Memandang laki-laki dalam film komedi dewasa, analisis visual Quickie Express dengan perspektif psikoanalisis - USD Repository

MEMANDANG LAKI-LAKI DALAM FILM KOMEDI DEWASA:

  

Analisis Visual Quickie Express dengan Perspektif Psikoanalisis

T h e s i s

  Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

  Oleh: Maria Dovita

  096322006

  

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013

LEMBAR PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis berjudul: “Memandang Laki-Laki dalam Film Komedi Dewasa: Analisis Visual Quickie Express dengan Perspektif

  Psikoanalisis” merupakan hasil karya dan penelitian saya pribadi. Di dalam thesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Peminjaman karya sarjana lain adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan kaki dan daftar pustaka.

  Yogyakarta, September 2013 Maria Dovita

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Nama : Maria Dovita NIM : 096322006 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul: Memandang Laki-Laki dalam Film Komedi Dewasa: Analisis Visual Quickie

  Express dengan Perspektif Psikoanalisis

  Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan pada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis. Demikian pernyataaan ini saya buat dengan sebenarnya.

  Yogyakarta, September 2013 Maria Dovita

KATA PENGANTAR

  Sedikit bercerita, penelitian ini terlalu lama di gagasan, begitupun di penulisan. Kalau diibaratkan nasi, bukannya sudah dingin, tapi lebih dari sekadar basi. Bagaimana bisa memakan waktu begitu panjang, bukan karena terlalu dihayati atau dipikir benar-benar. Melainkan disebabkan otak yang terlalu tumpul dan tangan yang terlampau berkarat. Apa yang saya lalui bukanlah sebuah detour, kalau boleh meminjam istilah Ricouer. Jalan-jalan itu tampak saling bertindihan. Begitu semrawut hingga sukar dibedakan mana jalan mana rerumputan. Meski dengan kondisi demikian, thesis ini selesai juga. Selesai sejauh yang dapat dituliskan dalam lembaran, tapi tidak terhenti di pemikiran.

  Dalam tempo yang tidak singkat itu, sudah banyak sekali pihak yang membantu saya: entah itu dengan sekadar bernyinyir-nyinyir, menyindir, atau yang meminjamkan bahan bacaan dan sumbang pemikiran secara sukarela. Di kertas yang masih terluang ini, untuk itu saya menyampaikan terimakasih kepada: 1.

  Dr. G. Budi Subanar, S.J. selaku Ketua Program Ilmu Religi dan Budaya dan pembimbing II, buku Visual Methodologies yang Romo pinjamkan sangat membantu saya dalam merancang penelitian ini.

  Dan, terimakasih atas program “satu hari, satu halaman”, yang terbukti ampuh mendisiplinkan saya dalam menulis.;

  2. Dr. Katrin Bandel selaku pembimbing utama, terimakasih untuk kritisisme dan saran yang membantu saya untuk mempertajam analisis dalam penelitian ini; 3. Sri Mulyani, Ph.D. selaku reviewer, terimakasih telah bersedia meluangkan waktu untuk membaca dan mengkritisi tulisan ini;

4. Segenap dosen IRB, baik yang masih mengajar atau tidak: Dr.

  Baskara T. Wardaya, Dr. St. Sunardi, Dr. Budiawan, Dr. G. Junus Aditjondro, Y. Devi Ardhiani, M.Hum., Dr. Ishadi S.K., Dr. Hary Susanto, terimakasih atas segala bimbingan dan pengarahan; 5. Staf Sekretariat Pascasarjana, Mbak Desi, terimakasih atas semua

  „pesan-pesan mesranya‟ baik melalui SMS maupun Facebook yang selalu mengingatkan saya akan kewajiban-kewajiban administrasi di

  IRB. Terimakasih pula untuk Mas Mul yang membuat suasana kampus

  IRB menjadi begitu bersih dan menyenangkan; 6. Teman-teman IRB 2009, dengan urutan alfabetis: Abed (seorang

  „pendeta‟ metroseksual, pastinya bukan aseksual), Agus (jejaka Palembang yang selalu riang gembira), Anes (tipe idola para wanita), Elli (aktivis Marxist pemerhati rakyat kecil), Herlinatiens (novelis yang saya cemburui keproduktifannya), Leo (lelaki Jawa tulen yang saya puji ketenangan dan keluwesannya), Mbak Lulud (seorang suster sekaligus traveller berdaya juang tinggi), Luc (seorang antropolog luar dalam), Iwan (post-filsuf yang menolak gaek, sangat bergaya dalam

  

fashion dan tulisan), May (seorang aktivis ekofeminis yang sekarang

  entah di mana), Mas Probo (cukup dua kata: analitis, dan problematis), Rino (sekarang esmod muda Jakarta yang ceria), Titus (pelawak seumur hidup yang jenial), dan Virus (sastrawan muda Jogja berbakat yang „katanya‟ tipe lelaki setia) - terimakasih atas lelucon- lelucon nakalnya yang lalu mengilhami saya melakukan penelitian ini; 7. Teman-teman IRB lintas angkatan lintas generasi yang terus menginspirasi saya dengan caranya masing-masing, utamanya untuk angkatan 2012, you guys rock!; 8. Keluarga besar di Batusangkar: Cibu, Apa, dan Dodo atas dukungan finansial dan pengertian yang tiada bandingan;

  9. Sahabat-sahabat terkasih: Ndut, Runi, Mesi, dan Balo, terimakasih telah menemani saya menuntaskan tulisan ini, meski itu dengan dengkuran kalian;

  10. terimakasih telah menjadi yang M.C., „konselor pribadi‟ menyenangkan. Without you, this thesis would be stylistically awful, as

  my life would be literally dreadful.

