Infotainment dan imajinasi audiens : studi tentang resepsi audiens terhadap tayangan infotaiment di kalangan aktivis jaringan perempuan Yogyakarta - USD Repository

  

TESIS

INFOTAINMENT DAN IMAJINASI AUDIENS:

  

Studi Tentang Resepsi Audiens Terhadap Tayangan Infotainment

Di Kalangan Aktivis ‘Jaringan Perempuan Yogyakarta‟”

  Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

  

Oleh:

Subkhi Ridho

NIM: 066322012

  

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  PERSEMBAHAN

  karya ini kupersembahkan buat almamaterku tercinta Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta September Dua Ribu Sepuluh

  

MOTTO

1. Demi masa.

2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

  

3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan

saling nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan menetapi

kesabaran.

Q.S. al ‟Ashr: 1-3

  

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

  Awal ketertarikan saya pada studi televisi, lebih khusus program di televisi adalah setelah mengikuti kuliah Teknologi Informasi dan Perubahan Budaya. Sebuah studi yang bagi saya „awam‟, apalagi dengan latar belakang saya dari kampus berlabel agama (UIN). Setelah berbaur dengan sesama mahasiswa dan juga dibimbing para dosen IRB yang familiar dan bersahabat, akhirnya menentukan studi televisi ini.

  Ketertarikan saya ini tidak terlepas aktivitas saya dengan para aktivis perempuan di Yogyakarta. Diawali dengan „rame‟nya RUU Anti Pornoaksi dan

  Pornografi (APP) pada tahun 2006, yang sempat terhenti gempa bumi yang melanda Jogja, kemudian berlanjut lagi RUU Pornografi hingga akhirnya disyahkan

  • –menjadi UU P-- pada akhir Desember 2008. Yang diselingi kasus pernikahan di bawah umur antara Ulfa dengan Pujiono, sang juragan kaligrafi kuningan dari Jambu, Semarang, Jateng. Bersama para aktivis perempuan itulah saya melakukan advokasi, kampanye publik dan kegiatan lainnya, Saya menjadi sedikit tahu hoby mereka diluar aktivitas pengorganisasian masyarakat, diskusi, workshop, yakni nonton televisi, lebih khusus nonton infotainment.

  Program infotainment menjadi „pilihan‟ di kalangan para aktivis perempuan. Oleh karena itu saya kemudian tertarik untuk mengkaji lebih lanjut, apa yang membuat mereka tertarik terhadap tayangan yang dianggap „sampah‟, „ecek-ecek‟, dan tuduhan negatif lainnya. Yang menarik bagi saya adalah karena penoton infotainmentnya adalah aktivis perempuan.

  Setelah semua yang saya alami demi menggeluti isu perempuan bersama aktivis di „Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY)‟, di sini saya hendak berterima kasih kepada mereka yaitu Ani Himawati, Enik Maslahah, Hanifah (ipe), Sri

  

Haryanti, Siti Habibah dan Yemmestri Enita yang telah bersedia menjadi

  informan saya. Bersama mereka pula saya menonton infotainment di kos, rumah tempat mereka tinggal selain melakukan aktifitas pengorganisasian masyarakat, demonstrasi serta diskusi isu-isu kontemporer.

  Kepada ibu, bapakku di kampung Banjarnegara, yang selallu bertanya: “kapan rampung sekolahe?” Juga kakak-kakakku; mba Nunung, mas Kamal, dan mba Uut yang tinggal dekat dengan ortu, juga kepada mas Zuly dan mba

  Nana

  yang selalu „memarahi‟ untuk menyelesaikan studi yang tidak rampung- rampung, dan mensupport tanpa kenal lel ah di tanah rantauan. “Terima kasih atas

  

nasehat dan dorongannya selama ini, tanpa „dimarahi‟ barangkali akan tidak

terurus”.

  Ucapan terima kasih kepada pembimbing saya Dr. Budiawan yang dengan sabar, sangat teliti dan rinci mengomentari draft demi draft sehingga menginspirasikan ide-ide baru ketika saya merasa sudah

  “mentok”, meskipun

  akhirnya harus berhenti di tengah jalan karena tidak beraktifitas di IRB lagi,

  

“sebuah pengalaman berharga dibimbing oleh Bapak”. Terima kasih yang tulus

dan sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Dr. Katrin Bandel juga kepada Dr.

  

St. Sunardi yang bersedia menjadi pembimbing penerus, meskipun dalam waktu

  yang sangat mepet, kadang saya repotkan dengan pertanyaan ini dan itu di saat sedang sibuk. Sangat disayangkan terlalu singkat dan terbatas jadwal konsultasi dengan mba Katrin dan pak Nardi, dan itu karena keterbatasan saya. Ketelitian dan kejelian mba Katrin membuat studi ini rampung meski dalam waktu yang dikejar-kejar deadline. Atas bantuan mereka berdualah studi ini selesai, semoga Tuhan membalas jasa mereka dengan sebaik-baiknya, amin.

