BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA.

(1)

1

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penelitian

Remaja memiliki dua cara yang berbeda dalam melalui periode remaja. Pertama remaja yang berhasil menjalani periode perkembangan ini tanpa melalui masalah psikologis, sosial, atau kesehatan yang signifikan. Kedua, remaja melalui periode ini dengan berbagai masalah, di antaranya adalah meningkatnya masalah kesehatan mental, ancaman terhadap kesehatan fisik, depresi, penyalahgunaan zat-zat terlarang, kekerasan seksual, kemiskinan, dan konflik dalam keluarga (Lerner & Steinberg, 2004:263). Berbagai kendala atau peristiwa kemalangan yang terjadi pada remaja disebut adversitas (Linley & Joseph, 2004: 5).

Adversitas mengacu pada pengalaman negatif yang memiliki potensi mengganggu fungsi adaptif atau perkembangan. Pengalaman terhadap adversitas terjadi karena rusaknya kapasitas adaptif individu dengan menurunnya sistem adaptif perkembangan individu dengan konsekuensi yang permanen. Adversitas bisa termasuk adversitas akut (bencana alam), kronis (dikucilkan), muncul dalam lingkungan (konflik orang tua, kemiskinan, kekerasan), atau ada dalam diri individu itu sendiri (penyakit), pada beberapa level, adversitas berpotensi menggangu perkembangan dan adaptasi positif individu (Linley & Joseph, 2004: 5). Selain adversitas yang dijelaskan oleh Lerner & Steinberg (2004), adversitas juga dapat berupa musibah, pengalaman buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak menyenangkan, kondisi sarat resiko (high risk), stressor yang dianggap berat dan trauma.

Berkenaan dengan adversitas, ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari adversitas yang pernah dialaminya, namun ada pula individu yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau bertahan ditengah lingkungan dengan tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, hal tersebut menunjukkan adanya kemampuan tertentu dalam diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade &Frederikson, 2004:4).


(2)

2

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Joseph (Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan. Asumsi mendasar dalam studi mengenai resiliensi adalah bahwa beberapa individu tetap baik-baik saja meskipun telah mengalami situasi yang sarat adversitas dan beresiko, sementara beberapa individu lainnya gagal beradaptasi dan terperosok dalam adversitas atau resiko yang lebih berat lagi (Schoon, 2006:9).

Berbagai hasil penelitian mengenai resiliensi mengungkapkan pentingnya resiliensi dalam kehidupan. Penelitian yang dilakukan Reivich di Universitas Pennsylvania selama kurang lebih dari 15 tahun menemukan bahwa resiliensi memegang peranan yang penting dalam kehidupan, karena resiliensi merupakan faktor esensial bagi kesuksesan dan kebahagiaan (Reivich and Shatte,2002:11). Resiliensi yang menjadi program prevensi bagi anak-anak yang berada dalam risiko depresi, dapat membantu mereka mengatasi pengaruh negatif dari konflik keluarga dan rendahnya kohesi keluarga yang mereka alami sehari-hari. Dalam penelitiannya, Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan pentingnya resiliensi untuk mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil seperti keluarga yang berantakan, kehilangan orang tua, kemiskinan, diabaikan secara emosional ataupun siksaan fisik. Penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (2010) mengenai hubungan resiliensi dan kecerdasan emosional pada pengguna NAPZA menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara resiliensi dan kecerdasan emosional, semakin tinggi resiliensinya maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional yang dimiliki pengguna NAPZA.

Sehubungan dengan tingkat resiliensi remaja, beberapa penelitian menunjukkan rendahnya resiliensi yang dimiliki oleh remaja yang memiliki pengalaman terhadap adversitas. Hasil penelitian Karina (2014) mengenai profil resiliensi remaja di kota Malang dengan orang tua bercerai menunjukkan bahwa remaja dengan orang tua bercerai memiliki resiliensi yang rendah. Hasil penelitian lain yang menunjukkan rendahnya resiliensi pada individu yang mengalami


(3)

3

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

adversitas adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Apostelina (2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resiliensi pada remaja dengan adik penyandang autis yang dilaksanakan di yayasan rumah cagar autis Bekasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi remaja dengan adik autis berada pada level medium atau sedang dilihat dari dua faktor yang mempengaruhi resiliensi yakni faktor resiko (stressor, strain, distress) dan faktor protektif keluarga (relative and friend support, social support, familly hardiness, and coping-coherence).

Hasil penelitian Napitupulu (2014) mengenai tingkat resiliensi remaja panti asuhan menunjukkan bahwa remaja panti asuhan memiliki tingkat resiliensi yang berbeda yang dipengaruhi oleh latar belakang lingkungan keluarga subjek penelitian. Penelitian ini juga menunjukkan pentingnya dukungan eksternal bagi remaja yang tinggal di panti asuhan. Volia (2007) melaksanakan penelitian mengenai resiliensi pada remaja korban bencana alam di rumah anak madani. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran resiliensi berada pada kategori sedang. Ditinjau dari kemampuan-kemampuan dasar pengukurnya, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte (2002) ditemukan bahwa klasifikasi resiliensi pada remaja korban bencana alam di Rumah Anak Madani yang tertinggi hingga terendah adalah Optimisme, self efficacy, reach out, empathy, impulse control, causal analysis dan emotional regulation

Berdasarkan studi pendahuluan mengenai tingkat resiliensi pada remaja PSAA Wisma Putra Ciumbuleuit Bandung dengan menggunakan skala resiliensi terungkap bahwa mayoritas remaja PSAA Wisma Putra berada pada kategori sedang yakni sebanyak 61%, selebihnya berada dalam kategori rendah sebanyak 11%, dan kategori tinggi sebesar 28%. Mayoritas remaja PSAA yang berada pada kategori sedang menunjukkan bahwa resiliensi remaja PSAA masih belum optimal sehingga perlu ditingkatkan lagi menjadi optimal. Resiliensi sangat penting bagi remaja PSAA mengingat latar belakang remaja PSAA yang mengalami berbagai macam adversitas atau kemalangan. Di antara adversitas tersebut adalah kemiskinan, ditelantarkan, dan ditinggalkan oleh orang tua. Resiko terhadap adversitas akan menjadikan remaja sebagai siswa yang vulnerable atau


(4)

4

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

rentan baik terhadap pencapaian tugas-tugas perkembangannya atau berbagai perilaku maladaptif.

Profil resiliensi remaja PSAA Wisma Putra berdasarkan gender terungkap bahwa tingkat resiliensi pada remaja laki-laki berada pada 2 kategori, kategori resiliensi rendah sebanyak 28,6% dan kategori sedang sebanyak 71,4%. Tidak ada remaja laki-laki PSAA Wisma Putra yang berada pada kategori resiliensi tinggi. Pada remaja perempuan, 14,3% berada pada kategori resiliensi rendah, 42,9 % berada pada kategori sedang, dan 42,9% berada pada kategori tinggi. Jumlah sampel remaja perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah sampel remaja laki-laki. Remaja perempuan memiliki kategori resiliensi yang lebih bervariasi dibanding dengan resiliensi pada remaja laki-laki. Resiliensi pada remaja perempuan tersebar dalam 3 kategori yakni rendah, sedang, dan tinggi, dengan presentase terbesar pada kategori sedang. Tetapi remaja laki-laki hanya berada pada dua kategori resiliensi, yakni rendah dan sedang.

Beberapa laporan hasil survey menjelaskan bahwa rendahnya resiliensi berhubungan dengan kerentanan remaja terhadap penggunaan obat terlarang, dan berbagai bentuk kenakalan remaja. Sebuah penelitian dilakukan oleh Skeer Margie et al (2009) mengenai penyalahgunaan zat-zat kimia oleh remaja. Penelitian tersebut melibatkan 1421 responden dengan rentang usia 12 sampai 22 tahun yang terlibat dalam Project of Human Development di Chicago selama tahun 1994-2001. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa rendahnya resliensi berkorelasi signifikan dengan resiko penyalahgunaan zat-zat kimia selama masa remaja. Anak-anak yang hidup dalam keluarga dengan tingkat konflik yang lebih tinggi memiliki resiko menjadi pengguna zat-zat kimia pada masa remaja dan dewasanya kelak.

Youth Suicide prevention (2010) yang merupakan sebuah lembaga pencegahan bunuh diri di Australia menjelaskan beberapa faktor penyebab bunuh diri pada remaja Australia. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah penyakit mental, penyalahgunaan zat-zat kimia, kemalangan pada masa anak-anak, bullying, kemiskinan, dan rendahnya resiliensi remaja. Kemalangan pada anak-anak dan peristiwa traumatis dalam hidup menjadi faktor utama pendukung


(5)

5

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

terhadap tingginya tindakan percobaan bunuh diri. Di Queensland, 34 % remaja dan anak-anak yang melakukan bunuh diri mengindikasikan kemungkinan mengalami adversitas. Diantaranya adalah bullying, penyiksaan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan dalam keluarga. Faktor lain yang mendukung terhadap bunuh diri remaja Australia adalah ditelantarkan, kesendirian, kesepian, dan rendahnya harga diri

Berdasarkan berbagai penelitian empiris yang menyatakan pentingnya resiliensi bagi optimalisasi perkembangan remaja tetapi secara faktual remaja yang mengalami adversitas memiliki resiliensi yang rendah, maka diperlukan sebuah metode yang dapat meningkatkan resiliensi remaja.

B.Identifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Resiliensi merupakan faktor yang sangat penting dalam pencapaian tugas-tugas perkembangan remaja. Rendahnya resiliensi pada remaja haruslah dihadapi serius oleh berbagai kalangan, karena menurut Schoon (2006:5) rendahnya resiliensi dapat membawa pada resiko, remaja beresiko (at risk adolescence) biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable adolescence) dan remaja yang rentan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi remaja yang bermasalah (troubled adolescence). Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis (Adversitas). Joseph (Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan.

