Harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di desa Gadingwatu kecamatan Menganti kabupaten Gresik.

(1)

HARMONI SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT ISLAM

DAN KRISTEN DI DESA GADINGWATU KECAMATAN

MENGANTI KABUPATEN GRESIK

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

NOERISYAH FRSICA AMALIA NIM: E02213029

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul “Harmoni Sosial Keagamaan Masyarakat Islam dan Kristen di Desa Gadingwatu Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk -bentuk harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di Desa Gadingwatu Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik. serta faktor-faktor pendukung dan penghambatnya.Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan metode kualitatif. Metode ini menjadi langkah awal bagi penyusun untuk menjelaskan fakta-fakta yang terjadi, setelah penyusun melakukan wawancara dan dokumentasi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari orang-orang yang dijadikan informan pemeluk agama, tokoh agama, maupun perangkat desa setempat di Desa Gadingwatu. Selain itu juga kegiatan sosial keagamaan baik berupa peringatan hari besar keagamaan maupun aktivitas-aktivitas sosial yang terjadi di masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, bentuk-bentuk harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di Desa Gadingwatu penuh kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotong-royongan. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai kegiatan mulai dari kegiatan sosial keagamaan, peringatan hari kemerdekaan RI, kegiatan sedekah bumi yang biasa dilakukan setahun sekali, kerja bakti, hingga dalam hal pemilihan kepemimpinan. Kehidupan sosial keagamaan mengacu pada landasan setiap agama yang mengajarkan untuk saling mengasihi, menyayangi dan menghormati tanpa membedakan keyakinan yang dianutnya. Kedua, faktor pendukung terjadinya harmoni sosial di antaranya adalah masing-masing agama mengajarkan cinta kasih dan saling menghormati. Dengan demikian keharmonisan warga akan tetap terjaga. Faktor yang mendukung lainnya yaitu peran pemerintah desa setempat, dan tokoh agama yang mempunyai peran penting dalam menjaga kerukunan antar umat beragama. Selain itu terdapat pula faktor penghambat terjadinya harmoni sosial yakni terjadi pada kesalahpahaman akan peralihan agama yang dilakukan oleh seorang yang akan menikah, walaupun hal tersebut tidak sampai terjadi konflik. Faktor penghambat terjadinya harmoni sosial keagamaan yaitu pengaruh atau provokasi dari orang-orang luar, karena konflik biasanya terjadi apabila terdapat pendatang baru yang mencoba mempengaruhi masyarakat untuk berpindah agama.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI...iii

PERNYATAAN KEASLIAN...iv

MOTTO...v

KATA PENGANTAR...vi

ABSTRAK...ix

DAFTAR ISI...x

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Rumusan Masalah...8

C. Tujuan Penelitian...9

D. Manfaat Penelitian...9

E. Tinjauan Pustaka...11

F. Metodologi Penelitian...15

G. Sistematika Penulisan...22

BAB II : LANDASAN TEORI A. Pengertian Harmoni Sosial...23

B. Fungsi Sosial Agama...26

1. Pengertian Agama...26


(8)

C. Bentuk-Bentuk Harmoni Sosial Keagamaan...43

1. Kerukunan Intern Umat Beragama...43

2. Kerukunan Antarumat Beragama...44

3. Kerukunan Umat Beragma Dengan Pemerintah...45

BAB III : DATA UMUM A. Gambaran Umum Desa...47

1. Kondisi Geografis...47

2. Kondisi Demografis...49

3. Kondisi Pendidikan...51

4. Kondisi Ekonomi...53

5. Kondisi Sosial Keagamaan...54

6. Kondisi Sosial Politik...58

BAB IV : TEMUAN PENELITIAN A. Bentuk-bentuk Harmoni Sosial...61

B. Faktor Pendukung dan Penghambat...72

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan...78

B. Saran...79

C. Penutup...80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini membahas harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di desa Gadingwatu kecamatan Menganti kabupaten Gresik. Harmoni sosial merupakan kehidupan yang seimbang atau selaras dalam sebuah kelompok. Harmoni sosial yang tercipta dalam komunitas masyarakat menjadi fakta sosial yang sangat penting pada kelompok masyarakat yang berbeda di tengah kemajemukaan. Dalam menghadapi kemajemukan seperti itu, tentu saja kita tidak mungkin bisa mengambil sikap anti pluralisme, kita harus belajar toleran terhadap kemajemukan dan dituntut untuk hidup dalam semangat pluralisme.1 Pendahulu kita telah memberi keteladanan, mempraktekan kerukunan hidup antar umat beragama dengan sebenar-benarnya. Perbedaan agama tidak pernah menjadi halangan di dalam menjalin persaudaraan, persatuan, dan kesatuan nasional. Hal ini dapat di lihat dari seluruh perjalanan bangsa ini, lahirya Sumpah Pemuda dan bahkan di saat pendahulu kita merumuskan dasar negara Pancasila.2

1 Abdurrahman Wahid dkk., Dialog: Kritik & Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1993), 49. 2

Mustoha dkk., Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997), 16.


(10)

2

Pancasila mempunyai peran yang sangat penting mampu menjadi landasan dan falsafah kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk sebagaimana yang telah tergenggam erat dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang didalamnya dimuat rumusan Pancasila telah mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama sebagaimana berikut pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan

kepercayaan masing-masing”.3

Dengan kata lain, tidak ada unsur keterpaksaan dari negara kepada setiap masyarakat untuk memeluk agama. Semua agama menyeruhkan umatnya untuk berbuat baik kepada sesama, lingkungannya, dan lebih-lebih kepada Tuhannya. Sebagai makhluk sosial, setiap orang tidak akan pernah hidup dengan dirinya sendiri, tanpa bergantung pada orang lain yang ada di sekitarnya. Seseorang akan selalu butuh dengan yang lain, tidak hanya untuk saling membantu dan tolong menolong, tapi juga untuk membangun komuitas sosial yang saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.4

Penelitian ini difokuskan pada bentuk-bentuk harmoni sosial dan faktor pendorong dan penghambatnya. Desa Gadingwatu merupakan salah satu gambaran desa yang terletak di wilayah kecamatan Menganti yang masuk bagian selatan wilayah kabupaten Gresik yang masyarakatnya

3

UUD 45 dan Amandemennya (Solo: Aksara dua, 2000), 7.

4Sri Suwartiningsih dkk., “Kekerabatan Dasar H

armonisasi Sosial Masyarakat Perbatasan Indonesia –Malaysia”, repository.uwks.edu, (Senin, 19 Desember 2016, 10.30)


(11)

3

memeluk agama Kristen dan Islam. Di dalam desa tersebut terdapat sebuah dusun yang bernama dusun Pule yang pada sekitar tahun 90-an mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen.5 Hal ini disebabkan karena masuknya Kristen di dusun tersebut di tandai dengan adanya bangunan Gereja Bethel Tabernakel Kristus Gembala yang merupakan peninggalan Belanda. Menurut penuturan Pendeta Finanda Tri Yonatan dalam skripsinya, kekristenan masuk di dusun Pule sekitar tahun 1850 yang diperkenalkan oleh kelompok Dasimah dari Wiyung Surabaya.6 Hal inilah rupanya yang menimbulkan terjadinya keterkaitan yang erat antara orang-orang Kristen di Pule dengan orang-orang Kristen yang ada di Wiyung.

Bentuk perilaku kehidupan dalam keberagaman agama dapat diwujudkan dalam bentuk, menghormati agama yang diyakini oleh orang lain, tidak memaksakan keyakinan orang lain, bersikap toleran terhadap keyakinan maupun dalam hal ibadah, melaksanakan ajaran agama dengan baik, tidak memandang rendah dan tidak menyalahkan agama yang berbeda. Demikian juga realitas yang terjadi hubungan masyarakat yang harmonis dan terintegrasi antara pemeluk agama Islam dan Kristen tidak membeda-bedakan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Realitas menunjukkan bahwa peristiwa sejarah tidaklah lain banyak dipengaruhi oleh persoalan kepemimpinan.

5

Sri Wilujeng, Wawancara,Selaku warga kristen di dusun Pule desa Gading Watu kecamatan Menganti, 20 November 2016.

6

Finanda Tri Yonantan, “Pengaruh Kristen Tradisi Terhadap Pertumbuhan Iman Dan

Perkembangan Gereja di GBT Kristus Gembala”, (Skripsi tidak diterbitka, Jurusan


(12)

4

Tantangan lain dalam hal kepemimpinan dengan perbedaan juga tidak jarang dapat berjalan dengan ideal, yang kian dinamis membutuhkan figur yang kuat tanpa mengintervensi keyakinan setiap warganya hingga dapat menghantarkan kepada masa depan sebuah pemerintahan misalnya sebuah desa yang akan menjadi lebih baik. Kepemimpinan merupakan sebuah proses yang saling mendorong melalui keberhasilan interaksi dari perbedaan individu dalam mengejar tujuan bersama. Gambaran mengenai kepemimpinan di dusun Pule tersebut selama ini tidak ada sentimen agama, setiap masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin tanpa memandang status agama masing-masing.

Hal menarik yang terjadi di desa Gadingwatu mengenai agama dalam suatu keluarga, yang merupakan hal yang sangat penting karena tidak jarang dalam suatu keluarga, agama menjadi landasan berpijak atau menjadi barometer dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Tidak jarang pula orang tua menanamkan asas-asas agama sejak dini pada anak agar anak dapat bertindak sesuai dengan aturan agama. Demikian realitas yang terjadi di beberapa keluarga bahwa perbedaan agama dalam sebuah keluarga tidak menjadi halangan dalam mewujudkan harmoni keagamaan yang berjalan dengan ideal.

