Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Permasalahan

di

Indonesia

sangatlah

kompleks,

termasuk

upaya

menegakkan hak-hak masyarakat, salah satunya adalah permasalahan atas tanah.
Realitas kehidupan masyarakat juga menunjukkan bahwa petani di desa-desa
Indonesia


adalah

golongan

masyarakat

yang

selalu

menjadi

sasaran

ketidakberdayaan. Sudah jelas bahwa manusia sangat membutuhkan tanah,
termasuk petani dimana tanah merupakan sumber produksi. Tetapi, masyarakat
petani di desa-desa selalu mengalami banyak ketimpangan, kesenjangan, dan
berbagai diskriminasi atas pembangunan antara daerah dengan pusat.
Manusia membutuhkan tanah dan hasilnya untuk kelangsungan hidup,

membutuhkan tanah untuk tempat hidup dan usaha, bahkan sesudah
meninggalpun masih membutuhkan sejengkal tanah. Bagi suatu negara agraria,
tanah mempunyai fungsi yang amat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat (Fauzi, 1999; 8). Dalam hal ini tanah menjadi bagian dari hidup
manusia. Tanah merupakan sistem produksi bagi petani untuk menopang
kehidupan.
Berbicara mengenai hal di atas, sangat terkait dengan pengaruh
kolonialisasi Belanda terhadap pertanian Indonesia dan kehidupan petani. Hal ini
dapat dikatakan sebagai awal permasalahan petani. Ini merupakan salah satu akar
perjuangan agraria yang dilakukan oleh masyarakat dan kemudian dikuatkan

1
Universitas Sumatera Utara

lagi oleh UUPA (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria). Menurut undang-undang, negara berkuasa penuh
berkenaan dengan pengalokasian tanah. Pasal 18 UUPA/1960 menyatakan:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak -hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberikan ganti rugi kerugian yang layak dan menuruti cara -cara yang diatur

oleh undang-undang”. Badan yang hanya boleh mencabut hak -hak atas tanah
tersebut adalah negara. Hal ini juga mengandung arti, negara menjadi aktor yang
bukan saja mengatur orang, melainkan juga mengatur tanah di Indonesia.
Sebelum lahirnya UUPA tepatnya sekitar tahun 1947, Indonesia terutama di
Sumatera Timur mengalami masalah agraria setelah perang selesai dimana Jepang
keluar dari Indonesia dan kemudian Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Pemerintahan yang baru tersebut diperkeruh dengan kekacauan agraria. Saat para
pengusaha perkebunan Belanda kembali ke pemerintah Indonesia, mereka hampir
tidak dapat mengenali tanahnya karena telah ditanami tanaman pangan oleh
Jepang saat menjajah Indonesia selama 3,5 tahun. Perkebunan tersebut diubah
menjadi penghasil tanaman pangan dan sebagian dari tanah perkebunan tersebut
menjadi pemukiman. Setelah perang, tanah tersebut diolah dan digunakan oleh
bekas buruh yang terdiri dari orang Jawa dan Cina yang datang sebelum perang
serta bermacam-macam kelompok imigran dari Tapanuli Utara dan bagian
Sumatera lainnya di luar sektor perkebunan (Pelzer, 1991; 2-28).
Penelitian ini merupakan kajian tentang Perjuangan lahan oleh petani di
desa Perkebunan Ramunia, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang.

2
Universitas Sumatera Utara


Desa Perkebunan Ramunia merupakan desa yang telah ada sejak zaman
penjajahan Belanda. Masyarakat di desa ini merupakan mantan buruh yang
didatangkan dari Jawa. Buruh tersebut merupakan orang-orang tua masyarakat di
Perkebunan Ramunia dan keturunannya yang juga menjadi buruh. Walaupun
buruh, mereka dapat menanami berbagai macam tanaman di lahan perkebunan
tersebut. Masyarakat memanfaatkan tanah yang tidak dipakai atau tanah yang
masih bermanfaat selain untuk perkebunan. Selain buruh, masyarakat juga
sebagai petani. Setelah kemerdekaan, Perkebunan Ramunia beberapa kali
berganti pemilik dan tanaman perkebunan yang berbeda-beda, mulai dari kelapa,
tembakau, hingga kelapa sawit.
Masyarakat di desa Perkebunan Ramunia merupakan generasi atau
keturunan pertama, ke dua dan ke tiga dari kuli kontrak Jawa yang datang ke
Sumatera sebelum kemerdekaan. Generasi pertama masyarakat desa Perkebunan
Ramunia merupakan mantan buruh di perkebunan. Pekerja-pekerja generasi
pertama dimasa tua nya telah melakukan aktivitas

pertanian di Lahan

Perkebunan. Kondisi perkebunan yang dipengaruhi kondisi Politik pada masa

setelah kemerdekaan semakin menjadikan masyarakat semakin membutuhkan
lahan untuk bercocok tanam. Sebagaimana Stoler (1995) menuliskan bahwa
kebanyakan perkampungan Jawa di pinggiran perkebunan berasal dari lahan
garapan hasil serobotan. Hal ini ini berarti bahwa kebanyakan dari mereka
mereproduksi diri dengan perjuangan ekonomi dan kadang-kadang perjuangan
politis. Pengembagan Kapitalisme tidak hanya tergantung pada persediaan dan
penguasaan atas tanah dan tenaga buruh tetapi harus ada jaminan agar buruh

3
Universitas Sumatera Utara

hanya menggunakan sejumput tanah perkebunan untuk memperoleh kehidupan
dari sumber lain.
Berdasarkan informasi dari masyarakat, tahun 1958 Belanda meninggalkan
Perkebunan Ramunia. Pengusaha Belanda yang menguasai lahan perkebunan
juga memulangkan buruh-buruhnya ke pulau Jawa, tetapi hanya sebagian saja.
Sedangkan sebagian lagi tidak mau kembali ke Pulau Jawa dengan alasan mereka
sudah lama tinggal menetap di perkebunan tersebut. Setelah Belanda pergi pada
tahun 1958 tersebut, maka perkebunan dikuasai oleh seorang pengusaha Cina
selama beberapa tahun saja, buruh perkebunan untuk mengolahnya pun tetap

yang lama. Kemudian pada tahun 1963 masuk lah PT Karya Bumi yang
merupakan perusahaan swasta yang mengolah lahan perkebunan, dan pada tahun
yang sama berubah namanya menjadi PT Gelorata.