  Kepada para dosen IRB, Romo Banar, Romo Baskara, Romo Hary, Pak

  

George, Pak Ishadi, Pak Robert, dan Romo Haryatmoko, saya mengucapkan

  banyak terimakasih karena suasana akademis dan juga relasi dosen dan mahasiswa yang sangat kondusif bagi mahasiswanya untuk mengeksplorasi banyak hal selama masa perkuliahan. Saya pasti akan selalu merindukan suasana itu. Tidak terlupakan juga Mbak Hengky yang selalu mengingatkan deadline urusan administrasi dan lainnya, Lia di perpustakaan, dan Mas Mul. Kebaikan hati mereka dalam melakukan tugas-tugasnya membuat saya sangat terbantu.

  Hasan Basri, temen baikku, terimakasih telah sangat membantu ketika

  banyak masalah ketika menempuh studi ini. Terimakasih juga kepada sahabat baikku Wahyudin, Anzieb yang menjadi tempat berbagi persoalan kuliah, dengan main futsal bersama maka permasalahan menjadi terasa lebih ringan. Juga kawan-kawan seangkatan mba Budhis, Dona, Wisnu, Olfi, Dewa, Romo

  

Ronny, Elida, Retno, Risma, Welly, Eksis terima kasih atas pertemanan dan

persahabatan selama kuliah, semoga akan tetap abadi.

  Dengan segenap cinta, terima kasih kepada istriku tersayang Firly Annisa yang setia menemani penyelesaian studi ini dengan sabar, janjiku udah molor lama untuk merampungkan, akhirnya selesai juga berkat kesabaranmu. Sangat patut disyukuri apa yang Tuhan perkenankan kita alami dalam kehidupan keluarga kita, dan cara kita menerimanya, sebuah bahtera rumah tangga yang masih seumur jagung ini semoga dapat kita lalui hingga waktu yang tak terhingga. Kepada kakak-kakak iparku, mas Sulam, mba Uus mereka semua di Banjarnegara, mba

  

Dyna & mas Zam-zam, mba Lia & mas Imam yang bersama-sama di Jogja

  terima kasih atas penerimaan dan pengertiannya selama ini. Ponakan-ponakanku yang membuat hidup jadi ceria, Nahar, Silmi, Mawar, Lana, Aghna, Mia, dan

  

Arash. Di atas segalanya, syukur kepada Allah swt., yang membuat semuanya

dapat saya lakukan.

  Wassal amu’alaikum wr. wb.

  ABSTRAKSI Penelitian ini membahas respon aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟ terhadap tayangan infotainment. Program infotainment di televisi-televisi swasta nasional oleh sebagian kalangan dianggap sebagai tayangan yang tidak mendidik, sampah, tidak kreatif, hanya sensasi belaka, semata-mata mengejar keuntungan finansial bagi para pemilik modal, meracuni otak, mengingkari fungsi informasi serta cap negatif lainnya dan dilekatkan kepada masyarakat „rendahan‟ yang tidak mampu secara ekonomi.

  Ternyata di kalangan aktivis perempuan, tayangan infotainment mendapat respon beragam. Untuk menjawab persoalan, maka dilakukan menonton bersama di kos, atau tempat tinggal mereka dan melakukan wawancara mendalam. Dalam hal ini metode etnografi menjadi model yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkap permasalahan yang ada.

  Menggunakan teori resepsi yang pernah digunakan Ien Ang, penelitian menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: ada 3 kategori penonton infotainment (i) pencinta infotainment, (ii) penonton ironi dan (iii) pembenci infotainment. Akan tetapi penggunaannya tidak hanya terpaku pada satu informan. Informan di sini bisa masuk dalam dua kategori sekaligus, misalnya menjadi pecinta dan penonton ironi infotainment. Selain itu, penggunaan tayangan infotainment ternyata tidak hanya untuk kesenangan para aktivis ‟JPY‟, akan tetapi bisa menjadi pintu masuk mewacanakan isu kesetaraan jender dan keadilan buruh serta isu-isu perempuan lainnya, seperti kekerasan terhadap rumah tangga kepada masyarakat/komunitas dampingan mereka.

  Dalam hal ini para aktivis ‟JPY‟ memanfaatkan produk budaya massa untuk membuat orang lain atau masyarakat pintar, berpikir kritis dan memerjuangkan hak-hak mereka sebagai kelas tertindas. ABSTRACT This study discusses the response of activists 'Women's Network of

  Yogyakarta' towards infotainment. Infotainment program on television, national television by some considered as impressions that do not educate, garbage, not creative, just a mere sensations, mere pursuit of financial gain for the owners of capital, poisoning the brain, to deny the function of information as well as other negative stamp and attached to the community 'lowly' who can not afford economically.

  It turned out that among women activists, infotainment show got a response varied. To answer the question, then do watch together in the dorm, or where they live and perform in-depth interviews. In this case ethnographic methods into the model used in this study to reveal the existing problems.

  Uses the theory of reception which was once used Ien Ang, the study produced the following conclusion: there are 3 categories of spectators infotainment (i) a lover of infotainment, (ii) the audience irony and (iii) infotainment hater. However, its use is not only fixated on a single informant. The informant here may come in two categories at once, for example, become lovers and spectators irony infotainment. In addition, the use of infotainment show was not just for the pleasure of the activists 'JPY', but could be the entrance mewacanakan issue of gender equality and justice workers and other women's issues, such as domestic violence against the community / communities they are assisting. In this case the activists 'JPY' use of products of mass culture to make other people or smart people, critical thinking and struggle their rights as an oppressed class.

