Sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum metroseksual : studi deskriptif - USD Repository

  

SIKAP MASYARAKAT YOGYAKARTA TERHADAP KAUM

METROSEKSUAL

(Studi kuantitatif-deskriptif)

Skripsi

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh :

JELLY SHINTA SULANDARY

NIM : 019114178

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

  

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk

Tuhan YME

  

Untuk kesempatan dan berkat pada setiap hembusan nafasku

Bapak dan mama

  

Untuk kasih yang tidak berkesudahan, dukungan dan kepercayaan

Orang-orang yang mengasihiku

  

Untuk dukungan dan semangat mu

Bukan awalnya atau akhirnya tapi proses bagaimana semua itu berjalan yang

pada akhirnya berbicara….

  

(none)

Bukan masalah-masalahmu yang mengganggumu, tetapi cara Anda

memandang masalah-masalah itu. Semuanya bergantung pada cara Anda memandang sesuatu .

  (-- Epictetus)

  

ABSTRAK

SIKAP MASYARAKAT YOGYAKARTA TERHADAP KAUM

METROSEKSUAL

Jelly Shinta Sulandary

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

2009

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk

mendapatkan gambaran mengenai sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum

metroseksual. Kaum metroseksual adalah pria dengan orientasi seks yang normal

yang suka dengan gaya hidup perkotaan, suka merawat diri, bersosialisasi,

penampilan cenderung rapi. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif

deskriptif.

  Penelitian dilakukan di Yogyakarta dengan subyek sebanyak 100 orang

yang tinggal di wilayah Yogyakarta. Instrument yang digunakan dalam penelitian

ini adalah skala sikap yang dibuat sendiri oleh peneliti. Keseluruhan item

berjumlah 61 aitem. Seleksi item menggunakan Product Moment Pearson dengan

korelasi item berkisar 0,300 - 0,645. Estimasi reliabilitas dilakukan dengan

menggunakan teknik Cronbach Alpha yang menghasilkan koefesien reliabilitas

sebesar 0,941. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode statistik deskriptif yang meliputi penyajian data melalui tabel, perhitungan

nilai maksimum, nilai minimum, mean teoritis, mean empiris dan standar deviasi

serta perhitungan prosentase.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

antara mean empirik dari sikap terhadap kaum metroseksual p=0.005 (p<0,05),

dimana mean empiriknya lebih rendah dibanding mean teoritiknya. Maka dapat

disimpulkan bahwa sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum Metroseksual

memiliki sikap negatif.

  Kata Kunci : Sikap, Masyarakat Yogyakarta, Metroseksual

  

ABSTRACT

THE ATTITUDE OF PEOPLE IN YOGYAKARTA TOWARDS

METROSEXUAL

Jelly Shinta Sulandary

Sanata Dharma of University

  

Yogyakarta

2009

This research was descriptive research which aimed to obtainan illustration

about the attitude of people in Yogyakarta towards metrosexual. Metrosexual are

men with a normal sex orientation. They have an urban lifestyle, they do care

about their appearance and body and they like to build social relationship. The

method used was descriptive quantitative.

  The research was done in Yogyakarta with 100 people as the subjects. The

instrument used in this research was attitude scale made by the researchers. All

items were 61 items. Items were selected by using Product Moment Pearson and

resulted correlated item 0.300 – 0.645. Reliability estimation was done by using

Cronbach Alpha technique and resulted reliability coefficient 0.941. The method

to analyze the data was descriptive statistic method which included presenting

data through table, maximum score, minimum score, theoretical mean, empirical

mean, deviation standard, and counting the precentage.

  The results of the research showed that there is a significance difference

between empirical mean and the attitude towards metrosexuals which is p = 0.005

(p< 0.05), in which the empirical mean is lower than theoritical mean. Therefore,

it can be concluded that people in Yogyakarta have negative attitude towards

metrosexual.

  Key Words : attitudes, Yogyakarta Public, Metrosexual

  

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih yang telah memberikan berkat

dan kekuatan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis

menyadari terselesaikannya karya tulis ini tidak lepas dari bantuan berbagai

pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

  

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi. M.Si, selaku Dekan dan dosen

pembimbing akademik, terima kasih atas bimgbingan dan dukungannya.