Rhodes dan Brown ( Isaacson, 2002) juga menyatakan bahwa anak-anak yang resilien adalah mereka yang mampu memanipulasi dan membentuk lingkungannya, menghadapi tekanan hidup dengan baik, cepat beradaptasi pada situasi baru, mempersepsikan apa yang sedang terjadi dengan jelas, fleksibel dalam berperilaku, lebih toleran dalam menghadapi frustasi dan kecemasan, serta meminta bantuan saat mereka membutuhkannya. Sementara itu, Werner dan Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas


(6)

6

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahan-kelemahan mereka maupun stres eksternal (misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga). Demikian pula Hetherington dan Blechman ( Isaacson, 2002) menyatakan bahwa orang yang resilien menunjukkan kemampuan adaptasi yang lebih dari cukup ketika rnenghadapi kesulitan.

Terdapat beberapa pendekatan dan metode yang digunakan yang telah terbukti dapat meningkatkan resiliensi. Seperti George Spivack dan Shur yang menggunakan Interpersonal Cognitive Problem Solving (ICPS) untuk membantu individu mengatasi tekanan, frustasi, dan kegagalan dalam hidup (Goldstein & Brooks, 2005: 373). Contoh bagaimana pendekatan problem solving dapat membantu penyesuaian anak dan perkembangan resiliensi yang berada dalam resiko tinggi dilakukan dengan membuat ilustrasi perilaku beresiko tinggi di kelas seperti impulsitas setiap hari. Anak-anak yang memiliki kemampuan problem solving yang baik akan mengembangkan keterampilan interpersonal yang efektif, seperti punya banyak teman dan memiliki kadar frustasi yang lebih rendah. Anak-anak yang dapat merencanakan tindakannya yang positif memiliki kemampuan yang lebih baik untuk mengontrol kehidupannya daripada membiarkan orang lain mengatur kehidupannya. Pada awal tahun 1970an, Shur dan Spivack memulai intervensi keterampilan ICPS yang sistematik dengan anak usia 4 tahun.

Pendekatan ini mengajarkan anak bagaimana memikirkan cara yang akan mengatasi masalah sehari-hari. Pelatihannya berisi permainan dan dialog, didalamnya termasuk keterampilan berbahasa, kata-kata yang mengungkapkan perasaan, dan keterampilan alternatif solusi. Dalam 3 bulan pelatihan, anak-anak mampu menurunkan impulsitas dalam menghadapi frustasi dan peningkatan kesabaran. Secara sosial, anak-anak yang menarik diri dapat lebih terbuka, lebih mampu mengungapkan perasaannya, dan mampu menurunkan ketakutan pada anak-anak (Goldstein & Brooks, 2005: 380).

Pearson (2007) menggunakan konseling ekspresif untuk meningkatkan reiliensi remaja di Australia. Konseling ekspresif merupakan konseling yang melibatkan drama, musik, dan literatur dalam proses konseling. Aspek


(7)

7

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

resiliensi yang dikembangkan dengan menggunakan konseling ekspresif adalah fungsi kognitif dan emosional, resolusi konflik, dan kemampuan mereduksi stres pada individu. Teknik ini mampu meningkatkan resiliensi remaja di Australia karena mampu mengeksplorasi nilai-nilai positif dalam diri konseli, mengembangkan kesadaran dan kepedulian terhadap orang lain, meningkatkan kemampuan intrapersonal, mengembangkan image baru mengenai diri, dan membantu konseli dalam mengaktifkan imaginasi dan pilihan dalam membuat keputusan.

Dari sekian banyak teori dan pendekatan konseling atau psikoterapi salah satu teori atau pendekatan yang dianggap sesuai untuk meningkatkan resiliensi adalah pendekatan kognitif melalui teknik bibliocounseling. Bibliocounseling menggunakan pikiran rasional untuk mengubah individu menjadi agen aktif lingkungan yang mampu menghadapi kesulitan hidup dan berbagai peristiwa adversitas. Berpikir rasional berarti berpikir ilmiah, jelas dan fleksibel yang dapat membantu pencapaian tujuan hidup, proses berpikir rasional juga dapat membawa pada peningkatan resiliensi diri, determinasi diri dan kompetensi diri. Teknik ini dapat digunakan terhadap konseli dengan isu yang bermacam-macam, diantaranya adalah konseli dengan penyakit tertentu, kematian keluarga dekat, perilaku merusak diri sendiri, hubungan keluarga, krisis identitas, kekerasan etnis dan kekerasan seksual, berbagai isu gender, siswa dengan kecemasan terhadap pelajaran matematika, isu body image, penyimpangan seksual, dan remaja dengan orang tua bercerai (Bradley, 2010).

Penelitian mengenai efektivitas bibliocounseling dalam meningkatkan resiliensi dilakukan oleh Songprakun (2009). Penelitian ini melibatkan 56 partisipan yang didiagnosis mengalami depresi di Thailand. Kelompok treatmen diberikan intervensi bibiliocounseling, sedangkan kelompok kontrol diberikan treatmen dan perawatan standar. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dalam tingkat resiliensinya. Penemuan ini memberikan bukti bahwa bibliocounseling efektif dalam meningkatkan resiliensi individu dengan depresi menengah di Thailand.


(8)

8

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Bibliocounseling merupakan salah satu intervensi yang jelas dan sangat mudah untuk diakses dalam meningkatkan pemulihan individu dan meningkatkan resiliensi. Penelitian bibliocounseling terdahulu lebih fokus pada membantu remaja yang memiliki masalah orang tua bercerai, bunuh diri, dan orang tua yang pecandu alkohol. Perkembangan terbaru bibliocounseling lebih fokus pada meningkatkan keterampilan sosial, perilaku yang positif dan efektif, serta meningkatkan kemampuan remaja untuk mengatasi masalah (Karacan, 2009: 24).

Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa bibliocounseling merupakan salah satu teknik yang terbukti efektif dalam meningkatkan resiliensi. Bibliocounseling adalah salah satu teknik dalam konseling yang berasal dari rumpun cognitif behavioral therapy yang melibatkan berbagai metode dalam proses konseling. Metode yang dimaksud diantaranya adalah membaca buku, mendengarkan cerita dan menonton film. Pemilihan bibliocounseling untuk meningkatkan resiliensi remaja berdasarkan latar belakang bibliocounseling yang seringkali digunakan dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan persitiwa trauma atau masalah pengalaman terhadap peristiwa yang tidak menyenangkan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, terlihat pentingnya resiliensi bagi remaja yang memiliki pengalaman adversitas karena dampak rendahnya resiliensi yang akan menempatkan remaja pada posisi at risk adolescence. Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini adalah dibutuhkannya penanganan yang tepat bagi remaja dengan resiliensi yang rendah. Berdasarkan rumusan masalah, maka pertanyaan penelitan dalam tesis ini adalah:

a. Bagaimana efektivitas teknik bibliocounseling dalam meningkatkan resiliensi remaja PSAA Wisma Putra?

b. Teknik bibliocounseling apa (membaca buku, menonton film, dan mendengarkan cerita) yang paling efektif dalam meningkatkan resiliensi remaja Panti Asuhan?


(9)

9

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

C.Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Memperoleh gambaran empirik mengenai efektivitas bibliocounseling dalam meningkatkan resiliensi remaja PSAA Wisma Putra

2. Memperoleh gambaran empirik mengenai teknik bibliocounseling (membaca buku, menonton film, mendengarkan cerita) yang paling efektif dalam meningkatkan resiliensi remaja PSAA Wisma Putra.

D.Manfaat penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, di antaranya adalah siswa atau remaja Panti Asuhan, pengurus Panti Asuhan, Guru bimbingan dan konseling serta para peneliti.

1. Siswa Panti Asuhan

Manfaat penelitian “Efektivitas bibliocounseling untuk Meningkatkan

Resiliensi Remaja” bagi remaja Panti Asuhan di antaranya adalah siswa Panti

Asuhan mendapatkan sebuah layanan yang dapat mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan kesehatan psikologis para remaja di Panti Asuhan. Penelitian ini akan menjembatani pengungkapan berbagai masalah perkembangan yang dialami oleh remaja Panti Asuhan mengingat bibliocounseling yang secara natural tidak hanya mampu meningkatkan resiliensi saja tetapi juga aspek-aspek yang mendukung optimaslisasi perkembangan remaja Panti Asuhan lainnya.

2. Pengurus Panti Asuhan

Penelitian ini dapat menghasilkan sebuah alternatif layanan bagi pengurus Panti Asuhan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi siswanya terutama masalah yang berkaitan dengan karakteristik remaja Panti Asuhan seperti trauma. Dengan penggunaan media yang mudah didapatkan dan langkah-langkah teknik yang jelas akan sangat mempermudah pengurus Panti Asuhan dalam melaksanakan teknik ini.


(10)

10

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Guru bimbingan dan konseling atau konselor disekolah dapat memanfaatkan hasil studi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan terkait berbagai teori dan pendekatan dalam konseling, sebagai referensi dalam melaksanakan layanan responsif terkait dengan peningkatan resiliensi. Mengingat remaja Panti Asuhan adalah siswa di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

4. Penelitian Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi terkait resiliensi dan bibliocounseling sebagai salah satu teknik bagi peningkatan resiliensi remaja panti asuhan.