  Let‟s go home, shall we?

  Akan halnya atap rumah, terlalu lama berjemur, lama kelamaan tirislah di beberapa bagian. Thesis ini persis demikian. Dengan segera dapat ditemukan bolongan-bolongan yang mengganggu. Kacamata yang saya pakai, belum begitu terang dalam melihat. Kalaupun thesis ini tak dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya thesis itu dibuat, setidaknya thesis ini dapat menjadi kebalikannya. Untuk ini, saya rela menjadi pengikut Jung, yang suatu kali bilang:

  “Mistakes are, after all, the foundations of truth, and if a man does not know what a thing is, it is at least an increase in knowledge if he knows what it is not.”

  Yogyakarta, September 2013 Maria Dovita

  096322006

  ABSTRAK

  Perempuan sebagai pajangan tentunya bukan hal yang asing dalam sinema kita. Begitupun dalam film komedi. Sedari masa jaya di tahun 1970- an hingga dewasa ini, wilayah dada dan paha perempuan tak pernah absen dipajankan. Kontras halnya dengan tubuh laki-laki. Tubuh laki-laki lebih sering dihadirkan dalam bingkai yang non-erotis. Laki-laki juga acap kali didudukkan sebagai penonton, ketimbang yang ditonton.

  

Quickie Express, sebuah film komedi dewasa keluaran tahun 2007

berpotensi untuk menghadirkan seksualitas laki-laki dengan agak banyak.

  Maka, dengan menyorot film Quickie Express secara partikuler, penelitian ini hendak menunjukkan bagaimana persisnya tubuh laki-laki ditampilkan dan dikonsumsi. Penekanannya bukan soal apakah tubuh itu tampak atau tidak, tapi yang terpenting bagaimanakah kamera memposisikan „penonton‟ untuk memandang tubuh tersebut.

  Untuk mencapai tujuan itu, dipakailah pendekatan psikoanalisis seperti yang diterapkan oleh Neale. Pendekatan ini menimbang keterpandangan tubuh laki-laki dengan meninjau dimensi fetishisme, voyeurisme, dan identifikasi. Dengan demikian, perkara bingkai dan gerakan kamera, jalur cerita, lanjut arah pandang karakter di dalam layar, menjadi titik perhatian yang penting dalam melakukan analisis.

  Dari pengkajian yang dilakukan terlihat bahwa kamera masih bersikap hati-hati dalam menampilkan tubuh laki-laki. Di satu sisi, kamera ingin menjaga supaya tubuh itu kelihatan, di saat yang bersamaan berusaha pula untuk menutup-nutupinya. Di samping itu, laki-laki juga memiliki kontrol terhadap narasi, hingga i a mampu mengembalikan pandangan „penonton‟ bahkan balik mengobyektivikasi. Di sinilah letak bedanya antara pengkonsumsian terhadap tubuh perempuan dan laki-laki. Bila perempuan dapat dipandang dari segala arah dan oleh laki-laki mana saja, maka keterpandangan terhadap tubuh laki-laki serba terbatas. Dalam Quickie

  Express diperlihatkan tubuh laki-laki tidak dapat dinikmati sembarang wanita, melainkan melalui kaca mata tante-tante girang serta waria.

  Kata kunci: pandangan, „penonton‟, fetishisme, voyeurisme, identifikasi

  ABSTRACT

Watching female flesh on the center of the screen is nothing

extraordinary in Indonesian cinema. Comedy movies are no exception. Since the heyday of comedy on 1970s until recently, female breast and thigh have always been on display. In a stark contrast, male objectification is rare. Male body hardly connotes a sexual object. In fact, male used to be framed as a spectator, rather than a spectacle.

  

Quickie Express, an adult comedy released on 2007, has a great

potential to explore male sexuality. Focusing particularly on the visual aspect of Quickie Express, this research aimed to investigate how male body is displayed and consumed. The emphasis is less on whether the body is seen or not, but more on how the camera directs „the spectator‟ to look at that body.

  

To pursue that goal, this research applied psychoanalysis approach as

suggested by Neale. This approach determined the exposure of male body by considering the dimension of fetishism, voyeurism, and identification. Therefore, camera‟s frame and movement, narration process, and spectatorial look of each character on the screen, would be closely examined.

  

The result showed that camera reacted ambivalently when exposing

male body. On the one side, camera seemed to ensure that the male body is shown, while, simultaneously, it made an attempt to cover that body. Besides, male has an enormous control toward the narration, so he is able to turn back

  „the spectator‟ gaze, and in turn, objectivise its spectator. Here lies the difference between the way how male body and female body is consumed. Female body can be seen in any direction by any male, meanwhile male body is only can be seen in a flash, limited only through the eye of unhappyly married women and transvestites. Keywords: gaze, „spectator‟, fetishism, voyeurism, identification

  DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN............................................................... i LEMBAR PENGESAHAN................................................................ ii LEMBAR PERNYATAAN................................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ iv KATA PENGANTAR....................................................................... v ABSTRAK.................................................................................... viii ABSTRACT.................................................................................. ix DAFTAR ISI................................................................................ x BAB I PENDAHULUAN............................................................

