Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

(1)

LAMPIRAN


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 2006.Kontruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Barker, Chris. 2006. Cultural Studies: Teori dan Praktik, Terj. Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana

Bachriadi, Dianto. 2012. Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal. Perjuangan Hak Atas Tanah Di Indonesia. Bandung: Agrarian Resource Center (ARC)

Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif, Edisi ke Dua. Jakarta: Kencana

Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar

Jenks, Chris. 2013. Culture Studi Kebudayaan. Terj. Erika Styawati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Koentjaraningrat. 1987.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Balai Pustaka Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya

Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yoyakarta: Bayu Indra Grafika

Mustain. 2007. Petani VS Negara, Gerakan Sosial Petani Melawan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media


(3)

Pelzer, Karl J. 1985. Toean Keboen dan Petani 1863-1947. Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Purnomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa, Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama

Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaannya, terj. Daniel Dhakidae. Jakarta: CV Rajawali

Scott, James C.1993.Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Scott, James C.1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES

Soemardjan,Selo. 1998.Migrasi, Kolonialisasi, Perubahan Sosial. Jakarta: Pustaka Grafika

Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Terj. Misbah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Stoler, Ann Laura. 2005. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979. Jakarta: Karsa

Styobudi, Imam. 2001. Menari Di Antara Sawah Dan Kota, Ambiguitas Diri, Petani-Petani terakhir di Yogyakarta. Magelang:

Indonesiantera

Taylor, Steven J, dkk. 1992, Pengantar Metode Penelitian Kualiitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu-ilmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional

Wiradi, Gunawan, et al.2002. Reformasi Pertanian, Pemberdayaan Hak-hak atas Tanah ditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik,


(4)

Ekonomi, Hankam, Teknis, Agama dan budaya. Bandung: Mandar Maju

Wolf, Eric. 1983. Petani Tinjauan Antropologis,terj. YIIS. Jakarta: CV. Rajawali

Sumber Lain

Khairina, Wina. 2013. Konflik Agraria Petani Desa Pergulaan VS PT London Sumatera Indonesia Tbk. Medan, Tesis Magister Antropologi Sosial, Unimed (tidak diterbitkan)

Suparlan, Parsudi. 1981.Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama sebagai sasaran penelitian Antropologi. Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (Indonesia Journal Of Cultural Study), Juni, Jilid X nomor 1, Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia Internet

11.34 WIB

WIB.

Tanah dan Petani


(5)

BAB III

PERJUANGAN LAHAN

3.1. Sejarah Lahan di Perkebunan Ramunia

Secara khusus, Perkebunan Ramunia (Ramoenia Cultuur) berdiri pada tahun 1896 di wilayah Kesultanan Serdang. Sebelum tahun 1870-an, tanah di Perkebunan Ramunia merupakan lahan dari kesultanan Serdang. Belanda yang melihat potensi tanah yang subur, sedangkan lahan masih banyak yang tidak dikelola oleh kesultanan dan masyarakat, maka sejak 1870 pengusaha-pengusaha datang untuk menyewa perkebunan melalui kontrak kepada pihak kesultanan yang ada di Sumatera Timur. Pada masa ini mulai memasuki era yang disebutkan oleh Wiradi (2002; 169) bahwa hal ini merupakan tonggak penting sejarah agraria di Indonesia. Sejak tahun-tahun ini, mulailahmasuk modal swasta Eropa mencengkram bumi Indonesia. Masa ini antara tahun 1870-1900 yang disebut jaman liberal9

Menjelang tahun 1900, Pelzer (1985; 90-126) menuliskan bahwa terdapat permasalahan yang sedang berkembang yaitu aspek hukum konsesi. Konsesi yang diatur antara para penguasa onderneming (penguasa perkebunan) dan para pangeran dari kerajaan-kerajaan yang diperintah secara tidak langsung di

.

9

Pengelolaan administrasi secara modern oleh perkebunan-perkebunan besar diharapkan dapat ditiru oleh petani dalam mengelola usaha taninya, Gelderen dalam Wiradi mengomentari bahwa perkembangan perusahaan asing telah menjadikan rakyat pribumi suatu bangsa buruh, dan dengan demikian Hindia Belanda (yaitu Indonesia) menjadi buruh

diantara bangsa-bangsa. Gunawan Wiradi, et al, Reformasi Pertanian, Pemberdayaan

Hak-hak atas Tanahditinjau dari aspek Hukum, Sosial, Politik, Ekonomi, Hankam, Teknis,


(6)

Sumatera Timur. Permasalahan ini selalu menghindari penyelesaian yang memenangkan pengalihan semua konsesi menjadi sewa menyewa jangka panjang yang banyak mempunyai keuntungan hukum bagi para penguasa perkebunan. Hal ini berakibat pada penduduk pribumi yang menjadi korban dari suatu komplek persekutuan golongan golongan yang berkepentingan termasuk raja. Selama perang dan setelah kemerdekaan, terdapat tipe-tipe penduduk setempat dan imigran baru berasal dari Tanah Karo dan Tapanuli yang datang ke Sumatera Timur. Dalam hal ini, buruh perkebunan memperoleh hak sementara untuk mengolah lahan. Sementara itu imigran dari Tanah Karo dan Tapanuli juga melakukan pengolahan terhadap lahan. Sementara penduduk setempat juga mengolah lahan perkebunan yang dekat dengan desa.

Masyarakat Sumatera Timur dan buruh yang didatangkan dari Jawa merupakan bagian dari integral dari tatanan sosial Sumatera Timur. Hal ini menunjukkan bahwa Sumatera Timur merupakan area dimana daerah yang masyarakatnya beragam yaitu Melayu, Karo, dan sebagian kecil Simalungun. Terdapat juga masyarakat Jawa yang tinggal di pondok-pondok dan hidup menetap di Sumatera Timur. Maka itu jika melihat kondisi sekarang, tidak sulit untuk menemukan orang Jawa atau bahkan perkampungan yang dihuni oleh orang Jawa di wilayah Sumatera Timur yang masuk dalam Provinsi Sumatera Utara. 3.2. Kronologi Perubahan Kepemilikan Lahan

Cerita dari Pak Tukiran mengawali kisah perjuangan warga masyarakat penunggu perkebunan Ramunia.

“Dulu Belanda itu meninggalkan perkebunan sekitar tahun 1952 atau 1953 gitulah, pada saat itu orang-orang tua kita


(7)

merupakan buruh perkebunan, ya kerja sama Belanda, tapi kebutuhan orang-orang tua kita dipenuhi sama Belanda itu, mulai dari beras, pakaian, rumah, dan kebutuhan lain. Waktu Belanda pigi dari sini, orang itu menawarkan kepada kita untuk kembali pulang ke Jawa tapi hanya sebagian saja yang pulang, orang tua kita banyak juga yang gak mau pulang, namanya uda berpuluh-puluh tahun di sini sejak tahun 1917 didatangkan dari Jawa.”

Keterikatan terhadap sebuah wilayah yang sudah menjadi tempat tinggalnya, walaupun bukan kampung halamannya. Masyarakat belum mengetahui bagaimana nasibnya ke depan, apakah mereka masih menjadi buruh di perkebunan tersebut, atau apakah mereka mendapatkan lahan. Hal ini dikarenakan tidak ada jaminan dari pihak Belanda bahwa tanah perkebunan dapat diolah oleh masyarakat. Tentu ini menjadi dilema di kalangan masyarakat sendiri. Kondisi ini tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk bertahan di perkebunan tersebut, tidak bertahan dalam hal ini yaitu hubungan mereka dengan pemilik perkebunan atau tuan tanah yang pergi meninggalkan mereka sehingga berdampak pada pekerjaan dan kebutuhan sehari-hari.

Pandangan yang dipahami oleh Pak Tukiran berbeda dengan kondisi keluarnya perusahaan Belanda yang keluar dari Indonesia secara umum dan secara khusus di Sumatera Timur. Semua Perkebunan milik pengusaha dari Belanda dinasionalisasikan sesuai UU No. 86 Tahun 1958 yang langsung ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada tanggal 27 Desember 1958. Catatan-catatan penjelasan Mengungkapkan tujuan Undang-undang yakni, untuk menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia, memperkuat kemampuan nasional, dan menghapus diskriminasi ekonomi dan penaklukan ekonomi kolonial (Pelzer, 1985; 215). Sejak ini, Perusahaan Belanda resmi keluar dari Indonesia dimana


(8)

kemudian beralih kepada pengusaha-pengusaha peribumi. Dalam hal ini, sangat jelas perbedaan pemahaman dari seorang informan, Pak Tukiran memahami Belanda keluar dari perkebunan pada tahun 1952. Menurut informasi dari Pak Tukiran, pada tahun 1952 Belanda sudah tidak lagi mengolah perkebunan sehingga masyarakat buruh di perkebunan Ramunia bercocok tanam di Perkebunan. Sementara itu, pada masa ini Perusahaan Belanda masih mengupayakan perkebunan tersebut kepada pemerintah.

Secara umum, perkebunan yang ditinggalkan oleh Belanda banyak memunculkan masalah-masalah baru, terutama masalah kepemilikan lahan, apakah sebagian diberikan kepada masyarakat penunggu yang merupakan bekas buruh perkebunan tersebut. Hal ini memicu timbulnya konflik lahan di Indonesia, terutama di Sumatera Timur. Masyarakatmemilih untuk tetap tinggal dan bertahan di lingkungan yang telah lama mereka diami dengan arah kehidupan yang akan berubah dan belum jelas. Apabila masyarakat pulang ke Pulau Jawa, maka mereka tinggal di kampung halamannya yang asli dan bahkan menurut informan bahwa apabila mereka kembali ke Jawa pada masa itu, mereka tidak tahu harus ke mana dan tinggal di mana. Ini sama-sama menimbulkan suasana yang berbeda dan tidak mengetahui bagaimana nasib mereka ke depannya. Hidup menjadi perjuangan baru yang harus benar-benar diperjuangkan, menghidupi anak cucu yang membutuhkan asupan gizi untuk bertahan. Pak Tukiran berkata,

”Selesai Belanda pigi dari sini, kira-kira tahun 1959 itu ada pengusaha orang Tionghoa, kalo ga salah namanya Huat Tseng, itulah dia yang mengolah perkebunan kelapa ini, dia mempekerjakan orang-orang tua kami dan kami yang sudah bisa kerja, tapi kalo Wawak dulu Yan masih sekolah SR (Sekolah Rakyat), tapi ini Cuma 2 tahun aja, baru setelah itu


(9)

masuklah PT Karya Bumi.” Itu pun sekitar tahun 60-an gitulah, namanya uda ganti jadi PT Gelorata. Barulah sejak PT ini yang mengolah perkebunan, yang tinggal di pondok dapat jatah tanah 15 rante per kepala keluarga.”

Buruh-buruh perkebunan Ramunia dapat mengolah lahan di bawah perkebunan kelapa. Berbagai tanaman seperti padi darat, sayuran dan lainnya ditanam. Dalam hal ini, buruh mempunyai pendapatan sampingan yang dapat menambah perekonomian. Perubahan status dalam masyarakat berlaku, yaitu dari yang berprofesi sebagai buruh menjadi petani. Bagi mereka sebagai petani akan mengolah lahan dan menikmati hasilnya dengan sendiri merupakan hal yang mempunyai kenikmatan tersendiri. Walaupun latar belakang masyarakat bukan dari keluarga petani, tetapimasyarakat dusun Anggrek di sini merupakan petani yang masih bekerja di tempat lain, karena jika mengharapkan dari hasil pertanian, kebutuhan masih tidak cukup. Hal ini membuat masyarakat masih tetap bekerja di perkebunan kelapa. Kebijakan yang dibuat oleh perusahaan perkebunan tersebut mempunyai latar belakang kenapa hal ini dilakukan.

Terkait dengan hal di atas, perkebunan yang semula merupakan bekas hak konsesi NV Sinembah Mattscapaaj diberikan oleh Menteri Pertanian dan Agraria berdasarkan surat keputusan Nomor SK.II/26/Ka/63 pada tanggal 30 September 1963 kepada PT. Karya Bumi dengan HGU (Hak Guna Usaha) seluas 738 hektar selama 25 tahun. Dalam hal ini PT Karya Bumi merupakan milik pengusaha suku Tinghoa yang hanya sebentar mengelola perkebunan tersebut. Kemudian sesuai


(10)

dengan akte perubahan Nomor 30 tanggal 11 Oktober 1963, PT Karya Bumi berubah namanya menjadi PT Gelorata10

Pada tahun 1984, aset tanah Perkebunan Ramunia dikuasai oleh Puskopad A Dam I/BB berdasarkan Surat Perintah Panglima Kodam II/BB Letjen (Purn) Harsudiyono Hartas tanggal 11 September 1984 No. Sprin/830/IX/1984

.

