KONSELING RASIONAL EMOTIF BEHAVIORAL UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA.

(1)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

DAFTAR ISI

Abstrak i

Abstract ii

Kata Pengantar iii

Ucapan Terima Kasih vi

Daftar Isi ix

Daftar Tabel xi

Daftar Gambar xii

Daftar Grafik xiii

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Penelitian 1

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Penelitian 12

C. Tujuan Penelitian 18

D. Pertanyaan Penelitian 19

E. Manfaat Penelitian 19

F. Asumsi Penelitian 20

G. Hipotesis Penelitian 22

H. Metode Penelitian 23

BAB II. KONSEPTUALISASI KONSELING RASIONAL EMOTIF

BEHAVIORAL UNTUK MENINGKATKAN RESILIENSI REMAJA

25

A. Penelitian Awal Seputar Resiliensi 25

B. Definisi Resiliensi 28

C. Jenis Resiliensi 35

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi Individu 36

E. Karakteristik Individu yang Resilien 43

F. Model Resiliensi 50

G. Upaya-upaya Meningkatkan Resiliensi Individu 53

H. Peningkatan Resiliensi Remaja Melalui Aplikasi Model Bimbingan dan Konseling Komprehensif

58 I. Intervensi Konseling Rasional Emotif Behavioral sebagai Salah Satu

Upaya Peningkatan Resiliensi Remaja

66

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 120

A. Pendekatan Penelitian 120

B. Metode Penelitian 121

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian 123

D. Pengembangan Instrumen Penelitian 127

E. Lokasi dan Subjek Penelitian 136

F. Prosedur Penelitian 138

G. Teknik Analisis Data Penelitian 141


(2)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

I. Rancangan Awal Program Intervensi Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja

145

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 172

A. Hasil Penelitian 172

B. Pembahasan Hasil Penelitian 214

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

243 243

B. Rekomendasi 244

DAFTAR PUSTAKA 248

LAMPIRAN-LAMPIRAN 255


(3)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel Hubungan antara emosi negatif dan keyakinan irrasional 77 Tabel 3.1 Matriks Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja (Sebelum uji

coba)

128 Tabel 3.2 Matriks Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja (Setelah uji

coba)

134

Tabel 3.3 Kategorisasi Rentang Skor 142

Tabel 3.4 Matriks Rancangan Program Intervensi Konseling Rasional Emotif Behavioral untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja

154 Tabel 4.1 Profil Resiliensi Remaja yang diwakili oleh siswa SMKN 9

Bandung tahun akademik 2011-2012

173 Tabel 4.2 Tingkat kecenderungan aspek resiliensi remaja yang ditunjukkan

oleh siswa SMKN 9 Bandung tahun akademik 2011-2012

175 Tabel 4.3 Gambaran indikator resiliensi remaja yang ditunjukkan oleh siswa

SMKN 9 Bandung tahun akademik 2011-2012

178 Tabel 4.4 Tabel akumulasi uji efektivitas konseling rasional emotif behavioral

terhadap peningkatan tiap aspek resiliensi kelompok eksperimen

203 Tabel 4.5 Hasil Pengujian Normalitas Data Pre test, Post test dan Gain score

Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen

204 Tabel 4.6 Rangkuman Hasil Uji T (t-test) Data Penelitian 210 Tabel 4.7 Uji t Berpasangan Pre test dan Post test Kelompok Kontrol 210 Tabel 4.8 Uji t Berpasangan Pre test dan Post test Kelompok Eksperimen 211 Tabel 4.9 Uji t Independen Pre test Kelompok Kontrol dan Eksperimen 212 Tabel 4.10 Uji t Independen Post test Kelompok Kontrol dan Eksperimen 212 Tabel 4.11 Uji t Berpasangan Gain score Pre test - Post test Kelompok Kontrol

dan Eksperimen

213 Tabel 4.12 Uji t Independen Gain score Pre test-Post test Kelompok Kontrol

dan Eksperimen


(4)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Skema Desain Penelitian Nonequivalent Pre test-Post test Control Group Design

122 Gambar 3.2 Skema Langkah Penelitian dalam desain Nonequivalent Pre

test-Post test Control Group


(5)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1 Profil Resiliensi Remaja yang diwakili oleh siswa SMKN 9 Bandung tahun akademik 2011-2012

173 Grafik 4.2 Profil Resiliensi Remaja berdasarkan Gender yang diwakili

oleh siswa SMKN 9 Bandung tahun akademik 2011-2012

174 Grafik 4.3 Tingkat kecenderungan aspek resiliensi remaja yang

ditunjukkan oleh siswa SMKN 9 Bandung tahun akademik 2011-2012

176

Grafik 4.4 Gambaran Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol 205 Grafik 4.5 Gambaran Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen 206 Grafik 4.6 Gambaran Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Kontrol

Pada Tiap Aspek Resiliensi

207 Grafik 4.7 Gambaran Hasil Pre-test dan Post-test Kelompok Eksperimen

Pada Tiap Aspek Resiliensi


(6)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I dipaparkan hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi penelitian, hipotesis penelitian dan metode penelitian.

A. Latar Belakang Penelitian

Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya dengan kualitas kinerja dan mental yang lebih baik. Terlebih dalam menghadapi era global saat ini kesiapan remaja sebagai bagian dari sumber daya manusia yang berpotensi sangatlah diharapkan peranannya untuk turut serta membangun bangsa Indonesia agar dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Remaja dalam peranannya sebagai generasi penerus bangsa diharapkan mempunyai kualitas kinerja dan mental yang baik, sebagai modal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin bangsa.

Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.

Seorang remaja memerlukan perhatian yang lebih besar dari orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan masa transisi dari


(7)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

kehidupan anak-anak menuju kehidupan orang dewasa. Sudah pasti masa transisi ini diwarnai oleh berbagai perubahan baik psikis maupun fisik. Mendukung pernyataan tersebut, Hurlock (2003:193) berpendapat bahwa masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan hormonal. Oleh karena itu, remaja merupakan tahap perkembangan yang sangat rentan terhadap berbagai jenis kendala, dan apabila kendala tersebut tidak dapat diatasi dengan baik, maka proses perkembangan akan terganggu atau malah terhambat.

Timbulnya berbagai kendala dalam proses perkembangan remaja disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks. Salah satu faktor penyebab munculnya kendala dalam perkembangan remaja adalah pengalaman terhadap adversitas. Adversitas dapat berupa musibah, pengalaman buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak menyenangkan, kondisi sarat resiko (high-risk), stressor yang dianggap berat dan trauma. Pengalaman terhadap adversitas ini dapat memicu konflik dalam diri remaja yang membuat mereka rentan terhadap berbagai perilaku maladaptif.

Schoon (2006:5) mengemukakan bahwa adversitas dapat membawa pada resiko, remaja beresiko (at-risk adolesence) biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable adolesence) dan remaja yang rentan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi remaja bermasalah (troubled adolesence).

Andrews, Bonta & Wormith (2004; dalam www.publicsafety.gc.ca) melakukan survey terhadap 955 orang narapidana usia remaja di penjara Canada. Hasil survey menunjukkan bahwa 43,6% dari responden pernah mengalami


(8)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

adversitas pada kategori berat dalam hal intensitas dan juga frekuensi, 15% mengalami adversitas pada kategori sedang, 5% mengalami adversitas pada kategori ringan, dan sisanya tidak pernah mengalami. Hasil survey ini menunjukkan bahwa remaja bermasalah hukum sebagian besar terindikasi pernah mengalami adversitas yang dianggap terlalu sulit untuk dihadapi.

Beberapa laporan hasil survey mengungkap bahwa pengalaman terhadap adversitas berkaitan dengan kerentanan remaja terhadap penggunaan obat terlarang, dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya. Situs legalinfo-online.com (2011) mencatat bahwa kurangnya kasih sayang orang tua, konflik parental berkelanjutan dan minimnya supervisi dari orang tua memiliki pengaruh sekitar 76% terhadap kecenderungan drug abuse pada remaja.

Di Indonesia sendiri, harian Kabar Cirebon pada 20 Agustus 2011 (www.kabar-cirebon.com) melansir bahwa sekitar 3362 juta jiwa penduduk Indonesia teridentifikasi menggunakan narkoba dan 1355 juta atau 40,3% diantaranya merupakan pelajar. Dari jumlah tersebut terungkap bahwa 90% pelajar menggunakan narkoba sebagai akibat dari masalah keluarga atau broken home, mereka melampiaskan kekesalan atas perpecahan keluarga dengan cara menjadi pecandu narkoba.

Bentuk kenakalan remaja lain yang juga berkaitan dengan pengalaman terhadap adversitas adalah prostitusi anak dan remaja. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak 60% dari 71.281 orang. Unicef Indonesia menyebut angka 30% dari 40-150.000, dan Irwanto menyebut angka 87.000 pelacur anak atau 50% dari total


(9)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

penjaja seks (Wahyuningsih, 2004 ; dalam www.depsos.go.id). LPM Cinta Kartini (2010; dalam spiriteen.wordpress.com) mencatat bahwa dari 314 orang PSK remaja, 41% memutuskan untuk menjadi PSK dikarenakan kesulitan ekonomi keluarga, 26% dikarenakan keluarga yang kurang harmonis dan perceraian orang tua, 15% dikarenakan pernah mengalami kekerasan seksual dan perkosaan, 11% karena putus dengan kekasih, dan 7% karena berbagai alasan lainnya seperti ingin coba-coba atau dipengaruhi oleh teman.