Saat PT Gelorata yang

mengolah lahan tersebut, buruh perkebunan diberikan akses tehadap lahan, buruh
diberikan jatah seluas 15 rante perkeluarga untuk bercocok tanam di bawah
pohon kelapa tersebut sehingga lahan ditanami dengan padi darat dan beberapa
tanaman sayur-sayuran serta tanaman palawija. Hal ini didasari oleh lahan yang
menganggur di bawah pohon kelapa. Selain itu, Hal ini dilakukan oleh
perusahaan karena perusahaan tidak mampu memenuhi kebutuhan akan logistik
atau beras dan lain sebagainya kepada buruh. Sebelum saat memberi lahan
tersebut, buruh tidak diberikan akses terhadap lahan. Tugasnya hanya bekerja
sebagai buruh perkebunan. Hal ini memang sebanding dengan semua kebutuhan
yang diberikan oleh Belanda terhadap buruh mulai dari kebutuhan, sandang,
pangan dan papannya terpenuhi. Berbeda dengan PT Gelorata, kebutuhan

4
Universitas Sumatera Utara


yangdiberikan berbeda membuat pihak perusahaan memberikan lahan untuk
digarap buruh dan bekas buruh yang tidak lagi bekerja sebagai buruh.
Pada tahun 1983, Perkebunan Ramunia dikelola oleh Puskopad (Pusat
Koperasi Primer Angkatan Darat) Kodam 1 Bukit Barisan. Pergantian
pengelolaan perkebunan membuat Buruh yang sebelumnya bercocok tanam di
lahan perkebunan menjadi dilarang. Pelarangan ini dikarenakan perubahan usaha
perkebunan kelapa nyiurmenjadi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat tidak lagi
memiliki akses terhadap lahan yang menyebabkan berkurangnya salah satu
sumber penghasilan. Lahan garap yang diberikan PT Gelorata seluas 15 rante
tidak dapat ditanami akibat larangan dan perubahan komoditas perkebunan
tersebut. Pada 1991, masyarakat penunggu (istilah yang disebut masyarakat desa
Perkebunan Ramunia) mulai berjuang untuk memperoleh hak atas lahan.
Menurut Iswan Kaputra, desa Perkebunan Ramunia tepatnya di Dusun
Anggrek, masyarakat di desa ini telah mendapatkan lahan yang selama ini
mereka perjuangkan, tetapi lahan yang telah ditanami masyarakat ini belum
diakui secara saholeh negara. Masyarakat menduduki lahan atas dasar tanah
orang tua mereka. Kemudian setelah mendapatkan lahan tersebut, masyarakat
membuat kesepakatan sendiri dengan tanda tangan Kepala Desa. Hal ini dapat
dikatakan bahwa hanya pengakuan saja, sehingga sampai sekarang masyarakat

tidak memiliki kendala dengan lahan yang sudah ditanami padi ini 1.
Hal yang melatarbelakangi mengapa kasus di desa Perkebunan Ramunia
perlu diteliti yaitu karena untuk melihat bentuk-bentuk perjuangan yang telah
1

Dalam FGD Peta Konflik Agraria Dalam Pemenuhan Hak Ekosob Pasca Reformasi Di
Sumatera Utara, Sabtu, 2 Mei 2015, Jangga House Medan.

5
Universitas Sumatera Utara

dilakukan oleh masyarakat demi memperoleh lahan. Berlatarbelakang dari sejarah
lahan perkebunan dan perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat, tentu ini lebih
menarik dikaji pada saat ini mengenai hubungan masyarakat dengan lahan di
Dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia. Bagaimana nilai-nilai yang
terkandung dalam benak masyarakat yang mempunyai latar belakang sebagai
buruh perkebunan terhadap lahan. Lebih menarik lagi bahwa sekarang mereka
telah menjadi petani. Dari penjelasan ini, Masyarakat di Desa Perkebunan
Ramunia dapat dikatakan sebagai golongan masyarakat yang marjinal atau
terpinggirkan sehingga lahan menjadi bagian penting. Menurut peneliti, ini

merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji secara antropologi yang
menghasilkan sebuah etnografi tentang petani dan lahan di Dusun Anggrek desa
Perkebunan Ramunia. Bagaimana perjuangan terhadap lahan itu dilakukan dan
apa pengaruhnya sekarang.
Pergantian pengelola perkebunan telah merubah kehidupan budaya buruh
yang mempunyai akses terhadap lahan perkebunan sehingga masyarakat
berupaya menuntutkembali hak atau akses terhadap lahan tersebut. Abdullah
(2006; 143) menegaskan perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat
bukan saja menjelaskan bagaimana interaksi masyarakat dengan berbagai faktor
yang menentukan penataan sosial secara meluas. Perubahan dalam komunitas
harus dilihat dalam konteks perubahan global yang terjadi dan memiliki
pengaruh dalam penataan sosial hingga ke tingkat yang paling kecil.

6
Universitas Sumatera Utara

1.2. Tinjauan Pustaka
Lahan merupakan tanah dengan segala ciri, kemampuan maupun sifatnya
beserta segala sesuatu yang terdapat diatasnya termasuk didalamnya kegiatan
manusia dalam memanfaatkan lahan. Lahan memiliki banyak fungsi yang dapat

dimanfaatkan

oleh

manusia

dalam

usaha

meningkatkan

kualitas

hidupnya.Penggunaanlahan (land use) adalah setiapbentuk intervensi (campur
tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan (major kinds of land use) sendiri
adalah Penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah
hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi 2 .
Pertanian merupakan salah satu penggunaan lahan yang dimanfaatkan untuk

aktivitas bertani.
Berbicara petani dan lahan, maka sangat terkait dengan desa. Desa sebagai
sebuah kesatuan budaya dimana sekelompok masyarakat hidup mengembangkan
kebudayaannya dan tidak terlepas dari dunia luar. Kata Desa berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu desi, dusun yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal,
atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, satu kesatuan norma,
serta memiliki batas yang jelas (Purnomo, 2004; 28-29). Desa memiliki budaya
yang khas dengan basis ekonominya yaitu pertanian.
Petani “peasant” tidak diarahkan ke komoditas perkebunan, namun tetap
diletakkan sebagai petani penanam pangan. Petani hanya berhak menjadi buruh
bagi perkebunan dan bila mereka mandiri berhak atas tanaman pangan untuk
2

http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196006151988031JUPRI/LAHAN.pdf. Diakses pada Kamis, 2 Juni 2016, Pukul 08.16 WIB.