“ya PT, Gelorata itu ngasi tanah ke kami, dijatah 15 rante per kepala keluarga.” Tentu saja ini menumbuhkan pertanyaan mengapa atau kenapa. “PT Gelorata ini tidak seperti waktu Belanda dulu, kalo Belanda dulu selalu ngasi kebutuhan kami semua, sedangkan PT Gelorata ini tidak, ya ini lah termasuk yang dikasi orang itu, kami boleh ngerjain tanah yang uda dijatah.”

Masyarakat penunggu yang diistilahkan oleh masyarakat dusun Anggrek Baru pada waktu itu mendapat jatah perkebunan tanpa harus membayar sewa, berbeda dengan masyarakat dari beberapa desa lain yang harus menyewa lahan untuk bisa bercocok tanam di wilayah perkebunan.Sekitar 20 tahun masyarakat mengelola lahan perkebunan, perkebunan tersebut diselingi oleh berbagai tanaman masyarakat. Ini tidak berlaku secara terus menerus, tetapi terdapat suatu kondisi yang berbeda terjadi dimana masyarakat sudah tidak dapat lagi bercocok tanam di perkebunan Ramunia bersamaan dengan perubahan status perkebunan tersebut.

11

10

Data BPN Deli Serdang, Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor: 3/HGU/BPN/93 Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama Puskopad A DAM I/Bukit Barisan. 11ibid

. Masuknya Puskopad ke Perkebunan Ramunia membuat perumahan, tanah yang ditempati dan dikelola masyarakat digusur secara paksa. Terdapat 4 pemukiman buruh perkebunan yaitu Pondok Tengah, Pondok Kresek, Pondok Lembu, dan Pondok Pasar 12. Kemudian ke empat Pondok ini direlokasi oleh Puskopad DAM I BB. Pemukiman masyarakat sebelumnya tersebar di seluruh Wilayah


(11)

Perkebunan seluas 738 hektar. Tapi penggusuran tersebut membuat pemukiman 125 kepala keluarga yang tersebar di 768 hektar itu direlokasi ke lahan yang luasnya hanya 5 hektar. Rumah penduduk yang terbuat dari kayu diangkat bersama-sama oleh masyarakat ke tempat relokasi. Pemindahan ini dilakukan secara tergesa-gesa. Hal ini terjadi karena alat berat telah siap untuk merobohkan rumah sehingga masyarakat tidak berani melawan dan terpaksa harus menerima penggusuran tersebut.

Pergantian kepemilikan lahan ini memicu penggantian perkebunan tersebut. Penggantian ini membuat perkebunan yang sebelumnya ditanami kelapa dan diselingi tanaman masyarakat berubah menjadi lahan kelapa sawit. Hal ini membuat masyarakat tidak dapat bercocok tanam lagi di lahan tersebut sehingga mereka kembali bekerja menjadi buruh di perkebunan. Sebagian dari masyarakat bekerja di tempat lain sebagai pekerja bangunan, tambak dan lain sebagainya. Semenjak ini terjadi, banyak juga masyarakat yang merantau ke daerah lain. Keadaan masyarakat menjadi semakin susah terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena pengalihan lahan yang menjadi milik Puskopad dan dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Lahan perkebunan mulai ditanami kelapa sawit dimulai pada tahun 1984 oleh organisasi ABRI tersebut. Lahan yang dipakai untuk kelapa sawit seluas 200 hektar, kemudian pada tahun 1985 tanaman kelapa sawit semakin luas ditanami di bekas lahan perkebunan kelapa tersebut. Pada tahun ini, seluas 300 hektar sawit di tanam lagi sehingga luas tanaman kelapa sawit ini menjadi 569,32 hektar. Kemudian pada tahun 1986, 12 hektar lahan menjadi milik beberapa pensiunan


(12)

ABRI, lahan ini di luar lahan yang ditanami kelapa sawit, selanjutnya sampai tahun 1989 sekitar 19 hektar lahan bertambah. Lahanini diperuntukkan untuk perumahan pensiunan ABRI.Di antara lahan perkebunan tersebut, terdapat sekitar 161,2 hektar yang tidak ditanami kelapa sawit dan tidak diolah. Lahan ini dibiarkan begitu saja, tetapi walaupun lahan tersebut kosong masyarakat tidak dapat mengolah lahan tersebut. Lahan di luar HGU (Hak Guna Usaha) tersebut yang luasnya 161,2 hektar tidak termasuk dalam HGU Puskopad. Tanah ini berada di luar di Blok 18, 25, 26, dan 27. Lahan ini dikelola oleh pensiunan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa lahan tersebut tidak diolah atau ditanami kelapa sawit, apakah lahan tersebut diperuntukkan untuk masyarakat penunggu atau lahan tersebut dibiarkan begitu saja menjadi semak belukar. Sementara itu masyarakat Desa lain yaitu desa Ramunia 1 berhasil merebut tanah tersebut seluas 70,2 hektar dari pensiunan TNI tersebut dan selanjutnya kepala daerah Tingkat 2 Deli Serdang mengakui pengambilan lahan oleh warga Ramunia 1 tersebut pada tahun 1990. Kemudian hal ini merupakan salah satu yang mendasari kenapa masyarakat memperjuangkan lahan tersebut sejak akhir tahun 1991 sampai 1994.

3.3. Perjuangan Lahan

Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-Undang Dasar membuktikan bahwa kekayaan negara termasuk dalam hal ini lahan merupakan hak bagi masyarakat. Kemudian pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut dipertegas lagi oleh


(13)

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang-Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-Undang ini bertujuan untuk menghilangkan dualisme di antara hukum-hukum tanah. UUPA berpedoman pada hukum-hukum adat sebagai sumber hukum-hukum rakyat. Tujuannya bagus, tetapi praktis tinggal nama, terutama setelah G-30-S PKI. Saragih menegaskan bahwa Mandat dari UU No. 5 Tahun 1960 sangat tegas ingin mendobrak ketidakadilan struktural untuk mempersiapkan prakondisi sosial demi membagun kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur12

Perjuangan masyarakat bermula pada akhir tahun 1991, saat itu Pak Tukiran yang merupakan informan kunci penulis menyebutkan bahwa saat itu mereka sebenarnya tidak tahu bagaimana cara berjuang mendapatkan lahan seluas 91 hektar yang tidak ditanami oleh organisasi ABRI. Dasar perjuangan bagi masyarakat adalah bahwa mereka lahir dan dibesarkan di desa tersebut, masyarakat yang berjuang ini merupakan generasi kedua, mereka lahir dan besar di Perkebunan Ramunia sedangkan orang tua mereka merupakan pendatang atau

. Masyarakat di Desa Perkebunan Ramunia merupakan masyarakat buruh yang semakin tidak jelas kehidupannya. Tidak jelas dalam hal ini yaitu mengenai status masyarakat sebagai masyarakat penunggu, tidak memiliki apa-apa dan hanya tinggal di barak-barak peninggalan Belanda yang merupakan tuan tanah pada masa penjajahan dulu.

3.3.1. Awal Perjuangan Masyarakat

12

Henry Saragih, Makalah Serikat Petani Indonesia “Urgensi Reforma Agraria Sebagai

Model Penyelesaian Konflik dan Pemenuhan Hak Asasi Petani,” Disampaikan pada diskusi Publik


(14)

buruh yang didatangkan oleh perkebunan Belanda. Masyarakat tidak bisa menduduki atau mengolah lahan, padahal terdapat lahan yang tidak diolah seluas 91 hektar, masyarakat selalu bertanya-tanya sebenarnya tanah itu adalah hak untuk masyarakat penunggu bekas buruh perkebunan Ramunia. Dalam hal ini masyarakat tidak memahami bagaimana sebenarnya realisasi dari UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tahun 1960 yang mengatakan bahwa tanah bekas perkebunan Belanda menjadi milik masyarakat. Ini menegaskan bahwa semangat sebuah perjuangan dan ingatan yang tajam untuk mengingat masa lalu. Selain itu dalam UUPA pasal 34 ayat , menyatakan bahwa salah satu yang menyebabkan hapusnya HGU (Hak Guna Usaha) adalah ditelantarkan. Ini menguatkan masyarakat menduduki lahan 91 hektar yang tidak diusahai oleh perkebunan Puskopad.

3.3.2. Masuknya BITRA dan Mahasiswa Sebagai Pendamping

Berawal dari keikutsertaan Pak Tukiran dengan sebuah salah satu partai politik, Pak Tukiran memiliki relasi dengan orang-orang penting di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah seorang politisi partai tersebut mengatakan kepada Pak Tukiran bahwa lahan seluas 91 hektar bisa diperjuangkan asalkan masyarakat mau memperjuangkannya. Pak Tukiran tertarik apa yang dikatakan oleh seorang teman politisinya, tapi dia tidak memahami bagaimana cara berjuang mendapatkan lahan sehingga meminta bantuan kepada temannya tersebut. Kemudian dihubungkanlah masyarakat dengan BITRA.


(15)

BITRA13

Salah satu aktivitas yang dilakukan BITRA

(Bina Keterampilan Pedesaan) Indonesia atau yang sering disebut BITRA adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kelahiran BITRA Indonesia dimotori oleh 5 orang anak muda (saat itu) yang terdiri dari Soekirman, Wahyudhi, Sabirin, Swaldi dan Listiani, didasari oleh keberpihakan kepada masyarakat miskin, lemah, kurang mampu dan kurang beruntung. Berangkat dari prinsip dasar itu, sejak tahun 1986, BITRA Indonesia mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan pengembangan sumber daya manusia pedesaan di Sumatera Utara. Sejak 1986 BITRA Indonesia mulai melaksanakan kegiatan-kegiatan pengembangan sumberdaya manusia di pedesaan untuk wilayah Sumatera Utara dengan cara melakukan penguatan melalui kelompok-kelompok masyarakat.

14

adalah mendampingi petani dalam pembelaan kasus-kasus atas tanah rakyat di empat kabupaten antara lain Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Padang Lawas (Palas) Deli Serdang, Langkat & Aceh Timur. Program advokasi BITRA Indonesia berbentuk kegiatan yang bersifat litigasi dan non litigasi yang dilakukan melalui Pendidikan Rakyat, Kampanye Kasus-kasus Tanah Rakyat, Kampanye Isu Agraria, Membangun Jaringan dan Studi Banding. Selain itu, memperkuat kapasistas kelembagaan rakyat, seperti penguatan dan pengembangan organisasi rakyat, di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi, merupakan pengembangan yang dilakukan di belakang hari pada program advokasi ini. Advokasi kebijakan juga dilakukan dalam bentuk mendorongpemerintahan lokal (kabupaten dan propinsi) membuat


(16)

aturan (Perda) yang berpihak pada rakyat. Perda-perda yang didorong diawali dengan riset ini adalah Perda-perda yang bersifat terkait dengan dunia pertanian, agraria dan pemberdayaan masyarakat pedesaan.

”Dulu waktu datang BITRA ke sini, Bapak nggak yakin apa bisa.... ya karna mereka itu masih muda-muda, masih lajang, ada yang masih kuliah lagi, ya sebaya-baya kau lah Yan... terus banyak juga mahasiswa yang datang ke kita untuk membantu, mereka nginap dan tinggal sama kita..!”

Pelaksana program di BITRA sendiri masih tergolong usia muda, mereka turut membantu perjuangan masyarakat. Sebelum masuknya BITRA dan para mahasiswa, masyarakat sudah pernah berjuang dengan sendirinya. Perjuangan dilakukan oleh 125 kepala keluarga meliputi lebih kurang 500 orang masyarakat, terdiri dari 300 laki-laki, dan 200 perempuan. Kemudian pada tahun 1992, masyarakat mendirikan BPMR (Badan Perjuangan Masyarakat Ramunia) yang merupakan sebuah organaisasi rakyat dan sebagai wadah bagi perjuangan yang dilakukan.

Dalam Mustain (2007) dijelaskan mengenai proses memobilisasi suatu gerakan perlawanan dipengaruhi oleh seorang aktor yang berpeluang mendayagunakan sejumlah potensi nilai-nilai lokal. Dalam hal ini jelas Pak Tukiran merupakan orang yang memobilisasi masyarakat dusun Anggrek untuk berjuang mendapatkan lahan.

Masuknya BITRA semakin membuat perjuangan masyarakat semakin kuat. Pendampingan yang dilakukan BITRA menguatkan masyarakat secara organisasi. Organisasi ini menjadi sangat baik yaitu meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara, tim lapangan, tim keamanan, tim logistik, tim gerakan massa, kurir,


(17)

tim dokumentasi, tim data dan peta. Dalam melakukan perjuangan, masyarakat juga mengumpulkan uang iuran sebesar Rp 2000,- perbulannya. Ini semua dikelola oleh BPMR (Badan Perjuangan Masyarakat Ramunia).

