Keterlibatan Uni Eropa dalam Perjanjian

TUGAS AKHIR INDIVIDU MBP EROPA TAHUN AJARAN 2015/2016
NAMA

:

WIWIT TRI RAHAYU

NIM

:

071311233082

Keterlibatan Uni Eropa dalam Perjanjian Lingkungan Internasional sebagai Upaya
Penanganan terhadap Isu Lingkungan
Asbtract
Environment becomes an important part in human life today and the future. Environment must
be considered on an ongoing basis. Environmental issues had just considered in depth from the
late 1970s, when many environmental cases becoming a threat to a country. Environmental
issues possesed on government of European countries at around 1980s, after previously tended
to ignore the interests of environmental issues. European countries that joined the European

Union even later became the pioneer on environmental issues. European Union’s participation
on environmental issues then considered for a lot of reasons. These reasons make environmental
issues play a role in the new policies created by the European Union. European’s environmental
issues include poluted air, water crisis, climate change, and also acid rain. European Union
tried to solve these problems by creating Environmental Action Programme (EAP), GMOs
restriction, and others. The European Union assessed using environmental issues to get its
interests through regulations associated with environmental safety. In fact, the European Union
policies on environmental issues were once considered contrary to world trade rules.
Abstrak
Lingkungan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia saat ini hingga nanti.
Lingkungan menjadi hal yang harus diperhatikan secara berkelanjutan. Isu lingkungan sendiri
baru diperhatikan secara mendalam sejak sekitar tahun 1970-an, yaitu ketika banyak kasus-

kasus lingkungan yang menjadi ancaman tersendiri bagi suatu negara. Isu lingkungan baru
berhasil menarik perhatian pemerintah negara-negara Eropa pada sekitar 1980-an, setelah
sebelumnya cenderung mengabaikan kepentingan terkait isu lingkungan. Negara-negara di
Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa bahkan kemudian menjadi negara-negara pelopor
dalam isu-isu lingkungan yang ada. Ketergabungan Uni Eropa dalam isu-isu lingkungan
dianggap memiliki banyak latar belakang. Latar belakang inilah yang membuat isu-isu
lingkungan turut berperan dalam berbagai kebijakan baru yang diciptakan oleh Uni Eropa. Isu

lingkungan yang ada di Eropa antara lain adalah polusi udara, krisis air, hujan asam, dan juga
perubahan iklim. Uni Eropa melakukan banyak upaya penanganan terhadap isu tersebut dengan
membuat Environtmental Action Programme (EAP), restriksi GMOs, dan sebagainya. Uni Eropa
dinilai menggunakan isu-isu lingkungan untuk memenuhi kepentingannya melalui peraturanperaturan yang dikaitkan dengan keamanan lingkungan. Bahkan, kebijakan Uni Eropa terkait
isu lingkungan pernah dianggap bertentangan dengan peraturan dagang dunia.

Pendahuluan
Seiring dengan munculnya globalisasi, isu-isu yang diangkat dalam ranah internasional
tidak hanya berfokus pada isu high politics saja. Globalisasi telah mengubah arah pembahasan
internasional karena dampak yang dibawa telah meluas hingga isu-isu low politics. Isu-isu ini
kemudian mendorong banyak negara untuk mulai memperhatikan hal baru, salah satunya adalah
lingkungan. Tidak terkecuali dengan negara Eropa yang mulai aktif menyuarakan isu lingkungan
terhitung sejak dua dekade terakhir. Uni Eropa mulai aktif dalam isu lingkungan setelah Amerika
Serikat lebih dulu concern terhadap lingkungan, terbukti dengan diadakannya United Nation
Conference on the Human Environment pada tahun 1972, Convention on International Trade in
Endangered Species (CITES) pada tahun 1973, dan Montreal Protocol on Ozone Depleting
Substances pada sekitar pertengahan 1980-an. Namun setelah tahun 1980-an Amerika Serikat
dinilai mulai lambat dalam menangani isu lingkungan sehingga Uni Eropa muncul sebagai new