Kenyataan tersebut merupakan keunikan tersendiri karena fenomena keberagaman di Indonesia selama ini rentan dengan konflik antar umat beragama. Sebagaimana kasus konflik keagamaan di seputar


(13)

5

keberadaan rumah ibadah sampai sekarang yang masih menyisahkan kejanggalan. Di antara faktor-faktor keagamaan yang pada tahun belakangan ini kerap mengganggu kondisi kerukunan umat beragama di wilayah selatan kota Gresik masalah seputar rumah ibadat. Variasinya cukup beragam, antara lain penolakan pendirian rumah ibadat, penertiban tempat ibadat, hingga penutupan rumah ibadat. Mengingat variasi, skala dan jumlahnya cenderung meningkat, sehingga tidak heran jika masalah di seputar rumah ibadat ini menjadi isu penting dan juga merupakan salah satu permasalahan dalam pembangunan.

Hal tersebut telah terjadi bagi pemeluk Kristen dan Katholik di wilayah selatan kabupaten Gresik tepatnya di kecamatan Driyorejo yang hendak ingin beribadah. Kasus ini terjadi sekitar tahun 2010 puluhan massa yang tergabung dalam Forum Warga Muslim Kota Baru Driyorejo (FWKBD) melakukan protes menolak pembangunan gereja yang berlokasi di Perumahan Kota Baru Driyorejo Gresik karena dianggap tidak mematuhi prosedur. Gereja yang dimaksud adalah Gereja Bethani dan Ge-reja Santo Gabriel yang masing-masing berlokasi di Jl. Mutiara 1 Blok 11/AD No. 16 dan Jl. Raya Giol Kota Baru Driyorejo Gresik Selatan Jawa Timur. Menurut warga yang melakukan demo, gereja dibangun tanpa musyawarah dengan warga sekitar dan juga Kepala Desa setempat.7 Dengan demikian, gereja ini didirikan tanpa mematuhi peraturan dan tidak mempunyai Ijin Membangun Bangunan (IMB) selain itu juga

7Nurun Nisa’, “Mounthly Report on Religious Issues”,

www.wahidinstitute.org, (Kamis, 30 Desember 2016, 09.45)


(14)

6

mempersoalkan jemaat gereja yang tidak mencapai 60 orang seperti disyaratkan oleh peraturan yang berlaku.8 Dalam hal ini Pemerintah kabupaten Gresik telah menunjukkan kegagalannya dalam memfasilitasi dan nyata-nyata bertindak diskriminatif terhadap hak asasi warganya dalam menjalankan kebebasan bergama atau berkeyakinan tanpa mengedepankan dialog.

Indonesia sejak dahulu merdeka dikenal sebagai negara yang mampu menjaga dan memelihara hubungan antar agama yang sangat baik, tetapi hal itu berubah ketika melihat kenyataan pahit dari rangkaian tindak kekarasan dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam kondisi masyarakat yang pluralis dan heterogen seperti di Indonesia, catatan rawan konflik tidak jarang terjadi. Hal tersebut terbukti dengan adanya bebrapa laporan pelanggaran kebebasan beragama. Laporan ini menunjukkan meluasnya pengaruh wacana tentang ancaman aliran sesat. Dari sumber informasi yang kami dapatkan, laporan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) ini mencatat 22 kasus penodaan terjadi selama tahun 2012.9

Pada tahun 2013 berdasarkan laporan Setara Institute mencatat adanya bentuk pelanggaran atau intoleransi yang dilakukan aktor negara, tindakan menghambat atau menyegel rumah ibadah adalah tindakan yang paling banyak dilakukan 28 kasus, di ikuti pemaksaan keyakinan 19 kasus,

8

Bambang, Wawancara, Selaku Kepala Desa Mulung Kecamatan Driyorejo, 18 November 2016.

9Zainal Abidin Bagir dkk.,” Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012”

, www.crcs.ugm.ac.id, (Senin, 2 Januari 2017, 11.05)


(15)

7

melarang atau menghentikan kegiatan keagamaan 15 kasus, dan kriminalisasi atas dasar agama 14 kasus.10 Demikian juga laporan sementara pada tahun 2015 The Wahid Institute mencatat adannya 20 kasus penyegelan rumah ibadah.11

Harmoni sosial yang tercipta dalam komunitas masyarakat menjadi fakta sosial yang penting. Karena tidak jarang pada komunitas mayarakat yang berbeda terutama berbeda dalam hal keyakinan sering diwarnai oleh disharmoni sosial atau keretakan-keretakan dalam hubungan sosial antar individu atau kelompok sosial yang ada di dalamnya. Apalagi melihat dari hasil survey tersebut yang beberapa tahun belakangan ini masih sering terjadi kekerasan. Hal inilah yang melatar belakangi penulis melakukan penelitian ini di desa Gadingwatu merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Menganti kabupaten Gresik.

Dari hasil wawancara dengan salah satu perangkat desa di desa Gadingwatu. Dalam kenyataanya kerukunan antar umat beragama belum pernah terjadi konflik. Selain itu tantangan paling besar dalam kehidupan beragama adalah memposisikan dirinya secara tepat di tengah-tengah agama lain dan meletakkan agama dengan sebaik-baiknya. Sehingga harmoni sosial antar masyarakat Islam dan Kristen terjadi di desa Gadingwatu kecamatan Menganti kabupaten Gresik ini dapat mencegah terjadinya konflik atau perkara baru antar agama.

10 Bonar Tigor Naipospos, “Stagnasi Kebebasan Beragama Tahun 2013”, setara

-institute.org, (Sabtu,31 Desember 2016, 12.25)

11Tim The Wahid Institute, “Dinamika Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)


(16)

8

Dengan demikian fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Harmoni Sosial Keagamaan Masyarakat Islam dan Kristen di Desa Gadingwatu Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah diterangkan pada latar belakang di atas, maka penulis membatasi pembahasan dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa bentuk-bentuk harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di Desa Gadingwatu Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik? 2. Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat harmoni sosial

keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di desa Gadingwatu kecamatan Menganti kabupaten Gresik?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk harmoni sosial kegamaan masyarakat Islam dan Kristen di desa Gadingwatu kecamatan Menganti kabupaten Gresik.


(17)

9

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di desa Gadingwatu kecamatan Menganti kabupaten Gresik.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan Studi Agama-agama, khusunya dalam mata kuliah Sosiologi Agama yang membantu kita mendapatkan pengetahuan tentang berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat sehingga kita semakin memahami norma, tradisi, keyakinan, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta memahami perbedaan-perbedaan yang ada. Bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan Studi Agama-agama dalam mata kuliah Hubungan Antar Agama dengan tujuan agar dapat memahami dan mengetahui tentang relasi keagamaan, menjelaskan peran agama dalam kerukunan hidup manusia dan membangun hubungan yang harmonis antar umat beragama. Dan dalam mata kuliah Pluralisme dan Multikulturalisme dengan tujuan mampu memahami pengertian dasar, teori, mengenai pluralisme dan multikulturalisme dari perspektif agama-agama.

Manfaat Praktis, dengan penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat baik bagi lingkungan akademisi, maupun sosial kemasyarakatan. Penelitian yang dilakukan juga diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman bagi masyarakat maupun


(18)

10

pemerintah baik secara umum maupun khusus terhadap pentingnya harmoni sosial keagamaan masyarakat umat beragama. Memberikan cakrawala pandang masyarakat Indonesia semakin terbuka dan dewasa dalam menyikapi setiap persoalan yang rawan konflik dalam hubungan antarumat beragama. Harmoni merupakan kebutuhan semua pihak baik pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat sipil sangat menginginkan kondisi tersebut. Tentu saja penelitian ini tidak lain diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah dan LSM dalam mewujudkan harmonisasi kerukunan umat beragama dan dapat merealisasikan stabilitas sosial, politik, dan keamanan masyarakat yang ideal.12

E. Tinjauan Pustaka

Pembahasan tentang Kerukunan Umat Beragama bukanlah merupakan suatu hal yang baru, melainkan telah ada peneliti yang membahas tentang hal ini atau yang berhubungan dengan Kerukunan Antarumat Beragama. Hanya saja tempat yang diteliti yang berbeda, diantaranya adalah:

Skripsi Karya Achmad Fauzi yang berjudul, “Kerukunan Hidup

Antar Umat Beragama di Gresik”. Dalam skripsi ini menerangkan tentang

konsep kerukunan hidup umat beragama dari Kristen, Islam, dan Khonghucu yang dijadikan landasan hidup rukun antar umat beragama yaitu ketiga agama tersebut sama-sama mengajarkan tentang cinta, kasih

12Akhmal Salim, “Harmoni Jurnal Multikulturak & Multireligius”,

www.academia.edu, (Selasa, 21 Februari 2017, 20.15)


(19)

11

sayang, dan penuh kedamaian dengan sesama manusia, tetapi tetap memegang teguh rasa saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya demi kesejahteraan bersama. Bentuk-bentuk kerukunan antarumat beragama di Gresik adalah dialog antarumat beragama, musyawarah bersama, gotong royong dalam hidup kemanusiaan serta kegiatan yang lainya. Faktor yang mendukung kerukunan antarumat beragama di Gresik adalah toleransi dari semua pihak yang bersangkutan.13 Dalam karya ini pembahasannya hampir sama, tetapi lebih menekankan kepada Kerukunan Antarumat Beragama Pasca Konflik.

Skripsi Karya Asroful Zainudin Asari 2014 dengan judul,

„’Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama di Desa Balun Kecamatan

Turi Kabupaten Lamongan’’. Dalam skripsi ini menerangkan, tentang

menghargai antaragama dan saling toleransi ketika agama lain melakukan ritual ibadanya dan tidak pernah menyinggung agama lain ketika berkumpul. Selain itu, mayarakat mewujudkan kerukunan dengan menghadiri undangan antar agama ketika diundang, memperkuat kekeluargaan dan meningkatkan pengetauan masyarakat serta pendidik bagi para generasi muda yakni para siswa siswi dengan pendidikan berbasis multikultural yang didalamnya terdapat peran tokoh agama, perangkat desa, dan guru desa Balun kecamatan Turi kabupaten

13Achmad Fauzi, “Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Gresik” (Skripsi tidak

diterbitkan, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2006).


