AKUNTABILITAS KEPALA DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DESA (Studi di Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik).

AKUNTABILITAS KEPALA DALAM PENGELOLAAN
ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJ A DESA
(Studi di Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik)

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Per syaratan Memper oleh Gelar Sar jana
Pada FISIP “Veteran” J awa Timur

Disusun Oleh :
GITA DIO TAMA YOLANDA
NPM. 0841010023

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
J AWA TIMUR
2012

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayah serta karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi

dengan

judul.

AKUNTABILITAS

KEPALA

DESA

DALAM

PENGELOLAAN ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DESA (Studi di
Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik) .

Skripsi ini dibuat dalam rangka memenuhi persyaratan kurikulum pada
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Dalam tersusunnya skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada Dr. Lukman Arif, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis. Pada
kesempatan ini penunulis mengucapkan terima kasih:
1. Dra. Ec. Hj. Suparwati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
2. Bapak Dr. Lukman Arif, MSi selaku Ketua Program Studi Administrasi Negara.
3. Ibu Dra. Susi Hardjati, MAP selaku Sekertaris

Program Studi Administrasi

Negara.
4. Bapak Drs. Pudjo Adi M.Si dan Ibu Dra. Sri Wibawani M.Si selaku penguji
proposal dan penguji skripsi yang turut memberikan saran dalam penyempurnaan
skripsi ini.
v
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.


5. Bapak dan Ibu dosen

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang telah

memberikan bekal dalam proses perkuliahan di Program Studi Administrasi
Negara Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
6. Bapak Mulyono, selaku Kepala Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten
Gresik yang telah mengijinkanpenulis melakukan penelitian di Desa Menganti.
7. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi penulis sangat menyadari masih ada
kekurangan-kekurangan, baik dari segi teknis maupun materil penyusunannya. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih atas saran dan kritik.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil skripsi ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.

Surabaya, Juni 2012

Penulis,


vi
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................

v

DAFTAR ISI ......................................................................................................

vii

DAFTAR TABEL ..............................................................................................

x


DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................

xii

ABSTRAKSI ......................................................................................................

xiii

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ....................................................................

1

1.2. Perumusan Masalah ...........................................................................


9

1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................

10

1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................

10

BAB II

KAJ IAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu ..........................................................................

11

2.2. Landasan Teori .................................................................................


13

2.2.1. Kebijakan publik .......................................................................

13

2.2.1.1. Pengertian kebijakan Publik ...................................................

13

2.2.1.2. Tahap-tahap Kebijakan Publik ...............................................

16

2.2.1.3. Implementasi Kebijakan Publik ..............................................

17

2.2.1.4. Keberhasilan Implementasi Kebijakan....................................


18

vii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.2.1.5. Kegagalan Implementasi Kebijakan .......................................

18

2.2.1.6. Pertanggungjawaban APB Desa dalam Sudut Pandang Kebijakan 19
2.2.2. Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Otoda) ...............................................

21

2.2.3. Konsep Anggaran dan Pemerintah Daerah di Indonesia ..............................

22


2.2.3.1. Tahap-tahap Penyusunan Anggaran APB Desa ............................

26

2.2.4. Konsep Akuntabilitas .................................................................................

29

2.2.4.1. Pengertian Akuntabilitas ...............................................................

29

2.2.4.2. Akuntabilitas Kinerja ....................................................................

33

2.2.4.3. Jenis Akuntabilitas ........................................................................

34


2.2.5 Kerangka berfikir ............................................................................................

38

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian .................................................................................

40

3.2. Lokasi Penelitian/Situs Penelitian .....................................................

41

3.3. Fokus Penelitian ...............................................................................

42


3.4. Informan dan teknik data ..................................................................

44

3.5. Teknik Pengumpulan Data ................................................................

46

3.6. Teknik Analisis Data .......................................................................

47

3.7. Keabsahan Data ................................................................................

49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum .............................................................................

52

4.1.1. Keadaan Geografis Desa Menganti..........................................

52

4.1.2. Keadaan Monografis Desa Menganti .......................................

53

viii
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4.1.3. Keadaan Demografis Desa Menganti.......................................

56

4.1.4. Keadaan Administratif Desa Menganti ....................................

57

4.2. Hasil Penelitian.................................................................................

66

4.2.1. Akuntabilitas Vertikal ............................................................

67

4.2.2. Akuntabilitas Horizontal ........................................................

74

4.3. Pembahasan ......................................................................................

91

4.3.1. Akuntabilitas Vertikal ............................................................

92

4.3.2. Akuntabilitas Horizontal ........................................................

94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ......................................................................................