  DAFTAR ISI

  Halaman Judul ..........................................................................................................i Halaman Persetujuan Pembimbing..........................................................................ii Halaman Pengesahan Karya...................................................................................iii Halaman Pernyataan Keaslian Karya......................................................................iv Halaman Persembahan.............................................................................................v Halaman Motto.......................................................................................................vi Kata Pengantar.......................................................................................................vii Abstraksi..................................................................................................................x Abstract...................................................................................................................xi Daftar Isi...............................................................................................................xiii

  

BAB I: PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang masalah...............................................................................1 B. Rumusan Masalah........................................................................................9 C. Tujuan Penelitian dan Signifikansinya.......................................................10 D. Kerangka Teori...........................................................................................11 E. Tinjauan Pustaka........................................................................................15 F. Metode Penelitian.......................................................................................18 G. Sistematika Penulisan.................................................................................22 BAB II: PROGRAM INFOTAINMENT DAN AKTIVIS „JARINGAN

PEREMPUAN YOGYAKARTA........................................................................24

A. Industri Televisi: Dari Monopoli ke Liberasi ............................................26 B. Program Siaran Sebagai Bisnis .................................................................30 C. Infotainment Sebagai Hiburan ..................................................................33 C. 1. Sebuah Tinjauan Historis..................................................................33 C. 2. Materi Infotainment...........................................................................35 C. 3. Produksi Infotainment.......................................................................37 C. 4. Bentuk Infotainment..........................................................................39

  xiii

  D. Perempuan, Infotainment dan Kelas Sosial...............................................43

  E. Jaringan Perempuan Yogyakarta................................................................46

  F. Latar Belakang Para Aktivis ‘JPY’............................................................48

  1. Ani Himawati.......................................................................................48

  2. Enik Maslahah......................................................................................49

  3. Hanifah.................................................................................................51

  4. Sri Hariyanti.........................................................................................52

  5. Siti Habibah Jazila................................................................................53

  6. Yemmestri Enita...................................................................................55

  G. Catatan Penutup.........................................................................................57

  BAB

  III: AKTIVIS „JARINGAN PEREMPUAN YOGYAKARTA‟

MENONTON INFOTAINMENT DAN WACANA PUBLIK.........................59

  A. Membenci Sekaligus Menikmati: Kisah Menonton Infotainment Bersama Aktivis JPY................................................................................................60 A.1. Infotainment: Sarana Menghibur Diri................................................60 A.2. Infotainment: Keintiman Dalam Jarak...............................................64 A.3. Infotainment dan Objek Percakapan..................................................67

  B. Ditonton dan Menonton Infotainment........................................................70 B.1. Cerita Infotainment, Ruang Publik dan Aktivitas Sehari-hari Bagi

  Aktivis JPY.............................................................................................70 B.2.

  Fatwa Haram Infotainment dan Respon Aktivis ‘JPY’......................75 B.3. Disfungsi Informasi: Infotainment dan ajang Ngrumpi aktivis JPY..80

  C. JPY, Infotainment dan Ideologi Budaya Massa.........................................84

  D. Catatan Penutup.........................................................................................87

  

BAB IV: INFOTAINMENT DAN IMAJINASI AKTIVIS PEREMPUAN

“JPY”....................................................................................................................90

  A. Kritis Bukan Berarti Anti: Posisi Menonton Infotainment JPY………….91 A1. Pembenci Infotainment

  ……………………………………………...92 xiv

  A.2. Penonton Ironi Infotainment............................................................102 A.3. Pencinta Infotainment

  ……………………………………………..110

  B. Penonton ”Tak Berpeta”..........................................................................117

  C. Catatan Penutup……………..………………………………………….118

  Bab VI: KESIMPULAN

  ………………………………………………............120

  A. Praktik Menonton Infotainment ……………………………………........121 B.

  Resepsi Aktivis Perempuan ‘JPY………………………………..............122

  C. Refleksi dan Pemikiran Kritis ………………………………...................125

  D. Catatan Penutup ………………………………………………................126

  

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................127

  xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

  “Tidak ada berita yang tak bisa kami kabari karena kami adalah Kabar- Kabari

  ”. Kata-kata ini muncul setiap hari Senin dan Kamis pada jam 15.00-15.30 WIB di sebuah stasiun televisi swasta. Kalimat yang singkat, tidak terlalu mengikuti kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar bertujuan untuk mengundang orang menontonnya. Bagi stasiun televisi, sebuah program acara memang harus dirancang semenarik mungkin dan ditata sedemikian rupa sehingga mampu menyedot animo penonton untuk terus menyaksikan tayangan tersebut. Semakin banyak penonton akan semakin mendatangkan banyak iklan dalam acara tersebut, sehingga keuntungan stasiun televisi itu pun kian bertambah.

