Kompetensi interpersonal remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga

(1)

KOMPETENSI INTERPERSONAL REMAJA YANG TINGGAL

DI PANTI ASUHAN DAN YANG TINGGAL DENGAN

KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ZULFADILAH NASUTION

071301023

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP 2012/2013


(2)

SKRIPSI

KOMPETENSI INTERPERSONAL REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN DAN YANG TINGGAL DENGAN KELUARGA

Dipersiapkan dan disusun oleh :

ZULFADILAH NASUTION 071301023

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 11 Februari 2013

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji

1. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, psikolog Penguji I

NIP. 196501122000032001 Merangkap pembimbing 2. Liza Marini, M. Psi, psikolog Penguji II

NIP. 198105202005012003

3. Lili Garliah, M.Si, psikolog Penguji III NIP. 196006041986032002


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Kompetensi interpersonal remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Februari 2013

ZULFADILAH NASUTION NIM 071301023


(4)

Kompetensi interpersonal remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga

Zulfadilah Nasution dan Wiwik Sulistyaningsih

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian yaitu ada perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga. Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu untuk dapat berinteraksi maupun membina hubungan yang hangat dan nyaman melalui komunikasi yang efektif dan efisien dengan individu lainnya.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dan jumlah subjek sebanyak 120 orang yang berusia 12-21 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi interpersonal yang disusun berdasarkan aspek kompetensi interpersonal yang dikemukakan Buhrmester dkk (dalam Nashori, 2008) yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka, kemampuan untuk bersikap aserif, kemampuan memberikan dukungan emosional dan kemampuan mengatasi konflik. Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien Pearson Product Moment terdapat 26 aitem yang valid dengan rix yang bergerak dari 0.326 hingga 0.615.

Hasil analisa data penelitian menggunakan independent sample t-test

menunjukkan nilai t=-1.397 dan p>0.05, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga. Sementara uji t pada kelima aspek kompetensi interpersonal ditemukan bahwa ada dua aspek yang berbeda yaitu kemampuan berinisiatif dan kemampuan bersikap asertif, dimana nilai p<0.05. Remaja yang tinggal dengan keluarga memiliki kompetensi interpersonal yang lebih baik pada aspek kemampuan berinisiatif dan kemampuan bersikap asertif dibandingkan dengan remaja yang tinggal di panti asuhan.


(5)

Interpersonal competence adolescent that live in the orphanage and the live with family

Zulfadilah Nasution and Wiwik Sulistyaningsih

ABSTRACT

This research is a comparative quantitative research aimed to test the hypothesis that there are differences in interpersonal competence among adolescents living in orphanages and those living with family. Interpersonal competence is an ability possessed by an individual to be able to interact and find relationship a warm and comfortable through the effective and efficient communication with other individuals.

The sample was chosen using purposive sampling and subject were 120 in aged 12-21 years old. Measurement tool used in this research interpersonal competence scale according to aspect of interpersonal competence proposed Buhrmester et al (in Nashori, 2008) that were ability of initiative, the ability to be open, to be aserif ability, the ability to provide emotional support and the ability to resolve conflicts. Based on the estimates of different power aitem using Pearson Product Moment coefficient aitem there were 26 valid with rix moving from 0.326

to 0.615.

The results of data analysis using independent sample t-test showed that t = -1397 and p> 0.05, that concluded there was no difference of interpersonal competence between adolescents living in orphanages and those living with family. While the t-test on the five aspects of interpersonal competence was found that there are two different aspects, namely the ability of initiative and assertiveness skills, where the value of p <0.05. Adolescents who live with families have a better interpersonal competence in aspects of the initiative ability and the ability to be assertive compared to adolescents who live in an orphanage.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang Strata satu (S1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul “Kompetensi Interpersonal Remaja yang Tinggal Di Panti Asuhan dan yang Tinggal dengan Keluarga”.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua peneliti “Ayah Alm Azwar Nst dan Mama Nurlina Lubis” serta kedua abang dan adik tercinta” Zulfikri, Rifki Rahman dan Ahmad Najemi yang tidak lelah mendoakan dan memberi semangat serta dukungannya kepada peneliti hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Peneliti juga ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih peneliti tujukan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si., Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih., Psikolog, selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam membimbing peneliti, atas bimbingan, nasehat, saran, dan waktu yang diluangkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, penulis ucapkan banyak terima kasih.


(7)

3. Ibu Elvi Andriani, M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing akademik yang telah bersedia untuk membimbing peneliti dan memberikan masukan dalam bidang akademik pada setiap semester perjalanan kuliah peneliti sehingga dapat memberikan hasil yang terbaik.

4. Kepada Pimpinan Panti Asuhan Al-Jam’iyatul Washliyah, Kepala Sekolah SMP Panca Budi, Pimpinan Panti Asuhan Zahra serta Pimpinan Panti Asuhan Puteri Aisyiyah, yang telah bersedia mengijinkan dan membantu peneliti dalam pengambilan data.

5. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu wawasan dan pengetahuan yang sangat berharga kepada peneliti, dan seluruh pegawai di Fakultas Psikologi USU yang setia membantu peneliti menyediakan segala keperluan selama perkuliahan.

6. Teman-teman dekat yang terus mendukung, memberi semangat dan ikut membantu sehingga skripsi ini dapat selesai. Untuk Kiki Fatmala Sari, Nana Zahara, Nur Shadrina, Ridya Tyastiti, Vety Dazeva, Nuzulia Rahmati atas semangat dan dukungannya, khususnya untuk Massita Ozar, Nana Zahara, Nur Shadrina dan Ridya Tyastiti yang telah ikut membantu peneliti dalam pengambilan data, peneliti mengucapkan banyak terima kasih.

7. Oncu yang selalu mendengarkan keluh kesah, selalu memberikan semangat dan bantuannya kepada peneliti untuk terus berusaha dan tidak putus asa. 8. Teman-teman angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu

atas kebersamaan yang menyenangkan. Terima kasih atas dukungan dan semangatnya.


(8)

9. Semua orang yang telah membantu peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu serta partisipan penelitian, terima kasih atas bantuan dan partisipasinya.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala bantuan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan dan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun untuk mencapai yang lebih baik lagi. Peneliti berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Februari 2013

Peneliti


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI ... 17

A. Kompetensi Interpersonal ... 17

1. Pengertian Kompetensi Interpersonal ... 17

2. Aspek Kompetensi Interpersonal ... 18

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal .... 23

4. Manfaat Kompetensi Interpersonal ... 27


(10)

C. Keluarga Dan Perkembangan Remaja ... 30

D. Perbedaan Kompetensi Interpersonal Antara Remaja Yang Tinggal Di Panti Asuhan Dan Yang Tinggal Dengan Keluarga ... 35

E. Hipotesa Penelitian ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

A. Identifikasi Variabel ... 42

B. Defenisi Operasional Variabel Penelitian ... 42

1. Kompetensi Interpersonal ... 42

2. Status Pengasuhan Remaja... 44

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 44

1. Populasi ... 44

2. Teknik Pengambilan Sampel... 46

D. Alat Ukur yang Digunakan ... 46

1. Validitas dan Reliabilitas ... 48

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 50

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 51

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 51

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 53

3. Tahap Pengolahan Data ... 53

F. Metode Analisa Data ... 54

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 56


(11)

B. Hasil Penelitian ... 57

1. Uji Asumsi ... 57

a. Uji Normalitas ... 57

b. Uji Homogenitas ... 58

2. Hasil Utama Penelitian ... 59

a. Uji Hipotesa Penelitian ... 59

b. Kategorisasi Data Penelitian ... 61

3. Hasil Tambahan ... 62

a. Perbedaan Kompetensi Interpersonal Berdasarkan Aspek-Aspeknya ... 63

C. Pembahasan... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

1. Saran Metodologis ... 78

2. Saran Praktis... 79


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Blueprint Aitem Skala Kompetensi Interpersonal Sebelum Uji

Coba ... 47

Tabel 2 Blueprint Aitem Skala Kompetensi Interpersonal Setelah Uji Coba ... 51

Tabel 3 Blueprint Aitem Skala Kompetensi Interpersonal Yang Digunakan Dalam Penelitian ... 51

Tabel 4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 56

Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Skala Kompetensi Interpersonal ... 58

Tabel 6 Hasil Uji Homogenitas Skala Kompetensi Interpersonal ... 59

Tabel 7 Gambaran Skor Kompetensi Interpersonal ... 60

Tabel 8 Hasil Perhitungan Uji t Skala Kompetensi Interpersonal ... 60

Tabel 9 Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik Skala Kompetensi Interpersonal ... 61

Tabel 10 Kategorisasi Skor Kompetensi Interpersonal Remaja ... 62


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Data Hasil Uji Coba Skala Kompetensi Interpersonal... 84

Lampiran 2 Hasil Analisa Aitem Uji Coba Skala Kompetensi Interpersonal ... 90

Lampiran 3 Data Skor Kompetensi Interpersonal ... 106

Lampiran 4 Hasil Uji Asumsi Skala Kompetensi Interpersonal ... 111

Lampiran 5 Skala Kompetensi Interpersonal Sebelum Uji Coba ... 114

Lampiran 6 Skala Kompetensi Interpersonal Yang Digunakan Dalam Penelitian ... 125


(14)

Kompetensi interpersonal remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga

Zulfadilah Nasution dan Wiwik Sulistyaningsih

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif komparatif yang bertujuan untuk menguji hipotesis penelitian yaitu ada perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga. Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu untuk dapat berinteraksi maupun membina hubungan yang hangat dan nyaman melalui komunikasi yang efektif dan efisien dengan individu lainnya.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dan jumlah subjek sebanyak 120 orang yang berusia 12-21 tahun. Alat ukur yang digunakan berupa skala kompetensi interpersonal yang disusun berdasarkan aspek kompetensi interpersonal yang dikemukakan Buhrmester dkk (dalam Nashori, 2008) yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka, kemampuan untuk bersikap aserif, kemampuan memberikan dukungan emosional dan kemampuan mengatasi konflik. Berdasarkan hasil estimasi daya beda aitem dengan menggunakan koefisien Pearson Product Moment terdapat 26 aitem yang valid dengan rix yang bergerak dari 0.326 hingga 0.615.