100

5.2. Saran ................................................................................................

101

DAFTAR PUSTAKA

ix
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

ABSTRAKSI
GITA DIO TAMA YOLANDA, 0841010023, AKUNTABILITAS KEPALA
DESA DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN PENERIMAAN DAN
BELANJ A DESA (Studi di Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten
Gesik)
Pada Peraturan Daerah (Perda) Gresik Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Desa pada Pasal 7 Ayat 1 (a) menjelaskan bahwa proses akuntabilitas yang yang
dilakukan oleh kepala desa harus tertuju pada tiga sasaran yaitu masyarakat, BPD
(Badan Permusyawaratan Daerah) dan Bupati. Dari observasi yang ada
dilapangan,
Kepala
Desa
hanya
mengimplementasikan
laporan
pertanggungjawaban keuangan desa kepada BPD dan Bupati, tetapi peneliti belum
menemukan laporan pertanggungjawaban secara tertulis yang ditempel pada
papan pengumuman yang ditujukan kepada masyarakat. Sedangkan didalam
Perda Gresik Nomor 12 Tahun 2006 Nomor 7 Pasal 2 disebutkan bahwa proses
pertanggungjawaban keuangan Desa kepada masyarakat harus berupa selebaran
yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan
dalam berbagai pertemuan masyarakat desa atau media lainnya (misalnya radio
komunitas). Maka dari itu peneliti mengambil judul akuntabilitas Kepala Desa
dalam pengelolaan anggaran penerimaan dan belanja Desa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana akutabilitas Kepala
Desa dalam pengelolaan anggaran APB Desa ditetapkan pada fokus pertama
yaitu akuntabilitas vertikal adalah akuntabilitas Kepala Desa Menganti terhadap
pelaksanaan dan pertanggungjawaban keuangan Desa dalam bentuk laporan
pengelolaan keuangan desa kepada Bupati melalui Camat. Sedangkan fokus kedua
yaitu akuntabilitas horizontal adalah akuntabilitas kepada BPD Desa dan
masyarakat Desa.
Metode penelitian Deskriptif Kualitatif, dengan analisis model interaktif
dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk
mengabil data dari sumber data yang berupa tulisan, prilaku, tindakan, pristiwa,
kejadian, kata-kata. Dengan peneliti sebagai instrumen penelitian.
Kesimpulan dari hasil penelitian menyatakan bahwa Fokus pertama
akuntabilitas Kepala Desa kepada Bupati melalui Camat dilaksanakan setahun
sekali diakhir tahun anggaran dan diserahkan kepada Bupati melalui Camat pada
tahun berikutnya. Untuk bentuk laporan kepada Bupati melalui Camat berupa
tertulis. Akuntabilitas Horizontal yang meliputi dua saasaran kajian yaitu (a)
Akuntabilitas Kepala Desa Kepada BPD melalui musyawarah BPD akuntabilitas
Kepala Desa kepada BPD telah dilaksanakan pada akhir Desember 2011 dalam
bentuk lisan dan tertulis. (b)Akuntabilitas Kepala Desa Kepada masyarakat
akuntabilitas Kepala Desa kepada kepada masyarakat telah dilaksanakan secara
lisan pada pada akhir Desember 2011 yang dihadiri tokoh masyarakat dan BPD.
Sedangkan laporan tertulis berupa selebaran yang ditempel pada papan
pengumuman desa tidak dilaksanakan, melainkan kepala desa memberikan draft
neraca APB Desa kepada masyarakat melalui Kasun, RW dan RT.

xiii

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sejak awal dibentuknya Negara Kesatuan republik Indonesia oleh para
pendiri Negara ini telah menetapkan pilihannya pada prinsip pembagian
kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintah Negara. Dengan demikian,
sudah diamanatkan oleh pendiri republik ini adanya daerah otonom dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (Zauhar : 1994).
Pada

dasarnya

semua

tuntutan

tersebut

dimaksudkan

untuk

membangun budaya demokrasi di Indonesia. Lahirnya Undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang menggantikan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1974 yang dianggap lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat di
daerah dan daerah juga lebih mampu mewujudkan otonomi daerah.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Pemerintah Daerah mulai
dilaksanakan secara efektif pada bulan Januari 2001, telah membawa
perubahan yang cukup berarti terhadap hubungan pusat dan daerah, terdapat
beberapa kemajuan berarti terhadap hubungan pusat dan daerah. Kemajuan
disini mempunyai artian seperti tingkat partisipasi masyarakat yang semakin
luas dalam berbagai bidang, atau tingkat tanggung jawab pemerintah
Kabupaten/Kota yang lebih besar kepada masyarakat. Meskipun demikian,
masih banyak hal yang perlu dilakukan dan diperbaiki dalam pelaksanaan
otonomi daerah.

1

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2

Hal ini dapat dilihat dalam proses Pembuatan Undang-Undang No. 22
Tahun 1999 yang sama sekali tidak melibatkan orang daerah dan lebih
mengutamakan kepentingan pusat. Disamping itu masih banyak ketidakjelasan
dan kurang keterbukaan bagaimana implementasi yang baik itu mesti dimulai
(Salam,2005:11). Maka dari itu perlu dilakukan perubahan terhadap UndangUndang No. 22 Tahun 1999 yang dirasa belum mampu menjawab tantangan
atau mengakomodasi tuntutan perkembangan masyarakat, dan ketatanegaraan
yang ditinjau dari sisi daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan
pemerintah di daerah.

