HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA USIA REMAJA.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA USIA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyeleseikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Riris Anggraeni B07211024

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku merokok pada usia remaja. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala keharmonisan keluarga dan skala perilaku merokok remaja. Subjek penelitian berjumlah 89 dari jumlah populasi sebanyak 113 melalui teknik pengambilan sampling simple random sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku merokok pada usia remaja.


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ... v

DAFTAR TABEL .. ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

INTISARI ... ... xi

ABSTRACT ... ... xii

1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan ... ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 13

2. TINJAUAN PUSTAKA A. Remaja 1. Definisi Remaja ... 15

2. Tugas-tugas Perkembangan Remaja ... 16

3. Perkembangan pada Masa Remaja ... 17

4. Kebutuhan Remaja ... 20

5. Konsekuensi Kebutuhan Remaja yang Tidak Terpenuhi ... 24

B. Perilaku Merokok 1. Rokok .... ... 25

2. Perilaku Merokok ... 26

3. Sejarah Perilaku Merokok ... 28

4. Bahan Kimis yang Terkandung dalam Rokok ... 31

5. Faktor-faktor Perilaku Merokok pada Remaja ... 33

6. Aspek-aspek Perilaku Merokok ... 35

7. Tipe-tipe Perokok ... 36

8. Alasan-alasan Merokok ... 37

9. Intensitas Perilaku Merokok ... 38

10.Remaja yang Merokok Enggan atau Kesulitan Berhenti Merokok ... 38

11.Dampak Perilaku Merokok ... 40

C. Keharmonisan Keluarga 1. Definisi Keluarga ... 44

2. Definisi Keharmonisan Keluarga ... 46


(6)

4. Remaja dan Keluarganya ... 49

5. Remaja sebagai Anggota Keluarga ... 50

6. Arti Keluarga dalam Masa Remaja ... 51

7. Kebutuhan akan Kasih Sayang dan Rasa Kekeluargaan pada Remaja ... 53

D. Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga dengan Perilaku Merokok ... 54

E. Kerangka Teoritis ... 55

F. Hipotesis ... ... 58

3. METODE PENELITIAN A. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel . ... 59

2. Definisi Operasional ... 59

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 1. Populasi . ... 62

2. Sampel ... ... 62

3. Teknik Sampling ... 63

C. Teknik Pengumpulan Data ... 64

D. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas . ... 67

2. Reliabilitas ... 76

E. Analisis Data 1. Uji Normalitas ... 78

2. Uji Linieritas ... 78

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek 1. Sekilas tentang Subjek ... 79

2. Data Demografis Subjek ... 80

B. Reliabilitas Data 1. Keharmonisan Keluarga ... 84

2. Perilaku Merokok Remaja ... 85

C. Hasil 1. Uji Normalitas ... 86

2. Uji Linieritas ... 87

3. Uji Korelasi ... 88

D. Pembahasan ... 89

5. PENUTUP A. Kesimpulan ... ... 93


(7)

DAFTAR PUSTAKA ... 95 LAMPIRAN ... 97


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Keharmonisan Keluarga ... 65

Tabel 2. Blue Print Perilaku Merokok Remaja ... 66

Tabel 3. Case Processing Summary ... 68

Tabel 4. Item-Total Statistics ... 68

Tabel 5. Blue Print Skala Keharmonisan Keluarga Setelah Diuji Coba ... 71

Tabel 6. Case Processing Summary ... 72

Tabel 7. Item-Total Statistics ... 72

Tabel 8. Blue Print Skala Perilaku Merokok Remaja Setelah Diuji Coba ... 74

Tabel 9. Reliability Statistics Skala Keharmonisan Keluarga ... 75

Tabel 10. Reliability Statistics Skala Perilaku Merokok Remaja ... 76

Tabel 11.1 Usia ... 79

Tabel 11.2 Waktu Pertama Kali Subjek Merokok ... 80

Tabel 11.3 Pendidikan ... 81

Tabel 11.4 Memiliki Saudara atau Anak Tunggal ... 82

Tabel 11.5 Tempat Tinggal ... 82

Tabel 12.1 Case Processing Summary Keharmonisan Keluarga ... 83

Tabel 12.2 Reliability Statistics Keharmonisan Keluarga ... 83

Tabel 13.1 Case Processing Summary Perilaku Merokok ... 84

Tabel 13.2 Reliability Statistics Perilaku Merokok ... 84

Tabel 14. Test Of Normality ... 86

Tabel 15. ANOVA ... 87


(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku merokok adalah suatu kebiasaan yang setiap hari dapat kita jumpai di berbagai tempat, baik itu di tempat umum, perkantoran, pasar, bahkan lingkungan sekolah sekalipun tidak terlepas dari pemandangan rokok dan merokok. Dapat dipastikan, setiap individu pasti telah mengetahui akan dampak dan bahaya merokok bagi kesehatan. Namun hingga saat ini, perilaku merokok yang sejatinya merupakan pola hidup tidak sehat ini belum juga dapat dituntaskan permasalahannya, bahkan menurut beberapa survey yang telah dilakukan, menyatakan bahwa jumlah perokok di Indonesia bahkan dunia terus mengalami peningkatan pada setiap tahunnya.

Di Indonesia, secara keseluruhan jumlah perokok laki-laki dan perempuan naik 35% pada tahun 2012 dan merupakan yang terbesar se-Asia Tenggara. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, konsumsi rokok di Indonesia mencapai 46,16%. Konsumsi rokok di beberapa negara, seperti Malaysia hanya 2,90%, Myanmar 8,73%, Filipina 16,62%, Vietnam 14,11%, Thailand sekitar 7,74%, Singapura 0,39%, Laos 1,23%, Kamboja 2,07%, dan Brunei Darussalam 0,04%. Berdasarkan data dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Southeast Asia Tobacco Control Alliance, dan Komisi Nasional


(10)

2

jumlah perokok terbanyak di dunia setelah Cina dan India. Pada tahun 2012, di Indonesia terdapat 62,3 juta perokok. Meningkat dari 2011 dengan jumlah perokok sekitar 61,4 juta. (Saputra & Sary, 2013)

Tak dapat dipungkiri, baik laki-laki maupun wanita saat ini telah memiliki kebiasaan merokok. Merokok bagi sebagian orang telah menjadi bagian dari gaya hidup (life style). Mereka sulit untuk menghentikan kebiasaan ini karena sudah mendarah daging. (Dariyo, 2003: 36)

Rokok dalam beberapa cara bertanggung jawab atas satu dari setiap enam kematian di Amerika Serikat, menewaskan lebih dari 1.100 orang setiap hari. Rokok tetap menjadi satu-satunya penyebab kematian dini yang paling dapat dicegah di Amerika Serikat serta di berbagai negara lain di dunia. Tembakau menewaskan lebih banyak orang setiap tahunnya dibanding gabungan dari AIDS, kecelakaan mobil, kokain, ganja, heroin, pembunuhan, dan bunuh diri. Kanker paru-paru menewaskan lebih banyak orang dibanding dengan berbagai jenis kanker lain, dan merokok mungkin menjadi penyebab 87% dari kasus kanker paru-paru. Resiko kesehatan secara signifikan lebih rendah pada para perokok cerutu dan yang menggunakan pipa, karena mereka jarang mengirup asapnya ke dalam paru-paru. Meskipun demikian, para perokok tersebut mengalami peningkatan resiko kanker mulut. (Davidson, 2012: 509)

Seiring berkembangnya zaman dan bertambahnya merek-merek rokok, usia mulai merokok mengalami penurunan. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) tahun 2010 terjadi penurunan umur mulai


(11)

3

merokok pada usia yang lebih muda. Berdasarkan hasil survey Riskesda 2010, umur pertama kali merokok pada usia 5-9 tahun sebesar 1,7%, pada usia 10-14 tahun sebesar 17,5%, pada usia 15-19 tahun sebesar 43,3%, pada usia 20-24 tahun sebesar 14,6%, pada usia 25-32 tahun sebesar 4,3% dan pada usia kurang dari 30 tahun sebesar 3,9%. Berdasarkan data diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa peningkatan usia merokok terjadi pada masa remaja yang mengarah pada perokok yang lebih muda. (Awi, dalam Ade, tt)

Merokok seringkali dimulai di sekolah menengah pertama, bahkan sebelumnya. Pada saat anak duduk di bangku sekolah menengah atas, merokok merupakan kegiatan yang meluas dalam berbagai kegiatan sosial juga di daerah-daerah terlarang, seperti di halaman sekolah. (Hurlock, 1980: 223)

Sementara itu, Santrock dalam bukunya Adolescence menyatakan, bahwa merokok biasanya mulai dilakukan selama masa kanak-kanak dan masa remaja. Siswa yang mulai merokok pada usia 12 tahun atau lebih muda, lebih cenderung menjadi perokok berat dan merokok secara teratur daripada siswa yang mulai merokok pada usia yang lebih tua. (Santrock, 2003: 568)

Smet (dalam Komasari & Helmi, 2000) menyatakan, bahwa usia pertama kali merokok pada umumnya berkisar antara 11-13 tahun dan pada umumnya individu pada usia tersebut merokok sebelum usia 18


(12)

4

remaja mencoba rokok pertamanya setiap hari dan 3.000 diantaranya menjadi perokok rutin. Perilaku merokok pada remaja umumnya semakin lama akan semakin meningkat sesuai dengan tahap perkembangannya yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas rokok.