E.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis adalah sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB II BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN


(11)

11

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu


(12)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab tiga menjelaskan metodologi penelitian yang terdiri atas pendekatan penelitian, metode penelitian, lokasi dan subjek penelitian, definisi operasional variabel, pengembangan instrumen penelitian, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

A.Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pemilihan pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui teknik bibliocounseling mana yang paling efektif dalam meningkatkan resiliensi remaja Panti Asuhan. Creswell (2012:13) menyatakan bahwa penggunaan pendekatan kuantitatif haruslah terlebih dahulu memenuhi langkah-langkah yang disyaratkan dalam pendekatan ini, diantaranya adalah: 1. Penjelasan mengenai masalah penelitian melalui deskripsi tren atau

kebutuhan hubungan antara variabel.

2. Penjelasan mengenai tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, dan hipotesis yang spesifik, tajam, terukur dan dapat diobservasi.

3. Pengumpulan data menggunakan instrumen yang sesuai

4. Mengenalisis kecenderungan hasil penelitian dengan menghubungkan variabel penelitian menggunakan data statistik dan menginterpretasi hasilnya serta membandingkan dengan penelitian terdahulu dan prediksi awal (hipotesis).

B.Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan desain Latin-Square jenis within-subject (Heppner, 1992: 168). Desain ini dipilih untuk menjamin bahwa treatment untuk


(13)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

meningkatkan resiliensi siswa Panti Asuhan disajikan secara seimbang dengan frekuensi yang sama.

Tabel 3. 1

Skema Penelitian Dengan Desain Latin Square

KELOMPOK ASPEK

I HAVE I AM I CAN

A Membaca Buku Story telling Menonton film B Menonton Film Membaca Buku Story telling C Story telling Menonton film Membaca buku

C.Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma Putra Bandung yang beralamat di Jalan Ciumbuleuit No. 105 RT 006 RW 02, Ciumbuleuit, Cidadap, Bandung, Jawa Barat yang melibatkan 21 remaja PSAA Wisma Putra sebagai subjek penelitian dan diberikan intervensi bibliocounseling yakni membaca buku, mendengarkan cerita dan menonton film.

Pemilihan populasi penelitian remaja PSAA Wisma Putra Bandung berdasarkan pertimbangan berikut ini:

1. Remaja merupakan salah satu periode dalam perkembangan yang dianggap sangat penting dan berpengaruh besar terhadap perkembangan individu. Masa remaja adalah periode transisi atau perubahan dari masa kanak- kanak ke masa dewasa. Masalah yang terkait dengan periode transisi ini diantaranya masalah pribadi, sosial, dan munculnya berbagai perilaku maladaptif atau salah suai.

2. Remaja merupakan periode setelah masa kanak-kanak yang masih memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan kapasitas resiliensinya dalam rangka persiapan menghadapi tantangan hidup di masa depan.

3. Remaja PSAA (Panti Sosial Asuhan Anak) merupakan remaja dengan latar belakang adversitas (kemalangan). Kemalangan yang dialami diantaranya


(14)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

kemiskinan, kehilangan orang tua, dan ditelantarkan. Remaja PSAA dengan adversitas adalah karakteristik sampel yang sesuai dengan tujuan penelitian ini.

4. Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma Putra merupakan salah satu panti sosial dengan salah satu kategori siswanya adalah remaja. PSAA Wisma Putra memberikan kesempatan kepada para akademisi dan praktisi untuk mengembangkan keilmuan dan membantu siswa PSAA Wisma Putra untuk mendapatkan keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkannya.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan random sampling, yaitu strategi pemilihan sampel yang memberikan kesempatan kepada semua remaja PSAA Wisma Putra untuk menjadi sampel (Creswell,2012:208).

D.Definisi Operasional Variabel

Berdasarkan identifikasi masalah, penelitian ini memiliki dua variabel, yakni 1) Variabel bebas, yaitu teknik bibliocounseling. 2) variabel terikat, yaitu resiliensi remaja Panti Asuhan. Variabel bebas (independent variable) berfungsi sebagai strategi fasilitasi pengembangan resiliensi, sedangkan variabel terikat berfungsi sebagai perilaku sasaran.

Berikut penjelasan definisi operasional kedua variabel tersebut: 1. Resiliensi Remaja

Resiliensi remaja dalam penelitian ini merupakan kapasitas internal yang dimiliki remaja PSAA Wisma Putra Bandung yang berfungsi untuk mencegah, menghadapi dan meminimalisir dampak negatif dari adversitas atau kondisi yang tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidup remaja, kapasitas yang dimaksud adalah:

a. I have, yakni faktor pembentuk resiliensi yang menggambarkan dukungan eksternal dalam meningkatkan resiliensi.


(15)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

c. I can, yakni kemampuan yang dimiliki Remaja PSAA Wisma Putra untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai setingan kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya.

2. Bibliocounseling

Bibliocounseling yang dimaksud dalam penelitian ini adalah serangkaian kegiatan pemberian bantuan dari konselor atau peneliti kepada konseli atau remaja PSAA Wisma Putra Bandung. Bantuan yang diberikan melibatkan 3 teknik bibliocounseling yakni membaca buku, mendengarkan cerita, dan menonton film yang diberikan dalam setingan kelompok. Membaca buku dalam penelitian ini adalah kegiatan memahami bacaan dalam bentuk novel (Sepatu Dahlan, Surat Kecil untuk Tuhan, dan Ibuk) dengan mengobservasi kisah, alur cerita, peristiwa, dan karakteristik tokoh, dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel tersebut yang dilanjutkan dengan sesi konseling kelompok. Menonton film dalam penelitian ini adalah kegiatan memahami isi film (Laskar Pelangi) dengan mengobservasi kisah, alur cerita, peristiwa, karakteristik tokoh, dan nilai-nilai dalam film tersebut yang dilanjutkan dengan sesi konseling kelompok. Mendengarkan cerita dalam penelitian ini adalah kegiatan memahami sebuah cerita (Pahlawan itu Bernama Putri Herlina) dengan mengobservasi kisah, alur cerita, peristiwa, karakteristik tokoh, dan nilai-nilai yang ada dalam cerita tersebut yang dilanjutkan dengan sesi konseling kelompok.

E.Instrumen Penelitian 1. Jenis Instrumen

Instrumen merupakan alat bantu yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data agar pengumpulan data berlangsung secara sistematis dan mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel secara objektif. Untuk mengungkap resiliensi remaja, peneliti menggunakan


(16)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

instrumen resiliensi yang dibagi ke dalam 3 buah instrumen yang masing-masing mengungkap aspek resiliensi, yakni instrumen yang mengungkap I have, Instrumen yang mengungkap I am, dan Instrumen yang mengungkap I can. Ketiga instrumen tersebut menggunakan skala likert dengan pilihan jawaban partisipan dimulai dari Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai secara berurutan ,4,3,2,1. Alasan penggunaan instrumen dengan skala likert adalah karena skala likert mampu mengungkap tingkat resiliensi secara lebih terperinci dan jelas mengenai resiliensi remaja PSAA Wisma Putra Bandung. Penggunaan pilihan jawaban partisipan 4-1 dimaksudkan untuk mengungkap jawaban yang lebih tegas dari partisipan dengan menghilangkan pilihan jawaban yang ragu-ragu.

2. Pengembangan Kisi-Kisi Instrumen

Instrumen dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian yakni aspek I have, I am, dan I can. Masing-masing aspek dibagi lagi ke dalam beberapa indikator dan selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pernyataan item instrumen. Berikut disajikan kisi-kisi instrumen skala resiliensi remaja

Tabel 3.2

Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I have

Indikator Sub indikator No Item Jumlah

Memiliki kepercayaan terhadap hubungan

Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan terhadap hubungan dengan keluarga dekat

1,2,3 3 Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan

terhadap hubungan dengan guru atau pengasuh

4,5,6 3 Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan

terhadap hubungan dengan teman

7,8,9 3 Memiliki

struktur dan aturan di Panti Asuhan

Remaja penti asuhan mengetahui dan memahami struktur Panti Asuhan

10,11,12, 3 Remaja Panti Asuhan memahami punishment

sebagai bagian dari pelanggaran terhadap aturan


(17)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Remaja Panti Asuhan memahami reward sebagai bagian dari kepatuhan

16,17,18 3 Memiliki role

model

Remaja Panti Asuhan memiliki role model atau seseorang yang dijadikan teladan dalam hidupnya

19,20,21, 22

4

Remaja Panti Asuhan memiliki role model atau seseorang yang dijadikan teladan dalam hidupnya di sekitar Panti Asuhan

23,24,25 3

Memiliki dorongan untuk mandiri

Remaja Panti Asuhan memiliki motivasi untuk menjadi individu yang mandiri

26,27 2

Memiliki akses pada

kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan

Remaja Panti Asuhan memiliki akses terhadap kesehatan

28,29,30, 31

4 Remaja Panti Asuhan memiliki akses terhadap

pendidikan

32,33 2 Remaja Panti Asuhan memiliki akses terhadap

kesejahteraan

34,35 2 Remaja Panti Asuhan memiliki akses terhadap

layanan keamanan

36,37,38 3

Tabel 3. 3

Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I am

Indikator Sub indikator No Item Jumlah

Perasaan dicintai

Remaja Panti Asuhan merasa dicintai dan disukai oleh orang disekitarnya

1,2,3 3

Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan sensitif terhadap perasaan orang lain

4,5,6,7,8 5 Remaja Panti Asuhan mengetahui apa yang

diharapkan orang lain darinya.