Berdasar

kondisi tersebut

maka

pemerintah

memperbaiki Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yang
dilaksanakan secara efektif pada tanggal 15 Oktober 2004.
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan sarana pemerintah untuk
melaksanakan reformasi administrasi di tubuh pemerintah dan bertujuan untuk
memperbaiki praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Hal ini
didukung dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
Pelaksanaan otonomi daerah yang baik harus didukung oleh semua pihak yang
terkait, baik sumber dana (anggaran), sumber daya alam, sumber daya tersebut
tidak lantas dibiarkan saja tetapi juga harus dikelola secara maksimal agar
dapat menghasilkan sumber dana untuk daerah tersebut. Pengelolaan sumber
daya alam yang maksimal harus didukung oleh sumber daya manusia
(stakeholder) yang ada didaerah. Sebab stakeholder dalam organisasi
pemerintah merupakan pelaku dan sebagai penentu keberhasilan tujuan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

3

organisasi tersebut. Sehingga stakeholder merupakan faktor yang penting
dalam organisasi.
Pada kenyataannya, stakeholder di daerah masih belum mampu. Hal
ini terbukti masih banyaknya berbagai tuntutan dan juga kritikan dari
masyarakat yang menuntut adanya pelayanan yang baik. Menurut Islami
(1998:3), setidaknya ada lima hal yang menjadi tuntutan masyarakat yang
harus dipenuhi guna menyusun agenda kebijakan reformasi administrasi
Negara dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat yang meliputi :
1. Pemerintah dituntut mampu menumbuhkan good governance dalam
rekrutment aparat pemerintahah disemua jenjang didasarkan pada merit
system.
2. Semakin tajamnya kritik masyarakat atas rendahnya kualitas pelayanan
publik,
3. Semua aparat pemerintah dituntut untuk mempunyai sense of crisis,
4. Aparat pemerintah dituntut agar lebih profesional dalam mengedepankan
terpenuhinya public acuntability and responsibility,
5. Masyarakat

sebagai

kepentingannya

pihak

(public

yang
interest),

harus

dipenuhi

menuntut

dan

agar

dilindungi
pemerintah

memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi mereka sejauh bisa
memenuhinya.
Menurut

Dwiyanto,

dkk

(2003:106),

bahwa

Transparency

International menempatkan Indonesia pada tahun 2002 di urutan ke-98 antara
102 negara. Dalam hal korupsi, hal ini terbukti bahwa masih tingginya tingkat
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

4

korupsi yang terjadi di Indonesia. Pada buku tersebut (126-127) juga
menjelaskan bahwa praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak
mengalami banyak perubahan sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi
daerah, Governance and Decentralization Survey 2002 (GDS 2002) juga
membuktikan bahwa praktik KKN masih menjadi fenomena yang mudah
dijumpai dalam kegiatan pemerintahan. Berbagai kalangan stakeholder
berpendapat bahwa praktek di era otonomi daerah cenderung mengalami
peningkatan. Yang menarik adalah GDS 2002 menunjukkan terjadinya
pergeseran pusat KKN dari kantor Bupati/Walikota ke DPRD. Sebelum
pelaksanaan otonomi daerah, kantor Bupati/Walikota cenderung menjadi pusat
praktik KKN di daerah. Namun saat ini DPRD cenderung menjadi pusat KKN
yang lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga-lembaga eksekutif, seperti
kantor Bupati, dinas pendidikan, dinas kesehatan dan kantor kecamatan
maupun kantor desa. Hal ini dapat dipahami karena DPRD sekarang ini
menjadi lembaga yang sangat berkuasa sebab memiliki kekuasaan untuk
memilih dan memberhentikan Bupati dan Walikota.
Temuan GDS 2002 ke dua adalah bahwa praktik KKN ditengarai lebih
banyak di Kota dibandingkan dengan di Kabupaten. Dan temuan yang ke tiga
yaitu praktik KKN dalam kegiatan pemerintahan umumnya terjadi dalam
rekruitmen pegawai, tender proyek, penyusunan peraturan daerah, dan
penyusunan APBD. Alternatif pemecahan masalah praktik KKN di
pemerintahan daerah yaitu dapat dilakukan dengan mengutamakan upaya
dalam bentuk perbsiksn sistem pengawasan, perbaikan etika moral pegawai,
dan pemberian peringatan atau sangsi.
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

5

Dari berbagai fenomena praktik KKN diatas maka dapat dikatakan
bahwa Indonesia belum dapat mewujudkan suatu tata pemerintahan yang baik,
sebab masih banyak terjadinya praktik KKN, maka dapat dipakai indikator
dari

rendahnya

akuntabilitas pemerintahan Kabupaten/Kota.

Hal

ini

merupakan salah satu ciri penting dari tata pemerintahan yang baik (good
governance).
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu
tuntutan yang harus dipenuhi oleh Negara dalam rangka pencapaian
tujuannya. Untuk itu penyelenggaraan pemerintahan yang diharapkan bukan
lagi pemerintah yang “banyak memerintah” namun pemerintah yang “sedikit
memerintah” atau “pemerintah yang baik” (better governance) menurut
Osborne

dan

Gaebler

dalam

Widodo

(2000:18).

