D 902008104 BAB VIII
BAB 8
PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
Pendahuluan
Dalam uraian di bagian-bagian tulisan sebelumnya, telah
dibahas beberapa topik tulisan, mulai dari berbagai perspektif teori
tentang perubahan sosial (Bab 2) hingga pembahasan mengenai
berbagai gejala dan proses perubahan sosial terkait perdesaan di Bali
pada umumnya, dan terutama perdesaan di Tabola atau Sidemen pada
khususnya (Bab 3 sampai Bab 7). Perubahan sosial di perdesaan Bali
pada umumnya, dibahas berdasarkan kerangka perspektif sejarah
sosiologis (Bab 3 dan 4), sedangkan perubahan sosial di Tabola atau
Sidemen pada khususnya dibahas dengan menguraikan hasil penelitian
lapangan (Bab 4 – 7).
Pada Bab 2, yang membahas berbagai perspektif teori tentang
perubahan sosial, telah dikupas, antara lain, berbagai sudut pandang
pengertian tentang perubahan sosial. Salah satunya, misalnya, batasan
pengertian tentang perubahan sosial. Terkait pengertian tentang
perubahan sosial ini, dikemukakan pula konsep tentang struktur sosial
dan juga wujud-wujud kongkrit dari perubahan sosial itu sendiri. Dari
hasil penelitian lapangan, sebagaimana dikupas dalam Bab 5 - 7,
berbagai gejala perubahan sosial yang terjadi itu memang
menampakkan diri sejalan dengan batasan perubahan yang telah
dikemukakan dalam Bab 2 tersebut.
Namun yang lebih penting dan akan dibahas dalam bagian
tulisan ini adalah bahwa dibalik munculnya gejala perubahan sosial di
Desa Tabola, sebagaimana terlihat dari hasil penelitian lapangan dan
telah dibahas pada Bab 4 - 7, ternyata sifat atau karakternya tidak
selalu sejalan dengan masing-masing perspektif teori yang telah
dikemukakan sebelumnya itu. Dalam hal ini, salah satu hal menyolok
yang mungkin perlu diperhatikan adalah munculnya gejala perubahan
yang bersifat dualitas. Tetapi apa yang dimaksud dengan sifat dualitas
itu, dan bagaimana wujud dari gejala perubahan dualitas itu? Uraian
selanjutnya pada bagian ini akan mengupas tentang hal itu.
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Namun sebelum mengupas pengertian tentang konsep dualitas,
perlu disinggung sedikit pengertian tentang konsep dualisme sebagai
sisi yang lain dari konsep dualitas. Dualisme adalah suatu cara pandang
terhadap realitas dunia (world view) yang diyakini memiliki katagori
ganda yang saling berlawanan/bertentangan satu sama lain (oposisi
biner) dan yang memiliki sifat hirarkhis. Hirarkhis di sini
dimaksudkan bahwa keberadaan unsur-unsur yang saling berlawanan
atau bertentangan itu (oposisi biner) di dalamnya terkandung pilihan
bertingkat (hirarkhis) yang mengandung nilai-nilai tertentu (misalnya,
nilai-nilai baik dan nilai-nilai buruk).
Al-Fayyadl (2005: 16), dengan mengutip Derida,
mengemukakan bahwa pandangan dualisme ini berakar dari tradisi
filsafat Barat yang diistilahkan sebagai “logosentrisme” atau “metafisika
kehadiran”.
Logosentrisme
adalah
sistem
metafisik
yang
mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental yang terjadi
di dunia fenomenal. Kebenaran transendental itulah yang
dimaksudkan dengan “kehadiran” dalam istilah “metafisika
kehadiran”. Dari adanya anggapan adanya kebenaran transendental
ini, maka timbullah struktur hirarkhis dalam setiap katagori ganda.
Konsep dualitas pada dasarnya menolak realitas yang
berdasarkan katagori ganda yang saling bertentangan (oposisi biner)
dan berstruktur hirarkhis itu. Jadi keberadaan katagori ganda
(dualitas), dalam dirinya tidak mesti bertentangan (dikotomi) dan
berstruktur hirarkhis. Salah satu pemikir terkenal yang menolak
realitas dikotomi atau oposisi biner ini adalah Derida. Penolakan ini,
menurut Derida sebagaimana dikutib oleh Al-Fayyadl (2005: 24-27),
berdasarkan pandangan bahwa di zaman postmodern ini tidak bisa lagi
berbicara atas nama filsafat sebagai sebuah sistem berfikir yang tunggal
dan satu-satunya yang paling benar. Pertanyaannya, lalu apa yang
terjadi bila semua dikotomi atau oposisi biner ditolak? Yang terjadi
adalah terbukanya peluang bagi subyek-subyek yang selama ini
ditiadakan secara sistematis oleh filsafat/metafisika Barat untuk tampil
kepermukaan. Dengan begitu maka perbedaan yang sudah merupakan
suatu kodrat lantas tidak selalu mengisyaratkan hirarkhi (misalnya,
warna hitam lebih unggul dari warna putih) atau oposisi (hitam
330
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
meniadakan putih); dan dalam konteks perbedaan ini selalu terbuka
katagori ketiga yang memungkinkan kedua katagori (misalnya hitam
dan putih) tersebut tetap ada seperti sediakala. 1 Berikut gambaran
terkait konsep dualisme dan dualitas.
Gambar 23: Konsep Oposisi Biner Dualisme
DUALISME
Baik
Buruk
Baru
Lama
Putih
Hitam
Modern
Tradisi
Struktur
Agen
LOGOSENTRISME
Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam konsep dualisme terdapat
apa yang disebut realitas ganda yang membentuk posisi berlawanan
(oposisi biner) dan yang memiliki sifat hirarkhis di antara keduanya.
Sifat hirarkhis itu didasarkan pada logosentrisme yang mengandaikan
hadirnya “kebenaran transendental” atau kebenaran tunggal.
1 Lihat: Anonim. Logosentrisme.
http://www. blog.sunan-ampel.ac.id/gussableng/files/2010/10/logosentrisme
331
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 24: Konsep Dualitas dari Rwabhineda
DUALITAS/RWABHINEDA
Baik --------------------Buruk
Baru---------------------Lama
Putih--------------------Hitam
Modern------------Tradisi
Struktur-----------------Agen
DIFFERANS
Keterangan Gambar:
: Menunjukkan hubungan oposisi biner yang bersifat hirarkhis
---- : Menunjukkan adanya suatu relasi kontinyu yang membuka ruang kemungkinan
terbentuknya keharmonisan hubungan.
Gambar di atas menunjukkan bahwa konsep dualitas menolak
realitas ganda yang bertentangan (oposisi biner) dan bersiat hirarkhis
(logosentrisme), dan sebaliknya melihat relasi realitas ganda (plural)
sebagai suatu ruang keterbukaan (anti-esensialisme/differance) yang
memungkinkan munculnya bentuk-bentuk baru dari relasi di antara
keduanya, termasuk munculnya harmoni. Sebagai catatan, kata
differance atau diferans, menurut Derida, sebagaimana dikutip oleh
Al-Fayyadl (2005: 87-88), tidak merujuk pada konsep, tetapi hanyalah
strategi permainan yang tidak terencana dengan tujuan mengusik
stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk
melalui oposisi atau hirarkhi yang dibangun oleh teks (logosentrisme).
332
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
Kembali kepada persoalan adanya sifat dualitas dalam
perubahan sosial di Tabola. Seiring dengan hal itu, masyarakat desa di
Bali ternyata memang memiliki cara berfikir tertentu dalam melihat
dunia sekitarnya (world view) yang sejalan dengan pengertian
dualitas. Cara berfikir dualitas itu tertuang dalam suatu konsep yang di
Bali dikenal luas sebagai Rwabhineda. Apa yang dimaksud dengan
konsep Rwabhineda? Bagaimana asal usulnya kemunculannya? Pada
bagian selanjutnya dari tulisan ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan dibahas. Termasuk dalam hal ini disinggung kaitan antara cara
berfikir Rwabhineda dengan cara bertindak atau respon orang Bali
pada umumnya dan orang desa Tabola/Sidemen (sebagai individu atau
kolektif) terhadap suatu proses perubahan sosial yang terjadi dalam
lingkungan sosialnya.
• Perubahan Struktur Obyektif dan Subyektif
Yang pertama perlu digarisbawahi adalah bahwa kalau kita
lihat dari pengertian struktur sosial dalam kaitannya dengan definisi
perubahan sosial sebagai perubahan dalam struktur sosial, sebagaimana
dikemukakan dalam Bab 2, maka maksudnya lebih banyak mengacu
pada pengertian fakta sosial Durkheimian. Menurut Durkheim,
sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2011: 77): “Briefly, social fact are the
social structures and cultural norms and values that are external to and
coercive of actors”. Struktur sosial dalam lingkup pengertian seperti ini
bisa dikatagorikan sebagai struktur sosial obyektif. Ini sebagai sisi
berbeda dari apa yang disebut sebagai struktur sosial subyektif, sebagai
mana akan dijelaskan kemudian.
Berikut gambaran dari berbagai perubahan sosial yang terjadi
di Tabola dalam dimensi struktur sosial obyektif, yang gejalanya
dijelaskan dengan meminjam konsep tipologi perubahan sosial
menurut Harper (1989). Berdasarkan tipologi ini maka pertama,
perubahan sosial terjadi bila susunan personal dalam struktur sosial
berubah. Dalam konteks Tabola saat ini, yang disebut sebagai Krama
Desa Tabola, pengertian dan cakupannya sudah mengalami perubahan
333
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dibandingkan pada masa lalu, paling tidak sebelum munculnya AwigAwig Desa Pakraman Tabola. Pada masa lalu (sebelum reformasi dan
belum ada awig-awig tertulis) yang termasuk dalam katagori krama
desa cakupannya lebih sempit, yaitu mereka penduduk desa, suami
istri beragama Hindu, yang tinggal (turun temurun) dan menjadi
anggota banjar pepatusan serta pemaksan Pura Kahyangan Desa
Tabola. Mereka inilah yang dikenal dengan istilah krama pengarep.
Selain itu ada tambahan krama desa di luar katagori tersebut di
atas, yaitu mereka warga masyarakat suami istri beragama Islam yang
telah turun temurun tinggal di Tabola. Dalam konteks desa
adat/pakraman, mereka ini di sebut sebagai krama tamiu (krama
pendatang). Yang perlu dicatat tentang keberadaannya di Tabola
adalah bahwa mereka ini berada di Tabola karena konteks sejarah,
yaitu ketika Kerajaan Karangasem berperang melawan Kerajaan
Lombok. Saat peperangan yang mulai terjadi tahun 1838 itu, sebagian
pasukan Kerajaan Sidemen yang berlokasi di Desa Tabola (sekarang)
ikut berangkat perang membantu Kerajaan Karangasem. Sekembalinya
ke Sidemen seusai perang, pasukan Kerajaan Sidemen membawa serta
orang-orang Lombok yang beragama Islam, yang kemudian mereka
tinggal dan beranak-pinak di Tabola sampai sekarang. Jadi dua katagori
itulah yang disebut sebagai Krama Desa Tabola, dan dua katagori
itulah yang juga menjadi elemen inti dari susunan personal struktur
sosial masyarakat desa Tabola pada masa lalu.
Lalu yang berkembang kemudian, khususnya setelah
terbentuknya Awig-Awig Desa Pakraman Tabola, adalah terjadinya
semacam “perluasan” dari apa yang tercakup dalam pengertian krama
desa. Kalau semula hanya dua katagori maka menurut ketentuan baru
sebagaimana terumuskan dalam Awig-Awig Desa Pakraman yang
termasuk krama desa sekarang katagorinya bertambah menjadi lima
katagori. Lima katagori itu adalah (1) krama ngarep/pengarep, (2)
krama tamiu, (3) krama sasabu, (4) krama di luar desa, dan (5) krama
desa sasabu. Sebagai catatan, pengertian dari masing-masing katagori
krama desa tersebut telah diuraikan dalam Bab 5.