(20)

12

Lamongan.14 Pada karya Asroful sama menjelaskan Kerukunan Umat Beragama namun peneliti menjelaskan Kerukunan antarumat beragama pasca konflik.

Karya skripsi yang ditulis oleh Achmad Lili Bazuri yang berjudul, Pemikiran Nurcolis Majid tentang Pluralisme Agama dan Kerukunan Umat dalam skripsi ini dijelaskan dasar pandangan Nurcolis Majid tentang pluralisme agama sebenarnya berpijak pada humanitas dan universitas Islam. Yang dimaksud humanitas pada dasarnya mengandung pengertian bahwa Islam adalah agama kemanusiaan (fitrah) atau cita-cita kemanusiaan pada umumnya.15 Dalam pemikiran Nurcolis Majid dapat dijadikan suatu pijakan teori, namun penulis lebih memfokuskan pada kerukunan umat.

Karya Madina Andini dengan judul, “Studi Tentang Peranan FLA (Forum Lintas Agama) Terhadap Kerukunan Umat Beragama di

Surabaya”. Penelitian ini menerangkan tentang beberapa macam kegiatan

Forum Lintas Agama untuk membina kerukunan antar umat beragama di Surabaya.16 Kegiatan-kegiatan tersebut seperti kegiatan kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan serta mengadakan dialog-dialog antar tokoh-tokoh agama di Surabaya. Yang mana kegiatan tersebut bertujuan untuk

13 Asroful Zainudin Asari, “Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama” (Skripsi tidak

diterbitkan, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, 2014).

15 Achmad Lili Bazuri, “

Pemikiran Nurcolis Majid tentang Pluralsime Agama dan

Kerukunan Umat” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas

Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2001).

16Madina Andini, “Studi Tentang Peranan FLA Terhadap Kerukunan Umat Beragama di

Surabaya” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin


(21)

13

membina, menciptakan kerukunan umat beragama di Surabaya tanpa membedakan antara ras, agama, suku, kebudayaan dan kebangsaan serta saling hidup berdampingan, toleransi, tolong menolong, saling menghormati antar sesama.

Jurnal Karya Lathifatul Izzah dengan Judul “Melihat Potret

Harmonisasi Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia”. Dalam

jurnal menjelaskan bentuk-bentuk harmonisasi hubungan antarumat beragama yang pernah tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah toleransi, kerukunan antarumat beragama, dialog antar umat beragam, dan kerjasama antarumat beragama.17

Jurnal Karya Tri Yuliana Wijayanti dengan judul “Konsep

Kebebasan Beragama Dalam Islam Dan Kristen”. Dalam jurnal tersebut

menjelaskan kebebasan dalam agama Islam dapat dipahami sebagai prinsip bahwa setiap individu bebas memilih dan mengimani agamanya serta mengamalkan sepenuhnya ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Islam memberi kebebasan pada pemeluknya untuk memeluk agama masing-masing dan tidak diperbolehkan memaksakan keyakinannya kepada orang lain. Adapun kebebasan bergama dalam Kristen bermakna bahwa setiap orang bebas untuk memilih, mengganti, mengamalkan, dan menyiarkan agamanaya sesuai dengan keyakinannya.18

17Lathifatul Izzah, “Melihat Potret Harmonisasi Hubungan Antarumat Beragama di

Indonesia” Jurnal Studi Agama-agama Kompetisi Damai dalam Keragaman, Vol. IX, No. 1, (Januari 2013), 18.

18

Tri Yuliana Wijayanti, “Konsep Kebebasan Beragama Dalam Islan dan Kristen” Jurnal Studi Islam, Vol. 17, No. 1, (Juni 2016), 21.


(22)

14

Jadi yang membedakan dari berbagai karya penelitian diatas peneliti lebih memfokuskan dari harmonisasi dan kerukanan antar pemeluk agama Islam dan Kristen. Adapun perbedaan yang dapat dilihat yaitu penelitian yang penulis angkat ini adalah dari segi nilai-nilai keagamaan baik internal maupun eksternal pada wilayah yang akan diteliti oleh penulis dari berbagai bentuk-bentuk kegiatan, perilaku masyarakat dan pandangan masyarakat dari masing-masing agama terhadap kerukunan yang tercipta di wilayah tersebut yang akan diteliti.

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian merupakan cara menurut sistem-sistem aturan tertentu untuk mengarahkan suatu kegiatan praktis agar terlaksana secara rasional dengan harapan untuk mencapai hasil yang optimal.19 Sebuah karya ilmiah, metode mempunyai peranan yang sangat penting, metode yang digunakan dalam sebuah penelitian menentukan hasil penelitian tersebut. Karena metode penelitian merupakan standar yang harus dipenuhi dalam sebuah karya ilmiah. Adapun metode yang digunakan adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitan yang digunakan adalah merupakan jenis penelitian lapangan (field research) penelitian lapangan merupakan

19

Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 6.


(23)

15

metode untuk menemukan secara spesifik dan realitas tentang apa yang sedang terjadi pada suatu saat ditengah-tengah kehidupan masyarakat.20 Kemudian jenis penelitian ini adalah yang bersifat kualitatif.

Pada dasarnya penelitian ini merupakan kegiatan deskriptif analisis, sebagai upaya memberikan penjelasan dan gambaran secara komperhensif tentang harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen. Tentunya penulis mempunyai beberapa alasan memilih metode tersebut, diantaranya: pertama, objek penelitian merupakan harmoni sosial yang terjadi di Desa Gading Watu Kecamatan Menganti. Kedua, karena tempat penelitian berada di lingkungan agama Islam dan Kristen yang pada umumnya masyarakatnya memiliki kecenderungan interaksi sosial cukup intens, maka penulis merasa metode kualitatif sesuai supaya penulis sendiri lebih mudah dalam memahami keadaan sosial yang ada.

2. Sumber Data

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka data-data yang didapatkan adalah data-data dari hasil wawancara. Bertujuan untuk mengetahui informasi dengan menyelidiki informasi yang lalu dan sekarang oleh para partisipan untuk mengetahui pemikiran dan presepsi mereka. Metode wawancara dipilih untuk menunjang peneliti

20


(24)

16

dalam memperoleh data seperti tanggapan dari masing-masing agama Islam dan Kristen. Data wawancara ini diperoleh secara langsung dari beberapa sumber baik masyarakat, perangkat desa, tokoh agama, maupun tokoh masyarakat.

Selain itu dengan mengamati secara langsung suatu kegiatan yang diteliti. Dalam observasi ini diusahakan mengamati keadaan yang wajar dan yang sebenarnya seperti kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Pengamatan tersebut diperoleh dari penggabungan dari kenyataan yang terlihat, mendengar, bertanya sehingga pengamatan bisa terarah secara sistematis. Hal ini didasarkan pada tingkat kebauran informasi yang akan diperoleh dari perayaan-perayaan keagamaan, event-event sosial keagamaan yang sesuia dengan keadaan sosial objek yang.

3. Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis penelitian dan sumber data yang dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan atau penggalian data yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:


(25)

17

a. Observasi

Metode ini menjadi awal bagi penulis untuk mengamati dan meneliti fenomena dari fakta-fakta yang akan diteliti.21 Metode observasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti terjadi dalam kenyataannya. Dengan observasi dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial, observasi juga dilakukan apabila belum banyak keterangan dimiliki tentang masalah yang diselidiki. Tujuan dari metode ini yaitu untuk mengumpulkan data tentang deskripsi daerah yang diteliti.22

Dalam hal ini peneliti akan mengetahui keadaan harmoni sosial kegamaan masyarakat dengan melakukan pengamatan secara langsung mengenai objek penelitian. Adapun dalam metode observasi ini penulis melakukan kunjungan ke Gereja Bethel Kristus Gembala untuk menyaksikan menjelang perayaan Natal dan melihat aktivitas-akitivas warga menjelang kegiatan perayaan keagamaan baik menjelang hari Natal maupun hari raya Idul Fitri.

21

Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986), 136.

22


(26)

18

b. Wawancara

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal berbentuk percakapan yang bertujuan memperoleh informasi.23 Pengambilan data dengan metode ini dilalui dengan proses tanya jawab, yang dilakukan secara sistematis dan berdasarkan pada tujuan penelitian. Metode ini dilakukan dengan cara dialog tanya jawab kepada informan yang telah mengalami pemilihan terlebih dahulu.24

Adapun metode wawancara ini pertama ditujukan kepada Bapak Mukayat selaku kepala desa, tokoh agama Kristen Bapak Finanda Tri Yonatan pendeta di Gereja Bethel Tabernakel Kristus Gembala dan Bapak Amrin selaku tokoh agama Islam di desa Gadingwatu. Wawancara sesuai dengan topik mengenai bentuk harmoni sosial yang terjadi faktor pendorong beserta penghambatnya dan beberapa pertanyaan lain yang berhubungan dengan fokus penelitian kemudian dilanjutkan wawancara kepada warga setempat dengan cara berbaur dengan masyarakat setempat. Topik wawancara mengenai harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen.

23

Nasution, Metodologi Research: Pnelitian Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 113. 24


(27)

19

c. Dokumentasi

Selain menggunakan metode observasi, dan wawancara dalam penelitian ini juga dapat dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Dengan cara mendokumentasi sumber data menggunakan kamera, video, dan rekaman dalam memperoleh hasil wawancara. Pengambilan dokumentasi ini dilakukan ketika melakukan penelitian yang mana dokumentasi tersebut utamanya berkenaan bentuk-bentuk harmoni sosial keagamaan.