  28 BAB II MENYOAL FILM KOMEDI INDONESIA...........................

  81 E. Tinjauan.............................................................

  52 D. Melirik Produksi Quickie Express.............................

  35 C. Reformasi dan Kemunculan Film Komedi Dewasa Indonesia...........................................................

  31 B. Meneroka Film Komedi Indonesia Terdahulu............

  Film Komedi: Film untuk Ha-Ha-Hi-Hi?....................

  30 A.

  24 H. Skema Penulisan..................................................

  1 A.

  21 G. Metodologi Penelitian............................................

  15 F. Kerangka Penelitian..............................................

  13 E. Tinjauan Pustaka.................................................

  13 D. Manfaat Penelitian................................................

  13 C. Tujuan Penelitian.................................................

  1 B. Rumusan Masalah................................................

  Latar Belakang....................................................

  90

  BAB III POTRET LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE

EXPRESS....................................................................

  93 A.

  Laki-Laki Pekerja: Miskin dan Lusuh........................

  95 B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Seksi dan Saru..........

  112 C. Laki-Laki Pekerja Seks: Kaya dan Berkuasa............. 122 D.

  Tinjauan.............................................................

  142

  BAB IV MEMANDANG LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE

EXPRESS....................................................................

146 A. Laki-Laki Pekerja: Seksualitas yang Absen............... 148 B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Laki-Laki Sebagai Obyek Seks?.......................................................

  176 C. Laki-Laki Pekerja Seks: Si Pemburu Narsis..............

  187 D. Tinjauan ............................................................

  212 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................... 217 A. Kesimpulan.........................................................

  217 B. Saran................................................................

  219

  DAFTAR PUSTAKA

  ....................................................................... 222

  DAFTAR ILUSTRASI 1.1. Bingkai kamera..............................................................

  26 1.2. Sudut pengambilan kamera.............................................

  27 2.1. Gambar sampul VCD Inem Pelayan Seksi..........................

  46

  2.2. Gambar poster dan sampul VCD film Warkop: Sudah Pasti

  Tahan (Arizal, 1991), Bisa Naik Bisa Turun (Arizal, 1991), dan Depan Bisa Belakang Bisa (Tjut Djalil, 1987)...............

  50

  2.3. Poster film-film komedi dewasa Indonesia: Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007), Namaku Dick (Teddy Soeriaatmadja, 2008), XXL: Double Extra Large (Ivander Tedjasukmana, 2009), dan Susah Jaga Keperawanan di Jakarta atau Urbany Sexy (Joko Nugroho, 2010)................

  80 3.1. Jojo mengepel lantai toserba...........................................

  98

  3.2. Jojo dicubit oleh salah seorang pengunjung toserba............ 100

  3.3. Perbandingan gambar adegan bikini Jojo dan seorang perempuan.................................................................... 104

  3.4. Jojo meraba bagian genitalnya......................................... 105

  3.5. Mudakir dan calon mangsanya......................................... 106

  3.6. Ekspos wilayah perut dan selangkangan Jojo..................... 109

  3.7. Jojo memasuki restoran Quickie Express........................... 111

  3.8. Rekan baru Jojo: Marley dan Piktor.................................. 116

  3.9. Latihan tari tiang........................................................... 118

  3.10. Jojo, Piktor, dan Marley berlatih tari................................. 119

  3.11. Jojo, Piktor, dan Marley mencontoh gerakan trainer............ 120

  3.12. Jojo, Piktor, dan Marley dipajang pada calon klien.............. 123

  3.13. Klien pertama Jojo, Piktor dan Marley .............................. 125

  3.14. Kencan pertama Piktor.................................................... 127

  4.4. Bingkai XLS saat Jojo menari........................................... 153

  4.15 Gerak vertikal kamera menyorot klien pertama Jojo........... 193

  4.14. Memajankan tubuh laki-laki pada khalayak wanita.............. 187

  4.13. Antara instruktur tari, Jojo, dan boneka wanita.................. 181

  4.12. Kamera bergerak menjauhi pria yang sedang menari.......... 179

  4.11. Waria dalam film Love is Brondong................................... 173

  4.10. Jojo di kontrakan........................................................... 168

  4.9. Gadis berpakaian renang................................................. 162

  4.8. Antara klien Jojo dan gadis berpakaian renang................... 160

  4.7. Antara Jojo, kerumunan, dan barang obralan..................... 156

  4.6. Jojo yang menari diambil dari arah belakang..................... 155

  4.5. Inem si babu seksi......................................................... 154

  4.3. Menjelang opening title film Inem Pelayan Seksi................. 151

  3.15. Kencan pertama Marley.................................................. 128

  150

  Jojo mengembalikan pandangan „penonton‟.......................

  4.1. Gerakan diagonal kamera menyorot Jojo menari................ 149 4.2.

  3.24. Jojo sebagai pemburu..................................................... 142

  3.23. Perpisahan.................................................................... 141

  3.22. Jan Pieter dan Mateo...................................................... 139

  3.21. Jojo dan Jan Pieter......................................................... 138

  3.20. Jojo versus Teddy di lantai dansa.................................... 135

  3.19. Kencan Jojo dengan Tante Mona...................................... 133

  3.18. Gigolo level advance....................................................... 132

  3.17. Jojo dilecut di tempat tidur.............................................. 130

  3.16. Kencan pertama Jojo...................................................... 129

  4.16 Gerak diagonal kamera menyorot klien pertama Marley....... 195

  4.17. Perempuan yang disangka klien Piktor.............................. 196

  4.18. Proses de-erotisasi terhadap klien Jojo.............................. 198

  4.19. Keengganan kamera mengobyektivikasi tubuh Piktor.......... 202

  4.20. Kencan Jojo dengan Lila dan Tante Mona........................... 207

  DAFTAR TABEL 2.1. Data produksi film di Indonesia sesudah Reformasi.............