Survey Sosial Ekonomi Badan Pusat Statistik tahun 2001 dan 2004 menunjukkan terjadi peningkatan prevalensi anak-anak usia 15-19 tahun yang merokok. Tahun 2001 sebesar 12,7 persen, tahun 2004 meningkat menjadi 17,3 persen. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2006 yang diselenggarakan oleh Badan Kesehatan Dunia terbukti jika 24,5 persen anak laki-laki dan 2,3 persen anak perempuan berusia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok, dimana 3,2 persen dalam jumlah tersebut telah berada pada kondisi ketagihan atau kecanduan. (Komasari & Helmi, 2000)

Data yang di dapat dari World Health Organizatition (WHO) juga menegaskan bahwa dari jumlah perokok yang ada di dunia sebanyak 30% adalah kaum remaja. Lembaga Modernisator dan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti menunjukkan jika 31,3% pelajar menjadi perokok, dimana 20,6% diantaranya merupakan perokok aktif, dan 10,7% mengaku pernah merokok. Yayasan Kanker Indonesia (YKI) menemukan 27,1% dari 1.961 subjek pelajar laki-laki SMA/SMK, sudah mulai atau bahkan terbiasa merokok, umumnya siswa kelas satus menghisap satu sampai empat batang rokok perhari, sementara siswa kelas tiga mengkonsumsi rokok lebih dari sepuluh batang perhari. (Komasari & Helmi, 2000)


(13)

5

Menurut Murtiyani (dalam Sanjiwani & Budisetyani, 2014), masa remaja merupakan masa yang rentan bagi seseorang untuk terlibat dalam perilaku menyimpang seperti merokok. Seorang remaja memilih untuk merokok erat kaitannya dengan belum matangnya mental seorang remaja. Seorang remaja sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai anak-anak, namun masih belum cukup matang untuk dikatakan dewasa, sehingga masih sering gagal untuk mempertimbangkan dampak dari perilakunya sendiri. Remaja juga sering mencari pola hidup yang paling sesuai baginya dan inipun sering dilakukan dengan metode coba-coba, yang kadang kala berdampak negatif bagi dirinya sendiri dan orang lain seperti merokok.

Di kota-kota besar, tidak sedikit remaja yang melakukan tindakan yang melanggar norma-norma sosial, namun hal ini justru menjadi suatu kebanggaan tersendiri diantara kelompok remaja tersebut. kebanyakan mereka berasal dari lingkungan keluarga yang kurang memperoleh perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Bisa jadi kedua orang tuanya sibuk bekerja, kedua orang tua sering cekcok, pisah ranjang, dan bahkan perceraian. (Panuju & Umami, 1999: 31)

Kejadian-kejadian tersebut dapat memicu stres pada remaja. Menurut para psikolog, kehidupan sehari-hari dapat menjadi penyebab stres seperti halnya kejadian besar dalam hidup. Tinggal dengan keluarga yang mengalami ketegangan bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sebagai kejadian besar dalam kehidupan seorang remaja, namun kejadian


(14)

6

dapat memupuk sehingga menimbulkan kehidupan yang sangat penuh dengan stres. (Santrock, 2003: 562)

Beragam alasan dikemukakan terkait dorongan untuk merokok. Di antara beberapa alasan tersebut, motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan tertinggi, yakni sekitar 54,59%. Finkelstein dkk. menduga bahwa para remaja merokok karena merokok dapat membuat mereka merasa rileks dan tenang. Finkelstein dkk. juga menyatakan bahwa tingkat stres yang tinggi berakibat terhadap meningkatnya resiko untuk merokok. Booker dkk. menemukan bahwa perilaku merokok pada remaja berhubungan dengan peristiwa penuh stres dalam kehidupan sehari-hari. Para remaja yang melaporkan tingkat stres tinggi juga melaporkan tingkat merokok yang tinggi, niat yang lebih besar untuk merokok tahun depan, dan keinginan yang lebih kuat untuk merokok di SMU dibandingkan mereka yang melaporkan tingkat stres rendah. (Rohman, tt)

Menurut Sarwono (1998: 47), “keluarga merupakan lingkungan primer pada setiap individu. Orang tua berperan penting pada perkembangan emosi remaja, baik yang memberi efek positif maupun negatif”. Sementara menurut Gunarsa, “keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembangannya yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya”. (Gunarsa, 2001: 185 )


(15)

7

Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal yang mempengaruhi berbagai aspek perkembangan. Orang tua jelas berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seorang anak setelah beranjak remaja. Gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan oleh remaja, banyak ditentukan oleh keadaan dan proses-proses yang ada dan terjadi sebelumnya, jelasnya apa yang dialami dalam lingkungan keluarganya. Buruk dialami dalam keluarga akan buruk pula diperlihatkan terhadap lingkungannya. Perilaku negatif dengan berbagai coraknya adalah akibat dari suasana dan perlakuan negatif yang dialami dalam keluarga. (Gunarsa, 2001: 186)

Sementara itu, Hurlock (1973) menyatakan bahwa anak yang hubungan keluarganya bahagia akan mempersepsikan rumah mereka sebagai tempat yang membahagiakan, sebaliknya jika suasana di rumah tidak menyenangkan, akan membuat anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin. Ketika remaja tidak dipahami keinginannya sehingga merasa tidak dihargai dan tidak diterima oleh lingkungannya terutama lingkungan dalam keluarga, remaja tersebut cenderung akan lari dari rumah dan mencari teman untuk mendapatkan perhatian yang selama ini tidak ia dapatkan di dalam keluarganya.

Pada kalangan remaja di masa kini, sering terjadi konflik-konflik, baik konflik dengan teman sebayanya, maupun dengan orang tuanya


(16)

8

sendiri. Hal ini dikarenakan remaja menganggap orang tua tidak bisa dan tidak mau mengerti keinginan remaja, yang mana keinginan-keinginan remajanya tersebut di anggap orang tuanya sebagai sesuatu hal yang akan berdampak tidak baik untuk anaknya. Perubahan dalam nilai-nilai kultural dan keluarga ini sangat membuat remaja merasa kesepian, bingung, dan penuh tekanan sehingga mereka biasa melampiaskan pada hal-hal yang tanpa mereka sadari bisa merusak dirinya sendiri, seperti menanggulangi rasa stresnya dengan minum-minuman keras atau merokok.

Kondisi-kondisi tersebut membuat remaja tidak dapat merasakan ketentraman dan kenyamanan dalam keluarganya. Sehingga, masa remaja yang menurut Stanley Hall adalah masa badai-topan dan stress, serta merupakan masa dimana emosi mereka yang masih labil, cenderung menyalurkan ketidakpuasan akan situasi yang sedang dialaminya tersebut melalui hal-hal yang cenderung akan merugikan untuk dirinya sendiri bahkan orang lain. Salah satu hal umum yang biasa dilakukan oleh remaja untuk mengalihkan rasa stres-nya tersebut adalah dengan merokok. Meskipun merokok ini merupakan hal yang umum dan dianggap sangat biasa untuk dilakukan, namun dampak dari merokok ini sungguh sangat berbahaya, bukan hanya bagi diri remaja sendiri namun juga bagi orang-orang di sekitarnya.

Kondisi serupa juga dialami oleh beberapa remaja merokok yang ada di Dusun Pilang Bangu, tempat yang akan digunakan untuk diambil sampel penelitian oleh peneliti. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa


(17)

9

awal mula mereka merokok karena suntuk dengan kondisi rumah mereka dimana kedua orangtuanya dirasa tidak memiliki hubungan yang harmonis. Selain merasa hubungan kedua orang tuanya yang kurang harmonis, beberapa dari mereka juga menyatakan bahwa diri mereka sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan kedua orang tuanya, kondisi-kondisi tersebut membuat mereka tidak nyaman berada dirumah mereka sendiri.

Alasan peneliti mengambil Dsn. Pilang Bangu adalah karena di Dsn. Pilang Bangu merupakan dusun yang memiliki jumlah penduduk paling banyak dibanding 5 dusun yang lain (Kemangsen Utara, Kemangsen Selatan, Sirapan, Sirapan Krajan, dan Sidodadi). Selain itu, di Dsn. Pilang Bangu ini terdapat beberapa tempat yang biasa dipakai para remaja untuk nongkrong dengan teman-temannya hingga larut malam (mayoritas pasti disertai dengan merokok).

Di Dusun Pilang Bangu ini ada beberapa tempat yang biasa digunakan untuk nongkrong oleh para remaja ketika malam hari hingga larut malam, bahkan terkadang hingga menjelang subuh. Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan Rizky (17 tahun) yang merupakan salah satu remaja di Dusun Pilang Bangu (20 Juni 2015), tempat-tempat tersebut yang banyak dipilih oleh para remaja yang merasa tidak nyaman dengan rumahnya sendiri. Karena usia mereka umumnya masih usia sekolah menengah atas, sehingga kedua orang tuanya menjadi lebih sering memarahinya karena kebiasaan mereka yang pulang larut


(18)

10

malam. Hal tersebut membuat anak remajanya menjadi semakin suntuk dan merasa tidak dimengerti.

Selanjutnya, peneliti memilih subyek dengan umur 15 tahun sampai 17 tahun, dikarenakan menurut beberapa survey yang telah dilakukan, salah satunya adalah survey dari Yayasan Kanker Indonesia menyatakan bahwa remaja pada usia SMA/SMK telah mulai mengkonsumsi rokok. Selain itu rentang umur tersebut masuk dalam kategori masa remaja, dimana pada masa itu menurut Stanley Hall adalah masa badai topan dan stres, sehingga pada masa itu seseorang seringkali mengalami ketegangan, kecemasan, dan stres. Karena pada masa itu mereka cenderung memiliki emosi yang belum stabil, sehingga mereka berusaha mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya dengan hal-hal yang cenderung negatif, dan salah satunya dengan merokok.

Karena kondisi tersebut, para remaja menjadi semakin tertarik dengan rokok. Beberapa dari mereka menyatakan bahwa ketika mereka merokok, mereka merasa bahwa beban yang dirasakannya akan berkurang, bahkan hilang untuk beberapa saat. Sehingga mereka mulai menggunakan rokok sebagai teman ketika mereka merasa sedang risau.

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa perilaku merokok yang dilakukan oleh para remaja, salah satu penyebabnya adalah stres yang dialami di kalangan remaja. Dan salah satu faktor pemicu stres tersebut adalah keharmonisan di dalam keluarga yang dirasa kurang sehingga remaja tersebut merasa tidak nyaman dan merasa


(19)

11

tertekan. Untuk membuktikan apakah faktor tersebut benar-benar berpengaruh, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hubungan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku merokok pada usia remaja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalahnya adalah “Apakah terdapat hubungan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku merokok pada masa remaja awal?”.

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku merokok pada usia remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat memberikan sumbangsih bagi kajian ilmu psikologi, khususnya bidang psikologi perkembangan tentang hubungan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku merokok pada usia remaja awal.


