Resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai.

(1)

RESILIENSI REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI Oleh:

Patricia NIM: 129114110

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “Bagaimana resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua?”. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan analisis isi terarah. Informan dalam penelitian ini adalah tiga remaja berusia 10 sampai 22 tahun yang mengalami perceraian orangtua. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian ini didapatkan dengan meminta external auditor, dalam hal ini dosen untuk mereview keseluruhan penelitian serta peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan mengalami dampak perceraian orangtua, namun dapat dikatakan sebagai remaja yang resilien karena memiliki sumber pembentukan resiliensi I Have, I Am dan I Can yang saling menopang dan berinteraksi. Sumber I Have meliputi adanya sumber dukungan figur lekat, sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi serta memiliki dorongan untuk mandiri. Sumber I Am meliputi gambaran diri positif, penuh harapan dan keinginan serta sikap dalam berelasi dengan orang lain. Sedangkan sumber I Can meliputi kemampuan memahami perasaan dan mengatasi masalah dengan berbagai cara.


(2)

EXPERIENCE PARENTAL DIVORCE Patricia

Faculty of Psychology, Sanata Dharma

ABSTRACT

This study aimed to provide an overview of the resilience of adolescents who have experience parental divorce in his life. The research question posed is “How is the resilience of adolescents who experience parental divorce?’. The method used is qualitative method with direct content analysis approach. Participants in this study were three adolescents aged 10 to 20 years who experienced parental divorce. Data were collected by semi-structured interview method. The validity of these results obtained with a request for an external auditor, in this case the lecturer to review the entire study and researcher to clarify bias that might be taken by the researcher in this study. The results showed that all three participants experienced the impact of parental divorce, but they can be categorized as resilient teenager because they have a source of resilience formation “I Have” includes the source of attached figure support, economic resource and access to adequate health services and having the urge to be independent. The source “I Am” includes a positive self-image, full of hope and the desire, also the attitude in relationships with others. While the source “I Can” includes the ability to understand the feelings and to solve problems in different ways.


(3)

RESILIENSI REMAJA

YANG ORANGTUANYA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Patricia NIM: 129114110

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

iv

MOTTO

The hardest part of anything in life is thinking about it. Create the causes and the results come all by themselves.

(Ajahn Brahm) Tetaplah berusaha, berani mencoba dan bersabarlah dengan proses yang sedang dilalui, maka kau akan merasakan kepuasaan ketika mendapatkan hasilnya. So just do it.

(Patricia)


(7)

(8)

(9)

vii

RESILIENSI REMAJA YANG ORANGTUANYA

BERCERAI

Oleh:

Patricia

NIM: 129114110

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan adalah “Bagaimana resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua?”. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan pendekatan analisis isi terarah. Informan dalam penelitian ini adalah tiga remaja berusia 10 sampai 22 tahun yang mengalami perceraian orangtua. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur. Validitas hasil penelitian ini didapatkan dengan meminta external auditor, dalam hal ini dosen untuk mereview keseluruhan penelitian serta peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti ke dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga informan mengalami dampak perceraian orangtua, namun dapat dikatakan sebagai remaja yang resilien karena memiliki sumber pembentukan resiliensi I Have, I Am dan I Can

yang saling menopang dan berinteraksi. Sumber I Have meliputi adanya sumber dukungan figur lekat, sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi serta memiliki dorongan untuk mandiri. Sumber I Am meliputi gambaran diri positif, penuh harapan dan keinginan serta sikap dalam berelasi dengan orang lain. Sedangkan sumber I Can meliputi kemampuan memahami perasaan dan mengatasi masalah dengan berbagai cara.


(10)

viii

THE RESILIENCE OF ADOLESCENTS WHO

EXPERIENCE PARENTAL DIVORCE

Patricia

Faculty of Psychology, Sanata Dharma

ABSTRACT

This study aimed to provide an overview of the resilience of adolescents who have experience parental divorce in his life. The research question posed is “How is the resilience of adolescents who experience parental divorce?’. The method used is qualitative method with direct content analysis approach. Participants in this study were three adolescents aged 10 to 20 years who experienced parental divorce. Data were collected by semi-structured interview method. The validity of these results obtained with a request for an external auditor, in this case the lecturer to review the entire study and researcher to clarify bias that might be taken by the researcher in this study. The results showed that all three participants experienced the impact of parental divorce, but they can be categorized as resilient teenager because they have a source of resilience formation “I Have” includes the source of attached figure support, economic resource and access to adequate health services and having the urge to be independent. The source “I Am”

includes a positive self-image, full of hope and the desire, also the attitude in relationships with others. While the source “I Can” includes the ability to understand the feelings and to solve problems in different ways.


(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang TriRatna atas berkat dan kasih-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

2. P. Eddy Suhartanto, M.Si, selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Sylvia C.M.YM., S.Psi., M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan, serta memotivasi saya.

4. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah mendampingi selama proses belajar- mengajar.

5. Seluruh dosen Psikologi yang telah bersedia untuk berbagi ilmu, pengalaman dan memberikan inspirasi mengenai psikologi maupun hidup. 6. Mama dan kakak tercinta, terima kasih sudah memahami dan selalu

mendukung, sumber semangatku.

7. Keluarga besar yang telah dengan tulus ikhlas mendukung untuk keberhasilan saya.

8. Sahabat-sahabatku group “Lagi Butuh Teman”, sahabat dari jaman alay yang selalu memberikan motivasi (Nab, Nop, Mia, Rossy, Gusti, Manda, Cindy, When”).

9. Sahabatku, Lita yang selalu menyakinkanku, bahwa pasti bisa.

10. Sahabat-sahabatku tersayang group “Menuju S.Psi” sekaligus partner kerja “P2TKP” dan teman bimbingan, dimana sebagai teman seperjuangan yang saling mensupport maupun tempat berbagi curahan hati, tempat berdiskusi dikala proses penyusunan skripsi berlangsung (Bayu, Chopie, Cia, Jejes, Tiara, Dimas, Dian, Edo, Ivie, Lenny, Ardi, Banya).

11. Partner-partner P2TKP ku yang lain, yang ikut memberikan euforia “skripsi” saat sedang bekerja di kantor.


(12)

x

12. Bapak Cahya selaku kepala P2TKP yang sangat mendukung kami untuk tetap memprioritaskan kuliah dan memfasilitasi kami untuk berkembang di perkuliahan maupun diluar hal tersebut serta mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang baik.

13. Suster Dewi, Mbak Thia, Pak Toni serta bagian dari P2TKP yang lain, yang juga telah memaklumi dan bersedia mendengarkan berbagai masalah yang muncul dan berkaitan dengan “skripsi” saat sedang bekerja di kantor sengaja maupun tidak di sengaja.

14. Sahabat-sahabatku sesama Psikologi (Della, Suci, Erlin, Pras dan yang tidak dapat kusebutkan satu persatu), maupun teman-teman diluar Psikologi.

15. Kakak-kakak tercinta di Psikologi yang selalu bersedia bekerjasama denganku (Kak Ani, Kak Ester, Vico, dll).

16. Para responden yang telah percaya dan bersedia membagi kisah hidupnya denganku, terima kasih banyak.

17. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang telah membantu dan memberikan dukungan selama ini.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti terbuka kepada setiap kritik dan saran yang disampaikan demi perkembangan yang lebih baik.

Peneliti,


(13)

xi

DAFTAR ISI

JUDUL ... ..i

PERSETUJUAN ... .ii

PENGESAHAN ... .iii

MOTTO... .iv

KEASLIAN PENELITIAN DAN KARYA ILMIAH ... ..v

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... .vi

ABSTRAKSI ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ………...ix

DAFTAR ISI………..xi

DAFTAR TABEL ... ..xv

DAFTAR GAMBAR………...xvii

BAB I. PENDAHULUAN……….1

A. Latar Belakang Penelitian.………...1

B. Pertanyaan Penelitian………...6

C. Tujuan Penelitian………....7

D. Manfaat Penelitian………...7

1. Manfaat Teoritis………...7


(14)

xii

BAB II. KAJIAN PUSTAKA………...…..8

A. Resiliensi………...…..8

B. Remaja………...13

C. Perceraian……….15

D. Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai………...16

E. Pertanyaan Penelitian………...19

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...20

A. Strategi Penelitian……….20

B. Fokus Penelitian………....20

C. Informan Penelitian………...21

1. Cara Pemilihan Informan………...21

2. Karakteristik Informan………...21

D. Metode Pengumpulan Data………...21

1. Metode Wawancara……….21

E. Metode Analisis Data………24

F. Keabsahan Data……….25

1. Reliabilitas………25

2. Kredibilitas………...25

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN………27


(15)

xiii

1. Persiapan Penelitian dan Perizinan………..27

2. Pelaksanaan Penelitian……….………28

B. Informan Penelitian……….……..29

1. Data Informan……….29

2. Latar Belakang Informan………...30

C. Analisis Data Penelitian………34

1. Dampak Perceraian………..34

2. Resiliensi………..41

3. Kesimpulan Seluruh Data Penelitian………...62

D. Pembahasan………66

1. Dampak Perceraian Orangtua Bagi Responden………...66

2. Sumber I Have Bagi Responden………..70

3. Sumber I Am Bagi Responden……….73

4. Sumber I Can Bagi Responden………....75

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………78

A. Kesimpulan………78

B. Saran………...79

1. Bagi Remaja Yang Mengalami Perceraian Orangtua...79

2. Bagi Orangtua………...80

3. Bagi Keluarga Besar………80


(16)

xiv

5. Bagi Peneliti Selanjutnya………81

DAFTAR PUSTAKA ………...83


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Panduan Wawancara 1……….………22

Tabel 3.2. Panduan Wawancara 2……….23

Tabel 3.3. Panduan Wawancara 3……….24

Tabel 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian………..28

Tabel 4.2. Data Informan 1………...29

Tabel 4.3. Data Informan 2………...29

Tabel 4.4. Data Informan 3………...29

Tabel 4.5. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 1………..30

Tabel 4.6. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 2……...31

Tabel 4.7. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 3………..………33

Tabel 4.8. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 1……….35

Tabel 4.9. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 2……….37

Tabel 4.10. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 3………...39

Tabel 4.11. Ringkasan Dampak Perceraian Semua Informan………..41

Tabel 4.12. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 1…...42

Tabel 4.13. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 2………..45

Tabel 4.14. Ringkasan Sumber Resiliensi (1): I Have Informan 3…………..…47

Tabel 4.15. Ringkasan Sumber Resiliensi I Have Semua Informan………49

Tabel 4.16. Ringkasan Sumber Resiliensi (2): I Am Informan 1……...50


(18)

xvi

Tabel 4.18. Ringkasan Sumber Resiliensi (2): I Am Informan 3………...53

Tabel 4.19. Ringkasan Sumber I Am Semua Informan………...54

Tabel 4.20. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 1………...55

Tabel 4.21. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 2………...57

Tabel 4.22. Ringkasan Sumber Resiliensi (3): I Can Informan 3………...59

Tabel 4.23. Ringkasan Sumber Resiliensi I Can Semua Informan………...61


(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai……..…….18


(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Terdapat tiga saat yang penting, yakni kelahiran, pernikahan, dan kematian dalam perjalanan hidup manusia. Pernikahan merupakan awal dari pembentukan keluarga (Setiono, 2011). Dalam pernikahan banyak terjadi fenomena terkait keretakan dalam sebuah pernikahan, terutama perceraian. Selama 10 tahun terakhir, di Indonesia angka perceraian meningkat 165.000 kasus. Bila dibandingkan dengan angka pernikahan yang mencapai dua juta pasangan setiap tahun, angka kasus perceraian di Indonesia terbilang paling tinggi di kawasan Asia Pasifik (Umar, 2013). Berkaitan dengan perceraian, terdapat dampak yang ditimbulkannya. Dampak dari perceraian bermacam-macam dan kompleks (Buchanan, 2000, dalam Cui, Fincham & Durtschi, 2010). Dampak-dampak tersebut lebih banyak dialami oleh remaja.