Dalam

rangka

penyelenggaraan good governance maka ketiga unsur yang berada dalam
ruang governance harus dapat bekerja dengan baik. Unsur-unsur yang
dimaksud tersebut adalah : state (Negara atau Pemerintahan), private sector
(sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat). Unsur-unsur
tersebut akan berinteraksi menurut fungsi-fungsi yang harus dilakukannya.
Pada masa yang akan datang diperlukan kerja sama dari unsur tersebut agar
pemerintah benar-benar mampu memerintah.
Telah disebutkan diatas bahwa dengan pelaksanaan otonomi daerah
memberikan suatu kemajuan dalam berbagai bidang atau tingkat tanggung
jawab pemerintah Kabupaten/Kota menjadi lebih besar kepada masyarakat.
Maka setiap apa yang dilakukan pemerintah khususnya aparaturnya dalam
rangka melaksanakan semua tugasnya harus dipertanggungjawabkan baik
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

6

mengenai keberhasilannya maupun kegagalannya sebagai wujud dari
responsibilitas aparatur pemerintah terhadap apa yang telah dilakukannya.
Dengan responsibilitas saja dirasa belum cukup untuk memajukan efektifitas
dan efisiensi setiap tindakan aparatur negara dalam memberikan layanan,
untuk

itu

perlu

dilakukan

akuntabilitas

kinerja

sebagai

wujud

pertanggungjawaban baik terhadap lembaga maupun terhadap masyarakat.
Dalam rangka menanggapi tuntutan pemerintah khususnya pada
Sekretariat Daerah Kabupaten Gresik harus memperbaiki kinerja birokrasi
yang profesional guna meningkatkan pelayanan masyarakat. Dengan kinerja
birokrasi yang lebih profesional dalam melayani masyarakat, maka proses
pelayanan dapat dilaksanakan dengan baik. Dari pernyataan diatas
kewenangan diberikan

kepada

daerah selanjutkan diberikan

kepada

pemerintah desa untuk dapat mengatur keuangan dan mengatur anggaran
belanja pemerintah desa. Seperti halnya yang terjadi di Desa – Desa di
wilayah Kabupaten Gresik bahwa Desa memiliki kewenangan untuk
mengelola keuangan yang ada di APB Desa. Hal itu tertuang pada Peraturan
Daerah Gresik nomor 12 tahun 2006 tentang Desa yang isinya, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disebut APB Desa adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan
peraturan desa. Mengacu pada peraturan diatas Permerintah desa memutuskan
untuk mengatur mengenai sumber APBDes yang terdiri dari tiga sumber.
Yang pertama Pendapatan Asli Desa, yang berasal dari Retribusi pedagang
pasar, retribusi parkir dan aset desa yang disewakan. Yang kedua, Pendapatan
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

7

yang berasal dari Pemerintah daerah yang berupa Alokasi Dana Desa (ADD).
Dan yang ketiga yaitu Pihak ketiga (Investor). Aturan tersebut diatur oleh
peraturan Desa nomor 2 Tahun 2010 tentang pengelolaan pendapatan Desa.
Berikut data yang diperoleh penulis untuk menunjang pernyataan diatas :
Tabel 1.1
Per encanaan dana APBDes pada tahun 2011
No Ur aian

J umlah Biaya

1
2
3
4

Hasil Pengelolaan kekayaan desa
306.079.500
Hasil swadaya dan partisipasi
39.743.000
Bagi hasil retribusi
185.109.100
Bagian dana perimbangan keuangan pusat dan 122.890.000
daerah kepada desa
5
Bantuan keuangan
Pemerintah Provinsi, 102.840.000
Kabupaten/Kota dan Desa
J umlah Realisasi Pendapatan
756.661.600
J umlah Pendapatan
788.330.000
Saldo Pendapatan minus
31.668.400
Sumber : Laporan pertanggungjawaban Kepala Desa Menganti Kecamatan
Menganti Kabupaten Gresik kepada Bupati Gresik tahun 2011.
.
Dari Tabel diatas diperoleh data bahwa penerimaan kas desa yang
berasal dari hasil pengelolaan kekayaan Desa yang di sewakan kepada
masyarakat sekitar sebesar Rp. 306.079.500. kekayaan Desa yang dimaksud
yaitu penyewaan ganjaran petinggi, penyewaan tanah Desa dan lelang parkir
pasar. Untuk swadaya dan partisipasi berasal dari hasil pengelolaan listrik
pasar Desa dan pelayanan kepada masyarakat. Pada poin ketiga terdapat dana
yang berasal dari retribusi, objek dari retribusi tersebut adalah semua
pedagang dari pasar Desa Menganti. Pada poin keempat disebutkan dana

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

8

perimbangan keuangan pusat dan daaerah kepada Desa yang meliputi alokasi
dana Desa tahap satu da tahap dua di tahun 2011.
Tabel 1.2
Pelaksanaan dana APBDes pada tahun 2011
No
1
2
3
4

Uraian
Belanja Langsung
Belanja Tidak Langsung
Belanja Bantuan Keuangan
Belanja Tak Terduga
J umlah
J umlah selur uhnya

J umlah Biaya
366.619.250
330.261.000
30.183.000
15.941.000
743.004.250
788.330.000