Perjuangan masyarakat ini dilakukan dengan cara menduduki lahan yang sedang diperjuangkan. Tapi beberapa kali mereka melakukan hal ini, tetap saja gagal, lahan yang mereka tanami selalu dihabisi oleh pihak perkebunan. Pak Tukiran dapat dikatakan sebagai pemimpin. Dalam hal ini pemimpin masyarakat dalam melakukan perjuangan tanah, Pak Tukiran sebagai sosok pemberani yang diikuti oleh masyarakat. masyarakat menunjuk Pak Tukiran sebagai pemimpin mereka karena keberaniannya untuk berjuang dan memahami segala hal tentang hak-hak masyarakat penunggu. Seperti apa yang dikatakan Pak Misran,

“Dulu Pak Tukiranlah pemimpin kami ini, ooo kalo dulu dia paling berani ni, makanya ya kami jadikan pemimpin kami, ya kami pun jadinya semangat untuk berjuang, apalagi semenjak dateng BITRA sama mahasiswa ke sini!.”

Peran seseorang sangat berpengaruh dalam memotivasi orang-orang di sekitarnya. Beberapa kali sebelum masuknya BITRA dan mahasiswa mendampingi perjuangan masyarakat, perjuangan selalu berujung kegagalan. Ini justru tidak menurunkan semangat seorang Pak Tukiran yang masih terus berusaha sehingga ini berdampak pada semangat masyarakat lainnya. Usaha Pak Tukiran membuahkan hasil yaitu dengan masuknya BITRA dan mahasiswa membantu perjuangan masyarakat. Awal kedatangan BITRA dan mahasiswa ke Perkebunan Ramunia membuat Pak Tukiran sempat tidak yakin karena yang datang adalah pemuda-pemuda yang usianya 20-30 tahun, tetapi ini tidak membuat Pak Tukiran menjadi pesimis, malah semakin membuatnya semangat.


(18)

Pak Tukiran sangat senang karena mereka didukung oleh pemuda-pemuda berpendidikan yang peduli akan kondisi mereka. Seperti yang dikatakan oleh Pak Tukiran,

“Ya BITRA dan mahasiswa selalu itu ngajak kami diskusi, ya kami bingung, apa itu diskusi, kami mana tau istilah itu?.”

Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan masyarakat dusun Anggrek Baru ini mencerminkan kondisi keterpaksaan yang menyebabkan perlawananan itu dibangkitkan. Perlawanan yang dilakukan selalu memperoleh hasil yang tidak pasti dan bahkan selalu gagal. Masyarakat berusaha bercocok tanam di lahan yang diperjuangkan dan selalu berhujung pengrusakan tanaman yang dilakukan oleh pihak Puskopad. Perlawanan yang dilakukan tidak langsung memperoleh hasil, tapi bisa dikatakan sebagai proses dari perjuangan dan tetap terus berupaya. Pelaku-pelaku utama perjuangan baik dari masyarakat atau pendampingnya yang dalam hal ini BITRA bergerak di bawah perlindungan dan larut dalam penduduk sipil untuk bersembunyi.

Salah satu strategi dalam memperjuangkan lahan yaitu dengan Reclaiming(Upaya mengklaim) dengan menduduki tanah yang diperjuangkan. Masyarakat membangun gubuk-gubuk di tanah yang direklaiming, menanami dengan tanaman pangan seperti jagung, pisang dan lain sebagainya. Dalam melakukan pendampingan, pihak BITRA dan mahasiswa menginap dan tinggal bersama masyarakat. Mereka juga ikut dalam aktivitas keseharian masyarakat seperti bercocok tanam di lahan yang diperjuangkan.

BITRA dan Mahasiswa yang mendukung dan memperkuat perjuangan lahan masyarakat membuat pihak Puskopad mencari mereka serta berupaya membatasi


(19)

orang-orang yang membantu perjuangan masyarakat dusun Anggrek. Ini membuat Puskopad melakukan penjagaan di sekeliling lahan yang diperjuangkan masyarakat. Pihak aparat negara dalam hal ini ABRI langsung berada dan berjaga-jaga di lahan yang sedang diperjuangkan masyarakat waktu itu. Kegagahan aparat dengan pakaian dan senjata tidak menciutkan nyali masyarakat untuk tetap berjuang, masyarakat beserta pendukungnya tetap bersatu, berdiskusi dan membangun rencana-rencana dan strategi dalam berjuang sambil menduduki lahan perjuangan. Bukan aparat negara saja yang bisa berjaga-jaga, masyarakat juga melakukan penjagaan yang ketat di setiap sudut lahan yang di perjuangkan, dan menjaga tempat yang menjadi area musyawarah masyarakat. Biasanya pihak-pihak yang berpengaruh dalam perjuangan tersebut sering bersembunyi dari pihak-pihak aparat negara yang berjaga. Mereka selalu jadi sasaran untuk ditangkap, termasuk pihak BITRA dan mahasiswa, tetapi penangkapan justru tidak pernah terjadi. Pihak BITRA dan Mahasiswa tidak juga menyerah begitu saja. Mereka membuat strategi untuk masuk ke perkampungan dengan menyamar sebagai tukang pisang. Beberapa orang dari BITRA sampai membuat KTP (Kartu Tanda Penduduk) sebagai masyarakat Desa Perkebunan Ramunia. Ini membuat masyarakat semakin percaya diri untuk berjuang mendapatkan lahan tanpa perduli dengan sistem pemerintahan Orde Baru pada saat itu.

Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan “sungguh-sungguh” dengan perlawanan yang bersifat “insidental”. Perlawanan “insidental” ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d)


(20)

dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominan yang ada. Sebaliknya perlawanan “sungguh-sunguh” ditandai dengan: (a) lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih, (c) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi. Scott juga mengatakan bahwa apapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani dapat dilihat sebagai perlawanan seperti aksi mencuri hasil panen jika hal tersebut sesuai dengan tujuan definisi perlawanan. Perlawanan petani juga tidak harus dalam bentuk aksi bersama.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa perjuangan lahan yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan secara sungguh-sungguh. Masyarakat mempunyai organisasi yang menjadi ruang bagi terwujudnya persatuan untuk mencapai tujuan bersama. Walaupun terdapat hal yang berbeda dalam organisasi BPMR (Badan Perjuangan Masyarakat Ramunia) yaitu seolah-olah organisasi ini tidak memiliki struktur. Ini menjadi strategi untuk mencegah pihak Puskopad yang selalu mencari tau pemimpin organisasi tersebut sehingga dalam berjuang, masyarakat mengatasnamakan dirinya sebagai BPMR. Perjuangan tersebut dilakukan masyarakat tanpa pamrih karena bagi masyarakat ini adalah perjuangan bersama dan cita-cita bersama.

3.3.3. Berjuang Melalui Jalur Hukum

Perjuangan ini dilakukan secara terus menerus demi terwujudnya cita-cita masyarakat dusun Anggrek Baru atau masyarakat penunggu. Perjuangan masyarakat melalui hukum di dampingi oleh pengacara-pengacara atau tim kuasa hukum LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Medan yang dihubungkan oleh BITRA


(21)

untuk membela masyarakat. Perjuangan ini biasa dilakukan dengan membuat surat yang ditujukan kepada pengadilan, badan pertanahan, dan kepada anggota DPRD dengan perihal meminta penyelesaian. Adapun dana untuk membayar pengacara-pengacara yang mendampingi masyarakat berasal dari dana kolektif atau dana kutipan kepada masyarakat yang sedang berjuang. Sungguh heran apabila mendengar masyarakat yang tidak memiliki kerja yang tetap, dan melakukan perjuangan tanah memiliki uang. Tapi masyarakat rela berkorban demi apa yang menjadi impiannya yaitu memperoleh lahan. Pada saat berjuang, masyarakat sambil bekerja tidak tetap menjadi buruh tani, apabila terdapat dana untuk keperluan perjuangan, masyarakat rela menyisihkan uangnya untuk hal-hal seperti ini. Bahkan sampai meminjam uang kepada kerabat dan teman. Ini juga dilakukan oleh Pak Tukiran dan beberapa orang informan. Berjuang melalui jalur hukum ini tidak membuahkan hasil bagi masyarakat, tapi justru tidak menciutkan semangat untuk tetap berjuang.

3.2.4. Aksi Demonstrasi

Berbeda apabila perjuangan ini dilakukan pada era sekarang yang serba terbuka dan setiap orang bebas berbicara politik. Perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat terjadi di era orde baru yang dikenal dengan rezim yang otoriter, masyarakat tidak berhak bersuara, apalagi sampai mengkritik pemerintah. Ditambah lagi perjuangan yang dilakukan masyarakat dusun Anggrek Baru adalah melawan pemerintah dan aparat negara yang langsung turut serta dalam kepemilikan lahan perkebunan Ramunia.


(22)

Masuknya BITRA dan mahasiswa ke Dusun Anggrek membuat perubahan. Dalam pembicaraan itu terdengar suara tertawa dari Pak Misran yang sedang ngobrol santai bersama,

“Hahahahaha, lucu lah kalo inget itu, sering kali orang itu ngajak diskusi, rupanya itu diskusi ya ngumpul dan ada yang dibahas, ya kayak musyawarah gitu, baru tau lah kita. Masyarakat penunggu selalu diajak berdiskusi, diskusi biasa dilakukan malam hari, kalo diskusi ya kita membahas apa saja yang mau kita perjuangkan, misalnya kalo kita mau aksi, terus menduduki lahan yang kita perjuangkan, pokoknya banyak lah yang selalu kita diskusikan!.”

Diskusi dilakukan untuk membicarakan strategi-strategi yang akan dilakukan saat menjelang turun ke jalan. Turun ke jalan dalam hal ini yaitu melakukan aksi demonstrasi ke kantor pemerintahan. Masyarakat Desa Perkebunan Ramunia merupakan orang-orang yang pertama melakukan aksi demonstrasi di Sumatera Utara saat zaman orde baru, padahal zaman orde baru sangat anti dengan aksi-aksi demonstrasi. Pada masa orde baru, masyarakat tidak berani melakukan aksi demonstrasi.

“Dulu tahun 1994, kita lah yang pertama kali melakukan aksi demontrasi, itu kita lakukan pertama di depan kantor DPRD Kabupaten Deli Serdang, pas kita aksi waktu itu, banyak kali orang berhenti nengokin kita.”

Pak Tukiran juga mengatakan bahwa mereka awalnya takut melakukannya, tapi ketakutannya hilang karena apa yang dituntut adalah hak-hak masyarakat. Selain itu, ketakutan tersebut menjadi hilang karena persatuan masyarakat yang kuat serta dalam melakukan aksi-aksi demonstrasi, BITRA dan mahasiswa selalu mendampingi masyarakat.


(23)

Aksi Massa atau Demonstrasi merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dihadapan pengambil kebijakan. Demonstrasi melibatkan BITRA dan mahasiswa,selain menduduki lahan yang diperjuangkan, demo merupakan cara agar tuntutan masyarakat dapat didengar oleh pengambil kebijakan. Walaupun saat itu merupakan zaman Orde Baru, dimana masyarakat ataupun siapapun dilarang membahas hal-hal yang berbau politik, apalagi sampai melakukan aksi demonstrasi. Tetapi masyarakat dusun Anggrek Baru, BITRA, dan mahasiswa tidak menghiraukan hal tersebut demi berjuang untuk menuntut hak-hak masyarakat.

Berbagai aksi demonstrasi dilakukan di Kantor DPRD Deli Serdang, Kantor Bupati Deli Serdang, Kantor DPRD Sumatera Utara, dan Kantor Gubernur Sumatera Utara. Aksi demonstrasi dilakukan sampai berhari-hari bahkan sampai satu minggu. Aksi melibatkan anak-anak dan perempuan, sedangkan remaja dan pemuda tinggal di tanah perjuangan. Demonstrasi yang dilakukan selama berhari-hari membutuhkan logistik makanan untuk yang turun melakukan aksi demonstrasi. Kebutuhan logistik biasanya disiapkan oleh kaum perempuan yang tinggal di desa, mereka khusus ditugaskan untuk menyiapkan makanan. Makanan biasanya datang di siang hari dan menjelang malam. Sementara untuk sarapan, demonstran yang menginap memasak sendiri di tempat melakukan demo menggunakan peralatan-peralatan yang sudah dibawa sejak awal melakukan aksi. Cara membawa makanan ini juga merupakan salah satu strategi-strategi yang dilakukan, mengapa hal ini strategi, seorang informan yaitu Pak Sopat berkata dengan wajah yang semangat,


(24)

“Itu kalo ingat pas demo berhari-hari, ngerilah, tapi ada lucunya juga. Makanan kita itu waktu demo ada yang ngirim dari kampung, kita kan kalo demo dari pagi, nah mulai agak siang, itu perempuan-perempuan mulai ada masak, yang kita masak nasi jagung di tempat demo itu, lauknya pun cuma ikan asen dan dimakan siang itu juga, pas mau kami makan, kami yang demo sampe rebutan makanan itu, terus uda gitu kami makannya lahap kali dan anak-anak kecil yang kami bawa demo banyak yang nanges karena rebutan ini. Kami lihat orang-orang yang lewat dan, bahkan orang kantor tempat kami demo ngeliatin kami semua makan sampek mereka pun iba melihat kami makan nasi jagung sampek rebutan, karna kelaparan dan kecapekan, mungkin mereka beranggapan nasi jagung aja sampek rebutan, dan ada juga yang sampek nangis lihat kami makan. Jadi kami pun banyak dapat bantuan makanan dari orang yang lewat, dari orang kantor itu dan yang lainnya berupa beras, ikan, minuman, dan lain-lain lah.”