7
Universitas Sumatera Utara

mendukung industri perkebunan 3. Redfield juga melukiskan bagaimana seorang
petani mengendalikan secara efektif sebidang tanah yang dirinya sendiri sudah
lama terikat (oleh ikatan-ikatan tradisi dan perasaan) kepada tanah. Tanah dan
dirinya adalah bagian dari satu hal, suatu kerangka hubungan yang telah berdiri
lama.
Budaya Petani
Kebudayaan dalam hal ini menentukan sekelompok orang dengan
keunikannya

dalam suatu skop pandangan dunia mengacu pada kandungan

kognitif, suatu kerangka (dari) asumsi-asumsi kognitif serta tempat yang segala
perilaku sehari-hari diarahkan dan yang didapat adalah suatu sistem kepercayaan
dan pengetahuan. Geertz juga menambahkan tentang aspek evaluatif dimana
pengetahuan

dan

kepercayaan

tertranformasikan

menjadi

nilai-nilai.

Mentranformasikan menjadi nilai-nilai ini berarti bahwa sistem nilai budaya
menetapkan etos kepada pendukung suatu kebudayaan menyangkut nilai-nilai
yang bersifat moral maupun yang bersifat estetik. Selanjutnya kedua aspek
tersebut (aspek kognitif dan evaluatif) dapat dikomunikasikan melalui sistem
simbol 4.
Petani di Dusun Aggrek Desa Perkebunan Ramunia berjuang mendapatkan
lahannya dengan berbagai cara, perjuangan tersebut menciptakan suatu tatanan
3

Mangku Purnomo, Pembaruan Desa, Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa.
(Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2004), 42.
4
Sistem simbol ini adalah sebuah “tempat” yang makna bisa diteruskan secara historis dan
mampu ditampilkan atau diekspresikan lewat simbol-simbol yang dengan itu manusia
berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan
sikap-sikap tentang kehidupan dan dipergunakan untuk memasukkan makna dalam
pengalaman.Imam Styobudi, Menari Di Antara Sawah Dan Kota, Ambiguitas Diri, Petani-Petani
terakhir di Yogyakarta. (Magelang: Indonesiantera, 2001), 12-13.

8
Universitas Sumatera Utara

dalam sebuah dusun. Terbentuknya suatu komunitas ialah tempat kehidupan,
akan tetapi kesatuan wilayah saja belum cukup untuk mengidentifikasikan
kelompok masyarakat sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anggotanya
harus memiliki rasa cinta akan wilayahnya, punya kepribadian kelompok, saling
mengenal dan bergaul, dapat saling menghayati sebagian besar dari lapangan
kehidupan mereka secara utuh (Soemardjan, 1998; 227) .
Petani sebagai masyarakat yang memiliki pandangan terhadap dunianya
sendiri tidak pernah lepas dari kekangan-kekangan sistem yang lebih besar dari
mereka. Pada beberapa hal petani dilihat oleh banyak ahli memiliki pola
hubungan yang unik dengan alam dan profesinya. Yang menarik dari hal tersebut
adalah sisi religiusitas petani dan pandangan terhadap makna kehidupan. Meski
terkesan banyak berbau tahyul dan irasional, akan tetapi kerap kali pilihan
mereka terhadap usaha tani sangat rasional. Di sinilah pertemuan antara
mentalitas dan pandangan hidup juga cita-cita menjadi suatu irisan walaupun
antar satu tempat dengan tempat yang lain berbeda-beda. Sistem nilai budaya
dari suatu masyarakat petani di beberapa daerah di Indonesia tidak sama, tentu
ada

variasi-variasi

di

masing-masing

daerah

seperti

Aceh,

Tapanuli,

Minangkabau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan,
Makasar, Nusa Tenggara, dan Papua. Bahkan mungkin corak yang berbeda akan
ditemukan antar desa di Jawa ataupuntempat lain. Meski demikian, dapat
dirangkai suatu perkiraan berdasarkan kesan mengenai sistem nilai budaya petani
Jawa dan di Indonesia (Purnomo, 2004; 10-11).

9
Universitas Sumatera Utara

Menurut Shahin (dalam Scott) 5 , ciri-ciri masyarakat petani (peasant)
adalah:
1.

Satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam
masyarakat desa yang berdimensi ganda.

2.

Petani hidup dari usaha tani, dengan mengolah tanah (lahan).

3.

Pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas.

4.

Petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah
“orang kecil” terhadap masyarakat di atas desa.

Apa yang dikatakan Shahin tentang petani menjelaskan bahwa petani
mempunyai ciri yang berbeda dengan masyarakat lain di luar dirinya sendiri.
Petani mengolah lahan untuk kehidupannya, dan bukan hanya kehidupannya tapi
juga kehidupan masyarakat pada umumnya karena sebagai penghasil bahan
makanan walaupun dalam keadaannya yang jauh berbeda. Petani merupakan
masyarakat dengan stratifikasi yang rendah dalam masyarakat. Spengler (dalam
Scott, 1993) menyatakan bahwa petani adalah manusia abadi, tidak tergantung
pada kebudayaan yang menyembunyikan dirinya dalam kota. Ia mendahuluinya,
ia hidup lebih lama darinya. Ia adalah sumber asal darah yang selalu mengalir
yang menciptakan sejarah dunia dalam kota-kota. Walaupun demikian yang
dikatakan Spengler, tetap saja petani merupakan kelompok masyarakat dengan
budaya yang berbeda dengan kelompok kota.
Menurut Redfield (1982; 56-71) kebudayaan masyarakat petani adalah
otonom, yaitu aspek atau dimensi peradaban yang satu bagian. Sebagaimana

5

James C. Scott, Perlawanan Kaum Tani. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), viii