Hasil analisa data penelitian menggunakan independent sample t-test

menunjukkan nilai t=-1.397 dan p>0.05, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga. Sementara uji t pada kelima aspek kompetensi interpersonal ditemukan bahwa ada dua aspek yang berbeda yaitu kemampuan berinisiatif dan kemampuan bersikap asertif, dimana nilai p<0.05. Remaja yang tinggal dengan keluarga memiliki kompetensi interpersonal yang lebih baik pada aspek kemampuan berinisiatif dan kemampuan bersikap asertif dibandingkan dengan remaja yang tinggal di panti asuhan.


(15)

Interpersonal competence adolescent that live in the orphanage and the live with family

Zulfadilah Nasution and Wiwik Sulistyaningsih

ABSTRACT

This research is a comparative quantitative research aimed to test the hypothesis that there are differences in interpersonal competence among adolescents living in orphanages and those living with family. Interpersonal competence is an ability possessed by an individual to be able to interact and find relationship a warm and comfortable through the effective and efficient communication with other individuals.

The sample was chosen using purposive sampling and subject were 120 in aged 12-21 years old. Measurement tool used in this research interpersonal competence scale according to aspect of interpersonal competence proposed Buhrmester et al (in Nashori, 2008) that were ability of initiative, the ability to be open, to be aserif ability, the ability to provide emotional support and the ability to resolve conflicts. Based on the estimates of different power aitem using Pearson Product Moment coefficient aitem there were 26 valid with rix moving from 0.326

to 0.615.

The results of data analysis using independent sample t-test showed that t = -1397 and p> 0.05, that concluded there was no difference of interpersonal competence between adolescents living in orphanages and those living with family. While the t-test on the five aspects of interpersonal competence was found that there are two different aspects, namely the ability of initiative and assertiveness skills, where the value of p <0.05. Adolescents who live with families have a better interpersonal competence in aspects of the initiative ability and the ability to be assertive compared to adolescents who live in an orphanage.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan senantiasa berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan Gerungan (1991) bahwa sebagai makhluk sosial yang perlu diperhatikan ialah manusia secara hakiki dilahirkan selalu membutuhkan pergaulan dengan orang lain. Nashori (dalam Hartanti, 2006) menyatakan bahwa berbagai pandangan dan pengalaman hidup menunjukkan bahwa keberhasilan hidup manusia banyak ditentukan oleh kemampuannya mengelola diri dan kemampuan mengelola hubungan dengan orang lain.

Ditinjau dari sudut perkembangan manusia, kebutuhan untuk berinteraksi sosial yang paling menonjol terjadi pada masa remaja. Pada masa remaja, individu berusaha untuk menarik perhatian orang lain, menghendaki adanya popularitas dan kasih sayang dari teman sebaya. Semua hal tersebut akan diperoleh apabila remaja berinteraksi sosial karena remaja secara psikologis dan sosial berada dalam situasi yang peka dan kritis. Peka terhadap perubahan, mudah terpengaruh oleh berbagai perkembangan di sekitarnya (Hurlock, 2000). Hal ini sesuai dengan tugas perkembangan remaja yang dikemukakan oleh William Kay (dalam Agustiani, 2006) yaitu mengembangkan ketrampilan dalam komunikasi interpersonal, belajar membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, baik secara individu maupun kelompok. Keterampilan interpersonal akan


(17)

menunjukkan kemampuan remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Remaja yang memiliki keterampilan interpersonal yang tinggi akan mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan orang lain, mampu empati secara baik, mampu mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Remaja dapat dengan cepat memahami temperamen, sifat dan kepribadian orang lain, mampu memahami suasana hati, motif dan niat orang lain. Semua kemampuan interpersonal akan membuat mereka lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain.

Kesadaran akan pentingnya kemampuan menjalin komunikasi dengan orang lain belakangan ini semakin meningkat baik di kalangan ahli psikologi maupun di kalangan masyarakat umum. Dipercayai bahwa salah satu kunci keberhasilan hidup manusia adalah kemampuannya melakukan dan membina hubungan antar pribadi dengan orang lain. Berbagai kisah nyata menunjukkan bahwa keberhasilan-keberhasilan dalam pekerjaan dan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya dipengaruhi oleh kemampuan mengelola hubungan antar pribadi dengan orang lain. Menurut Lukman (2000) untuk dapat menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, dibutuhkan kecakapan yang memampukan individu untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi. Kecakapan ini dikenal dengan istilah kompetensi interpersonal. Salah satu kualitas hidup seseorang yang banyak menentukan keberhasilan menjalin komunikasi dengan orang lain adalah kompetensi interpersonal (Nashori & Sugiyanto, 2000).

Gunarsa (2000) menyebutkan bahwa kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain sangat dipengaruhi oleh kompetensi


(18)

interpersonalnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kemampuan interpersonal yang tinggi berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi sosial dengan melakukan komunikasi secara efektif dan efisien. Selain itu, kemampuan interpersonal yang tinggi juga mempengaruhi seseorang dalam memahami informasi yang disampaikan sehingga seseorang dapat memahami apa yang diharapkan orang lain. Jhonson (dalam Amelia, 2008) mengungkapkan bahwa faktor kompetensi interpersonal mempengaruhi kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain dan mempengaruhi kualitas hubungan yang menyenangkan dengan orang lain. Kompetensi interpersonal mampu membantu seseorang dalam mengambil inisiatif serta menjaga dan mengembangkan hubungan yang berkualitas dengan orang lain. Dengan kompetensi ini, seseorang dapat secara dinamis berhubungan dengan lingkungan sosialnya.

Menurut Spitzberg dan Cupach (dalam Nashori & Sugiyanto, 2000) kompetensi interpersonal dapat diartikan sebagai suatu kemampuan melakukan hubungan interpersonal secara efektif. Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan. Buhrmester dkk (dalam Leny & Tomy, 2006) memaknai kompetensi interpersonal yaitu kemampuan-kemampuan yang sangat diperlukan guna membangun, membina dan memelihara hubungan interpersonal yang akrab, misalnya hubungan dengan orangtua, teman dekat dan pasangan. Selanjutnya, jika telah terjadi hubungan antar pribadi yang baik dan memuaskan maka individu yang memiliki kompetensi interpersonal ini akan mudah untuk mendapatkan apa yang menjadi


(19)

tujuannya. Hal ini dikuatkan pendapat Chickering (dalam Janosik dkk, 2004) bahwa perkembangan kompetensi interpersonal sebagai sebuah syarat untuk membangun hubungan yang sukses dan kompetensi interpersonal merupakan kompetensi penting bagi karir dan keluarga. Manfaat yang didapat dengan melakukan hubungan interpersonal yaitu: menghindari kesepian, menstimulasi rasa aman, memahami diri dan meningkatkan keberhargaan diri serta meminimalisir rasa sakit (Amelia, 2008). Manusia menghindari kesepian dengan dengan cara menyampaikan pikiran dan perasaannya, sehingga membuat orang lain ikut merasakan ketakutannya dan memperoleh rasa aman dari keberadaan orang lain di dekatnya. Dengan cara membagi pikiran dan perasaannya, individu dapat meredakan ketegangan dan mengurangi rasa sakit dari suatu peristiwa yang mengecewakan atau menyedihkan.

Salah satu akibat yang terjadi ketika remaja tidak mampu membina hubungan interpersonal yang memuaskan adalah perasaan kesepian serta perasaan tidak bahagia dan nyaman. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Buhrmester (1988) bahwa kurangnya kompetensi interpersonal akan memberikan ketidakpuasan dalam suatu hubungan, yang akan mengakibatkan berkembanganya perasaan kesepian. Orang-orang yang kompeten dalam hubungan interpersonal memungkinkan menghadapi masalah-masalah kehidupan yang menekan. Kekurangan hubungan interpersonal dapat mengganggu kehidupan sosial seseorang, seperti menarik diri dari lingkungan sehingga mengakibatkan seseorang menjadi kesepian, mengisolasi diri, berpisah/putus hubungan, mempunyai sifat pemalu dan sebagainya (Ria dkk, 2007).


