Resiliensi remaja yatim piatu di panti asuhan Mardi Siwi Kalasan Yogyakarta - USD Repository
RESILIENSI REMAJA YATIM PIATU DI PANTI ASUHAN MARDI SIWI KALASAN YOGYAKARTA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
RESILIENSI REMAJA YATIM PIATU DI PANTI ASUHAN MARDI SIWI KALASAN YOGYAKARTA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Terus berlari ke depan dengan harapan…
“Aku tidak akan menyerah….
Dan aku….tidak akan pernah menyerah lagi….”
Selesaikan pertandingan ini……sampai keringat
menjadi buah Yang manis……
Perjalanan yang hebat ini dimulai dengan keberanian
untuk mengambil sebuah langkah awal yang kecil..
sampai akhirnya bisa berlari…Dan keringat pun
telah menjadi….buah yang manis…..
(Yogyakarta, 19 Januari 2009, 00.20 WIB, maybe I’m not the LUCKIEST
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
MOTTO “Orang yang sukses adalah orang yang bisa
membangun landasan yang kuat dengan
batubata yang dilemparkan orang lain
kepadanya... “RESILIENSI REMAJA YATIM PIATU DI PANTI ASUHAN MARDI SIWI, KALASAN, YOGYAKARTA Cahaya Afriani Napitupulu Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ABSTRAK
Penelitian ini adalah penelitian mengenai resiliensi pada remaja yatim
piatu di panti asuhan. Resiliensi adalah kapasitas yang bersifat universal untuk
mencegah, meminimalisir atau melawan pengaruh yang merusak saat
mengalami kemalangan atau ketidakberuntungan. Resiliensi memberi
kemampuan untuk bangkit kembali dari hal yang tidak menyenangkan. Pada
remaja yatim piatu ada kondisi-kondisi yang bisa mneyebabkan mereka
mengalami banyak tekanan terkait dengan kondisi mereka sebagai remaja
dengan kondisi internal dan eksternalnya yang bergejolak secara bersamaan dan
kondisi tidak adanya orang tua. Penelitian dilakukan di panti asuhan dengan
asumsi bahwa kondisi di panti asuhan berbeda dengan kondisi di luar panti
asuhan dimana ada batasan, aturan, interaksi dan sistem yang berlaku.Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif eksploratif. Penelitian kualitatif adalah suatu proses pendekatan
dengan pemahaman yang berdasarkan pada tradisi metodologis yang jelas untuk
mengangkat masalah sosial atau manusia. Peneliti membangun sesuatu yang
kompleks, gambaran secara keseluruhan, menganalisis kata, melaporkan secara
detil dari sudut pandang subyek dan melakukan penelitian dalam setting alami.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan resiliensi remaja yatim piatu di panti
IN THE MARDI SIWI ORPHANAGE KALASAN YOGYAKARTA Cahaya Afriani Napitupulu Psychology Faculty Sanata Dharma University Yogyakarta ABSTRACT
This research was about resilience of the teenage orphan in the
orphanage. Resilience is universal capacities to prevent, minimalize or againts
destructive influence when experiencing disaster or bad luck. Resilience gives
abilities to get up arise from unpleasant situation. There are many conditions
that can create pressure in life of teenage orphans in relation to their internal
and external conditions as teenagers and orphan. This research was conducted
in the orphanage with an assumption that conditions at the orphanage were
different from condition in the other home because there are roles, limitedness,
interaction and system applied.This research was conducted using a qualitative approach. Qualitative
research is an inquiry process of understanding based on distinct
methodological traditions of inquiry that explored a social or human problem.