10
Universitas Sumatera Utara

masyarakat petani adalah masyarakat terbelah, demikian juga kebudayaan petani
merupakan kebudayaan terbelah. Maksudnya adalah bahwa kebudayaan petani
mempunyai dua hal, yaitu tradisi kecil dan tradisi besar. Tradisi kecil merupakan
pengetahuan yang diperoleh masyarakat petani dari pengalaman-pengalaman
petani, tradisi ini berasal dari (pemikir) yang tidak refektif, dan tradisi kecil ini
berlangsung di dalam hidup itu sendiri dan mereka yang tidak terpelajar di dalam
komunitas desanya. Sedangkan tradisi besar merupakan pengetahuan petani yang
diperoleh dari pendidikan atau pengetahuan orang lain yang ditransfer ke petani,
tradisi besar ini lahir berasal dari beberapa (pemikir) reflektif, dan diolah di
sekolah-sekolah atau kuil-kuil. Apabila mempelajari petani dan kebudayaannya,
konteksnya diperluas mencakup unsur-unsur tradisi besar yang berinteraksi atau
dulunya berinteraksi dengan sesuatu yang lokal dan langsung. Dalam hal ini,
akan nampak komunikasi antara tradisi kecil dan tradisi besar dan perubahanperubahannya.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan areal tanah amat luas nan
subur. Dalam hukum adat, hubungan tanah dengan masyarakat di sekitarnya
kerap disebut “magis religius” dalam arti terdapat hubungan batin yang amat
mendalam antara tanah dan masyarakat di sekitarnya. Kendati hubungan tanah
dengan masyarakat tidak terpisahkan, nyatanya nasib para petani di muka Bumi
Pertiwi ini belum seindah ungkapan verbal tersebut 6. Kondisi yang terjadi saat
ini adalah Kondisi kepemilikan aset lahan yang sangat besar oleh pihak-pihak
tertentu termasuk perusahaan. Tanah sendiri merupakan hak asasi bagi seluruh
6

Tanah dan Petani, http://www.kpa.or.id/news/blog/tanah-dan-petani/. Diakses pada
Kamis, 02 Juni 2016 Pukul 09.00 WIB.

11
Universitas Sumatera Utara

rakyat Indonesia. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan kondisi petani
yang tidak mendapatkan hak tersebut dikarenakan konsentrasi aset dengan
bentuk penguasaan tanah yang sangat masif oleh sebagian kecil orang dan
mengakibatkan banyaknya tanah yang terlantar. Faktanya tidak semua hak guna
atas tanah mampu dikelola dengan baik oleh suatu perusahaan. Ini termasuk
salah satu hal yang mendasari perjuangan lahan oleh kaum tani di Indonesia.
Gerakan Petani
Secara umum, banyak teori tentang perlawanan petani atau gerakan petani
berkutat pada pertanyaan yang berkutat pada pertanyaan kelompok petani mana
yang paling revolisioner atau yang paling potensial untuk terlibat dalam gerakangerakan revolusioner. Terdapat tiga perspektif yakni, perspektif moral ekonomi,
pilihan rasional, dan konflik kelas. Ketiga perspektif ini berangkat dari
pengertian yang berbeda mengenai petani dan kehidupan kaum tani di tengah
corak produksi yang berbeda-beda (Kurzt, 2000 dalam Bachriadi 2012).
Dalam pandangan teori moral ekonomi petani, petani dilihat sebagai
komunitas yang homogen yang terikat dalam suatu struktur sosial dan kebiasaan
lokal yang menyediakan mekanisme budaya bagi terjaminnya subsistensi
mereka. Sementara dalam perspektif pilihan rasional, petani dilihat sebagai aktor
yang rasional dan mampu membuat keputusan yang sudah tidak lagi tinggal di
desa-desa yang terisolasi, terkait ini banyak Antropolog mengatakan bahwa
petani tidak lagi hidup dalam ikatan komunitas yang kuat. Sedangkan perspektif
konflik kelas dalam tradisi Marxis melihat petani dalam susunan kelas-kelas
sosial di Pedesaan. Petani-petani kecil yang menjadi pemilik lahan kecil, petani

12
Universitas Sumatera Utara

penggarap yang tidak memiliki tanah maupun buruh tani, termasuk buruh-buruh
perkebunan yang terikat dan tereksploitasi dalam corak-corak produksi tertentu
di pedesaan merupakan kelompok petani yang berpotensi untuk melakukan
revolusi. Buruh tani dan petani penggarap yang tidak memiliki tanah merupakan
kaum proletar yang paling sejati untuk menggerakkan revolusi (Bachriadi, 2012;
4-6).
McAdam dkk (2001) dalam Mustain (2007) menyatakan bahwa gerakan
sosial terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan. Perubahan
tersebut merupakan perubahan transisional menuju perubahan sosial karena
terbukanya kesempatan aktor untuk merespon, memobilisasi struktur-struktur
sosial dan budaya yang ada sehingga memungkinkan dilakukannya komunikasi,
koordinasi, dan komitmen di antara para aktor sehingga menghasilkan kesamaan
pengertian. Hal ini juga memunculkan kesadaran bersama tentang apa yang
sebenarnya sedang terjadi. Wolf (1983; 190-192) menuliskan bahwa Gerakan
protes petani seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang
lebih bersifat hirarkis dengan harapan-harapan penataan kembali masyarakat
secara radikal, dapat memobilisasi petani untuk beberapa waktu.
Gerakan petani menjadi pondasi utama bagi terwujudnya harapan petani itu
sendiri. Gerakan petani muncul akibat petani yang berada pada kondisi rawan
krisis subsistensi, antara batas-batas kemampuan memenuhi kebutuhan
kekurangan dasar dengan kekurangan pangan, kelaparan, bahkan kematian dan
memenuhi

kebutuhan

surplus

sosial.

