling berkaitan dan bagaimana arah, kekuatan, serta bentuk dari kaitan tersebut.
A.Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel adalah simbol yang padanya diberikan nilai atau bilangan (Latipun, 2004). Cozby (2009) menyatakan bahwa variabel adalah kejadian-kejadian, situasi, perilaku atau karakteristik individu yang bervariasi. Pada penelitian korelasional, variabel yang digunakan untuk memprediksi hubungan disebut variabel prediktor atau variabel bebas, sementara variabel yang nilainya akan diprediksi disebut variabel kriteria atau variabel tergantung (Bordens, 2005). Berdasarkan pemaparan tersebut, maka variabel dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Variabel bebas (IV) yang terdiri dari: a. Self construal
b. Kontak
2. Variabel tergantung (DV) : Universal-Diverse Orientation (UDO) B.Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan definisi dari variabel penelitian yang bersifat operasional dan tergambar teknik yang dapat digunakan peneliti untuk
(53)
39
mengukur atau memanipulasi variabel tersebut (Cozby, 2009). Adapun definisi operasional masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Universal-Diverse Orientation
UDO merefleksikan sikap kesadaran dan penerimaan pada adanya kesamaan maupun perbedaan di antara manusia. UDO pada partisipan penelitian akan diukur dengan menggunakan skala yang didaptasi dari Miville-Guzman Universality-Diversity Scale (MGUDS) oleh Miville dkk (1999). Skala ini akan menggambarkan level UDO partisipan dengan melihat dimensi kognitif, perilaku, dan afektif dari persepsi atas keberagaman.
Secara lebih terperinci ketiga aspek tersebut akan dilihat sebagai berikut: a. Komponen perilaku disebut dengan Diversity of Contacts
Individu secara aktif berinteraksi dalam lingkungan yang plural. Individu dengan skor tinggi akan sedapat mungkin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang memungkinkannya berinteraksi dengan orang lain yang beragam suku dan budaya. Ia memiliki banyak teman dari beragam latar belakang. Sedangkan individu dengan skor rendah akan memilih berkelompok dengan mereka yang memiliki kesamaan suku atau agama dengan dirinya saja.
b. Komponen kognitif disebut dengan Relativistic Appreciation
Individu mampu merekognisi, memberi nilai, dan menerima persamaan dan perbedaan yang ada antara manusia. Individu yang memiliki skor tinggi di komponen ini akan memiliki penilaian bahwa keberagaman budaya memiliki dampak positif pada perkembangan diri secara personal dan dalam kelompok.
(54)
Sementara individu yang menunjukkan skor rendah akan menilai bahwa keberagaman akan semakin memberi dampak negatif pada dinamika kelompok. c. Komponen afektif disebut dengan Comfort with Difference
Individu merasa terhubung dengan manusia lain karena adanya pengalaman yang sama sebagai manusia. Individu yang memiliki skor tinggi di komponen ini merasa dirinya terhubung dengan manusia lain meskipun berbeda suku, agama, maupun daerah. Ia mampu berempati pada ketidakberuntungan yang dialami kelompok-kelompok lain. Sementara itu, individu yang berskor rendah akan menunjukkan ketidakpedulian pada hal-hal yang terjadi di luar kelompok suku atau agamanya.
Skor dari ketiga aspek di atas akan diakumulasi menjadi total skor UDO dimana skor yang semakin tinggi berarti individu semakin menyadari dan mau menerima keberagaman sementara skor rendah berarti individu tidak menerima keberagaman yang ada di sekitarnya.
2. Self Construal
Self construal adalah cara individu memandang dirinya dalam hubungan dengan orang lain. Ada dua model cara individu memandang dirinya yaitu independen dan interdependen. Orang yang memandang diri mereka terpisah dari orang lain berarti memiliki independent self construal, sementara individu yang memandang dirinya memiliki koneksi dan lekat dengan orang lain di sekitarnya berarti memiliki interdependent self construal.