(20)

12

2. Manfaat Praktis

a. Untuk Orang Tua

Ketika orang tua telah mengetahui dan memahami bahwa perilaku merokok pada usia remaja merupakan salah satu akibat dari kurangnya keharmonisan keluarga, diharapkan orang tua akan dapat lebih mengerti dan memahami keinginan serta posisi dari anak, sehingga orang tua akan lebih memperhatikan dan menjaga pola komunikasi dalam keluarga guna menciptakan keadaan keluarga yang selalu harmonis.

b. Untuk Remaja

Apabila remaja telah mengerti akan dampak dan bahaya dari perilaku merokok, diharapkan remaja akan menghindari kebiasaan tidak sehat tersebut, sehingga remaja akan terhindar dari berbagai macam penyakit yang akan mengancam kesehatannya.

c. Untuk Guru atau Sekolah

Apabila guru atau sekolah memahami bahwa para muridnya yang merokok adalah akibat dari kerisauan yang dirasakannya (karena menurut penelitian, faktor terbesar yang melatar belakangi remaja merokok adalah untuk menghilangkan stres dan kecemasan), maka diharapkan para guru akan lebih mampu memahami keadaan remaja. Sehingga para guru atau sekolah tidak hanya menghukum para siswanya untuk menghentikan perilaku merokok tersebut, melainkan bisa dengan melakukan pendekatan


(21)

13

agar para remaja tersebut merasa lebih nyaman dan kerisauannya berkurang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ratna, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri remaja dan konformitas dengan perilaku merokok pada remaja. Dari 100 responden, 57,28% menunjukkan bahwa konsep diri dan konformitas merupakan faktor yang mempengaruhi remaja merokok.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Rohman menunjukkan, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat stres dan status sosial ekonomi orang tua dengan tingkat perilaku merokok pada remaja. Merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan tertinggi, yakni sekitar 54,59 persen.

Hasil penelitian dari Ade menyatakan, bahwa harga diri merupakan faktor yang signifikan bagi perilaku merokok pada remaja di Bukit Tinggi. Hal ini dapat dilihat dari 64% (dari 32 siswa laki-laki SMP di Bukit Tinggi) memiliki tingkat harga diri yang tinggi, dan 36% (dari 18 sisiwa laki-laki SMP di Bukit Tinggi) memiliki harga diri yang sedang.

Sementara hasil penelitian dari Yuni dan Ayu, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif ibu dengan perilaku merokok remaja laki-laki di SMA Negeri 1 Martapura.


(22)

14

Dari beberapa penelitian sebelumnya yang telah di kemukakan di atas, terdapat kesamaan dengan penelitian yang akan di lakukan ini, yakni sama-sama membahas mengenai perilaku merokok remaja. Perbedaannya adalah, penelitian ini digunakan untuk mengetahui apakah faktor keharmonisan keluarga juga berpengaruh dalam perilaku merokok di kalangan remaja.


(23)

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Definisi Remaja

Menurut Golinko, kata “remaja” berasal dari bahasa Latin, yaitu adolescence yang berarti to grow atau to grow maturity. Banyak tokoh yang mendefinisikan tentang remaja, seperti Debrun mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dan dewasa. (Jahja, 2011: 220)

Papalia dan Olds (2001), berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa kanak-kanak dan dewasa. Adapun Anna Freud, berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan

meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan

perkembangan psikoseksual, dan juga tejadi perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

Menurut Hurlock , transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai. Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis, misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Adapun bagian dari masa dewasa adalah proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi


(24)

16

reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak.

2. Tugas-tugas Perkembangan pada Masa Remaja

Menurut Hurlock (1980:10), tugas-tugas perkembangan pada masa remaja diantaranya:

a. Mencaapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya

baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran social pria dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku social yang bertanggung jawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideology

Sementara menurut William Kay (Jahja, 2011: 238), tugas-tugas perkembangan remaja dibagi menjadi sebagai berikut:

a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya

b. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang mempunyai otoritas


(25)

17

c. Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan

belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, bak secara individual maupun kelompok

d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya

e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan pada

kemampuannya sendiri

f. Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri)

g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan

3. Perkembangan pada Masa Remaja

a. Perkembangan moral dan religi

Moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini sehingga dia tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Disisi lain, tiadanya moral dan religi ini seringkali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja. (Sarlito, 2002: 91)

Religi, yaitu kepercayaan terhadap kekuasaan suatu zat yang mengatur alam semesta ini adalah sebagian dari moral, sebab moral dalam sebenarnya diatur dalam segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, serta perbuatan yang dinilai tidak baik sehingga perlu dihindari. Agama, oleh karena juga mengatur


(26)

18

tingkah laku baik-buruk, secara psikologik termasuk dalam moral. Hal lain yang termasuk dalam moral adalah sopan-santun, tata karma, dan norma-norma masyarakat lain. (Sayyid Muhammad, 2007: 76)

Di dalam aliran psikoanalisis, tidak membeda-bedakan antara moral, norma, dan nilai. Semua konsep itu menurut S. Freud menyatu dalam konsepnya tentang super-ego. Super ego sendiri dalam teori Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendaikan tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat. Super ego dibentuk melalui jalan internalissasi (penyerapan) larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar ((khususnya dari orang tua), sedemikian rupa akhirnya terpancar dari diri sendiri. Sekali super-ego telah terbentuk, maka ego tidak lagi hanya mengikuti kehendak-kehendak id (dorongan-dorongan naluri yang berasal dari alam ketidaksadaran), akan tetapi juga mempertimbangkan kehendak super-ego. Demikianlah dalam menghadapi situasi tertentu, seorang remaja yang sudah terbentuk super-egonya akan berbuat sedemikian rupa sehingga tidak melanggar larangan atau perintah masyarakat. Termasuk jika ada petugas hukum atau tokoh masyarakat tertentu di sekitar itu. (Sarlito, 2002: 92)

Menurut aliran psikoanalisis, orang-orang yang tak memilii hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil


(27)

19

kemungkinan besar tidak akan mengembangkan super-ego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melangar norma masyarakat.

b. Perkembangan emosi

Masa remaja adalah masa pertumbuhan yang sangat cepat kearah pengejawantahan identitas pemuda dan peledakan energi-energinya yang terpendam. Akan tetapi, masa ini juga berbahaya jika menyimpang dari perilaku yang lurus, dan menjauh dari tujuan yang diidamkan. Emosi yang luar biasa ini adalah salah satu bahaya bagi remaja. Itu karena dia mengubah remaja menjadi sebuah sosok baru dalam penampilan fisiknya, kacau dalam penampilan internal dan eksternal.hal itu tampak jelas dalam perilaku emosionalnya, yang menunjukkan ketidakseimbangan dan ketidaklogisannya. (Muhammad, 2007: 263)

c. Perkembangan hubungan sosial

Proses normalisasi hubungan sosial bagi individu-individu bertujuan memberi remaja kemampuan untuk beradaptasi dengan baik, dengan keluarga dan masyarakatnya. Pertumbuhannya dimulai sejak masa kanak-kanak, dan berlanjut mengiringi individu sepanjang hidup. (Muhammad, 2007: 93)

Kondisi-kondisi yang terjadi ini sering kali berpengaruh terhadap nilai-nilai individu dan perilaku sosialnya, yang tercermin


(28)

20

dalam hubungan-hubungannya dan tindak-tanduknya dengan anggota-anggota keluarganya dan anggota masyarakatnya.

Remaja tidak menciptakan perilaku sosialnya begitu saja/secara spontan. Perilaku sosialnya terpengaruh oleh tipe-tipe perilaku yang dominan di keluarga, sekolah khususnya, dan masyarakat secara umum. Perkembangan intelektual dan mentalnya juga berpengaruh langsung terhadap perilaku sosialnya. Perilaku masyarakat yang mengalami dekadensi atau kekacauan mempunyai efek negatif terhadap perilaku remaja dan tingkat adaptasinya dengan diri dan lingkungannya. (Muhammad, 2007: 94)

4. Kebutuhan Remaja

a. Kebutuhan fisik jasmaniah

Kebutuhan fisik jasmaniah merupakan kebutuhan fisik pertama yang disebut juga dengan kebutuhan primer. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, akan hilang keseimbangan fisiknya. (Panut Panuju, 1999: 27)

Kebutuhan fisik remaja yang lainnya misalnya dorongan-dorongan seksual yang ingin terpenuhi. Orang yang sehat pasti bisa menangguhkan pemuasan dorongan-dorongan tersebut sampai pada waktu dan suasana mengizinkan. Bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhan, dorongan itu akan dipenuhinya tanpa memikirkan waktu yang baik. Mungkin mereka akan mencari norma atau


(29)

21

kesepakatan bersama, tentang cara memuaskan kebutuhan tersebut walau dengan cara yang menyimpang.

b. Kebutuhan mental rohaniah

Remaja sebagai manusia disamping berusaha memenuhi kebutuhannya yang bersifat fisik, ia juga harus memnuhi kebutuhan mental rohaniahnya. Kebutuhan mental rohaniah inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya. (Muhammad, 2007: 113)

Remaja dalam perkembangannya akan menemui banyak hal yang dilarang oleh ajaran agama yang dianutnya. Hal ini akan menjadikan pertentangan antara pengetahuan dan keyakinan yang diperoleh dengan praktek masyarakat di lingkungannya. Oleh sebab itu, pada situasi yang demikian ini peranan orang tua, guru, maupun ulama sangat diperlukan, agar praktek-praktek yang menyimpang tidak ditiru oleh remaja. (Muhammad, 2007: 115) c. Kebutuhan kasih sayang dan kekeluargaan

Kebutuhan akan rasa kasih sayang pada usia remaja merupakan kebutuhan yang prinsip bagi kesehatan jiwa dan mental remaja, karena ini merupakan jalan penghargaan dan penerimaan sosial. (Panut Panuju, 1999: 83)

Akan tetapi dalam perkembangannya, para remaja merasakan kebutuhan untuk dapat berdiri sendiri. Hal itu diebabkan karena hubungannya dengan dunia luar yang semakin luas, dan ia mulai


(30)

22

mencari teman baru dengan teman-teman sebayanya. Demikian kuatnya persaudaraan sangat berpengaruh kepaa jiwa para remaja. Banyaknya remaja yang mengalami kegoncangan dan keputusasaan karena gagal dalam mendapatkan teman baru atau perbedaan dirinya dengan temannya yang lain. oleh Karena itu, kita melihat

bahwa remaja sangat memerlukan kasih sayang teman

sepermainannya. Dari waktu ke waktu, remaja ingin merasakan bahwa orang lain menyayanginya dan lingkungan yang ada di sekitarnya menerima dirinya dengan apa adanya yang pada akhirnya menimbulkan penghargaan diri kepada remaja tersebut. Dengan demikian remaja akan terhindar dari ketegangan emosional.