(20)

Mampu atau tidaknya anak dalam membina hubungan interpersonal yang efektif, semua kembali lagi pada pengalaman sosial dini yang remaja peroleh pertama kali melalui pola interaksi antara anak dan orangtua yang terjadi di dalam keluarga. Menurut Hetherington dan Parke (dalam Nashori, 2008) kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak diantara mereka menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya. Menurut Sroufe & Fleeson (dalam Salmah, 2007) pola hubungan antara anak dan orangtua mampu mempengaruhi bagian-bagian paling penting dari kompetensi interpersonal yang mulai terbentuk melalui awal hubungan antara anak dan orangtua di dalam lingkungan keluarga.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Salmah (2007) menyatakan bahwa kompetensi interpersonal pada remaja dapat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, dalam hal ini yaitu pola asuh yang mengarah pada gaya demokratis. Pola asuh pada penelitian tersebut mencakup keseluruhan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak meliputi: cara pemberian aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritas dan perhatian serta tanggapan yang dilakukan untuk membentuk perilaku anak demi mencapai perkembangan yang maksimal. Pola hubungan antara anak dan orangtua mampu mempengaruhi bagian-bagian paling penting dari kompetensi interpersonal yang mulai terbentuk dalam awal hubungan yang pertama kali di dalam lingkungan keluarga. Kompetensi dan perilaku yang kelak akan diterapkan remaja dalam hubungan pertemanan hingga kemudian berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas


(21)

merupakan apa yang telah mereka bentuk melalui hubungan awal mereka dengan orangtua. Di dalam keluarga juga terjadi pembentukan pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial yang lebih luas.

Keluarga merupakan tempat awal kehidupan anak, lingkungan anak tumbuh di mana terdapat hubungan dengan orang-orang yang dekat dan berarti bagi anak. Jika anak-anak tumbuh dalam lingkungan rumah yang lebih banyak berisi kebahagiaan maka anak akan cenderung mempunyai kesempatan untuk menjadi anak yang bahagia. Hubungan yang tidak rukun dengan orangtua atau saudara akan lebih banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi ini akan cenderung menguasai anak di rumah. Orangtua yang melindungi anak secara berlebihan (overprotective) akan menimbulkan rasa takut yang dominan pada anak (Jahja, 2011).

Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting bagi proses sosialisasi anak karena keluarga merupakan tempat awal kontak anak dalam anggota keluarga (ibu dan bapak) pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Fungsi keluarga yang sangat penting di antaranya sebagai wadah sosialisasi bagi anak-anak. Keluarga merupakan suatu sistem interaksi antara individu secara timbal balik. Hubungan orangtua-anak pada tahap awal dalam membentuk cara dasar untuk berhubungan dengan orang lain. Hubungan orangtua-anak pada tahap awal ini mempengaruhi tahap selanjutnya dalam perkembangan dan semua hubungan setelahnya misalnya, dengan teman sebaya, dengan guru, dan dengan kekasih (dalam Santrock, 2007). Hasil penelitian Lutfi dkk (dalam Shochib, 1998) mengatakan bahwa dalam pola asuh dan sikap orangtua yang demokratis


(22)

menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orangtua dan adanya kehangatan yang membuat anak remaja merasa diterima oleh orangtua sehingga ada pertautan perasaan.

Seperti yang diketahui keluarga merupakan lingkungan pertama dimana anak memperoleh kepuasan psikis yang sangat menentukan bagaimana mereka bereaksi terhadap lingkungan. Menurut Berns (2004) keluarga juga merupakan tempat pengenalan anak-anak pada masyarakat dan memegang tanggung jawab yang utama terhadap sosialisasi anak. Melalui sosialisasi, anak-anak memperoleh keterampilan sosial, emosional dan kognitif sehingga mereka dapat berfungsi dalam masyarakat. Sebaliknya, anak-anak yang tidak disosialisasikan untuk mengembangkan hati nurani dapat terlibat dalam perilaku kenakalan remaja. Menurut Hair, Jager & Garet (1998) hubungan remaja dengan orangtuanya berkaitan erat dengan kesehatan perkembangan sosial. Hubungan orangtua dan anak yang baik mempengaruhi perkembangan hubungan sosial dengan orang lain seperti hubungan dengan teman dan pacar serta mempengaruhi perkembangan psikologis dan psikososial remaja. Ketika interaksi antara anak dan orangtua selalu diwarnai dengan sikap saling memberi dan menerima, mendengarkan dan didengarkan, maka akan cenderung mengakibatkan kompetensi interpersonal yang adekuat pada anak terutama karena interaksinya diwarnai dengan kehangatan (Santrock, 2007).

Kompetensi interpersonal pada masa anak dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh pola interaksi anak dengan ibu. Pola interaksi ini meliputi cara pandang pengasuh terhadap anak, cara berkomunikasi, penerapan disiplin dan


(23)

kontrol serta cara pemenuhan kebutuhan anak sehari-hari. Pola interaksi ibu dengan anak tersebut, menurut Kohn (dalam Mulyati, 1997) menggambarkan pola asuh. Pola asuh yang dapat menumbuhkan kompetensi interpersonal pada anak adalah pola asuh yang demokratis. Dalam pola pola asuh ini ibu menunjukkan sikap yang hangat, sportif, terbuka, ada komunikasi dua arah dan tidak menggunakan hukuman fisik dalam mendisiplinkan anak. Sikap tersebut dapat menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi, mudah bergaul, spontan dan asertif. Sikap-sikap yang disebutkan di atas adalah ciri-ciri dimilikinya kompetensi interpersonal pada anak (Mulyati, 1997).

Kramer dan Gottman (dalam Nashori, 2008) mengatakan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi dan lebih mudah membina hubungan interpersonal. Lebih khusus, Nurrahmati (dalam Nashori, 2008) menemukan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan aman dengan teman sebaya dan kompetensi interpersonal. Remaja yang memiliki gaya kelekatan aman, yang ditandai oleh adanya model mental yang positif, menyakini tersedianya respon yang positif dari lingkungannya. Dari sana berkembanglah kompetensi interpersonal. Penelitian yang dilakukan oleh Buhrmester dkk (1988) hasilnya menunjukkan bahwa kompetensi interpersonal bermanfaat dalam hal popularitas dalam peer group, kesuksesan dalam membina hubungan antar jenis, kepuasan dalam hubungan perkawinan dan sebagai benteng stress dalam kehidupan sehari-hari.


(24)

Hartup (dalam Durkin, 1995) menyakini bahwa kelompok teman sebaya memiliki banyak fungsi termasuk dalam proses pengembangan identitas sosial, saling membagi norma perilaku sosial, mempraktekkan kemampuan sosial (social

skill) dan mempertahankan struktur sosial. Welsh dan Bierman (2006)

mengungkap bahwa dalam banyak situasi, relasi teman sebaya sebagai “ladang latihan” (training grounds) bagi hubungan interpersonal, menyiapkan individu mempelajari tentang hubungan timbal balik dan kedekatan (intimacy). Lebih lanjut dikatakan bahwa semua kemampuan tersebut berhubungan dengan efektivitas hubungan interpersonal dalam kehidupan individu termasuk didalamnya hubungan dengan teman kerja ataupun pasangan romantisnya. Secara lebih tegas Kuh & Terenzini et al (dalam Foubert & Grainger, 2006) menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya juga memiliki kontribusi terhadap kompetensi interpersonal. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Kramer dan Gottman (1992) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial dan lebih mudah membina hubungan interpersonal.

Di sisi lain dalam kehidupan anak selalu ada kebutuhan untuk dikasihi dan merasakan bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. Pada kenyataannya tidak semua anak dapat memperoleh pemenuhan kebutuhan tersebut, misalnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Knudsen (2001) mengatakan bahwa panti asuhan adalah lembaga sosial yang menampung anak-anak yang tidak memiliki orang tua, terpisah dari orang tuanya


(25)

karena bencana alam atau kerusuhan, kemiskinan atau kekerasan dalam rumah tangga. Panti asuhan memegang peranan penting bagi kesejahteraan sosial anak-anak yang tidak mempunyai keluarga lagi untuk mengasuh mereka. Panti asuhan juga berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak dalam proses perkembangannya. Penelitian Knudsen (2001) mengatakan bahwa ada peningkatan jumlah panti asuhan sejak tahun 1999 dan bertambah banyaknya anak yang dikirim ke panti asuhan.

Panti asuhan sendiri dianggap masyarakat secara umum memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya menurut masyarakat bahwa anak-anak akan lebih terpenuhi kebutuhannya di panti asuhan, jadi hal itu adalah untuk kebaikan anak itu sendiri (Knudsen, 2001). Sedangkan sisi negatifnya adalah anggapan umum yang menyatakan bahwa anak-anak yang tinggal dalam sebuah lembaga sosial sejak kecil dalam waktu yang panjang akan meningkatkan resiko terkena psikopatologi serius di kehidupannya mendatang. Dari anggapan ini berkembang sebuah generalisasi secara mutlak bahwa lembaga sosial selalu berbahaya dan harus dihindari selama masih ada pilihan lain (Wolff & Fesseha, 1998). Realitas yang ada ternyata menunjukkan perawatan di panti asuhan belum tentu lebih baik daripada dalam keluarga. Beberapa kasus yang ditemukan menunjukkan bahwa anak-anak yang ditinggalkan orangtuanya di panti asuhan kurang mendapat perhatian, kasih sayang dan pengawasan (Knudsen, 2001).