Masih terkait dengan isu kenakalan remaja, Kappara (2011; dalam www.pusatremaja.com), mengemukakan bahwa kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses perkembangan, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik masa lalu yang tidak terselesaikan dengan baik dalam diri para pelakunya. Seringkali didapati bahwa pelaku kenakalan remaja memiliki trauma dalam masa lalunya, contohnya seperti perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, pengalaman buruk maupun kondisi yang memicu stress seperti kondisi perekonomian keluarga yang kurang baik.

Selain berakibat pada kecenderungan terjadinya kenakalan remaja, pengalaman terhadap adversitas juga dapat mempengaruhi kondisi mental seseorang. Orang yang baru mengalami adversitas biasanya akan menjadi rapuh dan sangat beresiko terhadap berbagai masalah kejiwaan yang patologis seperti frustasi, depresi, paranoid, kesedihan berkepanjangan, histeria, stress berat, schizofrenia, dan akibat fatal lainnya seperti bunuh diri (Morland, 1999:40).


(10)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Kasus bunuh diri di beberapa belahan dunia masuk pada angka yang cukup memprihatinkan pada rentang tahun 2005 sampai dengan 2010 tercatat angka rata-rata bunuh diri di Amerika sebanyak 34.598 kasus (National Institute of Mental Health, 2010), dan di Jepang sebanyak 32.115 kasus (National Institute of Mental Health, 2010).

Tabloid Strait Times pada 26 Juli 2010 (waluyo.blogspot.com, 2011) mencatat angka bunuh diri yang terjadi di Singapura mengalami peningkatan dari tahun 2008 sebanyak 364 orang menjadi 401 orang di tahun 2009, kasus bunuh diri terutama meningkat pada masa resesi ekonomi. Menurut Centers for Disease Control Youth Risk Behaviour Surveilance System (2002), sedikitnya 12% remaja mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri dan bunuh diri menjadi penyebab utama ketiga kematian muda-mudi berusia 15-24 tahun di Amerika Serikat. Tiga juta remaja di dunia berjuang dengan depresi setiap jamnya, namun hanya sepertiganya yang mendapat pelayanan kesehatan mental dari pihak yang relevan.

Situs www.depression-doctor.com (2009) mencatat bahwa 41% kasus bunuh diri pada remaja disebabkan oleh ketidakstabilan mental akibat dukacita kehilangan orang yang dikasihi atau orang yang dikagumi (grief-related suicide), 15% kasus dikarenakan oleh stress karena tuntutan hidup dan 5% yang dikarenakan alasan yang kurang jelas.

Sebuah situs pendidikan yakni www.edjj.com (2010) melaporkan bahwa pada akhir dekade 1990-an sebanyak 40% dari seluruh siswa usia sekolah yang terindikasi mengalami masalah dalam tingkat kehadiran (attendant rate) dan


(11)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

pelanggaran disipliner di sekolah berasal dari keluarga miskin. Sementara itu di akhir dekade 2000-an jumlah siswa drop out karena masalah perilaku meningkat menjadi 65%, dan sepertiga dari jumlah tersebut merupakan siswa dari keluarga berpenghasilan rendah (low income family).

Dari sejumlah fakta yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa remaja yang pernah mengalami adversitas cenderung lebih rentan terhadap berbagai penyimpangan dan masalah perilaku. Kematian orang yang dicintai, kehancuran keluarga, kehilangan harta benda, penyakit kronis, kemiskinan, bencana alam, terorisme, perang dan kecelakaan merupakan sebagian kecil contoh dari adversitas yang mungkin dialami seseorang. Kebanyakan orang bereaksi terhadap adversitas tersebut dengan emosi yang kuat dan meluap-luap, disertai rasa gamang dan ketidakpastian. Akan tetapi ada pula orang yang berhasil mengatasi adversitas tersebut kemudian beradaptasi secara lebih kompeten terhadap kehidupan yang berlangsung setelahnya.

Ada individu yang mampu bertahan dan pulih secara efektif namun ada pula individu yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau bertahan ditengah lingkungan dengan tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, hal tersebut menunjukkan adanya kemampuan tertentu dalam diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade &Frederikson, 2004:4).

Istilah resiliensi berasal dari kata Latin „resilire’ yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika.


(12)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Istilah resiliensi juga banyak digunakan dalam bidang mekanika, aviasi dan komputerisasi. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, resiliency berarti gaya pegas, daya kenyal, kegembiraan, keuletan (Echols & Shadily, 1997; dalam Desmita, 2009:200), ketahanan (Smet, 1994; dalam Desmita, 2009:200), daya lentur (Siregar, 2001; dalam Desmita, 2009:200), daya lambung atau daya lenting (Irawati, 2008:2). Bila digunakan sebagai istilah dalam bidang psikologi, resiliensi merupakan kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, kesakitan, kemalangan atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005; dalam Desmita, 2009:200).

Asumsi mendasar dalam studi mengenai resiliensi adalah bahwa beberapa individu tetap baik-baik saja meskipun telah mengalami situasi yang sarat adversitas dan beresiko, sementara beberapa individu lainnya gagal beradaptasi dan terperosok dalam adversitas atau resiko yang lebih berat lagi (Schoon, 2006:9).

Liquanti (1992:2) menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dimana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perubahan dalam lingkungan. Mereka juga senantiasa terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan akademik, depresi, stres berkepanjangan, perilaku menyimpang dan gangguan mental.

Beberapa hasil penelitian mendukung bahwa rendahnya tingkat resiliensi dalam diri individu akan menimbulkan kerentanan terhadap resiko dari adversitas.


(13)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Masten (1994; dalam Davis, 2009:1) melakukan penelitian longitudinal dan cross sectional. Topik yang diteliti adalah tingkat resiliensi anak dikaitkan dengan berbagai permasalahan keluarga disfungsi seperti orangtua dengan gangguan jiwa, kesulitan finansial, ibu remaja, penyakit kronis, kriminalitas, penelantaran dan penganiayaan. Setelah 20 tahun masa penelitian diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsi, atau yang mengalami penelantaran dan penganiayaan cenderung memiliki resiliensi diri yang rendah dan tumbuh menjadi orang dewasa yang rentan, dikarenakan dalam perkembangannya lebih banyak peristiwa yang memicu stress dan kurang mampu mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut.

Morland (1996; dalam Barnard, 1999:40), mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan faktor-faktor resiliensi yang rendah dalam diri anak atau remaja terutama yang berasal dari kelompok sosioekonomi rendah dan yang telah mengalami dukacita kehilangan orangtua.

Irawati (2008; dalam kompas.com, 2010) melakukan penelitian terhadap resiliensi remaja dari keluarga brokenhome. Hasil penelitian mengungkap bahwa hanya 17% dari remaja brokenhome yang mampu membekali diri dengan kemampuan resiliensi dalam menghadapi berbagai persoalan yang datang setelah perceraian orangtua, sebanyak 58% cenderung mengalami masalah kepribadian dan 26% terlibat dalam aksi kenakalan remaja.

Rendahnya resiliensi anak bangsa bukanlah suatu hal yang layak dibiarkan, remaja perlu diajari bagaimana mengembangkan resiliensi dalam diri mereka, agar mereka memiliki bekal kemampuan untuk bangkit dan bertahan dalam situasi


(14)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

yang sarat perubahan dan tekanan seperti yang sedang terjadi di era globalisasi saat ini. Individu yang resilien merupakan komponen dasar pembentuk keluarga atau organisasi yang resilien dan keluarga atau organisasi yang resilien merupakan prasyarat terciptanya masyarakat atau komunitas yang resilien, dengan masyarakat atau komunitas yang resilien maka kokohnya ketahanan bangsa bukan suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Sejumlah fakta empiris mengenai pengalaman adversitas dan kaitannya dengan kecenderungan terhadap berbagai gangguan perilaku semakin menambah penekanan pentingnya resiliensi dalam diri remaja. Hal ini mengisyaratkan perlunya upaya sistematis yang lebih terkoordinasi dan terprogram dengan baik dalam rangka meningkatkan resiliensi remaja, khususnya remaja dengan pengalaman terhadap adversitas dan beresiko tinggi terhadap gangguan perilaku dan kegagalan akademik di sekolah.