The researcher built a complex, holistic picture, analyzed words, reported
detailed views of informants, and conducted the study in a natural setting. The
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Resiliensi Remaja Yatim Piatu di
Panti Asuhan Mardi Siwi Kalasan Yogyakarta”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Selama proses penulisan skripsi ini banyak pihak-pihak yang
sudah terlibat dalam menyumbangkan pikiran maupun waktunya kepada
penulis. Oleh karena itu penulis menghargai segala bantuan dan dukungan
yang telah diberikan tersebut. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:1. Bapa yang penuh kasih dan pengampunan, Juruslamat yang hidup
Tuhanku Yesus Kristus. (“Skripsi ini bisa selesai bukan karena kuatku,
namun karena Engkau Tuhan yang memberi hikmat dan penyertaan..sgala
`menghadapi penulis, atas semangat yang sudah diberikan dan untuk banyak hal yang bisa penulis pelajari dari proses ini sampai akhirnya skripsi ini selesai”)
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma. (”Terima kasih telah memberi banyak pelajaran berharga selama berproses di universitas ini) special thanks untuk ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M. Si. (“Makasih bu untuk bantuan buku resiliensi karya Grotberg tahun 1995, berharga banget....secara…nyari buku tentang resiliensi bagai mencari jarum dalam jerami di tengah ujan badai…trims banget…” dan juga untuk bapak V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi., M. Si. (”Trimakasih banyak untuk inspirasinya…mungkin bapak lupa…tapi ide tentang resiliensi ini secara tidak langsung berasal dari bapak…”)
6. Seluruh staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Mas Gandung
(”Makasih mas, aku seneng banget sama mas ini coz slalu senyum dandan iman akan Tuhan…dan untuk semua kebaikan ibu selama penulis melakukan proses penelitian di panti asuhan…Tuhan memberkati…”)
8. Kedua subyek Ririn dan Sinta (”Trimakasih untuk kerjasamanya…hidup
kalian mengajarkan saya untuk slalu ingat bersyukur dan mengasihi sesama…nuhun yaaah…don’t worry, everything gonna be allright…” ) dan untuk semua teman-teman di panti asuhan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu (“I love u all!!!!)
9. Papa sayang (“Terimakasih pah…untuk semua harapan dan doa yang
pernah teriring,…maybe I never gonna be good enough for u and I can’t be perfect…but I just want to make u proud and I LOVE U SO MUCH DAD…really, dengan sepenuh hati…” ) dan u n t u k mama ku tercinta (“Terimakasih banget buat ketulusan doa mamah, untuk semua dukungan di saat aku terjatuh, di saat semua yang ada pergi meninggalkan, mama selalu ada di sana untuk aku…and I always turn to u…kasih dan semua halmasukannya…untuk setiap SMS yang menguatkan, untuk doa yang terucap, untuk segala dukungan dan bantuan, berarti banget lho, semoga cepet dapet kerja dan cepet jadi orang kaya..nggak makan mie terus kaya waktu di Timles, hehe, kapan ke Bandung lagi we???
pemandu yang aneh!!!!, hehehe, smangat!! Tuhan Yesus memberkati..”
12. Untuk Yuyie, Tyas dan Mitha yang menghimbur ketika selesai ujian skripsi
hehehe dan semua teman-teman angkatan 2004, adik dan kakak kelas (“Trimakasih untuk pengalaman dan pelajaran hidup selama berprosesbersama di fakultas ini, mari kita benar-benar menggunakan ilmu yang kita
sudah dapat untuk menjadi ‘sesuatu yang berguna’ bagi bangsa ini dan sesama…Rock ‘n Roll guys..this world need our help!! (cieeeeeeeh)”)
13. Teman-teman guru sekolah minggu di GKI Gejayan, ka Yohan, ka
Rian, ka Corry, ka Dodo, ka Tata, ka Naris, bu Ina, ka Wellie, ka Deny,
ka Jerrie dan semua-muanya deh…(“Makasih untuk selalu mendukungDAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL..........................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................iv MOTTO.............................................................................................................vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...........................................................vii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………………….….….. viii ABSTRAK.........................................................................................................ix ABSTRACT........................................................................................................x KATA PENGANTAR........................................................................................xi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..xvi
DAFTAR TABEL..............................................................................................xix