  

2. Ibu Aquilina Tanti Arini, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah memberikan waktu, dukungan dan perhatian selama proses penyelesaian skripsi ini, juga untuk diskusi dan semangatnya yang menginspirasi, serta membantu disaat saya membutuhkannya.

  

3. Ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si selaku Kaprodi Psikologi. Tanpa

bantuannya saya tidak mungkin sampai di tahap ini.

  

4. Mas Gandung, mas Muji, mas Doni dan also pak Gi’, terima kasih atas

keramahan kalian dan kesabaran kalian untuk membantu saat mengurus administrasi.

  

5. Buat Bapak dan Mama yang selalu mendukung saya dengan doa kalian. I

Love You so Much.

  

7. Buat anak-anak ‘kost kejora’ mbak nisa ‘ceriwis’, devi ‘kemayu’, mbak

arum ‘kepala suku’, diyah ‘seksi sibuk’, mbak fitri ‘bu pendeta’, rini ‘bu dosen’, mbak ani ‘pinky’, n jenk jenk. Terima kasih atas kebersamaan, kegembiraan, dan persahabatan ini. Kita selalu tertawa walaupun dimarahi bapak kost. Daku sangat kangen suasana kita bersama, di setiap saat. Saya bisa merasakan namanya kehidupan ini bersama kalian. Lop u all.

8. Buat mas Iwan ‘kuyusku’ terkasih, thanx atas segala dukungannya.

  

9. Buat anak psi 01 prima, thanks jeng dah mau menyuport aku bahkan

memarahiku bila ku da salah. Buat rome thanks ya dah mau membimbingku dalam mengerjakan skripsi nie. Buat jaja, thanks yah kau dah mau mendengarkan keluh kesahku dan menyuportku, dion n etha mari kita sama-sama berjuang. Buat devi thanks ya dah mau menemani menyebar angket penelitian ku, n buat seto koordinator Psi ‘01 yang tersisa hehehe thanks ya.

  

10. Buat anash (si perempuan panikan), silva (si perempuan tambah panikan),

mimi mira (si wanita super), hehehehe Peace!!!!… kita berjuang bersama- sama ya… Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita selama kita berusaha n tidak pernah berputus asa, dan tentu saja ditambah doa… terima kasih atas sebulan terakhir ini… kenapa yak kok baru dekatnya terakhir-akhir ini.

  Eko. Terima kasih atas lelucon kalian, dan keisengan kalian, betapa ku rindu ulah kalian.

  

12. Buat Melly SMU 5 teman seperjuanganku ke Yogyakarta terima kasih atas

segalanya, atas kegembiraan walaupun kita sering dimarahi ibu kost.

  

13. Dan buat lapiku walaupun bermasalah tapi kau tetap menemaniku di setiap

malam.

  Serta kepada semua pihak yang tidak tersebutkan namun turut mendukung dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam penelitian ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kasih senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya kepada mereka.

  Yogyakarta, 24 Oktober 2009 Jelly Shinta Sulandary

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................. v

ABSTRAK ................................................................................................. vi

ABSTRACT ............................................................................................... vii

HALAMAN PESETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... viii

KATA PENGANTAR ................................................................................ ix

DAFTAR ISI .............................................................................................. xii

DAFTAR TABEL ...................................................................................... xv

  

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................ 5

C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 6

BAB II. LANDASAN TEORI ..................................................................... 7

  B. Metroseksual .................................................................................... 13

  1. Definisi Metroseksual ................................................................. 13

  2. Karakteristik Pria Metroseksual .................................................. 14

  C. Maskulinitas ..................................................................................... 16

  1. Definisi Maskulin ....................................................................... 16

  2. Tipologi Maskulin ....................................................................... 16

  D. Sikap Masyarakat Yogyakarta Terhadap Kaum Metroseksual ........... 19

  

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 23

A. Jenis Penelitian ................................................................................. 23 B. Identifikasi Variabel Penelitian ......................................................... 24 C. Definisi Operasional ......................................................................... 24 D. Subjek Penelitian .............................................................................. 25 E. Prosedur ........................................................................................... 26 F. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 26 G. Uji Validitas dan Reliabilitas ............................................................ 29

