Kuliah_9C_Ketentuan Pidana UUPPLH–andri april 2012

  ©Andri Gunawan Wibisana

Ketentuan Pidana UUPPLH Outline I.

  Penyidik II.

  Pelaku III.

  Karakteristik Tindak Pidana Lingkungan

IV. Macam Tindak Pidana

  Menurut UU Lingkungan Indonesia

I. Penyidik

  

Pasal 94 (1): 1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Polri) 2. Pejabat Pegawai Sipil (PPNS)

   Wewenang PPNS (pasal 94 ayat 2): 1.

  Pemeriksaan kebenaran laporan 2. Pemeriksaan orang yang diduga melakukan tindak pidana

  3. Pemeriksaan keterangan dan bahan bukti

  4. Pemeriksaan pembukuan, catatan, dan dokumen 5.

  Pemeriksaan di tempat yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen 6. Penyitaan

  7. Meminta bantuan ahli 8.

  Menghentikan penyidikan

  9. Memasuki tempat tertentu, memotret, membuat rekaman audio visual

  Jaksa Penuntu t Umum Penyi dik POLRI PPN S LH PENYIDIKAN KOORDINA SI

  Kewenangan lainnya Menangkap dan menahan penyitaan penggeledahan Menghentikan penyidikan pemeriksaan

  Wewenang PPNS (lanjutan)

  

PPNS, Polri, dan Kejaksaan

  Pada waktu penangkapan dan penahanan: PPNS berkordinasi dengan Polri (ps 94 ayat 3)

   Koordinasi = berkonsultasi guna mendapatkan bantuan personil, sarana, dan prasarana

   Pada saat penyidikan: memberitahukan kepada Polri (dalam rangka koordinasi)— ps. 94 ayat 4

   Pada saat dimulainya penyidikan: PPNS memberitahukan kepada Penuntut, dengan tembusan Polri (ps 94 ayat 5)

  

Hasil Penyidikan diserahkan PPNS kepada

  Pembuktian 

  Alat bukti yang sah (ps. 96): 

  Keterangan saksi 

  Keterangan ahli 

  Surat 

  Petunjuk 

  Keterangan terdakwa 

  Alat bukti lain: 

  Informasi yg diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik

  

  Alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan/tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik selain kertas, atau terekam secara eelektronik….

II. Pelaku Pidana

  1.Orang Pemberi Perintah

  2.Korporasi Badan Hukum Pemimpin korporasi ??

   Orang: “Barang siapa” menurut UUPPLH ditambah dengan:

  “Pelaku Pidana” dalam KUHP: “Barangsiapa” : orang + Pasal 55 KUHP: a. Yang melakukan

  b. Yang menyuruh melakukan (doen pleger) c. Yang turut melakukan (medepleger)

  d. Yang membujuk (uitloker) Dan Pasal 56 KUHP: e. Yang membantu melakukan

  

  Pasal 116 ayat 1 UUPPLH: apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, maka tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada

a. Badan usaha b.

  • – Pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana
  • – 

  Pemimpin kegiatan tindak pidana

  Pasal 116 ayat 2 UUPPLH: Apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, dengan berdasarkan pada

hubungan kerja atau hubungan lain, maka

  

  Pasal 117 UUPPLH: jika tindak pidana diajukan kepada pemberi perintah

atau pemimpin (pasal 116 ayat 1 b),

maka ancaman diperberat sepertiga

  

  Pasal 118 UUPPLH: untuk tindak pidana pasal 116 atat 1 a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus selaku pelaku fungsional

   Penjelasan pasal 118 UUPPLH:

sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki wewenang dan Konstruksi Tindak Pidana Korporasi menurut UUPPLH Konstruksi I:

  Tindak pidana

  Pemimpin

  Badan Usaha

  Badan Usaha Syarat (ps. 118 dan penjelasannya):

  1. Wewenang

  2. Menerima: menyetujui, membiarkan, tidak cukup melakukan pengawasan, atau memiliki kebijakan yg memungkinkan tindak pidana terjadi

  Yang dipidana: 1. (hanya) Badan usaha (pasal 116 ayat 1 jo. 118) 2. pemimpin badan usaha ?????