  68

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jika ada yang bertanya film Indonesia mana yang membuat saya

  tercengang-cengang, Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007) adalah jawabnya. Menonton film ini tiga tahun setelah rilis, saya masih terheran- heran dengan „kecanggihan‟ yang disajikannya. Kecanggihan yang tidak semata-mata saya tumpukan pada estetika kamera, namun terlebih kepada tema, teks (skrip), dan adegan yang luar biasa „memalukan‟. Barangkali penilaian ini terdengar berlebihan. Sebab, saya tak cukup punya perbendaharaan film-film lokal untuk benar-benar membandingkan. Namun, di balik keterbatasan itu, inilah kali pertama telinga saya menangkap kata

  1 Berani kesannya.

  seperti „biji‟ begitu lantang diucapkan dalam film nasional.

  Ihwal Quickie Express, film berdurasi 117 menit ini beredar pada penghujung 2007 lewat jaringan bioskop Cinema 21 dan Blitz Megaplex.

  

2

Penonton yang tercatat lebih dari 1 juta. Jumlah ini tergolong tinggi. Kalau

  3 hendak dijejer berdasar peringkat, Quickie Express berada di posisi ke-4.

  Angka ini terbatas pada mereka yang menyaksikan di bioskop. Penonton dari media lain, semisal cakram DVD - mau yang orisinal maupun bajakan, belum lagi masuk hitungan. Begitupun dengan penonton media virtual macam 1 internet. Film yang sama saya temui nangkring di situs youtube semenjak

  Film Indonesia awal yang menyertakan kata- kata atau dialog ‘kasar’, disebut Kristanto, yakni Bernafas Dalam Lumpur (Turino Djunaidy, 1970). Dalam film ini disebutkan bermacam makian, semisal sundel.

  (Sumber: Kristanto, JB. 1995. Katalog Film Indonesia 1926 2

  • – 1995. Grafiasri Mukti: Jakarta, hal: 79)
  • 3 Sumber: http://filmindonesia.or.id , diakses tanggal 3 Mei 2011 Deretan 10 film dengan penonton terbanyak tahun 2007 antara lain: Get Married, Naga Bonar Jadi 2, Terowongan Casablanca, Quickie Express, Film Horor, Suster Ngesot the Movie, Pulau Hantu, Pocong 3, Lantai 13, Kuntilanak 2. (Sumber: http://filmindonesia.or.id , diakses tanggal 3 Mei 2011).

      2009 dalam 11 potongan video. Pada tanggal 1 April 2012, film tersebut

      4 diunggah lagi secara utuh dengan jumlah viewer mencapai 1,630,792.

      Bila Quickie Express didudukkan dengan film-film di jamannya, film ini terkesan mencolok. Jelas, Quickie Express hadir di tengah dominasi film-film horor. Sebagaimana diamati Darmawan, periode 2007

    • – 2008 merupakan

      5

      jamannya tokoh-tokoh seram menghantui dunia sinema kita. Untuk tahun 2007 saja, dari 52 judul film yang diproduksi tahun 2007, hampir setengahnya film horor. Sementara, film drama berjumlah 11 judul. Film

      6 komedi bahkan lebih sedikit, hanya 5 judul.

      Tak hanya menang dari segi jumlah, film hantu-hantuan tersebut juga tak kalah menguntungkan dari segi pendapatan. Dari deretan 10 film yang paling laku tahun 2007, 6 judul diantaranya adalah film horor. Film-film tersebut yakni: Terowongan Casablanca (Nanang Istiabudi, 2007), Suster

      Ngesot The Movie (Arie Azis, 2007), Pulau Hantu (Jose Poernomo, 2007), Pocong 3 (Monty Tiwa, 2007), Lantai 13 (Helfy C.H. Kardit, 2007), dan

      7 Kuntilanak 2 (Rizal Mantovani, 2007).

      Singkat cerita, Quickie Express adalah anomali dalam industri film tahun 2007. Film ini membuat penonton terkaget-kaget bukan karena keseramannya, melainkan pada „kekurangajarannya‟. Tak heran jika lalu 8 Quickie Express digelari film komedi seks pertama Indonesia. Film ini dengan gamblang menarasikan berbagai lelucon-lelucon nakal yang ada kalanya tak 4 masuk akal. Kalau tidak dibetah-betahkan, sulit rasanya menikmati film ini 5 Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=Seldn3IRWNI , diakses tanggal 16 Agustus 2013

      http://new.rumahfilm.org/artikel- Darmawan, Hikmat. “Mengapa film horor (1)” (Sumber: 6 feature/mengapa-film-horor-1/ , diakses tanggal 18 November 2011)