9,10,11,12 4 Mencintai,

empati, dan altruis

Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan mencintai terhadap orang lain

13,14 2

Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan empati terhadap orang lain

15,16,17,18 4 Remaja Panti Asuhan memiliki perasaan

altruis terhadap orang lain

19,20,21 3 Memiliki

kebanggaan pada diri sendiri

Remaja Panti Asuhan merasa dirinya penting dan berharga bagi orang lain

22,23,24,25 4 Remaja Panti Asuhan memiliki kebanggaan

terhadap apa yang dapat dia lakukan dan capai

26,27,28, 3

Remaja Panti Asuhan tidak membiarkan dirinya direndahkan oleh orang lain.


(18)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Remaja Panti Asuhan menunjukkan kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi ketika memiliki masalah

32,33,34 3

Memiliki kemandirian dan

tanggungjawab

Remaja Panti Asuhan dapat melakukan satu hal dengan caranya sendiri

35,36,37 3 Remaja Panti Asuhan mampu menerima

konsekuensi dari perilakunya.

38,39 2

Remaja Panti Asuhan memahami keterbatasan yang dimilikinya dalam menghadapi satu peristiwa

40,41,42,43 4

Memiliki harapan, keyakinan, dan kepercayaan

Remaja Panti Asuhan memiliki harapan akan kehidupan yang lebih baik

44,45,46,47 4 Remaja Panti Asuhan memiliki kepercayaan

dan keyakinan akan kuasa tuhan

48,49,50,51,52 5

Tabel 3. 4

Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja Aspek I can

Indikator Sub indikator No Item Jumlah

Kemampuan komunikasi

Remaja Panti Asuhan mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya terhadap orang lain

1,2,3,4 4

Remaja Panti Asuhan mampu menjadi pendengar yang baik bagi orang lain

5,6 2

Remaja Panti Asuhan mampu menunjukkan kepedulian terhadap perasaan orang lain

7,8 2

Kemampuan pemecahan masalah

Remaja Panti Asuhan dapat menilai berat atau ringan masalah yang dihadapi

9,10,11,12 4 Remaja Panti Asuhan dapat menilai

kemampuan yang dimiliki dalam menghadapi masalah

13,14,15 3

Remaja Panti Asuhan mengetahui saat yang tepat untuk meminta bantuan orang lain dalam pemecahan masalah

16,17,18 3

Remaja Panti Asuhan memiliki kemampuan untuk meminta bantuan orang lain dalam pemecahan masalah

19,20,21 3


(19)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

solusi yang kreatif dari permasalahan yang dihadapinya

Remaja Panti Asuhanmemiliki ketahanan dalam mengatasi masalah yang dimilikinya

24,25 2

Kemampuan Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan

Remaja Panti Asuhan dapat mengidentifikasi (menamai) perasaannya ketika menghadapi masalah atau peristiwa tidak menyenangkan

26 1

Remaja Panti Asuhan mampu mengekspresikan emosinya dalam kata-kata dan perilaku yang tepat dan tidak mengganggu hak orang lain

27,28,2930 4

Remaja Panti Asuhan mampu mengelola dorongan untuk tidak berperilaku dalam cara yang berbahaya dalam menghadapi masalah/peristiwa (memukul, lari, merusak, dan lain-lain )

31,32,33 3

Kemampuan mengetahui emosi diri sendiri dan orang lain.

Remaja Panti Asuhan mengetahui tempramen dirinya dan orang lain

34,35 2

Remaja Panti Asuhan mengetahui seberapa cepat dapat bertindak dalam menghadapi situasi atau masalah

36,37,38 3

Remaja Panti Asuhan mengetahui seberapa banyak masalah yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu

39,40 2

Menjalin hubungan yang dapat dipercaya.

Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dipercaya (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)

41,42,43 3

Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dimintai bantuan (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)

44,45,46 3

Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi perasaan, (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)

47,48,49 3

Remaja Panti Asuhan memiliki seseorang yang dapat dimintai bantuan untuk mengeksplorasi cara mengatasi masalah personal dan interpersonal (guru, teman, pengasuh, orang dewasa lainnya)


(20)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

3. Uji Coba Instrumen a. Uji Kelayakan

Uji kelayakan instrumen dilakukan untuk melihat kesesuaian antara konstruk, konten/isi, dan redaksi instrumen dengan landasan teoritis, ketepatan bahasa, dan karakteristik subjek yang menjadi responden atau yang lebih dikenal dengan penimbangan (judgement) instrumen. Judgement dapat juga berfungsi sebagai uji validitas internal instrumen. Ketiga instrumen tersebut masing instrumen aspek I have memiliki 6 indikator dengan 38 butir pernyataan instrumen, instrumen aspek I am memiliki 5 indikator dengan 51 butir pernyataan, dan instrumen aspek I can memiliki 5 indikator dengan 52 butir pernyataan.

Penimbangan (judgment) dilakukan terhadap dua orang pakar bimbingan dan konseling dan satu orang pakar assessmen psikologis, yaitu Dr. Nurhudaya M,Pd (4 april 2014), Dr. Suherman M,Pd (29 April 2014) dan satu orang praktisi Panti AsuhanFauzi S,Sos, (29 April 2014). Berdasarkan hasil judgment, terdapat beberapa indikator yang ambigu, pernyataan instrumen yang tidak sesuai dengan indikator yang dimaksud, serta jumlah pernyataan yang tidak seimbang. Berdasarkan penimbangan instrumen penelitian, masing-masing pernyataan dikelompokkan dalam kualifikasi memadai (M) atau tidak memadai (TM). Kategori antara memadai atau tidak memadai sebuah instrumen dilihat dari konstruk instrumen, konten/isi instrumen, dan redaksi instrumen tersebut. Pernyataan yang berkualifikasi memadai (M) dapat langsung digunakan sebagai butir item dalam instrumen penelitian sementara pernyataan yang berkualifikasi tidak memadai (TM) perlu direvisi dan diperbaiki.

b. Uji Keterbacaan

Uji keterbacaan dimaksudkan untuk mengukur sejauh mana instrumen dapat difahami oleh responden. Melalui uji keterbacaan ini dapat diketahui kata-kata yang kurang dipahami serta kalimat yang rancu dan kurang jelas sehingga butir pernyataan dalam instrumen dapat


(21)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

disederhanakan tanpa mengubah maksud dari pernyataan tersebut. Uji keterbacaan instrumen dilakukan 3 orang remaja Panti Asuhan PSAA Wisma Putra yang bukan merupakan sampel penelitian. Setelah dilakukan uji keterbacaan, butir pernyataan instrumen yang kurang jelas diperbaiki sesuai kebutuhan sehingga dapat dimengerti oleh responden usia remaja baru kemudian dilakukan uji validitas butir pernyataan dan uji reliabilitas instrumen.

c. Uji Validitas Butir Instrumen

Instrumen yang valid adalah alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data yang valid dan dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur. Semakin tinggi nilai validitas, semakin valid instrumen tersebut digunakan di lapangan. Uji coba instrumen penelitian dilaksanakan terhadap siswa yang bukan subjek penelitian sebenarnya, namun memiliki karakteristik yang relatif sama dengan subjek penelitian yang sebenarnya. Untuk keperluan uji coba instrumen penelitian, diambil responden sebanyak 30 orang siswa panti dari usia remaja Langkah uji validitas butir pernyataan dilakukan dengan menggunakan teknik pengolahan statistik yakni korelasi spearmen. Penghitungan validitas butir pernyataan dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 18.0 for windows.

Berdasarkan hasil penghitungan, terdapat butir item pernyataan yang tidak valid. Untuk instrumen I have yang awalnya berjumlah 38 butir item menjadi 30 butir pernyataan, instrumen I am yang awalnya jumlahnya 52 menjadi 45 item valid, Instrumen I can yang awalnya berjumlah 52 menjadi 39 item valid.

d. Uji Reliabilitas Instrumen

Suatu instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang memadai apabila digunakan mengukur aspek yang hendak diukur beberapa kali hasilnya sama atau relatif sama. Instrumen yang dapat dipercaya akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Reliabilitas berkenaan


(22)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

dengan tingkat keajegan atau ketetapan hasil pengukuran (Syaodih, 2005). Reliabilitas instrumen secara operasional dinyatakan sebagai koefisien korelasi (r) (Suryabrata, 1999:41). Untuk mengetahui tingkat reliabilitas instrumen dilakukan pengujian dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha(α).

Proses pengujian reliabilitas instrumen ini dilakukan secara statistik memakai bantuan perangkat lunak SPSS 18.0 for windows. Guilford (1954; dalam Furqon, 1999) menyatakan harga reliabilitas berkisar antara -1 sampai dengan +1, harga reliabilitas yang diperoleh berada di antara rentangan tersebut. Semakin tinggi harga reliabilitas instrumen maka semakin kecil kesalahan yang terjadi, semakin rendah harga reliabilitas instrumen maka semakin besar kesalahan yang terjadi. Sebagai tolak ukur koefisien reliabilitasnya, digunakan kriteria dari Guilford (Subino, 1987), yaitu:

< 0,20 : Derajat keterandalannya sangat rendah 0,21 - 0,40 : Derajat keterandalannya rendah 0,41 – 0,70 : Derajat keterandalannya sedang 0,71 – 0,90 : Derajat keterandalannya tinggi

0,91 – 1,00 : Derajat keterandalannya sangat tinggi

Berdasarkan uji reliabilitas instrumen, maka reliabilitas masing-masing instrumen dari mulai 1 have, I am dan I can berturut-turut 0,79, 0,81, dan 0,75 yang semuanya berada dalam kategori tinggi (hasil terlampir).