(1)
75
universitas sehingga mahasiswa dapat berinteraksi dengan kelompok yang lebih beragam.
b. Mahasiswa dapat menyadari bahwa ia memiliki posisi yang vital dalam menjaga keharmonisan di tengah masyarakat Indonesia yang beragam sehingga dapat melakukan upaya untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian atau pengabdian masyarakat yang berfokus pada menjaga perdamaian antar kelompok.
c. Mahasiswa dan masyarakat secara umum dapat menginternalisasi nilai-nilai budaya timur yang mementingkan kerukunan dalam kelompok sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus intoleransi di negeri ini.
(2)
76
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S. (2011, 9 Maret). Etnis tionghoa belum dianggap suku asli. Dipetik Agustus 29, 2013 dari Medan Bisnis:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/03/09/22970/etnis_tiong hoa_belum_dianggap_suku_asli/#.T_IslMWMctk
Aliansi Sumut Bersatu. (2011). Potret Kehidupan Beragama/Berkeyakinan di
Sumatera Utara. Medan: Aliansi Sumut Bersatu
Allenby, Kate. (2009). Inclusive Education and Attitudes toward Diversity. USA: Charleston.
Allport, G.W. (1954). The nature of prejudice. Reading, MA: Addison Wesley. Amir, Y. (1969). Contact hypothesis in ethnic relations. Psychological Bulletin,
71, 319-342.
Anto, J. (2012, 19 Desember). Pendidikan Multikultural untuk Kohesi Sosial.
Analisa, hal 2.
Asyanti, S. (2012) Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi : Sudah
Terlambatkah? Prosiding Seminar Psikologi Islami hal. 284-291.
Azwar, S. (2009). Reliabiltas dan Validitas (Cetakan IX). Jakarta:Pustaka Pelajar. _______ . (2010). Sikap Manusia (Cetakan XIV). Jakarta:Pustaka Pelajar.
Banks, J. A. (2001). Cultural diversity and education: Foundations, curriculum,
and teaching. Boston: Allyn and Bacon.
Baumeister, R. F. (1998). The self. In D. T. Gilbert, S. T. Fiske, & G. Lindzey
(Eds.), The handbook of social psychology, 4th ed. (pp. 680-740). New
York, NY: McGraw-Hill.
Berry, J. W., Poortinga, Y. H., Segall, M. H., & Dasen, P. R. (1997). Handbook of
cross-cultural psychology (2nd ed., Vols. 1–3). Boston: Allyn & Bacon.
Betancourt, H. & Lopez, S. R. (1993). The study of culture, ethnicity, and race in
(3)
77
Bordens, K. S., & Abbott, B. B. (2005). Research design and methods: A process
approach (Sixth Edition). San Francisco : McGraw Hill.
Brickson, S. (2000). The impact of identity orientation on individual and
organizational outcomes in demographically diverse settings. The Academy
of Management Review, 25, 82-101.
Brickson, S. L. (2000). The impact of identity orientation on individual and
organizational outcomes in demographically diverse settings. Academy of
Management Review, 25, 82–101.
Brummet, B.R., Wade, J.C., Ponterotto, J.G., Thombs, B., Lewis, C. (2007). Psychosocial Well-Being and a Multicultural Personality Disposition. Journal of Counseling and Development, 85, 73.
Cohen EG, Lotan RA. (1995). Producing equalstatus interaction in the
heterogeneous classroom. Am. Educ. Res. J. 32:99.120
Constantine, M. G., Arorash, T. J., Barakett, M. D., Blackmon, S. M., Donnolly, P. C., & Edles, P. A. (2001). School counselors' universal diverse
orientation and aspects of their multicultural counseling competence.
Professional School Counseling, 5, 6-15.
Constantine, M.G., & Yeh, C.J. (2001). Previous multicultural training and interdependent and independent self construals as predictors of
multicultural competence in school counselors. Professional School
Counseling, 4, 202-207.