Umumnya

pemberontakan

petani

dilatarbelakangi oleh beberapa hal yaitu menimpa banyak petani, dengan cara

13
Universitas Sumatera Utara

serupa, terjadi secara tiba-tiba dan mengancam pengaturan-pengaturan
subsistensi. Scoot juga menambahkan bahwa perjuangan petani dalam
mempertahankan hak-haknya mempunyai landasan dan tradisi yang dalam arti
harfiah melibatkan kepentingan-kepentingan paling vital dari partisipanpartisipannya (Scoot, 1983).
Kasus konflik agraria
Sumatera Utara memiliki ratusan konflik agraria sejak munculnya Consessi
(konsesi) terhadap tanah di Sumatera Timur (sekarang termasuk dalam wilayah
administrasi provinsi Sumatera Utara) pada tahun 1865. Konsesi ini diberikan
oleh raja-raja di Sumatera Timur kepada Onderneming (perkebunan yang
diusahakan secara besar-besaran dengan alat canggih; perkebunan budi daya)dari
Belanda, Belgia, Jerman, Inggris dan Swiss dan negara-negara penjajah lainnya
(Pelzer, 1985). Komunitas Rakyat Penunggu di Sumatera Utara merupakan
komunitas masyarakat Melayu yang menjadi salah satu korban dari konsesi ini.
Sampai saat ini, kalangan rakyat Penunggumasih berjuang untuk dan atas nama
masyarakat adat. Rakyat Penunggu berjuang mendapatkan hak ulayatnya yang
sekarang berada di dalam HGU (Hak Guna Usaha) PTPN II. Walaupun berjuang
atas tanah adat, atau tanah ulayat, Rakyat Penunggu mempunyai organisasi
bernama BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) dengan
kepengurusan sebagaimana sebuah organisasi modern yang dijadikan sebagai
wadah untuk berjuang dan berdiri sejak tahun 1953. Komunitas ini terdiri dari 67
Kampung yang berada dalam kawasan administrasi Kota Medan, Kabupaten Deli
Serdang, dan Kabupaten Langkat. Saat ini, beberapa kampung seperti Tanjung

14
Universitas Sumatera Utara

Gusta, Kelambir, Secanggang dan lain sebagainya telah menduduki lahan dan
mendirikan rumah, serta bercocok tanam di lahan yang diduduki dengan
pengelolaan secara komunal walaupun belum ada pengakuan dari pemerintah.
Rakyat penunggu terus berupaya meminta pengakuan terhadap identitas mereka
sebagai masyarakat adat Melayu dan wilayah adatnya.
Selanjutnya kasus konflik agraria petani di Desa Pergulaan, Serdang
Bedagai dengan PT London Sumatera yang diteliti secara antropologis oleh Wina
Khairina (2012),
“Konflik agraria antar petani Pergulaan VS Lonsum adalah
konflik atas tanah sebagai sumber daya yang semakin terbatas
dan menentukan. Bagi petani Pergulaan, tanah adalah hak
milik, harga diri yang harus dipertahankan, dan sangat
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
subsistensi dan
keturunannya. Tujuan awal Perlawanan petani Pergulaan
adalah untuk mempertahankan subsistensinya. Perampasan
tanah yang dilakukan Lonsum disebabkan oleh perluasan
perkebunan.”
Kasus Pergulaan sama dengan kasus Rakyat Penunggu yang disebabkan
oleh masuknya investasi besar ke Sumatera Utara. Kasus Perkebunan Ramunia
mempunyai latar belakang besar yang sama dengan dua kasus di atas dengan
perubahan masyarakat dan proses perjuangannya sendiri.
1.3. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Perjuangan Lahan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa
Perkebunan Ramunia?
2. Apa pengaruh dari lahan tersebut terhadap masyarakat?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

15
Universitas Sumatera Utara

Penelitian yang dilakukan di Desa Ramunia ini bertujuan untuk menjawab
permasalahan yaitu memahami cara masyarakat memperoleh lahan pertanian dan
untuk mengetahui pengaruh sestelah masyarakat mendapatkan lahan. Penelitian
ini bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan baik dalam konteks ilmu
antropologi dan kebijakan agraria. Indonesia yang merupakan negara dengan
sebagian besar masyarakatnya berpenghasilan dari sektor tani. Kiranya penelitian
etnografi ini dapat bermanfaat untuk pihak pemerintah atau pengambil kebijakan
dalam menjawab permasalahan-permasalahan kaum tani.Hal tersebut dapat
menjadi dasar terbentuknya perhatian secara khusus terhadap permasalahan lahan
bagi petani yang diwarisi oleh para orang tua terdahulu di mana dalam hal ini
perjuangan dilakukan untuk mengembalikan lahan garapan yang pada pernah
diberikan oleh PT Gelorata saat mengelola perkebunan. Tentu hal ini dapat
bermanfaat bagi petani secara umum di Indonesia dan secara khusus petani yang
mengalami perebutan lahan dengan pihak-pihak yang bukan petani seperti
perkebunan dan lain sebagainya.
1.5. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang menghasilkan sebuah etnografi.
Sementara

itu,

etnografi

adalah

pekerjaan

mendeskripsikan

suatu

kebudayaandengan tujuan memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang
penduduk asli. Etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan grafein
yang berarti menulis, lukisan, gambaran. Oleh karena itu, etnografi juga bisa

16
Universitas Sumatera Utara

dipahami sebagai deskripsi tentang suatu suku bangsa menyangkut struktur, adat
istiadat, dan kebudayaannya 7.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang tidak menggunakan
analisis berupa angka atau statistik, tapi menghasilkan data mendalam serta
holistik (menyeluruh). Pendekatan kualitatif ini penulis pilih karena sesuai
dengan apa yang diteliti yaitu perjuangan masyarakat mendapatkan lahan dan
pengaruh dari lahan yang sudah

didapatkan.Penelitian ini banyak menggali

sejarah perjuangan lahan yang dilakukan masyarakat. Oleh karena itu,
penggalian informasi mengenai sejarah perjuangan agraria tersebut dan dampak
atau pengaruhnya pada hubungan-hubungan dan nilai-nilai budaya yang dianut
masyarakat sampai sekarang dapat digali dengan metode ini. Maka, untuk
memahami budaya suatu kelompok masyarakat diperlukan suatu corak penelitian
yang bersifat holistik (Bungin,2011; 43-45)
Pendekatan dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan emik. Data
dikumpulkan dalam bentuk kata-kata, ucapan, isyarat serta tingkah laku orangorang yang menjadi subjek penelitian serta mencuplik dari sejumlah peristiwa
keseharian para informan. Apa yang menjadi perhatian adalah menyangkut cara
orang-orang memahami situasi tempat mereka berada, untuk dapat dimengerti
bagaimana orang melihat, melukiskan dan menerangkan tata dunia yang mereka
tempati (Bogdan dan Taylor, 1992;39-40).
7