Perluasan pengertian tentang krama desa ini pada akhirnya akan
334
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
mempengaruhi pembentukan susunan struktur organisasi Desa
Pakaraman Tabola yang baru. Ini khususnya pengurus baru paska
pelengseran pengurus desa lama akibat konflik sumberdaya air di
Tabola. Sebagaimana dibahas dalam Bab 7, susunan pengurus baru
organisasi desa paska konflik sumberdaya air (periode kepengurusan
2009-2014), mengakomodasi antara lain perwakilan dari berbagai
golongan masyarakat yang ada di Tabola. Salah satunya adalah
perwakilan dari krama di luar desa, krama sasabu dan krama desa
sasabu. Adanya pengakuan bagi keberadaan krama desa yang tinggal di
luar desa, telah mendorong berkembangnya organisasi kekerabatan
berdasarkan kesamaan asal usul desa di luar Desa Tabola. Tercatat,
misalnya, organisasi kekerabatan menghimpun warga desa asal Desa
Pakraman Tabola yang tinggal di Denpasar dan Badung. Organisasi ini
menjaga komunikasi dan hubungan yang erat dengan organisasi Desa
Pakraman Tabola, dan bahkan sebagaimana disinggung di atas,
keberadaannya diakomodasi dalam susunan kepengurusan organisasi
desa pakraman.
Kedua, perubahan struktur sosial terjadi bila ada perubahan
dalam pola relasi (internal) suatu struktur sosial, termasuk perubahan
struktur kekuasan (internal), otoritas dan komunikasinya. Gambaran
paling jelas dari perubahan tipe ini bisa dilihat dari proses yang
menyertai perubahan kepemimpinan di Tabola, khususnya dalam
periode waktu setelah awig-awig dipasopati di pura desa, dan secara
resmi menjadi acuan bagi pelaksanaan nilai-nilai dan norma-norma
adat. Munculnya awig-awig desa yang baru itu harus dilihat juga
sebagai titik awal dari semakin menguatnya otonomi (asli) desa dan
suatu pola relasi internal dalam struktur sosial masyarakat desa yang
lebih terbuka. Hal demikian dimungkinkan karena keberadaan isi dari
awig-awig (substansi pasal-pasalnya) mendorong menguatnya iklim
keterbukaan dalam kehidupan desa adat/pakraman. Keadaan inilah
yang pada gilirannya menggulirkan proses perubahan sosial dalam
bentuk perubahan kepemimpinan dan struktur organisasi desa
pakraman, sebagaimana digambarkan dalam Bab 7.
Ketiga, perubahan sosial terjadi bila ada perubahan fungsifungsi dalam struktur sosial. Untuk tipe perubahan ketiga ini,
335
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
misalnya, paling jelas bisa digambarkan dari adanya perubahan
beberapa fungsi dari elemen dalam struktur organisasi desa pakraman.
Sebagaimana dikupas dalam tulisan Bab 6 tentang kelembagaan desa,
sejak tahun 2003, muncul struktur baru dalam kelembagaan organisasi
desa pakraman sebagai hasil dari pelaksanaan ketentuan baru
sebagaimana dirumuskan dalam awig-awig desa. Dalam struktur baru
itu terdapat elemen baru yang kedudukannya sangat menentukan
dalam keseluruhan struktur organisasi desa, yaitu adanya “pingajeng
desa”.
Dengan adanya “pingajeng desa” ini, maka fungsi bendesa atau
klian desa tidak lagi menjadi unsur tertinggi dalam dalam hirarki
pemerintahan desa pakraman sebagaimana sebelumnya. Tetapi
hirarkhi tertinggi berada ditangan “pingajeng desa” itu. Kelak
kemudian, ketika muncul kepemimpinan yang lebih baru lagi pada
awal tahun 2009, elemen baru yang bernama “pingajeng desa” ini
dihapuskan dari susunan struktur organisasi desa karena dianggap
hanya merepresentasikan kepentingan satu kelompok, khususnya
kelompok kasta tinggi di Desa Tabola (bangsawan tinggi puri dan
kaum brahmana tinggi) dan dinilai oleh pengurus yang baru tidak
mencermin nilai demokrasi, dan sebaliknya ada unsur untuk
mengembalikan lagi sistem feodalisme lama.
Di sini kembali bendesa atau klian desa dalam struktur
organisasi desa menjadi elemen organisasi yang memiliki wewenang
kekuasaan tertinggi (lihat Bab 7). Sebagai pengganti dari elemen
“pingajeng desa” yang telah dihapuskan maka dalam struktur
organisasi desa ditambahkan elemen baru yang disebut “pengrajeg”,
yang fungsinya kurang lebih sama seperti penasehat. Jadi karena
fungsinya lebih sebagai penasehat, maka kedudukan “pengrajeg” dalam
struktur organisasi desa tidak lebih tinggi dari bendesa atau klian desa,
sebagaimana kedudukan “pingajeng desa” sebelumnya. Sesuai dengan
susunan struktur organisasi desa yang ada, kedudukannya sejajar
dengan bendesa atau klian desa. Elemen “pengrajeg” ini sebenarnya
bukan hal baru, karena sebelumnya sudah pernah dikenal (sebelum
dikenalkan konsep “pingajeng”), dan konsep “pingrajeg” umumnya
lebih banyak dikenal di desa-desa pakraman lain di luar Tabola.
336
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
Perubahan fungsi lainnya terkait dengan perubahan struktur
di Tabola adalah masuknya elemen-elemen yang dianggap mewakili
aspirasi atau kepentinggan berbagai kelompok masyarakat yang ada di
Tabola. Elemen-elemen ini dikenal dengan konsep “petajuh”, yang
untuk konteks desa pakraman terdiri antara lain dari elemen-elemen
yang mewakili aspirasi kelompok kahyangan, palemahan, dan
pawongan, dan terakhir adalah pengurus yang mewakili apa yang
disebut sebagai kelompok desa sesabu dan dura desa. Tentang
pengertian dari masing-masing kelompok ini, bisa dilihat kembali pada
Bab 6.
Keempat, perubahan terjadi bila ada perubahan pola hubungan
di antara struktur-struktur sosial yang berbeda. Gambaran paling nyata
dari fenomena perubahan tipe seperti ini di Tabola bisa dilihat dari
perubahan pola hubungan antara desa adat/pakraman dengan desa
dinas, terutama sejak diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 dan juga
Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Sebagaimana dijelaskan pada Bab 6, perubahan itu konsekuensi dari
perubahan kedudukan desa adat/desa pakraman dan desa dinas, yang
sejak era reformasi kedudukan desa adat/pakraman semakin kuat
(terhadap desa dinas), dan yang praktiknya tidak lagi menjadi seperti
sub-ordinasi desa dinas.
Dengan adanya perubahan itu, maka posisi desa
adat/pakraman, paling tidak menjadi lebih “seimbang/setara” dalam
hubungannya dengan desa dinas. Dengan demikian, masing-masing
memiliki cakupan wewenang dan kekuasaan sendiri-sendiri, yaitu
desa dinas lebih banyak mengurusi masalah-masalah yang berkaitan
dengan pemerintahan, seperti misalnya pengurusan KTP dan suratsurat lainya yang berhubungan dengan pelayanan administrasi
pemerintahan kepada warga desa, pelaksanaan program Pemerintahan
Daerah, dan lain sebagainya. Sementara desa adat/pakraman lebih
banyak mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan adat
(dan budaya) serta agama. Dengan bahasa yang lebih ringkas, desa
dinas mengurusi masyarakat desa sebagai anggota dari warga (negara)
desa, sedangkan desa adat/pakraman mengurusi masyarakat desa
sebagai anggota dari krama desa. Ini menjadi sangat berbeda bila
337
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dibandingkan dengan situasi masa lalu, di mana desa dinas boleh
dikatakan hampir mendominasi urusan-urusan desa, termasuk urusan
desa adat/pakraman.
Kelima, perubahan sosial terjadi bila muncul struktur baru
dari struktur sosial lama yang sudah ada selama ini. Gambaran ini bisa
dilihat dari munculnya struktur-struktur baru, seperti Majelis Desa
Pakraman/MDP (dari tingkat alit, madya sampai utama) sebagai
‘supra-struktur’ baru bagi desa adat/pakraman. Selain itu juga
munculnya kelembagaan-kelembagaan baru seperti “pingajeng”,
“pengrajeg”, dan berbagai macam lembaga baru yang dirumuskan
dalam awig-awig Desa Tabola. Dalam hal ini juga perlu digarisbawahi
bahwa awig-awig tertulis (hasil penyuratan awig-awig lama) Desa
Pakraman Tabola sesungguhnya juga adalah suatu bentuk
kelembagaan (nilai-nilai dan norma-norma) yang baru muncul di
Tabola menyusul bergulirnya jaman reformasi. Jadi di sini, awig-awig
selain adalah produk dari perubahan sosial, dalam dirinya juga menjadi
sumber dari perubahan sosial. Itulah, antara lain, contoh-contoh dari
pada apa yang disebut sebagai perubahan struktur sosial obyektif.
Di samping perubahan struktur sosial obyektif seperti
diuraikan di atas, hasil penelitian ini juga menunjukkan terjadinya
gejala perubahan struktur sosial dalam dimensi subyektif (struktur
subyektif). Yang dimaksudkan dengan struktur subyektif di sini,
mengacu pada pemikiran Bourdieu, lebih pada pengertian struktur
kognitif yang ada dalam kesadaran individu maupun kolektif. Struktur
subyektif dalam bentuk struktur (kesadaran) kognitif inilah yang
mendasari konsep Bourdieu tentang Habitus.
Di sini contoh yang paling kentara dari terjadinya perubahan
dalam stukrur sosial subyektif adalah munculnya gagasan-gagasan atau
ide-ide baru yang mendorong diterimanya nilai-nilai (dan normanorma) baru di masyarakat. Dengan diterimanya nilai-nilai (dan
norma-norma) baru itu, maka terjadi perubahan dalam kesadaran
dalam masyarakat, baik sebagai individu maupun kolektif. Tentu saja
perlu dicatat di sini, bahwa penerimaan nilai-nilai dan norma-norma
baru itu tidak berlangsung secara serta merta, tetapi melalui suatu
338
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
proses dialog yang membutuhkan waktu, yang hal itu terutama
berlangsung intensif pada waktu dilakukan proses penyuratan awigawig desa. Wujud nyata dari diterimanya nilai-nilai baru itu, sebagian
tertuang dalam rumusan yang ada dalam pasal-pasal di Awig-Awig
Desa Pakraman Tabola.
Proses diterima nya (dan kemudian dipraktikkannya dalam
tindakan sehari-hari) nilai-nilai baru sebagai hasil dari perkembangan
ide-ide baru yang berasal dari kesadaran subyektif (individu atau
kolektif) itu, dalam konsep Bourdieu disebut sebagai proses “dialectic
of the internalization of externality and externalization of internaliy”.
Di sini terlibat suatu proses: (a) penstrukturan struktur sosial obyektif
atau structuring structure, yaitu dalam bentuk penstrukturan oleh
struktur awig-awig baru ke dalam kesadaran kognitif individu ataupun
kolektif yang dampaknya merubah sikap dan perilaku; (2)
penstrukturan oleh struktur sosial subyektif atau structured structure
yaitu dalam bentuk penstrukturan oleh struktur kognitif ke dalam
struktur sosial/realitas sosial masyarakat). Kedua proses penstrukturan
itu secara keseluruhan berlangsung secara berkesinambungan dan
dialektis. Proses penstrukturan yang berlansung secara dialektik ini
menghasilkan apa yang disebut sebagai gejala perubahan sosial.
Di samping apa yang telah disebut itu (terkait awig-awig), juga
muncul dan tumbuh suatu kesadaran baru (yang lebih makro sifatnya)
di masyarakat terkait perkembangan situasi sosial-politik di desa,
khususnya sejak era reformasi. Situasi sosial-politik baru itu dalam
realitasnya bisa diringkas dan dikaitkan dengan proses yang disebut
sebagai demokratisasi. Situasi baru ini pada gilirannya mendorong
secara bertahap terjadinya perubahan pola hubungan antara
masyarakat (warga/krama desa) dengan desa (baik desa dinas dan desa
adat) dan juga, pada gilirannya, antara desa adat dengan desa dinas itu
sendiri sebagai suatu entitas kelembagaan.