Adapun buku-buku yang digunakan ialah buku tentang Islam dan Kristen secara garis besar, dan kerukunan antarumat beragama. Dan mendokumentasikan sumber data menggunakan kamera atau video dan rekaman dalam memperoleh hasil wawancara. Dalam bentuk dokumentasi tersebut utamanya berkenaan dengan bentuk-bentuk harmoni sosial keagamaan masyarakat serta hambatan keduanya.

4. Metode Analisis Data

Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data kualitatif yakni dengan mengorganisasikan data memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, menemukan pola, hal yang penting, dan yang bisa


(28)

20

dipelajari, serta memutuskan diceritakan kepada orang lain.25 Analisis data dilakukan untuk mengetahui keakuratan data serta mempertanggungjawabkan keabsahan data. Analisis ini disajikan dengan mendiskripsikan seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber penelitian yang terdiri dari tiga langkah yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Pertama reduksi data, adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan awal yang tertulis di lapangan. Proses ini terus menerus berlangsung selama penelitian bahkan sebelum data benar-benar terkumpul. Reduksi data meliputi meringkas data, mengkode, dan menelusur tema.26 Kedua Pengkodean (Coding), proses membagi data ke dalam bagian-bagian klasifikasi. Upaya memilah-milah setiap satuan data ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan.27

Ketiga Penyajian data (display data), kegiatan ketika sekumpulan

informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data kualitatif ini berupa teks naratif berbentuk catatan lapangan, sehingga memudahkan untuk melihat apa yang terjadi.

Keempat Menarik Kesimpulan dan verifikasi, peneliti berusaha menarik simpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari makna

25Moeloeng, “

Metodologi Penelitian Kualitatif”, 186.

26Ivanovich Agusta, “Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif”,

https://ivanagusta.files.wordpress.com, (Sabtu, 25 Februari 2017, 18.45)

27Moeloeng, “


(29)

21

setiap gejala yang diperoleh dari lapangan. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif28 yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau fenomena yang berkembang di masyarakat serta harmoni sosial keagamaan dengan mengkaji lebih dalam tentang objek yang diteliti. Peneliti hanya menganalisa pada kegiatan yang dilakukan oleh kedua agama Islam dan Kristen tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini dapat mengarah pada tujuan yang diharapkan maka akan disusun secara sistematika. Sistematika penulisannya terdiri dari lima bab, yang masing-masing membicarakan masalah yang berbeda-beda namun saling memiliki keterkaitan. Secara rinci pembahasan masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut :

Bab pertama berisi Pendahuluan yang menggambarkan obyek kajian secara ringkas yang meliputi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan

Bab kedua berisi pembahasan kajian teori. Kajian teori disini terdiri atas pengertian harmoni sosial, fungsi sosial agama, dan bentuk-bentuk harmoni sosial keagamaan.

28

Koentjaranigrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), 6.


(30)

22

Bab ketiga berisi tentang data umum, gambaran umum desa yang berkaitan dengan penelitian yang dikaji, hal-hal yang berkaitan tersebut berupa letak geografis, kondisi ekonomi, keadaan penduduk dan mengenai bentuk-bentuk harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen.

Bab keempat berisi tentang temuan penelitian, pada bab ini meliputi beberapa sub bahasan. Pertama, bentuk-bentuk harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen. Kedua, faktor-faktor yang pendukung dan penghambat terjadinya harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen di desa Gadingwatu kecamatan Menganti kabupaten Gresik.

Bab kelima berisi tentang Penutup, merupakan akhir bab dari penelitian ini. Pada bab ini akan membicarakan tentang penutup, dan saran-saran, ditambah lampiran-lampiran yang berhubungan dengan penelitian ini.


(31)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Harmoni Sosial

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia harmoni berarti selaras

atau serasi,30 sedangkan sosial berarti berkenaan dengan masyarakat,

mengenai masyarakat, atau suka memperhatikan kepentingan umum.31

Sedangkan menurut Enda M.C social adalah cara tentang bagaimana individu saling berhubungan social secara baik dan saling menghargai satu sama lain.32 Harmoni sosial adalah kondisi dimana individu hidup sejalan dan serasi dengan tujuan masyarakatnya. Harmoni sosial juga terjadi dalam masyarakat yang ditandai dengan solidaritas.33

Harmoni Sosial suatu keadaan keseimbangan dalam sebuah kehidupan, dua kata yang saling berkesinambungan dan memiliki arti kata yang tidak dapat dipisahkan merupakan keadaan yang selalu didambakan oleh masyarakat dalam kehidupan mereka. Keharmonisan akan terwujud jika didalamnya ada sikap saling menghargai dan menyayangi antar anggota keluarga atau masyarakat. Dari kedua gabungan kata tersebut

30

Meity Taqdir Qodratillah dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), 156.

31

Ibid., 506.

32Amal Taufiq, “Adaptasi Budaya dan Harmoni Sosial: Proses Adaptasi Mahasiswa

Malaysia di Surabaya (Skripsi Tidak diterbitkan, Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial Politik UIN Sunan Ampel, 2014), 27.

33Wahyu Nur Mulya, “Perbedaan, Kesetaraan, dan Harmoni Sosial”,

blog.unnes.ac.id/warungilmu/2015/12/18/perbedan-kesetaraan-dan-harmoni-sosial-sosiologi (Jumat, 7 April 2017, 08.30)


(32)

24

dapatlah diperoleh kesimpulan yang menggambarkan cita-cita tinggi dari kehidupan bermasyarakat, harmoni sosial tidak akan pernah tercapai ketika tidak tercipta kehidupan yang damai serta saling menghargai dari setiap anggota masyarakat yang tinggal bersama dan memiliki perbedaan.

Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain, suatu masyarakat akan berada dalam ketertiban, ketentraman, dan kenyamanan bila berhasil membagun harmoni sosial. Banyak hal yang berkaitan dengan harmoni sosial, baik dari aspek ideologi, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan. Harmoni kehidupan manusia dalam sistem negara bangsa bisa berkembang dengan baik jika pemeluk beragam agama berhenti menjadikan Tuhan dan agama yang dipeluknya sebagai topeng kerakusan kekuasaan, dan kekayaan materiil. Kecenderungan demikian sering kali terjadi akibat kemanusiaan diletakkan sebagai negasi sempurna ketuhanan. The others atau keberlainan dalam pandangan multikulturalisme adalah unsur terpenting dari kehidupan sosial yang terbuka dan demokratis. The others adalah akar keberadaan setiap orang, etnis, bangsa, dan setiap agama atau paham keagamaan.34

Kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari latar belakang yang beragam suku, budaya, agama, tradisi, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya adalah sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dielakkan oleh

34


(33)

25

setiap individu. Namun di situlah keindahan sebuah komunitas sosial bila mampu merekat berbagai perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk saling memahami, tepo seliro dan toleransi, yang akhirnya akan melahirkan persatuan dan saling mencintai.35 Pada kenyataannya ditengah masyarakat kita berbagai perbedaan itu kerap menjadi sumbu pemicu terjadinya konflik horizontal berkepanjangan. Tentu banyak variabel penyebab munculnya berbagai konflik. Bahkan bisa jadi konflik membara dapat muncul dari sebuah komunitas yang berasal dari latar belakang budaya, ekonomi, suku, dan pendidikan yang sama. Konflik seperti ini kerap terjadi pada masyarakat Indonesia yang hidup di pedalaman dan tidak memiliki pendidikan memadai untuk mengomunikasikan maslah yang terjadi ditengah mereka. Sehingga bagi mereka bahasa otot jauh lebih efektif untuk menyelesaikan maslah tersebut ketimbang bahasa otak.36

Konflik dapat terjadi dimana saja pada siapa saja dan komunitas manapun, tidak peduli apakah ia berasal dari kalagan terpelajar, suku atau agama yang sama. Setiap orang dapat terlibat dalam arus konflik yang terjadi dihadapannya, atau bersentuhan langsung dengannya kecuali mereka yang memiliki pikiran yang jernih, hati yang lapang dan kendali nafsu yang kuat. Perbedaan budaya, kultur, dan tradisi suatu wilayah dengan wilayah yang lain juga akan menghasilkan karakter yang berbeda. Inilah salah satu kekayaan bangsa kita yang terdiri dari banyak suku yang

35Benyamin F. Intan dkk., “Kearifan Lokal Masyarakat Nias”,

Societas Jurnal Agama dan Masyarakat DEI, Vol. 1, No 1, (Oktober, 2014), 247.

36


(34)

26

tersebar di berbagai wilayah. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa berbagai perbedaan tersebut dapat menjadi pemicu munculnya sebuah konflik bila tidak dikelolah dengan baik.

B. Fungsi Sosial Agama 1. Pengertian Agama

Istilah agama, atau religion dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin religio yang berarti agama, kesucian, kesalahan, ketelitian batin,

religare, yang berarti mengikatkan kembali, pengikatan bersama.37 Sedangkan pengertian agama dalam bahasa Sansekerta yaitu “tidak kacau”. Agama diambil dari dua akar suku kata yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”.38 Dalam Kamus Sosiologi pengertian agama ada tiga macam yaitu pertama, kepercayaan pada hal-hal yang spiritual. Kedua, perangkat kepercayaan dan praaktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dan ketiga ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.39

Suatu definisi adalah konsep luas yang memberi batas terhadap apa yang harus dipelajari dalam suatu bidang studi. Untuk memperoleh definisi agama secara sosiologis kita perlu mengetahui arti dasar dari agama-agama besar di dunia agar definisi kita terarah kepada pengalaman agama umat manusia, lalu menelusuri arti agama kemudian

37

Djamari, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Bandung: Alfabeta, 1993), 9. 38

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), 53. 39


(35)

27

membandingkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh atau ilmuwan.