leader dalam isu lingkungan internasional. Hal ini menunjukkan bahwa Uni Eropa turut aktif

berperan dalam penanganan isu lingkungan baik dalam skala nasional ataupun internasional.
Dalam penjelasan kali ini penulis akan membahas keterlibatan Uni Eropa dalam isu lingkungan
global sebagai upaya dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan yang dihadapi.
Pembahasan
Alasan Uni Eropa dalam menyuarakan isu-isu politik dapat dikatakan merupakan upaya
Uni Eropa untuk menggabungkan politik domestiknya dan juga persaingan dalam peraturan
internasional. Hal ini dikarenakan politik domestik Uni Eropa menuntut agar diciptakannya
regulasi dan standar khusus dalam persaingan internasional, terlebih di bidang lingkungan.
Penciptaan regulasi ini dimaksudkan agar Uni Eropa mampu menjadi pelopor dalam peraturan
internasional sehinga kepentingan akan lebih mudah dicapai. Selain itu, aktifnya Uni Eropa
dalam isu lingkungan juga secara tidak langsung akan mengindikasikan eksistensi dalam
melindungi Uni Eropa dari berbagai tantangan terkait. Jacoby dan Meunier (2010, dalam
Kelemen, 2010: 336) berpendapat bahwa Uni Eropa menangani isu lingkungan juga sebagai
upaya untuk merespon globalisasi yang ada. Upaya ini dilakukan melalui dua strategi utama
yaitu exercising regulatory influence dan empowering international institutions. Globalisasi
dianggap setidaknya memiliki dua ancaman tersendiri bagi setiap negara. Pertama adalah
liberalisasi perdagangan yang akan mendorong negara-negara Eropa untuk menurunkan standar
atau race to the bottom agar dapat bersaing. Ancaman selanjutnya adalah adanya lembagalembaga internasional yang turut mempromosikan liberalisasi ekonomi. Sehingga untuk menolak
adanya race to the bottom, maka Uni Eropa mencoba untuk meningkatkan dan memperketat
standar lingkungan.

Ada banyak pendapat yang menyatakan tentang alasan keterlibatan Uni Eropa dalam
penanganan isu lingkungan global. Ahli yang memandang kepentingan fungsional melihat
keterlibatan ini sebagai suatu kebutuhan, karena isu lingkungan tidak dapat diselesaikan secara
personal. Namun ada juga ahli yang berpendapat bahwa keterlibatan tersebut memiliki hubungan
yang erat dengan peningkatan kekayaan individu yang kemudian mendorong untuk menyebarkan
nilai-nilai pos-materialis, salah satunya adalah peningkatan perlindungan terhadap lingkungan.
Peningkatan perlindungan ini disalurkan melalui proses politik hingga suatu negara kemudian
memutuskan untuk meratifikasi suatu perjanjian terkait lingkungan. Pendapat lain muncul dari

ahli konstruktivis yang mengatakan bahwa Uni Eropa melakukan ini semua karena
dikonstruksikan oleh rezim lingkungan global, bukan karena pengaruh politik domestik. Ahli lain
dalam sebuah literatur mencoba melihat dari kebijakan luar negeri Uni Eropa. Pendapat ini
menyatakan bahwa kepemimpinan Uni Eropa dalam pemerintahan lingkungan global memiliki
tujuan untuk menunjukkan identitasnya sebagai civilian power. Uni Eropa ingin menunjukkan
kemampuannya untuk menjadi civilian power di bidang-bidang tertentu seperti lingkungan,
demokrasi, perdagangan, hak asasi manusia. Hal ini dikarenakan Uni Eropa tidak begitu mampu
menjadi leader di bidang militer dan keamanan (Kelemen, 2010: 378).
Kesempatan Uni Eropa untuk menunjukkan dirinya sebagai civilian power dimulai pada
sekitar tahun 1970-an hingga 1990-an ketika diberi wewenang untuk mewakili anggotanya
dalam negosiasi lingkungan internasional. Hal ini kemudian juga dibuktikan dengan komitmen