DAFTAR SKEMA………………………………………………………….….xx
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................xxi
BAB I. PENDAHULUAN...................................................................................1
2. Yatim piatu...................................................................................20 3.
Panti Asuhan………………….....................................................20 C. Resiliensi Remaja Yatim Piatu di Panti Asuhan….…...……...….….22
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN........................................................32
A. Jenis Penelitian....................................................................................32 B. Fokus Penelitian..................................................................................32 C. Batasan Istilah.....................................................................................32 D. Subyek Penelitian................................................................................33 E. Metode Pengambilan Data……………………………………….….34 F. Proses Pengumpulan Data……………………………………..…….36 G. Pemeriksaan Keabsahan Data…………………………………….….41 1. Kredibilitas.....................................................................................41 2. Dependability................................................................................42 H. Analisis Data.......................................................................................43BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................44
A. Persiapan Penelitian.............................................................................44 B. Survei Pertama………………………………………………...……..45 C. Survei Kedua…………………………………………………………45 D.b. Resiliensi ……………………………………………………..56
3. Subyek Kedua………….……………………..………………....64
1. Latar Belakang…………………………………………….….64
2. Resiliensi………………………………………………….......67
4. Faktor yang Mempengaruhi……………..………………………..71 K. Pembahasan........................................................................................84
BAB V. PENUTUP.............................................................................................95
A. Kesimpulan........................................................................................95 B. Saran...................................................................................................96DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................97
LAMPIRAN…………………………………………………………………DAFTAR TABEL 1
Tabel 1 : Rancangan Wawancara berupa Hal-hal yang Diungkap 2. Tabel 2 : Pedoman Umum Wawancara 3. Tabel 3 : Waktu dam Tempat Penelitian
DAFTAR SKEMA 1
Skema Penelitian 2. Skema Gambaran Resiliensi Kedua Subyek (Ririn dan Sinta) 3. Skema resiliensi subyek pertama (Ririn) 4. Skema resiliensi subyek kedua (Sinta)
DAFTAR LAMPIRAN 1
Catatan Lapangan Subyek Pertama Ririn (Lampiran I) 2. Catatan Lapangan Subyek Kedua Sinta (Lampiran II) 3. Verbatim dan Koding Subyek Pertama Ririn (Lampiran III) 4. Verbatim dan Koding Subyek kedua Sinta (Lampiran IV) 5. Verbatim Pendamping / Pengasuh (Lampiran V) 6. Verbatim Sahabat Subyek Pertama (Lampiran VI) 7. Verbatim Sahabat Subyek Kedua (Lampiran VII) 8. Surat Keterangan Penelitian
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja masa kini mengalami banjir stres yang datang dari
perubahan sosial yang cepat dan membingungkan. Mereka dihadapkan pada lingkungan dimana segala sesuatu seperti informasi, teknologi, dunia mode
dan sebagainya berubah secara cepat dan terlalu banyak untuk diserap.
Ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan dan perubahan yang
sedemikian cepat dapat membuat remaja merasa gagal, malu, kehilangan
harga diri, dan putus asa.Kegagalan untuk mengikuti tuntutan lingkungan dapat
menyebabkan kekecewaan pada remaja dan menimbulkan depresi. Dalam
kondisi depresi, remaja bisa kehilangan kekuatan dan menjadi mudah rentan2 Syamaja paling rentan terhadap upaya bunuh diri.
Hinton (1989) mengatakan bahwa meskipun depresi yang diderita
tidak parah namun risiko untuk bunuh diri bisa tetap ada. Depresi yang
dirasakan sebenarnya terjadi dalam tempo yang cukup panjang namun
orangtua, keluarga, dan lingkungan sekitar korban terkadang tidak menyadari
kondisi psikologis anak/ remajanya. Depresi remaja sangat spesifik, berbeda
dengan yang dialami oleh orang dewasa. Misalnya hanya karena diejek
temannya, kecewa atas sesuatu yang menimpanya atau perlakuan orang lain