Makan nasi jagung, rebutan makanan, dan anak-anak yang menangis merupakan salah satu strategi aksi yang sengaja dirancang dalam manajemen aksi. Ini dilakukan untuk menarik perhatian orang-orang terutama para pejabat dan wakil rakyat agar melihat, menerima aspirasi, dan ikut merasakan penderitaan demonstran. Sementara itu, makanan yang disiapkan dari desa tetap diantarkan juga di siang menjelang sore sekaligus makanan untuk malam. Makanan yang diantar ini merupakan makanan dengan sayur dan lauk yang lengkap. Sementara pihak yang demonstran menginap di kantor teras tempat melakukan aksi demo, kemudian pada pagi hari masyarakat melanjutkan aksi demo kembali. Untuk sarapan pagi, masyarakat kembali memasak makanan, tetapi dalam hal ini makanan yang dimasak adalah jagung, ubi kayu, dan pisang dari hasil tanaman di tanah perjuangan dan makanan ini hanya direbus. Hal ini dilakukan untuk hal yang sama seperti makan beras jagung. Inilah yang membuat Pak Sopat dan Pak Tukiran mengatakan bahwa perjuangan waktu demo ini sedih dan terdapat hal-hal


(25)

lucu yang membuat mereka meratapi kekelaman perjuangan masa lalu dalam pembicaraan penuh semangat dan tawa.

3.2.5. Penjagaan Lahan

Pihak-pihak remaja dan pemuda bertugas menjaga keamanan lahan yang diperjuangkan, hal ini dilakukan untuk menghindari pengrusakan tanaman-tanaman masyarakat di tanah yang diperjuangkan dari pihak yang menjadi lawan masyarakat. Pemuda-pemuda ini melakukan penjagaan tanpa henti sehingga membuat tugas dan jadwal siang dan malam. Dalam hal ini, pemuda selalu siap menghadang pihak-pihak yang datang ke lahan terutama dari pihak ABRI.

peran remaja dan pemuda desa sangat penting di saat masyarakat melakukan aksi demonstrasi ke Lubuk Pakam atau Medan,. Pemuda-pemuda di kampung tidak ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Mereka hanya bertugas menjaga tanaman-tanaman di lahan yang diperjuangkan. Apabila mereka ikut, maka masyarakat meyakini tanaman akan dirusak oleh Puskopad. dalam hal ini, kebersamaan menjadi satu hal yang paling penting bagi mereka untuk tetap melindungi lahan yang diperjuangkan.

3.2.6. Titik Terang Perjuangan Lahan

Berbagai aksi telah dilakukan berulang-ulang dengan didampingi mahasiswa dan BITRA sampai akhir tahun 1994 dimana dilakukan aksi besar-besaran di Kabupaten, Provinsi, dan di Pusat atau di Jakarta secara serentak. Aksi ini menjadi suatu hal penting bagi Masyarakat, beberapa utusan yang turun ke Jakarta bersama BITRA hadir ke Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. Guna menyampaikan aspirasinya, Pak Sopat dan Buk Ngatini merupakan


(26)

salah satu orang yang hadir ke Jakarta. Buk Ngatini sempat berbicara dengan Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri tersebut. Buk Ngatini berkata

“Aku dulu ya jumpa langsung sama Dirjen Kemendagri, dia sampe nanyain aku bahwa jujur gak yang kubilang soal perjuangan kami. Dirjen Kemendagri itu pun salut dengerin aku dan dia ngomong samaku bahwa baru kali ini kedatangan tamu dari desa, dia pun sangat ramah kemudian nyuruh kami ngerjain lahan yang kami perjuangkan yang kemudian ngasi surat ke kami. Maka abes tu lah kami balek ke Desa dan lalu ngerjain lahan terus pun dapat lagi surat pengakuan dari Kepala Desa dan Camat. Makanya abes itu ga ada lagi larangan kepada kami nanam dan menduduki lahan ini.”

Kedatangan masyarakat ke Kementrian Dalam Negeri tersebut mendapat tanggapan yang baik. Pada tanggal 7 Maret 1955 Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat dengan Nomor : 593/747/PUOD yang berisi meminta agar Gubernur Sumatera Utara segera menyelesaikan persoalan sengketa tanah antara masyarakat dengan Puskopad di Blok 18, 25, 26, dan 27 seluas lebih kurang 91 hektar. Ini membuat perjuangan masyarakat memperoleh hasil, masyarakat tidak pernah mendapat gangguan lagi dari pihak Puskopad lagi dalam arti sengketa antara masyarakat dusun Anggrek dengan Puskopad telah selesai. Tapi dengan adanya keputusan tersebut, timbul masalah baru terkait dengan lahan 91 hektar tersebut. Masalah itu hadir ketika pihak pensiunan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang juga merupakan bagian dari Puskopad berupaya merebut lahan yang telah diperjuangkan oleh masyarakat Dusun Anggrek. Salah satu informan yaitu Pak Misran mengatakan bahwa mereka sempat berkonflik karena hal ini, pihak pensiunan tersebut meminta tanah yang berada di Blok 18 seluas 36 hektar. Ini membuat permasalahan baru bagi masyarakat dimana harus bertikai dengan


(27)

pensiunan TNI yang telah menjadi bagian dari warga desa Perkebunan Ramunia tersebut. Pihak pensiunan TNI tersebut menduduki lahan seluas 36 (tiga puluh enam) hektar tersebut dan karena masyarakat dusun Anggrek tidak mau bertikai dengan sesama masyarakat, maka akhirnya tanah seluas 36 (tiga puluh enam) hektar tersebut dibiarkan menjadi milik pensiunan TNI yang telah menjadi warga Desa Perkebunan Ramunia. Masyarakat Dusun Anggrek merelakan tanah tersebut sehingga lahan yang mereka peroleh hanya 55 (lima puluh lima) hektar.

Setelah ini, masyarakat memperoleh surat dengan tanda tangan Kepala Desa dan Camat pada saat itu yang berisi pengakuan hak atas lahan yang sejak tahun 1993-1994 diperjuangkan sehingga sejak saat surat tersebut ada, masyarakat mulai membagikan tanah seluas 55 hektar terhadap 125 Kepala keluarga di dusun Anggrek. Pembagian tanah dilakukan di Mesjid dan dihadiri semua warga yang berjuang. Sejak ini, tidak ada pihak-pihak yang berusaha mengambil alih lahan termasuk pihak yang selama ini menjadi musuh bagi masyarakat. masyarakat mulai bergotong royong mengolah lahan yang telah diperjuangkan. Lahan yang diperjuangkan ini kondisi dominannya adalah rawa, dan hanya sebagian saja yang siap ditanami yaitu lahan yang pernah ditanami saat perjuangan dilakukan. Lahan ini sebelumnya adalah perkebunan kelapa yang sejak lama dibiarkan sehingga menjadi rawa. Lahan ini pun diubah secara gotong royong menjadi lahan persawahan irigasi dan sebuah dusun Anggrek baru sehingga menjadi seperti sekarang.


(28)

BAB IV

DUSUN ANGGREK BARU SEBAGAI HASIL DAN PENGARUH DARI PERJUANGAN LAHAN

4.1. Dusun Yang Berpindah

Pagi di Dusun Anggrek Baru mengungkap keindahan alam sawah yang mulai menguning, matahari dari timur tanpa malu bersinar mengurai embun pagi yang terlihat putih. Tanpa mandi dan hanya bermodal cuci muka, di beranda dapur rumah duduk bersila mendengar cerita pagi setelah sebelumnya sibuk dengan memberikan makan unggas. Segelas teh dan hisapan rokok menemani cerita dari Pak Tukiran,

“Dulu Kampung kita bukan di sini, di bandara itulah, itulah pondok kita, bapak lahir ya di situ dan orang-orang tua kita dulu ditempatkan disitu sama Belanda”.

Kata-kata yang keluar menyiratkan sebuah pesan rindu terhadap dusun yang lama, masih terekam dalam benak pikiran. Masyarakat buruh perkebunan yang memiliki pandangan terhadap wilayah pondok yang sekarang telah menjadi kampung.Tahun 1997, masyarakat penunggu (istilah yang digunakan oleh masyarakat buruh perkebunan Ramunia) mendapat ganti rugi atas tanah yang dihuninya. Masyarakat penunggu ini merupakan warga dusun Anggrek baru yang sekarang. Sekitar 125 kepala keluarga pindah bersama-sama ke sebuah tempat di mana mereka mendapatkan hak atas lahan.

Pindahnya masyarakat ke tanah perjuangan (istilah yang disebutkan masyarakat) selain atas ganti rugi bandara juga karena salah satu bentuk


(29)

pendudukan lahan yang diperjuangkan. Perjuangan dengan berbagai cara seperti pendudukan lahan, menggarap, aksi massa, melalui lembaga hukum, dan audiensi ke pihak Pemerintah Daerah tingkat 2 dan Tingkat 1 serta Pemerintah Pusat. Perjuangan selama 2 tahun tersebut membuahkan hasil dimana masyarakat dapat memperoleh hak garap dengan SK Camat Pantai Labu pada tahun 1995.

Pindahnya masyarakat ke lahan perjuangan bukan hanya dikarenakan alasan ganti rugi proyek bandara saja, tetapi sebelumnya masyarakat sudah memiliki rencana akan membangun sebuah dusun. Kepindahan secara bersama merupakan sebuah kesepakatan untuk memperkuat identitas masyarakat dan status lahan tersebut. Sampai sekarang, masyarakat dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia tetap memiliki lahan tersebut. Lahan tersebut digunakan untuk bercocok tanam tanaman pangan.

Pindahnya masyrakat ke sebuah lahan yang diperjuangkan juga mendapat cibiran atau perkataan negatif dari masyarakat di Desa lain, seperti yang diungkapkan oleh Pak Sopat,

Sebaik kami mau pindah itu, banyak kali orang-orang desa tetangga bilang kalok tanah perjuangan ini tempat jin buang anak, ngapain ditempati, jin gatel ku bilang, mana peduli kami tu, kita kan percayanya sama Allah bukan jin.

Lahan perjuangan tersebut dianggap orang-orang dari desa lain sebagai tempat yang angker, mempunyai kekuatan mistis. Alasan ini dibuat karena lahan yang diperjuangkan masyarakat ini adalah lahan yang basah seperti rawa yang terdapat pepohonan dan rerumputan liar. Tetapi masyarakat Dusun Anggrek tidak memperdulikan perkataan buruk dari orang-orang dari desa lain. Bahkan masyarakat semakin semangat untuk membangun rumah di lahan yang telah


(30)

dibagi dengan modal ganti rugi perumahan mereka yang dibuat oleh Belanda pada saat menjadi buruh di Perkebunan Ramunia.

Pada tahun 1997, masyarakat dusun Anggrek yang telah mendapatkan hak atas lahan yang telah diperjuangkan selama lebih kurang tiga tahun pindah secara serentak satu kampung ke tanah perjuangan yang telah mereka perjuangkan oleh 125 kepala keluarga. Salah satu hal yang melatarbelakangi kenapa masyarakat pindah adalah tanah dusun Anggrek mendapat ganti rugi proyek pembangunan Bandara Kualanamu. Dengan nada yang pelan, Pak Tukiran berbicara,

“Bandara, masyarakat kita itu mendapat ganti rugi, ada yang Rp 9 juta, kalo saya waktu itu dapat 9 juta, ya ini disesuaikan sama kondisi rumah, luas lahan rumah, dan tanaman-tanaman yang ada juga dibayar.” dusun kita dulu gak di sini tempat kita duduk ini, bukan, tapi di Bandara itulah, kena ganti rugi sama.” Dari ucapan yang dilontarkan bapak paruh baya ini menceritakan tentang dusun Anggrek yang dulunya merupakan sebuah pondok peninggalan Belanda yang telah menjadi milik masyarakat, bukan milik perkebunan.Ganti rugi dari Bandara Kualanamu membuat masyarakat pindah ke lahan perjuangan. Masyarakat bersama-sama pindah membuat perkampungan baru. Dalam hal ini masyarakat membuat jalan secara bergotong-royong, kemudian membangun gubuk-gubuk sementara sambil menunggu rumah selesai dibangun. Salah satu yang membuat unik adalah seluruh masyarakat pindah secara bersamaan membuat dusun yang baru. Tanah wakaf yang berada di dusun yang sebelumnya juga dipindahkan ke dusun yang baru.