F. Prosedur Penelitian

Prosedur dalam penelitian ini meliputi tiga tahap, yakni persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan pembuatan laporan penelitian. Persiapan penelitian meliputi pembuatan instrumen resiliensi remaja yang terdiri dari tiga instrumen, yakni instrumen I have, I am, dan I can dan


(23)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

penyusunan program intervensi bibliocounseling untuk meningkatkan resiliensi remaja. Pada tahap pelaksanaan, peneliti melaksanakan intervensi yang meliputi pre test, pelaksanaan intervensi bibliocounseling (membaca buku, mendengarkan cerita, menonton film) dan post test. Pada tahap terakhir yakni pembuatan laporan penelitian, peneliti melaporkan setiap tahapan penelitian dari mulai persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan hasil penelitian dalam bentuk karya ilmiah (tesis).

G.Teknik Analisis Data penelitian

Untuk mengetahui efektivitas setiap sesi intervensi yakni efektivitas teknik tertentu pada aspek resiliensi tertentu maka digunakanlah uji t berpasangan (paired t-test). Untuk mengetahui adanya perbedaan pengaruh tiap teknik terhadap aspek resiliensi maka digunakanlah analisis statistik one way anova, dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh setiap teknik terhadap aspek resiliensi maka digunakan uji post hoc. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 21.0.


(24)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pada bab lima dijelaskan mengenai kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan merupakan kombinasi dari temuan empiris dan kajian pustaka. Sementara rekomendasi difokuskan pada upaya untuk mensosialisasikan dan mengaplikasikan hasil penelitian serta pengembangan keilmuan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, teknik membaca buku memiliki skor rata-rata yang lebih tinggi dalam meningkatkan ketiga aspek resiliensi diikuti dengan teknik menonton film dan mendengarkan cerita. Aspek resiliensi yang memiliki rata-rata tertinggi adalah aspek aspek I can dengan indikator kemampuan berkomunikasi secara interpersonal maupun intrapersonal, kemampuan problem solving, kemampuan mengelola perasaan dan rangsangan, kemampuan mengetahui emosi diri dan orang lain, kemampuan untuk menjalin hubungan yang dapat dipercaya, diikuti oleh aspek I am dengan indikator perasaan dicintai, mencintai, altruis, memiliki kebanggaan pada diri sendiri, memiliki harapan dan tanggung jawab, memiliki kepercayaan, harapan dan keyakinan kepada tuhan, dan yang terakhir adalah aspek I have dengan indikator memiliki hubungan yang terpercaya, memiliki role model, memiliki struktur dan aturan di panti asuhan, memiliki dorongan untuk menjadi individu yang mandiri, serta mengetahui akses terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.

B. Rekomendasi

Berdasarkan pembahasan hasil dan kesimpulan penelitian, rekomendasi utama dari penelitian ini adalah mengenai bibliocounseling untuk meningkatkan resiliensi remaja. Rekomendasi ditujukan kepada berbagai pihak terkait, khususnya bagi pimpinan lembaga-lembaga sosial seperti Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA), lembaga pendidikan/sekolah, konselor sekolah/guru bimbingan


(25)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

dan konseling, civitas akademika di program studi bimbingan dan konseling serta peneliti selanjutnya.

1. Lembaga Sosial (PSAA)

Lembaga sosial seperti Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) Wisma Putra merupakan lembaga yang diberikan amanah oleh pemerintah yang terjun langsung dalam menangani, mendidik, dan membimbing anak dan remaja yang kurang beruntung. Selain menyediakan kebutuhan dasar bagi siswa seperti kebutuhan dasar sandang, pangan dan papan, PSAA diharapkan mampu memfasilitasi perkembangan positif remaja dalam berbagai aspek. Mengingat remaja PSAA Wisma Putra adalah remaja denga latar belakang adversitas (kemiskinan, ditinggalkan orang tua, ditelantarkan), maka PSAA hendaknya menyediakan sebuah bantuan dalam menyembuhkan aspek psikologis yang diakibatkan oleh adversitas dan memelihara perkembangan kesehatan psikologis para siswa. Salah satunya adalah dengan menyediakan intervensi psikologis yang berkelanjutan. Bibliocounseling merupakan sebuah intervensi yang cukup efisien dan mudah dilaksanakan. Kemudahan tersebut dilihat dari material intervensi dan tidak adanya persyaratan khusus bagi pelaksana intervensi sehingga pelaksanaannya tidak memerlukan ahli tertentu dan bisa dilaksanakan oleh pengurus panti.

2. Konselor atau Guru Bimbingan dan Konseling

Remaja PSAA Wisma Putra adalah siswa siswi di sekolah formal, mereka menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berbagai kegiatan akademik di sekolah. oleh karena itu, konselor atau Guru bimbingan dan konseling adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam membantu perkembangan remaja PSAA. Konselor sekolah atau Guru bimbingan dan konseling memiliki tanggungjawab etis untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di sekolah tersebut sampai level tertinggi. Resiliensi merupakan kemampuan yang dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk menghadapi berbagai tantangan dan tekanan serta menghindarkan siswa dari kemungkinan untuk mengalami gangguan emosional ataupun keterlibatan dalam perilaku bermasalah.


(26)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Penelitian ini menghasilkan program intervensi bibliocounseling untuk meningkatkan resiliensi remaja berikut pedoman pelaksanaan dan satuan layanannya. Program intervensi tersebut dapat direkomendasikan bagi konselor sekolah atau Guru bimbingan dan konseling agar dapat diintegrasikan kedalam komponen-komponen model bimbingan dan konseling komprehensif, sehingga intervensi dapat disampaikan dalam bentuk layanan dasar, layanan responsif, perencanaan individual serta dukungan sistem.

3. Civitas Akademika Bimbingan dan Konseling

Para civitas akademika bimbingan dan konseling hendaknya membekali diri dengan kemampuan teoritis dan praktis. Keterampilan konseling merupakan salah satu keterampilan yang memadukan penguasaan teoritis dan keterampilan praktis yang sangat penting untuk dikuasai mengingat layanan konseling merupakan salah satu inti dari layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Kajian resiliensi merupakan salah satu kajian penting yang harus difahami oleh konselor atau guru bimbingan dan konseling mengingat resiliensi adalah salah satu konsep psikologi positif yang dapat membantu siswa mencapai perkembangan optimal. Hal ini sesuai dengan tugas pokok guru bimbingan dan konseling atau konselor yakni memfasilitasi perkembangan peserta didik yang optimal dalam rangka mencapai tugas-tugas perkembangannya.

4. Peneliti selanjutnya

Selama pelaksanaan penelitian di PSAA Wisma Putra, peneliti menemukan masih terdapat beberapa siswa yang menunjukkan reaksi yang berlebihan yang menunjukkan masih adanya trauma psikologis terhadap adversitas yang pernah dialaminya. Oleh karena itu peneliti sangat merekomendasikan bagi peneliti selanjutnya untuk memberikan intervensi yang lebih spesifik dan mendalam. Salah satunya dengan design single subjek dengan intervensi konseling kognitif dengan aspek intervensi yang lebih spesifik.


(27)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. (2005). Standar Kompetensi Konselor. Bandung: ABKIN.

Al Siebert. (2005). The Resiliency Advantage : Master Change, Thrive Under Pressure, and Bounce Back from Setbacks. California : Berrett-Koehler Publishers, Inc

Al-Zastrouw: 2013. Strategi Kultural Menumbuhkan Budaya Baca; Perspektif

Sosiologi. (Online). Tersedia di

http://rumahbacakomunitas.blogspot.com/2013/04/strategi-kultural menumbuhkan-budaya.html.(4 Agustus 2014)

Apostelina, Eunike. 2014. Resiliensi Keluarga pada Keluarga yang Memiliki Anak Autis. Skripsi pada Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta: Tidak Diterbitkan.

Anesty, E. (2012). Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk meningkatkan Resiliensi Remaja. Tesis pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Abdullah, M. (2002) Bibliotherapy ( report No. EDO-CS-02-08) Washington, D.C; Office of Educational Research and Improvement. (Eric Document

Reproduction Service No. ED00036)

BKKBN. (2010). Faktor Penyebab Remaja Terlibat Narkoba. (Online). Tersedia: http://www.bkkbn.go.id (Diakses: 29-1-2014)

Borkowski et al. (2007). Risk and Resilience: Adolescent Mothers and Their Children Grow Up. London: Lawrence Erlabum Associates Publisher Bradley. (2010). 35 Techniques every Counselor Should Know. Ohio : Pearson

Education

Breen, P.M & Anderies, J.M. (2011). Resilience: A Literature Review. Arizona State University, New York : Tidak Diterbitkan

Burk, Herbert, M dan Stefflre, Bufford, (1979), Theories of Counseling, New York : McGraw-Hill Book Company.

Campbell, Marilyn. (2007). Promoting resilience through the use of books in the classroom In Primary and Middle Years Educator. Queensland University of Technology: Tidak Diterbitkan.


(28)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Cavanagh, Michael. & Levitov, Justin E. The Counseling Experience, A Theoritical and Practical Approach. Second Adition. United State of America: Waveland Press, Inc.

Chen, J. D. & George, R. A. (2005). Cultivating Resilience in Children From Divorced Families. Retrieved March 16 2008 from SAGE Publications website Tersedia :http:// www.sagepublications.com. (10 Desember 2013) Corey, G. (2007). Teori dan Praktek Konseling. Bandung: PT Refika Aditama. Creswell, Jhon.(2012). Educational Research, Planning, Conducting and

Evaluating Quantitative and Qualitatif Research. New York: Pearson Education.

Departemen Pendidikan dan kubudayaan/Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.

Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Divinyi, Joyce E. (1995). Storry Telling: An Enjoyable and Effective Teurapeutic

Tool: New York: Tidak Diterbitkan

Eliasa, Eva Imania dkk.(2007).Bibliotherapy Bertema Karir Untuk Meningkatkan Motivasi Karir Pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling. Laporan Hasil Penelitian.Yogyakarta. FIP UNY: Tidak Diterbitkan

Fawzy N & Fouad A. (2010). Psychosocial and Development Status of Orphanage Children: Epidemiological Study. Journal of Psychiatric Zagajig University. 17, (2), 91-100.