Kuntari (2005) dalam penelitiannya mengatakan bahwa paling tidak ada dua fenomena yang biasanya muncul dalam kehidupan di panti asuhan. Fenomena yang pertama merupakan pengalaman-pengalaman atau peristiwa yang


(26)

menyenangkan serta perlakukan-perlakuan yang benar dan sehat dari anggota pengasuh, teman bermain atau lingkungan akan membentuk individu yang sehat pula sehingga anak-anak yang tinggal di panti akan mempunyai kecenderungan untuk mempunyai sikap menolong, berbagi dan bekerjasama dengan orang lain karenadengan hidup di panti individu akan mempunyai perasaan senasib dan sepenanggungan. Fenomena yang kedua adalah pengalaman, peristiwa ataupun perlakuan yang tidak atau kurang sehat, tidak menyenangkan bahkan menimbulkan trauma akan mempengaruhi terbentuknya kepribadian individu menjadi patologis. Jika para pengasuh di panti asuhan tidak secara tulus dan konsisten menunjukkan cinta dan sayang kepada anak-anak, tidak memberi kehangatan, penerimaan dan cinta, individu mungkin tumbuh dengan rasa ragu-ragu mengenai kepantasan untuk dicinta dan diterima. Beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya anak yang berada dalam panti asuhan merasa terkekang oleh aturan-aturan yang ketat sehingga menyebabkan anak merasa tertekan, cenderung menarik diri, tidak berani tampil di depan umum.

Penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2000) menunjukkan gambaran psikologis anak yang tinggal di panti asuhan yaitu terbentuknya kepribadian anak yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan sehingga anak akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Disamping itu mereka menunjukkan perilaku negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan dan lebih egosentrisme. Menurut Hurlock (2000) status sosial ekonomi yang rendah dianggap oleh remaja sebagai salah satu faktor yang akan


(27)

membuat mereka ditolak oleh lingkungan teman sebaya dan pada akhirnya mereka akan merasa minder dan tidak berharga

Penilaian negatif terkadang muncul dari masyarakat yang mengartikan panti asuhan sebagai lembaga pelayanan sosial yang memberikan fungsi pengganti orangtua bagi anak-anak terlantar dan kurang mampu. Berdasarkan penelitian Margareth (dalam Hartini, 2000) dinyatakan bahwa perawatan anak di lembaga sosial sangat tidak baik, karena anak dipandang sebagai makhluk biologis bukan sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial. Kondisi ini menyebabkan remaja mengalami kesulitan dalam mengembangkan kompetensi interpersonalnya. Fenomena seperti ini seringkali terjadi pada remaja yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah seperti remaja yang tinggal di panti asuhan.

Para pengasuh sulit memberikan pengawasan, perhatian serta kasih sayang yang merata bahkan kualitas dan intensitas hubungan antara anak asuh dan pengasuh akan rendah, hubungan individual secara pribadi dan hangat kurang memungkinkan untuk dijalin. Hal ini dikarenakan ketidakseimbangan rasio antara pengasuh dan jumlah anak asuh yang terlalu besar (Hartini, 2000). Rola (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa anak asuh panti asuhan kurang mendapatkan perhatian karena perbandingan antara pengasuh dengan anak asuh yang sangat jauh berbeda sehingga pengasuh kurang bisa memberikan perhatian yang mendalam terhadap anak asuhnya. Penelitian Hotnida (2009) terhadap 21 anak asuh berusia 12-15 tahun di Yayasan SOS Kinderdorf Medan menunjukkan bahwa anak-anak asuh tersebut belum mampu untuk bersosialisasi dengan baik


(28)

karena masih banyak ditemukan kekurangan dalam pelayanan yang diberikan yaitu pengasuh yang belum mampu memberikan pengasuhan yang baik terhadap semua anak asuh. Kemampuan bersosialisasi yang buruk akan mengakibatkan berkembangnya perasaan kesepian.

Hasil penelitian Departemen Sosial, ‘Save The Children’ (sebuah organisasi dalam bidang bantuan dan pengembangan kemanusiaan yang sudah berdiri di lebih dari 45 negara di dunia) dan UNICEF terhadap 37 panti asuhan di enam provinsi di Indonesia menunjukkan enam temuan mengenai kondisi pengasuhan di panti asuhan di Indonesia. Temuan tersebut yaitu kurangnya metode pengasuhan, fungsi panti asuhan yang tidak sesuai peruntukkan, tidak adanya perlindungan hukum bagi anak, anak-anak tidak pernah diikutsertakan dalam pengambilan keputusan dan tidak tersedianya fasilitas fisik serta personal yang memadai (dalam Sudrajat, 2008). Penemuan lain mengenai remaja yang diasuh di panti asuhan juga menunjukkan hal yang serupa. Spitz (dalam Sulaeman, 1995) menemukan bahwa anak-anak yang dipelihara di panti asuhan tidak ada atau kurang kontak dengan orangtua sehingga memperlihatkan goncangan-goncangan emosional, apatis dan kurang mampu untuk menyesuaikan diri. Gerungan (1991) juga mengatakan bahwa semakin kurang kesempatan anak untuk berkomunikasi bersama orangtua khususnya ibu (misalnya, bersenda gurau, diskusi, musyawarah keluarga) maka semakin besar pula kemungkinannya bahwa ia mengalami kekurangan dalam perkembangan sosialnya. Situasi yang tidak menyenangkan biasanya akan memunculkan reaksi atau perilaku yang menyimpang dalam diri remaja terhadap lingkungannya.


(29)

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan usulan penelitian dengan judul: kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian adalah untuk menguji hipotesis penelitian yaitu: ada perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu di bidang psikologi khususnya Psikologi Perkembangan mengenai perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga.


(30)

2. Praktis

a) Untuk orangtua: penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan para orangtua untuk selalu berinteraksi dengan anak, membimbing, memperhatikan, mengasuh dengan pola asuh yang tepat dan menjalin komunikasi dengan anak agar anak merasa diterima dan memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain. b) Untuk remaja: penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan remaja

dalam mengembangkan kompetensi interpersonal yang dimilikinya dan menyadari pentingnya berinteraksi dengan orang lain agar dapat menjalani kehidupannya baik di panti asuhan maupun tinggal bersama keluarga dengan penuh semangat dan bahagia.

c) Untuk pihak-pihak yang terkait dengan pengasuhan anak remaja: penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam menerapkan pengasuhan yang sesuai untuk anak-anak asuh di panti asuhan.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.


(31)

Bab ini memuat tinjauan teoritis mengenai kompetensi interpersonal, perkembangan remaja di panti asuhan, keluarga dan perkembangan remaja, perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan yang tinggal dengan keluarga. Bab ini akan diakhiri dengan memaparkan hipotesa penelitian.

BAB III : Metode penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan teknik pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, prosedur pelaksanaan penelitian serta metode analisa data.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data serta pembahasannya.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini memuat kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilaksanakan.


(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KOMPETENSI INTERPERSONAL 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal

Sears, Freedman dan Peplau (1994) mengemukakan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang membuat individu lebih dihargai oleh orang lain. Interpersonal merupakan suatu hubungan antar individu dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang efektif seperti persahabatan, jika mereka memiliki kemampuan-kemampuan dalam membina hubungan interpersonal. Kemampuan tersebut secara khusus oleh Buhrmester dkk (1988) disebut sebagai kompetensi interpersonal.

Menurut Spitzberg dan Cupach (dalam Nashori, 2008) kompetensi interpersonal adalah kemampuan seorang individu untuk melakukan komunikasi yang efektif. Kompetensi interpersonal di sini terdiri atas kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif. Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan antarpribadi yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan tentang konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan tentang perilaku nonverbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan konteks dari interaksi yang tengah berlangsung, menyesuaikan dengan orang yang ada dalam interaksi tersebut, dan kemampuan-kemampuan lainnya. Jhonson dan Myers


(33)

mengartikan kompetensi interpersonal sebagai jumlah keseluruhan kompetensi seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif (dalam Amelia, 2008). Dari pengertian di atas, Lukman (2000) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal merupakan kecakapan yang mendukung hubungan antar individu dengan individu lainnya.

Dari uraian di atas disimpulkan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat berinteraksi maupun membina hubungan yang hangat dan nyaman melalui komunikasi yang efektif dan efisien dengan individu lainnya.

2. Aspek Kompetensi Interpersonal

Buhrmester dkk (dalam Nashori, 2008) mengemukakan lima aspek kompetensi interpersonal yaitu:

a) Kemampuan berinisiatif

Menurut Buhrmester dkk (dalam Nashori, 2008) inisiatif adalah usaha untuk memulai suatu bentuk interaksi dan hubungan dengan orang lain atau dengan lingkungan sosial yang lebih besar. Inisiatif merupakan usaha pencarian pengalaman baru yang lebih banyak dan luas tentang dunia luar dan tentang dirinya sendiri dengan tujuan untuk mencocokkan sesuatu atau informasi yang telah diketahui agar dapat lebih memahaminya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berinisiatif adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk memulai suatu interaksi dan


(34)

membina hubungan dengan maksud untuk memperluas pengalaman tentang dunia luar.

b) Kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure)

Menurut Buhrmester (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) pengungkapan bagian dalam diri (innerself) antara lain berupa pengungkapan ide-ide, pendapat, minat, pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaannya kepada orang lain. Dengan hanya menyimpan ide-ide yang kita miliki maka akan membuat suatu hubungan menjadi tidak berkembang. Pada saat pengungkapan diri individu untuk sementara waktu merendahkan pertahanannya (defens) dan memberikan gambaran tentang diri yang sebenarnya. Self-disclosure dapat mengubah suatu perkenalan yang tidak mendalam menjadi suatu hubungan yang lebih serius dan diperolehnya teman baru, utamanya pengungkapan diri yang sifatnya hal-hal pribadi/evaluative.