Berbagai bentuk upaya untuk meningkatkan resiliensi remaja telah banyak dilakukan, baik berupa upaya prevensi maupun intervensi, yakni diantaranya ; (1) pendekatan tingkat sekolah berbasis terapi kognitif perilaku untuk meningkatkan resiliensi peserta didik (McLaughlin & Talbert, 1993); (2) Program Mujeres y Hombles Nobles (dikembangkan berdasarkan pendekatan psikologi humanistik) yang berupaya membantu remaja Latin yang hamil, yang menjadi anggota gangster, menggunakan narkoba, dan terlibat dalam aksi kenakalan remaja untuk kembali ke sekolah, keluar dari gang-nya, berhenti menggunakan narkoba, dan ikut serta dalam program konseling (Pulido, 1995); (3) Advancement Via Individual determination (AVID) yaitu program pengembangan resiliensi yang


(15)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

diperuntukkan bagi siswa dari kalangan keluarga berpendapatan rendah dan etnis minoritas (Mehan, Villanueva, & Lintz, 1996); (4) Monitoring programme untuk meningkatkan resiliensi siswa perempuan (SeokHoon, 1998); (5) ALAS program yang di dalamnya mencakup intervensi psikososial, akademik dan kultural bagi siswa dengan kecacatan dan siswa high risk (Gandara, Larson, Rumberger & Mehan, 1998); (6) Megaskills program untuk meningkatkan resiliensi siswa yang di drop out agar berkenan melanjutkan kembali pendidikan dan membangun karir mereka (Rich, 1999); (7) GRAD project yang membantu siswa beresiko drop out untuk memperoleh kembali sikap positif mereka melalui pengembangan resiliensi dan menghindari kegagalan akademik (McAdoo, 1998); (8) Teen Leadership Program (Flippen et al, 2001); (9) The Resiliency Wheels, six steps to enhance student resiliency (Millstein, 2003; dalam Desmita, 2009:218); (10) Emotional Based Program (Castro, Johnson, & Smith, 2008); (11) Konseling teman sebaya untuk meningkatkan resiliensi anak asuh di panti asuhan sosial anak (Suwarjo, 2008); dan, (12) Program bimbingan belajar untuk meningkatkan resiliensi akademik siswa boarding school (Munawaroh, 2011).

Keberhasilan dari upaya-upaya peningkatan resiliensi remaja yang telah disebutkan di atas, seharusnya menjadi pemicu sekaligus tantangan bagi para profesional seperti psikolog, konselor, guru, ahli pedagogik dan profesi pemberian bantuan lain untuk menciptakan suatu inovasi baru berupa intervensi yang fokus terhadap peningkatan level resiliensi individu khususnya dan komunitas pada umumnya (Hooper, 2007), apalagi di Indonesia upaya peningkatan resiliensi belum cukup populer sehingga sudah seyogyanya dilakukan berbagai penelitian


(16)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

yang dimaksudkan untuk merancang dan menguji keefektifan beragam upaya peningkatan resiliensi individu pada berbagai jenjang usia dan pendidikan, di antaranya adalah upaya yang berorientasi teoretis seperti intervensi yang berdasarkan atas pendekatan konseling atau psikoterapi yang dianggap sesuai untuk meningkatkan resiliensi remaja.

Dari sekian banyak teori dan pendekatan konseling atau psikoterapi salah satu teori atau pendekatan yang dianggap sesuai untuk meningkatkan resiliensi remaja adalah konseling rasional emotif behavioral yang berasal dari konsep rational emotive therapy yang dicetuskan pertama kali oleh psikolog bernama Albert Ellis. Konseling rasional emotif behavioral dianggap sebagai salah satu pendekatan yang sesuai untuk meningkatkan resiliensi remaja berdasarkan atas asumsi bahwa proses pengembangan resiliensi melibatkan kinerja dari aspek kognitif, emosi dan perilaku dalam diri individu (Neenan, 2009:19) sehingga konseling rasional emotif behavioral dan model ABC di dalamnya dianggap tepat dalam memfasilitasi keseluruhan aspek tersebut. Selain itu tingkat resiliensi yang rendah dalam diri individu akan menyebabkan kerentanan terhadap berbagai jenis faktor resiko, kerentanan tersebut akan memunculkan perasaan dan perilaku yang disfungsional atau merusak diri. Perasaan dan perilaku disfungsional sangat

berkorelasi dengan „keyakinan irasional‟ (irrational beliefs). Konseling rasional emotif behavioral mengajari individu tentang bagaimana menghilangkan keyakinan irasional dan menggantinya dengan keyakinan rasional untuk mengubah perasaan dan perilaku individu menjadi lebih baik dan lebih fungsional (Ellis & Harper, 1997; dalam Huchinson dan Chapman, 2010:4).


(17)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Asumsi lain yang mendukung penggunaan konseling rasional emotif behavioral dalam meningkatkan resiliensi adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ellis & Grieger (1996; dalam Huchinson dan Chapman, 2010:9) bahwa konseling rasional emotif behavioral menggunakan pikiran rasional untuk mengubah individu menjadi agen aktif lingkungan yang mampu menghadapi kesulitan hidup dan berbagai peristiwa katastropis. Berpikir rasional berarti berpikir ilmiah, jelas dan fleksibel yang dapat membantu pencapaian tujuan dalam hidup, proses berpikir rasional juga dapat membawa pada peningkatan resiliensi-diri, determinasi-diri dan kompetensi-diri.

Berangkat dari pandangan tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan rumusan intervensi yang didasarkan atas asumsi, prinsip, tahapan, metode, dan teknik konseling rasional emotif behavioral dengan tujuan meningkatkan resiliensi remaja, khususnya remaja yang teridentifikasi telah mengalami adversitas dan termasuk kategori siswa beresiko (high risk student), sehingga mereka mampu mengembangkan karakteristik pribadi yang mendukung peningkatan resiliensi, mengambil pelajaran dari adversitas yang pernah dialami, menghadapi resiko dari adversitas tersebut dengan luwes dan fleksibel, serta bertahan untuk tidak terjerumus ke dalam permasalahan akademik maupun non akademik yang lebih buruk.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian

SMKN 9 Bandung merupakan sekolah menengah kejuruan dengan spesialisasi bidang keahlian pariwisata. Berdasarkan hasil wawancara dan


(18)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

observasi pada studi pendahuluan, terungkap bahwa dalam 3 tahun terakhir tercatat beberapa permasalahan yang dialami oleh siswa baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Permasalahan akademik yang sering terjadi di antaranya siswa yang sering membolos, siswa yang tidak lulus ujian praktik, penurunan prestasi, dan siswa dengan motivasi belajar yang rendah. Sementara permasalahan non-akademik (pribadi sosial) diantaranya siswa yang menarik diri (terisolir), pergaulan dengan lawan jenis yang kurang sehat, siswa yang menjadi pelaku atau korban bullying, konsumsi minuman beralkohol dan rokok, perkelahian antar siswa, depresi bahkan percobaan bunuh diri.

Permasalahan tersebut tentunya bukanlah hal yang dapat dibiarkan begitu saja tanpa dicermati penyebab dan penanganannya. Penelusuran lebih lanjut dilakukan terhadap siswa yang terindikasi mengalami permasalahan akademik maupun non akademik, dari kelas X dan XI dengan menggunakan kuesioner Life Event Scale yang dikembangkan oleh Sarah K. Hamill (2008), bahwa 80% siswa yang mengalami permasalahan akademik dan non akademik tersebut merupakan siswa kategori at-risk atau siswa beresiko, dalam arti siswa-siswa tersebut terindikasi pernah mengalami adversitas atau peristiwa negatif (dalam 1 tahun terakhir) yang cenderung memunculkan stressor dan resiko tersendiri bagi mereka dan apabila tidak ditangani sesegera mungkin stressor dan resiko tersebut kemungkinan dapat menimbulkan tekanan yang memicu gangguan perilaku maupun gangguan kepribadian.

Dari hasil tabulasi kuesioner, dapat diketahui adversitas awal yang diperkirakan menimbulkan dampak yang cukup signifikan terhadap siswa-siswa


(19)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

tersebut (dalam setiap pertanyaan kuesioner siswa diminta merangking dampak peristiwa negatif tersebut terhadap kehidupan mereka). Persentase skor menunjukkan besarnya dampak negatif adversitas yang terjadi selama satu tahun terakhir sebagaimana dirasakan oleh siswa. Adversitas yang dirasakan paling tinggi dampak negatifnya oleh siswa adalah kesulitan finansial keluarga atau kondisi perekonomian keluarga yang buruk (0,97%), putus dengan kekasih (0,89%), dimusuhi oleh teman/sahabat (0,72%), dan kematian orang yang dicintai (0,30%). Sementara itu, adversitas yang terjadi dalam dua tahun terakhir atau lebih, yang paling tinggi dampak negatifnya adalah, ayah dan ibu bertengkar hebat (0,72%), berpisah tempat dengan sahabat (0,66%), dan berpindah tempat tinggal (0,60%).

Meskipun mengalami berbagai adversitas yang memiliki dampak signifikan, siswa dengan tingkat resiliensi tinggi akan mampu mengelola dampak negatif dari adversitas menjadi kekuatan dan keterampilan untuk bertahan dalam lingkungan sarat tekanan dan untuk bangkit kembali menuju keberfungsian normal. Oleh karena itu resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis siswa. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, rasionalitas, insight. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya berpikir dan keberhasilan siswa dalam kehidupan, termasuk keberhasilan dalam belajar di sekolah (Desmita, 2009:199).

Sebagai lembaga yang mengakomodir peran remaja sebagai siswa atau peserta didik, sekolah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan


(20)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut. Berbagai literatur tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa dalam mengembangkan kapasitas untuk keluar dari adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik dan vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan di sekolah. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah juga turut bertanggung jawab dalam mendukung pengembangan karakteristik yang mendukung peningkatan resiliensi siswa. Berkenaan dengan hal tersebut, konselor sekolah memiliki tanggungjawab etis untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di sekolah tersebut sampai level tertinggi melalui layanan bimbingan dan konseling yang bermutu dan tepat sasaran (ASCA, 2004; dalam Castro, Johnson, & Smith, 2010).