Cozby, Paul. (2009). Methods in Behavioral Research. (10th Edition). New York: McGraw-Hill.
Cross, S. E., & Madson, L. (1997). Models of self: Self-construals and gender.
Psychological Bulletin, 122, 5–37.
Cross, S.E., Bacon, P.L., & Morris, M.L. (2000). The relational-independent
self-construal and relationship. Journal of Personality and Social Psychology,
70, 143-150.
Dalton, H.J., Elice, M.J., & Wandersman, Abraham (2007). Community
Psychology, Linking Individuals & Communities (2nd Ed). USA: Thomson
Wadsworth.
Devine, M., & M. O‟Brien. (2007). The Mixed Bag of Inclusion: An Examination
of an Inclusive Camp Using Contact Theory. Therapeutic Recreation
(4)
Fantini, A. (2009). Assessing Intercultural Competence: Issues and Tools. In D.
K. Deardorff (ed.), The SAGE Handbook of Intercultural Competence.
Thousand Oaks, Calif.: Sage.
Field, A. (2009). Discovering Statistic Using SPSS.(3th Ed.).London: Sage Publication Ltd.
Fuertes, J. N., Sedlacek, W. E., Roger, P., & Mohr, J. (2000). Correlates of
universal-diverse orientation among first-year university students. Journal of First Year Experience and Students in Transition, 12, 45-59.
Fuertes, J.N., Miville, M.L., Mohr, J.J., Sedlacek, W.E., & Gretchen, D. (2000) Factor structure and short form of the Miville-Guzman Universality
Diversity Scale. Measurement and Evaluation in Counseling and
Development, 33, 157-169.
Hadi, S. (2004). Metodologi Research : Jilid 2. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Hadiluwih (2008). Konflik Etnik di Indonesia: Satu Kajian Kes di Bandaraya
Medan. Medan: USU Press.
Human Rights Watch (2013). World Report 2013. United States of America: Human Rights Watch.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. (Edisi kelima). Jakarta: Erlangga.
Islam, M.R., & Hewstone, M. (1993). Dimensions of contact as predictors of intergroup anxiety, perceived out-group variability, and out-group attitude:
An integrative model. Personality and Social Psychology Bulletin, 19,
700-710.
Kerlinger, F. N. (1986). Asas-asas penelitian behavioral (L. R. Simatupang, Trans.). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. (Original work published 1964)
Kholil. (2011, Juli 7) Diskriminasi Orang Tamil di Medan. Dipetik Juli 23, 2013 dari KBR68H: http://archief.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/diskriminasi-orang-tamil-di-medan
Kine, Phelim. (2013, September 3). Indonesia’s rising intolerance. Dipetik September 3, 2013 dari CNN:
http://globalpublicsquare.blogs.cnn.com/2013/09/03/indonesias-rising-intolerance/
Latipun. 2004. Psikologi Eksperimen, Edisi Kedua. Malang: Penerbitan Universitas. Muhammadiyah Malang.
(5)
79
Liebkind, K. & McAlister, A. L. (1999). Extended contact through peer modelling
to promote tolerance in Finland. European Journal of Social Psychology,
29,765-780.
Markus, H., Kitayama, S., Fiske, A.P. & Nisbett, R.E. (1998). The cultural matrix of social psychology. In D. Gilbert, S.T. Fiske & G. Lindzey (Eds.). The
Handbook of Social Psychology. (4th Ed). Boston: McGraw Hill.
Markus, H.R., & Kitayama, S. (1991). Culture and self: Implications for
cognition, emotion, and motivation. Psychological Review, 98, 224-253.
Markus, H.R., & Kitayama, S. (1998). The cultural psychology of personality. Journal of Cross-Cultural Psychology, 29, 63-87.
Markus, H.R., Mullally, P.R., & Kitayama, S. (1997). Selfways: Diversity in modes of cultural participation. In U. Neisser & D. Jopling (Eds.), The
conceptual self in context; Culture, experience, and self-understanding.