Uni Eropa untuk membentuk Environmental Action Programme (EAP) pada tahun 1973 yang
masih berlangsung hingga sekarang. Uni Eropa juga menunjukkan peran aktifnya dalam Rio
Summit yang diadakan pada tahun 1992 dan terus konsisten untuk memimpin dalam multilateral
Environment Agreements (MEAs). Namun jika ditelusuri lebih jauh lagi, kemunculan Uni Eropa
sebagai pelopor dalam isu lingkungan tidak terlepas dari peran aktivis lingkungan atau yang
disebut dengan environmentalist. Aktivis ini muncul di Eropa pada tahun 1970-an dengan
membawa kasus seperti forest death akibat hujan asam pada awal tahun 1980-an, bencana nuklir
Chernobyl tahun 1986, ditemukannya lubang pada lapisan ozon, serta skandal berkaitan dengan
pengiriman sampah-sampah beracun yang meningkatkan isu lingkungan antarnegara.
Kemunculan aktivis lingkungan turut menggeser opini publik hingga akhirnya muncul Green
party yang berhasil ikut dalam proses pemilihan. Barulah kemudian pada tahun 1990-an Uni
Eropa mulai mencoba untuk menyebarkan standar lingkungannya (Kelemen, 2010: 341).
Isu Lingkungan di Eropa
Aktifnya Uni Eropa dalam menyuarakan permasalahan lingkungan juga berangkat dari
permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh negara-negara anggotanya. Permasalahan yang
muncul juga tidak terlepas dari globalisasi dan juga peningkatan industri. Permasalahan
lingkungan juga sering dikaitkan dengan kepentingan ekonomi dan politik suatu negara yang
cenderung mengabaikan terhadap pembangunan lingkungan yang berkelanjutan. Namun,
permasalahan lingkungan tidak melulu merupakan akibat dari perbuatan manusia. Permasalahan


lingkungan dapat pula muncul akibat proses alamiah yang kemudian mengakibatkan suatu
dampak buruk terhadap lingkungan. Beberapa permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh
negara-negara di Eropa antara lain adalah perubahan iklim, polusi udara, krisis air, dan juga
hujan asam.


Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan permasalahan lingkungan yang sedang dihadapi oleh

banyak negara dunia, tidak terkecuali dengan negara-negara yang ada di Eropa. Perubahan iklim
sendiri dapat diartikan atau diketahui dengan melihat pada perubahan pola penyebaran cuaca
atau musim yang tidak seperti biasanya. Perubahan iklim sendiri dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti pemanasan global. Pemanasan global sendiri memiliki banyak penyebab, seperti
pembakaran hutan, penggunaan energi yang berlebihan, serta aktivitas pembakaran lainnya.
Pemanasan global yang ditandai dengan meningkatnya suhu bumi ini dapat menyebabkan
peningkatan emisi gas (Confartigianato, t.t: 37). Perubahan iklim di Eropa sendiri telah
menyebabkan banyak perubahan. Penyebaran curah hujan di Eropa terlihat mulai tidak merata,
lapisan es di Greenland juga mulai mencair. Perubahan iklim telah membawa banyak dampak
bagi lingkungan Eropa. Banyak spesies hidup seperti hewan dan tumbuhan yang mulai mati
karena tidak cocok dengan suhu yang ada sekarang. Penurunan jumlah spesies tersebut secara