Namun, untuk dapat memberikan layanan bermutu dan tepat sasaran seperti yang diharapkan, konselor tidak hanya dituntut untuk memiliki profesionalisme tapi juga pengetahuan dan keterampilan yang memadai seputar teori dan pendekatan konseling. Pendekatan konseling yang telah teruji efektif tentunya akan sangat membantu pemberian layanan bimbingan dan konseling yang difokuskan untuk menangani berbagai permasalahan siswa, baik yang sifatnya


(21)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

akademik maupun non-akademik, yakni salah satunya intervensi konseling yang bertujuan untuk meningkatkan resiliensi siswa.

Hasil wawancara terhadap guru Bimbingan dan Konseling serta hasil studi dokumentasi terhadap program Bimbingan dan Konseling di SMKN 9 Bandung, menunjukkan bahwa belum adanya upaya khusus yang terfokus dan terstruktur secara sistematis untuk meningkatkan resiliensi siswa. Bahkan tim guru Bimbingan dan Konseling dan juga siswa-siswi SMKN 9 Bandung masih cukup asing mendengar istilah resiliensi. Dengan demikian peneliti memandang perlu adanya suatu intervensi konseling yang fokus pada tujuan untuk meningkatkan resiliensi siswa sebagai bagian dari layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Intervensi konseling seyogyanya terstruktur secara jelas dan sistematis agar mempermudah implementasinya.

Dari sekian banyak pendekatan konseling, salah satu pendekatan yang dipandang tepat untuk meningkatkan resiliensi remaja pada umumnya dan siswa SMK khususnya adalah konseling rasional emotif behavioral. Alasan pemilihan pendekatan konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja adalah karena: (1) teori rasional emotif behavioral merupakan teori yang

sudah cukup „mapan‟ dan jelas akar sejarah maupun filosofinya (Dryden & Neenan 2006:17); (2) berbagai track record konseling rasional emotif behavioral membuktikan efektivitas dalam menangani perilaku malasuai remaja yang disebabkan oleh pengalaman terhadap adversitas, diantaranya perilaku malasuai remaja dari lingkungan terdeprivasi, remaja dari keluarga disfungsi dan remaja dengan kecacatan atau penyakit kronis (American Psychiatric Association, 1994;


(22)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

dalam Dryden, 2003:228); (3) beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan keberhasilan penggunaan terapi atau konseling rasional emotif behavioral dalam meningkatkan resiliensi di tempat kerja (Neenan, 2009), meningkatkan resiliensi dalam hubungan pernikahan (Neenan, 2009), serta meningkatkan resiliensi dan emotional well being remaja sekolah menengah pertama (Joseph, 2004); dan (4) konseling rasional emotif behavioral memiliki konsep-konsep pokok yang sesuai diaplikasikan dalam upaya peningkatan resiliensi. Konseling rasional emotif behavioral mencakup proses mengkonfrontasi keyakinan irrasional menjadi keyakinan yang lebih logis dan rasional sehingga membawa pada munculnya perilaku atau perasaan baru yang lebih tepat pada akhir proses konseling. Keyakinan rasional dapat menjadi sumber yang andal bagi remaja untuk mengatasi pengaruh dan konsekuensi negatif dari adversitas di masa lalu, dan tekanan di masa kini maupun masa mendatang yang berada di luar kendali. Dengan demikian remaja akan menjadi pribadi yang lebih resilien.

Untuk dapat memformulasikan suatu rumusan intervensi konseling yang tepat, maka intervensi konseling rasional emotif behavioral yang akan dirumuskan harus disesuaikan dengan data atau profil permasalahan yang riil di lapangan (dalam hal ini data mengenai rendahnya tingkat resiliensi siswa di sekolah yang menjadi lokasi penelitian). Dengan demikian penelitian perlu difokuskan pada permasalahan utama yakni perlu dirumuskannya konseling rasional emotif behavioral yang teruji efektif untuk meningkatkan resiliensi remaja.

Permasalahan utama tersebut berimplikasi terhadap permasalahan lainnya yang juga perlu dikaji dalam penelitian yakni, (1) perlunya identifikasi terhadap


(23)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

tingkat kecenderungan resiliensi remaja sebagai data acuan bagi perumusan program intervensi konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja, serta (2) perlunya pengujian secara empirik terhadap efektivitas rumusan program intervensi konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas konseling rasional emotif behavioral dalam meningkatkan resiliensi remaja. Secara khusus tujuan penelitian adalah memperoleh kajian teoretis dan empiris mengenai hal-hal sebagai berikut.

1. Profil resiliensi remaja khususnya siswa SMKN 9 Bandung.

2. Rumusan konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja khususnya siswa SMKN 9 Bandung.

3. Efektivitas konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja khususnya siswa SMKN 9 Bandung.

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan utama dalam penelitian ini yakni, “bagaimana konseling rasional emotif behavioral yang efektif untuk meningkatkan resiliensi remaja, khususnya siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 9 Kota Bandung?”.

Pertanyaan utama tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.


(24)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

1. Seperti apa profil resiliensi remaja khususnya siswa SMKN 9 Bandung? 2. Bagaimana rumusan konseling rasional emotif behavioral untuk

meningkatkan resiliensi remaja khususnya siswa SMKN 9 Bandung? 3. Bagaimana efektivitas konseling rasional emotif behavioral untuk

meningkatkan resiliensi remaja khususnya siswa SMKN 9 Bandung?

E. Manfaat Penelitian

Manfaat teoretis penelitian adalah memperkaya khasanah teori tentang resiliensi individu dan melengkapi berbagai bentuk intervensi konseling maupun psikoterapi untuk meningkatkan resiliensi remaja, khususnya yang sesuai digunakan di lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal.

Secara praktis, penelitian ini mengandung manfaat:

1. Siswa dapat memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling dalam bentuk program intervensi konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja agar dapat membangun resiliensi dalam diri masing-masing sehingga dapat pulih kembali setelah mengalami kemalangan dan bertahan menghadapi tantangan dan tekanan dari lingkungan sekitar.

2. Lembaga sosial, LSM, sekolah, dan institusi pendidikan lainnya, dapat menjadikan hasil penelitian sebagai salah satu referensi untuk menyusun kebijakan, materi pelatihan dan seminar, ataupun pengembangan program-program lainnya yang terkait dengan peningkatan resiliensi remaja.


(25)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

3. Guru bimbingan dan konseling atau konselor di sekolah menengah, dapat memanfaatkan hasil studi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan terkait berbagai teori dan pendekatan konseling, memahami dinamika resiliensi dalam diri siswa/konseli, sebagai referensi untuk mengembangkan materi layanan responsif yang difokuskan pada peningkatan kemampuan resiliensi siswa/konseli, atau sebagai referensi untuk menyusun satuan kegiatan layanan bimbingan dan konseling (SKLBK).

4. Sivitas akademika program studi Bimbingan dan Konseling, dapat memanfaatkan hasil penelitian untuk menambah khasanah pengetahuan dan wawasan di bidang bimbingan dan konseling bagi populasi khusus dan di bidang konseling perilaku, serta sebagai data acuan dan informasi awal bagi penelitian di masa mendatang terkait peningkatan resiliensi.

F. Asumsi Penelitian

Penelitian ini dilandasi oleh beberapa asumsi sebagai berikut.

1. Anak yang memiliki pengalaman terhadap adversitas yang signifikan memiliki kerentanan tinggi terhadap resiko seperti kegagalan akademik, perilaku bermasalah dan masalah penyesuaian di masa depan seperti status okupasional yang rendah dan kondisi kesehatan yang kurang memadai (Duncan & Brooks-Gun, 1997; Essen & Wedge, 1978; Rutter & Madge, 1976; dalam Schoon, 2006).


(26)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

2. Resiliensi bukan merupakan „fixed attribute of individuals’ melainkan suatu proses interaksi antara faktor personal dan lingkungan (Kumpfer, 1993; Luthar, 1991; Ricahrdson dkk, 1990; Rutter, 1989; dalam Norman, 2004;4). Meskipun beberapa individu memiliki kecederungan genetic yang memberi kontribusi bagi resiliensi namun kebanyakan dari karakteristik yang dihubungkan dengan resiliensi dapat dipelajari (Higgins, 1994; Werner & Smith, 1992; dalam Desmita, 2009:201).

3. Resiliensi bukanlah sebuah sifat (traits) yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh seseorang, resiliensi merupakan perilaku dan keterampilan, pikiran dan tindakan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh siapapun (Walsh, 2007; dalam Hooper, 2009;19).

4. Individu memiliki potensi menjadi pribadi yang sehat dan resilien yang mampu mengatasi adversitas melalui pendekatan progresif atas kesadaran eksistensial dan pencapaian tujuan hidup (Huchinson & Chapman, 2010:5) 5. Konseling rasional emotif behavioral tidaklah bertujuan membantu

seseorang mengubah kondisi lingkungan yang negatif akan tetapi membantu seseorang untuk belajar menerima ketidaksempurnaan dalam dirinya diri orang lain dan dunia, hal tersebut dapat membawa pada kebahagiaan dan kebebasan yang lebih baik serta membawa pada perubahan lingkungan yang lebih positif (Elis, 2001; dalam Bacon 2008:11).

6. Konseling rasional emotif behavioral menggunakan pikiran rasional untuk mengubah individu menjadi agen aktif lingkungan, yang mampu


(27)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

menghadapi kesulitan hidup dan peristiwa katastropis. Berpikir rasional berarti berpikir ilmiah, jelas, dan fleksibel yang dapat membantu pencapaian tujuan dalam hidup, proses, proses berpikir rasional dapat membawa pada peningkatan resiliensi diri, determinasi diri dan kompetensi diri (Ellis & Grieger, 1996; dalam Hutchinson & Chapman, 2005:9)).