Saldo akhir Bulan 2011 Minus

45.325.750

Sumber: Laporan pertanggungjawaban Kepala Desa Menganti Kecamatan
Menganti Kabupaten Gresik kepada Bupati Gresik tahun 2011.
Dari Tabel diatas diperoleh data bahwa belanja langsung yang
dimaksud adalah belanja langsung yaitu belanja untuk kepentingan program
pelayanan adminisrasi perkantoran, program peningkatan sarana dan prasarana
kerja, program perbaikan sarana umum, program perbaikan lingkungan dan
pemukiman, program peningkatan pendidikan. Belanja tidak langsung
mencakup belanja pegawai dan belanja bantuan keuangan. Dari realisasi dana
tersebut,

seorang

Kepala

Desa

sangat

berperan

untuk

mempertanggungjawabkan secara tertulis kepada masyarakat, BPD dan
Bupati. Sesuai dengan yang diamanatkan oleh Peraturan Daerah Kabupaten
Gresik Nomor 12 Tahun 2006 tentang pemerintah Desa.
Pada Peraturan Daerah (Perda) Gresik Nomor 12 Tahun 2006
tentang Desa pada Pasal 7 Ayat 1 (a) menjelaskan bahwa proses akuntabilitas
yang yang dilakukan oleh kepala desa harus tertuju pada tiga sasaran yaitu

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

9

masyarakat, BPD (Badan Permusyawaratan Daerah) dan Bupati. Itu
dimaksudkan agar

proses transparansi bisa

bermuara pada

adanya

akuntabilitas dana pada penerimaan kas Desa dan pendistribusian dana di
Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik. Dari observasi
sementara yang ada dilapangan, Kepala Desa hanya mengimplementasikan
laporan pertanggungjawaban keuangan desa kepada BPD dan Bupati, tetapi
peneliti belum menemukan laporan pertanggungjawaban secara tertulis yang
ditempel pada papan pengumuman yang ditujukan kepada masyarakat.
Sedangkan didalam Perda Gresik Nomor 12 Tahun 2006 Nomor 7 Pasal 2
disebutkan bahwa proses pertanggungjawaban keuangan Desa kepada
masyarakat

harus

berupa

selebaran

yang

ditempelkan pada

papan

pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan
masyarakat desa atau media lainnya (misalnya radio komunitas). Disinilah
fenomena yang menarik untuk diteliti.
Dengan adanya fenomena tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti
mengenai pengalokasian dana kas Desa Menganti Kecamatan Menganti
Kabupaten Gresik dengan judul “Akuntabilitas Kepala Desa dalam
Pengelolaan Anggaran Pener imaan dan Belanja, (Studi di Desa Menganti
Kecamatan Menganti Kabupaten Gr esik)“.
1.2. Per umusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka perumusan masalah yang
dikemukakan dalam penelitiaan ini adalah : Bagaimana Akuntabilitas Kepala
Desa Dalam Pengelolaan Anggaran Penerimaan dan Belanja?

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

10

1. 3 Tujuan Penelitian
Dari uraian latar belakang diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui Akutabilitas Kepala Desa Dalam Pengelolaan Anggaran
Penerimaan dan Belanja Desa.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten Gr esik
Memberikan saran-saran atau masukan bagi Desa Menganti Kabupaten
Gresik Propinsi Jawa Timur sebagai alternatif pertimbangan dalam
meningkatkan kinerja serta pengawasan terhadap penyelenggaraan dana
APB Desa di wilayah Desa Menganti Kecamatan Menganti Kabupaten
Gresik di Propinsi Jawa Timur.
b. Bagi Universitas Pembangunan Nasional J awa Timur
Sebagai tambahan khasanah perpustakaan dan bahan masukan bagi
penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama .
c. Bagi Peneliti
Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memperluas wawasan berfikir
serta

pengetahuan

penulis

dalam

mengembangkan

ilmu

pengetahuan yang sudah diperoleh untuk dilaksanakan di lapangan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

dan

BAB II
KAJ IAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Ter dahulu
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan pihak lain dapat dipakai sebagai
bahan pengkajian yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
1. Arja Sadjiarto

(Dosen Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi, Universitas

Kristen Petra, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol 2, No 2, Nopember 2000)
dalam Penelitiannya (Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja). Permasalahan
yang ada pada penelitian ini adalah bagaimana akuntabilitas dan kinerja
pemerintahan pada era otonomi daerah ini. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian sampel. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi
serta tanya jawab melalui wawancara terstruktur. Yang diperoleh dari penelitian
ini adalah Meskipun saat ini di Indonesia banyak dilakukan persiapan dan
diskusi mengenai good governance, namun jika dicermati lebih lanjut, tampak
bahwa akuntabilitas pemerintahan di Indonesia masih berfokus hanya dari sisi
pengelolaan keuangan negara. Sedangkan dalam kenyataan sehari-hari
keingintahuan masyarakat tentang akuntabilitas pemerintahan tidak dapat
dipenuhi hanya oleh informasi keuangan saja. Kinerja departemen atau dinas
tersebut tidak dapat diukur dengan rasio-rasio yang biasa didapatkan dari sebuah
laporan keuangan seperti return on investment, jumlah sumber daya yang
digunakan atau rasio pendapatan dibandingkan dengan sumber daya yang
digunakan. Hal ini disebabkan karena sebenarnya dalam kinerja pemerintah
tidak pernah ada “net profit”.
11
Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