Tujuan etnografi adalah memahami pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli
(native’s point of view), sehingga data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Peneliti bertugas
membuat pelukisan mendalam yang menggambarkan kejamakan struktur-struktur konseptual yang
kompleks, termasuk asumsi-asumsi yang tidak terucap dan yang dianggap sebagai kewajaran
mengenai kehidupan. Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terj, Nurhadi.
(Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2006)

17
Universitas Sumatera Utara

Untuk menghasilkan data tersebut, terdapat teknik pengumpulan data yang
bersifat saling melengkapi satu sama lain.
1.5.1. Data Primer
Teknik pengumpulan data primer ini merupakan sumber data utama
melalui prosedur dan teknik pengambilan data. Data yang diperoleh berasal dari
lokasi penelitian secara langsung, dimana peneliti mendapatkan data itu dari
observasi dan wawancara. Proses ini tentu dilakukan dengan pengamatan dan
Interaksi dengan masyarakat.
a.Observasi
Observasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang peneliti
di lokasi penelitian untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Kegiatan tersebut
adalah melakukan pengamatan terhadap masalah yang diteliti sehingga peneliti
dapat memahami fakta masalah secara objektif maupun subjektif. Observasi
dilakukan peneliti dengan tinggal bersama masyarakat di lokasi penelitian. Untuk
melakukan hal ini, peneliti akan melakukan usaha untuk menjadi dekat dengan
masyarakat yang akan diteliti dan membangun rapport 8.
Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi kondisi masyarakat melihat,
mendengar, serta terlibat langsug dalam aktivitas keseharian masyarakat di dusun
Anggrek baru desa Perkebunan Ramunia. Peneliti melihat bagaimana lahan hasil
perjuangan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk memaksimalkan
observasi, peneliti tinggal bersama informan di lapangan.

8

Rapport adalah hubungan antara peneliti dan informan yang sudah begitu dekat seolah
tidak ada jarak antara keduanya

18
Universitas Sumatera Utara

b. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk menggali informasi mengenai masalah
penelitian dari masyarakat yang dipilih sebagai informan. Sebelum melakukan
wawancara, peneliti akan menetapkan informan yang akan diteliti. Dalam hal ini
peneliti mengacu pada pedoman metode etnografi James Spradley. Spradley
(2006) menyarankan lima syarat untuk memilih informan yang baik, yaitu: (1)
enkulturasi penuh, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak
dikenal, (4) waktu yang cukup, (5) non-analitis.
Dalam melakukan wawancara, peneliti akan menggunakan alat bantu yang
mendukung proses berlangsungnya wawancara. Alat bantu tersebut adalah alat
rekam dan kamera. Alat ini bukan hanya berguna dalam proses wawancara saja,
tapi berguna dalam obsevasi yang dilakukan sebagai alat dokumentasi dalam
bentuk suara, gambar, dan audiovisual. Alat-alat ini merupakan alat pendukung
bagi peneliti untuk mendapat data di lapangan. Dalam mengumpulkan data,
wawancara ini merupakan proses penggalian informasi dari orang-orang yang
akan dijadikan peneliti sebagai informan. Di sini, peneliti akan mewawancarai
beberapa tokoh masyarakat yang melakukan mengembalikan lahan pertanian.
Beberapa tokoh masyarakat tersebut yaitu Pak Tukiran sebagai informan kunci,
dan beberapa orang lain seperti Ibu Ngatini, Pak Sopat, dan PakMesran menjadi
informan pendukung. Hal yang mendasari kenapa Pak Tukiran menjadi informan
kunci adalah karena Pak Tukiran merupakan tokoh yang menggerakkan atau
mengajak masyarakat satu kampungnya untuk berjuang mendapatkan lahan.
Pada saat sebelum penelitian dilakukan, peneliti beberapa kali datang

19
Universitas Sumatera Utara

mengunjungi desa tersebut, peneliti melakukan wawancara singkat sambil
bercerita santai dengan calon informan. Dari beberapa orang (3 orang) yang
diwawancarai, mereka mengatakan Pak Tukiran lah orang yang paling tahu dan
paham terhadap kondisi masyarakat kita dari dulu sampai sekarang.
1.5.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang digunakan peneliti untuk mendukung
data lapangan. Data sekunder ini diperoleh dari studi pustaka. Studi pustaka
diperoleh dari jurnal, buku, dan surat-surat. Selanjutnya data sekunder juga
diperoleh dari dokumen-dokumen yang menunjang atau berhubungan dengan
penelitian yang dilakukan dan fokus penelitian. Selain itu, media online juga
menjadi rujukan untuk mendukung data lapangan.
1.5.3. Analisis Data
Analisis data yang pada penelitian kualitatif adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan
memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2007;
284). Dilakukannya teknik ini adalah setelah data-data terkumpul semua,
kemudian dilakukan pengolahan data yang disesuaikan dengan kebutuhan
analisis yang akan dilakukan (Muhdjir, 1989; 56). Analisis tersebut merupakan
telaah terhadap seluruh data dari berbagai sumber. Proses ini diawali
denganmembaca seluruh data, kemudian dipelajari, ditelaah dan selanjutnya
mereduksi dengan membuat abtraksi serta menyusunnya dalam bentuk satuan.

20
Universitas Sumatera Utara

Wujud satuan-satuan tersebut ditentukan dalam catatan pengamatan, catatan
wawancara, catatan lapangan, dokumen, laporan, atau sumber lainnya. Setelah
mensintesiskan satuan-satuan tersebut, langkah selanjutnya adalah melakukan
kategorisasi dengan menkontrukksi data yang beralasan. Karena kategori tidak
lain adalah satu tumpukan dari seperangkat tumpukan yang disusun atas dasar
pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu (Moleong, 2007; 251-252).
1.6. Pengalaman Penelitian
1.6.1. Awal jumpa dengan informan
Magang di Hutan Rakyat Institut memperoleh manfaat yang tidak
didapatkan di tempat lain. Pengalaman itu adalah melakukan penelitian lapangan
bersama dengan peneliti Hutan Rakyat Institut. Penelitian yang dilakukan pada
waktu itu yaitu penelitian tentang pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dari
konflik agraria. Di lokasi penelitian, kami mendatangi kepala desa setempat untuk
meminta izin melakukan penelitian. Kira-kira satu jam berada di kantor kepala
desa tersebut, datang seorang tua paruh baya memakai topi lusuh menghampiri
kami, penulis tidak mengetahui siapa orang tua tersebut. Setelah berbincang, baru
lah penulis mengetahui bahwa orang tua tersebut adalah Pak Tukiran, salah
seorang tokoh masyarakat dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia. Satu
kalimat masihpenulis ingat, diucapkan oleh pak Tukiran,
“kalo masyarakat bersatu, pasti kita bisa memperjuangkan hak-hak
kita dan pasti menang!”
Ucapan penuh semangat dari seorang petani, penampilannya sederhana, tapi
pemikirannya sangat luar biasa.Penulis melihat antusias pak Tukiran sangat luar
biasa dalam bercerita. Kira-kira satu setengah jam kami duduk dan berbicang-