  Kriteria Tanggung Jawab Korporasi 

  1. POWER

  2. ACCEPTANCE

  Kriteria SLAVENBURG “Pemimpin Faktual/Pemberi Perintah dapat dianggap memenuhi syarat untuk dipidanakan apabila ia -yang mempunyai kewenangan dan harus melakukan perbuatan sesuai dengan kewenangannya tersebut- telah lalai untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah terjadinya perbuatan pidana tersebut dan secara sadar menerima bahwa ada perbuatan pidana yang kemungkinan akan terjadi.

  

Konstruksi Tindak Pidana Korporasi menurut UUPPLH (lanjutan)

Konstruksi II:

  Tindak pidana

  Orang yang memerintahkan tindak pidana Orang yang memimpin tindak pidana Syarat :

  • Untuk, oleh, atau atas nama badan usaha (ps. 116 ayat 1), atau
  • • Bekerja dalam lingkup badan usaha berdasarkan hubungan kerja atau

    hubungan lain (ps. 116 aya
  • Yang dipidana: Pemimpin atau pemberi perintah tindak pidana

   Sanksi: + 1/3

  • Badan usaha????

  

  Pasal 119: Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan

pidana tambahan atau tindakan tata tertib

berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e.

penempatan perusahaan di bawah

   Pertanyaan:

  

  Pasal 119: pidana untuk korporasi adalah pidana yang dikenal dalam UUPPLH + tambahan. Apakah “pidana yang dikenal dalam UUPPLH” ini secara teori dapat diterapkan kepada korporasi?

  

  Dapatkah pemimpin korporasi dipidana bersama-sama (bukan sebagai wakil) dengan korporasi?

  

  Bagaimana caranya memidanakan pemimpin korporasi?

  

  Siapa pemimpin?

  

  Pasal 118 UUPPLH dan Penjelasannya

  

  High Managerial agent menurut Model Penal Code Section 2.07 (4c): “an officer of a corporation or an unincorporated association, or, in the case of a partnership, a partner, or any other agent of a

  2

  corporation or association having duties of such

  01

  responsibility that his conduct may fairly be assumed to

2 W

  represent the policy of the corporation or association”

  G A © 

  Apakah pasal 116 (2) berarti bahwa korporasi/atasan Dapatkah pelaku langsung dipidana dalam konteks doen plegen dan uitlokking? 

  Jonkers: “het karakteristieke verschil met doen plegen is dat bij doen plegen de feitelijke dader niet straftbaar is, bij uitlokking wel”

   Van Hattum: “…bij doen plegen is alleen degeen die doet plegen voor het delict aansprakelijk; bij uitlokking zijn zowel uitlokker als uitgelokte voor het delict aansprakelijk…”

  

Utrecht: di samping perbedaan tentang dapat/

tidaknya pelaku langsung dipidana, doen plegen tidak ditentukan caranya dalam uu; sedangkan untuk uitlokking, uu menentukan caranya, yaitu:

pemberian, janji, penyalahgunaan kekuasan,

  Teori-teori Pemidaan Korporasi

1. Respondeat Superior (doctrine

  of Vicarious Liability) 2.

  Direct Liability (doctrine of identification) 3.

  Delegation principle 4. Aggregation Model 5. Organizational/corporate culture model

1. Vicarious Liability

   RESPONDEAT SUPERIOR: Allows imposition of corp. liability for criminal acts performed by officers and agents in the course of their employment, without regard to their status in the corp. hierarchy or if there was an absence of management complicity.

   LIMITATION: Agent who commits the crime must be acting within the scope of his or her authority and on behalf of the corp.