  Acara seperti “Kabar-Kabari”, “Cek & Ricek”, “KISS (Kisah Seputar

  Selebritis) ”, “Was-Was”, “Silet”, “Halo Selebriti”, “Hot Shot” serta “Insert”, untuk menyebut beberapa, yang ditayangkan setiap harinya oleh masing-masing stasiun televisi swasta nasional --minus Metro TV-- merupakan menu yang banyak mengundang penonton untuk terus menyaksikannya. Dari pantauan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat, pada tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Pada tahun 2003, jumlah tersebut melonjak empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu atau 14 episode per hari. Tahun 2004, frekuensi makin bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan pada tahun 2005 penayangan infotainment

  1 melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu; didapati 26 episode per hari.

  Dalam satu hari atau 1 x 24 jam layar televisi kita (sanggup) menyajikan program infotainment selama 13 jam. Selama kurun waktu 2002 hingga 2005, tampak sekali betapa jumlah program infotainment di televisi swasta nasional selalu

  2

  meningkat. Bahkan berdasarkan penelitian Agus Maladi Irianto, selama kurun waktu dari Januari-Agustus 2007, dalam sehari rata-rata tayangan infotainment mencapai 15 jam atau dalam satu minggu terdapat 210 episode. Ada banyak ragam, format, dan nama infotainment. Dalam masa-masa awal kemunculannya (tahun 1996), pemirsa televisi di Indonesia pernah disodori 20 judul program infotainment di 10 stasiun televisi swasta. Saat ini (sampai bulan Maret 2009) dalam sehari didapati 33 judul program tayangan infotainment, yang masing- masing ditayangkan dalam durasi waktu tidak kurang dari 30 menit oleh tiap-tiap televisi swasta.

  Pemeringkatan (rating) acara infotainment rata-rata tidaklah tinggi,

  3

  dibanding acara lainnya; olahraga, film drama, reality show . Pemeringkatan

  4

  menjadi tolok ukur tunggal untuk menakar „keberhasilan‟ sebuah program. Keberhasilan menggaet iklan, karena telah memiliki pasar tersendiri.

  1 Data diambil dari situs Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat, tahun 2006. diunduh pada Februari 2009. 2 Resume disertasi Agus Maladi Irianto, Kontestasi Kekuasaan Sajian Acara Televisi: Studi tentang Program Tayangan Infotainment, tidak dipublikasikan (Jakarta: UI, 2008). 3 Rating program infotainment pada tahun 2007-2009 di level nasional maupun

  

Yogyakarta selalu jauh di bawah program-program olahraga, film drama, reality show. Bahkan

posisinya diluar sepuluh besar. Sumber: AGB Nielsen Media Research. 4 Ishadi SK., mengatakan bahwa rating/share televisi merupakan urat nadi televisi, dan

hal ini yang menentukan akan audiensnya dengan ditonton atau tidaknya sebuah program acara

televisi. Lihat Ishadi SK., “KPI, Regulasi Siaran TV dan Radio”, dalam harian KOMPAS, 7 Februari 2009.

  5 Acara-acara seperti disebut di atas diberi nama infotainment. Bagi

  mayoritas penonton televisi, istilah infotainment sudah tidak asing lagi. Sebutan infotainment mengindikasikan format dan kemasan tayangan program televisi dalam menyajikan informasi. Ciri paling menonjol, infotainment menyajikan informasi tetapi dikemas dalam bentuk hiburan. Selain itu, informasi yang ditampilkan adalah informasi ringan seputar para pesohor (selebritas). Format infotainment dimaksudkan agar informasi yang cenderung kaku dan formal diolah menjadi lebih cair.

  Isi acara infotainment antara lain seputar kehidupan rumah tangga selebriti, yakni perkawinan dan sekaligus kawin cerai, kelahiran anak, pemberian nama, fashion trend, cara berpakaian, penampilan, gaya rambut, sampai melakukan ibadah keagamaan seperti haji, umroh, natal, kegiatan sosial seperti menyantuni anak yatim, anak jalanan dan lain sebagainya. Jadi hampir segala aktivitas yang dilakukan oleh selebriti adalah menu wajib bagi infotainment.

  Aktivitas artis yang ditampilkan dalam infotainment mulai dari kegiatan yang barangkali tidak bermanfaat sampai yang benar-benar bermanfaat bagi khalayak, seperti misal kegiatan musik penggalangan amal untuk para korban bencana; banjir, gempa bumi, tanah longsor.

5 Kata “infotainment” merupakan kata bentukan yang berasal dari kata “information” dan

  

“entertainment”, yakni sebuah informasi yang sekaligus menghibur. Konsep infotainment pada

awalnya berasal dari John hopkins University (JHU) Baltimore

  • –universitas yang terkenal; dengan

    berbagai riset kedokterannya dan memiliki jaringan nirlaba internasional yang bergerak dalam misi

    kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan umat manusia dengan kesehatan- Amerika Serikat.

    Lebih lanjut lihat Agus Maladi Irianto, “Perempuan, Media, dan Kebudayaan Mengintip Sajian

    Acara Infotainment di Televisi” dalam media dua bulanan Srinthil, edisi Februari 2007. (Jakarta: Desantara dan Ford Foundation), hlm. 84.