Kemampuan membuka diri sangat berguna agar perkenalan yang sudah berlangsung dapat berkembang ke hubungan yang lebih pribadi dan mendalam. Oleh Kartono dan Gulo (dalam Nashori, 2008) diungkapkan bahwa self-disclosure adalah suatu proses yang dilakukan seseorang hingga dirinya dikenal oleh orang lain. Orang melakukan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain (Sears dkk, 1994). Dalam pengungkapan diri, menurut Wrighstman dan Deaux (dalam Nashori, 2008) yaitu seseorang mengungkapkan informasi yang bersifat pribadi mengenai dirinya dan memberikan perhatian kepada orang lain, sebagai suatu bentuk penghargaan yang akan memperluas kesempatan terjadinya sharing. Dengan


(35)

adanya self-disclosure ini terkadang seseorang menurunkan pertahanan dirinya dan membiarkan orang lain mengetahui dirinya secara lebih mendalam.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa self-disclosure adalah kemampuan untuk membuka diri, menyampaikan ide-ide, perasaan-perasaannya dan informasi yang bersifat pribadi untuk dapat lebih memahami satu sama lainnya.

c) Kemampuan untuk bersikap asertif

Menurut Buhrmester (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) kemampuan untuk mempertahankan diri dari tuduhan yang tidak benar atau tidak adil, kemampuan untuk mengatakan tidak terhadap permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dan kemampuan untuk meminta pertolongan atau bantuan saat diperlukan.

Menurut Perlman dan Cozby (dalam Nashori, 2008) asertivitas adalah kemampuan dan kesediaan individu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan secara jelas dan dapat mempertahankan hak-haknya dengan tegas. Diungkapkan oleh Calhoun dan Acocella (dalam Nashori, 2008) bahwa kemampuan bersikap asertif adalah kemampuan untuk meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkan atau menolak untuk melakukan hal yang tidak diinginkan. Kemampuan bersikap asertif ini dapat mempermudah individu dalam melakukan komunikasi interpersonal yang efektif.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan untuk bersikap asertif adalah kemampuan bersikap tegas dengan maksud untuk mempertahankan hak-haknya, menolak permintaan-permintaan yang tidak


(36)

diinginkan tanpa melukai perasaan orang lain dan meminta bantuan saat diperlukan.

d) Kemampuan memberikan dukungan emosional

Menurut Buhrmester, ekspresi perasaan yang memperlihatkan adanya perhatian, simpati dan penghargaan terhadap orang lain. Dukungan emosional juga mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberikan perasaan nyaman kepada orang lain yang sedang dalam kondisi tertekan dan bermasalah. Kemampuan ini erat hubungannya dengan kemampuan untuk memberikan afeksi dan empati (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Kemampuan memberi dukungan emosional sangat berguna untuk mengoptimalkan komunikasi interpersonal antar dua pribadi. Menurut Barker dan Lamle (dalam Nashori, 2008) dukungan emosional mencakup kemampuan untuk menenangkan dan memberi rasa nyaman kepada orang lain ketika orang tersebut dalam keadaan tertekan dan bermasalah. Menurut Kartono dan Gulo (dalam Nashori, 2008) empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Perasaan ini akan diterima oleh orang lain sebagai sikap yang hangat, dan ini akan menjadi dasar yang penting bagi tumbuhnya sikap menolong. Orang yang memiliki kemampuan untuk berempati tinggi akan memiliki keinginan untuk menolong yang tinggi pula.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan memberikan dukungan emosional adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan kepada orang lain melalui perhatian, simpati, empati dan penghargaan untuk


(37)

memberikan rasa nyaman ketika dalam kondisi tertekan dan mendapat masalah.

e) Kemampuan mengatasi konflik

Cara atau strategi untuk menyelesaikan adanya pertentangan dengan orang lain yang mungkin terjadi saat melakukan hubungan interpersonal. Walaupun konflik dapat merusak hubungan sosial tetapi ada cara-cara yang dapat digunakan untuk mengendalikan hal-hal tersebut. Konflik dapat disalurkan dan dibangun secara konstruktif sehingga meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi. Teknik-teknik pengendalian dan kemampuan verbal individu dapat digunakan sebagai media untuk menangani konflik dan mengarahkannya menuju akhir yang konstruktif (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Setiap hubungan antarpribadi mengandung unsur-unsur konflik atau perbedaan kepentingan. Oleh Johnson (dalam Nashori, 2008) dikatakan bahwa konflik merupakan situasi yang ditandai oleh adanya tindakan salah satu pihak yang menghalangi, menghambat, dan mengganggu tindakan pihak lain. Menurut Baron dan Byrne dalam situasi konflik terjadi empat kemungkinan yaitu memutuskan mengakhiri hubungan, mengharapkan keadaan membaik dengan sendirinya, menunggu masalah lebih memburuk, dan berusaha menyelesaikan permasalahan (dalam Nashori, 2008). Apabila melakukan hal yang terakhir ini, maka seseorang memiliki kemampuan mengatasi konflik. Termasuk kemampuan mengatasi konflik adalah menyambut atau merespons secara positif isyarat penyelesaian konflik yang disampaikan orang lain.


(38)

Sebaliknya, bila orang memilih mengakhiri hubungan, secara pasif mengharapkan kebaikan terjadi dengan sendirinya, dan menungggu konflik lebih memburuk maka hal itu menunjukkan kemampuan mengelola dan menyelesaikan konflik tidak dimiliki orang yang bersangkutan.

Kemampuan mengatasi konflik itu diperlukan agar tidak merugikan suatu hubungan yang telah terjalin karena akan memberikan dampak yang negatif. Kemampuan mengatasi konflik ini meliputi sikap-sikap untuk menyusun suatu penyelesaian masalah, mempertimbangkan kembali penilaian atas suatu masalah dan mengembangkan konsep harga diri yang baru.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan dalam mengatasi konflik adalah kemampuan seseorang untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan orang lain agar tidak memberikan dampak negatif terhadap hubungan telah terjalin dan dapat meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi dengan orang lain.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kompetensi Interpersonal

Berbagai pandangan dan penelitian menunjukkan bahwa kompetensi interpersonal dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat eksternal dan internal. Yang tergolong faktor-faktor eksternal (Nashori, 2008) yaitu:

a) Kontak dengan orangtua

Menurut Hetherington dan Parke (dalam Nashori, 2008) kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak di antara mereka menjadikan anak belajar dari lingkungan


(39)

sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Salmah (2007) menyatakan bahwa kompetensi interpersonal pada remaja dapat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, dalam hal ini yaitu pola asuh yang mengarah pada gaya demokratis. Pola asuh pada penelitian tersebut mencakup keseluruhan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak, meliputi: cara pemberian aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritas dan perhatian serta tanggapan yang dilakukan untuk membentuk perilaku anak demi mencapai perkembangan yang maksimal. Pola hubungan antara anak dan orangtua mampu mempengaruhi bagian-bagian paling penting dari kompetensi interpersonal yang mulai terbentuk dalam awal hubungan yang pertama kali di dalam lingkungan keluarga. Kompetensi dan perilaku yang kelak akan diterapkan remaja dalam hubungan pertemanan hingga kemudian berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas merupakan apa yang telah mereka bentuk melalui hubungan awal mereka dengan orangtua. Di dalam keluarga terjadi pembentukan pola penyesuaian sebagai dasar bagi hubungan sosial yang lebih luas.

b) Interaksi dengan teman sebaya

Sebagaimana diungkapkan oleh Kramer dan Gottman (dalam Nashori, 2008) individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina


(40)

hubungan interpersonal. Lebih khusus, Nurrahmati (dalam Nashori, 2008) menemukan bahwa ada hubungan antara gaya kelekatan aman dengan teman sebaya dan kompetensi interpersonal. Remaja yang memiliki gaya kelekatan aman, yang ditandai oleh adanya model mental yang positif, meyakini tersedianya respons yang positif dari lingkungannya. Dari sana berkembanglah kompetensi interpersonal.

c) Aktivitas dan partisipasi sosial

Partisipasi sosial juga memiliki pengaruh terhadap kompetensi interpersonal. Menurut Hurlock (2000) semakin besar partisipasi sosial semakin besar kompetensi interpersonalnya. Selain itu, diketahui perlakuan khusus dapat meningkatkan kompetensi interpersonal, seperti pelatihan asertivitas, pelatihan inisiatif sosial, dan seterusnya.

Pandangan Hurlock di atas diperkuat oleh hasil penelitian Danardono (dalam Nashori, 2008). Danardono menunjukkan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kepecintaanalaman memiliki perbedaan yang signifikan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam kepecintaanalam, khususnya dalam hal kompetensi interpersonal. Mahasiswa pecinta alam lebih tinggi kompetensi interpersonalnya dibanding mahasiswa bukan pecinta alam.