Fergus, Stevenson & Zimmerman, Marc A. (2004). Adolescent Resilience: A Framework for Understanding Healthy Development in the Face of Risk. Journal of Public Health. Oktober 2004. 26, 399–419.

Forgan, James. (2002). Using Bibliotherapy to teach Problem Solving. Journal of Psychology 2002. 75, (38), 75-82.

Foss, Elizabeth. (2010). Bibliotherapy: Helping Children Cope with Emotional and Developmental Distress . University of maryland : Tidak diterbitkan. Furqon. (1999). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta


(29)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Galamedia. (2013). 7000 Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial. (Online). Tersedia: http://www.klik-galamedia.com/7000-remaja-jadi-psk. (29 Januari 2014).

Gandaputra, Androe. (2009). Gambaran Self Esteem Remaja Yang Tinggal di Panti Asuhan. Jurnal Psikologi Universitas Tarumanagara. 7, (2), 25-37. Goldstein, Sam & Brooks, robert. (2005). Handbook Of Resilience In Children.

New Yorl: Springer Science+Business Media, Inc.

Greef, A. (2005). Resilience : Personal Skills for Effective Learning. UK : Crown House Publishing Ltd.

Grotberg, EH. (1999). Inner strength : How to find the resilience to deal with anything. California. New Harbinger Publications

Hamdani. 2014. Menumbuhkan Minat Membaca. (Online). Tersedia di

http://edukasi.kompasiana.com/2014/04/24/menumbuhkan-minat-membaca-650796.html. (4 Agustus 2014)

Hartini, N. (2001). Deskripsi Kebutuhan Psikologi pada Remaja Panti Asuhan. Insan, Media Psikologi. 3, (2), 109 -118.

Hasibuan, Ahmad. 2014. Islam dan Budaya Baca. (Online). Tersedia: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=440.(4 Agustus 2014) Heppner, Paul P., (1992). Research Design in Counseling. Belmont, California:

Wadsworth, Inc.

Herlina. (2013). Bibliotherapy: Mengatasi Masalah remaja dan Anak Melalui Buku. Bandung: Pustaka Cendekia Press

Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga

Hutchinson,G.T., & Chapman,B.P. (2005). Logotherapy-Enhanced REBT: An Integration of Discovery and Reason. Journal of Contemporary Psychoterapy,35 (2), 145-155

Isaacson, B.(2002). Characteristics and Enhancement of Resiliency in Young

People : A Research Paper Tersedia

:http://www.uwstout.ede/lib/thesis/2002/2002isaacsonb.pdf.(3 Desember 2013)


(30)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Karacan, Nurtein. (2009). The Efffect Of Self-Esteem Enrichment Bibliocounseling Program on The Self-Esteem Level of Sixth Grade Students. Tesis Universitas Timur tengah: Tidak Diterbitkan

Karina, Canggih. 2014. Resiliensi Remaja yang Memiliki orang Tua Bercerai. Jurnal Online Psikologi. (2).1.Tersedia di http://ejournal.umm.ac.id Khamsul, Khotijul. 2010. Strategi Pengembangan dan Minat Membaca. Makalah

pada Universitas Sumatera Utara: Tidak Diterbitkan.

Kramer, Karin.(2009). Using Self Help Bibliothreapy In Counselling. Fakultas Pendidikan Universitas Calgary: Tidak diterbitkan

Kristanti.(2013). Stres Pada Remaja Yang Tinggal Di Panti Asuhan. Jurnal Online Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Jurnal Online Psikologi. 1, (2), 53-75.

Fergusson, David & Horwood, Jhon. (2003). Resilience to Childhood Adversity: Result of 21 Year Study. : New Zealand: Cambridge University Press. Lerner, R.M & Steinberg L. (2004). Handbook of Adolescent Psychology : Second

Edition. New Jersey : John Wiley & Sons, Inc.

Linley,P.A, & Joseph, S. (2004). Positive Psychology In Prctice. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Luthans, F., Vogelgesang, G. R. & Lester, P. B. (2006) Human Resource Development Review : Developing the Psychological Capital of Resiliency. Retrieved March 15 2008 from SAGE Publications website Tersedia :www.sagepublications.com.(2 Desember 2013)

Maharani, Putri. (2009). Resiliensi pada Ibu yang Mengidap HIV/AIDS.Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya: Tidak Diterbitkan Munawaroh, E. (2011). Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan

Resiliensi Akademik Siswa Boarding School. Skripsi Pada Jurusan PPB UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Muro, J,J. & Kottman. (1995). Guidance and Counseling in The Ellementary and Middle School: A Practical Approach. Medison: Brown and Benchmark Myers, Charles E. Tollerud, Toni R. & Hee Jeon, Mi. (2012). The Power of

Personal Storytelling in Counselor Education. Journal on American Psychology Association.1, 1-6.


(31)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Napitupulu, Cahya. (2014). Resiliensi Remaja Yatim Piatu di Panti Asuhan Mardi Siswi, Kalasan, Yogyakarta. Skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma: Tidak Diterbitkan

Neenan, Michael. (2009). Developing Resilience, A Cognitive Behavioral Approach. New York : Routledge

Nezu, Arthur. (2009). Problem Solving Training to Enhance Resilience. Drexel University, USA : Tidak Diterbitkan

Norman, Elaine. (2004). Resiliency Enhancement: Putting The Strengths Perspective Into Social Work Practice. USA : Columbia University Press Padesky, Christine A. & Mooney Kathleen A. (2012). Strengths-Based

Cocgnitive-behavioural Therapy: A Four-Step Model to Build Resiliency. California: Journal on Clinical Psychology and Psychotheraphy.19, 283-290.

Pearson, Mark. (2007). Using Counseling Exspresif Tools to Enhance Emotional Literacy, Emotional Wellbeing, and Resilience: Improving Therapeutik outcomes with Exspressive Therapies. Journal of Counseling, Psychotherapy, and Health. 4, (1), 1-19.

Peters, R.D, Leadbeater, Bonnie, dan McMahon, Robbert J. (2005). Resilience in Children, Families, and Communities Linking Context to Practice and Policy. New York: Kluwer Academic / Plenum Publishers

Pehrsson dkk. (2007). Bibliotherapy With Preadolescents Experiencing Divorce. The Family Journal. 409, (15), 23-37.

Pehrsson, D. E., & McMillen, P. (2007). Bibliotherapy: Overview and implications for counselors (ACAPCD-02). Alexandria, VA: American Counseling Association.

Pur, Ipek (2009). Chinematherapy For Alcohol Dependent Patient. A Thesis of Middle East Technical University. Tidak Diterbitkan.

Prater, M.A.,Johnstun,M.L.,Dyches,T.T.,Johnstun,.M.R. (2006). Using Children’s Books as Bibliotherapy fo At-Risk Students: A Guide for Teachers, dalam Preventing School Failure. Summer 2006, 50,4 Academic Research Library. Utah: Heldref Publication.

Reich, Zautra, & Hall. (2010).Handbook Of Adult Resiliency.New York: The Guilford Press


(32)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Reivich K dan Shatte, A. (2002). The Resilience factor: 7 essential skill’s for overcoming life’s inevitable obstacles. New York : Random House inc. Republika. 2013. Angka Perceraian Meningkat Tajam. (online). Tersedia di

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/09/14/mt3zi3-wamenag-angka-perceraian-meningkat-tajam. (Diakses 15 Januari 2014). Resnick B, Gwyther P, & Roberto A. (2011). Resilience In Aging : Concepts,

Research, and Outcomes. New York :Springer

Santrock, Jhon W. (1998). Adolescence (7end.ed). washington. Washington DC, Mc Graw – Hill

Schoon, Ingrid. (2006). Risk and Resilience, Adaptation in Changing Times. New York : Cambridge University Press.

Setyowati, Raharjo. (2010). Keefektifan Konseling untuk Menurunkan Skor Penggunaan NAPZA di Klinik Rumatan Metadon: Tidak Diterbitkan. Shechtman, Zipora. (2009). Treating Child and Adolescent Agression Through

Bibliotherpy. Israel: Springer

Simbolon. (2010). Pengaruh Program Penguatan Keluarga Terhadap Sosial Ekonomi Warga Binaan SOS Desa Taruna Medan. Skripsi pada Universitas Sumatera Utara: Tidak diterbitkan.

Skeer mergie dkk. (2009). A prospective Study of Familial Conflict, Psychological Stress, and the Development of Substance Use Disorders In Adolescence. Journal Of Drug and Alcohol Dependence. 65, (30), 65-72.

Songprakun, Wallapa. (2009). Evaluation of a cognitive behavioural bibliotherapy self-help intervention program on the promotion of resilience in individuals with depression. Victoria University: Tidak Diterbitkan.

Subino. 1987. Konstruksi dan Analisis tes. Suatu Pengantar Teori Tes dan Pengukuran. Jakarta: Dikti

Suryabrata, Sumadi. (1994). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Suwarjo. (2008). Model Konseling Teman Sebaya untuk Mengembangkan Daya Lentur Anak Asuh. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung : tidak diterbitkan.


(33)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Syaodih, Sukmadinata. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda Karya

Teglasi, Hedy.(2003). Bibliotherapy as a method of Treatmen. USA: Springer Tempo.(2014). Kekerasan Pada Anak Diprediksi Meningkat.(Online). Tersedia:

www.tempo.com. Diakses: 30 Januari 2014.