Tentang berlangsungnya perubahan dalam kesadaran kognitif
masyarakat, terkait dengan nilai-nilai dalam kehidupan di desa
adat/pakraman, bisa digambarkan dari beberapa kasus, sebagaimana
dibahas dalam Bab 5 tentang Awig-Awig Desa Tebola. Salah satu
339
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
contoh yang dibahas dalam bab itu adalah masalah “cuntaka”, atau
berarti sesuatu keadaan di mana seseorang, pria atau wanita, karena
sesuatu hal dianggap “tidak bersih”, dan karena itu dilarang melakukan
sesuatu tindakan tertentu.
Cuntaka adalah sesuatu persoalan yang terkait langsung
dengan masalah adat dan agama, sehingga sebenarnya memang tidak
gampang mengubah ketentuannya. Apalagi hal seperti itu merupakan
suatu keyakinan yang telah dipraktikkan sejak dahulu kala, dengan
cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh para orang tua dan
leluhur. Tetapi, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan pada
bagian sebelumnya, karena perkembangan tuntutan jaman yang
menghendaki segalanya menjadi lebih praktis, maka ide atau gagasan
untuk mengubah ketentuan mengenai waktu serta persyaratannya bisa
diterima masyarakat melalui suatu musyawarah bersama yang
diwarnai oleh perdebatan pro dan kontra yang cukup sengit. Setelah
disepakati, perubahan itu akhirnya dicantumkan dalam pasal awigawig sebagai suatu ketentuan baru yang harus dipatuhi dan
dipraktikkan.
Di luar masalah “cuntaka” ada beberapa kasus lain yang serupa,
seperti misalnya diadopsinya gagasan tentang “pingajeng” (yang kelak
kemudian mengalami koreksi kritis dari masyarakat untuk kemudian
berubah menjadi “pangrajeg”) dalam awig-awig. Juga diterimanya
gagasan terkait ketentuan praktik pelestarian lingkungan alam di
Tabola dalam awig-awig sebagai perwujudan ajaran Tri Hita Karana
dalam praktik kehidupan sehari-hari di desa. Ini khususnya
menyangkut hubungan antara manusia dengan alam atau disebut
konsep palemahan, di samping dua hubungan lagi, yaitu hubungan
manusia dengan manusia (konsep pawongan) dan hubungan manusia
dengan Tuhan (konsep parhyangan).
Apa yang bisa dicermati dari uraian di atas adalah bahwa
perubahan sosial di Tabola, berlangsung tidak saja dalam dimensi
struktur sosial obyektif, tetapi juga pada saat yang berbarengan terjadi
perubahan dalam struktur sosial subyektif. Dalam konteks Desa
Pakraman Tabola, perubahan struktur obyektif lebih banyak terkait
340
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
dengan perubahan pada aspek kelembagaan masyarakat, apakah
bentuknya organisasi, seperti misalnya, struktur organisasi desa
adat/pakraman atau desa dinas, atau juga dalam bentuk institusi
“peraturan/ketentuan” (nilai-nilai dan norma-norma), seperti misalnya
kelembagaan awig-awig desa.
Sedangkan perubahan struktur subyektif lebih terkait dengan
perubahan pada aspek (kesadaran) kognitif individu dan masyarakat
(secara kolektif). Bentuknya bisa berupa muncul dan berkembangnya
gagasan-gagasan yang mendorong diterimanya ide-ide baru sebagai
suatu realitas baru yang dipraktikkan (misalnya tentang gagasan
demokrasi); atau juga diterimanya ide-ide baru sebagai suatu bentuk
dari nilai atau norma baru yang siap dipraktikkan bersama.
Dalam perspektif teori perubahan sosial, khususnya dalam
pengertian perubahan sosial sebagai suatu perubahan struktur sosial,
maka bisa dikemukakan bahwa perubahan struktur sosial di Tabola itu
ternyata tidak saja menyangkut perubahan struktur sosial dalam
pengertian obyektif (struktur obyektif) tetapi juga sekaligus dalam
pengertian subyetif (kesadaran kognitif). Dalam hal ini kelihatannya
muncul suatu gejala perubahan yang bersifat “dualitas”, yaitu
terjadinya perubahan pada struktur (sosial) obyektif di satu sisi, dan
pada saat yang sama muncul perubahan pada struktur (sosial) subyektif
di sisi lain.
• Faktor Penyebab Eksogen dan Endogen
Sebagaimana di uraikan dalam bagian sebelumnya, bahwa
proses perubahan bisa disebabkan oleh faktor-faktor eksogen maupun
endogen. Faktor eksogen adalah faktor-faktor penyebab perubahan
(struktur sosial) yang sumbernya berasal dari luar struktur sosial
tersebut. Sebaliknya faktor endogen adalah faktor-faktor penyebab
perubahan yang sumbernya berasal dari dalam struktur sosial itu
sendiri. Tidak jarang nama dari faktor eksogen dan endogen ini disebut
dengan nama lain, yaitu faktor eksternal dan internal, tetapi dengan
maksud dan pengertian yang sama (Smelser, 1992).
341
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Kalau dicermati dari hasil penelitian lapangan, faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan sosial di Tabola justru ditimbulkan
oleh dua faktor pengaruh, ekternal dan internal. Kedua faktor ini
muncul sebagai faktor penyebab perubahan secara hampir serentak
dan berkesinambungan. Dalam Bab 4 dan 5, misalnya, digambarkan
bagaimana Pemda Provinsi Bali, menerbitkan Perda No. 3 Tahun 2001
tentang Desa Prakraman, yang pada gilirannya telah mendorong
terjadinya perubahan sosial di desa pakraman di Bali, tidak terkecuali
Desa Pakraman di Tabola. Perubahan sosial itu terwujud dalam
bentuk, antara lain, tersuratnya awig-awig desa pakraman di Tabala
(dari sebelumnya tidak tertulis menjadi tertulis dalam susunan yang
sistematis); organisasi desa pakraman (Tabola) menjadi semakin kuat
kedudukannya, terutama dihubungkan dengan kedudukan desa dinas.
Harus diakui pula bahwa terbitnya Perda Provisi Bali No. 3
Tahun 2001, tidak terlepas dari proses reformasi. Ini khusus terkait
dengan keluarnya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yang substansinya mendorong pelaksanaan proses otonomi
daerah (dan otonomi desa). Dalam konteks ini, dua ketentuan yang
disebutkan di atas, tidak pelak merupakan faktor ekternal yang
mendorong terjadinya perubahan sosial di desa pakraman di Bali,
khususnya Desa Tabola. Sementara itu, gelombang reformasi yang
bergulir kencang sejak tahun 1998, telah mendorong tumbuhnya
kesadaran-kesadaran baru di masyarakat, tidak terkecuali bagi warga
Tabola, khususnya terkait gagasan tentang kebebasan, kemandirian
(otonomi) serta demokrasi. Munculnya kesadaran baru itu
memberikan dorongan inisiatif untuk merumuskan kembali
keberadaaan masyarakat (krama) dan desanya dalam konteks
perkembangan jaman yang baru.
Apa yang dilakukan Pak Cjokorda Gde Dangin mengundang
Megawati Sukarnoputri untuk hadir dalam upacara keluarga Maligya
di Sidemen, misalnya, bisa ditafsirkan sebagai bagian dari munculnya
kesadaran baru itu. Tidak terbayangkan bahwa pak Cokorda akan
mengundang Megawati, yang pada waktu itu Ketua Partai PDIP, bila
keadaan belum berubah, mengingat yang diundang itu adalah sosok
yang dianggap sebagai musuh politik oleh rezim yang berkuasa
342
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
sebelum datangnya jaman reformasi. Juga ide sebagian tokoh Desa
Tabola untuk bersinergi dengan pihak luar dalam rangka meminta
dukungan pendanaan bagi kepentingan penyusunan awig-awig baru,
harus dilihat sebagai bagian dari inisiatif untuk merumuskan kembali
keberadaan desa pakraman di jaman yang baru itu.
Dalam hal ini, datangnya Megawati ke Sidemen/Tabola tentu
saja memperkuat kesadaran yang sudah mulai tumbuh tentang
kebebasan dan demokrasi. Paling tidak hal ini dibuktikan dengan
semakin kuatnya posisi politik PDIP sebagai partai yang menjadi
simbol perlawanan terhadap rezim lama (yang otoriter) di
Tabola/Sidemen. Sedangkan semuanya itu mungkin terjadi karena
adanya inisiatif yang diambil Pak Cokorda Gde Dangin, yang memang
sangat menyadari tentang telah datangnya jaman baru. Terkait faktor
penyebab perubahan sosial, hal ini jelas merupakan faktor penyebab
internal. Begitupula pula tindakan para tokoh desa Tabola, termasuk
Pak Cokorda, ketika berusaha melakukan penyuratan awig-awig desa,
dan juga merespon ketentuan yang ada terkait pengembangan struktur
baru supra-desa pakraman bernama Majelis Desa Pakraman (Alit). Ini
juga merupakan bukti lain dari adanya faktor internal dalam proses
perubahan sosial di Tabola.
Perkembangan selanjutnya, perubahan di Tabola banyak
diwarnai oleh faktor-faktor internal. Misalnya saja munculnya institusi
baru di desa, termasuk bentuk organisasi baru desa paska penyuratan
awig-awig. Begitupula ketika muncul pergolakan kepemimpinan di
Tabola yang pada akhirnya melahirkan suatu bentuk kepemimpinan
dan struktur organisasi baru di Desa Pakraman Tabola. Semuanya itu,
kalau dikaji, sebagaimana diuraikan dalam Bab 4, 6, dan 7, muncul
karena tumbuhnya pikiran-pikiran baru paska reformasi di Desa
Tabola, khususnya yang digulirkan oleh lapisan elit baru di Tabola.
Yang dimaksudkan dengan lapisan elit baru ini adalah lapisan elit yang
tumbuh semakin kuat sejak masa reformasi, yang mereka ini memiliki
berbagai latar belakang, mulai dari mantan guru, pengusaha, mantan
pengurus desa dinas serta aktivis LSM. Umumnya mereka ini,
sebelumnya tidak menjadi bagian dari elit penguasa Desa Pakraman
Tabola.
343
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Kalau ditelusuri, faktor internal dan eksternal sebenarnya juga
menjadi faktor pendorong perubahan pada tingkatan supra-desa,
terutama munculnya Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Sebagai catatan, Perda ini kemudian menjadi faktor penyebab
eksternal atas terjadinya berbagai perubahan di tingkat desa. Pertama,
bisa dijelaskan bahwa Perda No. 3 Tahun 2001 tersebut bisa muncul
karena adanya proses kebebasan dan demokratisasi terkait reformasi
yang mulai bergulir kuat setelah rezim Orde Baru rontok tahun 1998.
Dalam hubungannya dengan hal ini, lahirnya UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahah Daerah, memberikan momentum yang kuat
bagi daerah untuk (secara bertahap) memperkuat kembali hak-hak
otonominya yang sudah redup, terutama sejak dilaksanakan UU No 5
Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa.
Faktor bergulirnya reformasi, dan terutama dilaksanakan UU
No. 22 Tahun 1999, boleh dikatakan sebagai faktor penyebab
perubahan dari luar (eksternal) yang memberikan pengaruh kuat bagi
lahirnya Perda tentang Desa Pakraman itu. Di sisi lain, memang telah
ada keinginan kuat masyarakat dan dari Pemerintah Daerah Provinsi
Bali sendiri untuk memperkuat kedudukan desa adat atau desa
pakraman. Dasar pemikirannya adalah untuk tetap mempertahankan
dan melestarikan nilai-nilai budaya, adat dan agama (Hindu) di Bali.
Bagi Bali, kebertahanan dan kelestarian menjadi faktor sangat penting
untuk menjaga kelangsungan Bali, khususnya sebagai daerah wisata
(modal ekonomi) sekaligus identitas Bali itu sendiri (modal sosial dan
kultural).