dan karena merasa tidak diperhatikan.Substance Abuse and Mental Health Services Administration
) menyampaikan, secara keseluruhan jumlah remaja AS
berusia 16-17 tahun yang menderita depresi pada tahun 2004 mencapai 12
persen. Di Indonesia sendiri belum ada data yang jelas untuk remaja, namun
3
situasional, dan hubungan sosial yang kurang serasi baik secara vertikal
dengan orang dewasa maupun secara horisontal dengan teman sebaya.Risiko-risiko yang dialami remaja tersebut dapat diantisipasi jika
ada perlindungan dan bimbingan dari keluarga terutama dari orang tua atau
orang dewasa lain yang mampu memberi dukungan berupa petunjuk,
informasi serta perhatian penuh kasih sayang. Keluarga merupakan
lingkungan primer bagi individu. Sebelum anak mengenal lingkungan yang
luas terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya dan menyerap norma
serta nilai yang berlaku dalam keluarga untuk dijadikan bagian dari
kepribadiannya.Orang tua berperan penting dalam kehidupan anak dan remaja baik
dalam memberi efek positif maupun negatif. Dalam berbagai penelitian yang
telah dilakukan, dikemukakan bahwa risiko anak/ remaja mengalami depresi,
gangguan kepribadian dan perilaku menyimpang akan kecil jika mereka
4 Pada remaja yang tidak memiliki orang tua (yatim piatu) tekanan-
tekanan yang dialami akan semakin banyak terkait dengan tidak adanya orang
tua sebagai sumber kasih sayang, perlindungan, dan dukungan. Ketiadaan
orang tua merupakan kondisi yang sangat kompleks bagi remaja. Margareth
(dalam Hurlock, 1993) melaporkan bahwa selain pemenuhan kebutuhan
fisiologis, anak membutuhkan kasih sayang bagi perkembangan psikis yang
sehat. Diketahui juga bahwa remaja dapat bertahan dengan baik dari situasi
yang menekan bila remaja mempunyai hubungan yang dekat dan penuh kasih
sayang dengan orang tua terutama ibu.Dalam kondisi yatim piatu, hubungan yang intim dengan ayah dan
ibu tidak mungkin lagi diperoleh. Dalam situasi tanpa orang tua ini, ada
kondisi mereka harus tinggal di tempat selain rumah seperti yayasan atau panti
asuhan karena tidak ada lagi orang yang bisa merawat mereka.Berdasarkan survei peneliti di lima panti asuhan di Yogyakarta
5 asuhan meliputi jadwal belajar, ibadah, berdoa, piket, dan jadwal keluar- masuk panti asuhan.
Kondisi panti asuhan dengan jumlah pengasuh yang tidak
sebanding dengan remaja di panti asuhan dapat menjadi salah satu faktor
risiko. Remaja di panti asuhan menjadi kurang bisa mendapat perhatian, kasih
sayang atau bimbingan dari pengasuh secara mendalam. Dengan sedikit
bimbingan, remaja yatim piatu harus mengatur hidupnya sendiri. Pengalaman-pengalaman di panti asuhan akan berpengaruh terhadap konsep diri dan
kepribadian remaja yang tinggal di sana. Selain jumlah pengasuh yang tidak
sebanding, panti asuhan sering dianggap sebagai lembaga yang hanya
menampung dan memenuhi kebutuhan fisik saja sehingga kebutuhan lain
seperti kebutuhan emosional tidak terpenuhi dengan baik. Kondisi ini juga
bisa menjadi faktor risiko bagi remaja di panti asuhan. Remaja yatim piatu
diasumsikan memiliki masalah psikologis yang lebih banyak jika
6 Remaja yang resilien adalah remaja yang mampu menghargai diri
sendiri, mencari seseorang untuk berbagi ketika ia membutuhkannya dan
mencari kekuatan yang positif dari dirinya agar bisa bangkit dari masalah.
sehingga ketika remaja mengalami tekanan-tekanan, risiko buruk yang
membahayakan dapat dihindari karena resiliensi akan membantu melindungi
untuk mampu bertahan serta bangkit dari masalah yang di alami.Resiliensi sangat penting diteliti untuk mengetahui potensi yang
ada di dalam diri dan lingkungan individu ketika menghadapi masalah yang
terjadi sehingga ia dapat mengatasi hal-hal buruk dari tekanan yang terjadi.
Remaja yang resilien akan tumbuh menjadi orang dewasa yang resilien pula.
Remaja yang tidak resilien akan sulit untuk bangkit dari masalahnya dan tidak
mampu mengontrol dirinya sendiri.Dengan mendasarkan diri pada pendapat beberapa ahli, penelitian
yang telah banyak dilakukan, serta kondisi-kondisi khas dengan sistem yang
7
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana resiliensi pada remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya psikologi perkembangan sehingga dapat digunakan sebagai bahan literatur untuk penelitian yang sejenis di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi kepada semua pihak yang terkait mengenai resiliensi remaja yatim piatu di panti asuhan.
8
Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004).
Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen, 1996) dengan nama ego-resilience yang diartikan sebagai
9 Wolff (dalam Banaag, 2002), memandang resiliensi sebagai trait
yang merupakan kapasitas tersembunyi yang muncul untuk melawan
kehancuran individu dan melindungi individu dari segala rintangan
kehidupan. Trait juga bisa menjadi faktor pelindung (protective factor)
yang dapat digunakan untuk melawan perilaku bermasalah seperti agresi,
kekerasan dan kriminal. Faktor pelindung adalah segala sesuatu yang
mampu mengurangi risiko yang membahayakan atau merusak. Individu
yang resilien adalah individu yang mempunyai intelegensi yang baik,
mampu beradaptasi, memiliki kemampuan sosial dan kepribadian yang
baik. Itu semua pada akhirnya memberikan kontribusi secara konsisten
pada diri individu sehingga ia mampu menghargai dirinya sendiri,
berkompetensi, dan merasa bahwa ia beruntung meskipun berada dalam
situasi yang tidak menguntungkan.Di sisi lain dijelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang
10 Individu belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya, untuk
membantu kesuksesan proses beradaptasi dengan segala keadaan dan
mengembangkan seluruh kemampuannya, walau berada dalam kondisi
hidup tertekan, baik secara eksternal atau internal.Ada beberapa faktor spesifik yang dapat membangun resiliensi
seperti hubungan persahabatan dalam kepercayaan dan komitmen,
dukungan emosional yang penuh kasih di dalam maupun di luar keluarga,
penghargaan terhadap diri, keberanian untuk mandiri, kepercayaan diri,
harapan, berani bertanggungjawab dan menerima risiko atas hal/
keputusan yang diambil, rasa dicintai, prestasi yang baik, percaya pada
Tuhan dan bermoral dan cinta yang tidak bersyarat untuk orang lain
(Grotberg, 1995). Dalam penelitian di buku ini juga ditemukan bahwa
anak yang tidak resilien melakukan penolakan-penolakan berupa menarik
diri dari lingkungan sosial dan cenderung depresi.11
mengurangi serta melawan pengaruh negatif yang muncul dari kesulitan
atau pengaruh yang bisa merusak saat individu mengalami kemalangan
dan ketidakberuntungan.Grotberg (1995) menyatakan bahwa faktor dukungan sosial dapat
mengembangkan perasaan aman. Faktor dukungan sosial terdiri dari :
a. Trusting relationship meliputi orang-orang di sekitar individu yang bisa dipercaya dan yang mengasihi individu bagaimanapun keadaannya.b. Structure and rules meliputi orang yang bisa memberi batasan atas perilaku individu sehingga individu tersebut mengetahui kapan saat untuk berhenti sebelum ada bahaya atau masalah.
12
Grotberg (1995) juga menyatakan bahwa faktor kekuatan dari dalam diri (personal strength) yang dibangun dari perasaan, sikap, dan kepercayaan seseorang dapat mempengaruhi resiliensi sesorang. Faktor kekuatan diri terdiri dari : a. Perasaan dicintai dan sikap yang menarik meliputi keyakinan pada diri sendiri bahwa dirinya adalah orang yang bisa disukai dan dicintai, sensitif pada perasaan orang lain dan tahu cara menghargai diri sendiri dan orang lain b. Loving, emphatic and altruistic (mencintai, empatik dan altruistik) meliputi cinta pada orang lain yang diekspresikan dengan berbagai cara, senang melakukan sesuatu yang baik untuk orang lain dan senang menunjukkan perhatian, peduli pada apa yang terjadi pada orang lain dan mengekspresikan
13 membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.
d. Autonomous and responsible (mandiri dan bertanggungjawab) artinya individu dapat melakukan berbagai macam keinginan dan menerima berbagai konsekuensi perilakunya. Individu merasa bisa mandiri dan bertanggungjawab atas hal tersebut karena mengerti batasan kontrol, memiliki jati diri, cekatan dalam mencari pertolongan, berwawasan dan memiliki motivasi terhadap tujuan.
e. Filled with hope, faith and trust (dipenuhi harapan, iman dan kepercayaan) meliputi percaya bahwa selalu ada harapan, mengetahui hal yang benar dan salah, setia pada hal-hal yang baik, dan mau mengekspresikan hal itu sebagai kepercayaan dalam Tuhan/ spiritual
14
tersebut berada dalam tekanan hidup yang berat baik internal
maupun eksternal. Kemampuan ini meliputi :1) Kemampuan mengekspresikan pikiran dan perasaan pada
orang lain atau kemauan berbicara kepada orang lain tentang hal-hal yang membuat takut /mengganggu, kemampuan untuk tahu kapan waktu yang tepat untuk berbicara kepada seseorang/ berdiskusi, berbagi perasaan untuk memecahkan masalah personal maupun interpersonal/ konflik dan mengambil tindakan, mampu menemukan orang yang tepat untuk membantu di saat diperlukan, mau mendengarkan apa yang orang lain sarankan, mengkomunikasikan perbedaan, memahami, melakukan hasil dari diskusi yang sesuai.15 dengan orang lain. Pikiran-pikiran positif misalnya merasa dicintai dan disukai, senang berbuat baik dan menunjukkan perhatian kepada orang lain, respek kepada diri sendiri dan orang lain, dan merasa semua akan baik-baik saja, meskipun berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan.