tidak langsung juga turut berpengaruh bagi kehidupan sehari-hari manusia (European
Environment Agency, 2015).
Eropa mulai menaruh perhatian pada perubahan iklim pada akhir 1980-an ketika politik
domestik menuntut adanya pembatasan terhadap emisi gas rumah kaca. Pemerintah-pemerintah
negara anggota Uni Eropa bahkan telah mendahului untuk membuat komitmen pengurangan CO 2
pada tahun 1989. Uni Eropa kemudian mulai membuat kebijakan terkait emisi karbon terhadap
negara-negara anggotanya. Aturan ini dibedakan bagi setiap anggota. Anggota yang masuk ke
dalam developed country diharuskan untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan, sedangkan
negara anggota yang less developed diperbolehkan untuk meningkatkan emisi. Hal ini dikaitkan
dengan pertumbuhan ekonomi yang dimiliki oleh setiap negara anggota. Kebijakan Uni Eropa
untuk mengurangi emisi karbon dinilai akan merugikan perusahaan-perusahaan industri di Eropa
dalam persaingan internasional. Kebutuhan untuk reduksi emisi yang tergolong mahal akan
membuat industri di Eropa menjadi tidak mampu bersaing kecuali jika pesaing juga menerapkan

regulasi yang sama. Dalam rangka mereduksi emisi karbon, Uni Eropa kemudian menerapkan
adanya carbon tax terhitung sejak 1990 dan meminta negara-negara anggota untuk melakukan
hal yang sama hingga diadakannya Rio Earth Summit tahun 1992. Namun banyak negara yang
kemudian menolak hingga akhirnya Komisi pun menghilangkan aturan tersebut.
Kegagalan tersebut akhirnya membawa Uni Eropa untuk ikut dalam Kyoto Protocol
tahun 1995 dan 1997. Pada tahun ini, terbukti bahwa sejak tahun 1990 pertumbuhan ekonomi di

Eropa melambat karena adanya reduksi karbon jika dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Dengan adanya Protokol Kyoto, Amerika Serikat kemudian diharuskan untuk mengurangi
karbon sebanyak 30% - 35%, sedangkan Uni Eropa hanya dituntut untuk mengurangi 15% 20%. Beberapa ahli kemudian menilai bahwa ketergabungan Uni Eropa dalam negosiasi
perubahan iklim merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan efektivitas persaingan
dengan membawa isu lingkungan. Karena melalui negosiasi seperti inilah Uni Eropa secara tidak
langsung dapat memaksa negara pesaing untuk turut melakukan hal yang sama dengan yang
telah dilakukan, seperti peningkatan pajak energi. Namun yang perlu untuk digarisbawahi dalam
hal ini adalah bahwa ketergabungan Uni Eropa dengan Protokol Kyoto merupakan upaya dalam
memenuhi tuntutan dari politik domestik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Uni Eropa
juga dianggap berhasil menggunakan kerangka yang telah disusun dalam Protokol Kyoto dan
United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) untuk menarik developing
countries bergabung melawan perubahan iklim dengan menggunakan standar dan tekhnologi
yang diterapkan oleh Uni Eropa (Kelemen, 2010: 345)


Polusi Udara
Polusi dara juga menjadi masalah bagi negara-negara anggota Uni Eropa, pasalnya

banyaknya kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik industri menjadi yang menjadi penyumbang
perekonomian turut menjadi penyumbang dalam polusi udara. Terhitung bahwa 40% dari gas

rumah kaca dan 70% dari total polutan yang ada di udara disebabkan oleh kendaraan (Nakate,
2011). Faktor industri juga menjadi penyebab terjadinya polusi udara di Eropa, selain polusi
udara yang disebabkan oleh hasil pembakaran bahan bakar kendaraan. Faktor industri sejak
tahun 1990 telah menjadi sorotan karena kegiatannya telah menyumbang polusi udara yang
membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia. Inggris merupakan negara di Eropa yang
memiliki tingkat polusi udara tinggi. Polusi udara di Inggris ini ditandai dengan adanya kabut

asap di daerah London pada waktu tertentu. Kabut asap merupakan reaksi antara sinar matahari
dengan gas-gas polusi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor ataupun pabrik. Kabut asap
terparah tercatat pada tahun 1952 ketika banyak manusia yang mengalami sakit pernafasan
hingga korban jiwa (Nakate, 2011).