Keinginan yang kuat ini pernah diwujudkan melalui Perda
tentang Desa Adat tahun 1986, tetapi belum mampu memberdayakan
desa adat secara optimal, karena pada masa itu dibayangi oleh
kekuatan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang
memberikan dasar legal bagi dominasi desa dinas atas desa adat. Baru
Perda No. 3 Tahun 2001 (sebagai revisi atas Perda No. 6 Tahun 1986)
desa adat, yang selanjutnya diganti namanya menjadi desa pakraman,
lebih berhasil diberdayakan kedudukannya. Faktor keinginan yang
344
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
kuat itu, tak pelak merupakan faktor penyebab perubahan dari dalam
(endogen).
Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa dibalik faktor penyebab
perubahan dari dalam (endogen) itu adalah adanya aktor-aktor, baik
sebagai individu maupun kolektif, yang aktif dan berinisiatif dalam
merespon perkembangan situasi. Jadi sesuai dengan pemikiran
Giddens terkait teori strukturasi, aktor-aktor itu merepresentasikan
agen-agen yang aktif dalam relasinya dengan struktur sosial. Terkait
dengan sifat agen-agen yang aktif dan berinisiatif ini, Giddens
(Johnson: 2008) menyatakan: “The production and reproduction of
society thus to be treated as a skilled performance on the part of its
members, not as merely a mechanical series of processes…”. Jadi di
sini, sekali lagi, manusia sebagai individu dan kolektif adalah agen
yang aktif dan rasional, dalam arti, memiliki pengetahuan dan
kemampuan yang bisa digunakan secara terus menerus dalam proses
produksi dan reproduksi dari dunia sosial. Proses produksi dan
reproduksi dunia sosial itu tidak lain adalah proses perubahan sosial.
Sejalan dengan perspektif seperti ini, maka bisa dikatakan pula
bahwa orang Bali, khususnya orang desa di Tabola, baik sebagai
individu maupun kolektif, adalah manusia-manusia yang aktif,
berinisiatif dan rasional. Tentu ini mungkin berbeda kalau
dibandingkan dengan kesan umum bahwa orang-orang Bali umumnya
dinilai pasif dan mengikuti saja kondisi sosial yang dihadapinya,
terutama yang terwujud dalam simbol-simbol adat yang sering
diibaratkan sebagai “struktur sosial” yang kuat dan kokoh itu.
Akhirnya, sekali lagi, di sini faktor eksogen dan endogen berjalan
secara serentak dan berkesinambungan sebagai faktor pendorong
perubahan. Bekerjanya dua faktor perubahan secara sekaligus ini yang
dikategorikan sebagai proses dualitas.
• Arah Perubahan Siklikal dan Linier
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya bahwa
teori perubahan sosial pada umumnya mengenal perspektif pola
perubahan, yaitu pola linier, pola siklikal dan pola dialektik.
345
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Perubahan berpola linier mengacu pada suatu pandangan bahwa
perubahan sosial itu pada dasarnya memiliki ciri kumulatif, dan
bersifat tidak berulang (non-repetitive). Perubahan pola linier ini
biasanya bersifat permanen, dalam arti perubahan tidak pernah
kembali kepada titik semula – berjalan secara evolusi, proses dan
arahnya cenderung berlangsung secara diakronik atau melewati suatu
tahapan awal dan tahapan akhir (tahap maju/lebih lanjut).
Sebaliknya dengan perubahan berpola siklikal. Perubahan
sosial berpola siklikal mengacu pada pandangan bahwa sejarah
perkembangan masyarakat dilihat sebagai suatu proses yang berulang,
bukan garis lurus. Perubahan pola siklikal ini sejalan dengan pepatah
“history does repeat it self”, sejarah selalu berulang. Sedangkan
perubahan sosial berpola dialektik menyandarkan pada asumsi bahwa
perubahan terjadi secara komplek, kumulatif dan berkembang dalam
jangka panjang. Perubahan pola dialektik ini digambarkan berjalan
tidak mulus seperti pola linier atau gradual seperti pola siklikal, tetapi
- seperti yang digambarkan oleh perspektif Marxian - melibatkan
suatu proses pertentangan karena adanya kontradiksi internal dalam
struktur sosial (yang berubah itu).
Mencermati fenomena perubahan sosial yang berlangsung di
Tabola/Sidemen maka bisa dilihat bahwa perubahan yang terjadi tidak
menunjukkan suatu gambaran perubahan yang berpola tunggal, yaitu
apakah linier atau siklikal. Kalau dicermati, kedua pola itu, linier atau
siklikal, muncul dalam proses perubahan sosial di Tabola. Sebagai
gambaran, perubahan berpola linier, misalnya, bisa dilihat dari
fenomena perkembangan organisasi desa dinas yang cenderung
semakin demokratis dan tidak lagi menghegemoni semua urusanurusan desa, terutama urusan yang sebenarnya merupakan wewenang
desa adat/pakraman. Proses ini terjadi seiring dengan berjalanannya
proses demokratisasi yang merasuk semakin dalam ke desa sejak jaman
reformasi (1998).
Salah satu wujud awal dari proses demokratisasi yang merasuk
ke desa ini, antara lain adalah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemeritahan Daerah, yang substansinya mengatur pula
346
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
ketentuan tentang pengelolaan pemerintahan desa. Bila dibandingan
dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa akan
tampak jelas bahwa substansi tentang Pemerintahan Desa dalam UU
No. 22 Tahun 1999 memberikan nuansa kebebasan/demokrasi yang
jauh lebih kuat. Nuansa demokrasi inilah yang akhirnya mengubah
kedudukan dan wewenang desa dinas, sehingga boleh dikatakan
pengaruh kedudukan desa dinas tidak lagi menghegemoni (hampir)
semua urusan masyarakat desa, yang di Bali keberadaannya terbagi
atas dua desa, yaitu desa dinas dan desa adat/pakraman.
Lebih dari itu, bahkan boleh dikatakan hubungan antara desa
(dinas) dan masyarakat menjadi lebih seimbang, karena, salah satunya,
hadirnya lembaga yang mengawasi jalannya pengelolaan
pemerintahan desa, yaitu Dewan Perwakilan/Permusyawatan Desa
(DPD). Anggota DPD berasal dan dipilih dari masyarakat secara
langsung melalui musyawarah desa. Di samping itu, dengan
berjalannya proses demokratisasi dan berkembangnya politik
multipartai hingga ke desa-desa, maka tidak ada kekuatan tunggal
yang mampu menghegemoni semua urusan masyarakat, termasuk juga
kekuatan militer (TNI) yang sekarang lebih menjaga jarak dengan
politik kekuasaan pemerintahan (desa). Yang disebutkan terakhir ini
merupakan faktor penting, yang hal ini jelas berbeda dengan keadaan
di masa sebelum reformasi.
Dalam tingkat tertentu, proses demokratisasi ini tidak saja
mempengaruhi organisasi desa dinas tetapi juga desa adat/pakraman.
Yang paling menyolok adalah proses penyuratan awig-awig, yang
keseluruhan prosesnya diatur agar melibatkan seluas mungkin
partisipasi masyarakat adat. Ditambah bahwa proses penyuratan itu
sendiri merupakan bagian dari upaya untuk memperluas proses
keterbukaan. Ini dalam arti bahwa awig-awig yang tadinya tidak
tertulis diupayakan untuk menjadi tertulis dengan susunan yang lebih
sistematis mengacu pada sistematika hukum positif dan bersifat
terbuka. Yang disebutkan terakhir ini jelas sejalan dengan proses
keterbukaan/demokratisasi.
347
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Ini ditambah lagi dengan penyusunan kepemimpinan
organisasi desa adat yang juga mulai mengadopsi mekanisme
pemilihan langsung secara demokratis, dan tidak lagi mengandalkan
begitu saja pada faktor-faktor tradisional, seperti halnya
kepemimpinan dipilih berdasarkan asal usul dari keturunan tertentu
(geneologi) atau sejenisnya. Pendek kata, pada tingkat tertentu,
pengelolaan desa adat/pakraman di Tabola telah mengadopsi sebagian
dari gagasan demokratisasi yang merasuk ke desa sejak munculnya
jaman reformasi.
Demokratisasi itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari
proses modernisasi, yang secara makro sering disebut sebagai suatu
proses perubahan sosial berpola linier atau evolusionis. Jadi dengan
demikian proses demokratisasi yang merasuk dalam desa, tak pelak
membawa aspek-aspek dari proses perubahan sosial berpola linier.
Aspek-aspek perubahan sosial berpola linier seperti ini fenomenanya
kelihatan terjadi di Tabola/Sidemen.
Sementara itu perubahan sosial berpola siklikal ternyata juga
tergambar dalam proses perubahan sosial yang berlangsung di Tabola.
Gambaran paling nyata bisa dilihat dari munculnya gagasan untuk
mengubah sebutan desa adat menjadi desa pakraman. Memang gagasan
perubahan penyebutan itu awalnya muncul dalam Perda Provinsi Bali
(No. 3 Tahun 2001), walaupun pada akhirnya gagasan tersebut
diterima penuh dan diadopsi oleh desa-desa adat di Bali, termasuk desa
adat Tabola. Kalau ditelusuri, perubahan penyebutan desa adat
menjadi desa pakraman bukan hanya sekedar mengubah nama. Tetapi
lebih jauh lagi, perubahan nama itu mengandung maksud, yaitu salah
satunya untuk “mengembalikan” lagi bayangan ideal desa (adat) di
masa lalu sebagai suatu desa Hindu dengan segala nilai-nilainya yang
dianggap luhur itu.
Dalam konteks perubahan nama desa adat menjadi desa
pakraman ini, tentu tidak berlaku pepatah “apa artinya sebuah nama”.
Perubahan nama dari desa adat menjadi desa pakraman jelas membawa
arti yang dalam, karena perubahan nama itu mengandung makna ingin
mengkonstruksi kembali gagasan tentang desa adat sesuai dengan asal
348
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
usulnya di masa lalu sehingga diharapkan terbangun identitas desa
sebagaimana yang diharapkan. Keinginan itu, misalnya, secara tersirat
bisa dibaca dari isi Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, khususnya
bagian “menimbang”, yang menyebutkan, antara lain:
“Bahwa desa pakraman di Provinsi Bali yang tumbuh dan
berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad, yang
memiliki otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga terhadap
kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan; bahwa
desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang
dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang
hidup di Bali sangat besar peranannya dalam bidang agama dan
sosial budaya sehingga perlu diayomi, dilestarikan, dan
diberdayakan…”.
Apa yang bisa dikemukakan di sini adalah bahwa perubahan
nama desa adat menjadi desa pakraman memiliki aspek-aspek siklikal,
seolah-olah perubahan yang terjadi “mengacu” pada keadaan masa lalu
yang dianggap pernah ada. Dengan nama baru, yaitu desa pakraman,
diharapkan bayangan desa adat yang berbasis nilai-nilai agama Hindu,
bisa terwujud kembali, paling tidak sebagian dari aspek-aspeknya.
Inilah yang dikatakan sebagai suatu bentuk perubahan sosial yang
mengandung aspek-aspek siklikal karena memang ada semacam
semangat untuk mengembalikan masa lalu yang dinilai baik untuk
diwujudkan pada masa sekarang dan masa depan.
Sejalan dengan hal itu, tidak mengherankan kalau dalam
proses penyuratan awig-awig mencuat gagasan lain untuk
memunculkan kembali suatu bentuk institusi baru dalam susunan
kepengurusan desa pakraman yang mengacu pada keadaan yang
pernah ada dimasa lalu, yaitu “pingajeng desa”. Upaya (yang berhasil)
untuk memunculkan kembali institusi “pingajeng desa” ini tak pelak
merupakan bagian dari fenomena perubahan yang berpola siklikal.
Yang juga perlu dicermati di sini adalah bahwa persoalannya bukan
hanya memunculkan nama dan institusi baru yang disebut “pingajeng
desa”, tetapi lebih dari itu adalah suatu upaya (sadar atau tidak sadar),
untuk mengembalikan lagi kedudukan para elit desa dari golongan
(kasta) tinggi (khususnya golongan bangsawan dan brahmana) dalam
349
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
struktur kepemimpinan pemerintahan desa adat. Tentu semuanya atas
dasar pikiran “mempertahankan dan melestarikan” keberadaan desa
adat atau pakraman yang sudah ada di Bali sejak jaman dahulu.