   "Scope of Authority"= agent must perform acts on behalf of the corp. and that the acts must be directly related to the performance of the type of duties the employee has general authority to perform.

   Tidak berarti bahwa tindakan agent dilakukan atas dasar instruksi atau persetujuan atasan. Tetapi cukup merupakan tindakan yang dilakukan di dalam rangka menjalankan tugas yang diberikan

2. Direct Liability (doctrine of identification)

  

Lord Reid dalam Tesco Supermarkets Ltd v. Nattrass:

“A living person has a mind which can have knowledge or intention or be negligent and he has hands to carry out his intentions. A corporation has none of these...Then the person who acts is not speaking or acting for the company. He is speaking

as the company and his mind...is the mind of the

company...”

   Yang diuji adalah apakah Seseorang

  2 merepresentasikan “the directing mind and will of the

  01

  2 company”

  W G A 

  Lord Reid dalam Tesco Supermarkets menyatakan: ©

   “normally the board of directors, the managing director, and perhaps other superior officers of company carry out the function of management and

   Di Australia dan New Zealand, “directing mind of company” ini disebut sebagai “controlling officers”, yaitu seseorang yang berpartisipasi di dalam pengawasan korporasi dalam kapasitasnya sebagai

direktur, manager, sekretaris, atau pegawai lain yang

setingkat

   Little dan Savoline, sebagaimana dikutip oleh Sjahdeni, menjelaskan bahwa salah satu syarat di dalam identification doctrine ini adalah:

   Perbuatan pegawai yang menjadi “directing mind” korporasi haruslah termasuk dalam kegiatan (operation) yang ditugaskan kepadanya

   Tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi

   Tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan manfaat bagi korporasi

   Korporasi bertanggung jawab atas perbuatannya

3. Delegation Principle

  Allen v. whitehead:

  

  Seorang pemilik café mendelegasikan kekuasaannya kepada

  

  seorang manager untuk mengelola café tersebut. Kepada manager tersebut, pemilik café menginstruksikan agar tidak mengizinkan café tersebut digunakan sebagai tempak berkumpulnya prostisusi sesuai dengan Metropolitan Police Act 1839 (melarang prostisusi) Manager melanggar instruksi tersebut, tetapi pemilik tetap

  

  dianggap bertanggung jawab melanggar Metropolitan Police Act, karena dianggap telah memberikan delegasi kepada manager

   Menurut Pinto dan Evans, dalam prinsip

pendelegasian, “an offence can only be committed

by the office holder, but he cannot avoid his statutory obligations by delegating to another

   Baik tindakan maupun mens rea pelaku, dapat dikenakan kepada pemegang izin, sebagai konsekuensi dari delegasi yang dilakukannya

   Delegasi berarti mempercayakan kepada orang lain, sehingga akibat dari perbuatan orang lain ini menjadi

tanggung jawab si pemberi delegasi (mirip mandat pada

konsep HAN)

  

Lord Parker: prinsip delegasi digunakan hanya jika

diperlukan pembuktian mengenai mens rea

  

Mirip dengan Vicarious Liability (sama2 diperlukan

mens rea pada orang pelaku). Bedanya adalah bahwa dalam vicarious liability tidak terjadi pelanggaran atas perintah atasan.

   Menurut Pinto dan Evans, pemidanaan berdasarkan prinsip pendelagasian bersifat personal (bukan vicarious), karena yang dianggap melanggar

kewajiban adalah pemilik izin (yg mendelegasikan)

4. Aggregation Model

   Pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada penjumlahan (aggregation) dari “state of mind” atau

“culpability” dari tiap individu yang mewakili korporasi

(representatives)

   Agregasi ini tidak berarti benar2 menjumlahkan semua

pikiran, tetapi adalah membandingkan pikiran satu

orang dengan orang lainnya.

   Misalnya dalam US v. Bank of New England:

   Ada aturan bahwa terdapat kewajiban dari bank untuk memberikan laporan apabila bank melakukan transaksi mata uang melebihi batas tertentu

   Seorang pegawai mengetahui aturan ini, tetapi tidak

mempedulikannya (karena tidak tahu ada transaksi

yang melebihi batas).