Bagi remaja, perceraian menimbulkan masalah tersendiri (Aseltine, 1996), karena perceraian merupakan kejadian penuh tekanan psikologis untuk banyak remaja (Kelly & Emery, 2003). Masa remaja merupakan salah satu tahap perkembangan yang krusial dimana mereka harus menemukan identitas kepribadian yang kuat serta fase adaptif


(21)

perkembangannya (periode trial and error) dan terjadinya krisis identitas meningkat selama tahapan ini (Erikson, 1982, dalam Feist & Feist, 2006). Remaja yang memiliki pengalaman perceraian orangtua akan rentan memiliki simptom internalisasi termasuk status kesejahteraan psikologis seperti perasaan depresi, self-esteem, dan timbulnya pikiran bunuh diri. Remaja juga menunjukkan perilaku eksternalisasi termasuk agresi pada orang lain, menggunakan alkohol dan obat-obatan serta perilaku kejahatan (Rodgers & Rose, 2002). Selain itu, remaja menunjukkan perilaku eksternalisasi seperti performansi pendidikan yang lebih rendah dan berisiko dua atau tiga kali lebih memungkinkan untuk keluar dari sekolah dan berisiko dua kali untuk memiliki anak saat remaja (Kelly & Emery, 2003).

Terkait dengan kasus perceraian, simptom internalisasi dan perilaku eksternalisasi remaja banyak terjadi pada anak korban perceraian, seperti yang dinyatakan oleh nara sumber berjenis kelamin perempuan ketika wawancara di Yogyakarta, pada tanggal 31 Maret 2016:

“Dampak yang paling kerasa ya mulai apa ya, aku rebel banget anaknya, maksudnya bandel. Setiap masalahku pasti selalu berhubungan sama laki-laki, maksudnya kaya aku temenan terus aku dilarang sama mamaku sama A, tapi aku malah makin karena ga ngerasa punya sosok laki-laki tuh loh, ga pernah deket. Mulai suka kabur dari rumah, ngelawan, suka bohong, banyak main sama cowok, suka pacaran tapi ga bener-bener pacaran, maksudnya suka deket-deket cowok. Mulai kenal ngerokok, minum, mabok-mabok kaya gitu tuh, nakal”.


(22)

Dari berita yang didapatkan menyatakan:

Selain kasus-kasus perilaku eksternalisasi remaja, setahun lalu muncullah kasus bunuh diri seorang anak SMP karena orangtuanya bercerai sehingga kurang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya dan menyebabkan ia merasa tidak berharga (Rizki, 2015).

Berita lain juga menyatakan bahwa:

Dalam satu bulan terakhir ini, kasus kejahatan yang melibatkan remaja terus meningkat di Gunungkidul. Kasus kejahatan tersebut, antara lain aborsi yang dilakukan oleh siswi SMP bersama kekasihnya, pencurian yang melibatkan pelajar serta ditemukannya jenazah perempuan yang diketahui merupakan salah satu siswi korban pembunuhan. Kasus-kasus ini muncul dikarenakan meningkatnya kasus perceraian di Gunungkidul (Maria, 2016).

Perceraian orangtua merupakan kejadian yang membuat remaja menjadi stres dan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan psikologis (Masten, Best & Garmezy, 1991, dalam Chen & George, 2005). Perceraian juga meningkatkan risiko dalam masalah penyesuaian pada remaja (Kelly & Emery, 2003). Namun sebagian remaja korban perceraian tidak memiliki masalah yang signifikan (Steinberg, 2002). Remaja korban perceraian juga menunjukkan tidak memiliki masalah perilaku dan tidak mudah acting out (Chen & George, 2005).

Dari berita yang didapatkan menyatakan:

Banyak pasangan artis yang memilih untuk mengakhiri hubungan di meja pengadilan, nampaknya tidak berpengaruh bagi segelintir anak dari keluarga bercerai. Mereka tetap mengejar yang mereka inginkan hingga membuahkan hasil. Bahkan mereka terbilang berprestasi setelah orangtuanya bercerai, seperti Eva Celia yang mendapat prestasi Outstanding Academic Exellence Award yang ditanda tangani oleh Barack Obama saat SMA di Los Angeles (Sophia Latjuba Tunjukkan Prestasi Akademik Eva Celia di LA, 2016).


(23)

Nara sumber berjenis kelamin perempuan juga menyatakan saat wawancara di Yogyakarta, pada tanggal 22 Juni 2016:

Prestasi yang di dapatkan antara lain juara 1 lomba mengarang untuk Presiden.Ssaat mengikuti lomba reporter cilik, karangannya dimuat di koran media Indonesia, juara 1 atau 2 di sekolah serta memiliki rata-rata Ujian Nasional 9,3.

Hal ini tergantung pada daya tahan remaja terhadap perceraian yang terkait dengan proses, kapasitas atau hasil dari kesuksesan penyesuaian yang dikenal dengan istilah resiliensi (Masten, Best & Garmezy, 1991, dalam Chen & George, 2005), yaitu berarti ditentukan oleh resilien atau resistennya remaja tersebut terhadap stres karena perceraian orangtua (Luthar, 1991).

Resiliensi adalah faktor kunci dalam kemampuan remaja menyesuaikan diri terhadap situasi perceraian (Chen & George, 2005). Remaja korban perceraian yang memiliki karakteristik resilien dapat berhasil menyesuaikan diri dalam situasi perceraian. Hal ini dikarenakan adanya keseimbangan antar faktor risiko (dampak-dampak perceraian) dan faktor protektif (karakteristik remaja) (Steinberg, 2002). Remaja yang resilien tidak hanya memiliki karakteristik tertentu dalam dirinya, tetapi juga memiliki faktor protektif lingkungan yang membantu mereka bertahan dari tekanan yang di alami atau kekuatan yang memaksa mereka (Masten & Coatsworth, 1998; Rutter, 1983, dalam Rodgers & Rose, 2002).


(24)

Selain itu, remaja resilien menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan atau kapasitas untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan (Desmita, 2015). Bila remaja korban perceraian mampu resilien, mereka juga dapat mengatasi risiko dan kesulitan tanpa memperoleh dampak negatif yang jelas dari perceraian (Smith & Carlson, 1997). Hal ini karena resiliensi mengacu pada kompetensi yang dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang berkepanjangan, seperti peristiwa perceraian orangtua (Desmita, 2005). Dengan kata lain, remaja korban perceraian memiliki karateristik individu yang dapat “bangkit kembali” setelah kesulitan dan mencapai atau bahkan melampaui tingkat fungsi sebelumnya (Hawley & De Haan, 1996, dalam Greeff & Merwe, 2004). Pada dasarnya, remaja memiliki kapasitas untuk resilien, yaitu dapat menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dalam hidupnya.

Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologikal seseorang. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas dan tidak ada pengetahuan yang dalam. Sejumlah riset meyakinkan, bahwa gaya berpikir seseorang sangat ditentukan oleh resiliensinya, serta resiliensi juga menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya (Desmita, 2005).


(25)

Penelitian Rodgers dan Rose (2002), menguji faktor-faktor dalam keluarga maupun di luar keluarga yang dapat berkontribusi terhadap resiliensi pada remaja yang mengalami perubahan situasi di dalam kehidupan keluarga. Penelitian tersebut juga menyarankan akan lebih bermanfaat jika penelitian selanjutnya menggunakan perspektif resiliensi terhadap remaja dari keluarga bercerai atau menikah lagi untuk memperoleh faktor pembentuk resiliensi yang lebih bervariasi.

Penelitian Luthar (1991) bertujuan untuk menguji variabel yang dapat mendukung resiliensi, yang memungkinkan anak tetap mampu bertahan meskipun mengalami pengalaman hidup yang penuh tekanan dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian tersebut menggunakan

self-ratings yang memungkinkan terjadinya bias dalam memberikan

peringkat karena terpengaruh baik buruknya pengalaman yang dinilai. Respon yang didapatkan juga terbatas dalam penelitian tersebut.

Berdasarkan tinjauan kepustakaan, peneliti akan meneliti resiliensi menggunakan metode penelitian kualitatif wawancara dengan informan remaja untuk melengkapi kekurangan penelitian sebelumnya.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Pernyataan utama dalam penelitian ini, yaitu:


(26)

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:

1. Manfaat Teoritis.

Dalam bidang psikologi perkembangan dan klinis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua.

2. Manfaat Praktis:

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan remaja mampu dan berhasil beradaptasi dengan pengalaman perceraian orangtuanya.

b. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran pada praktisi untuk mengembangkan intervensi atau program bagi klien remaja yang mengalami perceraian orangtua.


(27)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. RESILIENSI

Resiliensi dapat tercermin dalam cara individu (atau keluarga) bereaksi terhadap masa sulit atau penuh tekanan. Resiliensi mengacu dalam karakteristik individu yang dapat “bangkit kembali” setelah mengalami kesulitan atau situasi traumatis dan mencapai atau bahkan melampaui tingkat fungsi sebelumnya, sementara yang lain merasa sedang diterpa dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan. (Hawley & De Haan, 1996; Rutter, 1987, dalam Greeff & Merwe, 2004; Chen & George, 2005; Leimon & McMahon, 2009). Selain itu, resiliensi merupakan sebuah proses yang terkait dengan kapasitas untuk mencapai keberhasilan adaptasi setelah mengalami kesulitan, seperti perceraian meskipun menantang atau mengancam perkembangan psikologis (Masten, Best dan Garmezy, 1991, dalam Chen & George, 2005; Werner & Smith, 1993, dalam Greeff & Merwe, 2004). Menurut Werner dan Smith (1992, dalam Wenar & Kerig, 2000), resiliensi adalah keseimbangan antara faktor risiko dan faktor protektif.