21
Universitas Sumatera Utara

bincang dengan kepala desa di kantornya untuk meminta izin dan membicarakan
maksud dari kedatangan kami ke desa tersebut, kamiberanjak menuju rumah Pak
Tukiran. Jarak rumah Pak Tukiran tidak jauh dari kantor kepala desa, kira-kira
500 meter. Sampai di rumah sederhana Pak Tukiran, kami disuguhi minuman teh
manis saat melakukan wawancara. Penulis bertugas memfoto proses wawancara
dan ikut memperhatikan wawancara. Ini merupakan pengalaman ke dua kali
setelah praktek kerja lapangan 1 di Sumbul dimana saat itu penulis melakukan
penelitian tentang petani kopi di Sumbul, Kabupaten Dairi. Kira-kira satu jam
kami di rumah Pak Tukiran, salah seorang dari kami yaitu aktivis agraria tadi
yang telah kenal dekat dengan warga dusun Anggrek Desa Ramunia Tersebut
mengajak kami ke rumah salah seorang informan selanjutnya yaitu seorang
penjual jamu bernama Buk Ngatini, rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumah
Pak Tukiran.Sesampai di rumah penjual jamu tersebut, kembali kami disuguhi teh
manis panas. Buk Ngatini juga merupakan salah seorang yang turut
memperjuangkan lahan di dusun Anggrek Baru.
1.6.2. Ke Lapangan
Kamis, 30 Januari 2015. Tepat pukul 08.00 WIB.Penulis tibadi kantor
kepala desaPerkebunan Ramunia. Berhubung karena kantor kepala desa masih
belum buka, maka penulis langsung berinisiatif menanyakan alamat rumah Bapak
Kepala Desa kepada masyarakat. Sampai di rumah Kepala Desa, ternyata Bapak
sedang tidak di rumah, dia berada di samping rumahnya, tepatnya di gudang
penjualan butut miliknya.
Salam ramah dari bapak Kepala Desa, dia langsung bertanya,

22
Universitas Sumatera Utara

“ ada keperluan apa...?”
Penulis langsung menjelaskan tujuan untuk melakukan penelitian di dusun
Angrek Baru Desa Perkebunan Ramunia. Bapak Kepala Desa meminta surat dari
kampus. Karna belum ada, maka Penulismenjawab bahwa surat akan menyusul .
kemudia Bapak kepala desa langsung menerima dan menyuruh datang ke kantor
Desa.
Di Kantor, Penulis bertemu seorang sekretaris desa yang kemudian
mengantarkan penulis ke rumah Pak Tukiran. Sampai di rumahnya, Pak Tukiran
tidak berada di rumah, melainkan mengutip kacang di ladangnya yang tidak jauh
dari rumahnya. Penulis dan Pak Sekdes langsung saja ke ladang kacang untuk
berjumpa dengan Pak Tukiran. Kemudian kami diajak ngobrol ke rumahnya,
Penulis berbicara maksud dan tujuan kepada Pak Tukiran, kemudian Pak Tukiran
mau menerima Penulis untuk tinggal di rumahnya.
Sejak penulis mengunjungi tempat penelitian sebelum hari penelitian
dimulai, Penulis masih merasa apakah informan yang akan menjadi subjek dalam
penelitian menerima dengan senang hati. Penulis masih beranggapan kalau
mereka tertutup, tapi itu semua berbeda ketika sudah berada di rumah seorang
informan. Di Sore hari yang indah itu, pemuda-pemuda desa asik bermain bola
kaki, sebagian bermain sepak takraw, orang berjualan, dan masyarakat yang
menonton sepak bola dan sepak takraw. Jalan yang berabu di Desa Perkebunan
Ramunia tidak mengganggu kedamaian menuju senja tersebut. Sore itu, Sambil
melihat langit indah, padi yang mulai mengeluarkan bulirnya, ayam, entok, angsa

23
Universitas Sumatera Utara

yang sedang mencari-cari makanan, Pak Tukiran duduk diam dengan damai di
Beranda dapur rumah yang batunya tidak di plaster.
Kedatangaan Penulis mungkin mengganggu posisi nyamannya. Wajah
senyum langsung tertuju kepada penulis. Kemudian tanpa butuh waktu yang lama,
dari wajah senyumnya Pak Tukiran menyapa dengan ramah,
“eh Yan,... jadi kan nginap di rumah”
Kemudiansambil membuka helm dan mencagak kereta, Penulis langsung
menjawab iya. Kemudian Penulis langsung beranjak mengucapkan salam dan
menyalami Pak Tukiran dan berkata
“sendiri aja Wak...?”
Pak Tukiran langsung menjawab,
“iya Yan, anak Wawak lagi pigi tadi, ya paleng bentar lagi
pulang, ada undangan tempat saudara menantu Wawak...”,
Penulis kembali berbicara,
“enak ya Wak di sini, tenang, enak lah, langitnya pun cantik,”
Dengan cepat Pak Tukiran langsung menjawab,
”iya, enak Yan, ya Wawak sambil lihatin pesawat lewat Yan,
pendek kali kan, terus cepet kali pesawatnya turun naek, belum
sampai 5 menit uda ada yang naek dan turun, biasanya pagi
dan sore gini banyaknya, hah kayak itu lah (sambil menunjuk
pesawat yang sedang turun), baru tadi aja ada yang naek... ya
Wawak kadang ngitungin ini Yan, ngelepas suntuk, ya memang
bising Yan.”
Secara langsung Penulis langsung menjawab
”ya dulu waktu bandaranya masih Polonia Wak, dari kos ku ya
kayak gini juga Wak, pas sama persis, sekarang jumpa lagi
kondisi kayak gini..”