   Pegawai lain mengetahui ada transaksi ini, tetapi tidak tahu adanya aturan tentang pelaporan

   Ajaran agregasi mengindikasikan adanya pengetahuan kolektif dari korporasi

   Ajaran ini mulai mengarah pada lahirnya pertanggungjawaban korporasi yang bersifat organisasional (dalam ajaran sebelumnya, pertanggungjawaban lahir dari pertanggungjawaban atas tindakan individual)

5. Organizational/corporate culture model

   Diterima di Australia

   Sjahdeni:

   pendekatan ini memfokuskan pada kebijakan korporasi yang mempengaruhi cara korporasi menjalankan usahanya

   Korporasi bertanggungjawab atas tindak

pidana pegawai, apabila pegawai ini

meyakini bahwa orang yang memiliki kekuasaan di dalam korporasi telah memberinya wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana

  

  Colvin:

  

  If recklessness is a required fault element of an offense, that fault element may be established by proof that the culture of a corporation caused or encouraged noncompliance with the relevant provision

  

  If purpose is a required fault element of an offence, that fault element may be established by proof that it was the policy of a corporation not to comply with the relevant provision

  

  A policy may be attributed to a corporation where it provides the most reasonable explanation of the conduct of that corporation

  

  If knowledge is a required fault element of an offence, that fault may be established by proof that the relevant knowledge was possessed by a corporation

  

  Knowledge may be attributed to a corporation where it was possessed within the corporation and the culture of the corporation caused or encouraged knowing

DAPATKAH KORPORASI DAN DIREKTUR SAMA-SAMA BERTANGGUNG JAWAB?

  Di Inggris, atasan dapat bertanggungjawab

bersama-sama dengan (bukan sebagai wakil)

korporasi

  

jika perbuatan pidana dilakukan dengan

consent” atau “connivance”, atau “attributable neglect” dari atasan

   Trades Description Act 1968 (s.20): “where

an offence under this Act which has been

committed by a body corporate is proved to have been committed with the consent or connivance of, or to be attributable to any neglect on the part of, any director, manager, secretary or other similar officer ot the body corporate or any person who was

   Pinto & Evans:

   Consent tidak selalu memerlukan pengetahuan aktual (actual knowledge), sedangkan connivance perlu

   Connivance mengindikasikan adanya tingkat keterlibatan atasan yang lebih dalam dibandingkan dengan consent

   Neglect: kegagalan untuk melakukan suatu kewajiban yang seharusnya sudah diketahui

   Untuk menjelaskan “attributable neglect”, Judge Rubin dalam kasus R. McMillan Aviation Ltd mengatakan bahwa seseorang atasan bertanggung jawab jika:

  

which case he had a duty to prevent the

offence; or b.

  He had reasonable cause to suspect that the © A G W

  2

  01

  2

a. He knew the trade description was false, in

  

Di AS, berdasarkan Model Penal Code 2.07:

  

Corp. officers and agents are personally

accountable for crimes committed in the name of the corp.

   Sherman Act imposes criminal sanctions for individually responsible officers/ director/agent as well as the corp. even if agent was acting only for corp and not as an individual.

   Corp officer acting solely for corp. and not as an individual, held

criminally liable for violating the

Sherman Act.

III. Karakteristik Tindak Pidana 1.

  Abstract Endangerment

  Administratively-dependent crimes

  Yg dipidana bukanlah pencemaran, tapi pelanggaran ketentuan administratif

2. Concrete endangerment

   Administratively-dependent crimes illegal emissions

   Ada ancaman pencemaran/kerusakan lingkungan

   Art. 2 (1b) of 1998 Council of Europe Convention on the Protection of the Environment through Criminal Law: 

  “The unlawful discharge, emission, or introduction of a

  quantity of substances or ionising radiation into air, soil

  3.