Dalam mendefiniskan agama Hendropuspito mendefinisikan agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganutnya-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris yang dipercayainya dan didaya gunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya.40 Agama disebut jenis sitem sosial, yang menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial, sutau peristiwa kemasyarakatan suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kelompok kompleks yang saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu. Agama berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang lebih tinggi dari pada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah roh-roh dan roh tertitinggi. Manusia mendayagunakan kekuatan-kekuatan tersebut untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud yaitu kepentingan atau keselamatan di dalam dunia dan keselamatan di dunia lain yang dimasuki manusia setelah kematian.

Pendapat lain mengenai agama juga diungkapkan oleh Durkheim menurutnya agama adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan yang berkaitan dengan benda-benda sakral.41 Yang dimaksud benda-benda sakral yakni katakanlah

40

Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Gunung Mulia, 1991), 34. 41

Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein (Jakarta: Prenada Media, 2004), 34.


(36)

28

benda-benda yang terpisah dan terlarang kepercayaan-kepercayaan dan peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya kedalam suatu komunitas moral. Namun meneganai definisi tersebut Emile Durkheim tidak mengulas lebih lanjut mengenai kata sakral. Durkheim menekankan peribadatan kolektif, meskipun membiarkan kemungkinan-kemungkinan lain tetap terbuka. Definisi yang dikemukakannya berhasil menampilkan secara jelas berbagai kegiatan politik atau moral ke dalam cakupan gejala keagamaan, dimana pribadatan kolektif memainkan peranan penting bagi pelakunya.

Durkheim menyimpulkan bahwa agama dan masyarakat atau lebih umum lagi kesatuan kolektif adalah satu sama. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial non material. Durkheim mengembangkan suatu definisi mengenai religi, bahwa religi merupakan sekumpulan keyakinan dan praktek yang berkaitan dengan sesuatu yang sacred, yakni sesuatu yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorientasi kepada suatu komunitas moral tunggal dimana masyarakat memberikan kesetiaan dan tunduk kepadanya. Maka bagi Durkheim agama pada dasarnya merupakan sesuatu yang kolektif.42 Untuk membuktikan argumentasi definitifnya ini, Durkheim berjuang untuk memberikan pembedaan definitif antara agama dan magis.

42

Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religiuos Life, terj. Inyak Ridwan (New York: Free Press, 1992), 8.


(37)

29

Ia mengatakan bahwa magis merupakan upaya individual, sementara agama tidak dapat dipisahkan dari ide komunitas peribadatan dan moral. Dalam karyanya yang terakhir The Elementary Forms Religious Life, Durkheim membahas masyarakat primitif untuk menemukan akar agama.43 Durkheim yakin bahwa ia akan dapat secara lebih baik menemukan akar agama itu dengan jalan membandingkan masyarakat primitif yang sederhana ketimbang di dalam masyarakat modern yang lebih kompleks. Temuannya adalah bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menemukan bahwa sesutu itu bersifat sakral dan yang lainnya bersifat profan, yang biasanya disebut totemisme. Totemisme dilihat sebagai tipe khusus fakta sosial non material sebagai bentuk kesadaran kolektif.

Ilmuwan lain yang menganggap agama tergantung pada ciri-ciri khas manusia sebagai makhluk intelejensi eksploratif kuat adalah Geertz. Dia mendefinisikan agama sebagai sistem lambang yang berfungsi menegakkan berbagai perasaan dan motivasi yang kuat, berjangkauan luas dan abadi pada manusia dengan merumuskan berbagai konsep mengenai keteraturan umum eksistensi dan dengan meneyelubungi konsepsi-konsepsi ini dengan sejenis tuangan faktualis sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi itu secara unik tampak realistik.44 Namun ketika ia membahas tentang bagaiamana lambang-lambang dan konsep-konsep itu diselubungi dengan sejenis tuangan faktualitas itu dia, sama sebagaimana

43

George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, terj. Tribowo B.S (Jakarta Kencana, 2011), 26. 44


(38)

30

halnya dengan pandangan Durkheim menekankan peribadatan kolektif. Yang menarik untuk diperhatikan dalam definisi yang dikemukakan oleh Geertz adalah kebalikan terhadap penekanan pada berbagai kepercayaan.

Bahwa agama merupakan maslah individual yang sifatnya pribadi atau personal yang penuh dengan muatan emosi dan perasaan serta pemikiran-pemikiran dan emosi-emosi serta perasaan-perasaan kelompok atau masyarakat yang terwujud dalam berbagai tindakan dan gejala keagamaan kelompok atau masyarakat. Agama juga menghasilkan keanekaragaman interepetasi dan keyakinan agama baik pada tingkat individu maupun tingkat sosial dan kelompok dan bahkan juga pada tingkat masyarakat.

2. Fungsi Sosial Agama

Istilah fungsi seperti kita ketahui menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan keutuhan masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan seimbang secara terus menerus. Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakat. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan dapat disimpulkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dikembalikan pada tiga hal yaitu ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan.45 Untuk mengatasi itu semua manusia lari kepada agama,

45


(39)

31

karena manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan dalam menolong manusia.

Durkheim berpandangan bahwa fungsi agama adalah kelompok kohesi yang sering dilakukan lewat menghadiri ritual kolektif.46 Ia melihat agama sebagai refleksi dari kepedulian terhadap masyarakat dia menegaskan bahwa moralitas tidak dapat dipisahkan dari agama. Terlepas dari bentuk ikatan antara agama dengan masyarakat, baik dalam bentuk organisasi maupun fungsi agama, maka yang jelas dalam setiap masyarakat agama masih tetap memiliki fungsi dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Agama sebagai anutan masyarakat, terlihat masih berfungsi sebagai pedoman yang dijadikan sumber untuk mengatur norma-norma kehidupan. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:

a. Berfungsi Sebagai Social Control

Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut baik secara pribadi maupun secara kelompok. Agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat maupun manusia umumnya.47 Agama memberi juga sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya. Sebagaimana adanya

46

Amal Taufiq dkk., Sosiologi Agama (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), 30. 47


(40)

32

hukum adat merupakan suatu kompleks kebiasaan dengan kodrat moral yang bervariasi. Berkat ketaatanya kepada hukum adat masyarakat merasa ikut mengambil bagian dalam keselamatan dan bersatu dengan hukum alam. Maka ikatan yang sakral itu sewaktu-waktu harus diperbaruhi kembali melalui upacara keagamaan. Pengawasan dan berlakunya hukum adat itu dilakukan secara rinci baik dalam tingkah laku sehari-hari maupun dalam kejadian yang khusus. Dalam masyarakat dimana adat dan agama masih menjadi satu maka pengawasan-pengawasan atau kontrol atas hukum yang tidak tertulis itu dilaksanakan oleh kepala adat atau yang sekaligus tokoh agama.

Fungsi agama bagi masyarakat dapat disimpulkan sebagai berikut agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat, agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral yang dianggap baik dari serbuan destruktif dari agama dan dari sistem hukum negara modern, dimana nilai hukum adat yang baik masih dapat ditingkatkan atau disempurnakan agama-agama mengadakan inkulturasi, pelanggaran terhadap hukum adat maupun hukum negara atau yang berdimensi moral dikenai sangsi-sangsi. Para penganut agama sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya terikat batin kepada tuntunan ajaran tersebut baik secara pribadi maupun secara kelompok. Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan


(41)

33

sosial.48 Ajaran agama secara individu maupun kelompok karena pertama agama secara instansi merupakan norma bagi pengikutnya, kedua agama secara dogmatis atau ajaran mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis atau wahyu atau kenabian.

Pendukung utama teori ini adalah Emile Durkheim yang melihat konsep sakral sebagai ciri khas dari agama. Ia mendasarkan pandangannya pada penelitian terbaru tentang toteisme antara suku aborigin Australia. Durkheim melihat toteisme sebagai bentuk asli dan sederhana dari agama.49 Menurutnya analisis bentuk sederhana ini, agama bisa memberikan pola bangunan untuk agama yang lebih kompleks. Durkheim menegaskan bahwa moralitas tidak bisa dipisahkan dari agama.

b. Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas Sosial

Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Pada beberapa agama rasa persaudaraan itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan. Integrasi sosial tercipta dalam masyarakat karena rasa solidaritas sosial. Rasa solidaritas sosial diperlukan dalam masyarakat pluralitas agama. Sebagaiman Durkheim dalam penelitiannya

48Middya Botty, “Agama dan Perubahan SosialTinjauan Perspektif Sosiologi Agama”,

Istinbath, No. 15 Th. XIV, (Juni, 2015), 35-50. 49


(42)

34

ia mencari prinsip yang mempertalikan anggota masyarakat. Emile Dhurkeim menyatakan agama harus mempunyai fungsi. Agama bukan ilusi, tetapi merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial.

Fakta sosial yang dikemukakan Durkheim menjelaskan bahwa dalam masyarakat terdapat adanya cara bertindak manusia yang umumnya terdapat pada masyarakat tertentu yang sekaligus memiliki eksistensi sendiri, dengan cara dan dunianya sendiri terlepas dari manifestasi-manifestasi individu. Masyarakat secara paling sederhana dipandang oleh Durkheim sebagai kesatuan integrasi dari fakta-fakta sosial.50 Kesatuan sosial yang saling berhubungan dengan sifat-sifat khas mereka yang unik. Masyarakat terbentuk bukan karena adanya kesenangan atau kontrak sosial melainkan adanya faktor yang lebih penting yaitu kesadaran kolektif.