  1. Uji Validitas ............................................................................... 29

  2. Seleksi Item ................................................................................ 29

  3. Reliabilitas ................................................................................. 31

  4. Metode Analisis Data ................................................................. 32

  a. Usia Subjek .......................................................................... 35

  b. Jenis Kelamin Subjek ............................................................ 35

  c. Pendidikan Subjek ................................................................ 35

  d. Pekerjaan Subjek .................................................................. 35

  2. Hasil Pengujian .......................................................................... 36

  a. Uji Normalitas ...................................................................... 36

  b. Deskripsi Data Penelitian ...................................................... 36

  c. Uji t ...................................................................................... 37

  d. Analisis secara Khusus ......................................................... 38 1) Aspek Sikap .................................................................... 38 2) Indikator Kaum Metroseksual ......................................... 40

  e. Analisis Tambahan ................................................................ 41

  C. Pembahasan ..................................................................................... 43

  

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 49

A. Kesimpulan ...................................................................................... 49 B. Saran ................................................................................................ 50

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 51

LAMPIRAN ............................................................................................... 54

  DAFTAR TABEL

Tabel 1. : Nilai / skor Berdasarkan Kategori Jawaban ................................. 27

Tabel 2. : Blue Print Skala Sikap Terhadap Kaum Metroseksual ................. 28

Tabel 3. : Spesifikasi Skala Sikap Terhadap Kaum

Metroseksual ............................................................................... 28

Tabel 4. : Distribusi Item (setelah uji coba) ................................................. 30

Tabel 5. : Distribusi Item Skala Sikap Terhadap

Kaum Metroseksual .................................................................... 31

Tabel 6. : Usia Subjek ................................................................................. 35

Tabel 7. : Jenis Kelamin Subjek .................................................................. 35

Tabel 8. : Pendidikan Terakhir Subjek ........................................................ 35

Tabel 9. : Pekerjaan Subjek ......................................................................... 35

Tabel 10. : Uji Normalitas ........................................................................... 36

Tabel 11. : Deskripsi Data Penelitian .......................................................... 37

Tabel 12. : Uji t Mean Empirik dan Mean Teoritik ...................................... 38

Table 13. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Kognitif .................. 38

Tabel 14. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Afektif .................... 39

Tabel 15. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik Aspek Konatif ................... 39

Tabel 16. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik

  Tabel 18. : Hasil Analisis Teoritik dan Empirik

Indikator Perawatan Diri ........................................................... 41

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir ini terdapat perkembangan dan perubahan

  segmentasi dalam dunia periklananan. Hal ini dapat dilihat pada iklan-iklan kosmetik yang awal mulanya ditujukan pada kaum wanita, sekarang tidak hanya wanita saja tapi juga ditujukan pada kaum pria misalnya iklan sabun wajah, sampoo, dan parfum. Tidak hanya itu, hal tersebut nampak pada merebaknya salon-salon kecantikan yang tidak hanya ditujukan untuk kaum wanita saja akan tetapi ditujukan juga untuk kaum pria.

  Banyak pria sekarang memperhatikan dirinya untuk tampil trendi dan rapi sehingga tidak jarang mereka pergi ke salon untuk melakukan facial, manicure, pedicure, creembath, dan melakukan perawatan tubuh di spa.

  Perilaku pria yang memperhatikan penampilan lebih dengan melakukan

perawatan diri, dan pemanjaan diri disebut pria metroseksual (Arifin, 2004).

  Saat ini yang menjadi lambang pria metroseksual adalah David Beckham. Beckham merupakan olahragawan terkenal di bidangnya yang terkenal dengan penampilan flamboyannya, suka bergonta-ganti rambut, dan

warnanya, serta waktu dan biaya yang dihabiskan tidaklah sedikit bisa berjam-

  

memilih baju yang sesuai, memakai face moisturaiser, bedak tipis, lip gloss,

parfum, dan mengoleskan jel rambut, memakan waktu 1,5 jam. Di tas kerja

pun tidak ketinggalan dengan bedak, lip gloss, penyegar mulut, sikat gigi,

parfum serta perlengkapan bisnisnya. Biaya yang dikeluarkan untuk

kebutuhan perawatan tubuh yaitu 2-5 juta perbulan (dalam Baroto, 2008).