d. Kebutuhan akan kebebasan

Remaja memerlukan kebebasan, akan tetapi mereka masih memerlukan orang tua masih sangat bergantung kepadanya terutama masalah materi, dan juga masalah kematangan emosi sehingga terkadang kebutuhan remaja yang bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya membuat kegoncangan jiwa. Jika hal itu tidak teratasi, mungkin remaja itu akan mengalami konflik kejiwaan yang menimbulkan kesehatan mentalnya terganggu. (Panut Panuju, 1999:84)


(31)

23

e. Kebutuhan akan penerimaan sosial

Remaja membutuhka rasa diterima oleh orang-orang dalam lingkungannya, di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan dimana dia hidup. Merasa diterima oleh orang tua dan keluarga merupakan faktor yang sangan penting untuk mencapai rasa diterima oleh masyarakat. Maka rasa penerimaan social menjamin rasa aman bagi remaja, karena ia merasa ada dukungan dan perhatian dari mereka, dan hal ini merupakan motivasi yang sangat baik bagi dirinya untuk lebih sukses dan berhasil dalam kehidupannya. Kadang-kadang kegagalan remaja dalam pelajaran disebabkan oleh goncangan perasaan, atau tidak terpenuhiya kebutuhan akan penerimaan sosial. (Panut Panuju, 1999: 90)

Penerimaan sosial mempunyai peranan yang begitu besar dalam menciptakan kemantapan emosi pada semua umur. Kebutuhan akan penerimaan social itu merupakan salah satu kebutuhan vital yang diperlukan dalam perkembangan remaja. Pada umumnya, para remaja terpengaruh oleh pujian dan celaan dari orang-orang yang ada di sekitarnya, dan dia sangat peka serta mudah tersinggung, karena seringkali dia cemas akibat berbagai pertentangan di dalam dirinya. Kebutuhan penerimaan social ini dapat membantu remaja untuk mencapai kematangan dan kemandirian emosi dari orang tua dan keluarganya sekaligus masyarakat yang ada di sekelilingnya.


(32)

24

5. Konsekuensi Kebutuhan Remaja yang Tidak Terpenuhi

Pada dasarnya setiap remaja menghendaki semua kebutuhannya dapat terpenuhi secara wajar. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut secara memadai akan menimbulkan keseimbangan dan keutuhan pribadi. Remaja yang kebutuhannya terpenuhi secara memadai akan memperoleh suatu kepuasan hidup. Selanjutnya, remaja akan merasa gembira, harmois, dan produktif manakala

kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi secara memadai.

Sebaliknya, remaja akan mengalami kekecewaan, ketidakpuasan, atau bahkan frustasi, dan pada ahirnya akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya jika kebutuhannya tidak terpenuhi. (Ali dan Asrori, 2006: 55)

Setiap tingkah laku remaja khususnya dan manusia pada umumnya selalu berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapainya. Apa yang hendak dicapai pada dasarnya dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam dirinya. Oleh sebab itu, antara motif, kebutuhan, dan tingkah laku berhubungan erat satu sama lainnya. Jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, akan timbul kesulitan-kesulitan yang menyebabkan timbulnya rasa kecewa, frustasi, marah, menyerang orang lain, minum-miniuman keras, narkotika, dan tingkah laku negatif lainnya yang sangat merugikan diri sendiri dan orang lain. (Ali dan Asrori, 2006: 56)


(33)

25

B. Perilaku Merokok

1. Rokok

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang sekitar 120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain. (Trim, 2006: 2)

Rokok terbuat dari daun tembakau kering, kertas dan zat perasa, dapat dibentuk dari unsur Carbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N), dan Sulfur (S) serta unsur-unsur lain yang berjumlah kecil. (Hetti, 2009: 63)

Sementara menurut PP No. 81/1999 Pasal 1 ayat (1), rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. (Istiqomah, 2003: 20)

Ada dua jenis rokok, rokok yang berfilter dan tidak berfilter. Filter pada rokok terbuat dari bahan busa serabut sintetis yang berfungsi menyaring nikotin. (Trim, 2006: 2)

Rokok yang biasanya dijual dalam bungkusan berbentuk kotak atau kemasan kertas yang dapat dimasukkan dengan mudah ke dalam kantong. Sejak beberapa tahun terakhir, bungkusan-bungkusan


(34)

26

memperingatkan perokok akan bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan dari merokok, misalnya kanker paru-paru atau serangan jantung.

2. Perilaku Merokok

Merokok adalah membakar tembakau kemudian dihisap, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Temperatur pada sebatang rokok yang tengah dibakar adalah 90 derajat Celcius untuk ujung rokok yang dibakar, dan 30 derajat Celcius untuk ujung rokok yang terselip diantara bibir perokok. (Sitepoe, dalam Istiqomah, 2003: 20)

Aritonang (dalam Tris dkk, 2003) menulis bahwa merokok adalah perilaku yang kompleks, karena merupakan hasil interaksi dari aspek kognitif, lingkungan sosial, kondisi psikologis, conditioning, dan

keadaan fisiologis. Secara kognitif, para perokok tidak

memperlihatkan keyakinan yang tinggi terhadap bahaya yang didapat dari merokok. Mereka beranggapan bahwa meerokok tidak merusak kesehatan asal diimbangi dengan olahraga secara teratur dan mengkonsumsi makanan bergizi. Bila ditinjau dari aspek sosial, sebagian besar perokok menyatakan bahwa mereka merokok karena terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya. Secara psikologis, perilaku merokok dilakukan untuk relaksasi, mengurangi ketegangan, dan melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapi.


(35)

27

Perilaku merokok ternyata tidak hanya dijumpai pada kalangan orang dewasa, namun juga dapat ditemui pada kalangan remaja. Perilaku merokok pada remaja umumnya semakin lama akan semakin meningkat sesuai dengan tahap perkembangannya yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas merokok. (Hasnida & Kemala, dalam Sanjiwani & Budisetyani, 2014)

Rasulullah saw bersabda:

َراَرِض اَلَو َرَرَض اَل

Tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat mudharat bagi orang lain, baik permulaan ataupun balasan”. (HR. Ibnu Majah, Hadis ini di shahihkan oleh Albani)

Oleh karena itu, seluruh negara menetapkan undang-undang yang mewajibkan dicantumkannya peringatan bahwa merokok dapat mebahayakan kesehatan tubuh pada setiap bungkus rokok.

Karena itu, sangat tepat fatwa yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga fatwa di dunia Islam, seperti fatwa MUI yang mengharamkan rokok, begitu juga Dewan Fatwa Arab Saudi yang mengharamkan rokok, melalui fatwa nomor: (4947), yang menyatakan, “Merokok hukumnya haram, menanam bahan bakunya (tembakau) juga haram serta memperdagangkannya juga haram, karena rokok menyebabkan bahaya yang begitu besar”.

Dalam agama Islam, perilaku merokok dikenal sebagai perbuatan yang banyak mendatangkan mudharat atau kerugian. Setiap manusia


(36)

28

di seluruh dunia mengetahui bahwa merokok mengganggu kesehatan dan berdampak negatif. Ironisnya, pengetahuan ini tidak membuat manusia meninggalkan perilaku merokok. (Awi, dalam Saputra, 2011)

3. Sejarah Perilaku Merokok

Hampir setiap orang mengenal rokok. Paling tidak, pernah melihat rokok atau menghirup asap rokok yang berasal dari orang lain. Karena seperti yang sering kita saksikan, banyak orang mengisap rokok di tempat-tempat umum di sekitar kita. Rokok ada dimana-mana, di Benua Asia, Afrika, Eropa, Australia, dan Amerika. Rokok juga ada di kota-kota besar hingga pelosok desa. (Subro, 2007: 18)

Orang yang mula-mula merokok adalah orang Indian di Benua Amerika. Kemudian orang-orang Spanyol membawa kebiasaan rokok ke Inggris, Jerman, dan akhirnya menyebar ke seluruh pelosok dunia. Akan tetapi, sebenarnya sulit mencari bukti siapa yang mula-mula merokok. Karena kebiasaan tersebut sudah berlangsung selama berabad-abad.

Pelaut Spanyol, Cristoper Colombus, beserta awak tiga kapalnya mengarungi Lautan Atlantik. Dari Spanyol mereka menuju arah barat. Colombus beserta awak kapal akhirnya tiba di Salvador. Pulau tersebut dinamai Colombus dengan nama India Barat. Kemudian Colombus menyebut penduduk yang tinggal disana dengan nama bangsa Indian. (Subro, 2007: 19)


(37)

29

Selain menemukan pulau tersebut, Colombus juga menemukan pulau lain yang dinamakan San Oamingo. Ditempat tersebut, Colombus beserta pengikutnya tinggal beberapa lama. Para penduduk setempat (bangsa Indian) menyambut baik kedatangan mereka.

Oleh penduduk Indian, Colombus dan awak kapalnya disuguhi cerutu yang terbuat dari tembakau kering yang digulung. Kemudian cerutu tersebut di sulut api dan diisap oleh orang Indian. Tentu saja Colombus beserta kawannya enggan menghisap cerutu. Akan tetapi, demi menghormati tuan rumah akhirnya Colombus beserta awak kapalnya mengisap tembakau itu. Itulah cerita awal mula orang Spanyol menyaksikan kebiasaan merokok yang dilakukan oleh penduduk Indian. Tak ayal lagi lama kelamaan pengikut Colombus tertular dengan kebiasaan mengisap tembakau.

Kira-kira dua abad lamanya orang mengenal cerutu, barula menemukan cara baru dengan menggulung tembakau dengan kertas. Perubahan tersebut diketahui saat terjadi perang di Semenanjung Kremia. Mula-mula ada serdadu Inggris yang melihat tentara Prancis dan Turki merokok dengan menggulung tembakau memakai kertas. Kemudia rokok jenis tersebut disebut sigaret. Rokok sigaret lama-kelamaan menggeser rokok cerutu. Kelebihan rokok sigaret karena bentukya lebih kecil dan ringan.