c. Critical Consciousness/ kesadaran kritikal. Individu yang resilien mampu segera mengetahui tekanan/ masalah apa yang sedang dialaminya dan mampu memahami bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi perasaan-perasaan dan dorongan yang negatif. Kesadaran kritikal meliputi: 1) Kemampuan mengenali stres/ tekanan yang dihadapi.
Individu mampu mengenali perasaan dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang baik dan benar kepada orang lain atau kepada diri sendiri
16
B. Remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan 1. Remaja
Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12
atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Remaja pada umumnya memiliki rasa ingin tahu yangbesar, dinamis dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru. Dan bila tidak
diarahkan secara tepat dapat mengakibatkan tindakan berisiko (Papalia &
Olds, 2001).Santrock (2001) mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini suasana hati bisa berubah dengan
sangat cepat. Ciri lainnya adalah mengalami kegoncangan jiwa, timbulnya
emosi yang tak terkendalikan dan penghayatan kurang mendalam. Cita-
cita tidak menentu dan berubah-berubah, egois, mudah konflik dan frustasi
17
atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering
dihadapkan dengan dunia nyata dan tantangan untuk menyesuaikan impian
mereka dengan realita (Santrock, 2001).Masa remaja juga merupakan masa belajar meninggalkan sesuatu
yang bersifat kekanak-kanakan dan pada saat yang bersamaan pula di
masa ini remaja mempelajari perubahan pola perilaku dan sikap baru
orang dewasa. Pada masa-masa ini, remaja sangat memerlukan keluarga
atau orang dewasa untuk membimbing/ mendidik mereka agar mandiri dan
bertanggungjawab atas masa depannya, serta memberi dukungan
emosional dan kasih sayang. Bimbingan orang yang lebih tua sangat
dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah
sebagai “seseorang yang mulai berkembang dan mengalami banyak sekali
perubahan”. Remaja dihadapkan pada banyak pilihan dan tantangan
(Gordon, Thomas, 1984).18
kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah
sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi
memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Dalam pandangan Jean
Piaget, kognitif remaja merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam
tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations) dimana
idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha
memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak (Santrock,
2001).Remaja juga mengalami perubahan dalam hal jaringan/ lingkungan
sosialnya. Remaja cenderung membentuk kelompok sendiri yang terdiri
dari teman-teman sebayanya. Dengan demikian, pada masa remaja peran
kelompok teman sebaya adalah besar (Conger, 1991; Papalia & Olds,
2001). Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku
diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan
19 Remaja mengalami disequilibrum yaitu ketidakseimbangan emosi,
sehingga emosi remaja mudah berubah, bergejolak dan tidak menentu
(Sarwono, 1991).Kekhasan remaja yang lain antara lain adanya keinginan untuk
dapat mandiri, berprestasi, mendapat pengakuan dari orang lain atau
lingkungannya sebagai wujud memperoleh prestise diri, keinginan untuk
dihargai, dan memperoleh falsafah hidup. Semua kebutuhan itu menjadi
bagian dari kehidupan masa remaja (Karl C.Garrison, 1975).Kebutuhan-kebutuhan khas itu diawali dengan adanya kebutuhan
akan kasih sayang. Kebutuhan ini bertumpu pada keinginan untuk
diperhatikan selayaknya yang diberikan oleh orang-orang terdekat mereka
terutama orang tua atau orang dewasa yang sebaiknya lebih bisa
mencurahkan kasih sayangnya agar remaja tak salah langkah dalam
menentukan arah hidup karena sebenarnya remaja masih membutuhkan
20
Yatim piatu adalah keadaan dimana tidak ada lagi orang tua (ayah
dan ibu) dikarenakan meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya
(Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua, Balai Pustaka, 1994).Dalam sebuah penelitian, digambarkan secara teoritik tentang
karakteristik remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan. Kondisi
remaja yatim piatu ialah tidak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan baik
secara fisik dan emosional yang seharusnya diperoleh dari orang tua.