7. Manusia tidak bertanggung jawab atas kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan ataupun keadaan endogen (seperti depresi dan psikosis), akan tetapi manusia bertanggung jawab terhadap bagaimana menyikapi kondisi tersebut (Hutchinson & Chapman, 2005:9)). Konseling rasional emotif behavioral mendorong konseli untuk membuat pilihan yang rasional dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan personal dalam lingkungan sosial dimana keinginan orang lain bias menimbulkan konflik. 8. Insight dan teknik dalam konseling REB tidak hanya dapat membantu

konseli untuk mengatasi suatu permasalahan, namun juga memungkinkan konseli untuk mengembangkan pandangan terhadap diri sebagai pribadi yang kuat dan mampu mengatasi masa-masa sulit, menemukan kebahagiaan hidup dan mencapai tujuan yang penting atau dengan kata lain meningkatkan resiliensi (Neenan, 2009:2).

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan asumsi-asumsi penelitian maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian yakni, konseling rasional emotif behavioral efektif untuk meningkatkan


(28)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

resiliensi diri remaja, khususnya siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 9 Kota Bandung.

H. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dan kuantitatif digunakan secara bersama-sama. Mengacu pada pendapat Creswell (2008), terdapat tiga model pendekatan kualitatif kuantitatif yaitu : two phase design, dominant-less dominant design dan mixed methodology design. Dalam penelitian ini dipilih mixed methodology design karena di dalamnya pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif dilakukan secara terpadu dan saling mendukung.

Pada tataran teknis dilakukan langkah-langkah yakni, metode analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan secara sistematis, akurat, tentang fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan substansi penelitian. Metode partistipatif-kolaboratif dilakukan dalam proses validasi rasional program intervensi. Metode eksperimen kuasi dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai efektivitas konseling. Desain penelitian eksperimen kuasi yang digunakan adalah nonequivalent pre test-post test control group design (pretest-postest dua kelompok).

Langkah-langkah penelitian mencakup yakni pre test (pengukuran awal), pemberian perlakuan (treatment) dan post test (pengukuran akhir). Instrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian antara lain instrumen skala resiliensi remaja, dan jurnal kegiatan.


(29)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Teknik analisis data kuantitatif yang digunakan antara lain ukuran gejala pusat dan persentase untuk menganalisis data mengenai gambaran tingkat resiliensi remaja, uji normalitas terhadap pre test, skor post test dan gain score kelompok eksperimen dan kontrol sebagai uji prasyarat, serta uji perbedaan dua rerata (t-test) dalam rangka mengetahui efektivitas konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja.


(30)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan pokok bahasan yang berkenaan dengan pendekatan penelitian, metode penelitian, definisi operasional variabel penelitian, pengembangan instrumen penelitian, prosedur penelitian, lokasi dan subjek penelitian, teknik analisis data penelitian, serta pengembangan program intervensi.

A. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Mixed methodology design (penelitian campuran) dipilih sebagai metode penelitian karena di dalamnya pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif dilakukan secara terpadu dan saling mendukung.

Pendekatan kuantitatif dipergunakan terutama untuk mengkaji tentang profil resiliensi remaja, sedangkan pendekatan kualitatif digunakan lebih intensif pada saat analisis profil dan hasil dari perlakuan berupa program intervensi konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja terhadap subjek penelitian. Terkait data hasil penelitian, data kualitatif digunakan sebagai penunjang data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh melalui jurnal kegiatan konseling, sedangkan data kuantitatif diperoleh melalui instrumen skala resiliensi remaja.

Teknik sampling yang digunakan adalah teknik non-probabilitas dimana setiap sampel tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih, yakni dengan menggunakan pengambilan sampel secara purposif (purposive sampling).


(31)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Setelah diperoleh sampel yang memenuhi kriteria maka sampel tersebut kemudian dibagi kedalam dua kelompok penelitian yakni kelompok kontrol dan eksperimen. Untuk mengurangi variabel rambang, maka pembagian sampel ke dalam kelompok dilakukan secara acak atau dengan menggunakan teknik random assignment.

B. Metode Penelitian

Pada tataran teknis metode penelitian dibagi menjadi tiga langkah utama yakni: metode analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan secara sistematis tentang fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan substansi penelitian. Metode partistipatif-kolaboratif dilakukan dalam proses validasi rasional program intervensi. Metode eksperimen kuasi dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai efektivitas konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja. Penelitian eksperimen kuasi dapat diartikan sebagai penelitian yang mendekati eksperimen atau eksperimen semu dan merupakan penelitian yang dilakukan melalui uji coba untuk mengontrol atau memanipulasi variabel yang relevan. Bentuk penelitian ini banyak digunakan dibidang ilmu pendidikan atau penelitian lain dengan subjek yang diteliti adalah manusia.

Penelitian eksperimen kuasi bertujuan untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen sebenarnya (true experiment) dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol atau memanipulasi semua variabel yang relevan.


(32)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Desain penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonequivalent pre test-post test control group design (pre test-post test dua kelompok). Penggunaan desain ini dimaksudkan untuk menganalisis data hasil uji efektivitas konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja. Salah satu pertimbangan yang digunakan dalam memilih desain ini adalah karena merupakan desain yang banyak digunakan dalam penelitian di bidang pendidikan.

Desain nonequivalent pre test-post test control group design (pre test-post test dua kelompok) merupakan desain penelitian yang dilaksanakan pada dua kelompok, kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Kelompok kontrol merupakan kelompok pembanding. Kedua kelompok dikenakan pengukuran sebanyak dua kali yakni sebelum dan sesudah pemberian perlakuan. Dalam penelitian ini, kelompok eksperimen diberikan perlakuan berupa serangkaian sesi intervensi konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja, sementara kelompok kontrol selaku kelompok pembanding tidak diberikan perlakuan serupa.

Skema penelitian dengan desain nonequivalent pre test-post test control group design (pre test-post test dua kelompok) adalah sebagai berikut.

Gambar 3.1

Skema Desain Penelitian Nonequivalent Pre test-Post test Control Group Design

O1 X O2 O1 X O2


(33)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dalam penelitian ini terdapat dua konsep utama, yakni resiliensi remaja dan intervensi konseling rasional emotif behavioral. Penjelasan mengenai definisi operasional kedua konsep tersebut adalah sebagai berikut.

1. Resiliensi Remaja

Resiliensi remaja dalam penelitian ini merupakan karakteristik internal siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung yang memungkinkan siswa tersebut untuk mencegah, menghadapi, meminimalkan, bahkan menghilangkan dampak-dampak merugikan dari kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif. Karakteristik internal yang dimaksud terdiri dari,

a. Efikasi-diri, yaitu sikap mental siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung yang menunjukkan keyakinan dirinya memiliki kualifikasi yang mendukung keberhasilan dari upaya yang dilakukan dalam menghadapi kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif. Keyakinan tersebut meliputi self image positif, rasa keberartian diri atau self worth, keyakinan terhadap keberhasilan upaya yang dilakukan dan lokus kendali internal.

b. Penilaian realistis terhadap lingkungan, yaitu kemampuan siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung untuk menilai aspek dari kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif yang berada di dalam kendali dirinya dan membedakannya dari aspek situasi negatif yang berada di luar kendali dirinya. Kemampuan ini diindikasikan oleh adanya


(34)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

kesadaran dan penerimaan terhadap kenyataan aktual, serta harapan yang terukur terhadap orang lain di sekitar.

c. Keterampilan pemecahan masalah (problem solving skill), yaitu kemampuan siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung untuk menemukan solusi dari suatu masalah berdasarkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka merespon kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif secara positif, yang diindikasikan oleh rasa tertarik dan termotivasi untuk menyelesaikan masalah, mengidentifikasi penyebab dari masalah, mengidentifikasi akibat dari suatu masalah, mempertimbangkan sumber-sumber kredibel untuk pemecahan masalah, dan memunculkan sebanyak mungkin ragam solusi untuk masalah.

d. Kemampuan merencanakan dan menentukan tujuan, yaitu kemampuan siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung untuk menyusun serangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mencapai suatu hal serta menetapkan dan memaknai hal yang ingin dicapai tersebut sehingga dapat dijadikan pegangan utama saat menghadapi kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif. Kemampuan ini ditampilkan oleh indikator minat yang kuat terhadap suatu hal, tekad dan harapan terkait masa depan serta fleksibilitas dalam perencanaan.

e. Kemampuan berempati, yaitu kemampuan siswa X dan XI SMKN 9 Bandung untuk mengenali, merasakan, dan memahami pengalaman


(35)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

emosional orang lain dalam kondisi tertentu serta memaknai pengalaman emosional tersebut sebagai kesan yang berguna ketika menghadapi kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif, yang diindikasikan oleh mengenali dan memahami ekspresi orang lain yang mewakili pengalaman emosional tertentu, apresiatif terhadap orang lain, serta menunjukkan kasih sayang dan tanggung jawab terhadap sesama.

f. Kemampuan menggunakan humor secara efektif yaitu kemampuan siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung untuk menangkap kelucuan dari suatu hal kemudian menggunakannya sebagai strategi untuk mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif serta memberi semangat untuk mengatasi kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif tersebut. Kemampuan ini diindikasikan oleh, dapat menemukan komedi dalam tragedi, memiliki keinginan untuk membuat orang lain tertawa, menggunakan lelucon untuk mengurangi ketegangan, serta memperhatikan unsur kesopanan, kreativitas dan pengetahuan dalam lelucon.

g. Kemampuan menjaga jarak secara adaptif yaitu kemampuan siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung untuk menghindari lingkungan pergaulan disfungsional yang diakibatkan oleh kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif dalam rangka memelihara kesehatan mental pribadi dari pengaruh maladaptif orang-orang di


(36)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

sekitar. Kemampuan ini diindikasikan oleh kemampuan menjaga diri dari pengaruh perilaku buruk teman sebaya dan menjaga diri dari hal-hal yang dapat memancing emosi negatif.

h. Peran seksual androgini, yaitu kemampuan siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung untuk mengadopsi karakteristik peran seksual feminin dan maskulin secara bersamaan dan dalam level yang sama-sama tinggi agar dapat mendukung keluwesan dalam menghadapi kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif. Kemampuan ini diindikasikan oleh, sikap yang mengusung ekualitas gender, tidak menutup diri dari pergaulan dengan lawan jenis, serta menunjukkan karakteristik feminin dan maskulin secara bersamaan pada situasi tertentu.