Ketika serdadu Inggris pulang, ia membawa kebiasaan merokok dengan cara menggulung tembakau dengan kertas. Cara merokok


(38)

30

tersebut cepat popular di Inggris. Maka tak aneh bila muncul pengusaha memproduksi rokok sigaret. Gloag adalah seorang pengusaha Skotlandia yang mendirikan pabrik rokok sigaret. (Subro, 2007: 20)

Sedangkan di Indonesia, penanaman tembakau mulai berkembang pada tahun 1864. Pabrik rokok kretek pertama didirikan dalam bentuk industri rumah tangga, dimulai di Kudus, dipelopori Jamahari dengan

menggunakan bahan baku tembakau dan cengkeh serta

pembungkusnya daun buah jagung atau rokok kelobot. Pada tahun 1870-1880 usaha ini berkembang menjadi pabrik rokok kecil-kecilan dengan merek terkenal pada saat itu. Cap garbis, cap tebu, cap jagung, cap gunung, cap bal tiga, dan cap sabuk daun. Pengusaha yang terkenal pada saat itu bernama Nitisemito dengan merek dagang rokok cap bal tiga dan mempekerjakan 10.000 buruh. Produksi rokok kretek masih menggunakan tangan sehingga disebut rokok kretek tangan.

Pada tahun 1925 mulai didirikan pabrik rokok putih yang bahan bakunya hanya tembakau. Pada tahun 1928 didirikan pabrik rokok putih di Surabaya. Pada tahun 1935 dikeluarkan Staatblad No. 427 tentang Perusahaan Rokok. Jadi, di Indonesia ada pabrik rokok kretek dan pabrik rokok putih. Pabrik rokok kretek ada yang menggunakan tangan dan ada yang menggunakan mesin. (Istiqomah, 2003: 18)


(39)

31

4. Bahan Kimia yang Terkandung dalam Rokok

Ternyata, asap rokok yang dibakar mengandung lebih dari 4.000 zat kimia. Ada yang berupa partikel padat, ada pula yang berupa gas. Walaupun kandungannya kecil, banyak yang berbahaya. Sekitar 200 diantaranya ialah zat beracun dan sekitar 43 lainnya bersifat karsinogenik (penyebab kanker). (Pratama, 2008: 55)

Berikut ini beberapa bahan kimia yang terkandung dalam satu batang rokok:

a. Amoniak (pembersih lantai) b. Arsenik (racun tikus) c. Aseton (peluntur cat kuku)

d. Asam sulfurik (bahan pupuk/peledak) e. Butane (bahan bakar korek api) f. Methanol (bahan bakar roket) g. Naptalen (kapur barus/kamper)

h. Toluna / benzene (pelarut industri karet) i. Polonium (unsur radioaktif)

j. Vinil klorida (bahan plastik yang ada pada kantong sampah) k. DDT (insektisida terlarang)

l. Shellac (pelitur kayu)

m.Formalin (bahan pengawet mayat)

Tiga racun utama dalam rokok adalah karbon monoksida, nikotin, dan tar. Karbonmonoksida ini menghambat fungsi darah dalam tubuh.


(40)

32

Sekitar 5% asap rokok terdiri dari gas ini. di dalam darah, hemoglobin berfungsi mengikat oksigen. Adanya karbon monoksida membuat hemoglobin yang seharusnya mengikat oksigen malah mengikat karbonmonoksida. Kemampuan darah mengikat oksigen jadi sangat berkurang. Ini sangat berbahaya. (pratama, 2008: 55)

Nikotin merangsang susunan syaraf pusat. Inilah kandungan utama dari daun tembakau. Nikotin dapat mempengaruhi sistem saraf pusat. Zat ini merupakan racun bagi syaraf. Nikotin adalah zat aditif yang menyebabkan kecanduan. Sejak rokok diisap, nikotin hanya butuh waktu 8 sampai dengan 10 detik untuk sampai otak. Nikotin merangsang susunan saraf pusat, meningkatkan denyut jantung, dan tekanan darah. Menurut para ahli, nikotin adalah obat berbahaya yang sangat kuat, tidak ubahnya dengan obat-obatan terlarang lainnya.

Nikotin yang mengerutkan pembuluh darah dan mengacaukan aliran darah normal di berbagai tempat di dalam tubuh. Apabila ketidaknormalan ini berlangsung terus menerus, hal ini akan menyebabkan kerusaka jaringan. (Bangun, 2008: 25)

Tar ini warnanya hitam pekat dan sangat lengket. Sekumpulan senyawa para perokok biasanya terkumpul di paru-paru. Tar jugalah yang menodai gigi dan jari-jari perokok. Tar sangat berperan dalam merusakkan paru-paru perokok. Misalnya, tar melumpuhkan silia (rambut-rambut halus di permukaan dalam saluran pernafasan).


(41)

33

Padahal silia sangat penting sebagai penyaring benda asing yang masuk bersama udara pernapasan. (Pratama, 2008: 56)

5. Faktor-faktor Perilaku Merokok pada Remaja

a. Pengaruh Orang Tua

Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan senang memberikan hukuman fisik yang keras, lebih mudah untuk menjadi perokok dibandingkan anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia. (Trim, 2006: 9)

Adapun remaja yang berasal dari keluarga konservatif yang menekankan nilai-nilai sosial dan agama dengan baik dengan tujuan jangka panjang biasanya lebih sulit untuk terlibat dengan rokok dibandingkan dengan keluarga yang permisif dengan penekanan pada falsafah “kerjakan urusanmu sendiri-sendiri”.

Pengaruh paling kuat yang menyebabkan seorang remaja merokok adalah jika orang tuanya sendiri menjadi figur contoh, yaitu sebagai perokok berat. Dengan kata lain, apabila orang tuanya seorang perokok, sangat besar kemungkinan anak-anaknya pun menjadi seorang perokok.

Perilaku merokok lebih banyak didapati pada mereka yang tinggal dengan satu orang tua (single parent). Remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai perokok bila ibu mereka merokok dari


(42)

34

pada ayah yang merokok, hal ini juga akan lebih terlihat pada remaja putri. (Trim, 2006: 10)

b. Pengaruh Teman

Berbagai fakta mengungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. (Trim, 2006: 11)

Dari fakta tersebut ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, remaja tadi terpengaruh teman-temannya atau bahkan teman-teman remaja tersebut dipengaruhi oleh diri remaja tersebut yang akhirnya mereka semua menjadi perokok. Menurut penelitian, di antara remaja perokok terdapat 87% yang mempunyai sekurang-kurangnya satu atau lebih sahabat yang perokok begitu pula. Sebaliknya, remaja yang tidak merokok juga memiliki tidak kurang dari 87% sahabat yang tidak merokok.

c. Faktor Kepribadian

Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan diri dari kebosanan. Di samping itu, orang-orang yang memiliki tingkat kompromi sosial tinggi juga lebih cenderung mudah untuk terjebak dalam rokok. (Trim, 2006: 11)

d. Pengaruh Iklan

Melihat iklan di media massa dan elektronik yang

menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang


(43)

35

mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut. (Trim, 2006: 12)

6. Aspek-aspek Perilaku Merokok

Aritonang (dalam Komalasari & Helmi, 2003) membagi aspek perilaku merokok menjadi 3 bagian, diantaranya:

1) Intensitas Merokok

Yaitu seberapa sering individu mengkonsumsi rokok, dibagi menjadi:

a) Sangat berat : 31 batang/hari

b) Berat : 21-30 batang/hari

c) Sedang : 11-21 batang/hari

d) Ringan : 10 batang/hari

2) Fungsi Merokok

Kegunaan merokok bagi individu, berupa asosiasi individu terhadap rokok yang dihisap, diantaranya:

a) Meningkatkan daya konsentrasi

b) Memperlancar kemampuan pemecahan masalah

c) Meredakan ketegangan atau kecemasan

d) Meringankan beban berat e) Meningkatkan percaya diri


(44)

36

3) Waktu Merokok

Waktu disini menyangkut kapan atau pada situasi yang bagaimana individu itu merokok. Misalnya ketika berkumpul dengan teman, cuaca yang dingin, atau setelah dimarahi orangtua. 7. Tipe-tipe Perokok

Tipe perokok itu ada dua jenis, yaitu perokok aktif (active smooker) dan perokok pasif (passive smooker). (Dariyo, 2003: 39)

a. Perokok Aktif

Ialah individu yang benar-benar memiliki kebiasaan merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya sehingga rasanya tak enak kalau sehari tak merokok. Oleh karena itu, ia akan berupaya mendapatkannya.

b. Perokok Pasif

Ialah individu yang tak memiliki kebiasaan merokok, namun terpaksa harus mengisap asap rokok yang diembuskan orang lain yang kebetulan didekatnya. Dalam keseharian, mereka tak berniat dan tak mempunyai kebiasaan merokok. Kalau tak merokok, mereka tak merasakan apa-apa dan terganggu aktivitasnya. Tipe perokok ini dapat ditemui pada mereka yang duduk di halte, di dalam bus kota, atau di tempat-tempat pertemuan ketika di dekat mereka ada seseorang atau beberapa orang yang sedang merokok. Jadi perokok pasif dianggap sebagai korban dari perokok aktif.