Dua bentuk perubahan yang diuraikan di atas, memang terjadi
di Tabola, yang hal itu menggambarkan bahwa perubahan berpola
linier maupun siklikal betul-betul berlangsung, apakah hal itu terjadi
secara serentak dan tumpang tindih maupun berkesinambungan atau
silih berganti. Bahkan soal munculnya fenomena “pingajeng desa”,
yang dalam hal ini digambarkan sebagai suatu bentuk perubahan
berpola siklikal, kelak kemudian dihapuskan dan diganti oleh institusi
lain yang bernama “pangrajeg”. Meskipun istilah “pangrajeg” berasal
dari pengertian masa lalu, yaitu semacam dewan penasehat yang
berwenang memberikan nasehat-nasehat atas jalannya pemerintahan
desa pakraman, tetapi maknanya dikonstruksi dan dipakai dalam
pengertian baru yang lebih demokratis. Hal ini khususnya dalam
konteks untuk mengganti istilah “pingajeng” yang dianggap tidak
demokratis. Mengapa demikian? Ini karena kata “pingajeng” memiliki
makna “mengatasi” kekuasaan kepemimpinan desa pakraman,
sehingga seolah-olah bendesa bukan lagi pimpinan tertinggi desa.
Mungkin ciri perubahan ini lebih mirip dengan pengertian perubahan
berpola dialektis. Jadi bisa disimpulkan di sini bahwa perubahan di
Tabola lebih mencirikan suatu perubahan yang tidak berpola tertentu,
yaitu antara linier atau siklikal, tetapi keduanya ada secara bersamaan.
Dua pola perubahan yang terjadi secara bersama-sama ini yang
dikatakan sebagai perubahan sosial berpola dualitas.
• Faktor Pendorong Struktur dan Agensi
Dalam perspektif teori-teori modernisme, perubahan sosial
seringkali dipandang secara dikotomis, dualisme. Dalam konteks
proses perubahan sosial, misalnya, maka yang menjadi faktor utama
penyebab perubahan sosial itu seringkali di dikotomikan dalam dua
sisi, yaitu apakah penyebab utamanya faktor struktur ataukah
sebaliknya faktor aktor/agen. Sebagai contoh, teori-teori perubahan
sosial yang menggunakan perspektif Marxian, Durkheimian ataupun
350
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
pendekatan struktural fungsional lebih condong mengutamakan faktor
struktur ketimbang aktor sebagai pendorong perubahan. Sebaliknya,
teori-teori perubahan sosial yang menggunakan perspektif Weberian
ataupun pendekatan interaksionisme simbolik, lebih menekankan
pada faktor aktor sebagai pendorong perubahan.
Berbeda dengan perspektif teori-teori modernisme, perspektif
teori late modernity yang digaungkan suaranya oleh Giddens lewat
teori strukturasi maupun perspektif teori constructivist structuralism,
menolak adanya dikotomi atau dualisme seperti disebut di atas.
Menurut Giddens, sebagaimana dikutip oleh George Ritzer (2011: 524)
dalam bukunya Sociological Theory, “structure only exists in and
through the activities of human agents”. Jadi di sini ia menolak
pandangan yang menggambarkan struktur adalah “outside” atau
“external” dari tindakan manusia sebagai aktor. Konsep Giddens
tentang struktur seperti ini terang berbeda dengan konsep struktur
dalam pengertian bahwa struktur itu eksis sebagai suatu realitas
obyektif yang mempengaruhi tindakan individu secara independen
dari pengetahuan dan maksud tujuan individu-individu yang
bersangkutan. Jadi seperti ditulis oleh Ritzer (2008: 522): “…agency
and structure cannot conceived of parts from one another; they are
two sides of the same coin”. Atau dalam bahasa Giddens, keduanya
(struktur dan agensi) adalah dualitas (duality) – lihat sekali lagi Bab 2.
Sejalan dengan Giddens, Pierre Bourdieu, juga menolak
pandangan dikotomi antara agensi dan struktur dalam proses
perubahan sosial. Dasar penolakan Bourdieu, dijiwai oleh keinginan
untuk
mengatasi
kesalahan
dalam
ilmu
sosial
karena
mempertentangkan
subyektivisme
dan
obyektivisme,
yang
menurutnya dikatakan sebagai “oposisi absurd antara individu
(individual) dan masyarakat (society)”. Kata Bourdieu (1990: 25): “of
all the oppositions that artificially divide social science, the most
fundamental, and the most ruinous, is that one that is set up between
subyectivism and obyectivism”.
Lantas gejala perubahan seperti apa yang tergambar di Tabola?
Dari hasil penelitian – sebagaimana diungkapkan dalam bagian
351
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
sebelumnya – terlihat bahwa baik faktor struktur maupun agensi,
keduanya, secara berkesinambungan telah menjadi faktor pendorong
dari proses perubahan sosial di Desa Pakraman Tabola. Faktor struktur
sebagai pendorong perubahan, bisa digambarkan, misalnya, dari
adanya berbagai ketentuan supra-desa yang dampaknya secara
langsung mendorong perubahan sosial di desa. Contoh yang paling
jelas adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 5, Perda Provinsi Bali
No. 3 Tahun 2001, telah mendorong proses perubahan di desa, yaitu
antara lain: Pertama, desa Pakraman di Bali, termasuk Desa Tabola,
terdorong untuk melakukan penyuratan awig-awig desa, yang dalam
konteks desa boleh dikatakan merupakan semacam “konstitusi” baru
desa atau suatu konsensus baru bagi masyarakat desa tentang
bagaimana menjalankan kehidupan sosial di Desa Pakraman di Bali.
Hadirnya kontitusi baru ini tentu saja mengubah sebagian dari cara
masyarakat desa pakraman (krama desa) dalam menjalankan
kehidupan sosialnya. Bab 5 menggambarkan dengan jelas bagaimana
berbagai aspek kehidupan sosial krama Desa Pakraman Tabola
mengalami perubahan terkait dengan adanya awig-awig baru desa.
Kedua, munculnya institusi baru yang merupakan institusi
“supra desa adat/pakraman”, yang sebelumnya tidak dikenal. Institusi
baru ini dihadirkan baik pada tingkat Provinsi dengan nama Majelis
Desa Pakraman (MDP) Agung, tingkat Kabupaten dengan nama
Majelis Desa Pakraman (MDP) Madya, dan tingkat Kecamatan dengan
nama Majelis Desa Pakraman (MDP) Alit. Dengan munculnya institusi
baru tersebut maka desa pakraman di Bali, termasuk di Tabola,
langsung maupun tidak langsung terhubung dengan jalinan struktur
birokrasi pemerintahan, mulai dari tingkat Provinsi hingga
Kecamatan. Meskipun dalam konteks ini, desa pakraman tetap
merupakan institusi desa (adat) yang otonom.
Ketiga, perubahan penyebutan nama desa dari desa adat
menjadi desa pakraman, sebagaimana diatur dalam Perda Provinsi Bali
No. 3 Tahun 2001, sedikit banyak telah mengubah sebagian
352
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
bayangan/imajinasi tentang desa adat dari yang pernah dibayangkan
sebelumnya. Sebagaimana di kupas pada Bab 5 dan 6, perubahan nama
ini tidak saja memiliki arti perubahan penyebutan nama dari adat
menjadi pakraman, tetapi didalamnya mengandung keingingan untuk
mengkonstruksi kembali bayangan desa sebagaimana gagasan asalnya
yaitu desa yang menyandarkan nilai-nilai sosialnya pada ajaran Hindu
Bali.
Dalam Bab 3 dan 4, misalnya, digambarkan bagaimana Mpu
Kuturan pada abad 9 meletakkan dasar nilai-nila
PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
Pendahuluan
Dalam uraian di bagian-bagian tulisan sebelumnya, telah
dibahas beberapa topik tulisan, mulai dari berbagai perspektif teori
tentang perubahan sosial (Bab 2) hingga pembahasan mengenai
berbagai gejala dan proses perubahan sosial terkait perdesaan di Bali
pada umumnya, dan terutama perdesaan di Tabola atau Sidemen pada
khususnya (Bab 3 sampai Bab 7). Perubahan sosial di perdesaan Bali
pada umumnya, dibahas berdasarkan kerangka perspektif sejarah
sosiologis (Bab 3 dan 4), sedangkan perubahan sosial di Tabola atau
Sidemen pada khususnya dibahas dengan menguraikan hasil penelitian
lapangan (Bab 4 – 7).
Pada Bab 2, yang membahas berbagai perspektif teori tentang
perubahan sosial, telah dikupas, antara lain, berbagai sudut pandang
pengertian tentang perubahan sosial. Salah satunya, misalnya, batasan
pengertian tentang perubahan sosial. Terkait pengertian tentang
perubahan sosial ini, dikemukakan pula konsep tentang struktur sosial
dan juga wujud-wujud kongkrit dari perubahan sosial itu sendiri. Dari
hasil penelitian lapangan, sebagaimana dikupas dalam Bab 5 - 7,
berbagai gejala perubahan sosial yang terjadi itu memang
menampakkan diri sejalan dengan batasan perubahan yang telah
dikemukakan dalam Bab 2 tersebut.
Namun yang lebih penting dan akan dibahas dalam bagian
tulisan ini adalah bahwa dibalik munculnya gejala perubahan sosial di
Desa Tabola, sebagaimana terlihat dari hasil penelitian lapangan dan
telah dibahas pada Bab 4 - 7, ternyata sifat atau karakternya tidak
selalu sejalan dengan masing-masing perspektif teori yang telah
dikemukakan sebelumnya itu. Dalam hal ini, salah satu hal menyolok
yang mungkin perlu diperhatikan adalah munculnya gejala perubahan
yang bersifat dualitas. Tetapi apa yang dimaksud dengan sifat dualitas
itu, dan bagaimana wujud dari gejala perubahan dualitas itu? Uraian
selanjutnya pada bagian ini akan mengupas tentang hal itu.
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Namun sebelum mengupas pengertian tentang konsep dualitas,
perlu disinggung sedikit pengertian tentang konsep dualisme sebagai
sisi yang lain dari konsep dualitas. Dualisme adalah suatu cara pandang
terhadap realitas dunia (world view) yang diyakini memiliki katagori
ganda yang saling berlawanan/bertentangan satu sama lain (oposisi
biner) dan yang memiliki sifat hirarkhis. Hirarkhis di sini
dimaksudkan bahwa keberadaan unsur-unsur yang saling berlawanan
atau bertentangan itu (oposisi biner) di dalamnya terkandung pilihan
bertingkat (hirarkhis) yang mengandung nilai-nilai tertentu (misalnya,
nilai-nilai baik dan nilai-nilai buruk).
Al-Fayyadl (2005: 16), dengan mengutip Derida,
mengemukakan bahwa pandangan dualisme ini berakar dari tradisi
filsafat Barat yang diistilahkan sebagai “logosentrisme” atau “metafisika
kehadiran”.
Logosentrisme
adalah
sistem
metafisik
yang
mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental yang terjadi
di dunia fenomenal. Kebenaran transendental itulah yang
dimaksudkan dengan “kehadiran” dalam istilah “metafisika
kehadiran”. Dari adanya anggapan adanya kebenaran transendental
ini, maka timbullah struktur hirarkhis dalam setiap katagori ganda.
Konsep dualitas pada dasarnya menolak realitas yang
berdasarkan katagori ganda yang saling bertentangan (oposisi biner)
dan berstruktur hirarkhis itu. Jadi keberadaan katagori ganda
(dualitas), dalam dirinya tidak mesti bertentangan (dikotomi) dan
berstruktur hirarkhis. Salah satu pemikir terkenal yang menolak
realitas dikotomi atau oposisi biner ini adalah Derida. Penolakan ini,
menurut Derida sebagaimana dikutib oleh Al-Fayyadl (2005: 24-27),
berdasarkan pandangan bahwa di zaman postmodern ini tidak bisa lagi
berbicara atas nama filsafat sebagai sebuah sistem berfikir yang tunggal
dan satu-satunya yang paling benar. Pertanyaannya, lalu apa yang
terjadi bila semua dikotomi atau oposisi biner ditolak? Yang terjadi
adalah terbukanya peluang bagi subyek-subyek yang selama ini
ditiadakan secara sistematis oleh filsafat/metafisika Barat untuk tampil
kepermukaan. Dengan begitu maka perbedaan yang sudah merupakan
suatu kodrat lantas tidak selalu mengisyaratkan hirarkhi (misalnya,
warna hitam lebih unggul dari warna putih) atau oposisi (hitam
330
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
meniadakan putih); dan dalam konteks perbedaan ini selalu terbuka
katagori ketiga yang memungkinkan kedua katagori (misalnya hitam
dan putih) tersebut tetap ada seperti sediakala. 1 Berikut gambaran
terkait konsep dualisme dan dualitas.