Tugade, M. M. & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient Individuals Use Positive Emotions To Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality and Social Psychology, 86, 320 – 333.

Youth Suicide prevention. (2010). Suicide Prevention Australia: Tidak Diterbitkan Volia, Morenda Sitri. (2007). Gambaran Resiliensi Pada Remaja Korban Bencana Alam yang Berada di Rumah Anak Madani. Skripsi Pada Jurusan Psikologi Universitas Sumatera Utara: Tidak Diterbitkan.

Yusuf, Syamsu & Nurihsan, Juntika. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Zhe Wu, Angela. (2008). Applyng Cinematherapy with Adolescent. Tesis pada Universitas California: Tidak diterbitkan.


(34)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

PROGRAM INTERVENSI BIBLIOCOUNSELING (MEMBACA BUKU, MENONTON FILM, MENDENGARKAN CERITA) UNTUK

MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

A. RASIONAL

Remaja melalui dua cara yang berbeda dalam melalui periode kedua dalam hidupnya. Pertama remaja berhasil menjalani periode perkembangan ini tanpa melalui masalah psikologi, sosial, atau kesehatan yang signifikan. Kedua, remaja melalui periode ini dengan berbagai masalah, diantaranya adalah meningkatnya masalah kesehatan mental, ancaman terhadap kesehatan fisik, depresi, penyalahgunaan zat-zat terlarang, kekerasan seksual, kemiskinan, dan konflik dalam keluarga (Lerner & Steinberg, 2004:263). Berbagai kendala atau peristiwa kemalangan yang terjadi pada remaja disebut sebagai adversitas (Linley & Joseph, 2004: 5).

Adversitas mengacu pada pengalaman negatif yang memiliki potensi mengganggu fungsi adaptif atau perkembangan. Pengalaman terhadap adversitas terjadi karena rusaknya kapasitas adaptif individu dengan menurunnya sistem adaptif perkembangan individu dengan konsekuensi yang permanen. Adversitas bisa termasuk adversitas akut (bencana alam), kronis (dikucilkan), muncul dalam lingkungan (konflik orang tua, kemiskinan, kekerasan), atau ada dalam diri individu itu sendiri (penyakit), pada beberapa level, adversitas berpotensi menggangu perkembangan dan adaptasi positif individu (Linley & Joseph, 2004: 5). Selain adversitas yang dijelaskan oleh Lerner & Steinberg (2004), adversitas juga dapat berupa musibah, pengalaman buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak menyenangkan, kondisi sarat resiko (high risk), stressor yang dianggap berat dan trauma.

Dampak negatif dari suatu adversitas atau kemalangan dapat membawa remaja pada kerentanan terhadap berbagai perilaku malasuai. Hal tersebut dapat diatasi apabila remaja memiliki kemampuan untuk mengelola dampak negatif dari adversitas menjadi kekuatan dan keterampilan untuk bertahan dalam lingkungan


(35)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

sarat tekanan dan untuk bangkit kembali menuju keberfungsian normal yang dikenal dengan resiliensi. Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Joseph (Isaacson, 2002) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan. Asumsi mendasar dalam studi mengenai resiliensi adalah bahwa beberapa individu tetap baik-baik saja meskipun telah mengalami situasi yang sarat adversitas dan beresiko, sementara beberapa individu lainnya gagal beradaptasi dan terperosok dalam adversitas atau resiko yang lebih berat lagi (Schoon, 2006:9).

Dari sekian banyak teori dan pendekatan konseling atau psikoterapi salah satu teori atau pendekatan yang dianggap sesuai untuk meningkatkan resiliensi adalah teknik Bibliocounseling. Bibliocounseling menggunakan pikiran rasional untuk mengubah individu menjadi agen aktif lingkungan yang mampu menghadapi kesulitan hidup dan berbagai peristiwa adversitas. Berpikir rasional berarti berpikir ilmiah, jelas dan fleksibel yang dapat membantu pencapaian tujuan dalam hidup, proses berpikir rasional juga dapat membawa pada peningkatan resiliensi-diri, determinasi-diri dan kompetensi-diri.

B. TUJUAN

Program intervensi ini secara umum bertujuan untuk mendapatkan teknik bibliocounseling yang paling efektif dalam meningkatkan resiliensi remaja. Teknik yang dimaksud adalah membaca buku, mendengarkan cerita dna menonton film. Teknik bibliocounseling yang paling efektif adalah teknik yang dapat meningkatkan aspek-aspek resiliensi yakni:

1. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki sumber daya internal yang dapat meningkatkan resiliensi, diantaranya adalah:

a. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki keberhargaan diri. b. Remaja PSAA Wisma Putra merasa dicintai.


(36)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

d. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki kepercayaan dan keyakinan) 2. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki sumber-sumber eksternal yang

dapat mendukung peningkatan resiliensi, diantaranya adalah:

a. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki hubungan yang terpercaya dengan orang-orang disekitarnya.

b. Remaja PSAA Wisma Putra mematuhi aturan yang ada di panti asuhan c. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki role model

d. Remaja PSAA Wisma Putra mengetahui akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan di panti asuhan.

3. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki sumber-sumber internal yang dapat mendukung peningkatan resiliensi, diantaranya adalah:

a. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki kemampuan komunikasi

b. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki kemampuan pemecahan masalah c. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki kemampuan mengelola perasaan C.ASUMSI DASAR

Asumsi yang mendasari intervensi bibliocounseling dalam meningkatkan resiliensi remaja adalah:

1. Manusia memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional, jujur menjaga diri sendiri, berbahagia, berpikir, bersosialisasi, tumbuh dan mengaktualisasikan diri. Akan tetapi manusia pula memiliki kecenderungan ke arah destruktif terhadap diri sendiri, menyesali kesalahan secara berlebihan, intoleransi, perfeksionis, dan memiliki pandangan negatif terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Corey, G.(2007)

2. Remaja yang memiliki pengalaman terhadap adversitas yang signifikan memiliki kerentanan tinggi terhadap resiko seperti kegagalan akademik, perilaku bermasalah, dan masalah penyesuaian di masa depan seperti status okupasional yang rendah dan kondisi kesehatan yang kurang memadai (Dyncan && Brooks-Gun, 1997; Essen & Wedge, 1978; Rutter & Madge, 1976; dalam Schoon, 2006)


(37)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

3. Resiliensi bukan merupakan “fixed attribute of individuals” melainkan sebuah proses interaksi antra faktor personal dan lingkungan (Kumpfer, 1993; Luthar, 1991; Richardson dkk, 1990; Rutter, 1989; dalam Norman, 2004;4). Meskipun beberapa individu memiliki kecenderungan genetik yang memberikan kontribusi bagi resiliensi namun kebanyakan dari karakteristik yang dihubungkan dengan resiliensi dapat dipelajari (Higgins, 1994; Werner & Smith, 1992; dalam Desmita, 2009;201)

4. Individu memiliki potensi untuk menjadi pribadi yang sehat dan resilien yang mampu mengatasi adversitas melalui pendekatan progresif atas kesadaran eksistensial dan pencapaian tujuan hidup (Huchinson & Chapman, 2010:5). 5. Observasi terhadap kisah yang memiliki kesamaan dengan kesulitan yang

dialami individu dapat memberikan sudut pandang baru dalam melihat masalah yang dialami konseli yang dapat menstimulasi diskusi dalam diri konseli yang akan membawanya kedalam resolusi terapeutik. Abdullah (2002).

6. Tujuan dari tekhni bibliocounselingadalah a) mengajarkan pikiran yang positif dan konstruktif, b) mendorong konseli untuk mengekspresikan masalahnya secara bebas,c) membantu konseli dalam menganalisis sikap dan perilakunya, d) menggambarkan pencarian berbagai alternatif solusi terhadap masalah konseli, e) membantu konseli untuk menemukan bahwa ada orang lain yang memiliki masalah seperti yang dialaminya (Bradley,dkk. 2010)

D. KOMPETENSI KONSELOR

Dalam melaksanakan teknik bibliocounseling untuk meningkatkan resiliensi remaja harus didukung oleh kompetensi memadai yang dimiliki oleh peneliti yang sekaligus berperan sebagai pemberi intervensi. Berbagai sumber menyatakan bahwa bibliocounseling dapat diberikan oleh berbagai kalangan dan tidak menuntut lisensi profesional tertentu. Beberapa kalangan yang terbiasa memberikan intervensi ini diantaranya adalah Guru, Guru BK, Konselor, dan


(38)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Terapis. Hal ini mengimplikasikan bahwa peneliti memenuhi syarat untuk melaksanakan bibliocounseling. Kompetensi lainnya adalah:

1. Memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai mengenai konsep resiliensi.

2. Memiliki pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam bibliocounseling.

3. Memahami karakteristik remaja panti asuhan yang merupakan subjek dari penelitian ini.

4. Menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap konseli sebagai manusia yang tidak lepas dari kesalahan.

E. SASARAN INTERVENSI

Sasaran intervensi perbandingan teknik bibliocounseling ini adalah remaja PSAA Wisma Putra Bandung yang berdasarkan profil resiliensi memiliki profil resiliensi yang rendah. Pemilihan remaja dengan resiliensi yang rendah dilakukan mengingat tujuan dari penelitian ini yakni menemukan sebuah teknik bibliocounseling yang paling efektif dalam meningkatkan resiliensi remaja panti. Dengan mengintervensi remaja dengan resiliensi yang rendah diharapkan dapat terlihat sebuah teknik bibliocounseling yang memiliki signifikansi yang tinggi dalam meningkatkan resiliensi remaja PSAA Wisma Putra Bandung.