Setidaknya dijumpai dua sifat kesadaran kolektif yakni exterior dan constrain. Exterior merupakan kesadaran yang berada diluar individu, yang sudah mengalami proses internalisasi ke dalam individu dalam wujud aturan moral, agama, nilai, dan sejenisnya. Sedangkan constrain adalah kesadaran kolektif yang memiliki daya paksa terhadap individu, dan akan mendapat sanksi tertentu jika hal itu dilanggar. Ada dua tipe constrain yang disebut oleh Durkheim yaitu represif dan restitutif.51 Agama

50

Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), 89. 51

I.B. Wirawan, Teori-teori dalam Tiga Paradigma (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 17.


(43)

35

memainkan peranan yang fungsional, karena agama adalah prinsip solidaritas sosial.52

Menurut Durkheim masalah sentral dari eksistensi sosial adalah masalah keteraturan bagaimana mencapai solidaritas sosial dalam masyarakat. Masyarakat dengan tipe yang berbeda-beda mencapai solidaritas sosial dengan cara yang berbeda pula. Pada masyarakat pra-modern, tradisional dimana manusia hidup dengan cara yang hampir sama satu sama lain, solidaritas dicapai secara kurang lebih otomatis.53 Emile Durkheim mengambil pendekatan kolektivitas terhadap pemahaman mengenai masyarakat yang melibatkan berbagai bentuk solidaritas. Solidaritas dalam berbagai lapisan masyarakat bekerja sebagai perekat sosial. Dalam hal ini dapat berupa nilai, adat istiadat, dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam ikatan kolektif. Dengan menjadikan fakta solidaritas sosial sebagai unsur dasar dalam masyarakat, maka dia membagi masyarakat kedalam kedua tipe dengan cara pembagian solidaritas sosial yang bersifat mekanis dan organis sebagai berikut:

1. Solidaritas Mekanik

Pada masyarakat-masyarakat dengan solidaritas mekanis, warga-warga masyarakat belum mempunyai diferensisasi dan pembagian kerja.

52

Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 31.

53

Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post modernisme (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia), 46.


(44)

36

Lagi pula para warga masyarakat mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan kesadaran yang sama pula.54

Solidaritas mekanik pada umumnya terdapat pada masyarakat primitif, kesadaran tersebut terbentuk karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memerlukan keterlibatan secara fisik. Solidaritas tersebut mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam membangun kehidupan harmonis antar sesama. Tingkat homogenitas individu yang tinggi dengan tingkat ketergantungan antar individu sangat rendah.55 Dalam solidaritas mekanik, individu memiliki tingkat kemampuan dan keahlian dalam suatu pekerjaan yang sama sehingga setiap individu dapat mencukupi keinginannya tanpa tergantung dengan individu lain.

Ciri masyarakat dengan solidaritas mekanik ini ditandai dengan adanya kesadaran kolektif yang kuat, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama. Dimana ikatan kebersamaan tersebut terbentuk karena adanya kepedulian diantara sesama. Solidaritas mekanik biasanya terdapat pada masyarakat yang tinggal di pedesaan, karena rasa persaudaraan dan kepedulian diantara mereka biasanya lebih dari pada masyarakat perkotaan. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta nonmaterial,

54

Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 37. 55

John Scott, Teori Sosial: Masalah-masalah sosial dalam Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 80.


(45)

37

khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang biasa ia sebut sebagai kesadaran kolektif.56

Dalam masyarakat primitif, Durkheim percaya bahwa solidaritasnya bersifat mekanis, sebab manusianya belum terbagi-bagi dan masih terikat oleh persahabatan, ketetanggaan, dan kekerabatan seolah-olah mereka diikat dengan kekuatan eksternal saja. Anggota masyarakat ini memiliki kesamaan satu sama lain dan mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu.57 Didalam sorotannya terhadap masyarakat, Durkheim menaruh perhatian yang besar terhadap hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas yang terdapat didalam masyarakat. Solidaritas tersebut mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam membangun kehidupan harmonis antara sesama. Pada masyarakat ini belum ada pembagian kerja atau spesialisasi dalam hal pekerjaan karena pada dasarnya setiap pekerjaan dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong. Hubungan sosial yang terjadi di antara anggota masyarakat cenderung akrab dan didasarkan pada sistem nilai yang sama. Contoh masyarakat dengan solidaritas ini adalah masyarakat pedesaan yang masih tradisional. Pada umumnya masyarakat tersebut mempunyai pekerjaan yang sama yaitu petani.

56

Ritzer, Teori Sosialogi Modern,terj. Tribowo B.S., 22.

57

George Ritzer, Teori Sosiologi (Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), 93.


(46)

38

Pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanis terdapat kaidah-kaidah hukum yang represif. Kaidah hukum dengan sanksi represif biasanya mendatangkan penderitaan bagi pelanggar-pelanggarnya.58 Sanksi tersebut menyangkut hukum pidana. Tujuan utama dari dari hukum yang ada ialah untuk memenuhi sentimen kelompok, tetapi apabila masyarakat sudah menjadi lebih kompleks dan solidaritasnya berpangkal pada differensiasi manusia, maka orang tidak lagi dapat memperoleh kesenangan hanya dengan melepaskan kemarahan kepada orang lain.

2. Solidaritas Organik

Solidaritas organik merupakan sebuah ikatan bersama yang dibangun atas dasar perbedaan, mereka justru dapat bertahan dengan perbedaan yang ada didalamnya karena pada kenyataannya bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda.59 Masing-masing anggota masyarakat tidak lagi dapat memenuhi semua kebutuhannya sendiri melainkan ditandai oleh saling ketergantungan yang besar dengan orang atau kelompok lain. Solidaritas organik biasanya terdapat dalam masyarakat perkotaan yang heterogen.

Solidaritas organik didasarkan pada perbedaan-perbedaan fungsional akibat adanya pembagian kerja atau spesialisasi, sehingga individu-individu merasa perlu bersatu untuk saling melengkapi sehingga

58

Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 41. 59


(47)

39

menjadi satu keutuhan.60 Pembagian kerja yang mencolok terdapat dalam masyarakat perkotaan yang sebagian besar masyarakatnya bekerja dalam berbagai macam sektor prekonomian. Masyarakat dengan solidaritas organis telah mempunyai pembagian kerja yang ditandai dengan derajat spesialisasi tertentu.61 Bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan akan berakibat pada bertambahnya saling ketergantungan antara individu, yang juga memungkinkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Dengan munculnya perbedaan-perbedaan pada individu akan mengubah kesadaran kolektif. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit, maka timbullah kesadaran yang lebih mandiri.62 Kesadaran individual berkembang berbeda dari kesadaran kolektif, sering kali saling berbenturan. Sehingga kepedulian diantara sesama menjadi berkurang dalam bermasyarakat. Dari kondisi tersebut maka muncullah aturan baru yang berlaku bagi individu.

Pada masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik terdapat kaidah hukum denga sanksi yang restitutif. Hukum yang bersifat restitutif atau memulihkan ini bertujuan bukan untuk menghukum tetapi memulihkan kembali aktivitas masyarakat yang kompleks. Hukum restitutif berfungsi untuk melindungi dan mempertahankan pola ketergantungan antara berbagai individu dan kelompok yang berbeda. Paradigma berpikir Durkheim bahwa apabila hukum bertindak akan

60

Fredian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 27.

61

Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 37. 62


(48)

40

mencerminkan masyarakat kolektif, maka hukum yang mengganti merupakan suatu pencerminan masyarakat yang mempunyai perbedaan dan pengkhususan fungsi-fungsi tertentu. keadaan ini menciptakan diferensiasi baru dalam pengalaman dan pandangan tersendiri.

Gagasan Emile Durkheim dengan teorinya untuk memecahkan persoalan dengan menemukan faktor yang dicarinya dalam bentuk solidaritas sosial. Dari segi dinamikannya, maka diferensiasi ini akan menimbulkan kebutuhan akan adanya kerjasama antar individu dalam hubungan bermasyarakat. Durkheim memandang masyarakat juga sebagai tempat yang paling sempurna dan memiliki potensi untuk terhimpunnya kehidupan bersama antara manusia seiring dengan perkembangan masyarakat. Hal-hal yang paling dalam pada jiwa manusia berada di luar diri manusia sebagai individu, seperti kepercayaan keagamaan, kehendak, alam berpikir, hal ini bersifat sosial dan terdapat dalam masyarakat.63 Dalam pandangan ini bahwa faktor ini tidak lain karena sejak semula manusia itu memang ditakdirkan untuk hidup dalam suatu ikatan kesatuan atau kebersamaan, sebab memiliki kepentingan yang sama pula. Durkheim sangat merisaukan faktor munculnya masyarakat, sedangkan masyarakat tersebut terdiri dari individu-individu yang berdiri secara sendiri-sendiri. Kerisauan Durkheim membawahnya pada masalah pengintegrasian sosial terutama proses Normatif. Ketika masyarakat berhubungan dengan

63

Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson (Yogyakarta: Kansius, 1994), 28-29.


(49)

41

masyarakat lain, terjadi kecenderungan sistem keagamaan yang semakin menekankan.

Solidaritas organik adalah bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks atau beragam yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci. Dengan demikian muncul keahlian tertentu yang dimiliki oleh setiap anggota masyarakat yang mengakibatkan setiap golongan dalam masyarakat saling tergantung satu sama lain dan tidak dapat hidup secara sendiri tanpa melakukan hubungan atau kerja sama dengan golongan lain dalam masyarakat. Namun demikian kesadaran bersama diantara mereka lemah. Misalnya kehidupan pada masyarakat kota. Ada banyak jenis pekerjaan pada masyarakat kota seperti karyawan swasta, pengusaha, buruh, guru, pegawai negeri, dan lain-lain dimana mereka saling membutuhkan atau berhubungan yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan masing-masing bukan atas ikatan moral atau kebersamaan.