  Pria yang suka memperhatikan dirinya sendiri, atau mencintai dirinya

sendiri, bukan merupakan wacana yang baru. Sejak dahulu pria juga selalu

memperhatikan dirinya sendiri. Menurut Tika Bisono fenomena metroseksual

telah ada sejak tahun 1960-an, ketika kaum adam mulai dilibatkan dalam

peragaan busana, dan juga adanya tren gaya hidup yang mapan. Istilah “pria

metroseksual” di Indonesia baru muncul 5 tahun terakhir ini (dalam Tjahyadi,

& Kusumo, 2007) Menurut Kartajaya (2004) istilah pria metroseksual berkembang pada

tahun 1995 diperkenalkan oleh Simpson, kolumnis fashion Inggris, untuk

menggambarkan kelompok anak muda berkocek tebal yang hidup di kota

besar (metropolis) atau di sekitarnya, sangat menyayangi bahkan cenderung

memuja diri sendiri (narcisstic), serta sangat tertarik pada fashion dan

perawatan dirinya sendiri. Istilah metroseksual berasal dari etimologi Yunani,

yaitu ‘metro’, yang menandakan tipe pria ini mempunyai gaya hidup urban

yang modern (perkotaan), dan ‘seksual’, yang berasal dari istilah homoseksual

  Ronaldo (2008) memaparkan tumbuhnya kecenderungan metroseksual

di kehidupan masyarakat dilihat dari wacana budaya populer merupakan suatu

cerminan dari perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi dan

informasi yang melenyapkan batas-batas teritorial misalnya negara, bangsa,

kesukuan, kepercayaan, politik, dan budaya. Luruhnya batasan-batasan ini

berimbas secara signifikan pada pola berpikir dan stereotip yang dibentuk oleh

pola pemikiran modern tentang maskulinitas.

  Hal tersebut dipertegas oleh Henry E Wirawan (dalam Tjahyadi &

Kusumo) dari Universitas Tarumanegara, menurutnya modernisasi dan

industrialisasi menyebabkan munculnya jenis manusia baru. Hal ini merubah

gaya hidup menjadi lebih maju seiring dengan zaman. Modernisasi juga

meninggalkan nilai yang lama, sehingga mengharuskan perubahan sikap dan

mental dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan yang baru.

  Menurut Jean-Marc Carriol, direktur perusahaan fashion Trimex

(dalam Sarnianto, 2004), Perilaku metroseksual merupakan efek dari gerakan

feminisme. Secara mendasar mengubah cara pria dan wanita berinteraksi

dalam lingkungan kerja sehingga penampilan dan perawatan menjadi sangat

penting yaitu adanya persamaan dalam dunia kerja. Berubahnya peran wanita

membawa konsekuensi berubah pula peran-peran pria.

  Peran-peran yang terbentuk merupakan harapan budaya pada diri pria

  

bagi pria. Terranova, Nurseto & Mahatmaji (2008) memaparkan secara umum,

maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan,

kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri,

kesetiakawanan laki-laki dan kerja. Ciri-ciri tersebut antara lain seorang laki-

laki harus kuat secara fisik, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok

untuk bekerja di luar. Barker (dalam Terranova dkk, 2008) memaparkan di

antara yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan

verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-

anak.

  Masyarakat Yogyakarta masih memegang tinggi nilai-nilai lokal dan

budayanya. Hal tersebut dapat dilihat pada budaya pewarisan dalam keluarga,

dalam prosesi perkawinan masih menggunakan ritual adat, dalam acara-acara

tertentu masyarakatnya masih menggunakan keris, blangkon, batik, kebaya,

dan juga terdapat kegiatan kebudayaan yang diadakan tiap tahun seperti

sekatenan dan labuhan. Dilihat dari indikator tersebut memungkinkan bila

masyarakatnya masih memegang nilai-nilai maskulinitas tradisional.