Gambar 23: Konsep Oposisi Biner Dualisme
DUALISME
Baik
Buruk
Baru
Lama
Putih
Hitam
Modern
Tradisi
Struktur
Agen
LOGOSENTRISME
Gambar di atas menunjukkan bahwa dalam konsep dualisme terdapat
apa yang disebut realitas ganda yang membentuk posisi berlawanan
(oposisi biner) dan yang memiliki sifat hirarkhis di antara keduanya.
Sifat hirarkhis itu didasarkan pada logosentrisme yang mengandaikan
hadirnya “kebenaran transendental” atau kebenaran tunggal.
1 Lihat: Anonim. Logosentrisme.
http://www. blog.sunan-ampel.ac.id/gussableng/files/2010/10/logosentrisme
331
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 24: Konsep Dualitas dari Rwabhineda
DUALITAS/RWABHINEDA
Baik --------------------Buruk
Baru---------------------Lama
Putih--------------------Hitam
Modern------------Tradisi
Struktur-----------------Agen
DIFFERANS
Keterangan Gambar:
: Menunjukkan hubungan oposisi biner yang bersifat hirarkhis
---- : Menunjukkan adanya suatu relasi kontinyu yang membuka ruang kemungkinan
terbentuknya keharmonisan hubungan.
Gambar di atas menunjukkan bahwa konsep dualitas menolak
realitas ganda yang bertentangan (oposisi biner) dan bersiat hirarkhis
(logosentrisme), dan sebaliknya melihat relasi realitas ganda (plural)
sebagai suatu ruang keterbukaan (anti-esensialisme/differance) yang
memungkinkan munculnya bentuk-bentuk baru dari relasi di antara
keduanya, termasuk munculnya harmoni. Sebagai catatan, kata
differance atau diferans, menurut Derida, sebagaimana dikutip oleh
Al-Fayyadl (2005: 87-88), tidak merujuk pada konsep, tetapi hanyalah
strategi permainan yang tidak terencana dengan tujuan mengusik
stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk
melalui oposisi atau hirarkhi yang dibangun oleh teks (logosentrisme).
332
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
Kembali kepada persoalan adanya sifat dualitas dalam
perubahan sosial di Tabola. Seiring dengan hal itu, masyarakat desa di
Bali ternyata memang memiliki cara berfikir tertentu dalam melihat
dunia sekitarnya (world view) yang sejalan dengan pengertian
dualitas. Cara berfikir dualitas itu tertuang dalam suatu konsep yang di
Bali dikenal luas sebagai Rwabhineda. Apa yang dimaksud dengan
konsep Rwabhineda? Bagaimana asal usulnya kemunculannya? Pada
bagian selanjutnya dari tulisan ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan dibahas. Termasuk dalam hal ini disinggung kaitan antara cara
berfikir Rwabhineda dengan cara bertindak atau respon orang Bali
pada umumnya dan orang desa Tabola/Sidemen (sebagai individu atau
kolektif) terhadap suatu proses perubahan sosial yang terjadi dalam
lingkungan sosialnya.
• Perubahan Struktur Obyektif dan Subyektif
Yang pertama perlu digarisbawahi adalah bahwa kalau kita
lihat dari pengertian struktur sosial dalam kaitannya dengan definisi
perubahan sosial sebagai perubahan dalam struktur sosial, sebagaimana
dikemukakan dalam Bab 2, maka maksudnya lebih banyak mengacu
pada pengertian fakta sosial Durkheimian. Menurut Durkheim,
sebagaimana dikutip oleh Ritzer (2011: 77): “Briefly, social fact are the
social structures and cultural norms and values that are external to and
coercive of actors”. Struktur sosial dalam lingkup pengertian seperti ini
bisa dikatagorikan sebagai struktur sosial obyektif. Ini sebagai sisi
berbeda dari apa yang disebut sebagai struktur sosial subyektif, sebagai
mana akan dijelaskan kemudian.
Berikut gambaran dari berbagai perubahan sosial yang terjadi
di Tabola dalam dimensi struktur sosial obyektif, yang gejalanya
dijelaskan dengan meminjam konsep tipologi perubahan sosial
menurut Harper (1989). Berdasarkan tipologi ini maka pertama,
perubahan sosial terjadi bila susunan personal dalam struktur sosial
berubah. Dalam konteks Tabola saat ini, yang disebut sebagai Krama
Desa Tabola, pengertian dan cakupannya sudah mengalami perubahan
333
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dibandingkan pada masa lalu, paling tidak sebelum munculnya AwigAwig Desa Pakraman Tabola. Pada masa lalu (sebelum reformasi dan
belum ada awig-awig tertulis) yang termasuk dalam katagori krama
desa cakupannya lebih sempit, yaitu mereka penduduk desa, suami
istri beragama Hindu, yang tinggal (turun temurun) dan menjadi
anggota banjar pepatusan serta pemaksan Pura Kahyangan Desa
Tabola. Mereka inilah yang dikenal dengan istilah krama pengarep.
Selain itu ada tambahan krama desa di luar katagori tersebut di
atas, yaitu mereka warga masyarakat suami istri beragama Islam yang
telah turun temurun tinggal di Tabola. Dalam konteks desa
adat/pakraman, mereka ini di sebut sebagai krama tamiu (krama
pendatang). Yang perlu dicatat tentang keberadaannya di Tabola
adalah bahwa mereka ini berada di Tabola karena konteks sejarah,
yaitu ketika Kerajaan Karangasem berperang melawan Kerajaan
Lombok. Saat peperangan yang mulai terjadi tahun 1838 itu, sebagian
pasukan Kerajaan Sidemen yang berlokasi di Desa Tabola (sekarang)
ikut berangkat perang membantu Kerajaan Karangasem. Sekembalinya
ke Sidemen seusai perang, pasukan Kerajaan Sidemen membawa serta
orang-orang Lombok yang beragama Islam, yang kemudian mereka
tinggal dan beranak-pinak di Tabola sampai sekarang. Jadi dua katagori
itulah yang disebut sebagai Krama Desa Tabola, dan dua katagori
itulah yang juga menjadi elemen inti dari susunan personal struktur
sosial masyarakat desa Tabola pada masa lalu.
Lalu yang berkembang kemudian, khususnya setelah
terbentuknya Awig-Awig Desa Pakraman Tabola, adalah terjadinya
semacam “perluasan” dari apa yang tercakup dalam pengertian krama
desa. Kalau semula hanya dua katagori maka menurut ketentuan baru
sebagaimana terumuskan dalam Awig-Awig Desa Pakraman yang
termasuk krama desa sekarang katagorinya bertambah menjadi lima
katagori. Lima katagori itu adalah (1) krama ngarep/pengarep, (2)
krama tamiu, (3) krama sasabu, (4) krama di luar desa, dan (5) krama
desa sasabu. Sebagai catatan, pengertian dari masing-masing katagori
krama desa tersebut telah diuraikan dalam Bab 5.
Perluasan pengertian tentang krama desa ini pada akhirnya akan
334
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
mempengaruhi pembentukan susunan struktur organisasi Desa
Pakaraman Tabola yang baru. Ini khususnya pengurus baru paska
pelengseran pengurus desa lama akibat konflik sumberdaya air di
Tabola. Sebagaimana dibahas dalam Bab 7, susunan pengurus baru
organisasi desa paska konflik sumberdaya air (periode kepengurusan
2009-2014), mengakomodasi antara lain perwakilan dari berbagai
golongan masyarakat yang ada di Tabola. Salah satunya adalah
perwakilan dari krama di luar desa, krama sasabu dan krama desa
sasabu. Adanya pengakuan bagi keberadaan krama desa yang tinggal di
luar desa, telah mendorong berkembangnya organisasi kekerabatan
berdasarkan kesamaan asal usul desa di luar Desa Tabola. Tercatat,
misalnya, organisasi kekerabatan menghimpun warga desa asal Desa
Pakraman Tabola yang tinggal di Denpasar dan Badung. Organisasi ini
menjaga komunikasi dan hubungan yang erat dengan organisasi Desa
Pakraman Tabola, dan bahkan sebagaimana disinggung di atas,
keberadaannya diakomodasi dalam susunan kepengurusan organisasi
desa pakraman.
Kedua, perubahan struktur sosial terjadi bila ada perubahan
dalam pola relasi (internal) suatu struktur sosial, termasuk perubahan
struktur kekuasan (internal), otoritas dan komunikasinya. Gambaran
paling jelas dari perubahan tipe ini bisa dilihat dari proses yang
menyertai perubahan kepemimpinan di Tabola, khususnya dalam
periode waktu setelah awig-awig dipasopati di pura desa, dan secara
resmi menjadi acuan bagi pelaksanaan nilai-nilai dan norma-norma
adat. Munculnya awig-awig desa yang baru itu harus dilihat juga
sebagai titik awal dari semakin menguatnya otonomi (asli) desa dan
suatu pola relasi internal dalam struktur sosial masyarakat desa yang
lebih terbuka. Hal demikian dimungkinkan karena keberadaan isi dari
awig-awig (substansi pasal-pasalnya) mendorong menguatnya iklim
keterbukaan dalam kehidupan desa adat/pakraman. Keadaan inilah
yang pada gilirannya menggulirkan proses perubahan sosial dalam
bentuk perubahan kepemimpinan dan struktur organisasi desa
pakraman, sebagaimana digambarkan dalam Bab 7.
Ketiga, perubahan sosial terjadi bila ada perubahan fungsifungsi dalam struktur sosial. Untuk tipe perubahan ketiga ini,
335
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
misalnya, paling jelas bisa digambarkan dari adanya perubahan
beberapa fungsi dari elemen dalam struktur organisasi desa pakraman.
Sebagaimana dikupas dalam tulisan Bab 6 tentang kelembagaan desa,
sejak tahun 2003, muncul struktur baru dalam kelembagaan organisasi
desa pakraman sebagai hasil dari pelaksanaan ketentuan baru
sebagaimana dirumuskan dalam awig-awig desa. Dalam struktur baru
itu terdapat elemen baru yang kedudukannya sangat menentukan
dalam keseluruhan struktur organisasi desa, yaitu adanya “pingajeng
desa”.
Dengan adanya “pingajeng desa” ini, maka fungsi bendesa atau
klian desa tidak lagi menjadi unsur tertinggi dalam dalam hirarki
pemerintahan desa pakraman sebagaimana sebelumnya. Tetapi
hirarkhi tertinggi berada ditangan “pingajeng desa” itu. Kelak
kemudian, ketika muncul kepemimpinan yang lebih baru lagi pada
awal tahun 2009, elemen baru yang bernama “pingajeng desa” ini
dihapuskan dari susunan struktur organisasi desa karena dianggap
hanya merepresentasikan kepentingan satu kelompok, khususnya
kelompok kasta tinggi di Desa Tabola (bangsawan tinggi puri dan
kaum brahmana tinggi) dan dinilai oleh pengurus yang baru tidak
mencermin nilai demokrasi, dan sebaliknya ada unsur untuk
mengembalikan lagi sistem feodalisme lama.