      Aartsen, Josscy. 2011. “Film world indonesia: The rise after the fall.” Thesis di Universitas Utrecht, hal: 29 7 (Sumber: igitur-archive.library.uu.nl, diakses tanggal 14 Juli 2011) 8 Sumber: http://filmindonesia.or.id , diakses tanggal 3 Mei 2011 Ditulis Darmawan, film-film komedi terdahulu, taruhlah seperti Permainan Cinta (Willy Wilianto, 1983) dan Montir-Montir Cantik (BZ Kadaryono, 1984) - diketahui juga menjadikan seks sebagai subyek. Hanya, tidak terlalu terang-terangan seperti Quickie Express . Istilah Darmawan, seks yang masih ‘malu-malu’. (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-

      Darmawan, Hikmat: “Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, diakses tanggal 25 Maret 2011) sampai tuntas. Quickie Express lebih cabul dibanding film kebanyakan. Meski, masih terbilang „lunak‟ jika dipatut-patut dengan film komedi dewasa impor macam American Pie atau Korea punya: Sex is Zero. Quickie Express tak sampai menyertakan ketelanjangan penuh. Kalau yang

      „sekadar‟ mengintip- ngintip, ya banyak.

      Lalu, apa yang menarik dikaji dari Quickie Express? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya akan mengingsut-ingsut terlebih dahulu dengan membahas persoalan tema, narasi (alur cerita), lalu berujung pada soal visualisasi.

      Mengenai tema, apa yang diusung Quickie Express tidaklah sepenuhnya baru. Meski, masih ganjil di telinga. Jelasnya, film ini mengangkat fenomena gigolo di daerah ibukota. Dikisahkan tentang tiga orang pemuda: Jojo (Tora Sudiro), Marley (Aming Sugandhi), dan Piktor (Lukman Sardi) yang sama-sama terjun dalam bisnis prostitusi. Mereka dilatih menjadi

      “mesin seks tahan banting”, demikian istilah sang germo- yang siap pakai bagi „tante-tante‟ kaya raya. „Tante‟ di sini tak selalu merujuk pada perempuan paruh baya. Akan tetapi, dapat digunakan dalam arti seluas- luasnya: mau yang tua atau kelewat renta, entah itu wanita atau juga waria. Pokoknya, asal ada fulus, gigolo-gigolo muda nan ceria siap menunggu di depan pintu anda.

      Selanjutnya, petualangan tiga jagoan ini mengerucut pada kisah Jojo seorang. Jojo diceritakan sebagai kaum melarat Jakarta yang punya banyak kemauan. Sebelum menekuni profesi sebagai pekerja seks, ia sempat mencicipi pahit getirnya bekerja sebagai petugas kebersihan, pembuat tato, hingga terdampar di tempat tambal ban pinggir jalan. Lalu, ia berserobok dengan Om Mudakir, keturunan Arab centil berjari ngetril. Om Mudakir dengan girang hati merekrut Jojo menjadi „anak asuh‟ di layanan male escort miliknya. Dari sinilah, perlahan kehidupan Jojo mulai berubah.

      Jojo sebelum dan sesudah menjadi „anak didik‟ Om Mudakir sangatlah berbeda. Perbedaan yang tampak, umpama: dulu pemutar musiknya konvensional, lalu diganti perangkat digital. Sebelumnya, ia berbaring di kasur kapuk yang usang, kini ditukar kasur pegas ukuran double yang empuk. Pokoknya, dari segi materi, Jojo serba wah. Hanya, dari segi cinta, ia kalah. Kisah asmara Jojo kandas di tengah jalan. Gadis yang digandrunginya, Lila (Sandra Dewi), ternyata anak dari „tante‟ yang memeliharanya. Tambah, ayah Lila yang seorang mafioso lagi homo terobsesi pula padanya. Rumit dan berbelit-belit. Itulah kata-kata yang pas untuk menggambarkan kehidupan Jojo. Mengakhiri kemelut, Jojo melepas seragam gigolo lalu naik tingkat menjadi „pemburu‟, the-next-Mudakir!

      Telisik punya telisik, fenomena gigolo dan sejenisnya sudah berulang kali diceritakan dalam film-film lawas. Bahkan dari tahun 1970-an saat

      9

      industri „film mesum‟, yang oleh Imanjaya diistilahkan “sexploitation film”

    • mulai marak. Untuk itu, saya ambilkan dua contoh: Noda Tak Berampun (Turino Djunaedy, 1970) dan Pria Simpanan (Walmer Sitohang, 1997). Noda

      Tak Berampun berdurasi 97 menit. Film ini merupakan kelanjutan dari Bernafas Dalam Lumpur (Turino Djunaedy,

      1970) yang dikenali sebagai “film Indonesia pertama yang menonjolkan seks, perkosaan dan dialog-dialog

    10 Pria Simpanan durasinya lebih pendek, hanya 79 menit. Film ini

      kasar.” dipasarkan dalam bentuk VCD dengan judul yang lebih menantang: Gigolo 11 dan Tante Sex.

      Rais (Farouk Avero), yang berperan sebagai germo dalam Bernafas

      Dalam Lumpur, dalam sekuelnya 9 „turun jabatan‟ jadi „laki-laki bayaran‟. Gara- Imanjaya, Ekky: “Idealism versus commercialism in Indonesian cinema: A neverending battle” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/artikel-feature/idealism-versus-commercialism-in-indonesian-cinema-a- 10 neverending-battle1/ , diakses tanggal 9 Juli 2011)

      Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-b019-70-732160/bernafas-dalam-lumpur , diakses 11 tanggal 3 Mei 2011 Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p018-97-553142_pria-simpanan-gigolo , diakses tanggal

    2 Oktober 2012

      gara ini ia cekcok dan bercerai dengan isterinya, Marina (Rima Melati). Lalu, Marina menikah lagi dengan Budiman (Rachmat Kartolo). Sementara itu, Rais masih menginginkan Marina. Ia pun melakukan segala daya dan upaya untuk merebut mantan isterinya itu. Bahkan dengan jalan menculik anak Marina dan Budiman. Malang, dalam adegan kejar-kejaran dengan polisi, mobil VW yang

      12 dikemudikan Rais kecelakaan. Akhir cerita, Rais mati.