Kompetensi interpersonal juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat internal, disamping faktor-faktor yang bersifat eksternal sebagaimana telah dijelaskan (dalam Nashori, 2008) yaitu:


(41)

a) Jenis kelamin

Diungkapkan oleh Nashori (2008) bahwa anak-anak dan remaja laki-laki terbukti memiliki tingkat gerakan-gerakan yang aktif lebih tinggi dibanding anak-anak perempuan. Pada gilirannya nanti gerakan-gerakan yang aktif itu menjadi modal untuk berinisiatif melakukan hubungan sosial-interpersonal, bersikap asertif dan aktif menyelesaikan masalah atau konflik yang dihadapi. b) Kematangan

Selain itu kematangan juga mempengaruhi kompetensi interpersonal. Dibutuhkan kematangan tertentu, sekurang-kurangnya pada usia remaja, agar seseorang memiliki kompetensi interpersonal secara baik. Nashori (2000) menemukan bahwa kematangan beragama berkorelasi positif dengan kompetensi interpersonal. Orang yang matang dalam beragama memiliki kesabaran terhadap perilaku orang lain dan tidak mengadili atau menghukumnya.

c) Tipe kepribadian

Kepribadian juga diduga berpengaruh, karena sebagaimana diungkapkan oleh Adler, ada individu yang berorientasi ke dalam (intrinsik) dan ada pula yang berorientasi ke luar (ekstrinsik). Individu yang berorientasi ke luar banyak berusaha untuk berkomunikasi dengan orang lain. Salah satu wujud kepribadian individu adalah konsep diri. Konsep diri dapat diartikan sebagai pandangan, pikiran, perasaan dan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Nashori (2000) menemukan bahwa konsep diri berkorelasi dengan kompetensi


(42)

interpersonal. Orang yang konsep dirinya positif merasa dirinya setara dengan orang lain dan peka terhadap kebutuhan orang lain (dalam Nashori, 2008).

4. Manfaat Kompetensi Interpersonal

Menurut Amelia (2008) bahwa manfaat yang diperoleh seseorang dalam melakukan hubungan interpersonal antara lain:

a) Menghindari kesepian b) Menstimulasi rasa aman

c) Memahami diri dan meningkatkan kebehargaan diri d) Meningkatkan rasa nyaman dan meminimalisir rasa sakit

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat berinteraksi maupun membina hubungan yang hangat dan nyaman melalui komunikasi yang efektif dan efisien dengan individu lainnya. Aspek-aspek kompetensi interpersonal yaitu kemampuan berinisiatif, kemampuan untuk bersikap terbuka (self-disclosure), kemampuan untuk bersikap asertif dan kemampuan mengatasi konflik. Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal yaitu faktor yang bersifat eksternal dan internal. Faktor yang bersifat eksternal yaitu kontak dengan orangtua, interaksi dengan teman sebaya, aktivitas dan partisipasi sosial. Faktor yang bersifat internal yaitu jenis kelamin, kematangan dan tipe kepribadian. Manfaat kompetensi interpersonal yaitu menghindari kesepian, menstimulasi rasa aman, memahami diri dan


(43)

meningkatkan keberhargaan diri, meningkatkan rasa nyaman dan meminimalisir rasa sakit.

B. PERKEMBANGAN REMAJA DI PANTI ASUHAN

Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan pelayanan pengganti, atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa, sebagai insan yang akan turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional (Pusat Penelitian Kependudukan, LPPM UNS dengan UNICEF, 2009).

Knudsen (2001) mengatakan bahwa panti asuhan yaitu lembaga sosial yang menampung anak-anak yang tidak memiliki orang tua, terpisah dari orangtuanya karena bencana alam atau kerusuhan, kemiskinan, atau kekerasan dalam rumah tangga. Panti asuhan memegang peranan penting bagi kesejahteraan sosial anak-anak yang tidak mempunyai keluarga lagi untuk mengasuh mereka. Penelitian Knudsen (2001) mengatakan bahwa ada peningkatan jumlah panti asuhan sejak tahun 1999 dan bertambah banyaknya anak yang dikirim ke panti asuhan.

Hasil penelitian Bowlby (dalam Hartini, 2000) menyatakan bahwa perkembangan anak yang sehat secara fisik, psikologis dan sosial membutuhkan


(44)

suatu hubungan yang harmonis antara tiga unsur pokok yaitu: hubungan antara ibu dan anak, hubungan antara anak dan keluarga, hubungan antara anak dan lingkungan sosialnya. Selain itu, Margareth (dalam Hartini, 2000) dalam laporan hasil penelitiannya juga menyimpulkan bahwa perawatan anak di yayasan sangat tidak baik, karena anak dipandang sebagai makhluk biologis bukan sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial. Padahal selain pemenuhan kebutuhan fisiologis, anak membutuhkan, kasih sayang bagi perkembangan psikis yang sehat seperti halnya vitamin dan protein bagi perkembangan biologisnya.

Hasil penelitian Hartini (2000) menunjukkan gambaran psikologis anak yang tinggal di panti asuhan seperti, misal: terbentuknya kepribadian anak yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan sehingga anak akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Disamping itu mereka menunjukkan perilaku negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan dan lebih egosentrisme. Hal ini dikarenakan ketidakseimbangan antara jumlah pengasuh dan anak asuh yang terlalu besar, maka hubungan individu hubungan individu secara pribadi dan hangat kurang memungkinkan untuk dijalin. Mengingat usia mereka yang relatif lebih mudah sehingga perubahan ke arah positif dari aspek kepribadiannya masih dimungkinkan.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa jumlah anak-anak yang terlantar semakin meningkat, sementara hanya sebagaian kecil dari mereka (kira-kira 15%) yang mampu ditampung di panti asuhan, baik swasta maupun pemerintah. Realitas juga menunjukkan bahwa mereka yang beruntung (diasuh di


(45)

panti asuhan) saja menunjukkan perkembangan kepribadian dan penyesuaian sosial yang kurang memuaskan, dapat dibayangkan keadaan yang lebih memprihatinkan lagi pada anak-anak terlantar yang belum terjangkau penanganan dari pihak yang berwenang. Sementara masyarakat sering memberi cap negatif pada anak-anak panti asuhan tanpa melihat lebih jauh, kenapa atau bagaimana hal-hal negatif pada anak-anak itu bisa terjadi. Oleh karenanya, dengan mendasarkan diri pada persepsi masyarakat dan pendapat beberapa ahli bahwa dalam kehidupan di panti asuhan, anak-anak tidak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi perkembangan psikologisnya (Referensi kesehatan, 2008).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan remaja di panti asuhan tidak begitu baik karena anak-anak di panti asuhan yang diperhatikan hanya kebutuhan biologis dan mengabaikan kebutuhan psikologisnya dan juga anak-anak tidak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi perkembangan psikologisnya.

C. KELUARGA DAN PERKEMBANGAN REMAJA

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 Bab I ayat 1 keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Sementara itu, menurut Tirtaraharja (1995) keluarga diartikan sebagai kelompok primer yang terdiri atas sejumlah orang, karena hubungan sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga merupakan lingkungan primer bagi individu, sejak lahir sampai ia


(46)

meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antarmanusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya (Sarwono, 2000). Menurut Brown (dalam Yusuf, 2004) keluarga dapat diartikan dalam dua macam yaitu:

a) Dalam arti luas

Keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau keturunan yang dapat dibandingkan dengan “marga”.

b) Dalam arti sempit

Keluarga meliputi orangtua dan anak

Bentuk atau Pola Keluarga. Menurut Yusuf (2004), terdapat dua pola keluarga yaitu

a) Keluarga inti (nuclear family)

Keluarga yang terdiri dari suami/istri, istri/ibu dan anak-anak yang lahir dari pernikahan antara keduanya dan yang belum berkeluarga termasuk anak tiri jika ada.

b) Keluarga luas (extended family)

Keluarga yang keanggotaannya tidak hanya meliputi suami istri dan anak-anak yang belum menikah tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya tinggal dalam sebuah rumah tangga bersama, seperti mertua, adik, kakak ipar dan yang lainnya yang tinggal menumpang.

Keluarga sebagai tempat pertama dan utama di mana anak lahir, dibesarkan, berkembang dan mengalami ”proses menjadi”, pada dasarnya


(47)

memikul beragam fungsi. Selama masa bayi dan kanak-kanak, fungsi-fungsi dan tanggung jawab keluarga yang utama adalah mengasuh/memelihara, melindungi, mendidik dan sosialisasi. Seiring dengan terjadinya perubahan progressif pada remaja, maka bergeser pula fungsi-fungsi keluarga itu sebagai dampak penyesuaian terhadap perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan anak. Sementara fungsi-fungsi di atas masih sangat penting sepanjang usia remaja namun terjadi pergeseran kebutuhan di sana. Remaja lebih membutuhkan dukungan (support) daripada pengasuhan (nurturance), bimbingan (guidance) daripada peelindungan (protection) dan pengarahan (direction) daripada socialization (dalam Barus, 2003).

Hubungan orangtua dan remaja serta peran yang dimainkan orangtua dalam perkembangan remaja merupakan aspek-aspek yang penting dalam telaah psikologi. Piaget (dalam Hurlock, 2000) menyebutkan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah masa di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Dalam hubungan itu, remaja mengharapkan orangtuanya menaruh perhatian dan menolong, memberikan kebutuhan-kebutuhan akan komunikasi, cinta kasih, dukungan, penerimaan, kepercayaan, kemandirian, bimbingan dan keteladanan. Harapan-harapan remaja itu kadang sulit dipenuhi karena kebersamaan dengan itu sering terjadi ketegangan antara remaja dan orangtuanya yang menimbulkan kasulitan-kesulitan bagi kedua belah pihak (Rice dalam Barus, 2003).


(48)

Banyak penelitian menyangkut generation gap menunjukkan bahwa meskipun beberapa remaja dan orangtua terlibat dalam masalah-masalah interpersonal yang serius, sebagian besar remaja menyatakan masih merasa akrab dengan orangtua mereka, menghormati penilaian-penilaian orangtua mereka, merasa bahwa orangtua mencintai dan merawat mereka dan tetap menghormati orangtua sebagai individu (Steinberg dalam Barus, 2003). Dalam hal nilai-nilai dan sikap, remaja dan orangtua mereka tidak terlalu larut dalam pertentangan itu. Remaja dan orangtua mereka memiliki keyakinan-keyakinan yang sama menyangkut pentingnya kerja keras tentang ambisi-ambisi pendidikan dan pekerjaan juga tentang kualitas-kualitas dan sifat-sifat kepribadian yang mereka anggap penting dan diinginkan (Conger dalam Barus, 2003).