Adapun sumber pembentukan resiliensi ialah faktor protektif/ penahan yang berkontribusi pada resiliensi dalam membantu individu mengatasi tantangan hidup secara lebih efektif. Baumgardner dan Crothers (2009) membagi tiga kategori faktor protektif. Pertama, faktor protektif pada remaja, seperti kemampuan intelektual dan pemecahan


(28)

masalah yang baik, temperamen dan kepribadian yang easy going dapat beradaptasi dengan perubahan, gambaran diri yang positif dan efektivitas pribadi, keoptimisan, kemampuan untuk meregulasi, mengontrol emosi dan dorongan, bakat individu yang dihargai oleh individu dan oleh budayanya, serta rasa humor yang sehat. Kedua, faktor protektif dalam keluarga, antara lain hubungan yang dekat dengan orangtua atau caregivers, pola asuh yang hangat dan suportif yang menyediakan harapan dan aturan yang jelas, keluarga yang positif secara emosional dengan konflik yang sedikit antara orangtua, serta lingkungan rumah yang terstruktur dan terorganisir, orangtua yang terlibat dalam pendidikan anaknya, serta orangtua yang memiliki sumber finansial yang adekuat. Ketiga, faktor dalam komunitas termasuk sekolah yang baik, terlibat dalam organisasi sosial dengan sekolah dan komunitas, hidup dalam lingkungan yang terlibat dengan orang-orang yang peduli menangani masalah dan mempromosikan semangat komunitas serta hidup dalam lingkungan yang aman dan ketersediaan yang mudah dari kondisi darurat yang berkompeten dan responsif, kesehatan masyarakat serta pelayanan sosial.

Menurut Masten, Cutuli, Herbers dan Reed (2009 dalam Snyder, Lopez & Pedrotti, 2011), faktor protektif untuk pembentukan resiliensi. Pertama, faktor protektif pada remaja, seperti keterampilan memecahkan masalah, keterampilan meregulasi diri untuk mengontrol perhatian, hasrat, dan dorongan diri serta temperamen easy going pada masa kecil, pribadi


(29)

yang mudah beradaptasi pada tahap perkembangan selanjutnya dan gambaran diri yang positif, self-efficacy, keyakinan serta merasa berarti dalam hidup, harapan positif dalam hidup, bakat yang dihargai diri sendiri maupun masyarakat dan diri yang menarik bagi orang lain. Kedua, faktor protektif dalam keluarga dan hubungan yang dekat, termasuk hubungan cinta yang positif, hubungan yang dekat dengan individu dewasa yang kompeten, prososial dan suportif. Selain itu, pola pengasuhan autoritatif (hangat, terstruktur/ pengawasan dan harapan yang tinggi), suasana keluarga yang positif dengan konflik yang rendah antara orangtua, lingkungan rumah yang terorganisir, pendidikan sekunder yang dimiliki oleh orangtua, orangtua dengan anak yang memiliki faktor protektif dalam dirinya, orangtua yang terlibat dalam pendidikan anak, sosioekonomi yang adekuat, terhubung dengan teman sebaya yang prososial, serta relasi romantis dengan pasangan yang prososial dan memiliki penyesuaian yang baik. Ketiga, faktor protektif dalam komunitas dan hubungan dengan organisasi, seperti sekolah yang efektif, terikat dengan organisasi prososial (sekolah, klub, pramuka), tetangga dengan “efikasi kolektif” yang tinggi, akses keamanan yang tinggi, pelayanan dalam keadaan darurat yang baik, dan ketersediaan layanan kesehatan yang baik.

Faktor protektif dibagi menjadi tiga dikarenakan atribut remaja, iklim maupun sumbernya berada di dalam keluarga dan sistem pendukung yang ada di lingkungan yang lebih luas (Smith & Carlson, 1997). Hanson et al. (1998, dalam Greeff & Merwe, 2004) juga mengidentifikasi tiga


(30)

jenis sumber yang befungsi sebagai tenaga penahan setelah proses perceraian dan penting untuk pemulihan keluarga. Pertama, sumber ekonomi termasuk sumber material, seperti penghasilan dan barang milik. Kedua, sumber pengasuhan termasuk tingginya tingkat keterlibatan orangtua, disiplin yang konsisten, parameter yang jelas batas-batasnya berfungsi sebagai contoh bagi anak serta memberikan keamanan. Ketiga, sumber komunitas termasuk teman, hubungan keluarga dan organisasi formal yang menyediakan informasi dan dukungan sosial yang mengarah ke perbaikan fungsi keluarga dan anggota tiap individu.

Selain itu, menurut Grotberg (1995), upaya mengatasi kesulitan serta mengembangkan resiliensi remaja sangat tergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri remaja yang disebut tiga sumber resiliensi. Pertama, I have (Aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber I have memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, struktur dan peraturan di rumah, model peran, dorongan untuk mandiri serta akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan kesejahteraan. Kedua, I am (Aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi yang dimiliki oleh remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am ini adalah disayang dan disukai oleh banyak orang, mencintai, empati, dan


(31)

kepedulian pada orang lain, bangga dengan dirinya sendiri, bertanggungjawab terhadap perilaku sendiri dan menerima konsekuensinya, percaya diri, optimistik dan penuh harapan. Ketiga, I can (Aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan keterampilan sosial dan interpersonal yang meliputi keterampilan berkomunikasi, memecahkan masalah, mengelola perasaan dan impuls, mengukur temperamen sendiri dan orang lain serta menjalin hubungan yang saling mempercayai.

Resiliensi merupakan kombinasi dari faktor-faktor I have, I am dan I can. Untuk menjadi resilien, tidak cukup hanya memiliki satu faktor saja, melainkan harus ditopang oleh faktor-faktor lain. Untuk menumbuhkan resiliensi remaja, ketiga faktor tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi ketiga faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan sosial dimana remaja hidup.

Menurut Bernard (1991), individu yang resilien dapat dilihat dari profilnya. Pertama, individu resilien dapat dilihat dari kompetensi sosialnya, yaitu memiliki kualitas responsif yang baik, fleksibel, empati dan peduli, keahlian komunikasi, selera humor, dan perilaku prososial lainnya. Individu resilien juga memiliki selera humor bahwa mereka memiliki kemampuan untuk menghasilkan kehidupan yang menyenangkan dan menemukan cara alternatif untuk melihat segala sesuatunya baik seperti menertawakan diri sendiri dan situasi yang aneh. Selain itu, dari masa kanak-kanak awal, mereka cenderung membangun hubungan yang


(32)

lebih positif dengan orang lain, termasuk pertemanan dengan kawan sebaya. Kedua, keahlian memecahkan masalah, termasuk kemampuan berpikir abstrak, reflektif, fleksibel dan mampu mencoba cara pemecahan secara kognitif maupun sosial. Ketiga, otonomi berkenaan dengan kemandirian, internal locus of control dan individu yang kuat. Selain itu, otonomi dikenal sebagai harga diri dan efikasi diri. Otonomi juga dijelaskan sebagai disiplin diri dan pengendalian terhadap dorongan-dorongan. Lebih lanjut, otonomi menjelaskan tentang rasa memiliki identitas diri dan mampu bertindak secara mandiri serta menggunakan kontrol terhadap lingkungannya. Individu yang resilien juga mampu untuk memisahkan atau menjauhkan diri dari lingkungan keluarga yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik, yang dikenal dengan istilah the task of adaptive distancing. Keempat, arti tujuan dan masa depan berhubungan dengan harapan untuk sehat, tujuan yang terarah, orientasi untuk sukses, motivasi berprestasi, cita-cita pendidikan, ketekunan, pengharapan, daya tahan, keyakinan akan masa depan yang cerah, antisipasi, perhatian akan masa depan, dan koherensi. Hal-hal ini menjadi prediktor yang paling kuat akan hasil yang positif.

B. REMAJA

Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009), remaja merupakan individu yang berada pada peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang melibatkan perubahan besar dalam


(33)

aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan. Remaja awal berkisar 10 sampai 13 tahun, remaja tengah antara 14 sampai 18 tahun dan remaja akhir antara 19 sampai 22 tahun, sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja berada pada rentang usia 10 hingga 22 tahun (Steinberg, 2002). Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2009), dalam aspek fisik, perubahan struktur otak berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi perilaku dan kontrol diri serta menjadi penjelas kecenderungan remaja mengalami ledakan emosi dan melakukan perilaku berisiko bahkan kejam. Remaja yang lebih matang, seperti orang dewasa, cenderung menggunakan lobus frontalis yang memungkinkan penilaian yang lebih akurat dan beralasan. Pada remaja awal, perkembangan otak yang belum matang dapat membuat perasaan atau emosi mengalahkan akal sehat, alasan yang memungkinkan remaja untuk membuat pilihan yang tidak bijaksana, seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba dan melakukan aktivitas seksual berisiko. Sistem kortikal frontal yang belum berkembang juga terkait dengan motivasi, impulsivitas, dan ketergantungan terhadap zat yang menjadikan remaja memiliki dorongan terhadap kesenangan, mencoba berbagai hal baru serta menyebabkan banyak remaja sulit untuk berfokus pada tujuan jangka panjang.

Dalam aspek psikososial, remaja berada pada tahap pencarian identitas yang didefinisikan Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009) sebagai konsepsi koheren diri, terdiri dari tujuan, nilai dan keyakinan yang dipercayai sepenuhnya oleh orang yang bersangkutan.


(34)

Selain aspek fisik dan psikososial terdapat pula aspek kognitif pada remaja. Dalam aspek kognitif, remaja memasuki tingkat perkembangan kognitif tertinggi yaitu operasional formal, saat dimana mereka mengembangkan kapasitas untuk berpikir secara abstrak. Remaja dapat berpikir tentang hal yang mungkin terjadi, tidak hanya apa yang sedang terjadi dan membayangkan kemungkinan serta membentuk maupun menguji dugaan (Piaget dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Menurut David Elkind (1998, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009), remaja yang tidak matang dalam berpikir memiliki ciri, seperti idealisme dan mudah mengkritik, memiliki sifat argumentatif, sulit memutuskan sesuatu, tampak munafik, terlalu berfokus pada pikiran sendiri serta merasa dirinya istimewa sehingga tidak harus menaati peraturan yang mendasari perilaku berisiko.

C. PERCERAIAN

Menurut McKenry dan Price (2000, dalam Kertamuda, 2009), perceraian merupakan suatu rangkaian kejadian terpecahnya keluarga dan kegagalan dalam pernikahan. Perceraian berpotensi menimbulkan stres bagi pasangan, anak dan keluarga besar pasangan (Kertamuda, 2009) yang di mulai sebelum perpisahan fisik dan berlanjut setelahnya (Morrison & Cherlin 1995 dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dalam perceraian juga dibutuhkan suatu adaptasi (Greeff & Merwe, 2004).