Melalui tayangan infotainment para penggemar akan mengetahui seluk- beluk kehidupan artis favoritnya. Mulai dari hobi, life style, penampilan, aktivitas keagamaan, sosial, politik dan ekonomi dari seorang artis dikupas bahkan cara mengupasnya bisa dikatakan vulgar. Di sini masyarakat bisa melihat dengan jelas bagaimana lika-liku kehidupan selebriti tersebut. Apakah penonton akan meniru gaya sang selebriti tersebut atau sekadar ingin tahu saja, itu semua dikembalikan kepada masyarakat. Pilihan penonton ini terlepas dari apakah hal itu merupakan sesuatu yang baik atau sesuatu yang dianggap sebagai sebuah ketidakpantasan.

  Penelitian ini akan melihat bagaimana resepsi audiens terhadap tayangan infotainment. Infotainment hampir selalu dialamatkan kepada perempuan.

  Perempuan dianggap hanya beraktifitas di rumah tangga, sehingga menonton infotainment dilekatkan kepada mereka. Aktivitas perempuan dalam budaya masyarakat patriarkis dikonstruksikan untuk semata-mata di ruang domestik, sehingga peran perempuan di ruang publik semakin terpinggirkan. Resepsi audiens perempuan terhadap tayangan infotainment menarik dikaji untuk melihat apa makna yang ada dibalik kegiatan menonton tayangan tersebut. Menonton tayangan yang durasinya rata-rata berkisar 30 menit, dan berisi pelbagai pemberitaan kehidupan dari para selebriti. Dalam penelitian ini audiensnya adalah perempuan aktivis yang tergabung dalam

  „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟ (JPY). Oleh karena itu penelitian ini akan membahas resepsi para aktivis perempuan JPY terhadap tayangan infotainment.

  6 Sekalipun pernah keluar fatwa haram bagi infotainment pada tanggal 3

  Juli 2006 dan diperkuat pada Desember 2009 dari Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (NU) dan didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), tayangan infotainment tetap berlangsung. Atau justru barangkali karena keputusan yang kontroversial tersebut, infotainment ini makin memantapkan eksistensinya. Fatwa har am dari para “pemegang” otoritas agama ini mengasumsikan bahwa audiens pasif. Audiens dianggap tidak memiliki pengetahuan untuk memilah sebuah program acara di televisi, sehingga peran lembaga keagamaan terlampau masuk pada ranah privat audiens. Asumsi dasar semacam ini layak dipertanyakan, karena sesungguhnya audiens tidak sepenuhnya pasif.

  Studi ini secara khusus akan membatasi audiens di kalangan perempuan; lebih khusus lagi para aktivis perempuan yang tergabung dalam “Jaringan

  Perempuan Yogyakarta (JPY) ”. Mereka semua adalah aktivis yang sering beraktivitas bersama saya dalam isu kesetaraan jender khususnya. Karena saya sudah berteman dengan mereka maka saya sering berkunjung ke tempat tinggal ataupun ke rumah kos mereka. Pertemanan inilah yang membuat saya mengenal mereka dengan baik. Dari situlah saya mengetahui jika mereka ternyata menyukai tayangan infotainment.

6 Menurut Ketua PBNU Said Agiel Siradj pada stasiun televisi SCTV mengatakan fatwa

  

infotainment haram merupakan salah satu dari sembilan fatwa yang dikeluarkan PBNU. Khusus

soal infotainment Said mengatakan tayangan ini sudah layak diharamkan karena selalu

membicarakan persoalan pribadi seseorang. Karena itu tayangan ini tidak mendidik dan banyak

mendatangkan keburukan. Baca di http:

Diakses pada 22 Oktober 2008.

  Aktivis adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan

  7

  suatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Di sini yang dimaksud aktivis adalah orang yang sekurang-kurangnya memerjuangkan perubahan sesuatu kearah yang lebih baik, yakni: memerjuangkan perbaikan kondisi masyarakat (realitas sosial) dimana dia hidup, memerjuangkan perubahan yang lebih baik bagi orang lain dan perjuangan untuk dirinya sendiri. Perubahan yang ingin diwujudkan misalnya, dari kondisi masyarakat patriarkis menuju masyarakat yang adil jender, egaliter dan tidak ada dominasi. Bagi sebagian kalangan, aktivis adalah orang yang dianggap menjadi agen perubahan sosial. Perubahan sosial ini akan berhasil jika dipegang oleh orang-orang yang mandiri (independent society), yang lepas

  8 dari ketergantungan terhadap negara.

  Oleh karena itu, aktivis merupakan kelompok masyarakat kritis dan strategis yang mampu menggunakan pelbagai media sebagai bagian kampanye publik kepada masyarakat. Disamping itu maka pemilihan informan dalam penelitian ini kepada aktivis perempuan khususnya, didasarkan pada stereotype bahwa tayangan infotainment selalu dialamatkan kepada perempuan. Menurut Vissia Ita Yulianto, infotainment merupakan tayangan televisi yang berupaya

  7 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi lux (Semarang: CV. Widya Karya, 2005), hlm. 25. 8 M. Ryaas Rasyid, pengantar dalam buku karya Adi Suryadi Cula, Rekonstruksi Civil

Society Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES dan YLBHI, 2006), hlm. xxiii.