Hal di atas merupakan penjelasan singkat mengenai dusun yang berpindah ke tanah perjuangan. Kepindahan tersebut membuat dusun yang bernama dusun


(31)

Anggrek menjadi dusun Anggrek Baru. Penambahan kata baru ini menunjukkan bahwa lahan yang semula adalah lahan perjuangan yang dimenangkan oleh masyarakat menjadi sebuah dusun baru atau sebuah perkampungan. Perkampungan dusun Anggrek baru inilah merupakan sebuah bukti pendudukan lahan perjuangan menjadi desa baru yang dikembalikan seperti desa sebelumnya dengan berbagai perubahan yaitu masyarakat memiliki hak atas tanah yang ditempati dan dapat diolah demi kebutuhan atas pangan.

4.1. Hasil Perjuangan Dan Pengaruhnya Sekarang 4.1.1. Dusun Anggrek Baru

Terkait dengan penjelasan sebelumnya bahwa dusun Anggrek Baru adalah merupakan dusun yang berpindah ke tanah yang diperjuangkan masyarakat karena dusun yang lama termasuk dalam wilayah bandara Kualanamu yang sekarang telah beroperasi. Setelah masyarakat memperoleh lahan pada tahun 1994, masyarakat langsung membagikaannya ke anggota masyarakat yang berjuang. Selain itu masyarakat juga menyiapkan lahan untuk fasilitas-fasilitas umum di tanah perjuangan yang menjadi dusun baru. Fasilitas umum itu merupakan fasilitas yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat seperti sekolah, mesjid, Kantor kepala desa, lapangan bola kaki dan tanah wakaf. Masyarakat sama-sama membuat kesepakatan untuk menyediakan lahan untuk fasilitas-fasilitas tersebut. Selain itu masyarakat juga membuat kesepakatan untuk jalan umum di dusun yang baru.


(32)

Foto 1: Kondisi Jalan di dusun Anggrek Baru Sumber: Dokumen Pribadi

Jalan ini merupakan jalan dusun yang biasa dilalui oleh masyarakat setempat, sebelum dusun Anggrek pindah ke lokasi lahan perjuangan, masyarakat sudah membuat jalan ini, awalnya jalan ini adalah jalan setapak yang digunakan untuk menuju ke lahan sawah. Kemudian, sejak masyarakat pindah ke lokasi ini, jalan ini diperlebar oleh masyarakat secara gotong royong. Awal masyarakat pindah ke dusun yang baru, jalan ini merupakan jalan utama bagi dusun Anggrek Baru. Kemudian karena jalan penghubung antara Lubuk Pakam –Pantai Labu terkena proyek Bandara Kualanamu, maka dibuat jalan baru yang melewati dusun Anggrek Baru dan jalan ini menjadi jalur penghubung antara Lubuk Pakam-Pantai Labu. Dari foto di atas dapat dilihat bahwa perumahan masyarakat di dusun Anggrek Baru berdampingan dengan lahan pertanian.


(33)

Foto 2: Jalan Utama yang menghubungkan Pantai Labu- Pakam Sumber Dokumen Pribadi

Foto 3: Lapangan Sepak Bola di dusun Anggrek Sumber Dokumen Pribadi

Lapangan Sepak Bola juga merupakan salah satu lahan yang diperjuangkan masyarakat dusun Anggrek Baru, Lapangan ini merupakan lapangan yang sering digunakan dalam acara resmi di Kecamatan Pantai Labu. Acara resmi yang sering diadakan yaitu upacara 17 Agustus, Maulid Nabi dan Isra’ Mi’rad Kecamatan


(34)

Pantai Labu. Lapangan ini bersebelahan dengan kantor desa Perkebunan Ramunia dan berada di jalan besar yang menghubungkan Lubuk Pakam dengan Pantai Labu. Terdapat kantor kepala desa yang berada di pinggir jalan utama dan bersebelahan dengan lapangan.

Foto 4: Kantor Kepala Desa Sumber Dokumen Pribadi

Di Dusun Anggrek Baru, terdapat yang dibagun di tanah yang diperjuangkan masyarakat. Adapun tanah SD ini memang sudah disediakan oleh masyarakat setelah mendapatkan lahan dari proses perjuangan. Sekolah ini merupakan sekolah dasar yang menjadi tempat bersekolah bagi anak-anak di desa Perkebunan Ramunia. Selain lahan SD, masyarakat juga mnyediakan lahan untuk tanah wakaf. Pindahnya dusun Anggrek ke tanah perjuangan juga mengikutsertakan tanah wakaf. Tanah wakaf di lahan desa yang lama dipindahkan ke lahan perjuangan yang menjadi dusun baru.


(35)

Foto 5: Sekolah Dasar di dusun Anggrek Sumber Dokumen Pribadi

Foto 6: Tanah Wakaf di Dusun Anggrek Sumber Dokumen Pribadi

Dapat dilihat bahwa perjuangan lahan merupakan salah satu cara memperoleh identitas. Identitas itu berarti sebuah ketetapan yang dicapai dalam proses-proses yang tidak berlangsung secara cepat. Proses-proses tersebut membentuk suatu persatuan yang utuh yang terdapat dalam benak masing-masing


(36)

masyarakat. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai cita-cita dari masyarakat sendiri yang menginginkan sebuah wilayah dimana mereka dapat hidup layaknya masyarakat lain. Proses ini juga tidak berlangsung secara cepat dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menjadi identitas sendiri yaitu petani. Latar belakang yang sebenarnya bukan petani melainkan sebagai masyarakat pekerja di sebuah perkebunan tidak membuat masyarakat tetap ingin menjadi pekerja atau buruh. Bukan tanpa alasan mengapa masyarakat melakukan hal ini, justru alasan-alasan dari masyarakat semakin menguatkan dan menyatukan masyarakat. Alasan-alasan ini juga didasarkan pada status pekerja atau buruh yang semakin tidak jelas, seperti dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa perkebunan selalu berganti kepemilikan atau pihak yang mengelola perkebunan berganti-ganti sehingga membuat keadaan semakin susah bagi masyarakat dan tidak bisa lagi mengharapkan dari apa yang dihasilkan dari bekerja di perkebunan. Sekarang Dusun Anggrek merupakan sebuah dusun persawahan. Persawahan tampak hijau di sekitar desa. Persawahan ini berdampingan dengan rumah. Lahan menjadi milik masyarakat, walaupun tidak dapat dikatakan luas bagi setiap kepala keluarga. Sawah pun hanya dapat memenuhi kebutuhan akan beras.

4.2.2. Petani dan Pandangan Dunianya

Kini masyarakat Dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia sudah dapat dikatakan sebagai petani walaupun mereka tidak dapat menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian tersebut. Masyarakat tetap harus mencari sumber pencaharian dari sektor lainnya. Terdapat ingatan-ingatan terhadap masa lalu yang dianggap kelam bagi masyarakat dimana itu justru mempengaruhi bagaimana mereka


(37)

bertindak saat ini, bagaimana masyarakat memiliki pandangan dunianya yang dalam hal ini merupakan pandangan terhadap sebuah dusun yang berubah dalam segala hal termasuk masyarakat sendiri juga berubah.

Bagi petani di dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia, lahan merupakan sumber kehidupan dimana mereka bisa tinggal di lahan tersebut, mendirikan rumah dan bercocok tanam. Selain itu, fakta di lapangan juga terdapat masyarakat yang terpaksa harus menjual lahan. Hal ini dikarenakan kebutuhan yang semakin tinggi, dan juga untuk membayar utang. Beberapa masyarakat yang sewaktu berjuang mendapatkan lahan mereka tidak bekerja, maka untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka menerima sumbangan masyarakat lain dan utang dengan kerabat. Ini membuat sebahagian lahan yang diperoleh dari hasil perjuangan terpaksa harus dijual sebagian untuk menutupi utang tersebut.

Petani dusun Anggrek Baru memahami dirinya sebagai orang yang sering bersentuhan dengan tanah, tanaman, dan alam. Terkait dengan hal ini maka petani membutuhkan suatu lingkungan pendukung bagi aktivitas sehari-harinya yaitu lingkungan ekologi desa. Aktivitas petani yang dilakukakan setiap harinya berupa mengolah lahan, menanam padi, memupuk, menyemprot, dan lain sebagainya. pembicaraan-pembicaraan yang timbul dikalangannya yaitu seputar apa yang dilakukannya. Terkadang pembicaraan-pembicaraan ringan di lahan yaitu tentang pekerjaan di luar aktivitas bertani masyarakat. Bagi masyarakat, bertani hanya sebatas pekerjaan sampingan. Walaupun demikian, ini adalah segala-galanya, tidak dapat diganti dengan apapun. Seperti apa yang di ungkapkan oleh seorang Buk Ngatini,


(38)

“Walaupun aku seorang penjual jamu, tetap saja lah aku ngerjain tanaman padi ku, dulu kami susah-susahnya masyarakat berjuang demi lahan ini. makanya aku tetaplah ngurus lahanku, ya sambil-sambil jualan jamu inilah”.

Ini membuktikan bahwa kegiatan bertani merupakan cita-cita dari setiap masyarakat di Dusun Anggrek. Latar belakang masyarakat dan orang-orang tuanya merupakan buruh di perkebunan dan tidak ada hubungannya dengan aktivitas bertani padi. Keadaan yang sangat susah membuat keinginan dan cita-cita tersebut muncul. Shahin dalam Redfield mengatakan bahwa pada dasarnya, sulit mencari petani yang menjadi petani, jika bukan karena faktor orang tuanya adalah petani juga. Kebanyakan mereka menemukan dunia sebagaimana dunia petani setelah melakukan aktivitas-aktivitas kepertanian lewat kedua orang tuanya15

Bu Ngatini bisa dikatakan sebagai sosok perempuan yang berani dalam melakukan perjuangan lahan. Buk Ngatini sebagai perwakilan perempuan dalam memperjuangkan lahan dusun Anggrek Baru. Pada tahun 2000, Buk Ngatini mendapat penghargaan Women’s World Summit Foundation yang merupakan penghargaan yang diberikan terhadap perempuan yang terlibat dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat. Menurut beberapa informan lain dan

. Apa yang dikatakan Shahin mengenai hal di atas justru kebalikan dari kasus dusun Anggrek. Masyarakat justru tidak memiliki latar belakang sebagai petani, orang tua mereka adalah buruh, dan mereka dulunya juga merupakan buruh di perkebunan.

15

Dikemukakan secara defenitif oleh Shahin tentang beberapa aspek yang melatari diri petani ; yakni ladang keluarga sebagai asas unit multaidimensional dari organisasi sosial, pengolahan tanah sebagai sarana untuk memperoleh nafkah, pola-pola kultural spesifik berkaitan dengan pandangan hidup komunitas pedesaan kecil, posisi ketertindasan dari dominasi terhadap

kaum tani dari orang luar.Robert Redfield, Masyarakat Petani dan Kebudayaan. (Jakarta: CV.


(39)

pengakuan Buk Ngatini sendiri, dia selalu berani berbicara menyampaikan aspirasinya kepada Pemerintah saat sedang melakukan aksi massa di kantor Gubernur, dan beberapa tempat lainnya serta kepada pihak organisasi ABRI yang kala itu menjadi musuh bagi masyarakat. Buk Ngatini memiliki seorang suami yang pekerjaannya sopir lintas hanya 1 kali seminggu pulang ke rumah. Bu Ngatini sebagai orang yang berani, vokal dalam berbicara, apalagi saat orasi di depan kantor DPR, Berbicara di depan Tentara yang berjaga di lahan dan menghadapi pihak-pihak pengambil kebijakan. Hal ini dapat diketahui dari cerita-cerita, hasil wawancara dengan Informan lain. Dari ungkapan Buk Ngatini yang penuh semangat saat bercerita masa lalu, menggambarkan rekam yang terdapat di benak pikirannya dan dikeluarkan melalui kata-kata dengan nada yang kuat mengalahkan usianya.

Sekarang, sambil berjualan jamu keliling menggunakan sepeda tua yang didominasi dengan warna karat, ia masih tetap juga mengolah lahan sawahnya. Sementara suaminya bekerja sebagai supir lintas, terkadang sesekali waktu saat suaminya tidak bekerja, ia dibantu ke ladang dan berjualan jamu. Buk Ngatini tinggal berdua dengan suaminya, sementara ke empat anaknya sudah berumah tangga semua, bahkan cucunya pun sudah duduk di bangku kuliah. Anak-anak Bu Ngatini dapat dikatakan berhasil semua dan tidak ada yang tinggal di Dusun Anggrek. Anak-anaknya bekerja sebagai Tentara, PNS, dan Ibu Rumah Tangga.