  Meskipun demikian, Sahni (dalam Ronaldo, 2008) mengatakan

sebagian besar masyarakat Yogyakarta begitu menjunjung tinggi nilai

tradisional Jawa dan sekaligus terbuka terhadap akulturasi dengan nilai dan

budaya luar. Ronaldo (2008) menjabarkan bahwa ketika suatu kebudayaan dapat dengan mudah diterima jika kebudayaan baru tersebut tidak bertentangan dengan mainstream yang ada di dalam masyarakat.

  Oleh karena itu, adanya fenomena metroseksual yang gaya hidup

prianya bertolak belakang dengan harapan masyarakat terhadap pria. Hal

tersebut akan menimbulkan suatu sikap tertentu mengenai fenomena metroseksual baik yang positif maupun negatif, dikatakan positif jika masyarakat menerima kaum metroseksual dan negatif jika masyarakat tidak menyukai kaum metroseksual. Hal tersebut dipertegas oleh Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar,1995) yang menyatakan sikap merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan mendukung atau tidak mendukung pada suatu objek tersebut. Hal ini menarik untuk diteliti karena dengan adanya kaum metroseksual membawa efek pembentukan sikap masyarakat. Sikap positif masyarakat akan membawa dampak merasa diterimanya pria yang menganut gaya hidup metroseksual, akan tetapi bila masyarakat memiliki sikap negatif dampaknya pria metroseksual akan merasa tidak diterima, dan tidak nyaman sehingga tidak bebas dalam mengekspresikan dirinya.

  Dari uraian tersebut peneliti ingin melihat bagaimana sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum metroseksual.

B. Rumusan Masalah

  C. Tujuan Penelitian Untuk mendapat gambaran tentang sikap masyarakat terhadap kaum metroseksual.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan informasi dalam bidang ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi sosial, mengenai sikap masyarakat terhadap kaum metroseksual hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi bagi peneliti lain.

  2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pembaca mengenai sikap masyarakat terhadap kaum metroseksual.

  b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi kaum metroseksual mengenai sikap masyarakat terhadap keberadaan mereka sehingga mereka dapat membangun strategi konstruktif dalam menghadapi sikap masyarakat terhadap mereka.

BAB II LANDASAN TEORI A. Sikap

1. Definisi Sikap

  Menurut Mar’at (1982), dalam studi kepustakaan mengenai sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya. Sikap mengarah pada objek tertentu yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kesediaan untuk bereaksi dari orang tersebut terhadap objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang masih tertutup.

  Sikap menurut Thurstone, Likert, dan Osgood (dalam Azwar, 1995) adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau tidak memihak (favorable) maupun perasaan mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Menurut skema triadic (triadic schema) Secord & Backman (dalam Azwar, 1995) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak dari objek tersebut.

2. Aspek dan Interaksi Sikap

  a. Aspek Sikap Tiga aspek sikap menurut Mann (dalam Azwar,1998), yaitu : 1). Aspek Kognisi Aspek kognisi berhubungan dengan belief, ide, konsep, dengan kata lain aspek kognisi berisi pengetahuan, persepsi, kepercayaan dan stereotipe seseorang mengenai sesuatu.

  2). Aspek Afeksi Aspek afeksi menyangkut kehidupan emosional seseorang, dengan kata lain aspek afeksi merupakaan perusahaan individu terhadap objek sikap dan perasaan menyangkut masalah emosional. 3). Aspek Konasi Aspek konasi merupakan kecenderungan bertingkah laku, biasanya berakar paling dalam sebagai aspek sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh- pengaruh yang mungkin merubah sikap seseorang. merupakan suatu sistem kognitif. Ini berarti bahwa yang dipikirkan seseorang tidak akan lepas dari perasaannya. Masing-masing aspek tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan interaksi dari aspek- aspek sikap secara kompleks.

3. Pembentukan Sikap

  Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya.

  Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap (dalam Azwar, 1998) adalah : a. Pengalaman pribadi Apa yang dialami akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan individu terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk sikap positif ataukah sikap negatif akan tergantung pada berbagai faktor lain. Akan tetapi, Middlebrook (dalam Azwar, 1988), mengatakan bahwa tak adanya pengalaman sama sekali dengan sesuatu objek psikologis cenderung individu yang bersangkutan, situasi dimana tanggapan itu terbentuk, dan atribut atau ciri-ciri objek yang dimiliki oleh stimulus.

  Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus melalui kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

  b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Orang lain di sekitar individu merupakan salah-satu diantara komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap individu. Seseorang yang dianggap penting, seseorang yang diharapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat individu, seseorang yang tidak ingin dikecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi individu, akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap terhadap sesuatu. Diantara orang yang biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang yang statusnya tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, istri atau suami, dan lain- lain.

  Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap konformitas atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

  Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk c. Pengaruh budaya Kebudayaan dimana individu hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap individu terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayan pula lah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya, dan hanya kepribadian individu yang kuat saja lah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual.

  d. Media massa Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dll. Mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.

  Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari

pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajarannya-ajarannya.

  Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan system kepercayaan, maka tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal. Apabila terdapat sesuatu hal yang bersifat kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh dari lembaga pendidikan atau dari agama seringkali menjadi determinan tunggal yang menentukan sikap.

  f. Pengaruh faktor emosional Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persesiten dan bertahan lama.

B. Metroseksual

1. Definisi Metroseksual

  Kata metroseksual berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 kata, yaitu ‘metro’, yang menandakan bahwa tipe pria ini mempunyai gaya hidup urban yang modern (perkotaan); dan ‘seksual’, berasal dari istilah homoseksual yang menandakan bahwa tipe pria ini biasanya normal, tetapi memliki citarasa atau selera yang cenderung diasosiasikan dengan tipe lelaki gay. Menurut Simpson (dalam Kartajaya dkk, 2004) mendeskripsikan pria metroseksual sebagai laki-laki yang cinta setengah mati tak hanya terhadap dirinya, tetapi juga gaya hidup kota besar yang dijalaninya.

  Secara lebih jauh menurut Kartajaya (2004), pria metroseksual adalah pria yang pada umumnya hidup di kota besar, gaya hidup yang mewah, dan juga pesolek tulen yang suka merawat dirinya sendiri, serta selalu mengikuti tren busana yang ada, dengan alasan untuk memperbaiki penampilan luarnya. Pria metroseksual digambarkan sebagai sosok yang

  Lebih lanjut, Iskandar (2005) mendefinisikan pria metroseksual sebagai pria yang suka merawat diri (dandy) dan mengikuti trend terbaru.

  Mereka biasa pergi ke klinik atau ke salon, butik, fitness centre, gaul di kafe/mall. Umumnya mereka berada di kota-kota besar, royal, menikmati hidup. Penampilan mereka cenderung rapi, menawan, stylist, fashionable, tetapi mereka tetaplah pria sejati dengan orientasi seks yang normal.

  Metroseksual merupakan gaya hidup sehingga para penganut gaya hidup ini tidak hanya berasal dari kota besar saja, akan tetapi terdapat juga pada kota-kota kecil yang tidak termasuk dalam kota metropolitan.

  Dari definisi-definisi di atas penulis mendefinisikan pria metroseksual sebagai pria sejati dengan orientasi seks yang normal yang suka dengan gaya hidup urban (perkotaan), suka merawat diri dengan biasa pergi ke klinik atau ke salon, butik, fitness centre, bersosialisasi di kafe/ mall dan mengikuti trend terbaru. Penampilan mereka cenderung rapi, menawan, dengan bergaya ala sendiri, dan menggunakan busana terbaru.

2. Karakteristik Pria Metroseksual

  Beberapa ciri pria metroseksual dikemukakan oleh Kartajaya dkk (2004), yaitu : gaya hidup yang dijalani dan secara jelas akan mempengaruhi keberadaan mereka,

b. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena

banyaknya materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup yang dijalani,

  c. Memiliki gaya hidup urban dan hedonis,

  

d. Secara intens mengikuti perkembangan fesyen di majalah-majalah

mode pria agar dapat mengetahui perkembangan fesyen terakhir yang mudah diikuti, dan

  

e. Umumnya memiliki penampilan yang klimis, dandy dan sangat

memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh.