F. PROSEDUR PELAKSANAAN INTERVENSI KONSELING

Secara keseluruhan intervensi bibliocounseling melibatkan 9 kali intervensi ditambah dengan pengambilan data profil resiliensi dengan masing-masing kelompok intervensi mendapatkan 3 kali intervensi. Satu kelompok mendapatkan 1 kali intervensi dalam satu minggu. Pelaksanaan intervensi dilakukan di aula PSAA Wisma Putra dengan waktu yang disesuaikan dengan waktu luang remaja PSAA. Lamanya intervensi ditentukan oleh materi yang akan diberikan. Untuk mendokumentasikan hasil penelitian, peneliti dibantu oleh satu orang asisten yang bertugas mebantu membagikan instrumen dan memberikan


(1)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

SATUAN KEGIATAN LAYANAN KONSELING

A Bidang Konseling : Pribadi Sosial

B Sasaran Remaja PSAA Wisma Putra (Kelompok B)

C Standar Kompetensi Siswa remaja PSAA Wisma Putra memiliki keterampilan pribadi dan sosial yang memadai untuk menghadapi berbagai peristiwa dalam hidupnya.

D Kompetensi Dasar 1.Remaja PSAA Wisma Putra menguasai keterampilan berkomunikasi

2.Remja PSAA Wisma Putra menguasai kemampuan pemecahan masalah.

3.Remaja PSAA Wisma Putra menguasai kemampuan mengelola perasaan

E Indikator : 1.Remaja PSAA Wisma Putra mampu menunjukan komunikasi interpersonal dan intrapersonal yang baik dengan orang-orang disekitarnya.

2.Remaja PSAA Wisma Putra mampu mengidentifikasi sumber-sumber bantuan dalam penyelesaian masalah di panti asuhan dan sekitarnya. 3.Remaja PSAA Wisma Putra menunjukan

kemampuan mengontrol emosi yang tepat.

F Tujuan : 1. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki keterampilan komunikasi yang tepat dalam menghadapi berbagai peristiwa dalam hidupnya.

2.Remaja PSAA Wisma Putra memiliki kecakapan berupa berbagai alternatif penyelesaian masalah dalam menghadapi masalah dalam hidupnya.

3.Remaja PSAA Wisma Putra memiliki sikap yang tepat dalam merespon berbagai emosi dalam hidupnya.

F Materi : Story Telling

Metode Group Counseling (Konseling kelompok)


(2)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

H Sumber Rujukan : “Sang Pejuang Itu Bernama Putri Herlina” I Langkah-Langkah :

Awal : 1. Pembukaan (peneliti memimpin siswa untuk

berdo’a sebelum kegiatan bimbingan dimulai. 2. Peneliti mengucapkan salam dan menyapa siswa. 3. Peneliti mengecek kehadiran siswa)

4. Peneliti menjelaskan tujuan kegiatan ( Konselor menjelaskan secara singkat tentang maksud dan tujuan kegiatan bimbingan, bentuk kegiatan dan waktu yang akan ditempuh.)

5. Peneliti menjelaskan langkah-langkah atau skenario kegiatan

Transisi a. Storming

b. Norming

:

Peneliti memberikan kesempatan bertanya kepada siswa yang belum mengerti mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan.

Peneliti menjelaskan bahwa setiap individu dalam kelompok diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan untuk memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda dengan temannya

Kerja

a. Eksperientasi

b. Identifikasi

1.Peneliti mempersiapkan siswa untuk mendengarkan cerita

2.Sebelum mendengarkan cerita, peneliti menjelaskan aktivitas yang harus dilakukan siswa selama mendengarkan cerita yakni:

a. Siswa diminta untuk mengidentifikasi cara berkomunikasi tokoh dalam cerita tersebut.

b. Siswa mengidentifikasi cara menyelesaikan masalah yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita tersebut.

c. Siswa mengidentifikasi bagaimana respon terhadap berbagai emosi yang ditunjukan oleh tokoh dalam cerita tersebut.

Peneliti membantu proses identifikasi siswa dengan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

d. Siapakah tokoh yang paling disukai?


(3)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

c. Analisis

d. Generalisasi

ditunjukan oleh tokoh dalam cerita tersebut? f. Bagaimana bentuk-bentuk penyelesaian masalah

yang ditunjukan oleh tokoh dalam cerita tersebut?

g. Bagaimana bentuk-bentuk respon terhadap emosi yang ditunjukan oleh tokoh dalam cerita tersebut?

Peneliti membantu proses analisis siswa melalui pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

a. Jelaskan alasan mengapa siswa menyukai tokoh tertentu dalam cerita tersebut?

b. Mengapa tokoh menampilkan bentu-bentuk ekspresi seperti yang ditampilkan dalam film tersebut?

c. Mengapa tokoh memilih bentuk-bentuk penyelesaian masalah seperti yang ditunjukan oleh tokoh dalam filmtersebut?

d. Mengapa tokoh merespon emosi dengan cara seperti yang ditunjukan dalam film tersebut? Remaja PSAA Wisma Putra menyimpulkan karakteristik-karakteristik yang harus dimiliki oleh remaja berdasarkan identifikasi dan analisis terhadap film tersebut.


(4)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

SATUAN KEGIATAN LAYANAN KONSELING

A Bidang Konseling : Pribadi Sosial

B Sasaran Remaja PSAA Wisma Putra (Kelompok C)

C Standar Kompetensi Siswa remaja PSAA Wisma Putra memiliki keterampilan pribadi dan sosial yang memadai untuk menghadapi berbagai peristiwa dalam hidupnya.

D Kompetensi Dasar 1.Remaja PSAA Wisma Putra menguasai keterampilan berkomunikasi.

2.Remja PSAA Wisma Putra menguasai kemampuan pemecahan masalah.

3.Remaja PSAA Wisma Putra menguasai kemampuan mengelola perasaan

E Indikator : 1.Remaja PSAA Wisma Putra mampu menunjukan komunikasi interpersonal dan intrapersonal yang baik dengan orang-orang disekitarnya.

2.Remaja PSAA Wisma Putra mampu mengidentifikasi sumber-sumber bantuan dalam penyelesaian masalah di panti asuhan dan sekitarnya. 3.Remaja PSAA Wisma Putra menunjukan

kemampuan mengontrol emosi yang tepat.

F Tujuan : 1. Remaja PSAA Wisma Putra memiliki keterampilan komunikasi yang tepat dalam menghadapi berbagai peristiwa dalam hidupnya.


(5)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

berupa berbagai alternatif penyelesaian masalah dalam menghadapi masalah dalam hidupnya.

3.Remaja PSAA Wisma Putra memiliki sikap yang tepat dalam merespon berbagai emosi dalam hidupnya.

F Materi : Membaca buku

Metode Group Counseling (Konseling kelompok)

G Waktu 60 menit

H Sumber Rujukan : Buku Surat Kecil Untuk Tuhan, Sepatu Dahlan, dan Ibuk.

I Langkah-Langkah :

Awal : 1. Pembukaan (peneliti memimpin siswa untuk

berdo’a sebelum kegiatan bimbingan dimulai. 2. Peneliti mengucapkan salam dan menyapa siswa. 3. Peneliti mengecek kehadiran siswa)

4. Peneliti menjelaskan tujuan kegiatan ( Konselor menjelaskan secara singkat tentang maksud dan tujuan kegiatan bimbingan, bentuk kegiatan dan waktu yang akan ditempuh.)

5. Peneliti menjelaskan langkah-langkah atau skenario kegiatan

Transisi a. Storming

b. Norming

:

Peneliti memberikan kesempatan bertanya kepada siswa yang belum mengerti mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan.

Peneliti menjelaskan bahwa setiap individu dalam kelompok diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan untuk memiliki pemikiran dan pendapat yang berbeda dengan temannya

Kerja

a. Eksperientasi 1. Peneliti mempersiapkan siswa untuk membaca buku

2. Sebelum membaca buku, peneliti menjelaskan aktivitas yang harus dilakukan siswa selama mendengarkan cerita yakni:

a. Siswa diminta untuk mengidentifikasi cara berkomunikasi tokoh dalam buku tersebut. b. Siswa mengidentifikasi cara menyelesaikan

masalah yang dilakukan oleh tokoh dalam buku tersebut.


(6)

Eem Munawaroh, 2014

BIBLIOCOUNSELING UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu

b. Identifikasi

c. Analisis

d. Generalisasi

c. Siswa mengidentifikasi bagaimana respon terhadap berbagai emosi yang ditunjukan oleh tokoh dalam buku tersebut.

Peneliti membantu proses identifikasi siswa dengan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Siapakah tokoh yang paling disukai?

2. Bagaimana bentuk-bentuk komunikasi yang ditunjukan oleh tokoh dalam buku tersebut? 3. Bagaimana bentuk-bentuk penyelesaian masalah

yang ditunjukan oleh tokoh dalam buku tersebut?

4. Bagaimana bentuk-bentuk respon terhadap emosi yang ditunjukan oleh tokoh dalam buku tersebut?

Peneliti membantu proses analisis siswa melalui pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

a. Jelaskan alasan mengapa siswa menyukai tokoh tertentu dalam buku tersebut?

b. Mengapa tokoh menampilkan bentu-bentuk ekspresi seperti yang ditampilkan dalam buku tersebut?

c. Mengapa tokoh memilih bentuk-bentuk penyelesaian masalah seperti yang ditunjukan oleh tokoh dalam buku tersebut?

d. Mengapa tokoh merespon emosi dengan cara seperti yang ditunjukan dalam buku tersebut? Remaja PSAA Wisma Putra menyimpulkan karakteristik-karakteristik yang harus dimiliki oleh remaja berdasarkan identifikasi dan analisis terhadap buku tersebut.