  Serious environmental Pollution

Administrative Independent crimes: Yang dipidana adalah

pencemaran (akibat perbuatan), tanpa memperhatikan ada/ tidaknya pelanggaran syarat administratisi oleh terdakwa

   Perbuatan mengakibatkan atau menimbulkan resiko (= ancaman) munculnya pencemaran/kerusakan lingkungan yang sangat serius

   Pidana dapat dijatuhkan meskipun tidak ada ketentuan administratif yang dilanggar tidak ada syarat melanggar hukum

   Art. 2(1a) of 1998 Council of Europe Convention on the Protection of the Environment through Criminal Law:

   “the discharge, emission or introduction of a quantity of substances or ionising radiation into air, soil, or water, which:Causes death or serious injury to any person, orCreates a significant risk of causing death or serious

4. Vague norms

  Pelanggaran terhadap duty of care

  • – (zorgvuldigheid): “if one knows or could

  reasonably be expected to know that by one’s actions the environment could be harmed, one should take all the measures that can reasonably be demanded in order to prevent danger or to limit or to eliminate its consequences” (M. Faure & M. Visser, 1995: 347)  karena “duty of care” bersifat umum

(kewajibannya tidak ditentukan secara detail di dalam UU), maka tindak pidana ini terjadi karena adanya perbuatan melawan IV. Macam Tindak Pidana Menurut UU Lingkungan Indonesia 

  Secara garis besar, perbedaan dengan UUPLH adalah:

  Jenis Sanksi UUPLH UUPPLH MINIMUM Tidak Ada 1 tahun

  Pidana MAKSIMUM 15 tahun 15 tahun MINIMUM Tidak Ada 500 juta rupiah

  Denda MAKSIMUM 750.000.000 15 miliar rupiah

  IV.A. Pasal-pasal pidana dalam UU No. 23/1997

1. Kejahatan Umum

  

Pasal 41 (sengaja) dan 42 (alpa)

  41: - Barangsiapa yang

  • - secara melawan hukum
  • dengan sengaja
  • melakukan perbuatan yang mengakibatkan

  pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, … 42: Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan

perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/

atau perusakan lingkungan hidup,

  Ciri-ciri Kejahatan Umum:

  Delik Material: yang diperhatikan adalah akibat 

  Aktual/Kongkrit: mengakibatkan pencemaran

  Akibat Serius/Berat/Kematian 

  Sanksi berat: 

  

Sengaja: penjara 10 tahun dan denda 500 juta

o

  Jika perbuatan menyebabkan orang meninggal atau luka berat: penjara 15 tahun dan denda 750 juta

   Alpa: penjara 3 tahun dan denda 100 juta o

  Jika perbuatan menyebabkan orang meninggal atau luka berat: penjara 5 tahun dan denda 150 juta

   Administratively independent crimes?

  

Perbuatan melawan hukum secara materil dan

formil

  Bertentangan dengan kewajiban

  01

  2

  © A G W

  MvT menggunakan kata “wederrechtelijk” sama dengan tanpa hak

  

  Bertentangan dengan kesusilaan ataupun asas pergaulan dalam masyarakat ttg penghormatan thd orang lain atau barang miliki orang lain

  o

  o

  

  Pelanggaran hak

   Analogi dengan PMH perdata, yaitu: o

  Alasan Pompe:

  

   Pompe berpendapat bahwa PMH bukan unsur konstitutif/ mutlak dari tiap delik (bandingkan dengan pendapat Vos dan Jonkers yang menyatakan bahwa PMH adalah unsur mutlak atau “stilzwijgen element

   PMH dapat diartikan sebagai PMH formil dan materil

  Pompe:

  2

2. Kejahatan Khusus (spesifik)

  

Pasal 43 (sengaja) dan 44 (alpa)

  43: - Barangsiapa yang dengan  melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku,

   sengaja

   melepaskan atau membuang zat…

   padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran … 44: Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan menurut pasal 43