2. Intervensi Konseling Rasional Emotif Behavioral untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja

Secara operasional konseling rasional emotif behavioral untuk meningkatkan resiliensi remaja dalam penelitian ini didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan pemberian bantuan dari konselor atau peneliti, kepada konseli atau siswa kelas X dan XI SMKN 9 Bandung yang teridentifikasi memiliki tingkat kecenderungan resiliensi rendah, dilakukan dalam setting kelompok serta melibatkan penggunaan teknik dari pendekatan konseling rasional emotif behavioral antara lain teknik kognitif, teknik emotif evokatif, teknik pencitraan (imagery) dan teknik behavioral, yang secara spesifik


(37)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

menekankan pada upaya penghapusan keyakinan irrasional konseli terhadap kondisi tidak menyenangkan atau situasi negatif yang pernah dialami sebagai bagian utama dalam tahap awal, tahap pertengahan dan tahap akhir proses konseling dengan tujuan untuk meningkatkan resiliensi dalam diri konseli.

D. Pengembangan Instrumen Penelitian 1. Jenis Instrumen

Instrumen merupakan alat bantu dalam penelitian yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatan pengumpulan data. Untuk variabel resiliensi remaja, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen berbentuk skala, yakni sebuah pengumpul data yang berbentuk daftar cocok dengan alternatif jawaban tersedia berupa sesuatu yang berjenjang. Bentuk skala dipilih karena resiliensi merupakan kapasitas dinamis yang sifatnya threshold sehingga dapat dideskripsikan mulai dari tingkatan paling rendah sampai dengan tingkatan paling tinggi. Instrumen penelitian disajikan dalam angket tertutup dalam bentuk daftar cek, yakni angket yang disajikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga responden tinggal memberikan tanda check (√) pada kolom jawaban yang sesuai (Arikunto, 2005). Selain instrumen untuk pengumpulan data, disusun juga instrumen untuk keperluan pemantauan setiap sesi konseling yakni berupa jurnal kegiatan yang berbentuk angket terbuka.


(38)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

2. Pengembangan Kisi-kisi Instrumen

Kisi-kisi instrumen dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian, kisi-kisi selanjutnya dijadikan bahan penyusunan item instrumen berupa butir-butir pernyataan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala resiliensi remaja. Instrumen ini berbentuk angket berskala dengan kategori pilihan jawaban, Tidak Sesuai (TS), Agak Sesuai (AS), Sesuai (S), dan Sangat Sesuai (SS), yang masing-masing diberi skor 0 (TS), 1 (AS), 2 (TS) dan 3 (SS). Berikut disajikan kisi-kisi instrumen skala resiliensi remaja sebelum uji coba dalam tabel 3.1.

Tabel 3.1

Matriks Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja (Sebelum uji coba)

Variabel Aspek Indikator No. Item Jumlah

Item Resiliensi 1. Efikasi diri

yang tinggi

1. Memiliki self image yang positif

1 – 4 4 2. Merasa diri berarti 5 – 8 4 3. Keyakinan terhadap

keberhasilan upaya yang dilakukan

9 – 12 4

4. Memiliki lokus kendali internal

13 – 16 4 2. Penilaian

realistis terhadap lingkungan

5. Menunjukkan

kesadaran dan

penerimaan terhadap kenyataan aktual

17 – 22 6

6. Memiliki harapan yang terukur terhadap orang lain di sekitar

23 – 26 4

3. Keterampilan pemecahan masalah

7. Tertarik dan

termotivasi untuk menyelesaikan masalah


(39)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

8. Mengidentifikasi penyebab dari masalah

31 – 34 4 9. Mengidentifikasi akibat

dari suatu masalah

35 – 38 4 10.Mempertimbangkan

sumber-sumber

kredibel untuk

pemecahan masalah

39 – 42 4

11.Memunculkan

sebanyak mungkin ragam solusi untuk masalah

43 – 46 4

4. Kemampuan merencanakan dan

menentukan tujuan

12.Memiliki minat yang kuat terhadap suatu hal

47 – 50 4 13.Menunjukkan adanya

tekad dan harapan terkait masa depan

51 – 54 4

14.Memiliki fleksibilitas dalam perencanaan

55 – 60 6 5. Kemampuan

berempati

15.Mengenali dan memahami ekspresi orang lain yang mewakili pengalaman emosional tertentu

61 – 66 6

16.Apresiatif terhadap orang lain

67 – 70 4 17.Menunjukkan kasih

sayang dan tanggung jawab terhadap sesama

71 – 74 4

6. Kemampuan menggunakan humor secara efektif

18.Menemukan komedi dalam tragedi

75 – 78 4 19.Memiliki keinginan

untuk membuat orang lain tertawa

79 – 82 4

20.Menggunakan humor untuk mengurangi ketegangan

83 – 86 4

21.Memperhatikan unsur kesopanan, kreativitas dan pengetahuan


(40)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

dalam humor 7. Kemampuan

menjaga jarak yang adaptif

22.Menjaga diri dari pengaruh perilaku buruk teman sebaya

95 – 100 6

23.Menjaga diri dari hal-hal yang dapat memancing emosi negatif

101 – 104 4

8. Peran seksual androgini

24.Mengusung ekualitas gender

105 – 108 4 25.Tidak menutup diri

dari pergaulan dengan lawan jenis

109 – 112 4

26.Menunjukkan

karakteristik feminin dan maskulin secara bersamaan pada situasi tertentu

113 – 116 4

Jumlah total butir pernyataan (item) 116

3. Uji Coba Instrumen a. Uji Kelayakan

Untuk melihat kesesuaian antara konstruk, konten/isi, dan redaksi instrumen dengan landasan teoretis, ketepatan bahasa baku dan karakteristik subjek yang menjadi responden maka dilakukan telaah butir-butir pernyataan instrumen atau yang lebih dikenal dengan penimbangan (judgement) instrumen. Judgement dapat juga berfungsi sebagai uji validitas internal instrumen atau alat pengumpul data.

Dari delapan aspek resiliensi menghasilkan 26 indikator, yang kemudian dikembangkan menjadi 116 butir pernyataan. Instrumen penelitian ditimbang oleh tiga orang penimbang untuk dikaji kesesuaian setiap butir


(41)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

pernyataan dengan aspek-aspek dan indikator yang akan diungkap. Penimbangan (judgement) terhadap instrumen penelitian dilakukan oleh tiga orang pakar bimbingan dan konseling dan satu orang pakar assessment psikologis, yaitu Dr. Mamat Supriatna, M.Pd., Dr. Ipah Saripah, M. Pd., Dra. Yusi Riksa Yustiana, M.Pd., dan Drs. Nurhudaya, M.Pd.

Berdasarkan penimbangan instrumen penelitian, masing-masing pernyataan dikelompokkan dalam kualifikasi memadai (M) atau tidak memadai (TM). Kategori antara memadai atau tidak memadai sebuah instrumen dilihat dari konstruk instrumen, konten/isi instrumen, dan redaksi instrumen tersebut. Pernyataan yang berkualifikasi memadai (M) dapat langsung digunakan sebagai butir item dalam instrumen penelitian sementara pernyataan yang berkualifikasi tidak memadai (TM) perlu direvisi dan diperbaiki.

b. Uji Keterbacaan

Uji keterbacaan instrumen dilakukan kepada 20 orang subjek usia remaja yang berasal dari kelas X dan XI Sekolah Menengah Kejuruan dalam rangka mengukur sejauh mana keterbacaan instrumen. Melalui uji keterbacaan ini dapat diketahui kata-kata yang kurang dipahami serta kalimat yang rancu dan kurang jelas sehingga butir pernyataan dalam instrumen dapat disederhanakan tanpa mengubah maksud dari pernyataan tersebut.

Setelah dilakukan uji keterbacaan, butir pernyataan instrumen yang kurang jelas diperbaiki sesuai kebutuhan sehingga dapat dimengerti oleh


(42)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

responden usia remaja baru kemudian dilakukan uji validitas butir pernyataan dan uji reliabilitas instrumen.

c. Uji Validitas Butir Pernyataan (Item)

Instrumen yang valid adalah alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data yang valid dan dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur. Semakin tinggi nilai validitas, semakin valid instrumen tersebut digunakan di lapangan.