(45)

37

8. Alasan-alasan Merokok

Tomkis (dalam Sarafiono, 1994) menyatakan beberapa alasan individu untuk memiliki perilaku kebiasaan merokok, antara lain: (Dariyo, 2003: 38)

a. Pengaruh Positif

Yakni individu mau merokok karena merokok memberi manfaat positif baginya. Ia menjadi senang, tenang, dan nyaman karena memperoleh kenikmatan dengan merokok. Misalnya, sambil menonton televisi atau setelah makan, individu merokok. Tujuannya untuk memperoleh atau menambah kenikmatan.

b. Pengaruh Negatif

Yaitu merokok dapat meredakan emosi negatif yang dihadapi dalam hidupnya. Misalnya, ketika dalam keadaan cemas, (ketika menghadapi ujian) individu merokok sehingga membuat kondisi fisiknya menjadi rileks, tenang, dan santai. Dengan demikian, ia merasa tak tegang atau tidak merasa cemas lagi.

c. Habitual (Ketergantungan Fisiologis)

Ialah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan. Secara fisik, individu merasa ketagihan untuk merokok dan ia tak dapat menghindar atau menolak permintaan yang berasal dari dalam diri (internal). Akibatnya, ia harus merokok. Jadi, dengan terus menerus merokok baik dalam keadaan menghadapi suatu masalah maupun


(46)

38

dalam keadaan santai, hal itu akan menjadi suatu kebiasaan. Bahkan menjadi gaya hidup (life style).

d. Ketergantungan Psikologis

Yaitu kondisi ketika individu selalu merasakan, memikirkan, dan memutuskan untuk merokok terus-menerus. Dalam keadaan apa saja dan dimana saja, ia selalu cenderung untuk merokok. 9. Intensitas Perilaku Merokok

Trim (2006: 9) mengklasifikasikan rokok berdasarkan rokok yang dihisap, yaitu:

a. Sangat Berat : 31 batang/hari

b. Berat : 21-30 batang/hari

c. Sedang : 11-21 batang/hari

d. Ringan : 10 batang/hari

Sementara Sitepoe (1997: 14), membagi klasifikasi perokok laki-laki terdiri dari:

a. Perokok Ringan : 1-10 batang/hari

b. Perokok Sedang : 11-20 batang/hari

c. Perokok Berat : > 20 batang/hari

10.Remaja yang Merokok Enggan atau Kesulitan Berhenti Merokok

Para remaja yang sudah terlanjur terbiasa merokok, kebanyakan enggan untuk berhenti walaupun sudah tahu bahaya akibat dari merokok. (Istiqomah, 2003: 44)


(47)

39

Memang hasil penelitian medis mengatakan bahwa merokok sangat membahayakan kesehatan, namun menurut pengakuan perokok di lapangan ternyata kebanyakan dari mereka tidak mempunyai keluhan sakit yang serius akibat merokok. Ini adalah salah satu yang membuat mereka tidak takut resiko akibat merokok dan enggan berhenti. Ada beberapa kemungkinan atas hal tersebut, diantaranya karena mereka masih muda sehingga daya tahan tubuh masih prima. Dan pada umumnya pengaruh dari merokok baru muncul setelah kebiasaan tersebut berlangsung bertahun-tahun. Jadi, dampaknya memang tidak spontan, sehingga seringkali perokok baru benar-benar menyadari setelah menderita penyakit berat tertentu. (Istiqomah, 2003: 52)

Selain mereka enggan berhenti, ada juga remaja yang berniat berhenti namun kesulitan karena sudah kecanduan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Dr. Di Franza yang dilakukan bersama para koleganya dari Harvard University dan University of London, menemukan bahwa hanya dalam waktu rata-rata 3 minggu, seorang remaja putri berusia belasan tahun ketagihan pada tembakau, walaupun ia hanya kadang-kadang saja merokok. Di Franza juga menyatakan bahwa separuh dari semua remaja pria yang kecanduan, benar-benar menjadi amat bergantung pada rokok dalam waktu 6 bulan. Sejumlah peneliti juga yakin, dikarenakan otak remaja masih terus berkembang, maka mereka pun dapat kecanduan lebih cepat. (Istiqomah, 2003: 53)


(48)

40

Ternyata penelitian di luar negeri yang mengatakan remaja mudah kecanduan rokok, tak berbeda dengan kenyataan remaja yang ada di Indonesia juga kesulitan menghentikan rokok karena sudah terlanjur kecanduan. Hal itu juga diperkuat oleh Laporan Badan Internasional Penanggulangan Kanker, menyatakan bahwa setidak-tidaknya dua pertiga perokok pernah berusaha menghentikan kebiasaan merokok, tetapi gagal dan kembali merokok sebagai akibat kuatnya pengaruh nikotin yang terlanjur mengalir lama dalam darahnya. (Istiqomah, 2003: 54)

11.Dampak Perilaku Merokok

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Akibat perubahan anatomi saluran pernapasan tersebut, pada perokok akan timbul perubahan fungsi paru-paru. Merokok juga merupakan penyebab timbulnya penyakit obstruksi paru menahun, termasuk emfisema (pembengkakan paru-paru), bronkitis kronis, dan asma. (Hetti, 2009: 26)

Merokok menjadi pemicu utama penyebab penyakit kanker paru-paru. Hubungan tersebut telah diteliti dan akhirnya secara tegas menyatakan bahwa memang rokok sebagai penyebab utama kanker paru-paru. Dibandingkan dengan bukan perokok, kemungkinan timbulnya kanker paru-paru pada perokok mencapai 10-30 kali lipat.

Organ-organ dan jaringan tubuh lainnya disamping paru-paru, para pecandu rokok menjadi sangat peka terhadap kanker. Mengisap pipa


(49)

41

atau cerutu, demikian pula rokok, meningkatkan kemungkinan seseorang mendapatkan kanker pada mulut, tenggorokan, dan pita suara.

Menghisap rokok juga melipatgandakan kemungkinan terkena kanker esophagus, pankreas, dan kandung kemih. (Eckholm, 1985: 94)

Berikut beberapa akibat yang ditimbulkan dari merokok: a. Jantung Koroner

Nikotin yang terkandung dalam rokok menyebabkan epinefrin dan norepinefrin dalam darah meningkat, yang menyebabkan jantung berdebar lebih cepat dan pembuluh darah berkontraksi atau menyempit. Debar jantung yang lebih cepat akan meningkatkan kebutuhan akan oksigen pada otot jantung. Sementara itu, persediaan oksigen akan menurun karena oksigen yang ada akan diikat oleh karbon monoksida yang dihasilkan rokok. Dalam hal ini, nikotin-lah yang berperan membuat irama jantung tidak teratur, menimbulkan kerusakan lapisan dalam pembuluh darah dan menimbulkan penggumpalan darah sehingga serangan jantung mengikutinya. (Bangun, 2003: 31)

Merokok jadi faktor utama penyebab penyakit pembuluh darah jantung koroner. Merokok juga berakibat buruk bagi pembuluh darah otak dan pembuluh darah perifer. (Hetty, 2009: 27)


(50)

42

b. Stroke

Penyumbatan pembuluh darah otak yang bersifat mendadak sehingga pecah, banyak dikaitkan dengan kegiatan merokok. Resiko stroke dan resiko kematian lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang yang bukan perokok. (Hetty, 2009: 27)

c. Memudahkan Terjangkit AIDS

Dalam penelitian yang banyak dilakukan di Amerika dan Inggris, didapatkan kebiasaan merokok memperbesar kemungkinan timbulnya AIDS pada pengidap HIV. Pada kelompok perokok, AIDS timbul rata-rata dalam 8,17 bulan, sedangkan pada kelompok bukan perokok timbul setelah 14,5 bulan. Ternyata merokok menurunkan sistem kekebalan tubuh sehingga lebih mudah terkena AIDS. (Hetty, 2009: 27)

d. Keriput Dini

Terikatnya karbon monoksida dalam darah dan bukannya oksigen menyebabkan kekurangan oksigen di berbagai tempat, terutama di kulit. Dengan kata lain, rokok mengurangi aliran oksigen dan zat gizi yang dibutuhkan sel kulit akibat menyempitnya arus pembuluh darah di sekitar wajah. (Aminudin, 2009: 27)

Nikotin dapat mengerutkan pembuluh darah di bagian wajah dan leher. Jika pembuluh darah mengerut, ini berarti jaringan kulit tersebut mengalami kekurangan makanan sehingga warnanya akan


(51)

43

pucat. Biasanya proses ini akan diikuti oleh keriput di sekitar wajah. (Bangun, 2008: 33)

e. Osteoporosis

Rokok menyebabkan pengeluaran kalsium dalam tubuh berlangsung cepat dan cukup banyak. Oleh karena itu, rokok terkait dengan pengeroposan tulang. (Aminudin, 2009: 29)

f. Mempercepat Penurunan Daya Ingat

Perokok beresiko lima kali lipat lebih cepat kehilangan daya ingat di masa tuanya dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Itulah hasil penelitian dari Dr. Lenore Launer dari Institut Nasional mengenai kesehatan mental dari Maryland, AS. (Aminudin, 2009: 29)

g. IQ Anak Rendah

Dengan sendirinya jika ibu hamil merokok, si janin juga akan menghisap racun-racun yang terdapat dalam rokok. Tentu keadaan ini memberi efek bagi si bayi. Selain pertumbuhan fisiknya

terhambat, kecerdasannya juga akan lambat tumbuhnya.

Meningkatnya kebutuhan zat besi akibat memenuhi keperluan pembentukan sel-sel darah yang banyak rusak, menyebabkan berkurangnya persediaan zat gizi lain seperti vitamin B12, C, asam folat, seng, dan asam amino. Zat-zat ini sangat dibutuhkan untuk proses tumbuh kembang sel otak janin. Akibatnya, IQ anak akan rendah. (Aminudin, 2009: 29)


(52)

44

h. Tuberkulosis (TBC)

Dengan racun yang dibawanya, rokok merusak mekanisme pertahanan paru-paru. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang berfungsi menahan infeksi rusak akibat asap rokok.

Para perokok yang telah merokok 20 tahun atau lebih ternyata 2,6 kali lebih sering menderita TBC daripada yang tidak merokok. Kebiasaan merokok meningkatkan kematian akibat TBC sebesar 2,8 kali. (Aminudin, 2009: 30)

i. Pengaruh pada Telinga, Hidung, dan Tenggorokan

Asap rokok menimbulkan iritasi pada saluran eustasius, yaitu saluran yang menghubungkan hidung, telinga, dan tenggorokan. Iritasi menyebabkan selaput lender di luar batas yang wajar. Ini memicu munculnya radang, dan ini pada akhirnya akan menimbulkan ketulian. (Bangun, 2008: 30)

C. Keharmonisan Keluarga 1. Definisi Keluarga

Burgers (dalam Andarmoyo, 2012: 2) mendefinisikan keluarga yang berorientasi pada tradisi dimana:

a. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan ikatan adopsi.

b. Para anggota keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, ataupun jika mereka hidup secara berpisah, mereka


(53)

45

tetap menganggap rumah tangga mereka tersebut sebagai rumah mereka.

c. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami-istri, ayah-ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara dan saudara.

d. Keluarga bersama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu

kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik sendiri.

Menurut Collins (dalam Darokah & Safaria, 2005), menjelaskan bahwa keluarga merupakan satuan sosial terkecil dari manusia, yang mempunyai fungsi penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Keluarga tidak saja mencukupi kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia seperti kasih sayang, cinta, dan perhatian, tetapi juga kebutuhan-kebutuhan fisik seperti makan, minum, atau tempat tinggal.

Menurut Kartono (dalam Ainiyah Hariz, tt), keluarga merupakan suatu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis anak manusia.