Pak Tukiran, seorang informan yang memang paham mengenai desa juga masih mengolah lahan. Usianya yang tua yaitu sekitar 60 tahun tidak membuatnya berhenti mengolah lahan, kesehariannya memang mengolah lahan yang jaraknya


(40)

hanya beberapa meter dari rumahnya. Bercocok tanam padi, kacang panjang, memelihara ayam, angsa, entok adalah aktivitas sehari-harinya. Pak Tukiran tinggal bersama anak bungsunya dan suaminya serta 2 cucunya, seorang orang anak berusia 4 tahun dan seorang lagi baru lahir. Sementara itu, istri Pak Tukiran meninggal di tahun 2012 lalu. Tepat di samping rumahnya, tinggal anak perempuan Pak Tukiran bersama suaminya, sementara dua anaknya yang lain tinggal di daerah lain.

Pak Tukiran memandang, petani di dusun Anggrek berbeda dengan mereka dulu. Hal ini dikarenakan kebanyakan lahan sudah diwariskan. Tapi bukan berarti masyarakat tidak kompak, keseharian masyarakat memang tidak menunjukkan kebersamaan, apalagi jarak rumah yang tidak begitu dekat. Pak Tukiran juga mengatakan bahwa sudah menjadi hal yang umum apabila melihat sesama masyarakat terlihat acuh. Ini sudah menjadi biasa dan bukan berarti mencerminkan tidak kompaknya masyarakat. Bersama Pak Tukiran selama penelitian menunjukkan hal yang berbeda yaitu bahwa ia sering disapa dan disinggahi masyarakat lain. Kadang-kadang, ada petani-petani lain yang singgah ke rumahnya sebelum berangkat ke ladang ataupun selesai dari ladang. Di sinilah peneliti mendengar pembicaraan-pembicaraan mengenai tanaman, dan kadang-kadang tentang hal-hal umum sambil diselingi canda tawa.

Sekarang ini, Dusun Anggrek Baru tidak memiliki masalah, terutama permasalahan lahan. Tetapi, ini Bukan berarti masalah-masalah baru tidak akan muncul. Berikut ini sebuah perkataan yang dilontarkan oleh seorang Pak Misran,

“Sekarang ini kita baik-baik saja, lahan uda punya, ya walaupun sedikit. Kalo sekarang selagi kita-kita ini masih ada,


(41)

ya orang-orang yang berjuang dulu itu masih ada, kita gak kan takut apabila ada pihak-pihak yang ingin mengganggu kita. Kalau ada ya kita bersatu, langsung aja pukul kentongan di Mesjid, kalo uda dengar itu, warga kita uda tau semua bahwa sedang ada masalah. Jadi tetap kuat persatuan kami ini, ya walaupun kadang seperti Situ lihat sehari-hari kami kayaknya biasa-biasa aja.”

Kondisi lahan kampung atau lahan pertanian saat ini masih dikelola oleh masyarakat. Masyarakat tidak takut apabila ada pihak yang mengganggu lahan mereka. Apalagi masih terdapat tokoh-tokoh penting dalam perjuangan dahulu yang memahami betul bagaimana sejarah desa ini dan bagaimana perjuangan dilakukan. Permasalahan baru dapat menjadikan persatuan masyarakat seperti saat berjuang. Sekarang masyarakat adalah petani yang bercocok tanam di lahannya sendiri. Rentetan perjuangan yang dilakukan membuahkan hasil seperti sekarang ini, bertani padi merupakan cita-cita masyarakat yang telah terwujud dengan lahan yang tidak begitu luas. Walaupun demikian, masyarakat tetap merasa ada hal yang belum lengkap. Hal ini dikarenakan mereka mengolah lahan sendiri dan telah menjadi milik masing-masing walaupun lahan yang dikelola tersebut tidak memiliki sertifikat.

Pengakuan lahan di dusun Anggrek Baru hanya sebatas surat keterangan Kepala Desa dan Camat. Ini menjadi keinginan masyarakat akan pengakuan kepemilikan lahan secara sah dan legal. Tidak adanya sertifikat ini membuat kekhawatiran masyarakat terhadap lahan yang sekarang dikelola. Tanggapan dari pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) kabupaten Deli Serdang yang dalam hal ini merupakan sebuah lembaga negara yang menangani pertanahaan mengkonfirmasi bahwa mereka tidak tahu soal pengurusan sertifikat masyarakat


(42)

dusun Anggrek. Pihak BPN Deli Serdang menanggapi bahwa hal ini dikarenakan lahan tersebut merupakan bagian dari HGU Puskopad sejak tahun 1984 yang selalu berubah-ubah luasnya. Pihak BPN tidak mengetahui dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia berada dibagian mana dari sejarah HGU Puskopad. Lembaga pertanahan ini juga mengatakan bahwa apabila masyarakat dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia ingin mengurus sertifikat, maka BPN harus mengukur kembali dan mengambil titik koordinat batas-batas HGU Puskopad, terkait sertifikat maka menyangkut perorangan, bukan satu wilayah dusun atau desa.

Kekhawatiran masyarakat adalah apabila tanah tersebut sudah diturunkan atau diserahkan tanpa sertifikat lahan kepada anak-anak mereka yang tidak memahami secara betul bagaimana lahan tersebut dan sejarahnya. Masyarakat tidak ingin apabila nanti ketika anak-anak mereka yang mengurus lahan diganggu oleh pihak-pihak tertentu yang mau mengambil lahan. Oleh karena itu, masyarakat ingin memiliki sertifikat atas lahannya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan. Berbeda kondisi dengan sekarang ini dimana tokoh-tokoh perjuangan petani desa masih ada.

4.2.3. Konflik Horizontal Masyarakat Dusun Anggrek Baru dengan Desa Tetangga

Keberhasilan masyarakat dusun Anggrek Baru mendapatkan lahan menjadi perhatian masyrakat desa tetangga. Pada tahun 2008, desa tetangga yang didominasi oleh masyarakat Melayu meluncurkan kabar ingin mengeksekusi lahan Dusun Anggrek. Kabar eksekusi ini sampai ke telinga masyarakat dusun


(43)

Anggrek, awalnya masyarakat tidak mengetahui siapa ada di balik rencana ini. Pak Sopat berkata,

“Waktu itu tahun 2008, Desa sebelah itu, mau ngambel lahan kita, orang itu uda bawa pendamping hukum, pas pula Pak Tukiran ini lagi merantau, terpaksalah kami ngubungi dia. Kamigak tinggal diam, enak aja kok tiba-tiba lahan kami mau diambil, kami lawan lah, terus lah dipukul kentongan di Mesjid biar pada ngumpul semua kayak waktu berjuang dulu.”

Kebersamaan itu sangat terlihat ketika ada pihak-pihak yang mengganggu desa dan bukandalam hal itu saja. Terdapat pihak tertentu tepatnya dari desa sebelah atau desa yang bertetanggaan dengan desa Perkebunan Ramunia berusaha merebut lahan Dusun Anggrek Baru. Alasannya adalah klaim yang dilakukan desa yang mengatakan bahwa lahan di dusun Anggrek Baru merupakan lahan desa mereka. Pihak-pihak tertentu tersebut membawa orang bayarannya dari pengadilan untuk mengeksekusi lahan tersebut, dan menyebarkan berita eksekusi ke masyarakat dusun Anggrek. Mendengar kabar tersebut, pada malam harinya kentongan Mesjid berbunyi. Hal ini menjadi simbol untuk mengumpulkan masyarakat. Dalam perkumpulan, masyarakat mengadakan pembahasan mengenai permasalahan dan membuat rencana bersama untuk menentang pihak yang ingin melakukan eksekusi tersebut. Setelah beberapa minggu, pihak yang ingin mengeksekusi tersebut membatalkan eksekusi yang dianggap buruk oleh masyarakat petani di dusun Anggrek Baru. Pembatalan ini dikarenakan masyarakat sudah memahami siapa propokator atau orang dibalik isu eksekusi tersebut yang dilakukan oleh masyarakat desa tetangga dengan berusaha membuat pengakuan secara sah terhadap lahan di dusun Anggrek Baru. Lahan dusun Anggrek Baru tidak memiliki hubungan dengan sejarah lahan desa sebelah


(44)

tersebut. Masyarakat petani di dusun Aggrek Baru telah siap melawan bahkan perang sampai titik darah penghabisan. Sementara itu, pihak-pihak yang dibayar oleh desa sebelah untuk mengeksekusi ditangkap saat sedang ke kantor kepala desa Perkebunan Ramunia.

Tindak lanjut dari hasil pembahasan permasalahan lahan yang baru muncul tersebut adalah masyarakat bersama-sama mendatangi kantor Kepala Desa. Dalam melakukan aksi tersebut, masyarakat bertemu dengan Seseorang yang mencoba melakukan eksekusi. Masyarakat dusun Anggrek Baru meminta agar seseorang tersebut mengatakan kepada teman-teman yang ingin mengeksekusi lahan dusun Anggrek untuk menghentikan tujuan mereka. Apabila keluhan masyarakat ini tidak ditanggapi, masyarakat dusun Anggrek Baru akan siap untuk menyerang balik, yakni orang-orang yang melakukan eksekusi. Sejak inilah niat eksekusi dibatalkan.

Permasalahan ini tidak sampai menjadi konflik yang besar dengan desa tetangga. Bagi masyarakat, pembatalan ekekusi lahan sudah dapat meredam amarah mereka. Menurut beberapa informan, desa tetangga tersebut tidak mempunyai ikatan atau hubungan dengan masyarakat dusun Anggrek Baru. Termasuk latar belakang masyarakat yang sangat berbeda, mereka merupakan penduduk lokal (Suku Melayu) dan pendatang dari daerah lain.

Kentongan menjadi sebuah simbol akan adanya suatu peristiwa yang menyangkut permasalahan bagi masyarakat. Benda yang memiliki arti atau makna lain dalam pandangan masyarakat, hal ini dilakukan tidak terlepas dari apa yang telah dilakukan di masa lalu. Pada saat berjuang dahulu, kentongan menjadi alat


(45)

yang digunakan untuk mengumpulkan masyarakat dusun Anggrek Baru. Kentongan sebagai sebuah simbol untuk berkumpul di Mesjid untuk membahas atau menyelesaikan suatu permasalahan sehingga menghasilkan keputusan-keputusan ataupun menjadi arena diskusi masyarakat terhadap pergerakan-pergerakan yang akan dilakukan. Latar belakang sejarah petani di Ramunia tidak melunturkan solidaritas, peristiwa waktu lampau menjadi sebuah proses bagi masyarakat petani untuk tetap kolektif, bersama, dan bahkan menjadi nilai-nilai budaya yang tetap dianut sampai sekarang. Hal ini bisa dilihat dari sebuah dusun yang baru sebagai wujud dari kebersamaan sebuah persatuaan, sementara perilaku juga tampak dari masing-masing informan yang rendah hati dan berani. Hal ini juga menunjukan sebuah ikatan-ikatan yang sangat kuat terhadap lahan, dimana kekuatan-kekuatan atau perlawanan-perlawanan muncul kembali di saat lahan mendapat gangguan. Walaupun kepemilikan lahan di Dusun Anggrek Baru sudah bersifat individu.

Masyarakat petani di dusun Anggrek Baru memahami desa mereka sebagai sebuah tempat yang bersejarah. Tempat yang selalu mengingatkan mereka terhadap perjuangan lahan yang dilakukan, tempat masyarakat melihat perubahan nyata dan perubahan yang bukan tanpa sengaja. Kondisi sekarang merupakan cita-cita bersama yang tampak dalam sebuah perwujudan yang nyata yaitu dusun Anggrek Baru. Dusun ini menunjukkan sebuah kekompakan masyarakat yang tidak nampak secara kasat mata. Tanpa masuk ke dalam, kekompakan tidak dapat dilihat, kekompakan tersebut makin jelas tampak melalui cerita-cerita sejarah


(46)

masyarakat dan kondisi yang sekarang. Sulitnya melihat kekompakan ini dikarenakan wujud fisik dusun yang jarak antar rumah tidak dekat.