  Ciri2 Kejahatan khusus

  

Delik Formal: yang diperhatikan adalah tata

cara perbuatan pidana dilakukan 

  Faktual/Potensial: tidak harus akibatnya (yaitu pencemaran) telah terjadi 

  Sanksi Lebih ringan 

  Sengaja: penjara 6 tahun dan denda 300 juta o

  Jika perbuatan menyebabkan orang meninggal atau luka berat: penjara 9 tahun dan denda 450 juta

   Alpa: penjara 3 tahun dan denda 100 juta o

  Jika perbuatan menyebabkan orang meninggal atau luka berat: penjara 5 tahun dan denda 150 juta

   Administratively dependent crimes

IV.B. Pasal-pasal pidana dalam UU No.

32 Tahun 2009

IV.B.1. DELIK MATERIL

  • Pasal 98 (sengaja) dan pasal 99 (lalai)

  Jenis Pelanggaran Akibat Pidana Denda (rupiah)

  Minimu m Maksimum Minimum Maksimu m

  Sengaja > BM 3 tahun 10 tahun 3 millir 10 miliar Orang Luka 4 tahun 12 tahun 4 miliar 12 miliar Orang Mati 5 tahun 15 tahun 5 miliar 15 miliar

  Lalai > BM 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar Orang Luka 2 tahun 6 tahun 2 miliar 6 miliar Orang Mati 3 tahun 9 tahun 3 miliar 9 miliar

  Pasal ini merupakan tindak pidana berupa perbuatan yang menyebabkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan  terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan  tidak mencantumkan unsur “melawan hukum”

   Makna tidak dicantumkannya “melawan hukum”:

   Melawan hukum tidak perlu dibuktikan

  

administratively independent

crimes

   Melawan hukum tetap harus dibuktikan

   Vos dan Jonkers yang menyatakan bahwa PMH adalah unsur mutlak atau “stilzwijgen element

   Pencemaran sebagai PMH o

Pasal 67 s.d 69

   Baku mutu air laut:

  

PP No. 19/1999 ttg Pengendalian pencemaran dan/atau

perusakan laut

   Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 ttg Baku Mutu Air Laut

   Baku Mutu Udara Ambien

   PP No. 41/1999 ttg Pengendalian Pencemaran Udara

   Baku mutu kerusakan?

   Bagaimana dengan pencemaran tanah (mis. Tanah terkontaminasi limbah B3)?

   Baku mutu air:

  

PP No 82 th 2001 ttg pengendalian kualitas air dan

pencegahan pencemaran air Pasal 8 (1) tentang Kelas Air

   Lampiran PP No. 82/2001: kriteria mutu air tiap kelas air

   Baku mutu air ditetapkan lebih lanjut dalam Kep Kutipan dari Lampiran PP. No. 82/2001

IV.B.2. DELIK FORMIL

Pasal 100

  • Asas Ultimum Remedium • administratively-dependent crimes
  • Kaitkan dengan pasal 114 UUPPLH: • Hanya tidak melaksanakan sanksi Adm.

   Baku mutu emisi

   Sumber bergerak: KEP MENLH NO.

  

141/2003 ttg ambang batas emisi

gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi

   Sumber tidak bergerak: KepMenLH No. 13/MENLLH/3/1995 ttg baku

mutu emisi sumber tidak bergerak

   Baku mutu gangguan?