Stimulasi emosional dan sosial kurang didapat, terkait dengan tidak
adanya fungsi/ figur orangtua padahal sumbangan keluarga terutama orang
tua sangat berpengaruh bagi perkembangan anak (Vasta & Miller, 1992).Orang tua adalah orang yang dapat diandalkan anak dalam
memenuhi kebutuhan fisik maupun psikologisnya, sumber kasih sayang
dan penerimaan, sumber bimbingan, orang yang dapat diharapkan
21
yang dialami orangtua berupa masalah sosial dan ekonomi, kematian
orangtua, maupun perceraian orangtua. Salah satu penyebab remaja berada
di panti asuhan adalah karena tidak ada lagi keluarga yang merawat anak/
remaja baik karena orangtua sudah meninggal atau karena tidak mampu
secara ekonomi sehingga satu-satunya cara adalah menyerahkan mereka
pada panti asuhan dengan harapan ada perlindungan yang diperoleh di
sana (Kebanyakan anak-anak ditempatkan di panti asuhan oleh
keluarganya yang mengalami kesulitan ekonomi dan juga secara sosial
dalam konteks tertentu, dengan tujuan untuk memastikan anak-anak
mereka mendapatkan pendidikan (s.n, 2007).Panti asuhan juga merupakan suatu lembaga pelayanan pengganti
fungsi keluarga yang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan
fisik, mental dan sosial kepada anak asuh serta memberikan bekal dasar
22
C. Resiliensi remaja yatim piatu di panti asuhan
Menurut Liquanti (
setiap tahap kehidupan manusia tidak terkecuali pada masa remaja. Secara
khusus Liquanti memaparkan bahwa resiliensi pada remaja merupakan
kemampuan yang dimiliki remaja di mana mereka tetap mampu bertahan saat
menghadapi tekanan dan kesulitan dalam lingkungan. Ketika situasi tertekan,
sulit atau ada pengalaman traumatis, remaja yang memiliki resiliensi adalah
remaja yang tetap dapat menjalankan fungsinya dengan baik dengan mampu
mengatur diri dan menjalankan rutinitas sehari-hari serta berkembang
sebagaimana tugas perkembangannya.Liquanti juga menyebutkan ketika remaja dihadapkan pada kondisi
yang tidak menyenangkan, ada karakteristik yang dapat membantu mereka
bertahan dan membuat mereka mampu menjadi resilien. Ada beberapa faktor
yang dapat membantu remaja agar dapat menjadi resilien antara lain
23
kemampuan interpersonal. Masing-masing faktor tersebut berpengaruh
terhadap pemaknaan dan daya tahan individu dalam menghadapi masalah
hidup.Remaja yatim piatu adalah remaja yang sudah tidak memiliki orang
tua yang bisa mengasuh mereka karena berbagai alasan (Balai Pustaka, 2003).
Karena sudah tidak ada lagi yang bisa mengasuh mereka, maka mereka
ditempatkan di panti asuhan. Ketiadaan orang tua menjadi suatu kesulitan
tersendiri bagi remaja karena lingkungan keluarga memungkinkan
terpenuhinya segala kebutuhannya, baik kebutuhan fisik, psikologis maupun
soisalnya.Ketidakberadaan orang tua merupakan kondisi yang sangat kompleks
terutama bagi remaja. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995), kehadiran orang
tua memegang peranan penting dalam perkembangan fisik dan psikis anak
khususnya antara usia 10 – 12 tahun (masa sebelum memasuki usia remaja)
24 PBB (dalam Megawangi, 2003), fungsi utama keluarga adalah ”sebagai
wahana untuk mendidik, mengasuh, membimbing, membantu mengarahkan,
mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya
agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga
sejahtera”.Faktor keluarga khususnya orang tua dan faktor lingkungan sangat
berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter, perkembangan fisik
maupun emosional remaja. Perkembangan karakter pada setiap individu
dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture).
Setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanisfestasi setelah dia
dilahirkan, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai
kebaikan. Potensi ini sebaiknya diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi
(Megawangi, 2003).25
mendukung perkembangan kepribadiannya di masa mendatang. Karena
berakibat tidak baik terhadap pertumbuhannya, baik fisik, perasaan,
kecerdasan, atau sosialnya. Di sini tampak jelas pentingnya peranan orang tua
terutama ibu dalam mengembangkan kepribadian yang sehat bagi anak. Di sisi
lain Rutter (Monks, et. al., 1993) menyatakan bahwa kasih sayang ibu
merupakan syarat mutlak yang diperlukan untuk menjamin suatu
perkembangan psikis yang sehat pada anak. Pemberian kasih sayang ini tidak
harus berasal dari ibu biologis, bisa juga dari orang lain (ibu pengganti). Jadi
keempat macam perkembangan itu harus berjalan secara serasi dan seimbang
serta tidak berat sebelah.Dalam situasi di panti asuhan, pengasuh bisa berperan sebagai orang
tua pengganti, namun karena begitu banyak anak yang di asuh, pengasuh
kesulitan memperhatikan dan mengasuh setiap anak di panti asuhan secara
seksama (berdasakan survei peneliti di beberapa panti asuhan). Oleh karena
26
individu mampu hidup di tengah-tengah masyarakat luas secara harmonis.
Dalam menjadi individu yang utuh, individu tersebut juga memiliki sikap
resilien sehingga ia tidak kesulitan dalam mengahadapi tantangan hidup.
Salah satu keadaan yang sering menyebabkan perkembangan
kepribadian yang kurang optimal menurut Hurlock (1993) adalah ketidak
adaan orang tua baik karena meninggal, tidak diketahui keberadaannya
ataupun anak yang tidak dikehendaki (unwanted children).Kehilangan orang tua mempengaruhi banyak aspek kehidupan
remaja. Pada hakikatnya, setiap orang berusaha memahami dunianya lewat
semacam kerangka rujukan. Anak pun membutuhkan suatu kerangka untuk
mengevaluasi situasi baru. Mereka yang memiliki orang tua utuh yang
memberi kehangatan, memiliki kerangka yang sarat informasi dari kedua
orang tuanya. Pemrosesan informasi yang efektif bisa menolong anak mencari
alternatif pemecahan masalah, mengatur perilaku, melindungi diri sendiri, dan
27
tidak mengontrol dan tidak mengetahui karakter atau tabiat anaknya dalam
bergaul, bisa saja remaja tersebut menjadi terlibat hal-hal yang tidak baik.
Dalam kondisi di panti asuhan, remaja kurang bisa dekat dengan pengasuhnya,
pengasuh pun terkadang sulit mengontrol setiap kegiatan remajanya, bila tidak
dikontrol dengan baik, maka besar kemungkinkan remaja di panti asuhan
terlibat hal-hal yang kurang baik di luar lingkungan panti asuhan. Hal itu
disebabkan karena masa remaja merupakan masa yang amat kritis sehingga
kontrol yang cukup sangat diperlukan. Masa remaja ini mungkin dapat
merupakan masa terbaik atau menjadi masa terburuk seseorang. G. Stanley
Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa storm and drang/ badai dan topan
(Santrock, 2001).Dalam hal masalah-masalah terkait kondisi internal dan eksternalnya
sebagai remaja yatim piatu, bila orang yang dewasa tidak tahu banyak
mengenai dirinya, maka besar pula kemungkinannya ia akan memendam
28 Akibat depresi yang hebat, remaja bisa menjadi kurang resilien dan
dalam kondisi di panti asuhan, besar kemungkinan remaja depresi bila banyak
orang di sekitarnya yang tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya atau
karena ada rasa berbeda dengan teman sebayanya yang masih memiliki orang
tua. Remaja yang depresi bisa melampiaskan kekesalannya pada tindakan
yang salah seperti penyalahgunaan obat terlarang sampai bunuh diri.
Dikalangan remaja sebagian besar mereka meminta perhatian, ingin mencoba
sesuatu yang justru dilarang, rasa ingin tahu dan cepat tersinggung.Gejolak jiwa remaja yang pada hakekatnya mencari identitas diri,
ingin dihargai, ingin didengar pendapatnya, ingin diakui kelompok, dan ingin
dianggap dewasa bisa menjadi bumerang bagi remaja yatim piatu. Bila pola
pikir remaja yatim piatu cenderung negatif, ia akan mudah kecewa dengan
kondisinya yang berbeda dengan remaja yang masih memiliki orang tua. Bila
ia tidak menggali kekuatan dirinya dan mencari dukungan dari orang-orang di