Cambridge, England: Cambridge University Press.
Miville, M.L., Gelso, C.J., Pannu, R., Liu, W., Touradji, P., Holloway, P., et al. (1999). Appreciating similarities and valuing differences: The
Miville-Guzman Universality-Diversity Scale. Journal of Counseling Psychology,
46, 291-307.
Nieto, S. (2000). Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural
education (3rd ed.). New York: Longman.
Nisbet, J. (1992) Natural Supports in School, at Work, and in the Community for
People with Severe Disabilities. Baltimore: Paul H. Brookes.
Pedersen, P.B. (1994). Multicultural training in schools. Boston: Allyn & Bacon. Pettigrew, T. F. & Tropp, L. R. (2000). Does intergroup contact reduce prejudice:
Recent Typicality 35 meta-analytic findings. Mahwah, NJ: Lawrence
Erlbaum
Pettigrew, T. F., & Tropp, L. R. (2008). How does intergroup contact reduce prejudice? Meta-analytic tests of three mediators. European Journal of
Social Psychology, 38, 922-934.
Ponterotto, J.G., Utsey, S.O., & Pedersen, P.B. (2006). Preventing prejudice: A
guide for counselors, educators, and parents (2nd ed). Thousand Oaks, CA:
Sage.
Ramirez, M., III, (1999). Multicultural psychotheraphy: An approach to
individual and cultural differences. New York: Pergamon Press.
Riordan C. (1978). Equal-status interracial contact: a review and revision of the
(6)
Roper, P. (1990). Changing Perceptions through Contact. Disability, Handicap and Society 5.3, 243-55.
Salisbury, Mark Hungerford. The effect of study abroad on intercultural
competence among undergraduate college students. Doctoral dissertation,
University of Iowa, 2011. http://ir.uiowa.edu/etd/1073.
Sarapung, Elga. (2002). Pluralisme, konflik, dan perdamaian: Studi bersama
antar-iman. Yogyakarta:Interfidei & The Asia Foundation.
Schwartz, AJ. (2000). It‟s Not to Late to Teach College Student about Values. The
Chronicle of Higher Education. Vol 46. No 40.pg A68
Setara Institute. (2013). Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Mid-2013. Jakarta: Setara Institute
Singelis, T.M. (1994). The measurement of independent and interdependent self
construals. Personality and Social Psychology Bulletin, 20, 580-591.
Singley, D.B., & Sedlacek, W.E. (2009). Differences in Universal-Diverse
Orientation by Race –Ethnicity and Gender. Journal of Counseling and
Development, 87, 404.
Strauss, J.P., & Connerley, M.L. (2003). Demographics, personality, contact, and
universal-diverse orientation: An exploratory examination. Human
Resource Management, 42, 159.
Sudarmanto, Gunawan. (2013). Statistik Terapan Berbasis Komputer. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Supratiknya, A. (2006). Konstrual-diri di Kalangan Mahasiswa. INSAN, vol. No.2
Suryabrata, Sumadi. (2008). Metodologi penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Suyono, Hadi. (2005). Konflik sosial, modal sosial, dan multikulturalisme:
Tinjauan psikologi sosial. Proceeding disajikan pada Temu Ilmiah Nasional
“Psikologi dan Problem Bangsa”
Syam, R. (2011, Februari 18) Datangi Pemko Medan, FPI Minta Ahmadiyah
Dibubarkan. Dipetik Juli 23, 2013 dari DNAberita:
http://www.dnaberita.com/berita-24958-datangi-pemko-medan-fpi-minta-ahmadiyah-di-medan-dibubarkan.html
Syukri. (2009). Peran Pendidikan di Perguruan Tinggi terhadap Perubahan Perilaku Kaum Intelektual (sosial-Individu). Jurnal Ilmiah Kreatif.vol 6 no 1, hal 1-15.