Di sini kembali bendesa atau klian desa dalam struktur
organisasi desa menjadi elemen organisasi yang memiliki wewenang
kekuasaan tertinggi (lihat Bab 7). Sebagai pengganti dari elemen
“pingajeng desa” yang telah dihapuskan maka dalam struktur
organisasi desa ditambahkan elemen baru yang disebut “pengrajeg”,
yang fungsinya kurang lebih sama seperti penasehat. Jadi karena
fungsinya lebih sebagai penasehat, maka kedudukan “pengrajeg” dalam
struktur organisasi desa tidak lebih tinggi dari bendesa atau klian desa,
sebagaimana kedudukan “pingajeng desa” sebelumnya. Sesuai dengan
susunan struktur organisasi desa yang ada, kedudukannya sejajar
dengan bendesa atau klian desa. Elemen “pengrajeg” ini sebenarnya
bukan hal baru, karena sebelumnya sudah pernah dikenal (sebelum
dikenalkan konsep “pingajeng”), dan konsep “pingrajeg” umumnya
lebih banyak dikenal di desa-desa pakraman lain di luar Tabola.
336
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
Perubahan fungsi lainnya terkait dengan perubahan struktur
di Tabola adalah masuknya elemen-elemen yang dianggap mewakili
aspirasi atau kepentinggan berbagai kelompok masyarakat yang ada di
Tabola. Elemen-elemen ini dikenal dengan konsep “petajuh”, yang
untuk konteks desa pakraman terdiri antara lain dari elemen-elemen
yang mewakili aspirasi kelompok kahyangan, palemahan, dan
pawongan, dan terakhir adalah pengurus yang mewakili apa yang
disebut sebagai kelompok desa sesabu dan dura desa. Tentang
pengertian dari masing-masing kelompok ini, bisa dilihat kembali pada
Bab 6.
Keempat, perubahan terjadi bila ada perubahan pola hubungan
di antara struktur-struktur sosial yang berbeda. Gambaran paling nyata
dari fenomena perubahan tipe seperti ini di Tabola bisa dilihat dari
perubahan pola hubungan antara desa adat/pakraman dengan desa
dinas, terutama sejak diberlakukan UU No. 22 tahun 1999 dan juga
Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Sebagaimana dijelaskan pada Bab 6, perubahan itu konsekuensi dari
perubahan kedudukan desa adat/desa pakraman dan desa dinas, yang
sejak era reformasi kedudukan desa adat/pakraman semakin kuat
(terhadap desa dinas), dan yang praktiknya tidak lagi menjadi seperti
sub-ordinasi desa dinas.
Dengan adanya perubahan itu, maka posisi desa
adat/pakraman, paling tidak menjadi lebih “seimbang/setara” dalam
hubungannya dengan desa dinas. Dengan demikian, masing-masing
memiliki cakupan wewenang dan kekuasaan sendiri-sendiri, yaitu
desa dinas lebih banyak mengurusi masalah-masalah yang berkaitan
dengan pemerintahan, seperti misalnya pengurusan KTP dan suratsurat lainya yang berhubungan dengan pelayanan administrasi
pemerintahan kepada warga desa, pelaksanaan program Pemerintahan
Daerah, dan lain sebagainya. Sementara desa adat/pakraman lebih
banyak mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan adat
(dan budaya) serta agama. Dengan bahasa yang lebih ringkas, desa
dinas mengurusi masyarakat desa sebagai anggota dari warga (negara)
desa, sedangkan desa adat/pakraman mengurusi masyarakat desa
sebagai anggota dari krama desa. Ini menjadi sangat berbeda bila
337
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dibandingkan dengan situasi masa lalu, di mana desa dinas boleh
dikatakan hampir mendominasi urusan-urusan desa, termasuk urusan
desa adat/pakraman.
Kelima, perubahan sosial terjadi bila muncul struktur baru
dari struktur sosial lama yang sudah ada selama ini. Gambaran ini bisa
dilihat dari munculnya struktur-struktur baru, seperti Majelis Desa
Pakraman/MDP (dari tingkat alit, madya sampai utama) sebagai
‘supra-struktur’ baru bagi desa adat/pakraman. Selain itu juga
munculnya kelembagaan-kelembagaan baru seperti “pingajeng”,
“pengrajeg”, dan berbagai macam lembaga baru yang dirumuskan
dalam awig-awig Desa Tabola. Dalam hal ini juga perlu digarisbawahi
bahwa awig-awig tertulis (hasil penyuratan awig-awig lama) Desa
Pakraman Tabola sesungguhnya juga adalah suatu bentuk
kelembagaan (nilai-nilai dan norma-norma) yang baru muncul di
Tabola menyusul bergulirnya jaman reformasi. Jadi di sini, awig-awig
selain adalah produk dari perubahan sosial, dalam dirinya juga menjadi
sumber dari perubahan sosial. Itulah, antara lain, contoh-contoh dari
pada apa yang disebut sebagai perubahan struktur sosial obyektif.
Di samping perubahan struktur sosial obyektif seperti
diuraikan di atas, hasil penelitian ini juga menunjukkan terjadinya
gejala perubahan struktur sosial dalam dimensi subyektif (struktur
subyektif). Yang dimaksudkan dengan struktur subyektif di sini,
mengacu pada pemikiran Bourdieu, lebih pada pengertian struktur
kognitif yang ada dalam kesadaran individu maupun kolektif. Struktur
subyektif dalam bentuk struktur (kesadaran) kognitif inilah yang
mendasari konsep Bourdieu tentang Habitus.
Di sini contoh yang paling kentara dari terjadinya perubahan
dalam stukrur sosial subyektif adalah munculnya gagasan-gagasan atau
ide-ide baru yang mendorong diterimanya nilai-nilai (dan normanorma) baru di masyarakat. Dengan diterimanya nilai-nilai (dan
norma-norma) baru itu, maka terjadi perubahan dalam kesadaran
dalam masyarakat, baik sebagai individu maupun kolektif. Tentu saja
perlu dicatat di sini, bahwa penerimaan nilai-nilai dan norma-norma
baru itu tidak berlangsung secara serta merta, tetapi melalui suatu
338
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
proses dialog yang membutuhkan waktu, yang hal itu terutama
berlangsung intensif pada waktu dilakukan proses penyuratan awigawig desa. Wujud nyata dari diterimanya nilai-nilai baru itu, sebagian
tertuang dalam rumusan yang ada dalam pasal-pasal di Awig-Awig
Desa Pakraman Tabola.
Proses diterima nya (dan kemudian dipraktikkannya dalam
tindakan sehari-hari) nilai-nilai baru sebagai hasil dari perkembangan
ide-ide baru yang berasal dari kesadaran subyektif (individu atau
kolektif) itu, dalam konsep Bourdieu disebut sebagai proses “dialectic
of the internalization of externality and externalization of internaliy”.
Di sini terlibat suatu proses: (a) penstrukturan struktur sosial obyektif
atau structuring structure, yaitu dalam bentuk penstrukturan oleh
struktur awig-awig baru ke dalam kesadaran kognitif individu ataupun
kolektif yang dampaknya merubah sikap dan perilaku; (2)
penstrukturan oleh struktur sosial subyektif atau structured structure
yaitu dalam bentuk penstrukturan oleh struktur kognitif ke dalam
struktur sosial/realitas sosial masyarakat). Kedua proses penstrukturan
itu secara keseluruhan berlangsung secara berkesinambungan dan
dialektis. Proses penstrukturan yang berlansung secara dialektik ini
menghasilkan apa yang disebut sebagai gejala perubahan sosial.
Di samping apa yang telah disebut itu (terkait awig-awig), juga
muncul dan tumbuh suatu kesadaran baru (yang lebih makro sifatnya)
di masyarakat terkait perkembangan situasi sosial-politik di desa,
khususnya sejak era reformasi. Situasi sosial-politik baru itu dalam
realitasnya bisa diringkas dan dikaitkan dengan proses yang disebut
sebagai demokratisasi. Situasi baru ini pada gilirannya mendorong
secara bertahap terjadinya perubahan pola hubungan antara
masyarakat (warga/krama desa) dengan desa (baik desa dinas dan desa
adat) dan juga, pada gilirannya, antara desa adat dengan desa dinas itu
sendiri sebagai suatu entitas kelembagaan.
Tentang berlangsungnya perubahan dalam kesadaran kognitif
masyarakat, terkait dengan nilai-nilai dalam kehidupan di desa
adat/pakraman, bisa digambarkan dari beberapa kasus, sebagaimana
dibahas dalam Bab 5 tentang Awig-Awig Desa Tebola. Salah satu
339
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
contoh yang dibahas dalam bab itu adalah masalah “cuntaka”, atau
berarti sesuatu keadaan di mana seseorang, pria atau wanita, karena
sesuatu hal dianggap “tidak bersih”, dan karena itu dilarang melakukan
sesuatu tindakan tertentu.
Cuntaka adalah sesuatu persoalan yang terkait langsung
dengan masalah adat dan agama, sehingga sebenarnya memang tidak
gampang mengubah ketentuannya. Apalagi hal seperti itu merupakan
suatu keyakinan yang telah dipraktikkan sejak dahulu kala, dengan
cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh para orang tua dan
leluhur. Tetapi, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan pada
bagian sebelumnya, karena perkembangan tuntutan jaman yang
menghendaki segalanya menjadi lebih praktis, maka ide atau gagasan
untuk mengubah ketentuan mengenai waktu serta persyaratannya bisa
diterima masyarakat melalui suatu musyawarah bersama yang
diwarnai oleh perdebatan pro dan kontra yang cukup sengit. Setelah
disepakati, perubahan itu akhirnya dicantumkan dalam pasal awigawig sebagai suatu ketentuan baru yang harus dipatuhi dan
dipraktikkan.
Di luar masalah “cuntaka” ada beberapa kasus lain yang serupa,
seperti misalnya diadopsinya gagasan tentang “pingajeng” (yang kelak
kemudian mengalami koreksi kritis dari masyarakat untuk kemudian
berubah menjadi “pangrajeg”) dalam awig-awig. Juga diterimanya
gagasan terkait ketentuan praktik pelestarian lingkungan alam di
Tabola dalam awig-awig sebagai perwujudan ajaran Tri Hita Karana
dalam praktik kehidupan sehari-hari di desa. Ini khususnya
menyangkut hubungan antara manusia dengan alam atau disebut
konsep palemahan, di samping dua hubungan lagi, yaitu hubungan
manusia dengan manusia (konsep pawongan) dan hubungan manusia
dengan Tuhan (konsep parhyangan).
Apa yang bisa dicermati dari uraian di atas adalah bahwa
perubahan sosial di Tabola, berlangsung tidak saja dalam dimensi
struktur sosial obyektif, tetapi juga pada saat yang berbarengan terjadi
perubahan dalam struktur sosial subyektif. Dalam konteks Desa
Pakraman Tabola, perubahan struktur obyektif lebih banyak terkait
340
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
dengan perubahan pada aspek kelembagaan masyarakat, apakah
bentuknya organisasi, seperti misalnya, struktur organisasi desa
adat/pakraman atau desa dinas, atau juga dalam bentuk institusi
“peraturan/ketentuan” (nilai-nilai dan norma-norma), seperti misalnya
kelembagaan awig-awig desa.
Sedangkan perubahan struktur subyektif lebih terkait dengan
perubahan pada aspek (kesadaran) kognitif individu dan masyarakat
(secara kolektif). Bentuknya bisa berupa muncul dan berkembangnya
gagasan-gagasan yang mendorong diterimanya ide-ide baru sebagai
suatu realitas baru yang dipraktikkan (misalnya tentang gagasan
demokrasi); atau juga diterimanya ide-ide baru sebagai suatu bentuk
dari nilai atau norma baru yang siap dipraktikkan bersama.
Dalam perspektif teori perubahan sosial, khususnya dalam
pengertian perubahan sosial sebagai suatu perubahan struktur sosial,
maka bisa dikemukakan bahwa perubahan struktur sosial di Tabola itu
ternyata tidak saja menyangkut perubahan struktur sosial dalam
pengertian obyektif (struktur obyektif) tetapi juga sekaligus dalam
pengertian subyetif (kesadaran kognitif). Dalam hal ini kelihatannya
muncul suatu gejala perubahan yang bersifat “dualitas”, yaitu
terjadinya perubahan pada struktur (sosial) obyektif di satu sisi, dan
pada saat yang sama muncul perubahan pada struktur (sosial) subyektif
di sisi lain.