12

Penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian ini pada objek
penelitian yaitu akuntabilitas pemerintah dalam melaporkan program yang telah
dilaksanakan, sehingga masyarakat bisa menilai apakah kinerja pemerintah
sudah efisien dan efektif. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini
adalah perspektif ilmu yang digunakan dalam mengukur proses akuntabilitas.
Perbedaan yang lain adalah tempat penelitian.
2. Nur Hidayatul Choiri (Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Brawijaya
Malang) dalam penelitiannya (Akuntabilitas Kinerja Dinas Pendidikan
Kabupaten Malang). Permasalahan yang ada di dalam penelitian ini adalah apa
alasan perlunya melaksanakan akuntabilitas administrasi oleh Dinas pendidikan
Kabupaten Malang dalam program wajib belajar sembilan tahun, bagaimana
pelaksanaan akuntabilitas administrasi di lapangan serta faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalannya. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan analisa kualitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program wajib belajar sembilan
tahun di Kabupaten Malang terlihat bahwa instansi (sekolah-sekolah) tidak
melaksanakan akuntabilitas administrasinya.
Penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian ini pada objek
penelitian yaitu akuntabilitas pemerintah terhadap suatu kebijakan yang di
lakukan oleh instansi yang terkait. Perbedaan penelitian tersebut dengan
penelitian ini adalah jenis akuntabilitas yang menjadi fokus penelitian.
Perbedaan yang lain yaitu lokasi penelitian.
3. Amin Rahmanurrasjid, (Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro) dalam penelitiannya (Akuntabilitas dan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

13

Transparansi

dalam

Pertanggungajawaban

Pemerintah

Daerah

untuk

mewujudkan Pemerintah yang Baik di daerah) studi kasus di Kabupateb
Kebumen. Permasalahan yang ada pada penelitian ini adalah adanya otonomi
daerah pasca reformasi tahun 1997 yang berimplikasi pada pergeseran
kekuasaan pemerintah pusat ke daerah. Dengan pergeseran ini mengakibatkan
banyaknya wewenang yang harus dikelola daerah dan berkurangnya pengawasan
dari pemerintah pusat. Penelitian ini merupakan hukum normatif dengan bahan
penelitian utama adalah bahan kepustakaan dan data dilapangn (primer) hanya
sebagai pelengkap. Hasil dari penelitian ini yaitu implementasi akuntabilitas dan
transparansi dalam pertanggungjawaban pemerintah daerah untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik di daerah menemui kendalakarena tidak adanya evaluasi
pemerintah atas penyampaian LPPD, penyampaian LKPJ tidak disertai dengan
perhitungan APBD.
Penelitian diatas memiliki kesamaan dengan penelitian ini pada objek
penelitian yaitu akuntabilitas dalam suatu program oleh pemerintah, perbedaan
penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada subjek penelitian dan
lokasi penelitian.
2.2

Landasan Teor i

2.2.1 Kebijakan Publik
2.2.1.1 Penger tian Kebijakan Publik
Pengertian kebijakan publik menurut Chandler & Piano (1998) dalam
Tangkilisan (2003 : 1) adalah pemecahan masalah-masalah publik atau
pemerintah. Pendapat lain dikemukakan oleh Dye dalam Islamy (1997 :18)
yaitu kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

14

dilakukan atau tidak dilakukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Nugroho (2003
: 54) mendefinisikan kebijakan publik adalah hal-hal yang diputuskan
pemerintah untuk dikerjakan dan hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk
tidak dikerjakan atau dibiarkan. Kesimpulan dari ketiga teori diatas yaitu suatu
tujuan yang dilakukan atau tidak dilakukan di dalam lingkup aparatur
pemerintah terhadap suatu kebijakan yang telah ditetapkan..
Sedangkan Friedrich dalam Wahab (2004 : 3), menyatakan bahwa
kebijakan ialah sutau tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan
dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Pernyataan
Friedrich ini sejalan dengan pernyataan Anderson dalam Agustino (2006 : 7)
memberikan statement tentang kebijkan publik yaitu serangkaian kegiatan yang
mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seseorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu
permasalahan atau sesuatu hal yang diperhatikan. Dari pernyataan dari teori
diatas bisa dilihat bahwa suatu kebijakan publik tidak luput dari peran seseorang
atau sekelompok orang didalam pencapaian kebijakan publik.
Sedangkan menurut Woll (1996) dalam Heseel (2003 : 2) kebijakan
publik adalah sejumlah aktifitas pemerintah untuk memecahkan masalah di
masyarakat,

baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang

mempengaruhi kehidupan masyarakat. Pendapat Woll ini sependapat dengan
Easton dalam Islamy (1997 : 19) yaitu pengalokasian nilai-nilai secara paksa
(sah) kepada seluruh anggota masyarakat, dan definisi kebijkan publik menurut

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

15

Frederich dalam Soenarko (2000 : 42) adalah suatu arah tindakan yang
diusulkan pada seseorang, golongan atau pemerintah dalam suatu lingkungan
dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatan yang diharapkan dapat
memenuhi dan mengatasi suatu cita-cita atas mewujudkan suatu kehendak serta
tujuan tertentu.
Atas dasar pengertian diatas, maka dapat dikemukakan elemen yang
terkandung dalam kebijakan publik sebagaimana apa yang dikemukakan oleh
Anderson dalam Islamy yang antara lain mencangkup :
1. kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorentasi pada tujuan tertentu.
2. kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
4. kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan, pemerintah mencari
masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu).
5. kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangundangan tertetu yang bersifat memaksa (otoritatif)
Dari beberapa pengertian diatas dan mengikuti paham bahwa kebijakan
publik itu harus mengabdi kepada masyarakat, maka dengan demikian dapat
disimpulkan kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan
dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai
tujuan atau berorentasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh
masyarakat.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