      Agaknya, permasalahan dalam kehidupan pekerja seks laki-laki tak jauh-jauh dari pertentangannya dengan kehidupan rumah tangga atau asmara. Hal serupa juga ditampilkan dalam film Pria Simpanan. Dikisahkan

    13 Yuli (Megi Megawati

      ) adalah seorang „tante muda‟ yang kesepian, lebih-lebih dari sisi seksual. Suaminya, Yordan (Rengga Takengon), hanya seorang paruh baya yang kebinalannya pun telah diperkosa waktu. Demikianlah, Yulia mulai berpetualang dengan instruktur senamnya, Roy (Andre Bjenk). Hubungan ini terendus suami Yulia yang lantas memerintahkan tukang pukul menciderai alat vital Roy. Derita Roy bertambah ketika Atika (Indah Febrizha), sang kekasih tercinta, pun berpaling dari sisinya. Tinggallah Roy sendiri, menyesali 14 diri.

      Saya paham, tidak sepenuhnya tepat membandingkan kedua film tersebut dengan Quickie Express. Genre-nya jauh berbeda. Yang satu komedi, lainnya drama. Namun, setidaknya ketiga film ini sejalan dalam menggambarkan pekerjaan gigolo yang berkonflik dengan kehidupan percintaan. Bedanya, Jojo dalam Quickie Express meskipun di awal 12 menyembunyikan profesinya dari Lila, namun ia sendiri pula yang membuka

      Ulasan film ini didapat dari tulisan “BDL + NTB + ?” diterbitkan pada tanggal 13 Maret 1971 (Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1971/03/13/fl/mbm.19710313.fl56868.id.htm ,diakse 13 s tanggal 20 Mei 2010) Megi Megawati dikenal bermain dalam beberapa ‘film panas’, diantaranya: Gairah 100%, Menentang serta (Sumber: http://www.mail-archive.com/aga- Nafsu, Membakar Gairah, Nafsu Liar. 14 madjid@googlegroups.com/msg14209.html , diakses tanggal 5 April 2011)

      Sumber: http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p018-97-553142/pria-simpanan-gigolo, diakses tanggal

    26 Maret 2011

      „aib‟ tersebut. Ia tidak menunggu Lila untuk menangkapnya basah, sebagaimana yang terjadi pada Roy dalam Pria Simpanan atau Rais dalam

      Noda Tak Berampun. Jojo tidak ditinggalkan kekasihnya. Ia memilih untuk

      pergi. Oleh karenanya, tak ada drama mengejar sampai mati seperti yang dilakukan Rais. Jojo malah bangkit dan memulai „kehidupan baru‟. Akan tetapi, jangan terjemahkan „kehidupan baru‟ ini dengan Jojo bertobat atau pun insaf. Ia sudah kadung cinta pada

      „kehidupan malam‟ yang selama ini digaulinya.

      Makanya, Quickie Express tak berpretensi menjadi penceramah moral seperti film-film Indonesia pada umumnya. Sebagaimana dikaji Schmidt, film- film Indonesia cenderung mengambil sikap yang moralistik ketika membahas tema-tema seks. Boleh diambil satu contoh: Virgin (Hanny Saputra, 2004). Meski Virgin menampilkan kehidupan remaja metropolis yang serba bebas, ujung-ujungnya balik lagi ke

      „kebijakan moral‟. „Kebajikan‟ yang diajarkannya yakni:

      

    “when you maintain bodily integrity, your dreams will come true, but

    15 when violate bodily boundaries punishment will follow.” Quickie Express, seperti ditulis Darmawan, malah menampik

      „ceramah moral‟ macam Virgin. Kalaupun ada wacana atau pun moral yang disampaikannya justru ketidakpedulian terhadap wacana dan moral itu 16 sendiri. Sikap yang abai terhadap nilai ini dapat dicatat sebagai fenomena yang langka dalam sinema Indonesia. Pasalnya, dari masa Orde Baru, film- film terutama yang berkenaan dengan dunia prostitusi

    • – cenderung moralistik
    • 17 di akhir. Ini dimaksudkan agar bisa lolos dari guntingan badan sensor.

        15 Schmidt, Leonie. 2012. Post-Suharto screens: Gender, politics, Islam and discourses of modernity. 16 Amsterdam Social Science Vol. 4: 1, hal: 43 Express

        

      Darmawan, Hikmat: “Quickie : Mengkhianati WARKOP” (Sumber:

      http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, diakses tanggal 25 17 Maret 2011) Sen, Krishna. 1994. Indonesian Cinema: Framing the New Order. Zed Books Ltd.: London and New Jersey, hal: 145

        Selepas mengurai narasi (skrip), mari beranjak pada persoalan visualisasi. Dengan niatan menggambarkan dunia pergigoloan, tak heran bila

        Quickie Express mempertontonkan tubuh dalam kadar berlebih. Namun, jika

        selama ini saya terbiasa menyaksikan pemeran wanita berbusana menantang, sekarang giliran laki-laki yang melakoni adegan-adegan mendebarkan. Kadar „buka-bukaan‟ yang ditampilkan Quickie Express termasuk di luar tradisi, meski tak sampai menampilkan full-frontal nudity. Kabarnya Lembaga Sensor

        18 Film (LSF) memotong film ini sepanjang 2 meter. Walau, shoot bagian

        bokong Tora Sudiro dan Amink dapat terlihat jelas di beberapa adegan. Belum lagi gerakan erotis yang diperagakan ketika mereka latihan. Alamak, sangat mencengangkan!