Argyle dan Henderson (dalam Barus, 2003) mengatakan bahwa dukungan pengasuhan yang positif terkait dengan eratnya hubungan antara remaja dan orangtua/saudara-saudaranya, tingginya harga diri, keberhasilan akademik dan kemajuan perkembangan moral. Sebaliknya, ketiadaan dukungan pengasuhan akan mengakibatkan rendahnya harga diri, prestasi sekolah yang buruk, perilaku yang impulsive, penyesuaian sosial yang jelek, perilaku anti sosial atau kenakalan (Popkin dalam Barus, 2003). Keutuhan orangtua dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk mengembangkan dasar-dasar disiplin diri. Keluarga dikatakan utuh apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama oleh anak-anaknya. Keutuhan dan keseimbangan keluarga memberikan pengaruh positif dalam pribadi anak (Schohib, 1998).


(49)

Hurlock (2000) mengatakan bahwa dalam keluarga utuh, orangtua dapat mengembangkan kepribadian anak secara baik. Hal ini karena kedua orangtua banyak memberikan reinforcement positif kepada anak seperti mencintai, memperhatikan, mendukung serta mampu menjalin hubungan yang dekat dengan anaknya. Dengan begitu diharapkan tidak terjadi ketimpangan dalam salah satu perkembangannya. Sikap orangtua bisanya tercermin dalam beberapa perilaku seperti sebagai berikut: terlibat dengan anak, memperhatikan rencana dan cita-cita anak, menunjukkan kasih sayang, berdialog secara baik dengan anak, menerima anak sebagai individu (person), memberikan bimbingan dan semangat, tidak menuntut berlebihan dan merasa cemas jika anak sakit.

Pengaruh keluarga utuh terhadap anak adalah anak merasa dicintai, dipahami, diberikan perasaan aman, adanya penerimaan dan kelekatan hubungan melalui intimacy, hubungan jangka panjang dan interaksi secara langsung. Juga adanya dukungan setiap saat dari anggota keluarga jika terjadi masa krisis psikologis dan distress emosional (Schohib, 1998).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan tempat dimana anak pertama kali bagaimana mempelajari interaksi sosial dan memperoleh kasih sayang dari orangtuanya dimana hal ini nantinya menentukan bagaimana anak berinteraksi dengan orang lain. Hubungan sosial dimulai sejak anak berada di lingkungan rumah bersama keluarganya. Orangtua memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan remaja.


(50)

D. PERBEDAAN KOMPETENSI INTERPERSONAL ANTARA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN DAN YANG TINGGAL DENGAN KELUARGA

Komunikasi dapat berjalan karena adanya interaksi sosial antar manusia. Untuk dapat menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, dibutuhkan kecakapan yang memampukan individu untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi (Lukman, 2000). Kecakapan ini dikenal juga dengan istilah kompetensi interpersonal. Menurut Larasati (dalam Nashori, 2008) sekitar 73 persen komunikasi yang dilakukan manusia merupakan komunikasi interpersonal. Individu yang dapat melakukan komunikasi interpersonal secara efektif disebut memiliki kompetensi interpersonal.

Golson (dalam Idrus, 2007) menyatakan bahwa bukan persoalan seseorang memiliki kecerdasan, juga bukan karena yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk mengelaborasi masalah dari persoalan yang dihadapi namun jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi kepada orang lain maka kemampuan-kemampuan tersebut menjadi tidak berguna, kompetensi interpersonal merupakan kunci bagi individu untuk mengkomunikasikan ide-ide cemerlangnya kepada orang lain. Lebih lanjut Golson menyatakan bahwa orang yang memiliki kemampuan sosial dan dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam waktu yang lama cenderung lebih berhasil dibanding dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan tersebut dan salah satu faktor yang banyak menentukan keberhasilan dalam menjalin komunikasi dengan orang lain adalah kompetensi interpersonal.


(51)

Hubungan interpersonal yang efektif seperti persahabatan, jika mereka memiliki kemampuan-kemampuan dalam membina hubungan interpersonal. Kemampuan tersebut secara khusus oleh Buhrmester dkk (1988) disebut sebagai kompetensi interpersonal. Menurut Spitzberg dan Cupach (dalam Almesa dkk, 2007) kompetensi interpersonal adalah kemampuan individu untuk melakukan komunikasi yang efektif. Kemampuan ini ditandai adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan yang memuaskan antarpribadi. Spitzberg dan Cupach juga mengemukakan bahwa individu yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik memiliki pengetahuan mengenai perilaku nonverbal orang lain. Disamping itu, mereka juga dapat menyesuaikan komunikasi dengan konteks interaksi dan menyesuaikan dengan orang lain yang ada dalam interaksi tersebut.

Pada masa remaja, individu berusaha untuk menarik perhatian orang lain, mendapatkan popularitas dan kasih sayang dari teman sebaya. Semua hal tersebut akan diperoleh apabila remaja mampu berinteraksi sosial karena remaja secara psikologis dan sosial berada dalam situasi peka dan kritis (Hurlock, 2000). Keterampilan interpersonal akan menunjukkan kemampuan remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Semua kemampuan interpersonal akan membuat mereka lebih berhasil dalam berinteraksi dengan orang lain. Pada keterampilan komunikasi mencakupi keterampilan mendengarkan efektif, berbicara efektif dan menulis efektif. Termasuk pula di dalamnya mampu menampilkan penampilan fisik (model busana) yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya (William Kay dalam Agustiani, 2006).


(52)

Menurut Hetherington dan Parke (dalam Nashori, 2008) kontak anak dengan orangtua banyak berpengaruh terhadap kompetensi interpersonal anak. Adanya kontak di antara mereka menjadikan anak belajar dari lingkungan sosialnya dan pengalaman bersosialisasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku sosialnya. Keluarga merupakan lingkungan primer bagi individu, sejak lahir sampai ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antarmanusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya (Sarwono, 2000). Ketika interaksi antara anak dan orangtua selalu diwarnai dengan sikap saling memberi dan menerima, mendengarkan dan didengarkan maka akan cenderung mengakibatkan kompetensi interpersonal yang adekuat pada anak terutama karena interaksinya diwarnai dengan kehangatan (Santrock, 2007).

Hurlock (2000) mengatakan bahwa dalam keluarga utuh, orangtua dapat mengembangkan kepribadian anak secara baik. Hal ini karena kedua orangtua banyak memberikan reinforcement positif kepada anak seperti mencintai, memperhatikan, mendukung serta mampu menjalin hubungan yang dekat dengan anaknya. Dengan begitu diharapkan tidak terjadi ketimpangan dalam salah satu perkembangannya. Sikap orangtua bisanya tercermin dalam beberapa perilaku seperti berikut ini: terlibat dengan anak, memperhatikan rencana dan cita-cita anak, menunjukkan kasih sayang, berdialog secara baik dengan anak, menerima anak sebagai individu (person), memberikan bimbingan dan semangat, tidak menuntut berlebihan dan merasa cemas jika anak sakit. Keluarga dikatakan utuh


(53)

apabila disamping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama oleh anak-anaknya. Keutuhan dan keseimbangan keluarga memberikan pengaruh positif dalam pribadi anak (Schohib, 1998).

Adanya kompetensi interpersonal ini membuat seseorang merasa mampu dan terampil untuk menjalin hubungan yang efektif dengan orang lain dan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam situasi hubungan antarpribadi. Sebaliknya, kurangnya kompetensi interpersonal tersebut dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam penyesuaian diri dan terganggunya kehidupan sosial seseorang. Mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas sebenarnya telah dimulai sejak seseorang memasuki periode remaja. Memasuki periode remaja, seseorang mulai mengurangi intensitasnya untuk berinteraksi dengan orangtua dan mulai menuju ke arah teman sebaya untuk membina hubungan yang lebih akrab (Leny & Tommy, 2006). Pada periode ini, kebutuhan dan keinginan untuk dapat berkomunikasi dan memperoleh teman yang banyak juga semakin meningkat. Remaja mulai membentuk kelompok sahabat yang memiliki minat, kesukaan dan nilai-nilai yang sama serta banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan yang melibatkan banyak orang dan menginginkan kedekatan emosional dalam kelompoknya (Mastuti dalam Leny & Tommy, 2006).

Kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh individu tak terkecuali para remaja yang tinggal di panti asuhan. Pentingnya peran orangtua bagi perkembangan kepribadian individu tentu saja tidak akan didapatkan oleh anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Anak-anak-anak yang tinggal di panti asuhan sejak


(54)

kecilnya tentu saja tidak akan mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari pihak lembaga. Para perawat di panti asuhan memiliki keterbatasan untuk memperhatikan seluruh anak-anak dan para remaja yang tinggal di sana. Para perawat yang bekerja di panti asuhan mengalami kesulitan apabila harus memperhatikan setiap aspek perkembangan dari masing-masing anak dan remaja yang tinggal di sana secara adil. Perhatian yang bisa mereka berikan biasanya hanya sebatas perkembangan fisik, seperti mencukupi kebutuhan makan, pakaian dan keperluan sekolah (dalam Sudrajat, 2008).