Hujan Asam
Sebagaimana diketahui bahwa hujan asam merupakan fenomena hujan dengan kadar

keasaman air di bawah 5,6 pH. Hujan asam dapat terjadi ketika tingkat polusi udara terlalu
tinggi, khususnya gas sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Reaksi keduanya ini kemudian akan
membentuk sulfat dan asam nitrat di atmosfer, sehingga ketika hujan turun kadar keasaman air
dari langit akan berubah (Putatunda, 2012). Hujan asam bukanlah fenomena baru di negaranegara anggota Uni Eropa. Hujan asam di wilayah Eropa terjadi akibat banyaknya pabrik industri

yang beroperasi, terlebih sejak adanya revolusi industri. Revolusi industri meningkatkan kadar
polusi udara secara signifikan di wilayah Eropa. Pada tahun 1980-an, beberapa negara di wilayah
Eropa seperti Jerman, Austria, dan Yunani telah mengalami hujan asam dengan total kerusakan
mencapai 25% di hutan (Nakate, 2011).


Krisis Air
Krisis air merupakan permasalahan lingkungan yang serius karena air merupakan

sumber pokok bagi kehidupan manusia. Seiring dengan meningkatnya populasi manusia,
kebutuhan akan air semakin banyak. Namun banyaknya aktivitas yang ada juga menambah
tingkat polusi dalam air. Pencemaran air yang menjadi salah satu penyebab krisis air terjadi
akibat adanya limbah yang mengganggu kebersihan dan kelayakan air untuk digunakan. Selain
itu, krisis air juga disebabkan oleh kemarau panjang dan juga eksploitasi air yang berlebihan.
Eksploitasi air yang berlebihan ini biasanya dilakukan oleh perusahaan air minum kemasan yang
memiliki lisensi untuk melakukan pengambilan air sebanyak kebutuhannya. Di Eropa sendiri,
kekeringan meningkat sebesar 20% terhitung sejak 1976 hingga 2006 (European Commission,
2012). Eropa keudian mulai melakukan pengelolaan dan manajemen terhadap penggunaan air
bersih agar pemanfaatan air dapat lebih maksimal dan merata. Krisis air menjadi permasalahan
yang serius karena kebutuhan akan air bersifat continue.


Upaya Penanganan Isu Lingkungan
Uni Eropa berusaha untuk menangani permasalahan lingkungan di negara-negara
anggota dan juga non-anggota melalui berbagai perjanjian dan program. Di antaranya adalah
Environmental Action Programme (EAP) yang dimulai sejak tahun 1973, restriksi GMOs, dan
juga Greening World Trade.


Environmental Action Programme (EAP)
EAP pertama (1973-1977) tertuju pada persoalan polusi, yaitu terkait sumber penyebab

dan dampaknya terhadap air, udara, tanah dengan mengusung prinsip “who pollutes pays”.
Prinsip ini dijalankan dengan memberikan hukuman terhadap negara-negara yang menghasilkan
polusi melebihi batas yang disepakati. Negara tersebut harus bertanggung jawab atas dampak
negatif yang ditimbulkan. EAP pertama cenderung memiliki fokus terhadap pengelolaan air
untuk menghindari krisis air (Confatigianato, t.t: 7). Pada EAP kedua (1977-1981) isu
lingkungan yang dibahas oleh negara-negara Uni Eropa mengalami perkembangan dengan
bahasan

mengenai

perlindungan

lingkungan

secara

menyeluruh.