16

2.2.1.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Agustino (2006 : 22) berpendapat bahwa proses pembuatan kebijakan
merupakan serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan
waktu. Oleh karena itu kebijakan publik dilakukan ke dalam beberapa tahap
proses pembuatan kebijakan sebagai berikut :
1) Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan di angkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah – masalah ini berkompetensi terlebih dahulu
untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan.
2) Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan di bahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah–masalah tadi di definisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah terbaik.
3) Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternative kebijakan yang di tawarkan oleh para perumus
kabijakan, pada akhirnya salah satu dari alternative kebijakan tersebut di
adopsi dengan dukungan dari mayoritas legislative, consensus direktur
lembaga atau keputusan peradilan.
4) Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan–catatan elit, jika
program tersebut tidak di implementasikan. Oleh karena itu, program
kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah seharusnya
di implementasikan.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

17

5) Tahap penilaian kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau di evaluasi
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah.
2.2.1.3 Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu
kebijakan dirumuskan tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang
akan dirumuskan maka hanya menjadi wacana. Oleh karena itulah implementasi
kebijakan mempunyai kedudukan yang penting di dalam kebijakan publik.
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood dalam Hesel (2003:17)
hal–hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan
dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam
keputusan–keputusan yang bersifat khusus. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Presman dan Wildavsky dalam Hesel (2003: 17) implementasi diartikan sebagai
interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana–sarana tindakan dalam
mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam
hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.
Sedangkan Jones dalam Hesel (2003:17) menganalisis masalah
pelaksanaan kebijakan dengan mendasarkan pada konsepsi kegiatan–kegiatan
fungsional. Jones mengemukakan beberapa dimensi dari implementasi
pemerintahan mengenai program–program yang sudah disahkan, kemudian
menentukan implementasi, juga membahas aktor-aktor yang terlibat, dengan
memfokuskan pada birokrasi yang merupakan lembaga eksekutor. Dari beberapa
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

18

proses yang dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha–usaha untuk
mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi
mengatur kegiatan kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke
dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.
2.2.1.4 Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Menurut Rippley dan Franklin dalam Tangkilisan (2003 : 21)
menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga
faktor, yaitu :
1. Perspektif kepatuhan yang mengukur implementasi kebutuhan aparatur
pelaksana.
2. Keberhasilan inplementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya
persoalan.
3. Implementasi yang berhasil mengarah pada kinerja yang memuaskan semua
pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.
2.2.1.5 Kegagalan Implementasi Kebijakan
Menurut Peters dalam tangkilisan (2003 : 22) mengatakan implementasi
kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor yaitu:
1. Informasi
Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan gambaran yang kurang
tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada pra pelaksana dari
kebijakan yang akan dilaksanakan dan hasil-hasil dari kebijakan.
2. Isi Kebijakan
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau kebijakan
atau ketidaktepatan dan ketidaktegaasan intern maupun ekstern atau

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

19

kebijakan itu sendiri, menunjukkan kekurangan yang menyangkut sumber
daya pembantu.
3. Dukungan
Akan implementasi kebijakan publik akan sangat sulit apabila pelaksananya
tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
4. Pembagian Potensi
Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para aktor implementasi
dan juga mengenal organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi
tugas dan wewenang.
2.2.1.6 Pertanggungjawaban APB Desa Dalam Sudut Pandang Kebijakan
Pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
menjelaskan bahwa peran dari Kepala Desa yaitu melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan keuangan Desa yang diatur pada pasal 15 ayat 1 (i).
Hal ini dilakukan agar proses akuntabilitas dari seorang Kepala Desa bisa
mengacu pada sasaran yang diatur pada Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Daerah Gresik. Disamping itu, peran dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
yaitu melakukan musyawarah dengan Kepala Desa untuk menentukan suatu
aturan, rancangan APB Desa dan sebagai sarana kontrol terhadap Kepala Desa.
Proses pertanggungjawaban keuangan desa (APB Desa) harus mencapai tiga
sasaran yaitu kepada masyarakat, BPD dan Bupati. Sebagaimana tertulis di
dalam PP nomor 72 tahun 2005 pasal 15 ayat 2 “ Kepala Desa mempunyai
kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa
kepada Bupati/Walikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

20

kepada BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
desa kepada masyarakat”.
Mengacu pada PP diatas, Pemerintah Daerah (Perda) Kabupaten Gresik
mengeluarkan Perda Kabupaten Gresik Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Pemerintah Desa. Aturan ini dibuat mengacu berdasarkan PP Nomor 72 Tahun
2005 tentang Pemerintah Desa. Didalam Perda tersebut dijelaskan tentang tugas,
pokok dan fungsi dari pada Kepala Desa didalam menjalankan roda
pemerintahan desa yang profesional dan bertanggungjawab. Peran BPD juga
sangat berpengaruh didalam pertanggungjawaban keuangan desa, termasuk
didalam pertanggung jawaban terhadap APB Desa kepada sasaran yang telah
ditentukan. Sama halnya seperti PP diatas, Kepala Desa bertanggung jawab
penuh didalam mengelola keuangan desa terhadap masyarakat, BPD dan Bupati.
Proses pertanggung jawaban terhadap masing-masing sasaran berbeda,
hal ini diatur didalam Perda Kabupaten Gresik Nomor 12 Tahun 2006 pasal 7
ayat