Di sisi lain dalam kehidupan anak selalu ada kebutuhan untuk dikasihi dan merasakan bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya. Pada kenyataannya tidak semua anak dapat memperoleh pemenuhan kebutuhan, misalnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Anak-anak yang tinggal di panti asuhan adalah mereka yang tidak memiliki keluarga lagi atau juga bisa disebabkan karena orangtua yang bercerai atau sudah meninggal dunia. Hasil penelitian Hartini (2000) menunjukkan gambaran psikologis anak yang tinggal di panti asuhan seperti, misal: terbentuknya kepribadian anak yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan sehingga anak akan sulit menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Disamping itu mereka menunjukkan perilaku negatif, takut melakukan kontak dengan orang lain, lebih suka sendirian, menunjukkan rasa bermusuhan dan lebih egosentrisme. Groza (2011) mengatakan bahwa panti asuhan dapat berdampak terhadap perkembangan kognitif, emosi, sosial, dan fisik anak selama beberapa periode tertentu. Anak yang tinggal di panti


(55)

asuhan dapat mengalami masalah emosional dan perilaku, seperti agresif, perilaku antisosial, dan menyebabkan mereka kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai dunia luar.

Remaja yang tinggal di panti asuhan biasanya kaku dalam berhubungan sosial dengan orang lain dan sebagian dari remaja mengalami kesulitan dalam menjalin interaksi sosial. Menurut Hurlock (2000) status sosial ekonomi yang rendah dianggap remaja sebagai salah satu faktor yang akan membuat mereka ditolak oleh lingkungan teman sebaya dan pada akhirnya mereka akan merasa minder dan tidak berharga. Salah satu akibat yang juga terjadi ketika remaja tidak mampu membina hubungan interpersonal yang memuaskan adalah perasaan kesepian serta perasaan tidak bahagia dan nyaman. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Buhrmester (1988) bahwa kurangnya kompetensi interpersonal akan memberikan ketidakpuasan dalam suatu hubungan yang akan mengakibatkan berkembanganya perasaan kesepian.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dalam kehidupan anak dan bagian terpenting dari jaringan sosial anak sekaligus sebagai lingkungan pertama anak selama tahun-tahun pertama anak untuk memperoleh pengalaman sosial dini yang berperan penting dalam menentukan hubungan sosial di masa depan dan juga perilakunya terhadap orang lain. Interaksi antara anak dengan orangtua yang diwarnai dengan kehangatan akan mempengaruhi kompetensi interpersonal pada anak. Hal ini tidak didapatkan oleh anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Anak-anak yang tinggal di panti asuhan tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup dari


(56)

pihak panti asuhan karena pengasuh di panti asuhan memiliki keterbatasan untuk memperhatikan seluruh anak-anak yang ada di panti asuhan. Padahal perhatian, kebutuhan untuk dikasihi serta diakui keberadaannya sangat diperlukan oleh anak-anak panti asuhan. Hal ini akan mempengaruhi anak-anak dalam menjalin interaksi dengan orang lain. Oleh karena itu, ada tidaknya kontak interaksi antara anak dengan orangtua akan mempengaruhi terbentuknya kompetensi interpersonal pada anak.

E. HIPOTESA PENELITIAN

Hipotesa penelitian yang diajukan adalah ada perbedaan kompetensi interpersonal antara remaja yang tinggal di panti asuhan dan remaja yang tinggal dengan keluarga, dimana kompetensi interpersonal pada remaja yang tinggal dengan keluarga lebih tinggi daripada remaja yang tinggal di panti asuhan.


(1)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dengan hormat,

Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, saya akan mengadakan penelitian mengenai remaja. Untuk itu saya memerlukan sejumlah data yang hanya akan saya peroleh dengan adanya kerjasama dan kesediaan Anda dalam mengisi kuesioner ini. Dalam mengisi kuesioner ini tidak ada jawaban yang salah. Setiap orang dapat memiliki jawaban yang berbeda. Oleh karena itu,

pilihlah jawaban yang sesuai dengan diri Anda sejujur-jujurnya tanpa

mendiskusikannya dengan orang lain. Semua jawaban Anda akan dijaga kerahasiaannya dan hanya dipergunakan untuk keperluan penelitian ini saja. Cara menjawab pernyataan-pernyataan tersebut akan dijelaskan dalam petunjuk pengisian. Jika telah selesai, periksa kembali jawaban Anda jangan sampai ada pernyataan yang terlewat dan belum diisi.

Kesediaan Anda yang telah meluangkan waktu untuk mengisi skala ini merupakan bantuan yang sangat besar artinya bagi keberhasilan penelitian ini. Untuk itu saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,


(2)

IDENTITAS DIRI Nama lengkap :

Usia :

Jenis Kelamin :

Tinggal dengan :a. Ayah b. ibu c. Ayah & Ibu d. Lainnya, sebutkan….

PETUNJUK PENGISIAN

Berikut ada sejumlah pernyataan. Baca dan pahami baik-baik setiap pernyataan. Anda diminta untuk memilih salah satu pilihan yang tersedia di sebelah kanan pernyataan berdasarkan keadaan diri Anda yang sesungguhnya. Berilah tanda silang (X) pada salah satu pilihan Anda. Alternatif jawaban yang tersedia terdiri dari 5 pilihan, yaitu:

SS : bila pernyataan Sangat Sesuai dengan keadaan diri Anda S : bila pernyataan Sesuai dengan keadaan diri Anda

N : bila pernyataan Netral dengan keadaan diri Anda

TS : bila pernyataan Tidak Sesuai dengan keadaan diri Anda

STS : bila pernyataan Sangat Tidak Sesuai dengan keadaan diri Anda

Bila sudah selesai tolong periksa kembali jawaban Anda, jangan sampai ada nomor yang terlewati.

Contoh:

No. PERNYATAAN SS S N TS STS 1. Saya sering merasa tidak berguna SS S N TS STS

Jika anda salah dalam memberikan tanda silang (X) pada jawaban anda, maka anda dapat memberikan tanda garis dua (=) pada jawaban tersebut. Setelah itu berikan tanda silang (X) pada jawaban yang anda anggap benar.

Contoh:

No. PERNYATAAN SS S N TS STS 1. Saya sering merasa tidak berguna SS S N TS STS


(3)

Kuesioner ini terdiri dari 26 pernyataan

No PERNYATAAN SS S N TS STS

1. Ketika teman saya mengalami kesulitan,

saya akan membantunya meskipun tidak diminta untuk membantu

SS S N TS STS

2. Saat ada teman yang ingin menyontek

tugas saya, saya tidak berani menolak SS S N TS STS

3. Saat teman saya berhasil mendapatkan

nilai bagus, saya juga turut bahagia atas keberhasilannya

SS S N TS STS

4. Ketika menghadapi suatu masalah, saya

akan berusaha untuk menyelesaikannya SS S N TS STS

5. Saya tidak suka jika orang yang baru

saya kenal selalu ingin tahu masalah pribadi saya

SS S N TS STS

6. Ketika saya berbuat salah pada teman,

saya akan segera minta maaf saat itu juga SS S N TS STS

7. Saya akan menyapa terlebih dahulu

ketika bertemu dengan orang yang saya kenal

SS S N TS STS

8. Saya yang selalu memulai percakapan

ketika berbicara dengan orang lain SS S N TS STS

9. Saya merasa tidak nyaman bila harus

berbicara mengenai keluarga saya saat mengobrol dengan teman-teman

SS S N TS STS

10. Saya akan meminta teman untuk

membantu saya saat saya sedang mengalami kesulitan

SS S N TS STS


(4)

saya, saya akan mengatakan yang sebenarnya sesuai dengan pemikiran saya 12. Apabila ada pendapat yang tidak sesuai dengan pemikiran saya, saya akan diam saja

SS S N TS STS

13. Ketika teman saya sedang mengalami

masalah, saya akan membantunya

sehingga perasaannya menjadi tenang

SS S N TS STS

14. Banyak teman-teman yang menceritakan

masalah pribadinya pada saya SS S N TS STS

15. Saya adalah orang yang mudah untuk

diajak mengobrol SS S N TS STS

16. Apabila tidak setuju dengan suatu hal,

saya lebih memilih untuk diam SS S N TS STS

17. Saat ada teman yang menghina saya,

saya lebih memilih untuk diam SS S N TS STS

18. Ketika saya sudah membuat teman saya kecewa, saya akan minta maaf sampai teman saya menerima permintaan maaf saya

SS S N TS STS

19. Saya malu untuk menyapa terlebih dahulu saat berpapasan dengan teman lama saya

SS S N TS STS

20. Saat teman saya merasa sedih karena masalah keluarga, saya akan berusaha menghibur teman saya agar ceria kembali

SS S N TS STS

21. Saya tidak suka bila ada teman yang


(5)

22. Saya malas untuk tersenyum terlebih dahulu saat berpapasan dengan orang yang saya kenal

SS S N TS STS

23 Ketika saya bertengkar dengan teman,

saya tidak akan minta maaf terlebih dahulu

SS S N TS STS

24 Saat saya marah pada teman karena

ucapannya yang telah menyinggung perasaan saya, saya tidak akan bicara padanya tunggu sampai teman saya yang minta maaf

SS S N TS STS

25 Saat berbeda pendapat dengan teman

saya, saya akan mendengarkan alasannya kenapa tidak setuju dengan pendapat saya

SS S N TS STS

26 Saya malas mendengarkan bila ada

teman yang menceritakan masalahnya pada saya

SS S N TS STS

M o h o n P E R I K S A K E M B A L I

J A W A B A N a n D A


(6)

Lampiran 7