Lahan merupakan sebuah area yang dapat digunakan untuk keperluan apa saja seperti pertanian, perumahan, dan sebagainya. Lahan mempunyai kompleksitas dimana terdapat bermacam-macam mahluk hidup dari yang tak kasat mata sampai yang dapat dilihat dengan mata. tanah dan lahan berbeda, tanah adalah bagian dari lahan tersebut. Tanahlah yang diolah sedemikian rupa oleh masyarakat untuk memenuhi segala kebutuhannya, termasuk kebutuhan akan pangan dan tempat tinggal. Masyarakat petani memanfaatkan lahan sebagai tempat bercocok tanam, selain sebagai tempat tinggal. Tanah dan petani adalah bagian dari satu hal, suatu kerangka hubungan yang telah berdiri lama. Apabila menggunakan cara berpikir seperti ini, maka bukan menuntut petani untuk memiliki tanah atau jenis-jenis penguasaan tanah tertentu atau bentuk-bentuk hubungan dengan kaum yang lebih tinggi atau masyarakat yang lebih tinggi. Bagaimana tidak, petani di dusun Anggrek Baru justru berbeda, sejarah dan latar belakang masyarakat berbeda dengan apa yang telah direkontruksi. Masyarakat bukan lahir dari orang tua yang petani, tetapi masyarakat lahir sebagai anak buruh perkebunan dan besar dilingkungan perkebunan. Lahan perkebunan yang berganti secara terus menerus baik secara kepemilikan dan fisik lahan perkebunan tersebut menjadi keterdesakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat sendiri dan membuat masyarakat berjuang. Masyarakat mempunyai ikatan yang erat dan sudah sangat menyatu dengan lahan perkebunan yang kemudian berjuang memperoleh lahan untuk dijadikan lahan pertanian.


(47)

Dusun Anggrek Desa Perkebunan Ramunia menjadi sebuah desa pertanian, hal ini dapat dilihat dari berbagai tanaman masyarakat. Tanaman padi menjadi dominan di desa ini, sedangkan tanaman sayur-sayuran sangat sedikit. Tanaman padi ditanam di lahan hasil perjuangan, lahan seluas 55 hektar yang telah dikelola masyarakat tidak sepenuhnya menjadi lahan pertanian. Karena telah menjadi sebuah perkampungan, lahan pertanian berdampingan dengan perumahan. Lahan pertanian masyarakat biasanya berada didekat rumahnya, hal ini bisa terjadi karena pada saat masyarakat belum pindah ke lahan perjuangan, masing-masing masyarakat yang mendapatkan lahan membangun rumah di lahan yang telah didapat dari hasil perjuangan. Dalam hal ini pemukiman bukanlah sekedar mengandung arti suatu tempat tinggal, tetapi suatu satuan yang kompleks, yang melibatkan berbagai unsur-unsur kebudayaan yang mewujudkan bukan hanya kegiatan-kegiatan biologis semata, tetapi juga berbagai kegiatan sosial, ekonomi, politik, agama, dan sebagainya. Suatu pemukiman dapat dilihat sebagai suatu dunia tersendiri di mana para masyarakatnya menemukan identitasnya, merasa aman, merasa sebagai mahluk sosial, dan tempat dia menyalurkan nalurinya untuk berkembang biak menyambung keturunannya.

Kondisi dari penilaian subjektif petani di Desa Perkebunan Ramunia terhadap perkembangan lingkungan tempat tinggalnya, dari sebuah desa perkebunan menjadi desa pertanian mendatangkan suatu sikap kebanggaan. Ada hal-hal ketika diri masyarakat mengingat masa lalu yang sangat kelam, hidup dengan penuh kesusahan, tidak memiliki lahan, dan lain sebagainya. Dapat dibayangkan perjuangan untuk berusaha menuntut hak atas lahan dan


(48)

cita-citauntuk dapat bercocok tanam di lahan sendiri yang memiliki titik terang yakni sebuah kemenangan. Ini sebuah perjuangan yang tidak sengaja, tapi memang direncanakan dan diupayakan. Walaupun titik terang yang didapat tidak dapat menopang kehidupannya secara keseluruhan, lahan yang diperoleh tidak dapat menopang kebutuhan pokok masyarakat sehingga tetap saja masyarakat bekerja di sektor lain juga. Inilah sebuah makna dari perjuangan yang dilakukan dan menyangkut pengakuan-pengakuan yang belum sepenuhnya juga didapat. Pengakuan ini yaitu sertifikat tanah yang sampai sekarang belum didapat oleh masyarakat. Walaupun mereka secara resmi tinggal dan bertani di lahan yang telah diperjuangkan, masih ada suatu keinginan yang belum tercapai.

Saat ini, sangat sulit melihat petani yang benar-benar menjadi petani, artinya petani yang bisa mandiri dari hasil apa yang ditanamnya. Begitu juga dengan petani di Desa Perkebunan Ramunia, bagi masyarakat, bertani adalah sebuah pekerjaan sampingan. Aktivitas di lahan sawah hanya untuk memenuhi kebutuhan beras saja, itupun kalau padi yang dihasilkan dari panen tidak dijual dengan agen. Mayoritas masyarakat di Desa Perkebunan Ramunia bekerja dengan orang lain, menjadi buruh lepas, tukang bangunan ataupun bekerja di tambak milik pengusaha. Bagi masyarakat, lahan pertanian memiliki arti tersendiri yang sangat berharga. Hal ini menjadi kebanggaan masyarakat desa yang beranjak dari sebuah perjuangan. Terdapat nilai-nilai dan makna-makna terhadap sebuah perjuangan, kebersamaan, dan cita-cita. Ini merupakan cara masyarakat memaknai lahan yang di dalamnya adalah nilai-nilai tersebut. Perjuangan yang telah dilakukan membuahkan hasil yang tampak dan yang tak tampak, yang tampak yaitu berupa


(49)

lahan pertanian yang berhasil menjadi hak milik masyarakat desa, selanjutnya sebuah dusun Anggrek yang baru merupakan perwujudan yang tampak dari hasil perjuangan. Sedangkan yang tak tampak itu berupa kebersamaan masyarakat yang sangat kompak, kekompakan sangat nampak ketika ada masalah di Desa.

Apabila mendengar pernyataan-pernyataan para informan, maka terdengar sangat jelas bahwa masyarakat dusun Anggrek Baru sangat berbeda dengan sekarang. Salah satunya adalah ketika dahulu mereka berada dalam hubungan yang bersifat vertikal dengan penguasa lahan. Saat itu masyarakat hanya sebagai pekerja yang digaji di lahan milik tuan tanah, masyarakat menerima upah dari hasil kerjanya. Sedangkan sekarang masyarakat juga bekerja, tetapi bekerja di lahan sendiri dan untuk kebutuhan sendiri tanpa ada hubungan yang bersifat vertikal. Kondisi lahan perkebunan yang berubah menjadi lahan pertanian dianggap sebagai sebuah harapan yang sudah tercapai bagi masyarakat. Walaupun lahan pertanian tersebut tidak banyak atau tidak luas untuk setiap keluarga di dusun Anggrek Baru. Kemudian lahan pertanian sebagai bukti perjuangan yang telah dilakukan, meskipun sampai sekarang masyarakat belum memiliki sertifikat tanah. Lahan pertanian hanya sebatas pengakuan dari Kepala Desa dan Camat. Tentunya masih terdapat harapan-harapan dari masyarakat dusun Anggrek Baru yaitu Sertifikat tanah tersebut.

Hal ini dikarenakan masyarakat mengantisipasi pihak-pihak yang ingin mengklaim lahan perjuangan apabila di masa yang akan datang ketika tanah beralih ke anak-anak mereka, sementara lahan pertanian dusun Anggrek Baru merupakan lahan perjuangan yang sejarahnya diketahui oleh masyarakat.


(50)

Perjuangan masa lalu yang dilakukan telah selesai, tetapi bagaimana perjuangan tersebut selesai begitu saja. Untuk lahan, masyarakat telah memilikinya bahkan masyarakat mengatakan bahwa sekarang ini masih tetap berjuang, dan masyarakat dusun Anggrek yakin bahwa dalam hidup tetap harus berjuang.

4.2.4. Dari Sebuah Ujaran Menjadi Tradisi yang Melekat

Sebuah wilayah, tidak terlepas dari apa yang diyakini, apa yang dipercaya oleh suatu masyarakat setempat terhadap lingkungan wilayah tersebut. Hal yang bersifat pewarisan kepercayaan dari generasi sebelumnya sampai generasi sekarang secara lisan dan selalu melekat pada masyarakat yang mendiami suatu wilayah. Tentu saja hal ini berpengaruh terhadap apa yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, terhadap apa yang diyakini. Ini juga dapat dikatakan sebagai sebuah cara bagi masyarakat menafsirkan lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimana kemudian masyarakat melakukan berbagai tindakan-tindakan, kebiasaan yang dilakukan terus menerus sampai menjadi sebuah tradisi yang berkaitan dengan apa yang telah dilaukan, sedang dilakukan, dan apa yang akan dilakukan serta keinginan atau ujaran untuk yang akan datang. Ini dilakukan terhadap apa yang ditafsirkan oleh masyarakat tersebut.

Terkait dengan sejarah Desa Perkebunan Ramunia, masyarakat percaya bahwa Desa mereka dijaga oleh seorang Mbah Jenggot. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Tukiran,

“Wilayah kampung kita ini dari dulu kata orang-orang tua kami dijaga sama Mbah Jenggot, orang sini semua tau kalo kampung ini dijaga Mbah Jenggot, dulu banyak kalo melakukan penyelesaian dan meminta petunjuk kepada Mbah Jenggot.”


(51)

Mbah Jenggot diyakini oleh masyarakat sebagai juru selamat kampung, sehingga dulu sering masyarakat melaksanakan berbagai ritual untuk penyelesaian sesuatu atau meminta petunjuk. Untuk sekarang justru berbeda dengan dahulu, keadaan masyarakat sudah berubah. Tetapi masyarakat masih meyakini Mbah Jenggot sebagai penjaga kampung.

Suatu hal yang dipercaya oleh masyarakat berdampak pada apa yang dilakukan oleh masyarakat. Dapat dilihat dari sebuah upacara kenduri tepung tawar yang dilaksanakan masyarakat petani dusun Anggrek Baru. Kenduri ini berhubungan dengan sejarah perjuangan lahan yang telah dilakukan oleh masyarakat. Perjuangan masa lalu yang memiliki harapan akan sesuatu dengan usaha yang tidak cepat bahkan bertahun-tahun. Harapan masyarakat disertai dengan apa yang dilakukan setelah berhasil yang merupakan sebuah ujaran dari masyarakat saat itu, Pak Tukiran mengatakan

“Kenduri tepung tawar ini kita lakukan karena ujaran-ujaran masyarakat kita dulu saat berjuang, ya ujarannya ya kita kalo menang kita akan buat kenduri tepung tawar setiap tahunnya”

Ujaran ini merupakan sebuah janji dari masyarakat, ujaran ini menjadi motivasi bagi masyarakat yang saat itu berjuang dan salah satu harapan untuk berhasil. Setelah keberhasilan diperoleh oleh masyarakat, masyarakat tidak melupakan ujaran ini sehingga masyarakat melaksanakannya setiap tahun. Dalam kenduri tepung tawar yang dilakukan oleh masyarakat, masyarakat melaksanakannya di Mesjid pada hari Jum’at setelah sholat Jum’at. Kenduri ini dilakukan dengan memotong kambing, kemudian kambing tersebut diolah oleh pihak perempuan sejak pagi dan setelah Sholat Jumat, kenduri ini dilaksanakan


(52)

dengan berupa doa-doa, kemudian makan bersama. Sedangkan setelah selesai makan bersama, kepala kambing yang disembelih pada pagi hari di pendam di dekat persimpangan jalan yang tidak jauh dari Mesjid. Untuk biaya dari kenduri ini diperoleh dari uang yang dikutip untuk setiap rumah tangga di dusun Anggrek baru.

Upacara kenduri tepung tawar ini dilaksanakan setiap tahunnya menjelang turun bibit, biasanya dilakukan pada bulan 4 (empat) atau 5 (lima). Dari dulu upacara ini memang dilaksanakan menjelang turun bibit. Penentuan waktu ini juga memiliki hubungan, karena selain ujaran ini bermakna syukuran dari perjuangan lahan yang telah dilakukan pada waktu dahulu, kenduri ini juga mempunyai makna bahwa tanah yang telah menjadi milik masyarakat ditanami padi, sehingga terdapat harapan agar lahan yang ditanami padi tersebut berkah dan menghasilkan panen yang memuaskan bagi petani.

Selain itu, kenduri ini juga berhubungan dengan apa yang diyakini oleh masyarakat terhadap Mbah Jenggot. Kenduri ini merupakan salah satu ritual meminta berkah pada yang Mahakuasa dan keyakinan lokal masyarakat petani. Ini berkaitan dengan mayoritas masyarakat yang suku Jawa dimana setiap wilayah desa itu mempunyai masing-masing penjaga. Setiap desa di sekitar daerah Pantai labu ini memiliki penjaga yang berbeda-beda. Kenduri ini dapat dikatakan sebagai akulturasi ritual agama Islam dengan budaya masyarakat Jawa. Sampai sekarang, ritual ini masih dilakukan oleh masyarakat dusun Anggrek dan tidak pernah sekalipun ritual ini ditiadakan atau tidak dilaksanakan dalam satu tahun.