EAP

juga

mulai

mensosialisasikan kriteria air dan udara yang berkualitas. Selain itu, EAP juga menetapkan
standar dan kualitas air yang layak dijadikan sebagai air minum untuk menghindari munculnya
masalah kesehatan (Hey, t.t: 19). EAP ketiga (1982-1986) memiliki fokus terhadap kebijakan
mengenai pencegahan kerusakan lingkungan (Confatigianato, t.t: 8). Kebijakan lingkungan
dibentuk dengan tetap mempertimbangkan aspek keuntungan dan kerugian terhadap pasar
internal. EAP ketiga memiliki fokus untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan
tetap memperhatikan lingkungan (Hey, t.t: 20). EAP keempat (1987-1992) disebut-sebut sebagai
turning point dalam kebijakan lingkungan di kawasan Eropa. EAP keempat juga fokus dalam
mengharmonisasikan antara kepentingan ekonomi dan proteksi lingkungan (Hey, t.t: 20).
Perbedaan antara EAP ketiga dan keempat adalah skala penerapannya yang mulai terintegrasi
dalam skala regional. Sejak EAP keempat dijalankan dengan mulai mempertimbangkan istilah
sustainable development.
EAP kelima (1992-1995) disebut sebagai momen roll-back dalam perkembangan
kebijakan lingkungan di Eropa. Hal itu disebabkan karena Uni Eropa kembali memberlakukan
sistem desentralisasi dalam pembentukan kebijakan lingkungan sehingga menurunkan integrasi
negara-negara Eropa (Hey, t.t: 23). EAP keenam (1997-2003) diawali dengan penandatanganan

Amsterdam Treaty pada tahun 1977. Perjanjian ini berisi kesepakatan Uni Eropa untuk
mengintegrasikan kembali negara-negara anggotanya dalam hal pembuatan kebijakan
lingkungan. Fokus EAP keenam adalah integrasi antarnegara dan pembangunan berkelanjutan.
EAP keenam juga mulai melibatkan pihak luar dengan mengundang NGO yang fokus terhadap
lingkungan. EAP ketujuh (2013-2020) memiliki fokus yang lebih luas dari pada EAP sebelumsebelumnya. Focus tersebut didedikasikan untuk mengatasi masalah iklim dan energi,
penggunaan sumber daya, mendorong para pelaku industri untuk bisa menghasilkan produk
dengan cara yang efisien, bersifat lebih tahan lama, mudah diperbaiki dan didaur ulang.


Kasus GMOs
Pada tahun 1990-an, Uni Eropa turut menyuarakan kesehatan, keamanan koonsumen,

dan perhatian terhadap lingkungan di Eropa dengan mengeluarkan rezim regulasi yang dinilai
paling ketat di dunia terkait otorisasi dan pelabelan genetically modified organism (GMOs) atau
transgenik. Uni Eropa kemudian mengenalkan peraturan umum baru terkait dengan
eksperimental rilis, pemasaran, pelabelan, dan tracing GMOs pada sekiar tahun 2001 dan 2003.
Pemunculan regulasi baru ini didasarkan pada Precautionary Principle yang mengharuskan para
pembuat kebijakan untuk bertindak membatasi produk yang membahayakan. Rezim ini
dihadapkan dengan serangan hukum karena dianggap sebagai unjustified trade barrier. Amerika
Serikat sebagai produsen dan eksportir utama GMOs menganggap regulasi Uni Eropa terkait
GMOs bukanlah regulasi yang adil dan merugikan bagi Amerika Serikat (Kelemen, 2010: 342).
Maraknya perlawanan terhadap Frankenstein foods juga menjadi keuntungan tersendiri
bagi Uni Eropa untuk menyebarkan restriksi GMOs. Uni Eropa mencoba menyebarkan
pendekatan rezim regulasi GMOs melalui protool tahun 1992 dalam Convention on Biodiversity.
Uni Eropa kemudian berhasil mempelopori pembentukan Cartagena Protocol on Biosafety tahun
2000 yang di dalamnya mengadopsi Precautionary Principle sebagai dasar justifikasi dalam
restriksi perdagangan di bidang transgenik. Penggunaan prinsip tersebut dalam Cartagena
Protocol dinilai oleh para ahli sebagai upaya untuk mempermudah suatu negara melakukan
blokade terhadap import GMOs. Dengan menciptakan lembaga standar di tingkat internasional,
Uni Eropa secara tidak langsung juga telah meningkatkan legitimasi terhadap Precautionary
Principle. Di sisi lain, meskipun aturan ini dianggap sebagai unjustified trade barrier, sebagai
sebuah standar domestik yang diadopsi dalam perjanjian internasional, Precautionary Principle