Sementara menurut Murdock (1988) mendefinisikan keluarga sebagai sebuah satuan kelompok yang anggotanya terhubungkan melalui kekerabatan, perkawinan atau adopsi dan hidup bersama-sama,


(54)

46

bekerjasama secara ekonomis dan merawat anggota yang lemah (bayi, anak, dan orang tua lanjut usia).

Dari pengertian tentang keluarga diatas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah (Andarmoyo, 2012: 4):

a. Terdiri dari dua atau lebih indivdu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan, atau adopsi.

b. Anggota keluarga biasanya hidup bersama, atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.

c. Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial yaitu sebagi suami, istri, anak. kakak, dan adik.

d. Mempunyai tujuan menciptakan dan mempertahankan budaya dan

meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, dan sosial para anggotanya.

2. Definisi Keharmonisan Keluarga

Menurut Walgito (dalam Afiah & Purnamasari, tt), keharmonisan kehidupan keluarga adalah berkumpulnya unsur fisik dan psikis yang berbeda antara pria dan wanita sebagai pasangan suami istri, yang dilandai oleh berbagai unsur persamaan, seperti saling memberi dan menerima cinta kasih yang tulus dan memiliki nilai-nilai yang serupa dalam perbedaan.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2001) keharmonisan keluarga adalah keadaan keluarga yang utuh dan bahagia, didalamnya ada ikatan


(55)

47

kekeluargaan yang memberikan rasa aman dan tenteram bagi setiap anggotanya. Selain itu ada hubungan yang baik antara ibu, ayah-anak, dan ibu-anak.

Hawari (1999: 282) menjelaskan bahwa keharmonisan keluarga itu akan terwujud apabila masing-masing unsur dalam keluarga itu dapat berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama kita, maka interaksi sosial yang harmonis antar unsur dalam keluarga itu akan dapat diciptakan.

Sementara menurut Zainun (2006), keharmonisan keluarga adalah keluarga dimana anggota di dalamnya bisa berhubungan secara serasi dan seimbang, saling memuaskan kebutuhan anggota lainnya serta memperoleh pemuasan atas segala kebutuhannya.

3. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

Menurut Hawari (1999: 283) keluarga harmonis mempunyai karakteristik tertentu, yaitu:

a. Kehidupan beragama yang baik di dalam keluarga, yang ditandai dengan adanya rasa aman dan kasih sayang antara anggota keluarga yang saling mencintai dan dicintai.

b. Mempunyai waktu bersama antara sesama anggota keluarga, yakni waktu yang diluangkan oleh ayah dan ibu untuk berkumpul dengan anak-anaknya.

c. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga.


(56)

48

menghilangkan kesalah pahaman, juga agar antar anggota keluarga dapat dengan secepatnya menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi anak. Komunikasi dua arah antara orang tua dan anak dalam suasana yang kondusif akan membuat anak selalu terikat secara psikologis dengan kedua orang tuanya. Bila terdapat permasalahan pada diri anak, maka anak akan berkonsultasi dengan kedua orang tuanya.

d. Saling harga menghargai antara sesama anggota keluarga. Rasa hormat anak kepada orang tua dan kewibawaan orang tua dapat ditegakkan dengan cara memberikan apresiasi terhadap prestasi anak.

e. Masing-masing anggota keluarga merasa terikat dalam ikatan

keluarga sebagai suatu ikatan kelompok dan ikatan kelompok ini bersifat serta dan kohesif. Keterikatan ini sangat penting agar masing-msing anggota keluarga tidak berjalan sendiri-sendiri.

f. Bila terjadi permasalahan dalam keluarga, maka masalah tersebut dapat diselesaikan secara positif dan konstruktif hal ini sangat tergantung pada faktor kepribadian kedua orang tua, orang tua harus menjadi panutan bagi anak-anaknya.

Sementara menurut Wahyurini & Ma’shum (2001), kondisi keluarga yang harmonis ditandai dengan suatu bentuk komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak, bapak dengan ibu dan antara anak dengan saudaranya. Komunikasi yang terjadi tidak bersifat satu arah


(57)

49

(dari orang tua pada anaknya), tetapi anak juga memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat. Keterbukaan komunikasi terjalin karena adanya sikap orang tua yang melindungi anak.

4. Remaja dan Keluarganya

Hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, khususnya orang tua dan perjuangannya secara bertahap untuk membebaskan diri dari dominasi mereka agar sampai pada tingkatan orang dewasa, menjadi masalah yang paling serius sepanjang kehidupannya dan membuatnya sulit beradaptasi. Keinginan untuk bebas pada diri remaja ini tidak dibarengi oleh kemampuannya untuk beradaptasi dengan baik, sehingga orang tua sering mengintervensi dunianya. Namun, rumah yang baik adalah alternatif yang paling efektif. (Al-Mighwar, 2006: 197)

Para ahli kesehatan mental berpendapat bahwa rumah yang baik adalah rumah yang memperkenalkan segala kebutuhan remaja berikut tantangannya agar bisa bebas, lalu membantu dan memotivasinya secara maksimal, dan memberinya kesempatan serta nasihat yang mengarah pada kebebasan. Lebih dari itu, remaja juga harus dimotivasi agar berani bertanggung jawab, mengambil keputusan, dan merencanakan masa depannya. Semua itu harus dilakukan keluarga melalui berbagai upaya positif dan konstruktif, secara sengaja dan terencana, sehingga remaja berusaha sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin untuk memperkuat kematangan dirinya. Menghormati


(58)

50

kecenderungannya untuk bebas merdeka tanpa mengabaikan perhatian padanya dianggap sebagai strategi yang paling bagus dan tepat, karena selain bisa menimbulkan saling percaya antara orang tua dan anak, juga dapat membukakan jalan kearah adaptasi yang sehat. (Al-Mighwar, 2006: 198)

5. Remaja sebagai Anggota Keluarga

Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Karena itu, sebelum ia mengenal norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya. (Sarwono, 2010: 138)

Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orangtua terhadap anak-anak mereka turun-temurun. Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orangtua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan juga kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya. Hal itu terjadi bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses sosialisasi atau proses identifikasi.

Walaupun demikian, perasaan aman dan bahagia yang timbul pada remaja yang hidup dalam keluarga yang harmonis merupakan hal yang masih bisa dipengaruhi daya penyesuaian sosial pada diri para remaja


(59)

51

itu di masa depan. Hal ini kiranya cukup untuk menjadi alasan untuk mempertahankan lembaga keluarga yang harmonis jika kita menghendaki generasi masa datang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap gelombang-gelombang perubahan norma dan nilai yang akan terus melanda masyarakat kita. (Sarwono, 2010: 150)

6. Arti Keluarga dalam Masa Remaja

Sering terdengar keluhan pada remaja bahwa keluarga tidak mempunyai arti apa-apa. Sebenarnya jauh sebelumnya arti keluarga harus sudah dipupuk, supaya tetap mempunyai arti dan kelak

bermanfaat pada masa remaja dan dalam mempersiapkan

kedewasaannya. Dalam hal ini akan dikemukakan dua faktor yang merupakan segi-segi keluarga yang sangat penting bagi perkembangan remaja (Gunarsa, 2003: 108):

a. Keluarga dapat memenuhi kebutuhan remaja akan keakraban dan kehangatan yang memang perlu baginya.

b. Keluarga dapat memupuk kepercayaan diri anak dan perasaan aman

untuk dapat berdiri dan bergaul dengan orang lain. Tanpa kemesraan dan perlakuan kasih sayang dari orangtua mereka tidak mampu membentuk hubungan-hubungan yang berarti dengan orang lain. c. Supaya remaja dapat belajar berdiri sendiri baik fisik maupun

spiritual dalam arti dapat bertindak sendiri, ia harus mengalami proses ini secara bertahap. Dalam hal ini keluarga bisa memegang


(60)

52

peran besar, yakni dengan memberikan kesempatan untuk memperkembangkan kemampuan-kemampuan yang diperlukan. Faktor yang harus diperhatikan ialah kesempatan untuk mengambil inisiatif secara bertahap dan melakukan tindakan sesuai dengan inisiatif tersebut. Keluarga harus mempersiapkan anggota keluarganya supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri, sehingga dengan demikian mengalami perubahan dari keadaan tergantung pada keluarga menjadi berdiri secara otonom. Menurut Gunarsa (2003: 109), peranan orangtua jelas besar sekali, diantaranya:

a. Orangtua yang memberi kasih sayang dan kebebasan bertindak sesuai dengan umur para remaja dapat diharapkan akan mengalami perkembangan yang optimal.

b. Orangtua yang tidak mendukung anak dalam memperkembangkan

keinginan bertindak sendiri, atau mungkin sama sekali menentang keinginan anak untuk bertindak sendiri, maka perkembangan perubahan peranan sosial tidak dapat diharapkan mencapai hasil yang baik.

c. Seorang yang terlalu banyak memperoleh perlindungan orangtua pada masa kecil, akan mengalami kesulitan bila harus memenuhi harapan-harapan sehubungan dengan kehidupan dewasa diluar keluarganya.


(61)

53

7. Kebutuhan akan Kasih Sayang dan Rasa Kekeluargaan pada Remaja

Rasa kasih sayang adalah kebutuhan jiwa yang paling mendasar dan pokok dalam hidup manusia. Remaja yang merasa kurang disayang oleh ibu dan bapaknya akan menderita batinnya, kesehatannya akan

terganggu dan mungkin kecerdasannya akan terhambat

pertumbuhannya, kelakuannya mungkin akan menjadi nakal, bandel, keras kepala, dan sebagainya. Setiap orang berkeinginan untuk mendapatkan kasih sayang dari keluarga dan kalau bisa dari semua orang yang dikenalnya. Apabila remaja merasa dikucilkan atau tidak disenangi oleh masyarakat dimana dia hidup, maka ia akan mencari kasih sayang orang, sesuai dengan kepribadiannya sendiri. (Panuju & Umami, 1999: 31)

Selain itu kebutuhan akan rasa kasih sayang pada usia remaja merupakan kebutuhan yang prinsip bagi kesehatan jiwa dan mental remaja, karena ini merupakan jalan penghargaan dan penerimaan sosial. Agar perasaannya dalam hal ini merupakan perasaan yang betul, perlu diakui kasih sayang itu. Hal itu hendaknya ada dalam setiap bidang dimana remaja bergerak. Maka kasih sayang dapat diungkapkan baik dengan tingkah laku dengan perbuatan maupun dengan kata-kata, dengan begitu maka remaja akan merasa sebagai objek penghargaan.