        Di samping parade laki-laki bergaya mesum tersebut, Quickie Express disebut-sebut memperkenalkan, sebut saja maskulinitas alternatif- dalam khazanah film Indonesia. Secara spesifik disebutkan,

        “it [Quickie Express] adds an unusual dimension to the portrayals of masculinities in the post- 19 Suharto era

        ”. Apa yang dinilai „berbeda‟ dari Quickie Express, bahwa pada titik tertentu, peran laki-laki dan perempuan seakan-akan dibalik. Alih-alih menggambarkan perempuan yang pasif, Quickie Express menampilkan perempuan yang aktif dan agresif. Laki-laki yang biasanya ditampilkan sebagai

        „predator‟, dalam Quickie Express malah diposisikan sebagai yang 20 penurut dan patuh.

        Sebagai pembanding, untuk gambaran perempuan yang pasif, dalam artian yang berlaku sebagai pemanis, bisa ditemukan dengan gampang di 21 18 film-film komedi Indonesia. Bahkan, pada kebanyakan film cerita. Film-film 19 Sumber: http://filmindonesia.or.id Izharuddin, Alicia.

        (Sumber: Masculinity and sexual humiliation in Quickie Express http://dgreymatter.wordpress.com/2011/11/07/masculinity-and-sexual-humiliation-in-quickie-express/ , 20 diakses tanggal 29 Februari 2012) 21 Ibid.

        Sen, Krishna. Op.cit., hal: 41 Warkop merupakan contoh yang cukup baik untuk ini. Jika James Bond punya koleksi

        Bond’s girl, Warkop juga punya Warkop’s girl. Kiki Fatmala, Sally Marcellina, Lidya Kandou, dan Inneke Koesherawati merupakan diantaranya.

        Nurul Arifin, mantan gadis Warkop lainnya, mengomentari perannya : “[...] kehadiran saya di film kelompok ini memang seperti kosmetik.” Eva Arnaz, yang membintangi sembilan judul film Warkop, bercerita kerap digoda teman- temannya:

        “Alaa, mereka [penonton] tuh datang [ke bioskop] gara-gara 22

        pengen ngeliat kamu Va”.

        Pengakuan Nurul Arifin, begitupun Eva Arnaz, seturut dengan hasil kajian Laura Mulvey tentang posisi perempuan dalam sinema. Jika Nurul membayangkan dirinya sebagai kosmetik, Mulvey menerjemahkannya dengan

        “image”. Dalam pandangannya, kehadiran perempuan dalam film adalah

        sebagai pajangan, setara benda mati. Seberapapun pentingnya peran perempuan ini, bukanlah untuk kepentingan perempuan itu sendiri. Melainkan, tegas Mulvey, untuk memenuhi hasrat voyeuristik bagi tokoh laki- laki di dalam film, begitupun penonton. Sebab, penonton akan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh laki-laki dalam film, untuk lalu 23 menikmati perempuan sebagaimana tokoh tersebut menikmatinya.

        

      Quickie Express, dalam hal ini, bukan pengecualian. Meski dalam

        artian tertentu, kesenangan melihat ini tak selalu dipuaskannya, bahkan dapat serta-merta buyar. Untuk tak terlalu mengawang, tengok saja adegan ketika Jojo bertemu dengan klien pertamanya. Bagaimana Jojo menatap si klien dari ujung kaki hingga kepala, yang diikuti pula dengan gerak kamera mengikuti alur vertikal. Penonton, mau tak mau turut memandangi (dan 22 menikmati) apa yang menjadi pusat perhatian Jojo: tubuh si perempuan.

        Badil, Rudy & Indro Warkop (Eds.). 2010. Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main. Kepustakaan Populer 23 Gramedia: Jakarta, hal: 178 Mulvey, Laura. 1992.

        “Visual pleasure and narrative cinema” dalam Film Theory and Criticism: Introductory Readings. 4th Edition. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: Oxford, hal: 750 - 751 Meski kemudian ia harus dikecewakan, begitu pun penonton, karena si perempuan seksi ternyata (berjenis kelamin) laki-laki.

        Lalu, berpikir sederhana, dengan mengekor pada logika Mulvey, apakah ketika laki-laki diposisikan sebagai obyek seksual, seperti yang terjadi dalam Quickie Express- akan menstrukturkan penonton untuk melihat dari sudut pandang perempuan? Dengan kata lain, apakah Quickie Express dapat dibilang menghadirkan semacam female gaze?

        Perbedaan seks/gender, untuk tidak langsung mengasumsikan ketidaksetaraan seks/gender- sedikit banyaknya tentu mempengaruhi cara penikmatan laki-laki dan perempuan. Kasarnya, pada tingkatan yang paling ekstrem, jika film biru untuk laki-laki dibuat dengan menitikberatkan pada pemeran perempuan, apakah film biru untuk perempuan cukup dibuat dengan menggeser posisi kamera pada tubuh laki-laki?