(35)

Perceraian menimbulkan dampak bagi remaja. Adapun dampak yang ditimbulkan antara lain masalah sikap dan emosional yang serius. Remaja yang mengalami perceraian orangtua juga berisiko memiliki performansi pendidikan yang lebih rendah serta lebih mungkin untuk keluar dari sekolah (Kelly & Emery, 2003). Selain itu, remaja mudah mengalami masalah personal, seperti kekacauan dalam bekerja, penahanan atau berhubungan dengan polisi (Aseltine, 1996). Remaja juga menunjukkan perilaku eksternalisasi antara lain perilaku agresi pada orang lain, menggunakan alkohol, obat-obatan, perilaku kejahatan, perilaku antisosial dan masalah kesahatan. Simptom internalisasi juga dialami oleh remaja termasuk status kesejahteraan psikologis, seperti perasaan depresi,

self-esteem yang rendah, kecemasan dan timbulnya pikiran bunuh diri

(Rodgers & Rose, 2002; Smith & Carlson, 1997). Rodgers dan Rose (2002) menambahkan pula bahwa remaja lebih berkonflik dan sedikit memiliki interaksi yang positif dengan orangtuanya. Steinberg (2002) juga menyatakan bahwa remaja dari keluarga bercerai rentan melakukan aktivitas seksual sebelum waktunya.

D. RESILIENSI REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI Remaja sebagai individu yang berada pada masa peralihan dimana terjadi perubahan besar pada perkembangan aspek fisik, psikososial dan kognitif. Remaja juga berada pada tahap pencarian identitas diri yang rentan mengalami suatu krisis. Oleh karena itu, remaja yang orangtuanya


(36)

bercerai rentan mengalami dampak dari perceraian. Terlebih perceraian orangtua menimbulkan dampak yang bermacam-macam dan kompleks pada remaja.

Remaja akan rentan memiliki simptom internalisasi dan menunjukkan perilaku eksternalisasi. Akan tetapi, sebagian remaja korban perceraian tidak memiliki masalah yang signifikan. Hal ini tergantung pada daya tahan remaja terhadap perceraian yang terkait dengan proses, kapasitas, atau hasil dari kesuksesan penyesuaian yang dikenal dengan istilah resiliensi.

Remaja yang memiliki sumber-sumber resiliensi dalam diri maupun lingkungan serta sumber-sumber tersebut saling menopang dan berinteraksi satu sama lain dapat menyebabkan remaja mampu resilien. Apabila remaja mampu resilien, mereka dapat mengatasi risiko dan kesulitan tanpa memperoleh dampak negatif yang jelas dari perceraian. Adapun sumber pembentukan resiliensi pada remaja antara lain I Have (Aku punya), I Am (Aku ini), I Can (Aku dapat). Namun, bila remaja hanya memiliki satu sumber, tidak saling menopang dan berinteraksi, maka remaja tidak akan resilien. Remaja tersebut tidak mampu menghadapi, mencegah, meminimalkan bahkan menghilangkan dampak-dampak perceraian orangtua. Dengan demikian, melalui penelitian ini, peneliti ingin memberikan gambaran resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai.


(37)

Gambar 2.1. Skema Resiliensi Remaja Yang Orangtuanya Bercerai.

s Perceraian Orangtua

Sumber-sumber resiliensi Dampak perceraian

pada remaja

Simptom internalisasi

Perilaku eksternalisasi

I have I am I can

Resilien Remaja


(38)

E. PERTANYAAN PENELITIAN

Bagaimana resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua?


(39)

20 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. STRATEGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Cresswell, kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Penelitian kualitatif bersifat induktif bertujuan untuk menganalisis data mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data. Selain itu, penelitian kualitatif bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor kompleks yang berada di sekitar fenomena utama dan menyajikan perspektif-perspektif atau makna-makna yang beragam dari para informan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi terarah. Menurut Hsieh dan Shannon (2005, dalam Supratiknya, 2015) pendekatan analisis terarah bertujuan memvalidasi dengan menguji ulang sebuah kerangka teoretis atau bahkan sebuah teori dalam konteks baru.

B. FOKUS PENELITIAN

Penelitian ini berfokus pada mendeskripsikan resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua. Untuk mengetahui hal tersebut, peneliti akan lebih berfokus pada gambaran dampak perceraian orangtua


(40)

yang dialami oleh informan beserta sumber-sumber pembentukan resiliensi pada informan.

C. INFORMAN PENELITIAN 1. Cara Pemilihan Informan.

Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan informan dengan karakteristik khusus. Oleh karena itu, peneliti menggunakan strategi

purposeful sampling, yaitu peneliti memilih informan penelitian

berdasarkan karakteristik informan yang dibutuhkan, yang dapat menginformasikan pemahaman tentang masalah penelitian dan fenomena pada penelitian ini (Cresswell, 2007).

2. Karakteristik Informan.

Kriteria informan dalam penelitian ini, yaitu informan mengalami kejadian atau situasi yang sulit, penuh tekanan atau traumatis dikarenakan perceraian orangtua. Informan dalam penelitian ini berada pada masa remaja, yaitu berusia 10 sampai 22 tahun.

D. METODE PENGUMPULAN DATA 1. Metode Wawancara

Peneliti menggunakan strategi pengumpulan data wawancara kualitatif. Peneliti melakukan face-to-face interview, dengan wawancara semi terstruktur, dimana terdapat beberapa pedoman


(41)

wawancara berupa pertanyaan penelitian. Akan tetapi, pada prosesnya peneliti menyesuaikan pertanyaan yang diajukan dengan informasi yang diberikan oleh informan. Adapun pedoman wawancara sebagai berikut:

Tabel 3.1. Panduan Wawancara 1

Tema Panduan Wawancara

Kondisi sebelum perceraian

Bagaimana awal sebelum orangtua bercerai? (termasuk penyebab perceraian, kondisi keluarga/konflik, diri sendiri sebagai anak).

Kondisi saat perceraian Bagaimana ketika terjadi perceraian? (termasuk saat usia berapa, dampak, diri sendiri sebagai anak).

Kondisi setelah perceraian Bagaiaman setelah orangtua bercerai? (termasuk sampai saat ini, kondisi keluarga, hubungan dengan orangtua, dampak jangka panjang).


(42)

Tabel 3.2. Panduan Wawancara 2

Tema Panduan Wawancara

Pertanyaan Utama Adaptasi dalam situasi sulit,

traumatis atau penuh tekanan

Bagaimana adaptasi yang anda lalui dalam situasi sulit, traumatis atau penuh tekanan saat orangtua bercerai?

Subpertanyaan-subpertanyaan Bagaimana cara anda menyesuaikan diri dalam menghadapi situasi perceraian orangtua anda?

Bagaimana kemampuan anda berperan dalam penyesuaian diri dalam menghadapi situasi perceraian orangtua anda?

Bagaimana akibat yang didapatkan setelah keseluruhan adaptasi anda dalam menghadapi situasi perceraian orangtua?


(43)

Tabel 3.3. Panduan Wawancara 3

Panduan Wawancara

Tema Pertanyaan

Sumber resiliensi “I have” 1. Bagaimana hubungan anda dengan orang-orang di sekitar anda ? 2. Bagaimana fasilitas yang anda

dapatkan?

Sumber resiliensi “I am” 1. Bagaimana anda memandang diri anda?

2. Bagaimana sikap orang lain terhadap anda?

Sumber resiliensi “I can” 1. Bagaimana relasi anda dengan orang lain?

2. Bagaimana anda mengatasi situasi yang anda alami?

E. METODE ANALISIS DATA

Menurut Creswell (2013) bahwa analisis data kualitatif merupakan proses yang melibatkan usaha memaknai data berupa teks atau gambar. Analisis data meliputi proses mempersiapkan data untuk dianalisis, melakukan analisis-analisis yang berbeda, memperdalam pemahaman akan data tersebut, menyajikan data, dan membuat interpretasi makna yang lebih luas akan data tersebut.

Analisis data kualitatif sebagai suatu proses penerapan langkah-langkah dari yang spesifik hingga yang umum sebagaimana ditunjukkan sebagai berikut (Cresswell, 2013):


(44)

2. Membaca keseluruhan data. 3. Melakukan koding data.

4. Mendeskripsikan data dengan menggunakan proses coding. 5. Menyajikan kembali deskripsi dan tema-tema dalam narasi atau laporan kualitatif.

6. Menginterpretasi atau memaknai data.

F. KEABSAHAN DATA 1. Reliabilitas.

Reliabilitas dalam penelitian ini dilihat dari metode yang dipilih telah mencapai tujuan yang diinginkan serta sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan dan analisis dengan orang lain. Selain itu, peneliti luwes terhadap perubahan strategi dan desain serta melakukan pencatatan rinci mengenai desain yng digunakan (Poerwandari, 1998). Peneliti juga memeriksa transkrip rekaman wawancara untuk memastikan tidak ada kesalahan serius yang dapat terjadi selama proses transkripsi (Supratiknya, 2015).

2. Kredibilitas.

Peneliti menggunakan beberapa strategi validitas, antara lain (Cresswell, 2013) :

a. Peneliti menerapkan member checking. Peneliti menerapkan strategi ini untuk mengetahui akurasi hasil


(45)

penelitian. Peneliti membawa kembali bagian-bagian dari hasil penelitian yang sudah diolah, seperti deskripsi-deskripsi atau tema-tema kepada informan.

b. Peneliti mengajak seorang auditor (external auditor) dalam hal ini dosen untuk mereview keseluruhan proyek penelitian. External auditor akan memberi penilaian secara objektif, mulai dari proses hingga kesimpulan penelitian. c. Peneliti mengklarifikasi bias yang mungkin dibawa peneliti

ke dalam penelitian. Peneliti melakukan refleksi diri terhadap kemungkinan munculnya bias dalam penelitian, seperti pengaruh latar belakang penelitian terhadap interpretasi. Oleh karena itu, peneliti akan mampu membuat narasi yang terbuka dan jujur yang akan dirasakan oleh pembaca.


(46)

27 BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN 1. Persiapan Penelitian dan Perizinan.

Dalam penelitian ini, sebagai informan penelitian, digunakan remaja yang orangtuanya mengalami perceraian dengan menggunakan

purposeful sampling, yaitu informan dipilih sesuai dengan tujuan

penelitian. Peneliti mendapatkan informan dengan bertanya kepada teman serta peneliti telah mengenal beberapa informan dalam penelitian ini. Walaupun sebelumnya peneliti tidak mengetahui bahwa mereka sesuai dengan karakteristik informan yang dibutuhkan.