Kerangka teori yang dianggap relevan untuk menganalisis objek penelitian tersebut, dipilih yang paling memadai, tepat, baik dan mengena terhadap permasalahan yang ada. Maka untuk menjelaskan penelitian Harmoni Sosial Masyarakat Islam dan Kristen di Dusun Pule Desa Gading Watu Kecamatan Menganti peneliti menggunakan paradigma fakta sosial dengan teori solidaritas sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Solidaritas Mekanik dan Solidaritas organik mempunyai berbagai macam perbedaan diantaranya yaitu, solidaritas mekanik relatif berdiri sendiri atau tidak bergantung kepada orang lain dalam hal kerja, kesadaran kolektif


(50)

42

tinggi, terjadi di masyarakat sederhana, primitif, dan tradisional, kerja tidak terorganisir, beban lebih berat, individualis rendah, dan represif yaitu tidak bisa dipaksa diri. Sedangkan solidaritas organik adalah saling berkaitan dan mempengaruhi dalam pembagian kerja, dilangsungkan oleh masyarakat yang kompleks, ciri dari masyarakat modern atau perkotaan, kerja terorganisir dengan baik, beban ringan, individualis tinggi, dan adanya pembagian kerja.

Di desa Gadingwatu terdapat dua agama yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakatnya yaitu agama Islam dan Kristen. Walaupun tidak seimbang jumlah penduduknya namun kondisi tersebut tidak mengkhawatirkan akan terjadinya konflik. Kondisi masyarakat di dusun Pule selama ini terlihat rukun kesadaran untuk saling bergotong-royong sangatlah kuat dan kerja sama diantara mereka berimplikasi pada terciptanya solidaritas diantara masyarakat yang beragama Islam dan Kristen. Berdasarkan realitas kondisi masyarakat maka teori yang relevan sebagai analisisnya yaitu teori sosial Emile Durkheim yang termasuk ke dalam paradigma fakta sosial. Yang mana masyarakat plural tidak bisa dihindari yang mampu memberikan semangat tersendiri untuk menciptakan harmoni sosial sehingga muncul beberapa hal yang melatarbelakangi masyarakat beragama Islam dan Kristen dalam menciptakan solidaritas sosial.

Harmoni sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen yang terbangun lebih mengarah solidaritas mekanis yaitu dapat dilihat dari


(51)

43

kondisi sosial masyarakat persamaan hidup gotong royong, kemudian mereka terlibat dalam aktivitas bersama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Perbedaan yang ada tetap menjadikan mereka solid karena ikatan bersama karena ikatan bersama yang di bangun antara masyarakat Islam dan Kristen.

C. Bentuk-bentuk Harmoni Sosial Keagamaan 1. Kerukunan Intern Umat Beragama

Yang dimaksud dengan kerukunan intern masing-masing agama adalah terciptanya saling pengertian kesatuan bahasa dan pendapat diantara penganut suatu agama agar terbinanya persatuan dan kesatuan.64 Kerukunan intern masing-masing agama ini juga berarti, menjauhkan diri dari segala perselisihan dan pertikaian dalam diri sendiri tetapi senantiasa membina kerjasama dan hubungan yang harmonis. Meskipun dalam suatu agama terdapat berbagai aliran namun hal tersebut tidak mengurangi rasa kesatuan dan persatuan yang dihayati secara bersama dari ajaran agama sebagai titik tolak kebenaran agama tersebut.

Dalam hubungan ini perlu diperhatikan oleh seluruh pemuka agama agar pertentangan dan perpecahan yang mungkin timbul diantara pemuka atau pemimpin agama yang bersifat pribadi jangan sampai mengakibatkan perpecahan diantara para pengikutnya apalagi sampai mengakibatkan perpecahan. Karena salah satu faktor yang mungkin

64

Zaidan Djauhary, Kerjasama Sosial Kemasyarakatan (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1984), 4.


(52)

44

menyebabkan terjadinya ketidaksamaan atau berbedanya pemahaman dan interpretasi terhadap beberapa aspek pokok dari ajaran agama, disamping itu adanya faktor-faktor lainnya yang ikut melatarbelakangi dan mempengaruhi terjadinya gejala tersebut.

2. Kerukunan Antarumat Beragama

Toleransi hidup beragama bukan suatu bentuk campur aduk melainkan terwujudnya ketenangan, saling harga menghargai dan kebebasan yang sepenuh-penuhnya bagi setiap penduduk dalam menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing.65 Bahkan sebenarnya lebih dari itu antar semua pemeluk agama harus dapat dibina kegotong royongan di dalam pembangunan masyarakat kita sendiri demi kebahagiaan bersama. Masalah kehidupan beragama dikalangan masyarakat merupakan masalah yang sangat peka, bahkan merupakan masalah yang paling rawan terjadi. Beberapa kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat, karena adanya ketegangan-ketegangan antara satu penganut agama dengan agama lain terjadinya interaksi sosial yang negatif tidak jarang sampai menimbulkan konflik yang menuai dan mengganggu perkembangan masyarakat diduga salah satu penyebabnya adalah karena sikap fanatisme.

Disamping itu mungkin juga hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya seperti adat-istiadat, beragamnya kelompok atau etnis

65

Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005 ), 138.


(53)

45

dengan ciri dan sifatnya tersendiri. Kerukunan antar umat beragama telah lama dirasakan kepentingannya, hal ini timbul oleh kesadaran dan perasaan senasib dan sebangsa dalam negara Republik Indonesia.66 Kerukunan yang dimaksud disini menghargai antara penganut agama yang lain. Sesama umat beragama perlu menunjukkan kelapangan dada, keterbukaan serta pengendalian diri untuk menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan.

3. Kerukunan Umat Beragama Dengan Pemerintah

Kerukunan umat beragama tidak bisa berjalan dengan baik tanpa keikutsertaan peranan pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan masyarakat perlu melibatkan tokoh-tokoh agama agar tidak terjadi kesalahpahaman ditengah-tengah masyarakat sehingga antara pemerintah dengan tokoh agama bisa menjalin kerjasama guna menciptakan stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.67 Yang dimaksud dengan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah ialah terjadinya hubungan yang serasi dan harmonis antara pemerintah dengan umat beragama, umat beragama perlu membantu pemerintah dan sebaliknya agar kehidupan umat beragama di Indonesia secara tertib aman dan teratur. Umat beragama dan pemerintah artinya harus saling membantu dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa lahir maupun batin,

66

Djauhary, Kerjasama Sosial Kemasyarakatan, 4.

67Artis,” Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama”,

Toleransi Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, Vol. 3 No. 1,( Januari - Juni 2011), 25.


(54)

46

terutama dalam tahapan pembangunan sekarang ini umat beragama perlu berpartisipasi secara aktif dan konstruksi.

Untuk mencapai kerukunan ini demi terciptanya keselarasan, keserasian, dan keharmonisan maka pemerintah telah mengambil langkah, dengan adanya berbagai peraturan dan keputusan yang mengatur hubungan manusia Indonesia yang beragama dalam hal ini Departemen agama adalah instansi yang mempunyai tugas dan tercapainya kehidupan Agama yang rukun dengan pemerintah.

Pemerintah bertugas memberi bimbingan dan pengarahan serta bantuan dan fasilitas untuk mendorong terlaksananya hidup keagamaan di Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Pancasila dan UUN 1945.68 Tugas dan tanggung jawab ini disebabkan oleh kedudukan umat beragama dalam kedudukan ganda yaitu kedudukan sebagai umat beragama dan kedudukan sebagai warga negara. Kedua kedudukan ini saling mengisi, apabila salah satu diantaranya dikesampingkan maka akan terganggu keseimbangan yang akhirnya tidak menguntungkan.

68


(55)

BAB III DATA UMUM

A. Gambaran Umum Desa Gadingwatu

Dalam bab ini penulis mencoba menggambarkan objek kajian penelitian untuk memberikan penjelasan awal mengenai objek kajian yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Baik itu berdasarkan letak geografisnya maupun keadaan masyarakatnya. Sebelum membahas tentang kondisi sosial keagamaan masyarakat Islam dan Kristen akan lebih spesifiknya mengetahui bagaimana kondisi keadaan penduduk di desa Gadingwatu sebagai berikut:

1. Kondisi Geografis

Desa Gadingwatu terletak di kecamatan Menganti yang merupakan bagian selatan dari wilayah kabupaten Gresik, desa ini memiliki luas 319,5 H, yang terdiri dari lahan persawahan 130 Ha, perkebunan 20 Ha, tambak 25 Ha, dan tegalan 40 Ha. Wilayah desa Gadingwatu terbagi atas tujuh rukun warga yang mana posisi rukun warga menjadi sangat strategis seiring banyaknya limpahan tugas desa kepada aparat ini, dari ke tujuh rukun warga tersebut terbagi menjadi dua puluh empat rukun tetangga. Wilayah desa Gadingwatu terdiri dari tujuh dusun yaitu dusun Peniron Kulon, dusun Peniron Wetan, dusun Pule, dusun Dukuhan, dusun Watu Kulon, dusun Kajar, dan dusun


(56)

48

Taman Gading yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dusun.69 Dalam rangka memaksimalkan fungsi pelayanan terhadap masyarakat di desa Gadingwatu, dari ke tujuh dusun tersebut terbagi menjadi tujuh rukun warga dan dua puluh empat rukun tetangga.

Sedangkan batas-batas wilayah desa Gadingwatu seabagaimana bisa dilihat dari gambar peta berikut ini:

Gambar. I

Peta Desa Gadingwatu Kecamatan Menganti

Sumber Data: RPJM Desa Gadingwatu Tahun 2015

69

Laporan RPJM (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah) Desa Gadingwatu Tahun 2015.


(57)

49

Secara administratif desa Gadingwatu terletak di wilayah kecamatan Menganti kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan desa Boteng, di sebelah barat berbatasan dengan desa Beton, di sebelah selatan berbatasan dengan desa Bringkang, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan desa Domas kecamatan Menganti.