Uji coba instrumen penelitian dilaksanakan terhadap siswa yang bukan subjek penelitian sebenarnya, namun memiliki karakteristik yang relatif sama dengan subjek penelitian yang sebenarnya (kelompok kontrol dan eksperimen). Untuk keperluan uji coba instrumen penelitian, diambil responden sebanyak 45 orang siswa dari usia remaja tepatnya siswa yang duduk di kelas X dan XI Sekolah Menengah Kejuruan dan teridentifikasi pernah mengalami adversitas.

Langkah uji validitas butir pernyataan dilakukan dengan menggunakan teknik pengolahan statistik yakni korelasi item-total product moment (Pearson). Penghitungan validitas butir pernyataan dilakukan dengan bantuan program komputer Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows (hasil terlampir). Berdasarkan hasil penghitungan, diperoleh butir pernyataan yang tidak valid berjumlah 36 butir. Oleh karena itu jumlah item instrumen yang semula berjumlah 116 item setelah di ujicoba berkurang menjadi 80 item.


(43)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

d. Uji Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas berkenaan dengan tingkat keajegan atau ketetapan hasil pengukuran (Syaodih, 2005). Suatu instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang memadai apabila digunakan mengukur aspek yang diukur beberapa kali hasilnya sama atau relatif sama. Instrumen yang dapat dipercaya akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Reliabilitas instrumen secara operasional dinyatakan sebagai koefisien korelasi (r) (Suryabrata, 1999:41).

Untuk mengetahui tingkat reliabilitas instrumen dilakukan pengujian dengan menggunakan rumus Cronbach’s Alpha (α). Proses pengujian reliabilitas instrumen ini dilakukan secara statistik memakai bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16.0 for windows.

Guilford (1954; dalam Furqon, 1999) menyatakan harga reliabilitas berkisar antara -1 sampai dengan +1, harga reliabilitas yang diperoleh berada di antara rentangan tersebut. Semakin tinggi harga reliabilitas instrumen maka semakin kecil kesalahan yang terjadi, semakin rendah harga reliabilitas instrumen maka semakin besar kesalahan yang terjadi. Sebagai tolak ukur koefisien reliabilitasnya, digunakan kriteria dari Guilford (Subino, 1987), yaitu:

< 0,20 : Derajat keterandalannya sangat rendah 0,21 - 0,40 : Derajat keterandalannya rendah 0,41 – 0,70 : Derajat keterandalannya sedang 0,71 – 0,90 : Derajat keterandalannya tinggi


(44)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas instrumen skala resiliensi remaja, diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,892. Sesuai dengan kriteria Guilford, maka reliabilitas instrumen ini berada pada kategori tinggi artinya instrumen andal atau dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data.

4. Revisi Akhir dan Pengemasan Instrumen Final

Butir item yang memenuhi syarat dihimpun dan direvisi sesuai kebutuhan, dengan demikian dapat dihasilkan seperangkat instrumen siap pakai untuk pengumpulan data mengenai profil resiliensi remaja serta dapat digunakan sebagai instrumen pre test dan post test. Berikut disajikan kisi-kisi instrumen skala resiliensi remaja setelah uji coba dalam tabel 3.2.

Tabel 3.2

Matriks Kisi-kisi Instrumen Skala Resiliensi Remaja (Setelah uji coba)

Variabel Aspek Indikator No. Item Jumlah

Item Resiliensi 1. Efikasi diri

yang tinggi

1. Memiliki self image yang positif

1 – 2 2 2. Merasa diri berarti 3 – 5 3 3. Keyakinan terhadap

keberhasilan upaya yang dilakukan

6 – 7 2

4. Memiliki lokus kendali internal

8 – 10 3 2. Penilaian

realistis terhadap lingkungan

5. Menunjukkan

kesadaran dan

penerimaan terhadap kenyataan aktual

11 – 14 4

6. Memiliki harapan yang terukur terhadap orang lain di sekitar


(45)

Esya Anesty Mashudi, 2012

Konseling Rasional Emotif Behavioral Untuk Meningkatkan Resiliensi Remaja Universitas Pendidikan Indonesia | Repository.Upi.Edu

3. Keterampilan pemecahan masalah

7. Tertarik dan

termotivasi untuk menyelesaikan

masalah

17 – 20 4

8. Mengidentifikasi penyebab dari masalah

21 – 23 3 9. Mengidentifikasi

akibat dari suatu masalah

24 – 27 4

10.Mempertimbangkan sumber-sumber

kredibel untuk pemecahan masalah

28 – 29 2

11.Memunculkan

sebanyak mungkin ragam solusi untuk masalah

30 – 31 2

4. Kemampuan merencanakan dan

menentukan tujuan

12.Memiliki minat yang kuat terhadap suatu hal

32 – 33 2 13.Menunjukkan adanya

tekad dan harapan terkait masa depan

34 – 36 3

14.Memiliki fleksibilitas dalam perencanaan

37 – 40 4 5. Kemampuan

berempati

15.Mengenali dan memahami ekspresi orang lain yang mewakili pengalaman emosional tertentu

41 – 44 4

16.Apresiatif terhadap orang lain

45 – 47 3 17.Menunjukkan kasih

sayang dan tanggung jawab terhadap sesama

48 – 49 2

6. Kemampuan menggunakan humor secara efektif

18.Menemukan komedi dalam tragedi

50 – 51 2 19.Memiliki keinginan

untuk membuat orang lain tertawa

52 – 55 4


(1)

Dumont, M. & Provost, M. (1999). Resilience in adolescents: Protective role of social support, coping strategies, self-esteem, and social activities on experience of stress and depression. Journal of Youth and Adolescence, 28, 343-363.

Dryden, W. (2003). The REBT pocket companion for clients. New York: Albert Ellis Institute.

Dryden, W., DiGiuseppe, R., & Neenan, M. (2003). A primer on Rational Emotive Behavior

Therapy. Champaign, IL: Research Press.

Dryden, Windy. (2003). Rational Emotive Behavioural Therapy, Theoritical Development. New York : Brunner and Routledge Publisher.

Dryden, Windy. (2009). Rational Emotive Behavioural Therapy, The CBT Distinctive

Feature Series. New York : Routledge.

Ellis, A. (2001b). Overcoming destructive beliefs, feeling and behaviors. Amherst, NY: Prometheus Books.

Ellis, A. (2001c). Rational and irrational aspects of countertransference. Journal of Clinical

Psychology, In session: Psychotherapy in Practice, 57, 999–1004.

Ellis, A., & Becker, I. (1982). A guide to personal happiness. North Hollywood, CA: Melvin Powers Publishing.

Ellis, A., & Blau. S. (1998). (Eds). The Albert Ellis reader. New York: Kensington Publishers.

Ellis, A., & Dryden, W. (1997). The practice of rational emotive behavior therapy. New York: Springer.

Furqon. (1997). Statistika Terapan untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Fuller, Andrew. (2002). Raising Real People : Creating a Resilient Family 2nd edition. Melbourne, Australia : Acer Press.

Fraenkel, J.R., & Wallen, N.E. (1993). How to Design and Evaluate Research in Education. New York : McGraw Hill.

Gall, Meredith D., Gall, Joyce P., & Borg, Walter R. (2003). Educational Research : an

Introduction (Seventh Edition). New York : Pearson Education Inc.

Garbarino, J., Dubrow, N., Kostelny, K., & Pardo, C. (1992). Children in Danger: Coping

with the Consequences of Community Violence. San Francisco: Jossey-Bass

Publishers.

Garbarino, J. (2011). The Positive Psychology of Personal Transformation : Leveraging


(2)

Garmezy, N., & Rutter, M. (1983). Stress, Coping, and Development in Children. New York: McGraw-Hill.

Garmezy, N., Masten, A. S., & Tellegen, A. (1984). The study of stress and competence in children: A building block for developmental psychopathology. Journal of Child

Development, 55,97-111.

Gladding, Samuel T. (1995). Group Work: A Counseling Specialty. Second edition. New Jersey: Merrill an Imprint of Prentice-Hall.

Glantz, Meyer D., & Johnson, Jeannette. L. (2002). Resilience and Development : Positive

Life Adaptations. New York : Kluwer Academic Publisher.

Goldstein, Sam., & Brooks, Robert. B. (2005). Handbook of Resilience in Children. New York, USA : Springer Science and Business Media, Inc.

Goldstein, S., & Brooks, R. (2002). Nurturing resilience in our children: Answers to the

most important parenting questions. New York: Contemporary Books.

Grotberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening The

Human Spirit. Benard Van Leer Fondation.

Grotberg, E.H. (1997). The International Resilience Project. Papar presented at the

International Council of Psychologists conference. 5, 213-244.

Gysbers, N. C., & Henderson, P. (2010). Developing and managing your school guidance program (2

nd

ed.). Alexandria, VA: American Association for Counseling and Development.

Gysbers, N. C., & Moore, E. J. (1994). Improving guidance programs. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall.

Hamill, S.K. (2009). Resilience and Self Eficacy. Journal of Science, Volume 18. Colgate

University.

Hiew, C. C., Mori, T., Shimizu, Masuharu., & Tominaga, Mihoko. (2000). Measurement Of Resilience Development: Preliminary Result with a State Trait Resilience Inventory. Journal of Learning & Faculty of Education, Volume I. Hirosima

University.