  

Baca juga Iwan Gardono Sujatmiko, pengantar dalam buku karya Darmawan Triwibowo (ed.),

Gerakan Sosial: Wahana Civil Society bagi Demokratisasi (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. xv-xxvii.

  9

  mendomestikasikan kembali perempuan Indonesia. Argumen ini bisa jadi benar, akan tetapi hal ini lebih didasarkan pada penilaian atas tayangan infotainment tertentu yang muncul. Padahal dalam beberapa pemberitaan, tayangan

  

infotainment justru mengemban kritik sosial dan moral, mengingat selebriti adalah

  10

  juga “figur publik” bagi para penggemarnya.

  Dalam beberapa kesempatan agaknya infotainment bisa dijadikan acuan saat membongkar perkawinan diam-diam seorang suami dengan perempuan lain.

  Kasus perkawinan pengacara Farhat Abbas dengan Ani Muryadi dan perkawinan Bambang Trihatmodjo dengan penyanyi Mayangsari, misalnya, adalah dua contoh konkret. Investigasi infotainment atas penyangkalan Farhat, suami penyanyi Nia Daniaty, dan pengakuan Ani atas perkawinan mereka bisa dijadikan pembelajaran bagi investigasi umumnya media, yang ternyata gagap dalam melakukan investigasi justru di saat arus informasi sedemikian terkuak. Pernyataan Farhat dan Ani terbantah oleh kenyataan berupa foto perkawinan mereka yang ditemukan jurnalis infotainment.

  Selain itu yang bisa diharapkan dari infotainment adalah tidak semata-mata berburu berita perceraian dan perselingkuhan, melainkan ke lain-lain persoalan yang merupakan public interest. Sebagaimana ternyata publik menjadi paham adanya hukum yang mengatur kekerasan dalam rumah tangga, justru setelah ada 9 Lihat Vissia Ita Yulianto, “Consuming Gossip A Re-domestication of Indonesian

  

Women” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, Editor: Ariel Heryanto. Routledge Media, 2008. hlm. 141-142. 10 Dalam kasus korupsi misalnya, grup band musik „Slank‟ yang diangkat sebagai duta

anti korupsi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), pemberitaannya dalam infotainment

porsinya cukup besar. Selain itu pengangkatan Maia Estianty sebagai superwoman oleh media,

karena keberhasilannya menjaga konsistensi untuk tetap berkarya dibidang musik meskipun

sedang dirundung masalah perkawinannya yang berujung pada perceraian pada 2008-2009. Hal

tersebut merupakan contoh konkret yang bisa diteladani oleh anak-anak muda maupun perempuan. artis yang menggugat cerai suaminya akibat diperlakukan dengan kasar. Hal ini terjadi pada Five Fi, misalnya, yang menggugat cerai suaminya akibat mendapat perilaku kekerasan dari suaminya. Hal-hal seperti ini agaknya bisa mengubah anggapan umum yang sudah terlanjur menganggap infotainment sebagai tayangan yang kurang bermanfaat. Bagaimana respon para aktivis JPY perihal tersebut?

  Kalangan aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta” yang dijadikan subyek dalam studi ini untuk melihat imajinasi mereka terhadap tayangan infotainment yang tengah menjadi sorotan masyarakat; lembaga-lembaga keagamaan, lembaga pemerintah. Wawancara dengan mereka diharapkan akan menghasilkan pandangan yang bisa membuka cakrawala pemikiran. Mereka yang tergabung dalam “Jaringan Perempuan Yogyakarta” merupakan aktivis yang peduli pada isu kesetaraan jender, hak-hak kesehatan reproduksi, agama yang ramah terhadap perempuan, hak-hak asasi perempuan, juga pada isu pornografi.

  Apakah keluarnya fatwa haram untuk infotainment dari Nahdhatul Ulama pada tahun 2006 “mengikat” perempuan, yang dalam beberapa hal seringkali keberagamaannya terbelenggu oleh

  “pemegang” otoritas agama ataukah sebaliknya; yakni melakukan perlawanan atau mengabaikan begitu saja fatwa tersebut? Hal ini lebih untuk melihat peran agama dalam dunia publik yang sangat dinamis. Mengikuti pandangan Althusserian, dalam penelitian ini media-massa (baca: televisi) dilihat sebagai sebuah praktik ideologis yang hubungannya relatif otonom dengan hubungan-hubungan ekonomi yang ada padanya. Yakni, ideologi yang ditampilkan memiliki tempatnya tersendiri di benak khalayak. Bertolak dari perspektif itu, media sangat memungkinkan untuk menghasilkan nilai-nilai yang berbeda dan berlawanan, tetapi dapat pula mereproduksi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Konsekuensi politik dari pernyataan ini adalah bahwa media mengatur dan mengontrol masyarakat. Padahal audiens sesungguhnya dapat menentukan pilihan-pilihan tayangan televisi sesuai dengan selera masing-masing, sehingga munculnya pemegang “otoritas” wacana (khususnya: agama) bisa saja tidak dihiraukan sama sekali. Hal ini juga dalam rangka membangkitkan kesadaran masyarakat akan adanya pemaknaan yang berbeda-beda terhadap hidup dan berbagai versi kebenaran sesuai dengan kapasitas dan sudut pandang masing-masing.

  Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mengambil judul “Infotainment dan Imajinasi Audiens: Studi Tentang Resepsi Audiens terhadap Tayangan

  Infotainment di Kalangan Aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟.

B. Rumusan Masalah

  Untuk menguraikan persoalan di atas maka penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah posisi infotainment dalam dunia pertelevisian di

  Indonesia?

  2. Siapakah audiens infotainment di Indonesia? Berasal dari kalangan kelas sosial manakah mereka?

  3. Kapan para audiens menonton infotainment? Dalam kondisi dan situasi apakah infotainment ini ditonton oleh para aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta”? Apakah memengaruhi aktivitas mereka? Serta di ruang manakah infotainment ini dibicarakan?

  4. Bagaimana pandangan aktivis “Jaringan Perempuan Yogyakarta” terhadap keluarnya fatwa yang melarang keberadaan infotainment? Bagaimana mereka menyikapi sebuah keputusan yang berasal dari lembaga keagamaan? Adakah resistensi yang dilakukan?

5. Resepsi apa yang ada dalam benak para aktivis “Jaringan Perempuan

  Yogyakarta” terhadap tayangan infotainment? Seberapa jauh keterikatan audiens (aktivis JPY) terhadap media infotainment lainnya?

C. Tujuan Penelitian dan Signifikansinya

  Penelitian ini dikembangkan untuk tujuan sebagai berikut: Pertama, untuk menjelaskan infotainment sebagai suatu program televisi yang bagaimanapun „negatif‟nya tetap memiliki sumbangan bagi kemajuan masyarakat yang sangat beragam. Kedua, untuk memahami apa yang dibayangkan masyarakat terhadap para pemegang „otoritas‟ keagamaan yang mencoba memasuki wilayah privat. Ketiga, akan menyelidiki berbagai bentuk dan cara-cara masyarakat bereaksi terhadap produk budaya massa.

  Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan memiliki signifikansi bagi dunia akademik dan masyarakat umum. Dengan kata lain penelitian ini bisa memberikan gambaran dan cara pandang terhadap keberadaan program-program televisi. Signifikansi setidaknya berupa: a) Kerangka pemahaman tentang arti dan makna studi audiens dan televisi. Mengingat studi audiens berkembang sesuai dengan kondisi zaman, awalnya audiens dianggap sebagai konsumen pasif, kemudian menjadi konsumen aktif, sedangkan untuk saat ini perilaku konsumen tergantung pada kondisi kekinian, tidak bisa dibeda-bedakan secara hitam-putih.

  b) Memberikan persepsi secara umum masyarakat dalam hal mencoba menghadirkan budaya tanding (counter culture) terhadap para pemegang „otoritas‟ keagamaan dan pemaknaan terhadap produk budaya massa yang ada di televisi.

D. Kerangka Teori

  Seperti disebutkan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan resepsi audiens terhadap tayangan infotainment. Yang dimaksud dengan audiens di sini adalah konsumen media elektronik seperti radio dan televisi, yaitu para aktivis „Jaringan Perempuan Yogyakarta‟. Meneliti audiens berarti meneliti audiens yang sedang mengonsumsi obyek budaya dalam ruang dan waktu imajiner. Lewat peristiwa itulah audiens menyejarah, melakukan kegiatan politik konsumsi, politik obyek, politik ruang-waktu (St. Sunardi, 2007). Hal ini dilakukan supaya tidak mengabaikan pengalaman audiens dalam mengonsumsi obyek budaya. Sehingga siapa dan dari mana audiens itu bisa terungkap dengan jelas dan tidak mengaburkan makna audiens.

  Penelitian David Morley „Family Television‟ yang menghasilkan kesimpulan bahwa struktur kekuasaan patriarkal direfleksikan dalam kebiasaan menonton televisi. Namun, Morley mengakui keterbatasan kajiannya, yang didasarkan pada keluarga-keluarga berkulit putih di kalangan kelas menengah.

  Metode yang dipraktikkan oleh Morley ini yang mengilhami penulis untuk melakukan kajian etnografis dengan cara berbaur di tengah-tengah audiens ketika menonton infotainment. Selain itu juga mengikuti di ruang mana audiens infotainment ini membicarakan tayangan ini dengan orang lain.

  Penelitian Ien Ang (1982) tentang opera sabun Dallas yang dilakukan di Belanda, di sini akan dijadikan rujukan untuk menganalisis permasalahan. Dalam penelitian ini Ien Ang berusaha menjawab pertanyaan apa yang menjadikan serial televisi Amerika ini begitu populer di Belanda. Dalam menjawab pertanyaan ini Ien Ang menggunakan metode etnografis dengan mengumpulkan data empiris, yaitu surat-surat tanggapan atas iklan yang dimuat di sebuah majalah perempuan

  

Viva. Surat-surat tanggapan terhadap iklan yang berjumlah 42 ini diperlakukan

  sebagai teks yang harus dibaca secara simptomatik atau berusaha membaca „tanda-tanda‟ yang muncul baik secara eksplisit maupun implisit. Teks tidak dibaca sebagai teks mati, tetapi sebagai barang yang bisa hidup ketika diberikan pemaknaan dalam mengolahnya; seperti memasukkan perspektif jender dan kelas misalnya.