Peneliti memutuskan mengambil tiga informan saja karena selama pengambilan data yang dibutuhkan sudah cukup. Hasil wawancara tiga informan menunjukkan data yang tidak jauh berbeda. Sebelum penelitian, peneliti meminta kesediaan informan terlebih dahulu untuk menjadi informan penelitian. Peneliti juga meminta ijin kepada orangtua dari salah satu informan. Kemudian peneliti mengatur hari untuk mewawancarai informan. Peneliti juga menyusun panduan wawancara, menyiapkan informed consent dan alat perekam suara untuk merekam hasil wawancara selama proses wawancara berlangsung.


(47)

Sebelum wawancara dengan semua informan, peneliti mengambil data awal pada salah satu informan terlebih dahulu. Untuk kedua informan tidak dibutuhkan pendekatan yang lama karena peneliti sudah mengenal informan tersebut. Namun untuk salah satu informan, peneliti mengunjungi tempat tinggal informan untuk bertemu dengan informan dan ibu informan guna meminta ijin serta melakukan pendekatan pada informan tersebut. Kemudian mengatur jadwal kembali untuk melakukan wawancara.

2. Pelaksanaan Penelitian. Waktu dan Tempat Penelitian.

Tabel 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian

No Keterangan Informan 1 Informan 2 Informan 3

1 Perizinan kepada orangtua, penjelasan tentang kondisi perceraian dari orangtua dan pendekatan dengan informan

- - Selasa, 12

April 2016 (15.30 WIB) di rumah informan

2 Wawancara informan

1. Kamis, 31 Maret 2016 (11.30 WIB) di Perpustak aan Kampus III USD 2. Kamis, 28

April 2016 (11.30 WIB) di Bubble café

Rabu, 22 Juni 2016 (12.30 WIB) di rumah informan Senin, 27 Juni 2016 (19.00 WIB) di Kolase Cafe


(48)

B. INFORMAN PENELITIAN 1. Data informan.

Tabel 4.2. Data Informan 1

No. Keterangan Informan 1

1 Nama Inisial BIART

2 Usia 21 tahun

3 Jenis Kelamin Perempuan

4 Anak ke- 2 dari 2 bersaudara

5 Jumlah saudara 1

6 Pekerjaan Mahasiswi

7 Usia ibu 50 tahun

8 Usia ayah 50 tahun

9 Pekerjaan ibu Pemilik yayasan 10 Pekerjaan ayah Driver

Tabel 4.3. Data Informan 2

No Keterangan Informan 2

1 Nama Inisial SAEK

2 Usia 12 tahun

3 Jenis Kelamin Perempuan

4 Anak ke- 1 dari 1 bersaudara

5 Jumlah saudara -

6 Pekerjaan Pelajar

7 Usia ibu 29 tahun

8 Usia ayah 33 tahun

9 Pekerjaan ibu Karyawan swasta 10 Pekerjaan ayah Wiraswasta

Tabel 4.4. Data Informan 3

No Keterangan Informan 3

1 Nama Inisial DCC

2 Usia 20 tahun

3 Jenis Kelamin Laki-laki

4 Anak ke- 3 dari 3 bersaudara

5 Jumlah saudara 2

6 Pekerjaan Mahasiswa

7 Usia ibu 55 tahun

8 Usia ayah 58 tahun

9 Pekerjaan ibu Ibu rumah tangga 10 Pekerjaan ayah Karyawan swasta


(49)

2. Latar Belakang Informan. a) Informan 1

Tabel 4.5. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 1

No Keterangan Informan 1

1 Kondisi sebelum perceraian Mengetahui orangtua berkonflik

2 Penyebab perceraian Ayah jarang pulang

karena suka berjudi, mabuk dan main perempuan

3 Masa terjadinya perceraian Saat P1 kelas 2 SD 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ibu dan

nenek

5 Usia orangtua ketika bercerai Saat ibu dan ayah usia 35 tahun

Sebelum perceraian, P1 mengetahui orangtuanya berkonflik tetapi P1 tidak dibiarkan melihat saat orangtuanya berkonflik. Orangtua P1 bercerai saat ia berada di kelas 2 SD. Penyebab orangtuanya bercerai yaitu ayah P1 jarang pulang karena bermain judi, mabuk-mabukan dan main perempuan.

Setelah perceraian, P1 tinggal bersama ibu dan neneknya. Akan tetapi, saat SMP, P1 sempat tinggal hanya bersama neneknya. Sesudah bercerai, tidak ada kerjasama diantara orangtua P1. P1 memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya, hanya ia dilarang oleh ibunya untuk berkomunikasi dengan ayah. Sedangkan hubungan P1 dengan


(50)

ibunya kurang baik karena ibunya overprotektif, namun saat ini sudah lebih baik. P1 juga tidak dekat dengan kakak laki-lakinya.

P1 juga merasakan adanya perubahan emosi saat SMP sampai SMA, dimana ia mulai memiliki banyak masalah antara lain kehilangan figur ayah sehingga ia mencari figur ayah, kabur dari rumah, melawan orangtua, berbohong dan banyak bergaul dengan laki-laki. P1 membutuhkan ayahnya dan merasa sedih bila rindu dengan ayahnya, namun ia tidak diijinkan bertemu dengan ayahnya. P1 juga merasa sedih ketika melihat orang lain sedang bersama keluarganya. Selain itu, P1 menyayangkan bahwa perceraian orangtuanya mengorbankan hal lain. Ia juga merasa sedih karena sering bertengkar dengan ibunya yang overprotektif semenjak bercerai.

b) Informan 2

Tabel 4.6. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 2

No Keterangan Informan 2

1 Kondisi sebelum perceraian Tidak mengetahui kondisi sebelum perceraian

2 Penyebab perceraian Kesulitan ekonomi

3 Masa terjadinya perceraian Saat P2 berusia 4 bulan 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ibu.

Bila ibu bekerja, dititipkan di rumah nenek.

5 Usia orangtua ketika bercerai Saat ibu usia 18 tahun dan ayah usia 22 tahun


(51)

Orangtua P2 menikah karena hamil diluar nikah. P2 tidak mengetahui kondisi sebelum perceraian karena masih bayi. Orangtua P2 bercerai saat ia berusia 4 bulan karena kesulitan ekonomi.

Setelah perceraian, P2 tinggal bersama ibunya. Mulanya ibu P2 kerepotan mengurus sendiri. Apabila ibu P2 bekerja, maka ia dititipkan di rumah nenek. P2 dekat dengan ibunya, sedangkan ia baru bertemu kembali dengan ayahnya ketika ia berusia 3 tahun dan saat berada di kelas 3 SD. Ibu P2 berhubungan baik dengan ayahnya, tetapi ayahnya kurang memberi materi kepada P2. P2 juga jarang berkomunikasi dengan ayahnya, meskipun diijinkan oleh ibunya sehingga ia tidak mendapat kasih sayang ayah. Selain itu, P2 merasa berbeda dengan teman-temannya karena tidak memiliki seorang ayah.


(52)

c) Informan 3

Tabel 4.7. Gambaran Kondisi Perceraian Orangtua Informan 3

No Keterangan Informan 3

1 Kondisi sebelum perceraian Mengetahui orangtua berkonflik

2 Penyebab perceraian Adanya orang ketiga/

perselingkuhan 3 Masa terjadinya perceraian Saat P3 kelas 1 SMP 4 Kondisi setelah perceraian Tinggal bersama ayah

dan kakak kedua, lalu tinggal bersama ibu dan dititipkan dengan bibinya. Saat ini tinggal bersama ibu.

5 Usia orangtua ketika bercerai Saat ibu usia 48 tahun dan ayah usia 50 tahun

Orangtua P3 menikah karena hamil diluar nikah meskipun berbeda keyakinan. Sebelum perceraian, P3 melihat saat orangtuanya berkonflik sehingga membuatnya menangis. Orangtua P3 bercerai karena adanya orang ketiga, tepatnya ibu P3 berselingkuh. Hal ini juga diperkuat dengan perasaan lelah ibu P3 dalam menyesuaikan diri dengan sifat keras suaminya. Pada akhirnya, ibu P3 memutuskan untuk bercerai. Orangtua P3 bercerai saat ia berada di kelas 1 SMP.

Setelah perceraian, mulanya P3 tinggal bersama ayah dan kakak keduanya. Namun ia pindah dan tinggal bersama ibunya, sejak saat itu ayah P3 tidak bertanggungjawab akan P3 yang membuatnya


(53)

mengalami kesulitan ekonomi. Saat ibunya merantau ke Yogyakarta, P3 dititipkan pada bibinya di Jakarta. Saat ini, P3 tinggal bersama ibunya di Yogyakarta serta ayahnya sudah mulai bertanggungjawab membiayai kuliah P3. Saat P3 dititipkan dengan bibinya, ia tidak merasakan kehadiran figur ibu dalam masa remajanya, sehingga ia kurang terurus dan kurang pendampingan dalam hal pendidikan. Ayah P3 belum mempunyai mendamping lagi, tetapi ibunya sudah memiliki kekasih.

Hubungan di antara orangtua P3 tidak baik karena saling menjelek-jelekan satu sama lain di depan P3. P3 diperbolehkan berkomunikasi dengan ayahnya, namun selama ini, P3 jauh dengan ayahnya. Ibunya pun memiliki kesibukkan, sehingga membuat dirinya merasa kesepian dan iri hati melihat orang lain yang dapat berkumpul bersama keluarganya.

C. ANALISIS DATA PENELITIAN 1. Dampak Perceraian.

Dalam dampak perceraian, akan dijabarkan mengenai dampak dari perceraian orangtua yang dialami oleh setiap informan.


(54)

Tabel 4.8. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 1

No Dampak perceraian

1 Ingin mendapatkan figur ayah. 2 Perilaku membangkang dan nakal P1.

3 Perilaku suka kabur, melawan, berbohong, bermain dan dekat dengan lelaki.

4 Perceraian berdampak pada relasi, sepertipergaulan yang salah. 5 Perilaku merokok, mabuk-mabukan dan nakal.

6 Suka mempermainkan perasaan lelaki.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah koding verbatim pada lampiran nomor 11).

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak perceraian orangtua yang dialami oleh setiap informan :

Dampak perceraian yang paling dominan terlihat pada informan 1 yaitu keinginan untuk mendapatkan figur ayah (nonresident parents). Informan mencari figur ayah dengan cara berkomunikasi dengan ayahnya. Berikut ini pernyataan informan terkait hal tersebut:

Setelah aku ngerti loh ternyata aku butuh loh papa. Makanya aku nyari, suka ngobrol sama papa lewat chatting walaupun kadang ga dibolehin kan…(P1, K72).

Nah mulai SMP, mulai mandiri tuh, mulai yang nyari-nyari, SMA apalagi. Papa tuh dimana, mulai cari kontaknya papa tapi mama ga ngasih…(P1, K39).