   Baku mutu air limbah: Misalnya PERMEN LH No. 04 thn2007 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan MIGAS & Panas Bumi

IV.B.3. Delik formil lainnya (pasal 101-115)

  Pelanggaran Pidana Denda (rupiah) Minimum Maksimum Minimum Maksimu m Melepaskan/ mengedarkan produk rekayasa genetika tidak 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar sesuai dgn peraturan per-uu-an (ps. 101) Mengelola limbah B3 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar tanpa izin (ps. 102) Tidak mengelola limbah B3 yang 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar dihasilkannya (ps. 103)

  • 3 miliar 3 tahun - Dumping (ps. 104)
lanjutan

  Pelanggaran Pidana Denda (rupiah) Minimum Maksimu Minimum Maksimu m m

  Memasukkan B3 5 tahun 15 tahun 5 miliar 15 miliar (ps. 107) Membakar lahan 3 tahun 10 tahun 3 miliar 10 miliar (ps. 108) Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa izin 1 tahun 3 tahun 1 miliar 3 miliar lingkungan (ps. 109) Menyusun AMDAL tanpa memiliki sertifikat

  • 3 tahun -

  3 miliar kompetensi penyusun AMDAL lanjutan

  Pelanggaran Pidana Denda (rupiah) Minimu Maksimu Minimum Maksimu m m m

  Menerbitkan izin usaha tanpa

  • 3 miliar dilengkapi izin 3 tahun - lingkungan (ps. 111 ayat 2 ) Tidak melakukan
  • pengawasan (ps. 1 tahun 500 juta 112) Memberikan
  • informasi palsu 1 tahun 1 miliar (ps. 113) Tidak melaksanakan

IV.C.Perubahan dalam UU

  32/2009

  1. Kata “pencemaran/kerusakan” diganti dengan pelampauan baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, baku kerusakan

  2. Ada sanksi minimum

  

3. Ultimum Remedium terbatas hanya untuk pasal 100

(pelanggaran baku mutu effluent) 4.

  Ps. 101 s.d 109 = concrete endangerment?

  5. Ada tambahan beberapa tindak pidana baru (seperti pembakaran lahan, pengedaran produk hasil rekayasa genetika)

  6. Pemidanaan untuk Pejabat TUN yang: 

  Menerbitkan izin lingkunan tanpa dilengkapi Amdal atau UKL/

  

V. Penegakan Hukum Pidana sebagai

Ultimum Remedium

V.A. Ultimum Remedium Menurut UU No. 23/1997

  

Ultimum Remedium (subsidiaritas) Secara terbatas

   Mengapa?

   Penegakan Hukum Pidana dapat merupakan upaya terakhir, yaitu apabila penegakan hukum administrasi, perdata dan ADR tidak efektif. Akan

tetapi penegakan hukum pidana dapat persifat

premium remedium, apabila salah satu diantara tiga hal ini terjadi:

1. Apabila tingkat kesalahan pelaku relatif berat 2.

  Apabila akibat perbuatannya relatif besar 3. Perbuatannya menimbulkan keresahan masyarkat

   Persoalan: argumen ttg ultimum remedium dianggap terkait dengan kompetensi pengadilan,

V.B. Ultimum Remedium Menurut UU No. 32/2009

  • Tindak pidana lingkungan adalah kejahatan PENEGAKAN HUKUM PIDANA
  • Sanksi dan denda maksimum dan minimum
  • kortpo
  • Tindak pidana formil (effluent, emisi dan ganguan)
  • Sanksi administrasi

  Ultimum remidium

  • Pelanggaran dilakukan lebih dr satu kali
  • Pencemaran dan perusakan LH
  • Sanksi administrasi tidak dipatuhi
  • Pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali
  • Memasukkan B3 yg dilarang
  • Memasukkan LB3 di NKRI
  • Memasukkan limbah di NKRI

  PREMIUM REMIDIUM • Membuang limbah

  • Membuang B3 dan LB3
  • Melepas rekayasa genetik (sesuai UU dan izin lh)
  • Melakukan pembukaan lahan dengan membakar
  • Menyusun Amdal tanpa sertifikasi kompetensi

  B, baku mutu A, Baku ambien mutu effluent

   A > baku mutu, B > baku mutu

  Apa yang terjadi, dan pasal berapa yang dipakai? 

  A > baku mutu, B < baku mutu Apa yang terjadi, dan pasal berapa yang dipakai?

   A < baku mutu, B > baku mutu