Dari waktu ke waktu remaja ingin merasa bahwa orang lain menyayanginya dan lingkungan yang ada di sekitarnya menerima dirinya dengan apa adanya yang pada akhirnya menimbulkan


(62)

54

penghargaan kepada diri remaja tersebut. Dengan demikian remaja akan terhindar dari ketegangan emosional. (Panuju & Umami, 1999: 32)

D. Hubungan Antara Perilaku Merokok dengan Keharmonisan Keluarga

Menurut Murtiyani (dalam Sanjiwani & Budisetyani, 2014), masa remaja merupakan masa yang rentan bagi seseorang untuk terlibat dalam perilaku menyimpang seperti merokok.

Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Rohman (tt), menunjukkan bahwa tingkat stres merupakan faktor tertinggi yang menjadi alasan remaja untuk merokok. Dan salah satu faktor pemicu stres di kalangan remaja adalah rendahnya kualitas hubungan antara anak dan orang tua di dalam

keluarganya. Santrock dalam bukunya Adolescence (2003: 557),

menjelaskan bahwa para Psikolog menyatakan, tinggal dengan keluarga yang mengalami ketegangan dapat memicu stres pada remaja.

Sementara menurut Baer dan Corado, berpendapat bahwa terdapat 4 faktor yang melatar belakangi remaja untuk merokok, dan salah satu diantaranya adalah pengaruh orang tua. Pengaruh orang tua disini bukanlah karena orang tua tersebut juga merokok, melainkan karena kondisi keluarga yang tidak bahagia.

Salah satu temuan tentang remaja perokok adalah bahwa anak-anak muda yang berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia. Dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan senang memberikan


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

91

dari rumah tangga yang tidak bahagia, lebih mudah menjadi perokok dibandingkan anak-anak muda yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia.

Hasil dari penelitian ini juga sesuai dengan teori dari Hurlock, yang menyatakan, “merokok seringkali dimulai di sekolah menengah pertama, bahkan sebelumnya”. Terbukti dalam data demografi dari penelitian ini, sebanyak 71,9% subyek mulai mengkonsumsi rokok pertamanya pada saat mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Selanjutnya, hasil dari penelitin ini juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Murtiyani (dalam Sanjiwani & Budisetyani, 2014), yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang rentan bagi seseorang untuk terlibat dalam perilaku menyimpang seperti merokok. Terbukti dari semua subyek, mereka mayoritas mulai merokok pada usia sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

Hasil penelitian ini menggunakan perilaku merokok sebagai hal yang diteliti dan pemuda usia 15-17 tahun di Dusun Pilang Bangu sebagai subjek penelitian. Pemilihan subjek tersebut dianggap sesuai karena menurut beberapa survey yang pernah dilakukan, menyatakan bahwa anak dengan rentang usia tersebut telah banyak yang sudah mulai merokok.

Selanjutnya, penelitian ini juga memeiliki beberapa kelemahan, diantaranya:


(2)

92

1. Kuesioner pada skala keharmonisan keluarga dan perilaku merokok pada remaja dalam penelitian ini, dibuat dengan bahasa yang terlalu panjang, sehingga ada beberapa responedn yang mengeluh karena pernyataan yang dibuat pada setiap aitem terlalu panjang.

2. Untuk waktu pelaksanaan dalam penelitian ini, hanya 1 minggu (waktu yang digunakan untuk menyebarkan 89 angket), sehingga data yang didapat dimungkinkan kurang akurat.

3. Subjek dalam penelitian ini hanya remaja berumur 15-17 tahun di 1 dusun, sehingga ruang lingkup subjek yang diambil masih kecil (sempit).


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

93

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diuji dengan SPSS 16.0 for windows dengan menggunakan teknik analisis Korelasi Product Moment dari Pearson, menunjukkan bahwa ada hubungan antara keharmonisan keluarga dengan perilaku merokok pada remaja. Sedangkan hasil dari nilai koefisien korelasi menunjukkan bahwa keharmonisan keluarga dengan perilaku merokok pada remaja memiliki hubungan yang negatif. Artinya, semakin tinggi keharmonisan keluarga maka akan semakin rendah perilaku merokok pada remaja.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesiimpulan, maka peneliti mengemukakan saran sebagai berikut:

1. Untuk para orang tua, hendaknya lebih memperhatikan pergaulan anak-anaknya, terutama jika mereka berusia remaja, Karena usia tersebut adalah usia dimana seseorang memiliki emosi yang masih labil, sehingga dirinya sangat mudah terpengaruh lingkungannya.

2. Karena perilaku merokok di Indonesia telah menjadi suatu kebiasaan, diharapkan orangtua mampu memberikan pengertian dan arahan bagi anak


(4)

94

agar menghindari kebiasaan tersebut, mengingat dampak dari merokok yang sangat merugikan kesehatan perokok dan orang disekitar perokok. 3. Untuk para pendidik, diharapkan dapat memberi pemahaman pada para

murid agar benar-benar menghindari merokok karena pemahaman mereka akan bahaya merokok, bukan hanya karena takut akan sanksi yang akan didapatnya dari sekolah.

4. Untuk para peneliti selanjutnya, diharapkan bisa memperbaiki alat ukur yang tepat untuk digunakan dalam menguji teori perilaku merokok maupun keharmonisan keluarga. Selain itu, subjek dalam penelitian selanjutnya diharapkan bisa mencakup wilayah yang lebih luas, serta untuk waktu penelitian diharapkan tidak terlalu singkat sehingga perolehan data akan lebih akurat.

5. Untuk peneliti selanjutnya, diharapkan lebih memperdalam data

demografis pada bagian pembahasan, sehingga data yang diperoleh dalam penelitian selanjutnya akan lebih luas.


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

95

DAFTAR PUSTAKA

Dariyo, Agoes. (2004). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo.

Mardhika Saputra, Aditya & Noni Mardhika Sari. (2013). Konseling Model Transteoritik Dalam Perubahan Perilaku Merokok Pada Remaja. Jurnal

Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 8 No 2 November 2013: 152-157.

Komasari, Dian & Avin Fadillah Helmi. (2000). Faktor-faktor Penyebab Perilaku Merokok pada Remaja. Jurnal Psikologi No 1 2014: 37-47.

C. Davidson, Gerald., John M. Neale & Ann M. Kring. (2012). Psikologi Abnormal. Jakarta: Rajawali Press.

Uswatuh Hasanah, Arina & Sulastri. (2011). Hubungan Antara Dukungan Orangtua, Teman Sebaya dan Iklan Rokok dengan Perilaku Merokok pada Siswa Laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali. GASTER Vol 8 No 1 Februari 2011: 695-705.

W. Santrock, John. (2003). Adolescence. Jakarta: Erlangga.

Sanjiwani, Ni Luh PY & I Gusti Ayu PWB. 2014. Pola Asuh Permisif Ibu dan Perilaku Merokok pada Remaja Laki-laki di SMA Negeri 1 Semarapura. Jurnal Psikologi Udayana Vol 1 No 2 2014: 344-352.

Panuju, Panut & Ida Umami. (1999). Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana.

D. Gunarsa, Singgih. (2003). Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. B. Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

Hawari, Dadang. (1999). Alqur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.

Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.

Bangun, A.P. (2008). Sikap Bijak Bagi Perokok. Jakarta: Indocamp. Sitepoe, Mangku. (1997). Bahaya Merokok. Jakarta: PT. Gramedia.

Istiqomah, Umi. (2003). Upaya Menuju Generasi Tanpa Merokok. Surakarta: CV. Setia-Aji.

Trim, Bambang. (2006). Merokok Itu Konyol. Jakarta: Ganeca Exact. P. Eckhlom, Erik. (1985). Masalah Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia.

Andarmoyo, Sulistyo. (2012). Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu. R.A, Hetti. (2002). Pernapasan pada Manusia dan Hubungannya dengan

Kesehatan. Bandung: Puri Delco.

Bangun, A.P. (2003). Panduan untuk Perokok. Jakarta: Milenia Populer. Aminudin. (2009). Kiat Praktis Seputar Kesehatan. Bandung: Putra Setia.

F. Pratama, Ananda. (2008). Hidup Sehat Pilihan Tepat. Bandung: Mughni Sejahtera.

Saam, Zulfan & Sri Wahyuni. (2012). Psikologi Keperawatan. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Subro, Seno. (2007). Bahaya Merokok. Jakarta: Deriko.

Tris Ochtia Sari, Ari., dkk. (2003). Empati dan Perilaku Merokok di Tempat Umum. Jurnal Psikologi No 2 2003: 81-90.

W. Sarwono, Sarlito. (2010). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Al-Mighwar, Muhammad. (2006). Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia. Andarmoyo, Sulistyo. (2012). Psikologi Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.


(6)

96

Ainiyah Hariz, Siti. (tt). Hubungan Antara Persepsi Keharmonisan Keluarga dan Konformitas Teman Sebaya dengan Kenakalan Remaja. E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya Vol 2: 1-7.

Nor Afiah, Fiandari & Santi Esterlita Purnamasari. (tt). Hubungan Antara Keharmonisan Keluarga dengan Sikap Terhadap Seks Pranikah pada Remaja.

Darokah, Marcham & Triantoro Safaria. (2005). Perbedaan Tingkat Religiusitas, Kecerdasan Emosi, dan Keluarga Harmonis pada Kelompok Pengguna Napza dengan Kelompok Non-Pengguna. Indonesian Psychological Journal Vol 2 No 2 Agustus 2015: 89-101.

Wulanderi Sane, Sri. (2013). Pola Komunikasi Wanita Karier dalam Mempertahankan Keharmonisan Keluarga. Journal Acta Diurna Vol 2 No 2 2013.

Muniriyanto &Suharnan. (2014). Keharmonisan Keluarga, Konsep Diri, dan Kenakalan Remaja. Jurnal Psikologi Indonesia Vol 3 No 2 Mei 2014: 156-164.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur penelitian. Jakarta: Asdi Mahasetya. Noor, Juliansyah. (2011). Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Bungin, Burhan. (2001). Metodologi Penelitian Sosial. Surakarta: Airlangga University Press.

Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: IKAPI. Muhid, Abdul. (2010). Analisis Statistik. Surabaya: Duta Aksara.

Azwar, Syaifudin. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jahja, Yudrik. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.

Muhammad, Sayyid. (2007). Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa. Jakarta: Gema Insani.

Ali, Asrori. (2006). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Bumi Aksara.