(53)

Petani-petani mengatakan bahwa ritual kenduri tepung tawar yang dilaksanakan memberikan pengaruh yang baik terhadap tanaman padi mereka. petani dapat menikmati panen yang maksimal dan bahkan tidak pernah terjadi gagal panen di dusun tersebut sejak lahan tersebut dikelola pada awal 1995. Sebuah ujaran yang menjadi sebuah tradisi yang wajib dilaksanakan, masyarakat percaya apabila tidak melaksanakan ritual kenduri tepung tawar ini, maka tanaman padi tidak akan maksimal serta terdapat permasalahan lain yang akan menghampiri petani di dusun Anggrek Baru. Upacara Kenduri ini memiliki arti tersendiri lagi mengenai penyesuaian terhadap pola tanam ataupun penanaman padi yang serentak. Hal ini justru sangat mempengaruhi karena tidak ada yang petani yang berani menabur bibit sebelum dilakukannya kenduri ini. bagi petani, ini adalah hal yang sudah biasa dilaksanakan dan sejauh sejak adanya upacara kenduri ini, belum pernah ada petani yang melanggar hal tersebut. Ini bukan sebuah peraturan, tetapi hanya sebuah kenduri tapi mempunyai nilai-nilai, perilaku dan perwujudan sehingga memiliki makna yang luas dan saling berhubungan satu sama lain dan bagaimana kenduri tersebut menjadi suatu pedoman dalam yang mengungkap sejarah, mempererat hubungan, dan tentunya untuk membentuk pola pikir masyarakat bahwa dalam beraktivitas dalam pertanian harus dilakukan secara kompak dan bersama-sama. Hal ini sudah melekat pada petani-petani di dusun Anggrek sehingga menjadi tradisi yang akan masih dan akan terus dilaksanakan sampai kapanpun.


(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan

Perjuangan Lahan merupakan sesuatu yang menjadi sejarah penting bagi masyarakat petani di dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia. Perjuangan bukan dipandang sebagai sebuah tuntutan masyarakat tanpa alasan jelas, tetapi karena alasan penting yang menyangkut kehidupan masyarakat yang susah. Permasalahan kebutuhan hidup menjadi salah satu faktor penting yang membuat masyarakat berjuang demi lahan pertanian yang tidak seberapa jika dibandingkan luasnya perkebunan Ramunia sejak jaman Penjajahan Belanda. Dapat dilihat bahwa perjuangan lahan merupakan salah satu cara memperoleh identitas. Identitas itu berarti sebuah ketetapan yang dicapai dalam proses-proses yang tidak berlangsung secara cepat. Proses-proses tersebut membentuk suatu persatuan yang utuh yang terdapat dalam benak masing-masing masyarakat. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai cita-cita dari masyarakat sendiri yang menginginkan sebuah wilayah dimana mereka dapat hidup layaknya masyarakat lain. Proses ini juga tidak berlangsung secara cepat dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menjadi identitas itu sendiri yaitu petani. Latar belakang yang sebenarnya bukan petani melainkan sebagai masyarakat pekerja di sebuah perkebunan tidak membuat masyarakat tetap ingin menjadi pekerja atau buruh. Bukan tanpa alasan mengapa masyarakat melakukan hal ini, justru alasan-alasan dari masyarakat semakin menguatkan dan menyatukan masyarakat. Alasan-alasan ini juga


(55)

didasarkan pada status pekerja atau buruh yang semakin tidak jelas, bahwa perkebunan selalu berganti kepemilikan atau pihak yang mengelola perkebunan berganti-ganti sehingga membuat keadaan semakin susah bagi masyarakat dan tidak bisa lagi mengharapkan dari apa yang dihasilkan dari bekerja di perkebunan.

Perjuangan yang dilakukan merupakan proses dan hasilnya merupakan cita-cita, ini dapat ditunjukkan melalui kebersamaan dan persatuan kuat untuk mengubah tatanan kebudayaan masyarakat, terutama kebudayaaan petani. Perjuangan ini menciptakan nilai-nilai persatuan atau kebersamaan yang kuat diantara anggota masyarakat. Tentunya ini tampak dari sebuah dusun Anggrek Baru yang pindah wilayah akibat adanya ganti rugi Bandara Kualanamu. Masyarakat mendapat ganti rugi berupa uang yang dapat digunakan untuk membeli lapak dan rumah di tempat lain, tetapi secara kompak setelah ganti rugi diperoleh masyarakat bergotong royong merobohkan rumah, kemudian mengambil bahan-bahan yang bisa digunakan untuk membuat rumah di tanah yang diperjuangkan. Pembentukan sebuah dusun yang baru dilakukan dengan bersama-sama di tanah yang sebelumnya pernah diperjuangkan. Terbentuknya dusun pertanian yang baru membuat budaya petani semakin kuat dibentuk oleh masyarakat dengan dasar sejarah dan nilai perjuangan yang melekat pada diri masing-masing petani.

Terkait budaya petani, menunjukkan tradisi besar petani dan tradisi kecil petani. Tradisi besar petani dapat dilihat bagaimana petani mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang bukan dari kalangan petani, petani yang


(56)

sedang berjuang dibina atau diajarkan dan semakin dikuatkan masing-masing individu untuk tetap berjuang mendapatkan haknya. BITRA dan Mahasiswa merupakan bagian dari tradisi besar petani. Sedangkan petani juga memiliki kepercayaan lokal terhadap lingkungannya yang mempengaruhi cara berpikir di kalangan anggotanya, kepercayaan lokal yang ada pada petani berbentuk penafsiran terhadap lingkungan dan mempunyai hubungan dengan tradisi besar petani yang semakin menguatkan kepercayaan tersebut. Ini menghasilkan sebuah ujaran dari petani yang di dalamnya terkandung makna perjuangan dan harapan-harapan. Dari sebuah ujaran yang menjadi sebuah tradisi yang wajib dilaksanakan, masyarakat percaya apabila tidak melaksanakan ritual kenduri tepung tawar ini, maka tanaman padi tidak akan maksimal serta terdapat permasalahan lain yang akan menghampiri petani di dusun Anggrek Baru. Kenduri tersebut memiliki nilai-nilai, perilaku dan perwujudan sehingga memiliki makna yang luas dan saling berhubungan satu sama lain dan bagaimana kenduri tersebut menjadi suatu pedoman dalam yang mengungkap sejarah, mempererat hubungan, dan tentunya untuk membentuk pola pikir masyarakat bahwa dalam beraktivitas dalam pertanian harus dilakukan secara kompak dan bersama-sama.


(1)

- Notulis pada FGD (Fokus Group Discussion) “Konflik Agraria Pasca Reformasi di Sumut”, Medan, 2 Mei 2015.

- Terlibat dalam Penelitian Masyarakat Hukum Adat Sumatera sebagai Enumerator, Kerjasama KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) dan Laboraturium Antopologi USU, pada September-November 2014.

- Peserta a Public Lecture on “Barus History From XII Century : Major Findings of Indonesian-France Research Team” Delivered by Prof. Daniel Perret, Ph. D From EFEO France on 4th March 2014.

- Enumerator Survei Sosial dan Politik di Kabupaten Simalungun oleh Saiful Mujani Research and Consulting pada Mei dan Juni 2015.

- Enumerator Penerima Bantuan Sosial oleh Kementrian Sosial pada Oktober- Desember 2015 di Kota Tebing Tinggi.

- Peserta Pelatihan HAM (Hak Asasi Manusia) tingkat dasar yang diadakan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UNIMED dan Hutan Rakyat Institute (HaRI) pada Mei 2016.

- Peserta Movie Making Training dan Screening Film The Right to Live, 16 Oktober 2016.


(2)

KATA PENGANTAR

Judul skripsi ini adalah Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Sedang). Skripsi ini disusun dan diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini membahas tentang Petani dan Lahan yang merupakan upaya-upaya masyarakat dalam memperjuangkan lahan dan hasil dari perjuangan tersebut.

Skripsi ini merupakan kajian yang didasarkan pada data lapangan yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap petani di Dusun Anggrek Baru. Penggalian informasi kepada informan juga menekankan pada aspek masa lalu sehingga wawancaranya juga dilakukan dengan menggali ingatan informan. Selain itu data lapangan juga diperoleh melalui data sekunder yang diperoleh dari pemerintahan Desa, BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan HaRI (Hutan Rakyat Institute).

Dalam tulisan ini, sesuai dengan standar penulisan ilmiah, penulis membuat daftar pustaka, tabel, gambar hasil penelitian, peta lokasi serta surat penelitian yang mendukung isi tulisan.

Dalam penulisan skripsi ini, saya yakin akan adanya kekurangan sehingga dengan sengan hati saya menerima masukan, kritik dan saran untuk membuat skripsi ini lebih baik lagi. Demikian pengantar dari saya, besar harapan kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dalam bidang akademik maupun praktis.

Medan, September 2016

Rianda Purba


(3)

DARTAR ISI

Pernyataan Originalitas ... i

Abstrak ... ii

Ucapan Terimakasih ... iii

Riwayat Hidup ... vii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xii

Daftar Gambar ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Tinjauan Pustaka ... 7

1.3 Rumusan Masalah ... 15

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1.5 Metode Penelitian ... 16

1.5.1Data Primer ... 18

a. Observasi ... 18

b. Wawancara ... 19

1.5.2 Data Sekunder ... 20

1.5.3 Analisis Data ... 20

1.6 Pengalaman Penelitian ... 21

1.6.1 Awal Jumpa Dengan Informan ... 21

1.6.2 Ke Lapangan ... 22

BAB II GAMBARAN UMUM DESA PERKEBUNAN RAMUNIA ... 28

2.1 Sekilas Tentang Desa Perkebunan Ramunia ... 28

2.2 Sejarah Desa Perkebunan Ramunia ... 30

2.3 Wilayah Desa ... 32

2.4 Areal Persawahan ... 33

2.5 Kelompok Tani ... 34

2.6 Penduduk ... 35

2.6.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat ... 35

2.6.2 Mata Pencaharian Penduduk ... 37

2.7 Sarana dan Prasarana ... 40

2.7.1 Sarana dan Prasarana Kesehatan ... 41

2.7.2 Sarana dan Prasarana Olahraga ... 41

2.7.3Sarana dan Prasarana Ibadah ... 42

2.7.Sarana dan Prasarana Administrasi ... 43

2.8 Pola Pemukiman ... 43

BAB III PERJUANGAN LAHAN ... 45

3.1 Berjuang Menuju Keadilan ... 45

3.2 Kronologi Perubahan Kepemilikan Lahan ... 46


(4)

3.3.1Awal Perjuangan Masyarakat ... 53

3.3.2 Masuknya BITRA Sebagai Pendamping ... 54

3.3.3 Melalui Jalur Hukum... 60

3.3.4 Aksi Massa ... 61

3.4 Titik Terang Perjuangan Lahan ... 65

BAB IV DUSUN ANGGREK BARU SEBAGAI HASIL DAN PENGARUH DARI PERJUANGAN LAHAN ... 68

4.1 Dusun Yang Berpindah ... 68

4.2 Hasil Perjuangan dan Pengaruhnya Sekarang ... 71

4.2.1 Dusun Anggrek Baru... 74

4.2.2 Petani dan Pandangan Dunianya ... 76

4.2.3 Konflik Horizontal Masyarakat Dusun Anggrek Baru dengan Desa Tetangga ... 82

4.2.4 Dari Sebuah Ujaran Menjadi Tradisi yang Melekat ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

5.1 Kesimpulan ... 94

5.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Jumlah Penduduk Tiap Dusun... 39

Tabel 2 : Tingkat Pendidikan Masyarakat... 40

Tabel 3 : Mata Pencaharian Masyarakat... 43


(6)

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1: Kondisi Jalan dusun... 57

GAMBAR 2 : Kondisi jalan utama... 58

GAMBAR 3 : Lapangan di Dusun Anggrek...58

GAMBAR 4 : Kantor Kepala Desa... 59

GAMBAR 5 : Sekolah Dasar di Dusun Anggrek... 59

GAMBAR 6 : Tanah Wakaf di Dusun Anggrek... 60


Dokumen yang terkait

Perkebunan Tembakau Deli di Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak (1974-1996)

3 111 101

Evaluasi Kesesuaian Lahan di Kebun Bekala Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang untuk Tanaman Pepaya ( Carica papaya L. ) dan Pisang ( Musa acuminata COLLA )

0 62 66

Survey dan Pemetaan Tingkat Salinitas (DHL) Pada Lahan Sawah di Desa Sei Tuan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang

9 62 42

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Antara Petani Pengguna Pompa Air Dan Petani Pengguna Irigasi Pada Lahan Irigas) Di Kabupaten Deli Serdang (Studi Kasus: Desa Sidoarjo II Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang)

2 36 140

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 14

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 27

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 17

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

3 4 3

Petani dan Lahan (Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang)

0 0 1