        Di samping itu, untuk tak terlalu optimis, agaknya persoalan mengenai

        female gaze ini lebih kompleks dari sekedar merubah fokus kamera. Sebab,

        sebagaimana dipesankan Steve Neale erotisasi terhadap tubuh laki-laki 24 beresiko memunculkan apa yang disebut sebagai .

        “homosexual overtone”

        Untuk menghindari kesan homoseksual ini pulalah makanya laki-laki jarang dihadirkan sebagai pajangan serupa perempuan. Jikalau laki-laki mempertontonkan tubuhnya, sambung Neale, tidak langsung dipasang terang-terang di muka penonton. Pandangan penonton selalu dimediasi oleh pandangan tokoh atau karakter lain di film. Dan pandangan ini juga bukan dalam artian seksual, tapi lebih mencerminkan ketakutan, kebencian, atau 25 bahkan agresivitas. Lalu, bagaimana dengan para lelaki dalam Quickie Express? Sebagai 24 film yang menokohkan laki-laki, plot film ini pun digerakkan dari sudut 25 Glover, David & Cora Kaplan. 2000. Genders. Routledge: London and New York, hal: 153 Neale, Steve. 1993.

        “Masculinity as spectacle” dalam Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Eds. Steven Cohan & Ina Rae Hark. Routledge: London and New York, hal: 18 pandang laki-laki. Namun, itu tak berarti cerita akan selalu berpihak kepada si 26 tokoh. Laki-laki di sini tak selalu berfungsi sebagai .

        “bearer of the look”

        Malah, di banyak kesempatan laki-laki sengaja dipajang sekadar untuk dipandang-pandang. Serupa tontonan.

        Untuk menjelaskan poin tersebut, saya mengajukan satu contoh. Dalam adegan perkenalan dengan calon pembeli (baca: tante), Jojo dan kedua rekannya, separuh telanjang, ditempatkan di ruangan berkaca transparan yang terang benderang. Sedangkan, para tante duduk manis menyaksikan di ruangan lain yang temaram. Posisi mereka membelakangi kamera, paralel dengan penonton. Dengan demikian, tubuh-tubuh yang terpampang jelas-jelas di depan menjadi obyek tatapan baik para tante, maupun penonton yang berada di luar.

        Akan tetapi, erotisasi terhadap tubuh laki-laki dalam Quickie Express rupanya berjalan setengah-setengah, alias nanggung. Meski Jojo dan rekan- rekan tampak bugil sebugil-bugilnya, tubuh yang mereka pertontonkan tampak tak istimewa. Mencerminkan tubuh laki-laki kebanyakan ketimbang sebuah persona

        „ideal‟. Setidaknya ideal dengan mengekor pada macam laki- laki dengan tubuh kekar berisi sebagaimana ditampilkan majalah-majalah gay 27 28 yang diteliti Boelllstorff . Alih-alih menawarkan , Quickie

        “a perfect product” Express malah mengusung apa yang diapresiasi Lee sebagai 29 “weird and

        . Benar, di satu sisi Quickie Express dapat

        unorthodox concepts of beauty”

        menjadi wacana tandingan terhadap konsep maskulinitas atau laki-laki yang dominan. Namun, di sisi lain, kenikmatan memandang yang tadi sudah 26 terjanjikan berkat narasi dan pemosisian kamera, lalu malah berubah menjadi 27 Mulvey, Laura. Op.cit., hal: 750 Boellstorff, Tom. 2004. Zines and zones of desire: Mass-mediated love, national romance, and sexual 28 citizenship in gay Indonesia. The Journal of Asian Studies Vol. 63: 2, hal: 381; 384; 394 29 Mulvey, Laura. Op.cit., hal: 754 Lee, Maggie: http://blog.jokoanwar.com/?p=238 , diakses 7 Juli 2011)

        “Quickie Express” (Sumber: kekonyolan. Dengan sendirinya, kesan sensual (dan potensinya menjadi sebuah tontonan homoerotik) pun terpinggirkan, jika tidak hilang sama sekali.

        Tentu, dari sudut pandang subyektif, penonton aktual orang per orang, pemaknaan terhadap tubuh laki-laki akan sangat beragam. Oleh karenanya, 30 perbincangan tentang penonton ini baiknya dipilah tepat-tepat. Setidaknya, harus jelas perbedaan antara penonton yang sebenarnya dengan penonton sebagaimana diimplikasikan oleh pembahasaan kamera. Penonton yang kedua ini bukan macam penonton yang duduk manis di depan layar, akan tetapi penonton yang menyaksikan dari dalam layar. Penonton yang dibentuk 31 oleh teks film, dan hadir bersama-samaan dengan teks film itu sendiri.

        Persisnya, Mulvey, begitupun Neale, hanya sanggup hingga pembicaraan bagaimana suatu film dapat dinikmati, tanpa bersungguh- 32 sungguh mengetahui bagaimana kejadian sebenarnya di lapangan. Ini bisa jadi sebuah keterbatasan. Namun, terlalu sibuk dengan penonton dalam artian fisikal ini malah membuat teks film jadi terpinggirkan. Padahal, jumlah penonton tak membuat suatu film „lebih film‟ ketimbang film lain. Maka, yang menjadi penekanan kemudian adalah apa yang disampaikan dan dimuat di dalam teks alih-alih menelaah pencerapannya secara langsung.