Bila dilihat dari jarak tempuh ke kota kecamatan sekitar 6 km dapat ditempuh dengan waktu sekitar 10 menit, sedangkan jarak tempuh ke kota Gresik kurang lebih 19 km yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 30 Menit.70 Secara topografi ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 20 m di atas permukaan air laut. Berdasarkan data BPS kabupaten Gresik tahun 2012, selama tahun 2012 curah hujan di desa Gadingwatu rata-rata mencapai – mm. Curah hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari sampai dengan Mei hingga mencapai 1429 mm yang merupakan curah hujan tertinggi selama kurun waktu 2008-2012.

2. Kondisi Demografis

Jumlah penduduk di desa Gadingwatu terdapat 1.234 KK, dengan jumlah total 4.718 jiwa, dengan rincian 2.434 laki-laki dan

70KKN Desa Gadingwatu, “Peta Desa”, gading.net76net/peta.html (Jum’at, 21 April 2017, 07.55)


(58)

50

2.274 perempuan.71 Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani, di bidang jasa, industri, pedagang, dan pengusaha.

Tabel. I

Monografi Data Penduduk

No. Penduduk Jumlah

1. Laki-laki 2.434 Jiwa

2. Perempuan 2.274 Jiwa

Jumlah Total 4.718 Jiwa

Sumber data: Laporan RPJM Desa Gadingwatu Tahun 2015.

Gambaran data penduduk berdasarkan usia di desa Gadingwatu dapat dilihat dari tabel di bawah ini

Tabel. II

Jumlah Penduduk Desa Gadingwatu Berdasarkan Usia Tahun 2015

Sumber Data: Laporan RPJM Desa Gadingwatu Tahun 2015.

71

Laporan RPJM (Rancangan Pembangunan Jangka Menegah) desa Gadingwatu Tahun 2015

No Usia Laki-laki Perempuan Jumlah %

1. 0-4 82 70 152 3.27%

2. 5-9 150 131 243 5.23%

3. 10-14 153 117 242 5.21%

4. 15-19 154 149 303 6.25%

5. 20-24 297 277 574 12.36%

6. 25-29 142 131 273 5.88%

7. 30-34 149 134 283 6.1%

8. 35-39 153 140 293 4.31%

9. 40-44 160 156 316 7%

10. 45-49 175 166 341 7.34%

11. 50-54 297 253 550 12%

12. 55-58 331 387 718 15.46%

13. >59 191 163 354 7.64%

Jumlah Total

2.434 2.276 4.718

Orang


(1)

79

yang akan menikah, walaupun hal tersebut tidak sampai terjadi

konflik. Selain itu faktor-faktor penghambat terjadinya harmoni sosial

keagamaan yaitu pengaruh atau provokasi dari orang-orang luar,

karena konflik biasanya terjadi apabila terdapat pendatang baru yang

mencoba mempengaruhi masyarakat untuk berpindah agama.

B. Saran

Dalam kondisi apapun kondisi masyarakat merupakan suatu

tanggung jawab bersama, sehubungan dengan penelitian ini, penulis

menyarankan kepada pihak setempat yaitu:

1. Kepada seluruh pemeluk agama masyarakat desa Gadingwatu

hendaknya tetap menjaga terus hubungan sosial antar umat beragama

yang membentuk hubungan yang rukun dan harmonis antar individu

dapat mengontrol diri dalam menghadapi berbagai isu yang

berkembang khususnya mengenai isu yang bertendensikan agama,

sehingga hal itu mampu mencegah konflik antar umat beragama.

2. Kepada para tokoh agama, diharapkan untuk tetap mengupayakan

dalam membantu menciptakan kondisi masyarakat yang rukun dan

harmonis, dengan cara tidak menanamkan sikap fanatisme agama yang


(2)

80

agama yang satu dengan yang lain, sehingga tercipta suatu hubungan

yang rukun dan harmonis dalam kehidupan masyarakat setempat.

C. Penutup

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt

yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari akan banyaknya keterbatasan

sehingga uraian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

saran dan kritik yang membangun dari semua pihak yang membaca sangat

penulis harapkan demi proses menuju kesempurnaan.

Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga penulisan ini dapat

membawa manfaat bagi penulis sendiri, lebih dari itu, penulis juga

berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat menjadi khasanah keilmuan

sebagai referensi yang bermanfaat bagi penulis selanjutnya dan dapat


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, Syamsuddin. Agama dan Masyarakat. Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1997.

Bachtiar, Wardi. Sosiologi Klasik. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Baehaqi, Imam dkk. Agama dan Relasi Sosial Menggali Kearifan Dialog.

Yogyakarta: LkiS, 2002.

Djamari, AgamaDalam Perspektif Sosiologi. Bandung: Alfabeta, 1993.

Djauhary, Zaidan. Kerjasama Sosial Kemasyarakatan. Jakarta: Proyek

Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1984.

Durkheim, Emile. The Elementary Forms of the Religiuos Life, terj. Inyak

Ridwan. New York: Free Press, 1992.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi

UGM, 1986.

Hendropuspito, Sosiologi Agama. Yogyakarta: Gunung Mulia, 1991.

Imam Muhni, Djuretna A. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim

dan Henri Bergson. Yogyakarta: Kansius, 1994.

Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Jhonson, Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z.

Lawang. Jakarta: PT. Gramedia, 1998.

Jones, Pip. Pengantar Teori-teori Sosial: Dari Fungsionalisme hingga

Post modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.


(4)

Mulkhan, Abdul Munir. Satu Tuhan Seribu Tafsir. Jakarta: Kansius, 2007.

Mustoha dkk. Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama di

Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1997.

Nasution. Metodologi Research: Pnelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara,

2007.

Nasdian, Fredian Tonny. Sosiologi Umum. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2015.

Qodratillah, Meity Taqdir dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2011.

Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern, terj. Tribowo B.S. Jakarta

Kencana, 2011.

Scharf, Betty R. Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein. Jakarta: Prenada

Media, 2004.

Scott, John. Teori Sosial: Masalah-masalah sosial dalam Sosiologi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1993.

Spraddly, James P. Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alvabeta, 2007.

UUD 45 dan Amandemennya. Solo: Aksara dua, 2000.

Wahid, Abdurrahman dkk., Dialog: Kritik & Identitas Agama.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993.

Wirawan, I.B. Teori-teori dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana


(5)

B. Skripsi dan Jurnal

Andini, Madina. “Studi Tentang Peranan FLA Terhadap Kerukunan Umat

Beragama di Surabaya” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan

Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2006).

Artis,” Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama”, Toleransi

Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, Vol. 3 No. 1.Yogyakarta,

2011.

Asari, Asroful Zainudin. “Pluralisme dan Kerukunan Umat Beragama”

Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel, 2014).

Bazuri, Achmad Lili “Pemikiran Nurcolis Majid tentang Pluralsime

Agama dan Kerukunan Umat” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya:

Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2001).

Botty, Middya. “Agama dan Perubahan Sosial Tinjauan Perspektif

Sosiologi Agama”, Istinbath, Nomor 15 Th. XIV. Palembang, 2015.

Fauzi, Achmad. “Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Gresik”

Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Ampel, 2006).

Izzah, Lathifatul. “Melihat Potret Harmonisasi Hubungan Antarumat

Beragama di Indonesia” Jurnal Studi Agama-agama Kompetisi

Damai dalam Keragaman.Vol. IX Nomor 1. Yogyakarta, 2013.

Puniatun, “Pelaksanaan Tradisi Sedekah Bumi Sebagai Upaya Untuk

Memelihara Kebudayaan Nasional” Jurnal Ilmiah PPKN IKIP

Veteran Semarang, Semarang, 2013.

Saputri, Zuni Anita “Peran FKUB Dalam Menyelesaiakn Konflik

Pendirian Rumah Ibadah” Skripsi tidak diterbitkan (Surabaya: Jurusan

Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2013).


(6)

The Wahid Institute, “ Penutupan Gereja di Gresik” Mounthly Report on

Religious Issues, Edisi XXXII, Jakarta, 2011.

Wijayanti, Tri Yuliana. “Konsep Kebebasan Beragama Dalam Islan dan

Kristen” Jurnal Studi Islam, Vol. 17 Nomor 1. Surakarta, 2016.

Yonatan, Finanda Tri. “Pengaruh Kristen Tradisi Terhadap Pertumbuhan

Iman dan Perkembangan Gereja di GBT Kristus Gembala Pule

Menganti Gresik” Skripsi Tidak diterbitkan, (Surabaya: Jurusan

Teologi Sekolah Tinggi Theoligia Injili Indonesia Surabaya, 2009).

C. Internet

Akhmal Salim, www.academia.edu, “Harmoni Jurnal Multikulturak &

Multireligius”, (Selasa, 21 Februari 2017)

KKN Desa Gadingwatu, gading.net76net/peta.html/ “Peta Desa” (Jum’at,

21 April 2017)

Naipospos Bonar Tigor, setara-institute.org, “Stagnasi Kebebasan

Beragama Tahun 2013” (Sabtu,31 Desember 2016)

Nur Mulya Wahyu,

blog.unnes.ac.id/warungilmu/2015/12/18/perbedan-kesetaraan-dan-harmoni-sosial-sosiologi “Perbedaan, Kesetaraan, dan

Harmoni Sosial”, (Jumat, 7 April 2017)

Sri Suwartiningsih dkk., repository.uwks.edu “Kekerabatan Dasar

Harmonisasi Sosial Masyarakat Perbatasan Indonesia – Malaysia”

(Senin, 19 Desember 2016)

Tim The Wahid Institute, www.wahidinstitute.org, “Dinamika Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Tahun 2015” (Senin,

2 Januari 2017)

Zainal Abidin Bagir dkk., www.crcs.ugm.ac.id, ”Laporan Tahunan