  Dilihat dari karakteristik tersebut kaum metroseksual tidak hanya

terdapat di daerah perkotaan saja, hal ini berkaitan dengan perkembangan

modernisasi yang begitu cepat sehingga kesempatan akses informasi

dapat saja pria yang berada bukan di kawasan perkotaan mengikuti gaya

hidup perkotaan.

  Berdasarkan dari karakteristik dan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pria metroseksual adalah: a. Menyukai gaya hidup urban, hedonis, bersosialisasi di kafe/ mall

  

b. Menyukai untuk tampil rapi, klimis dan dandy, dan mengikuti

C. Maskulinitas

  1. Definisi Maskulin Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria (Nauly, 2002). Terranova,

  Nurseto, & Mahatmaji (2008) memaparkan secara umum maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja.

  2. Tipologi Maskulin Beynon (dalam Terranova dkk, 2008)) membagi bentuk maskulin dengan ide tren perkembangan zaman, sebagai berikut: a. Maskulin sebelum tahun 1980-an Sosok maskulin yang muncul adalah figur-figur laki-laki kelas pekerja dengan bentuk tubuh mereka dan perilaku mereka sebagai dominator, terutama atas perempuan. Citra laki-laki semacam ini memang kental dengan awal industrialisasi pada masa itu, laki-laki bekerja di pabrik sebagai buruh berlengan baja. Mereka terlihat sangat ‘bapak’, sebagai penguasa dalam keluarga dan sosok yang mampu memimpin perempuan serta pembuat keputusan utama.

   No sissy stuff : sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau feminine dilarang, seorang laki-laki sejati harus menghindari perilaku yang bersosialisasi dengan perempuan.

   Be a big wheel : maskulinitas dapat diukur dari kesuksesan, kekuasaan, dan penggaguman dari orang lain. seseorang harus mempunyai kekayaan, ketenaran, dan status yang sangat lelaki.

   Be a sturdy oak : kelelakian membutuhkan rasionalitas, kekuatan, dan kemandirian. Seorang laki-laki harus tetap bertindak kalem dalam berbagai situasi, tidak menunjukkan emosi, dan tidak menunjukkan kelemahannya.

   Give ‘em hell : lelaki harus mempunyai aura keberanian dan agresi, serta harus mampu mengambil resiko walaupun alasan dan rasa takut menginginkan sebaliknya.

  Dalam ketradisionalitasan yang dikembangkan oleh kebudayaan jawa lebih mirip dengan poin kedua bahwa laki-laki must be a big wheel. Seorang laki-laki dikatakan sukses jika berhasil memliki “garwo” (istri), “bondo”(harta), “turronggo” (kendaraan), “kukilo” (burung peliharaan), dan “pusoko” (senjata atau kesaktian) (Darwin, 2005).

b. Maskulin tahun 1980-an

  laki-laki terhadap feminism. Laki-laki menjalani sifat alamiahnya seperti perempuan sebagai makhluk yang mempunyai rasa perhatian.

  Laki-laki mempunyai kelembutan sebagai seorang bapak, misalnya untuk mengurus anak. Keinginan mereka untuk menyokong gerakan perempuan juga melibatkan peran penuh mereka dalam arena domestik. Kelompok ini biasanya berasal dari kelas menengah, berpendidikan baik, dan intelek.

  Anggapan kedua adalah bahwa new man as narcissist. Hal ini berkaitan dengan komersialisme terhadap maskulinitas dan konsumerisme semenjak akhir perang dunia II. Mereka adalah anak- anak dari generasi zaman hippies (tahun 60-an) yang tertarik pada pakaian dan music pop. Banyak produk-produk komersil untuk laki- laki yang bermunculan, bahkan laki-laki sebagai objek seksual menjadi bisnis yang amat luar biasa.