Hooper, Lisa. M. (2009). Individual and Family Resilience: Definitions, Research, and Frameworks (Relevant for All Counselors). The Alabama Counseling Association

Journal, Volume 35, no 1. 19-26.

Hurlock, E. (a.b. Istiwidayanti & Soedjarwo). (1992). Psikologi Perkembangan : Edisi


(3)

Hutchinson, G.T., & Chapman, B.P. (2005). Logotherapy – Enhanced REBT: An Integration of Discovery and Reason. Journal of Contemporary Psychotherapy, 35(2), 145-155.

Jarret, Thomas. (2008). Using rational emotive therapy in Warriors Resilience Training.

(Online). Tersedia :

http://www.cs.amedd.army.mil/Thomas_Jarrett_USA/references_publications.aspx (diakses : 05-01-2012).

Kappara, Mardiana. (2011). Broken Home, No Problem. (Online). Tersedia : http://pusatremaja.com/tag/broken-home/ (diakses : 03-02-2012).

Kelly, J. B.,& Emery, R. E. (2003). Children’s adjustment following divorce: Risk and

resilience perspectives. Family Relations: Interdisciplinary Journal of Applied

Family Studies, 52, 352-362.

Klohnen, E.C. (1996). Conseptual Analysis and Measurement of The Construct of Ego Resilience. Journal of Personality and Social Psychology, Volume. 70 No 5, p

1067-1079.

Luthar, S. S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The construct of resilience: A critical evaluation and guidelines for future work. Journal of Child Development, 71, 543-562.

Liquanti, R. (1992). Using Community-wide Collaboration to Foster Resiliency in Kids: A

Conceptual Framework Western Regional Center For Drugs-Free School and Communities, Far West Laboratory fo Educational Research and Development. San

Fransisco. (Online). Tersedia : http://www.ncrel.org/sdrs/cityschool/citu11bhtm (diakses : 24-10-2010).

Masten, A. S., Best, K. M., & Garmezy, N. (1990). Resilience and development: Contributions from the study of children who overcome adversity. Journal of

Development and Psychopathology, 2, 425-444.

Mohamad, Surya. (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung : Yayasan Bhakti Winaya.

Munawaroh, E. (2011). Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan Resiliensi Akademik Siswa Boarding School. (Skripsi). Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Moltz, Barry, J. (2008). Bounce! - Failure, Resiliency and Confidence to Achieve Your Next

Great Success. New Jersey : John Wiley & Sons. Inc.

Nana Syaodih, Sukmadinata. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(4)

Natawidjaja, R. (1987). Pendekatan dalam Penyuluhan Kelompok. Jakarta : Depdikbud. Ditjen Dikti. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.

Neenan, Michael & Dryden, Windy. (2004). The Rational Emotif Behavioral Counseling in

Action. London : Sage Publications.

Neenan, Michael & Dryden, Windy. (2004). The Rational Emotif Behavioral Approach to

therapeutic change. London : Sage Publications.

Neenan, Michael & Dryden, Windy. (2006). Rational Emotif Behavioral Therapy in a

nutshell. London : Sage Publications.

Neenan, Michael. (2009). Developing Resilience, A Cognitive Behavioral Approach. New York : Routledge.

Neil, James. (2006). What is resilience?. (Online). Tersedia : http://www.about.com (diakses : 12-04-2010).

Norman, Elaine. (2000). Resiliency Enhancement : Putting Strengths Perspective into Social

Work Practice. USA : Columbia University Press.

Nurihsan, Juntika. (2003). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung: Mutiara. Parinyaphol, P., & Chongruksa, D. (2008). Resilience of Higher Educational Students : The

Human Spirit Among Thai and Muslim Students. Journal in Department of

Psychology and Guidance, Prince of Songkla University (7:08).

Peters, Ray. D., Leadbeater, Bonnie., & McMahon, Robert.J. (2005). Resilience in Children,

Families and Communities : Linking Context to Practice and Policy. New York :

Kluwer Academic/Plenum Publishers.

Richardson, G. E., Neiger, B. L., Jensen, S., & Kumpfer, K. (1990). The resihency model.

Health Education,27(6), 33-39.

Richmond, J. B. & Beardslee, W. R. (1988). Resiliency : Research and practical applications for pediatricians. Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, 9 (3), June,

157-163.

Reich, J.W, Zautra, A.J, & Hall, J. (2010). Handbook of Adult Resilience. New York : The Guildford Press.

Reivich, K., & Shatté, A.(2002). The resilience factor: 7 essential skills for overcoming life’s inevitable obstacles. New York: Broadway Books.

Russo, R., & Boman, P. (2007). Primary School Teachers’ Ability to Recognise Resilience in their Students. The Australian Educational Researcher Vol. 34 (1), April, 17-32.


(5)

Schoon, Ingrid. (2006). Risk and Resilience, Adaptations in Changing Times. New York : Cambridge University Press.

Siebert, Al. (2005). The Resiliency Advantage : Master Change, Thrive Under Pressure, and

Bounce Back from Setbacks. Berret-Koehler Publishers, Inc.

Stewart, Ann. (2011). Sense of purpose. Online. Tersedia : http://EzineArticles.com/?expert=Ann_Stewart/sense _of_purpose.htm (diakses : 05-01-2012).

Sudjana. (1996). Metode Statistika. Bandung : Penerbit Tarsito.

Supriatna, M. (2010). Model Konseling Aktualisasi Diri untuk Meningkatkan Kecakapan Pribadi Mahasiswa. (Disertasi). Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Suwarjo. (2008). Model Konseling Teman Sebaya untuk Mengembangkan Daya Lentur Anak

Asuh. (Disertasi). Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Tadjri, Imam. (2008). Model konseling kelompok berbasis pendekatan rasional emotive

therapy untuk menanggulangi kenakalan remaja. (Disertasi). Bandung : Universitas

Pendidikan Indonesia.

Tim Redaksi. (2011). Peran keluarga dalam menyelamatkan korban narkoba. (Online). Tersedia : http://www.kabar-cirebon.com(diakses : 03-02-2012).

Tugade, M. M., & Fredrickson, B. L. (2007). Regulation of positive emotions: Emotion regulation strategies that promote resilience.Journal of Happiness Studies: Special

Issue on Emotion Self-Regulation, 8, 311 – 333.

Tugade, M. M. & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient individuals use positive emotions to bounce back from negative emotional experiences. Journal of Personality and

Social Psychology, 86, 320 333.

Vargas-Reighley, Rosalva, V. (2005). Bicultural Competence and Academic Resilience

among Immigrants. New York : LFB Scholarly Publishing LLC.

Wahyuningsih, Sri .(2004). Indeks statistik kenakalan remaja. (Online). Tersedia : http://www.depsos.go.id(diakses : 03-02-2012).

Werner, E. & Smith, R. (1991) Overcoming the odds: High risk children from birth to

adulthood. New York : Cornell University Press.

Yusuf, Syamsu., dan Nurihsan, A. Juntika. (2009). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Rosda Karya.

_________. (2009). Suicidal risk in adolescence. (Online). Tersedia : http://www.depression-doctor.com (diakses : 03-02-2012).


(6)

_________.(2010). Increasing attendant rate in school : study of children from low social

economy status. (Online). http://www.edjj.com (diakses : 03-02-2012).

_________. (2010). Suicide in US : Statistic and Prevention. (Online). Tersedia :

http://www.nimh.nih.gov/health/publications/suicide-in-the-us-statistics-and-prevention/index.shtml/index.shtml (diakses : 03-02-2012).

_________.(2010). Prostitusi di kalangan remaja. (Online). Tersedia : http://www.spiriteen.wordpress.com (diakses : 03-02-2012).

_________.(2011). Drug abuse in adolescence. (Online). Tersedia : http://www/legalinfo-online.com (diakses : 03-02-2012).

_________. (2011). Perbedaan simpati dan empati. (Online). Tersedia : http://kumpulanistilah.blogspot.com/2011/02/pengertian-empati.html (diakses : 05-01-2012).

_________. (2011). Pengertian Humor. (Online). Tersedia : http://en.wikipedia.org/wiki/Humor (diakses : 05-01-2012).

_________. (2011). Adaptive and Reactive distancing among adolescents of alcoholic

families. (Online). Tersedia :

http://www.urbanministry.org/adaptive-and-reactive-distancing-among-adolescents-alcoholic-families.htm (diakses : 05-01-2012). _________. (2012). Self Efficacy. (Online). Tersedia.

http://www.shvoong.com/Pengertian%20Self-%20Efficacy.htm (diakses : 03-02-2012).

_________. (2012). Problem Solving Steps. (Online). Tersedia : http://www.about.com/problemsolving1.htm(diakses : 03-02-2012).

_________. (2012). Realistic Appraisal in Daily Life. (2012). (Online). Tersedia : http://www.TheHill.com/63789-realistic-appraisal-presents-hard-decisions.htm (diakses : 03-02-2012).

_________. (2012). Peran Seksual Androgini. (Online). Tersedia : http://www.jiskha.com/social_studies/psychology/androgyny.html (diakses : 03-02-2012).

__________. (2012). Androgyny, Creativity and Pop Culture. (Online). Tersedia :

http://www.psychologytoday.com/blog/beautiful-minds/200912/george-and-lennox-gaga-and-lambert-androgyny-creativity-and-pop-culture (diakses : 03-02-2012).