(2)

“Kepala

Desa

mempunyaikewajiban

memberikan

laporan

penyelenggaraan pemerintahandesa kepada Bupati melalui Camat, memberikan
laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD dalam musyawarah BPD,
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa kepada
masyarakat”. Dan pasal 7 ayat (4) “Menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

21

diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa atau
media lainnya”.
2.2.2 Desentr alisasi dan Otonomi Daerah (Otoda)
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 7,
mengamanatkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah
oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sudut pandang teoritis Mahsun (2006:238), memberikan pendapat
bahwa desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dari pusat ke daerah. Hal
ini sejalan dengan pendapat dari Santoso dkk (2002:154), desentralisasi dalam
arti ketatanegaraan adalah merupakan pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumahtangganya
sendiri.
Dari pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
desentralisasi adalah pendelegasian wewenang pemerintah pusat kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 otonomi
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk dan mengurus
sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dari sudut pandang teori, Mahsun (2006:238) berpendapat bahwa
otonomi daerah (Otoda) adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

22

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari pendapat dan undang-undang diatas maka dapat disimpulkan bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
2.2.3 Konsep Anggaran dan Pemer intah Daear ah di Indonesia
Anggaran
penganggaran

menurut

Indra

Bastian

dalam

sistem

perencanaan

Pemerintah Daerah (2006:39) yaitu pernyataan mengenai

estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang
dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau
metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Dalam organisasi sektor publik,
penganggaran merupakan suatu proses politik. Karena itu anggaran merupakan
rencana menejerial untuk pengambilan tindakan (managerial plan for action)
guna memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi.
Berikut aspek-aspek yang harus tercakup dalam anggaran :
a) Aspek perencanaan.
b) Aspek pengendalian.
c) Aspek akuntabilitas publik.
Anggaran publik akan berisi rencana kegiatan yang direpresentasikan
dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter.
Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran merupakan suatu dokumen yang
menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi
mengenai pendapatan belanja dari aktifitas anggaran. Anggaran berisi estimasi

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

23

mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa yang akan datang dan
setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang hendak dilakukan
dalam periode yang akan datang.
Seiring dengan digulirkannya isu reformasi di bidang pemerintahan
hingga dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undangundang nomor 33 tahun 2004 yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya PP
Nomor 58 Tahun 2004 dan beberapa revisi PP dan Peraturan dalam Negeri
pendukungnya, maka lahirlah paradigma baru di dalam pengelolaan keuangan
daerah.
Dengan perubahan ini, penentuan strategi, prioritas serta kebijakan
alokasi anggaran akan lebih berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik.
Mekanisme perencanaan pembangunan dan perencanaan anggaran daerah harus
menjadikan suatu proses yang mengakar (buttom-up planning). Dengan sistem
buttom-up planning, berbagai barang dan jasa publik yang disediakan
Pemerintah, daerah diharapkan dengan preferensi dan prioritas di daerah yang
bersangkutan.
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) menurut Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2003 menjelaskan bahwa :
1. Anggaran daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program
kegiatan dan jenis belanja
2. Hal ini berarti setiap pergeseran anggaran anatar unit organisasi, antar
kegiatan, dan antar jenis belanja harus mendapat persetujuan DPRD.
3. Penerapan anggaran berbasis pendekatan kinerja

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

24

4. Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBD,
Pemerintah Daerah perlu menyampaikan laporan realisasi semester pertama
kepada DPRD pada akhir Juli tahun anggaran tertentu. informasi tersebut
akan menjadi bahan evaluasi pelaksanaan APBD semester pertama dan
penyesuaian APBD pada semester berikutnya.
5. Laporan pertanggungjawaban APBD disampaikan berupa laporan keuangan
yang minimumnya terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus
kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar
akuntansi Pemerintah.
6. Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengguna anggaran bertanggungjawab atas
pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang
APBD dari segi manfaat atau hasil (outcome).
7. Kepala satuan kinerja perangkat daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD, dari segi barang dan
jasa yang disediakan (output).
Dari Undang-undang diatas dapat dilihat bahwa proses akuntabilitas
sangat diperlukan dalam hal pengelolaan APBD dalam suatu daerah. Hal
tersebut juga diterapkan dalam pengelolaan APB Desa yang mana Kepala Desa
bertanggungjawab penuh kepada masyarakat, BPD dan Bupati. berikut
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 68 yang mengatur tentang
Desa disebutkan bahwa :

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

25

1. Sumber pendapatan Desa terdiri atas:
a. Pendapatan Asli Desa yang terdiri dari; hasil usaha Desa, hasil kekayaan
Desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotongroyong, dan lain-lain
pendapatan asli Desa yang sah.
b. Bagi hasil pajak Kabupaten/Kota paling sedikit 10% untuk Desa dan dari
retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi Desa.
c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
Kabup