  Di sini, laki-laki menunjukkan maskulinitas mereka dengan gaya hidup “yuppies” yang flamboyan dan perlente. Laki-laki semakin suka memanjakan dirinya dengan produk-produk komersial yang membuat mereka “tampak sukses”. Properti, mobil, pakaian, atau artefak personal merupakan wujud dominan dalam gaya hidup ini. Kaum maskulin yuppies ini dapat dilihat dari penampilannya berpakaian, juga c. Maskulin tahun 1990-an Laki-laki kembali bersifat tidak perduli lagi terhadap yang dilakukan kaum maskulin yuppies di tahun 80-an. The new land ini berasal musik pop dan football yang mengarah kepada sifat-kelaki- lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism. Mereka kemudian menyatakan dirinya dalam label konsumerisme dalam bentuk yang lebih ‘macho’, seperti membangun kehidupannya di sekitar sepak bola dan dunia minum-minum, juga sex dan hubungan dengan para perempuan. Pada dekade 1990-an ini kaum laki-laki masih mementingkan leisure time mereka sebagai masa untuk bersenang- senang, mereka menikmati hidup bebas seperti apa adanya. Kebebasan mereka menjauhkan dari hubungan yang bersifat domestik yang membutuhkan loyalitas dan dedikasi.

  Hal tersebut mengindikasikan seiring dengan perkembangan zaman

pengertian maskulin mengalami perubahan di setiap zamannya.

D. Sikap Masyarakat Yogyakarta Terhadap Kaum Metroseksual

  Kota Yogyakarta mengalami perkembangan dalam segi bisnis, perdagangan, tempat perbelanjaan, dengan gaya hidup masyarakatnya. Hal ini nampak pada mall-mall yang banyak dibangun, salon-salon, butik-butik,

  

klinik atau ke salon, ke butik, fitness center, senang bersosialisasi di kafe/

mall serta mengikuti perkembangan trend terbaru (Kartajaya, 2004). Menurut

Jones (dalam Rahardjo, 2007) kaum metroseksual lebih mengedepankan sisi

feminin mereka.

  Disisi lain, Kota Yogyakarta terkenal dengan budaya keratonnya

dianggap masih memegang nilai-nilai leluhurnya. Hal tersebut nampak dari

kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh masyarakatnya antara lain sekatenan

dan labuhan, serta acara pernikahan, dan juga pada acara-acara tertentu

masyarakat juga masih mengunakan batik, kebaya, blangko, keris dan lain-

lain. Begitu juga halnya dengan peran-peran yang terbentuk dari budaya

setempat seperti maskulinitas dan feminitas, dimana laki-laki dianggap

maskulin bila mempunyai kekuatan, ketabahan, aksi, kendali, kepuasan diri,

kesetiakawanan laki-laki dan kerja (Terranova dkk, 2007). Meskipun

demikian, menurut Sahni (2003) sebagaian besar masyarakat Yogyakarta

yang begitu menjunjung tinggi nilai tradisional Jawa terbuka terhadap

akulturasi dengan nilai dan budaya luar. Berdasarkan hal tersebut peneliti

ingin melihat sikap masyarakat Yogyakarta terhadap kaum metroseksual.

  Sikap akan memberikan warna atau corak pada tingkah laku atau

perbuatan individu. Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu, kognisi, afeksi,

dan konasi. Thurstone (dalam Azwar, 1995) merupakan salah seorang ahli

  

merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu

positif atau negatif.

  Munculnya sikap dalam suatu situasi bersifat subjektif dan berdasarkan

atas perasaan individu yang bersangkutan terhadap objek yang dihadapinya.

  

Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapatkan individu terhadap

objek bisa juga menjadi perbedaan sikap antara seseorang dengan orang lain,

walapun objek yang dihadapi tidak berbeda.

  Peranan sikap dalam kehidupan individu sangat besar, sebab apabila

sudah dibentuk pada diri individu maka sikap tersebut akan turut menentukan

cara-cara tingkah lakunya terhadap objek-objek sikapnya. Sikap masyarakat

terhadap kaum metroseksual dapat juga dipengaruhi oleh faktor budaya,

karena kebudayaan dimana individu hidup dan dibesarkan mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan sikap individu.

  Media massa mempunyai pengaruh terhadap berkembangnya

metroseksual di Yogyakarta, karena media massa membawa pesan-pesan

yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini individu. Adanya informasi

baru mengenai metroseksual memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya

sikap terhadap hal tersebut.