  Oleh karena itu maka apa saja yang terjadi dalam proses menonton menjadi bagian penting penelitian yang bisa didapatkan penulis dari surat-surat balasan yang diterimanya. Apakah hal ini ada hubungan antara kepuasan tersebut dengan ideologi di baliknya. Ien Ang dalam penelitiannya, berdasarkan surat-surat yang masuk, ia mendapatkan tiga kesimpulan dari pembacaan terhadap para penonton Dallas, yang kemudian ia sebut sebagai “ideologi budaya massa”. Ideologi ini mengartikulasikan pandangan bahwa budaya pop merupakan hasil produksi komoditas kapitalis dan oleh karenanya tunduk pada hukum-hukum ekonomi pasar kapitalis; hasilnya adalah sirkulasi yang terus-menerus terjadi pada komoditas yang diturunkan, yang signifikansinya hanya akan menguntungkan produsennya. Ideologi budaya massa sebagaimana wacana ideologi lainnya berfungsi menginterpelasi individu ke dalam posisi subyek tertentu. Tiga posisi para pengonsumsi Dallas adalah sebagai berikut: 1) para penggemar (Dallas

  

lovers), 2) para penonton ironis, dan 3) mereka yang membenci program ini

(Dallas haters).

  Para pembenci Dallas kebanyakan karena ideologi. Mereka memakainya dalam dua cara, pertama, menempatkan program itu secara negatif sebagai contoh budaya massa dan kedua sebagai sarana untuk mengungkapkan dan mendukung ketidaksenangan mereka pada program ini.

  Sedangkan posisi ironis menempatkan mereka menjadi penonton yang menyatakan Dallas tayangan tidak bermutu, namun secara bersamaan juga mencintai dan menikmatinya. Atau dengan kata lain, di satu sisi melihat Dallas sebagai bagian dari ideologi budaya massa yang mengutamakan rating, menguntungkan para pemilik modal, kapitalis. Namun disisi lain terlihat mengakui bahwa mereka terhibur dengan opera sabun Dallas.

  Para penggemar Dallas menggunakan strategi untuk mengatasi rendah diri dengan sadar atau tidak sadar. Pertama, mereka melakukan “internalisasi”ideologi, dengan “mengakui” bahaya Dallas, tetapi menyatakan kemampuan untuk mengatasinya agar bisa memperoleh kesenangan dari program

  

Dallas. Strategi lainnya adalah dengan cara menentang ideologi budaya massa,

  sebagaimana pengakuan salah seorang pecinta Dallas yang menga takan: “banyak orang menyatakan ia tidak berguna atau tanpa substansi, tetapi saya pikir ia mempunyai substansi”.

  Selain itu juga penelitian ini akan menggunakan metode yang telah diperkenalkan oleh Antonio La Pastina melaui tulisannya Audiens Ethnographies:

11 A Media Engagement Approach. Pendekatan etnografi kian diakui memiliki

  peran sentral yang teoritis dan empiris dalam studi media beberapa dekade belakangan ini. Dalam paparan La Pastina, etnografi audiens atau sering disebut sebagai media engagement, selain dapat memberikan informasi tentang kompleksitas dan dinamika yang terjadi antara konsumen dan produk budaya, etnografi audiens juga memiliki fungsi retoris. Secara retoris, pendekatan etnografi menyuarakan pertentangan terhadap praktik-praktik pengumpulan data empiris atau paradigma pengumpulan data, analisis maupun hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam ranah pemikiran positivistik. Etnografi telah memberikan ruang yang lebih subjektif terhadap refleksi diri para peneliti. Etnografi pada dasarnya menceritakan ulang kehidupan orang-orang tertentu, mendeskripsikan tradisi atau tata cara mereka dan memahami praktik-praktik budayanya. Untuk bisa bercerita ulang, maka penulis etnografi harus mendapatkan pengalaman kehidupan orang-orang yang diceritakan, hingga pada rasa dan emosi 11 Antonio La Pastina, “Audiens Ethnographies: A Media Engagement Approach” dalam

  

Media Anthropologi, Eric W. Rothenbuhler dan Mihai Coman (eds.), (California: Sage Publication, 2005), hlm. 139-148. yang muncul dalam kehidupan orang tersebut. Hal ini yang menurut Geertz dapat

  12 dilakukan dengan membuat hasil etnografi penuh dengan deskripsi.

E. Tinjauan Pustaka

  Hingga saat ini, kajian tentang penonton (audiens) televisi di Indonesia belum mendapat perhatian yang besar. Sebagian besar penelitian media televisi di Indonesia lebih mengangkat persoalan politik

  • –ekonomi di balik organisasi dan industri film (televisi), atau analisis tekstual terhadap film dan program televisi

  13