Kaya nyari-nyari sosoknya papa tuh kaya apa, dimana (P1, K40).


(55)

Informan juga mencari seorang yang dapat menggantikan sosok ayah. Hal ini dikarenakan informan kehilangan figur ayah. Demikian pernyataan informan:

Mulai banyak, kalo kita anak psikologi sok-sokannya bilang cari figur ayah, kaya gitu. Aku jadi mulai SMP SMA jadi lebih seringnya main sama cowok, aku tuh kaya nyari, aku tuh ga pernah, kaya nyari-nyari gitu loh, gaulnya tuh kebanyakan sama cowok. Kalo pacaran tuh kadang-kadang suka penasaran cowok tuh kaya gimana si (P1, K11).

Kehilangan figur ayah si sebenernya. Aku jadi merasa ga mendapatkan bener-bener sosok ayah gitu loh. Nah aku nyari itu diluar, ya itu aku temenan sama cowok. Kadang-kadang sama, suka ngobrol sama orang yang lebih tua gitu loh…(P1, K68).

Dampak lain yang ditimbulkan yaitu adanya perilaku eksternalisasi terkait relasi seperti pergaulan yang salah. Demikian pernyataan informan:

Cuma ga amannya tuh di relasi aja si. Temen tuh aku ga suka milih, karena ga suka milih, aku tuh malah kaya sama siapa aja temenan, jadi salah, gitu (P1, K18).

Perilaku eksternalisasi lain yang dialami informan seperti perilaku membangkang dan nakal. Hal ini ditunjukkan dari pernyataan informan:

engg….dampaknya yang paling kerasa ya waktu itu yang tadi kubilang, puncaknya ya SMA, ya SMA mau kuliah lah. SMA sampai awal-awal kuliah lah. Mulai apa ya, aku rebel banget anaknya, maksudnya bandel, bandel banget (P1, K13).

Selain itu perilaku eksternalisasi yang muncul pada informan yaitu perilaku suka kabur, melawan, berbohong, bermain dan dekat dengan lelaki. Berikut pernyataan informan:


(56)

paling aku rasakan ya itu pas SMA mulai banyak masalah. Mulai suka kabur dari rumah, ngelawan, suka.., suka bohong, suka main keluar bilangnya ngerjain tugas tapi main, ya gitulah banyak bohongnya. banyak main sama cowok, suka pacaran tapi ga bener-bener pacaran, maksudnya suka deket-deket cowok aja gitu loh (P1, K16).

Informan juga menunjukkan adanya perilaku eksternalisasi seperti perilaku merokok, mabuk-mabukan dan nakal. Inilah pernyataan informan:

Mulai kenal ngerokok, tapi aku kenal ngerokok mulai ngerokok tuh dari kuliah, minum, mabok-mabok kaya gitu tuh, nakal (ketawa) (P1, K18).

Lebih lanjut, informan mencari tahu rasa ingin tahunya dengan suka mempermainkan perasaan lelaki. Demikian pernyataan informan yang mendukung hal tersebut:

Aku suka mainin perasaan cowok. Misal buat cowok suka terus di biarin gitu aja (P1, K73).

Tabel 4.9. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 2

No Dampak perceraian

1 Tidak merasakan kasih sayang ayah. 2 Ayah kurang memberi materi.

3 Kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit.

4 Perasaan berbeda dengan lainnya tentang keberadaan ayah.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah koding verbatim pada lampiran nomor 11).

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak perceraian orangtua yang dialami oleh setiap informan :


(57)

Dampak perceraian yang dialami oleh informan antara lain beberapa hal terkait dengan ketidakdekatan informan dengan nonresident parents, yaitu ayah. Informan merasa berbeda dengan yang lainnya, seperti pernyataan berikut ini:

Yaa, kok lainnya pada punya ayah aku ga punya ayah sendiri, awalnya gitu (agak ketawa) (P2, K28).

Selain itu, setelah perceraian, kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit dalam hidup informan. Demikian pernyataan informan:

Baru ketemu papa waktu umur 3 tahun terus kelas 3 SD (P2, K19).

Kadang-kadang papa suka ngechat, ya ngechat gitu. Lagi ngapain, udah makan belum (P2, K18).

Jarang komunikasi sama papa, rasanya biasa aja (P2, K23).

Keterlibatan ayah dalam memberi materi juga kurang. Inilah pernyataan informan terkait hal tersebut:

....baru ngasih uang berapa kali selama 12 tahun (P2, K9).

… Ya kadang papa kasih tas, kasih sepatu (P2,K31). Sehingga menyebabkan informan merasa kehilangan, dalam hal ini tidak merasakan kasih sayang ayah. Berikut pernyataan yang menunjukkan hal tersebut:

Yaa kadang suka ngerasa, gimana yaa, ga dapat kasih sayang dari seorang ayah, gitu (P2, K8).


(58)

Tabel 4.10. Ringkasan Dampak Perceraian Informan 3

No Dampak perceraian

1 Perceraian mempengaruhi ekonomi. 2 Kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit. 3 Kesepian karena jauh dari orangtua. 4 Kurang pendampingan dalam pendidikan.

5 Tidak ada kehadiran dan keterlibatan ibu di masa perkembangan remaja.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah koding verbatim pada lampiran nomor 11).

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai dampak perceraian orangtua yang dialami oleh setiap informan :

Perceraian memberikan beberapa dampak pada informan, antara lain penurunan keadaan ekonomi karena kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit, terlebih ibu tidak bekerja diluar rumah, seperti pernyataan berikut:

Tapi kalo dampaknya paling kerasa si ekonomi si, dampak ekonomi kan, ngerasa susah banget karena awal mama emang ibu rumah tangga. Si papa kan taunya aku ikut mama, jadi mama yang tanggungjawab. Jadi kaya lepas tanggungjawab kalo aku ikut mama gitu. Gak ada biayain masalah sekolah, dll (P3, K7).

Kalo sama papa aku cuma sebatas minta uang (ketawa). Sebatas minta uang jadi kaya, pah ini uang kuliah, gini-gini. Jadi dia kaya mulai merhatiin uang kuliah, uang sekolahku dari mulai SMA, sepanjang SMP tuh engga. Sepanjang SMA tuh aku udah mulai nagih-nagih gitu kan (P3, K14).


(59)

Selain itu, informan merasa kehilangan akan kehadiran dan keterlibatan ibu di masa perkembangan remaja. Berikut pernyataan informan:

…..gara-gara aku sampe sekarang tuh pegangan kalo berpegang kalo sama mama tuh dia tuh gak ada pas aku di perkembanganku SMP tuh loh….(P3, K13).

Informan juga merasakan kehilangan yang menimbulkan perasaan kesepian karena jauh dari orangtua. Demikian pernyataan informan yang menunjukkan hal tersebut:

…. Habis itu kalo dampak yang jeleknya apa ya. Ya sepi aja si biasanya (ketawa), yang ga, pas lagi pengin sama papa gitu kan, ya sama papa, ga ada dia, dia kan di Kalimantan kan. Kalo pengin sama mama,mama juga sibuk (P3, K8).

….Aku ngeliat orang lain kaya enak banget mereka jalan-jalan sama orangtuanya. Liburan kaya gini kan aku sendiri banget ya, ya lain pada sama keluarganya jalan-jalan, kaya gitu kan (P3, K30).

Lebih lanjut, perceraian berdampak pada akademik informan seperti kurangnya pendampingan dalam pendidikan. Inilah pernyataan informan:

…ya sejauh itu bisa-bisa ngikutin aja si kalo pelajaran sekolah (ketawa), cuma ya kurang pendampingan aja si (P3, K10).


(60)

Tabel 4.11. Ringkasan Dampak Perceraian Semua Informan Dampak Perceraian

Informan 1 Informan 2 Informan 3

1. Ingin

mendapatkan figur ayah. 2. Perilaku

membangkang dan nakal P1. 3. Perilaku suka

kabur, melawan, berbohong,

bermain dan dekat dengan lelaki.

4. Perceraian berdampak pada relasi, seperti pergaulan yang salah.

5. Perilaku merokok, mabuk-mabukan dan nakal. 6. Suka

mempermainkan perasaan lelaki.

1. Tidak merasakan kasih sayang ayah.

2. Ayah kurang memberi materi. 3. Kehadiran dan

keterlibatan ayah sedikit.

4. Perasaan berbeda dengan lainnya tentang keberadaan ayah.

1. Perceraian mempengaruhi ekonomi.

2. Kehadiran dan keterlibatan ayah sedikit.

3. Kesepian karena jauh dari orangtua.

4. Kurang pendampingan dalam

pendidikan.

5. Tidak ada kehadiran dan keterlibatan ibu di masa

perkembangan remaja.

2. Resiliensi.

Dalam resiliensi akan dijabarkan mengenai sumber-sumber pembentukan resiliensi pada setiap informan.


(61)

Tabel 4.12 Ringkasan Sumber Resiliensi (1):I Have Informan 1

No I Have

1 Ada kehadiran dan keterlibatan nenek. 2 Lingkungan yang mendukung.

3 Memiliki sumber dukungan antara lain teman, pacar, ibu. 4 Ada peraturan dari ibu dalam bergaul dan beribadah. 5 Dukungan dari pasangan.

6 Mengikuti komunitas yang bermanfaat.

7 Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan terpenuhi. 8 Ada dorongan untuk mandiri.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah koding verbatim pada lampiran nomor 11)

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber resiliensi (1): I Have pada setiap informan :

Informan memiliki sumber dukungan dari adanya kehadiran dan keterlibatan figur pengganti orangtua yaitu nenek. Berikut ini ialah pernyataan informan:

….SMP tuh aku merantau, jadi ga tinggal sama orangtuaku, sekolah sendiri terus tinggal diluar kota tuh sendiri, kan sama oma waktu itu, sama nenekku…(P1, K7).

Informan juga memiliki beberapa figur yang menjadi sumber dukungan baginya antara lain dukungan sosial dari teman, pacar serta dukungan orangtua yaitu ibu. Inilah pernyataan informan terkait hal tersebut:


(62)

Temen-temen, pacar, hmmm mamaku juga si termasuk sekarang (P1, K37).

Kalau aku, orangtua, mama sama pacar yang mendukungku (P1, K47).

Selain itu, lingkungan memberikan dukungan sosial pada informan. Demikian pernyataan informan mengenai hal tersebut:

Lingkunganku juga mendukung si, gak ada orang-orang yang, kalo orang-orang bandel pasti ada…(P1, K34).

Jadi yang lebih aku perhatikan, orang-orang di sekitarku, ya produktif. Terus jadi yaudah sama-sama bikin aku produktif juga…(P1, K35).

Orang-orang di sekitarku ga ngerempongin aku. Aku ga ngerasa ribet oleh omongan atau apa-apanya mereka gitu (P1, K36).