24
Universitas Sumatera Utara

Terdengar suara tawa dari seorang Pak Tukiran.Penulis ikut dalam
ketenangan sore itu bersama Pak Tukiran di beranda bambu depan pintu dapur
rumahnya sampai menjelang magrib.
Penulis dipersilahkan masuk ke rumah untuk meletakkan tas, kemudian
duduk di ruang tamu. Ketika Penulis duduk, datang seorang pria berumur kirakira 28 tahun menghampiri Penulis dan menyalami sambil menyapa, “Bang”. Dia
adalah menantu Pak Tukiran yang tinggal bersama Pak Tukiran. Abang ini sudah
memiliki anak satu, sebentar lagi anaknya akan dua. Istrinya merupakan anak
terakhir Pak Tukiran yang sedang hamil, perutnya sudah sangat besar. Penulis dan
abang anak satu tersebut ngobrol santai

sambl berkenalan, bercerita

pekerjaannya sebagai penada susu kedalai ke Kota Medan dan kadang-kadang
ngobrol kami disertai dengan canda.
Malam menunjukkan pukul 19.00 WIB, kami berdua yang duduk di ruang
tamu dipanggil oleh Pak Tukiran dan teman ngobrol di ruang tamu. Kami
kemudian makan malam bersama.
“Makan aja Yan, gausah malu-malu, tapi ya sayur dan lauknya
kayak gini lah, namanya di kampung.”
Langsung Penulis menjawab
“Ya ga pa pa Wak, Saya ya orang kampung juga, kalo di rumah
ya tiap hari sayur dan lauknya kayak gini juga Wak,”
Saat itu, Penulis makan dengan lahap dan disuruh tambuh (tambah), tapi
sekali saja Penulis uda kenyang. Pada saat makan, Pak Tukiran menyempatkan
sambil mengajak bercerita tentang pengalamannya saat melakukan perjuangan
lahan, sehingga cerita tersebut pun kami lanjutkan ketika sudah selesai makan. Di

25
Universitas Sumatera Utara

malam sunyi tenang menambah suasana cerita kami, kebetulan obrolan kami ini
termasuk hal-hal yang ingin Penulis gali. Sehingga tanpa Penulis yang membuka
obrolan tersebut, Bapak enam anak ini sudah memulainya membuat Penulis
mendengarnya dengan baik sambil merekam pembicaraannya. Penulis pun sangat
antusias mendengarnya sambil mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah
disiapkan. Obrolan kami terus mengalir begitu saja, Penulis selalu melihat
semangat yang ditunjukkan Pak Tukiran ketika cerita dan menjawab pertanyaanpertanyaan.
Beberapa hari Penulis berada di rumah Pak Tukiran, pagi selalu diisi
dengan obrolan ringan dengan dua gelas teh, rokok dan gorengan selalu siap
untuk disantap. Pak Tukiran tidak ke ladang, belakangan ia sangat sering di
rumah. Pak Tukiran tidak ke ladang karena harga kacang panjang sangat murah,
padahal kacang panjang tersebut sudah pada masa panen. Sehingga tanaman
kacang seluas 3 rante tersebut dibiarkan menunggu harga naik kembali.
Sementara anak dan menantunya sering mengutip kacang tersebut untuk menjadi
sayuran di rumah dan dibagikan ke tetangga. Usianya yang sudah 60-an tahun
membuatnya jarang mengolah lahan. Hanya sesekali saja dan kebanyakan
waktunya dihabiskan di rumah, duduk di teras atau beranda dapur sambil
melihat-lihat pesawat yang lewat.
Satu minggu di lapangan selalu bersama Pak Tukiran, termasuk
mewawancarai informan lain. Pak Tukiran sering memanggil informan yang lain
ketika mereka sedang lewat rumah Pak Tukiran. Sungguh menjadi hal yang luar
biasa karena bisa mewawancarai 3 orang sekaligus. Ini berlangsung terus sampai

26
Universitas Sumatera Utara

tiga hari. Terkadang beberapa orang lain ketika pulang dari sawah mampir ke
tempat Pak Tukiran.
Buk Ngatini merupakan satu-satunya informan perempuan. Penulis selalu
mengunjungi rumahnya di sore hari. Aktivitasnya di pagi hari adalah berjualan
jamu keliling dengan mengayuh sepeda mini yang sudah kelihatan kusam. Di
siang harinya, Buk Ngatini juga menyempatkan pergi ke sawah sehingga hanya
pada sore menuju senja Penulis dapat mewawancarainya.
Sekitar satu bulan lebih Penulis mengerjakan penulisan awal yaitu
mendengarkan dan mencatat hasil rekaman wawancara. Selama tidak di
lapangan, Penulis bimbingan dengan dosen pembimbing Buk Sabariah untuk
diskusi mengenai penulisan. Dan setelah itu Penulis kembali ke lapangan pada
bulan Maret, seminggu sekali Penulis selalu menyempatkan mampir sambil
pulang ke kampung. Penulis selalu mampir ke lapangan, mengunjungi kantor
kepala desa Perkebunan Ramunia, warung-warung di dusun Anggrek, dan ke
Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Deli Serdang untuk mencari data
sekunder dan mewawancarai pihak BPN tentang tanah di dusun Anggrek Baru
Desa Perkebunan Ramunia.

27
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Perkebunan Tembakau Deli di Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak (1974-1996)

3 111 101

Evaluasi Kesesuaian Lahan di Kebun Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang untuk Tanaman Pepaya ( Carica papaya L. ) dan Pisang ( Musa acuminata COLLA )

0 62 66

Survey dan Pemetaan Tingkat Salinitas (DHL) Pada Lahan Sawah di Desa Sei Tuan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang

9 62 42

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Antara Petani Pengguna Pompa Air Dan Petani Pengguna Irigasi Pada Lahan Irigas) Di Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus: Desa Sidoarjo II Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang)

2 36 140

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

4 35 117

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 14

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 17

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

3 4 3

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1