tidak dapat dianggap sebagai sebuah hambatan dalam perdagangan. Meskipun demikian,
Amerika Serikat yang merasa dirugikan kemudian mengajak Kanada dan Argentina untuk
melaporkan kepada World Trade Organiztion (WTO) bahwa moratorium aturan Uni Eropa
terhadap GMOs pada rentang tahun 1999 dan 2003 telah melanggar aturan perdagangan dunia.
Pada tahun 2004, Uni Eropa mengangkat moratorium dengan mulai melakukan perubahan dan
evaluasi terhadap restriksi GMOs, salah satunya adalah memperbolehkan genetically modified
foodstuffs atau bahan makanan yang dimodifikasi secara genetik. WTO baru mengeluarkan
keputusan pada tahun 2006 dengan menyatakan bahwa moratorium Uni Eropa tahun 1999 dan
2003 adalah ilegal. Meskipun Uni Eropa akhirnya menerima pernyataan tersebut, namun ia
menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak akan merubah sistem baru regulasi GMOs yang
telah ada sejak tahun 2004 yang juga didasarkan pada evaluasi ilmiah (Kelemen, 2010: 343).


Greening World Trade
Usaha Uni Eropa dalam menangani akibat yang ditimbulkan oleh adanya globalisasi

terhadap peraturan terkait lingkungan telah dibuktikan dengan menjalankan dua strategi dasar.
Pertama dengan mencoba untuk globalize standar lingkungan yang diciptakan melalui MEAs,
seperti yang dilakukan dalam Protokol Cartagena dan Protokol Kyoto. Kedua, dengan
menyebarkan perdagangan internasional yang bersifat “green”. Uni Eropa menunjukkan
komitmennya terhadap isu lingkungan di bawah MEAs dengan mengubah beberapa aturan
perdagangan internasionalnya. Akibatnya, tidak jarang Uni Eropa mengalami konflik terkait
dengan aturan perdagangan bebas dan kebijakan lingkungan. Namun Artikel XX dalam GATT
telah menyebutkan bahwa ada pengecualian umum dalam perdagangan bebas yang
memungkinkan penandatangan untuk melakukan restriksi dengan alasan lingkungan. Selama
Putaran Uruguay, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menuntut adanya aturan tambahan yang
menjelaskan hak negara untuk menjaga peraturan domestiknya terkait lingkungan. Hal ini
kemudian menghasilkan Agreements on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) dan
Technical Barriers to Trade (TBT) (Kelemen, 2010: 345).
Uni Eropa kemudian kembali memunculkan tuntutan tentang bagaimana WTO akan
menyikapi perbedaan antara kewajiban perdagangan dalam MEAs dan aturan umum tentang
perdagangan bebas yang dimunculkan oleh WTO. MEAs mengatur banyak hal tentang
perdagangan, contohnya Convention on Trade in Endangered Species (CITES) yang melarang