Informan mendapat dukungan sosial pula dari pasangan, seperti pernyataan berikut:

….Tapi karena mungkin lebih sering kontaknya sama pacar, jadi lebih kerasa aja ya dukungan emosionalnya, dukungan fisik terus lebih di temenin secara langsung..(P1, K49).

…Kalau sama pacar ya, sama si intinya lakuin apa yang pengin aku lakuin, selagi bukan.. kesempatan lakuin ya aku lakuin, selalu di dukung si selama itu baik buat kamu (P1, K52).

Lebih lanjut, adanya dukungan orangtua khususnya ibu yang memberikan beberapa peraturan dalam bergaul dan beribadah. Berikut pernyataan informan :

Dulu peraturannya yang kaya ga boleh pulang malem lebih dari jam 10, jam 9 jam 10. Ga boleh nginep di rumah temen. Kalo SMP itu kemana-mana harus dianter, kadang ditungguin (P1, K53).

Mulai-mulai SMA engga si, mulai bawa motor sendiri, ya engga. Tapi ya itu, ga boleh nginep, kalau sama cowok tuh jangan terlalu suka deket sama cowok, maksudnya naruh hati opo piye tuh jangan. Ga boleh


(63)

pacaran juga, aku tuh boleh pacaran mulai dari kuliah...(P1, K54).

…rutinitas kaya ibadah. Tiap pagi harus baca alkitab, sampe sekarang si itu, harus nyempetin…(P1, K54).

Selain memberikan peraturan, ibu informan juga memenuhi sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan untuk informan. Berikut pernyataan informan terkait hal tersebut:

…aku malah tercukupi banget menurutku. Kalau, semuanya di penuhi si. Dari masalah uang, handphone, transportasi, kesehatan kalau sakit…(P1, K57).

Informan juga mendapat dukungan sosial dengan mengikuti komunitas yang bermanfaat baginya. Demikian pernyataan informan:

…dari SMP ikut di gereja… SMA aja ya, aku suka ini, komunitas nyanyi, nyanyi di gereja juga, OSIS ia. Aku ikut kaya komunitas yang buat ikut olimpiade-olimpiade gitu.. Komunitas musik si yang lebih banyak (P1, K69).

…aku ya kaya gitu, pengalihan. Jadi aku jadi lupa sama rasa sedih gitu loh…(P1, K70).

Selanjutnya informan mempunyai dorongan untuk mandiri/ otonomi, seperti pernyataan informan sebagai berikut:

Kalau aku ngerasa udah mandiri malah dari SMP… Tapi kalau masalah lain-lain, bikin tugas…(P1, K58).

…. Nah kaya sekarang, mulai-mulai nyari kecil-kecil, dikit walaupun ga tiap hari, bikin apa-bikin apa. Dulu sempet online, jualan online…(P1, K59).

…. Terus udah cukup bisa nyelesaiin masalah sendiri, terus ga terlalu bergantung sama orang lain (P1, K66).


(64)

Tabel 4.13 Ringkasan Sumber Resiliensi (1):I Have Informan 2

No I Have

1 Ada peran ibu dalam mencari nafkah dan mendidik. 2 Memiliki kedekatan dengan ibu.

3 Ada kerjasama orangtua setelah bercerai. 4 Ada sosok yang dicontoh.

5 Memiliki sumber dukungan antara lain teman, ibu dan keluarga. 6 Ada kehadiran dan keterlibatan keluarga.

7 Ada peraturan dari ibu.

8 Memiliki dorongan untuk mandiri.

9 Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah koding verbatim pada lampiran nomor 11)

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber resiliensi (1): I Have pada setiap informan :

Informan memiliki sumber dukungan dari orangtua yaitu melalui peran ibu yang mencari nafkah maupun mendidiknya. Berikut pernyataan informan terkait hal tersebut:

…Lama-lama ya bisa, mama juga bisa nyari uang untuk sekolah, bisa ngajarin juga, gitu (P2, K15).

Ya lebih banyak mama sih yang ngasuh…(P2, K31).

Informan juga mendapat dukungan dari orangtua yaitu terlihat dari kedekatannya dengan figur ibu. Demikian pernyataan informan:

Sama mama baik, deket. Ya kalo di rumah kadang suka bercanda gitu, ya bercanda, bercanda. Ya


(65)

kadang jalan-jalan, banyak bercandanya si tapi (P2, K17).

Selain itu, informan mempunyai sosok yang dapat ia contoh, yaitu ibu, seperti yang informan tunjukkan dalam pernyataan ini:

Mama mungkin. Yaa apa ya, ya mama ya seorang single parent yang bisa membesarkan anaknya dengan baik (P2, K35).

Lebih lanjut, ibu memberikan peraturan-peraturan, baik di rumah maupun saat di luar rumah pada informan. Inilah pernyataan informan terkait hal tersebut:

Ya kalo di rumah, kamarnya harus bersih, kalo main si mainnya jangan lama-lama, tau waktu gitu lah (P2, K43).

Dukungan lainnya yang dimiliki oleh informan ialah adanya kerjasama orangtua setelah bercerai yang terlihat dari adanya komunikasi diantara orangtuanya serta diperbolehkan berkomunikasi dengan nonresident parents, seperti pernyataan berikut:

Mama sama papa setelah cerai, ya kadang cuma ngechat aja gitu (P2, K29).

Yaa walaupun cerai ya masih bisa kontak-kontak gitu (P2, K32).

Boleh komunikasi sama papa (P2, K30).

Selain dari ibu, informan memiliki sumber dukungan lain antara lain teman dan keluarga atau kerabat dari ibunya. Hal ini ditunjukkan dari pernyataan informan:

Eeeng, temen mungkin. yaa temen yaa mama, yaa keluarga yang lain (P2, K36).


(66)

Keluarga dari ibu juga hadir dan terlibat dalam memberikan dukungan sebagai pengganti figur ayah. Berikut pernyataan informan:

Kalo siang disini, sama eyang kadang ada bude juga (P2, K42).

…ya kasih sayang aja udah kaya jadi ganti gitu lho. Ya gantinya kasih sayang papa. Jadi walaupun gak ada seorang ayah tapi masih ada yang lain (P2, K39). Selanjutnya, informan mempunyai dorongan untuk mandiri. Hal ini terlihat dari pernyataan informan berikut ini:

Ya kalo mandiri sekarang bisa nyuci baju sendiri, terus sekarang kalo belajar bisa sendiri. Pengin yang kalo bisa sih ga ngerepotin orangtua nantinya (P2, K45).

Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan yang informan dapatkan juga tercukupi. Demikian pernyataan informan tersebut:

Layanan kesehatan terpenuhi, pendidikan terpenuhi (P2, K46).

Tabel 4.14 Ringkasan Sumber Resiliensi (1):I Have Informan 3

No I Have

1 Memiliki sumber dukungan.

2 Memiliki dorongan untuk mandiri setelah kuliah.

3 Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan tercukupi. 4 Mengikuti komunitas yang bermanfaat.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah koding verbatim pada lampiran nomor 11)


(67)

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber resiliensi (1): I Have pada setiap informan :

Informan memiliki sumber dukungan dari beberapa figur. Berikut pernyataan informan yang menunjukkan hal tersebut:

Selalu mendukung…kalo yang mendukung itu kalo secara moril si ya, apa ya. Kalo secara perkataan si, pacarnya mama tuh loh…(P3, K19).

Oh sejauh ini, ooh pacarku (P3, K20). Ya kaya biasanya. ya dia ngasih moral si, misalnya kaya semangat, gitu-gitu…(P3, K21).

Selain itu, informan mendapatkan dukungan dengan mengikuti komunitas yang bermanfaat baginya. Inilah pernyataan informan:

Aku punya band. Habis tuh aku juga kadang main skate juga, kalo komunitas… (P3, K31).

Hmmm, yang paling berasa emang main band si, kaya dilepas semuanya kaya main band kan (P3, K32). Informan juga memiliki dorongan untuk mandiri setelah kuliah. Hal tersebut terlihat dari pernyataan informan berikut ini:

Ya aku mandiri selepas kuliah mungkin, keinginanku buat mandiri. Udah itu aja (P3, K24).

Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan yang di dapatkan oleh informan juga sudah tercukupi. Demikian pernyataan informan terkait hal tersebut:

Kalo pendidikan, kesehatan terpenuhi si (P3, K25).


(68)

Tabel 4.15. Ringkasan Sumber I Have Semua Informan I Have

Informan 1 Informan 2 Informan 3

1. Ada kehadiran dan keterlibatan nenek. 2 Lingkungan yang

mendukung.

3 Memiliki sumber dukungan antara lain teman, pacar, ibu. 4. Ada peraturan dari

ibu dalam bergaul dan beribadah.

5 Dukungan dari pasangan.

6 Mengikuti komunitas yang bermanfaat. 7 Sumber ekonomi dan

akses layanan kesehatan terpenuhi.

8 Ada dorongan untuk mandiri.

1. Ada peran ibu dalam mencari nafkah dan mendidik.

2. Memiliki kedekatan dengan ibu.

3. Ada kerjasama orangtua setelah bercerai.

4. Ada sosok yang di contoh.

5. Memiliki sumber dukungan.

6. Ada kehadiran dan keterlibatan keluarga.

7. Ada peraturan dari ibu.

8. Memiliki

dorongan untuk mandiri.

9. Sumber ekonomi dan akses layanan

kesehatan tercukupi.

1. Memiliki sumber dukungan. 2. Memiliki

dorongan untuk mandiri setelah kuliah.

3. Sumber ekonomi dan akses layanan

kesehatan tercukupi. 4. Mengikuti

komunitas yang bermanfaat.


(69)

b) I Am

Tabel 4.16 Ringkasan Sumber Resiliensi (2):I Am Informan 1

No I Am

1 Yakin dengan kemampuan yang dimiliki. 2 Penuh harapan dan keinginan.

3 Selalu menganggap orang lain sebagai teman, yang terpenting ialah sikapnya pada orang lain.

4 Gambaran diri positif.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah koding verbatim pada lampiran nomor 11)

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber resiliensi (2): I Am pada setiap informan :

Sumber resiliensi dalam diri informan yaitu gambaran diri secara positif yang mendukung resiliensi, seperti pernyataan informan berikut ini:

…. aku orangnya suka bergaul, bercanda, suka bergaul dan aku ga pernah, apa ya aku mau temenan sama orang ini kalau kaya gini-gini (P1, K66).

…. Terus aku, ya itu tadi menurutku aku mandiri, udah cukup mandiri, cukup….(P1, K66).

…. Aku orang yang cuek, ga berpikir terlalu berat….(P1, K73).

Kekuatan pribadi lainnya yang ada pada informan ialah sikapnya yang selalu menganggap orang lain sebagai teman serta yang terpenting ialah sikapnya pada orang lain. Berikut pernyataan informan:


(70)

…. sampai sekarang intinya selalu nganggep orang lain itu temen…(P1, K60).

…. Walaupun misalnya aku ga dapet respon positif darimu ya aku luweh, yang penting aku dah baik ke kamu…(P1,K60).

Selain itu, informan merupakan pribadi yang penuh harapan dan keinginan. Inilah pernyataan informan terkait hal tersebut:

….Maksudnya sekolahnya ga bener, sosialnya ga bener. Aku ga pengin itu tervalidasi gitu lho. Jadi ga kok, buktinya aku ga kaya gitu-gitu (P1, K19).

…. justru pengin cepet menikah dan punya anak soalnya pengin bantah stereotip kalo orangtua bercerai, anaknya ga jauh beda (P1, K73).

Partisipian juga yakin terhadap kemampuan yang dimiliki. Demikian pernyataan yang menunjukkan hal tersebut:

….Ya selebihnya dari itu, yang aku bisa ya emang di bidang itu, ya aku kembangin disitu (P1, K19).

…. yaudah aku tinggal sendiri aja, aku bisa kok, dari dulu juga udah tinggal sendiri, ngapain sendiri, ga bergantung sama mama pun ku bisa….(P1, K33).

Tabel 4.17 Ringkasan Sumber Resiliensi (2):I Am Informan 2

No I Am

1 Gambaran diri yang positif.

2 Sikap mau membantu orang lain bila dibutuhkan. 3 Pandangan positif orang lain terhadap P2.

4 Pribadi yang memiliki harapan akan sesuatu.

Catatan. Cara Membaca (P1, K11) = (Informan 1, Kolom ke bawah koding verbatim pada lampiran nomor 11)

Berikut beberapa penjelasan ringkasan mengenai sumber resiliensi (2): I Am pada setiap informan :


(71)

Sumber resiliensi yang ada pada diri informan ialah gambaran diri yang positif. Berikut pernyataan informan terkati hal tersebut: Apa yaa, positif ya mungkin dari prestasinya lumayan. Kadang kasihan ngeliat orang, ya itu kok bawaannya kok berat banget, terus dibantuin. Engga bukan pamrih, kok ngeliat orang kaya kasihan gitu (P2, K53).

Informan juga bersikap mau membantu orang lain bila dibutuhkan, dimana sikap ini mendukung sumber resiliensi, seperti pernyataan berikut:

Ya kalo misalkan apa ya, perilaku..hmmm, apa ya..ya kadang kalo butuh bantuan ya tak bantu (P2, K49).

Sumber resiliensi ini juga didukung oleh pandangan positif orang lain terhadap informan yang didasarkan pada keterangan informan. Demikian pernyataan terkait hal tersebut:

Oh kadang, oo nisa pinter (P2, K54).

Selain itu, informan merupakan pribadi yang memiliki harapan. Inilah pernyataan informan yang mendukung:

Hmm apa ya, ya moga-moga hubungan mama sama papa tetep baik (P2, K22).


(1)

Perasaan kecewa akan perceraian orangtua Dampak negatif perceraian Merasa ingin seperti orang lain Perasaan berbeda dengan lainnya

Hasil analisis: Informan memandang perceraian sebagai suatu yang buruk setelah perceraian orangtuanya. Dampak perceraian yang paling dirasakan oleh informan yaitu kesulitan ekonomi. Hal ini dikarenakan awal bercerai, ibunya tidak bekerja serta kehadiran dan keterlibatan ayah terbatas, terutama dalam hal tanggungjawab akan informan. Pada masa perkembangan remaja, informan tidak merasakan kehadiran dan keterlibatan ibu. Walaupun demikian, informan tidak menyesali perceraian orangtuanya, tetapi ia menjadikan pembelajaran untuk masa depan, meskipun informan sempat merasa kecewa dan merasa berbeda dari keluarga lain. Informan juga merasa kesepian karena hubungan yang jauh dengan orangtuanya. Namun perceraian ini tidak mempengaruhi relasi informan dengan orang lain. Dalam hal pendidikan, informan merasa kurang pendampingan tetapi masih dapat mengikuti pelajaran. Perceraian juga menjadikan informan sebagai pribadi yang lebih mandiri.

Tema: I have (IHV)

Interpretasi Subtema

Tinggal bersama ayah dan kakak kedua Custodial parents (orangtua pemelihara) Hubungan yang lebih dekat dengan ibu Hubungan yang lebih dekat dengan ibu Pindah dan tinggal bersama ibu saat SMP Custodial parents (orangtua pemelihara) Hubungan yang terbatas dengan orangtua Hubungan yang jauh dengan orangtua Ibu tidak mencari nafkah di awal perceraian Peran ibu


(2)

Sempat tinggal bersama bibi Kehadiran dan keterlibatan pengganti orangtua

Kemandirian Autonomi

Hubungan yang tidak dekat dengan ibu Hubungan yang jauh dengan ibu

Tidak terurus saat tinggal dengan figur pengganti orangtua Tidakada keterlibatan pengganti orangtua Hubungan yang tidak dekat dengan ayah Hubungan yang jauh dengan ayah

Ayah kurang memberi materi Kurang mendapat materi dari ayah

Usaha ayah untuk memperbaiki hubungan Usaha ayah untuk memperbaiki hubungan Tidak ada kerjasama orangtua setelah cerai Coparenting

Dampak tidak ada kerjasama orangtua yaitu saling menjelek-jelekkan di depan anak

Dampak coparenting

Tidak ada sosok yang di contoh Role Model

Figur yang mendukung Sumber dukungan

Dukungan pacar ibu dengan nasihat moral Bentuk dukungan orang lain

Sosok yang di contoh Role Model


(3)

Tinggal bersama ibu Custodial parents (orangtua pemelihara)

Aturan yang ibu berikan Peraturan ibu

Sikap bebas ibu dalam aturan Pola asuh ibu

Dorongan untuk mandiri setelah kuliah Autonomi

Kecukupan secara ekonomi dan akses layanan kesehatan Sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan Mengikuti komunitas berkaitan dengan hobi Sumber komunitas

Komunitas sebagai penyaluran perasaan dan pengalihan masalah Sumber komunitas

Hasil Analisis: Sebelum perceraian, informan memang jauh dengan orangtua, tetapi cenderung lebih dekat dengan ibunya. Awal perceraian orangtua, informan tinggal bersama ayah dan kakak kedua. Kemudian pindah dan tinggal bersama ibunya yang belum bekerja saat ia SMP. Informan sempat tinggal bersama bibinya sewaktu ibunya membangun kehidupan di Jogja. Hal ini menyebabkan hubungan informan jauh dengan ibunya. Saat tinggal dengan bibinya, informan tidak merasakan keterlibatan sosok pengganti orangtua. Selain itu, kehadiran dan keterlibatan ayah juga terbatas, hanya sebatas urusan uang meskipun informan kurang mendapat materi dari ayahnya. Tetapi ayah informan sudah berusaha untuk memperbaiki hubungan. Setelah perceraian, tidak ada kerjasama diantara orangtuanya. Hal ini mempengaruhi informan karena orangtuanya saling menjelek-jelekkan di depannya. Informan merasa tidak ada sosok yang dapat di contoh, walaupun sempat merasa bahwa pacar ibunya dapat dijadikan panutan dan sumber dukungannya. Lebih lanjut, pasangan informan menjadi sumber dukungannya secara moral. Sekarang informan tinggal bersama ibu dengan sikap ibu yang bebas terhadap aturan. Informan sosok yang mandiri dan memiliki dorongan untuk lebih mandiri. Ia juga merasa cukup dalam sumber ekonomi dan akses layanan kesehatan. Informan juga mengikuti komunitas berkaitan dengan hobi sebagai sarana menyalurkan perasaan dan mengalihkan masalahnya.


(4)

Tema: I am (IAM)

Interpretasi Subtema

Gambaran diri positif P3 yaitu mandiri Gambaran diri Keinginan untuk tidak meniru perilaku buruk ayah Harapan P3

Memahami kondisi ibu yang berjuang Pemahaman kondisi orangtua

Sikap orang lain terhadap P3 yaitu segan Sikap orang lain dalam berelasi dengan P3 Orang lain sebagai teman untuk menemani dan berbagi Sikap dalam berelasi dengan orang lain Gambaran diri positif P3 yaitu sosok yang tangguh Gmabaran diri

Tidak ada kendala dalam berelasi dengan orang lain Sikap dalam berelasi dengan orang lain

Hasil analisis: Informan sosok yang mandiri dan memiliki dorongan untuk lebih mandiri ke depannya. Informan memiliki harapan untuk tidak meniru perilaku buruk ayahnya. Informan juga melihat dan memahami perjuangan ibunya, ia juga memahami kondisi orangtuanya sehingga lebih baik bercerai daripada melihat orangtuanya sakit. Selain itu, orang lain memandang segan informan. Sedangkan ia memandang orang lain sebagai teman untuk menemani dan berbagi pengalaman atau ilmu. Informan tidak mengalami kendala dalam berelasi dengan orang lain. Informan juga mengganggap dirinya sebagai sosok yang tangguh sehingga dapat bertahan dan melewati semuanya.


(5)

Tema: I can (ICN)

Interpretasi Subtema

Ketakutan P3 meniru keluarganya yang MBA Pemahaman terhadap perasaan Kebencian pada ibu karena ditinggalkan Pemahaman terhadap perasaan Memahami kondisi ibu yang berjuang Pemahaman kondisi orangtua P3 dapat bertahan dan melewati kesulitan Kemampuan mengatasi masalah P3 dapat mensyukuri hal yang dialami Kemampuan mengatasi masalah Perasaan kecewa akan perceraian orangtua Pemahaman terhadap perasaan

Memahami kondisi orangtua Pemahaman kondisi orangtua

Memahami kondisi orangtua Mengatasi perasaan

Komunitas sebagai penyaluran perasaan dan pengalihan masalah Strategi coping Cara menyalurkan perasaan dengan berkeliling mengendarai

motor dan merokok

Strategi coping

Hasil analisis: Informan mampu memahami perasaan diri sendiri, seperti perasaan takut berperilaku seperti ayahnya dan perasaan kecewa terhadap perceraian orangtuanya serta perasaan kesal terhadap ibu yang meninggalkannya. Disisi lain, informan mampu memahami kondisi orangtuanya, sehingga dapat meredakan perasaan kesal dan mampu menerima perceraian orangtuanya. Informan juga memiliki kemampuan mengatasi masalah, misalnya dengan bertahan, melewati situasi sulit dan mensyukuri hal yang ia alami.


(6)

Lebih lanjut, cara informan menyalurkan perasaan dan mengalihkan masalahnya yaitu melalui komunitas yang ia ikuti dan melakukan beberapa hal yang ia senangi.