perdagangan terhadap hewan yang membahayakan dan Protokol Montreal melarang import
CFCs dari non-parties. Uni Eropa kemudian mencoba membahas ini pada Putaran Doha dengan
menuntut adanya perubahan aturan yang mencakup aturan dalam MEAs.
Kesimpulan dan Opini
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Uni Eropa memiliki ketertarikan dalam
menyuarakan isu lingkungan dengan berbagai latar belakang. Para ahli memberikan berbagai
argumen terkait alasan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa Uni Eropa mengikuti berbagai
macam MEAs karena ada dorongan fungsionalis, yaitu kebutuhan penyelesaian isu lingkungan
yang membutuhkan kerjasama antarnegara. Selain itu ada pengaruh dari politik domestik dan
persaingan internasional. Ada juga yang berpendapat bahwa ketergabungan Uni Eropa dalam
menangani kasus lingkungan merupakan hasil dari konstruksi rezim lingkungan dunia. Uni
Eropa juga mencoba untuk menjadi leader dalam berbagai perjanjian lingkungan internasional.
Hal ini ditujukan agar Uni Eropa mendapatkan banyak legitimasi untuk menjadi civilian power.
Isu lingkungan yang muncul di wilayah Eropa di antaranya adalah krisis air, hujan asam, polusi
udara, dan perubahan iklim. Upaya Uni Eropa dalam menangani kasus tersbut diantaranya adalah
dengan mengadakan EAP, restriksi GMOs, Greening World Trade, dan sebagainya.
Penulis berpendapat bahwa upaya Uni Eropa dalam menyelesaikan kasus terkait
lingkungan dapat dikatakan sebagai pisau bermata dua. Karena selain untuk menyelesaikan
permasalahan lingkungan, Uni Eropa juga berusaha meraih kepentingan melalui perjanjian yang
diinisiasinya. Dalam hal ekonomi misalnya, dengan mempelopori suatu perjanjian lingkungan,
Uni Eropa akan mampu mempengaruhi negara-negara untuk melakukan apa yang Uni Eropa
lakukan. Contohnya, ketika Uni Eropa melakukan reduksi emisi karbon, negara yang tergabung
dalam perjanjian tersebut memiliki kewajiban yang sama untuk melakukan reduksi emisi karbon.
Dengan demikian persaingan akan semakin kompetitif. Ketika Uni Eropa mengeluarkan suatu
peraturan dan tidak mendapat legitimasi dari negara lain, hal tersebut akan terkesan sia-sia.
Keterlibatan Uni Eropa dalam isu lingkungan menjadi strategi Uni Eropa untuk menciptakan
lingkungan yang aman bagi negaranya namun tetap mampu bersaing dengan negara lain.
Penciptaan perjanjian yang ditandatangani oleh beberapa negara juga akan mempermudah Uni
Eropa dalam melakukan restriksi perdagangan yang terlepas dari kategori unjustified trade
barrier.

Referensi
Confartigianato. t.t. EU Environmental Issues and Policies Guidelines. [pdf]
European Commission. 2012. Environment: Water Scarcity & Droughts in the European Union.
[online] Tersedia dalam: http://ec.europa.eu/environment/water/quantity/ about.htm
[diakses pad 3 Januari 2016].
European Union. 2002. A European Strategy for Sustainable Development. EU Commission
Office: Official Publications of The European Communities. Luxemburg
Hey, Christian. t.t. “EU Environmental Policies: A Short History of the Policy Strategies”, dalam
Scheuer Stefan, EU Environmental Policy Handbook: A Critical Analysis of EU
Environmental Legislation. European Environmental Bureau (EEB).
Kelemen, R. Daniel. 2010. “Globalizing European Union Environmental Policy”, dalam Journal
of European Public Policy [pdf]. Routledge: Taylor & Francis Group.
Nakate, Shashank. 2011. Environmental Issues in Europe. [online] Tersedia dalam:
http://www.buzzle.com/articles/environmental-issues-in-europe.html [diakses pada 2
Januari 2016].
Nigel, Haigh. 1996. Climate Change Policies and the Politics in the European
Community. Routledge: London. pp. 159-64.
Peycheva, Darina et al. 2014. Attitudes Towards Environmental Issues: Empirical Evidence in
Europe and the United States. [pdf] Transworld Working Paper.
Putatunda, Rita. 2012. Causes and Effects of Acid Rain. [online] Tersedia dalam:
http://www.buzzle.com/articles/causes-and-effects-of-acid-rain.html
Januari 2016].

[diakses

pada

2