• Faktor Penyebab Eksogen dan Endogen
Sebagaimana di uraikan dalam bagian sebelumnya, bahwa
proses perubahan bisa disebabkan oleh faktor-faktor eksogen maupun
endogen. Faktor eksogen adalah faktor-faktor penyebab perubahan
(struktur sosial) yang sumbernya berasal dari luar struktur sosial
tersebut. Sebaliknya faktor endogen adalah faktor-faktor penyebab
perubahan yang sumbernya berasal dari dalam struktur sosial itu
sendiri. Tidak jarang nama dari faktor eksogen dan endogen ini disebut
dengan nama lain, yaitu faktor eksternal dan internal, tetapi dengan
maksud dan pengertian yang sama (Smelser, 1992).
341
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Kalau dicermati dari hasil penelitian lapangan, faktor-faktor
penyebab terjadinya perubahan sosial di Tabola justru ditimbulkan
oleh dua faktor pengaruh, ekternal dan internal. Kedua faktor ini
muncul sebagai faktor penyebab perubahan secara hampir serentak
dan berkesinambungan. Dalam Bab 4 dan 5, misalnya, digambarkan
bagaimana Pemda Provinsi Bali, menerbitkan Perda No. 3 Tahun 2001
tentang Desa Prakraman, yang pada gilirannya telah mendorong
terjadinya perubahan sosial di desa pakraman di Bali, tidak terkecuali
Desa Pakraman di Tabola. Perubahan sosial itu terwujud dalam
bentuk, antara lain, tersuratnya awig-awig desa pakraman di Tabala
(dari sebelumnya tidak tertulis menjadi tertulis dalam susunan yang
sistematis); organisasi desa pakraman (Tabola) menjadi semakin kuat
kedudukannya, terutama dihubungkan dengan kedudukan desa dinas.
Harus diakui pula bahwa terbitnya Perda Provisi Bali No. 3
Tahun 2001, tidak terlepas dari proses reformasi. Ini khusus terkait
dengan keluarnya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yang substansinya mendorong pelaksanaan proses otonomi
daerah (dan otonomi desa). Dalam konteks ini, dua ketentuan yang
disebutkan di atas, tidak pelak merupakan faktor ekternal yang
mendorong terjadinya perubahan sosial di desa pakraman di Bali,
khususnya Desa Tabola. Sementara itu, gelombang reformasi yang
bergulir kencang sejak tahun 1998, telah mendorong tumbuhnya
kesadaran-kesadaran baru di masyarakat, tidak terkecuali bagi warga
Tabola, khususnya terkait gagasan tentang kebebasan, kemandirian
(otonomi) serta demokrasi. Munculnya kesadaran baru itu
memberikan dorongan inisiatif untuk merumuskan kembali
keberadaaan masyarakat (krama) dan desanya dalam konteks
perkembangan jaman yang baru.
Apa yang dilakukan Pak Cjokorda Gde Dangin mengundang
Megawati Sukarnoputri untuk hadir dalam upacara keluarga Maligya
di Sidemen, misalnya, bisa ditafsirkan sebagai bagian dari munculnya
kesadaran baru itu. Tidak terbayangkan bahwa pak Cokorda akan
mengundang Megawati, yang pada waktu itu Ketua Partai PDIP, bila
keadaan belum berubah, mengingat yang diundang itu adalah sosok
yang dianggap sebagai musuh politik oleh rezim yang berkuasa
342
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
sebelum datangnya jaman reformasi. Juga ide sebagian tokoh Desa
Tabola untuk bersinergi dengan pihak luar dalam rangka meminta
dukungan pendanaan bagi kepentingan penyusunan awig-awig baru,
harus dilihat sebagai bagian dari inisiatif untuk merumuskan kembali
keberadaan desa pakraman di jaman yang baru itu.
Dalam hal ini, datangnya Megawati ke Sidemen/Tabola tentu
saja memperkuat kesadaran yang sudah mulai tumbuh tentang
kebebasan dan demokrasi. Paling tidak hal ini dibuktikan dengan
semakin kuatnya posisi politik PDIP sebagai partai yang menjadi
simbol perlawanan terhadap rezim lama (yang otoriter) di
Tabola/Sidemen. Sedangkan semuanya itu mungkin terjadi karena
adanya inisiatif yang diambil Pak Cokorda Gde Dangin, yang memang
sangat menyadari tentang telah datangnya jaman baru. Terkait faktor
penyebab perubahan sosial, hal ini jelas merupakan faktor penyebab
internal. Begitupula pula tindakan para tokoh desa Tabola, termasuk
Pak Cokorda, ketika berusaha melakukan penyuratan awig-awig desa,
dan juga merespon ketentuan yang ada terkait pengembangan struktur
baru supra-desa pakraman bernama Majelis Desa Pakraman (Alit). Ini
juga merupakan bukti lain dari adanya faktor internal dalam proses
perubahan sosial di Tabola.
Perkembangan selanjutnya, perubahan di Tabola banyak
diwarnai oleh faktor-faktor internal. Misalnya saja munculnya institusi
baru di desa, termasuk bentuk organisasi baru desa paska penyuratan
awig-awig. Begitupula ketika muncul pergolakan kepemimpinan di
Tabola yang pada akhirnya melahirkan suatu bentuk kepemimpinan
dan struktur organisasi baru di Desa Pakraman Tabola. Semuanya itu,
kalau dikaji, sebagaimana diuraikan dalam Bab 4, 6, dan 7, muncul
karena tumbuhnya pikiran-pikiran baru paska reformasi di Desa
Tabola, khususnya yang digulirkan oleh lapisan elit baru di Tabola.
Yang dimaksudkan dengan lapisan elit baru ini adalah lapisan elit yang
tumbuh semakin kuat sejak masa reformasi, yang mereka ini memiliki
berbagai latar belakang, mulai dari mantan guru, pengusaha, mantan
pengurus desa dinas serta aktivis LSM. Umumnya mereka ini,
sebelumnya tidak menjadi bagian dari elit penguasa Desa Pakraman
Tabola.
343
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Kalau ditelusuri, faktor internal dan eksternal sebenarnya juga
menjadi faktor pendorong perubahan pada tingkatan supra-desa,
terutama munculnya Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
Sebagai catatan, Perda ini kemudian menjadi faktor penyebab
eksternal atas terjadinya berbagai perubahan di tingkat desa. Pertama,
bisa dijelaskan bahwa Perda No. 3 Tahun 2001 tersebut bisa muncul
karena adanya proses kebebasan dan demokratisasi terkait reformasi
yang mulai bergulir kuat setelah rezim Orde Baru rontok tahun 1998.
Dalam hubungannya dengan hal ini, lahirnya UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahah Daerah, memberikan momentum yang kuat
bagi daerah untuk (secara bertahap) memperkuat kembali hak-hak
otonominya yang sudah redup, terutama sejak dilaksanakan UU No 5
Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa.
Faktor bergulirnya reformasi, dan terutama dilaksanakan UU
No. 22 Tahun 1999, boleh dikatakan sebagai faktor penyebab
perubahan dari luar (eksternal) yang memberikan pengaruh kuat bagi
lahirnya Perda tentang Desa Pakraman itu. Di sisi lain, memang telah
ada keinginan kuat masyarakat dan dari Pemerintah Daerah Provinsi
Bali sendiri untuk memperkuat kedudukan desa adat atau desa
pakraman. Dasar pemikirannya adalah untuk tetap mempertahankan
dan melestarikan nilai-nilai budaya, adat dan agama (Hindu) di Bali.
Bagi Bali, kebertahanan dan kelestarian menjadi faktor sangat penting
untuk menjaga kelangsungan Bali, khususnya sebagai daerah wisata
(modal ekonomi) sekaligus identitas Bali itu sendiri (modal sosial dan
kultural).
Keinginan yang kuat ini pernah diwujudkan melalui Perda
tentang Desa Adat tahun 1986, tetapi belum mampu memberdayakan
desa adat secara optimal, karena pada masa itu dibayangi oleh
kekuatan UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang
memberikan dasar legal bagi dominasi desa dinas atas desa adat. Baru
Perda No. 3 Tahun 2001 (sebagai revisi atas Perda No. 6 Tahun 1986)
desa adat, yang selanjutnya diganti namanya menjadi desa pakraman,
lebih berhasil diberdayakan kedudukannya. Faktor keinginan yang
344
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
kuat itu, tak pelak merupakan faktor penyebab perubahan dari dalam
(endogen).
Dari uraian di atas, bisa dilihat bahwa dibalik faktor penyebab
perubahan dari dalam (endogen) itu adalah adanya aktor-aktor, baik
sebagai individu maupun kolektif, yang aktif dan berinisiatif dalam
merespon perkembangan situasi. Jadi sesuai dengan pemikiran
Giddens terkait teori strukturasi, aktor-aktor itu merepresentasikan
agen-agen yang aktif dalam relasinya dengan struktur sosial. Terkait
dengan sifat agen-agen yang aktif dan berinisiatif ini, Giddens
(Johnson: 2008) menyatakan: “The production and reproduction of
society thus to be treated as a skilled performance on the part of its
members, not as merely a mechanical series of processes…”. Jadi di
sini, sekali lagi, manusia sebagai individu dan kolektif adalah agen
yang aktif dan rasional, dalam arti, memiliki pengetahuan dan
kemampuan yang bisa digunakan secara terus menerus dalam proses
produksi dan reproduksi dari dunia sosial. Proses produksi dan
reproduksi dunia sosial itu tidak lain adalah proses perubahan sosial.
Sejalan dengan perspektif seperti ini, maka bisa dikatakan pula
bahwa orang Bali, khususnya orang desa di Tabola, baik sebagai
individu maupun kolektif, adalah manusia-manusia yang aktif,
berinisiatif dan rasional. Tentu ini mungkin berbeda kalau
dibandingkan dengan kesan umum bahwa orang-orang Bali umumnya
dinilai pasif dan mengikuti saja kondisi sosial yang dihadapinya,
terutama yang terwujud dalam simbol-simbol adat yang sering
diibaratkan sebagai “struktur sosial” yang kuat dan kokoh itu.
Akhirnya, sekali lagi, di sini faktor eksogen dan endogen berjalan
secara serentak dan berkesinambungan sebagai faktor pendorong
perubahan. Bekerjanya dua faktor perubahan secara sekaligus ini yang
dikategorikan sebagai proses dualitas.
• Arah Perubahan Siklikal dan Linier
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya bahwa
teori perubahan sosial pada umumnya mengenal perspektif pola
perubahan, yaitu pola linier, pola siklikal dan pola dialektik.
345
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Perubahan berpola linier mengacu pada suatu pandangan bahwa
perubahan sosial itu pada dasarnya memiliki ciri kumulatif, dan
bersifat tidak berulang (non-repetitive). Perubahan pola linier ini
biasanya bersifat permanen, dalam arti perubahan tidak pernah
kembali kepada titik semula – berjalan secara evolusi, proses dan
arahnya cenderung berlangsung secara diakronik atau melewati suatu
tahapan awal dan tahapan akhir (tahap maju/lebih lanjut).
Sebaliknya dengan perubahan berpola siklikal. Perubahan
sosial berpola siklikal mengacu pada pandangan bahwa sejarah
perkembangan masyarakat dilihat sebagai suatu proses yang berulang,
bukan garis lurus. Perubahan pola siklikal ini sejalan dengan pepatah
“history does repeat it self”, sejarah selalu berulang. Sedangkan
perubahan sosial berpola dialektik menyandarkan pada asumsi bahwa
perubahan terjadi secara komplek, kumulatif dan berkembang dalam
jangka panjang. Perubahan pola dialektik ini digambarkan berjalan
tidak mulus seperti pola linier atau gradual seperti pola siklikal, tetapi
- seperti yang digambarkan oleh perspektif Marxian - melibatkan
suatu proses pertentangan karena adanya kontradiksi internal dalam
struktur sosial (yang berubah itu).
Mencermati fenomena perubahan sosial yang berlangsung di
Tabola/Sidemen maka bisa dilihat bahwa perubahan yang terjadi tidak
menunjukkan suatu gambaran perubahan yang berpola tunggal, yaitu
apakah linier atau siklikal. Kalau dicermati, kedua pola itu, linier atau
siklikal, muncul dalam proses perubahan sosial di Tabola. Sebagai
gambaran, perubahan berpola linier, misalnya, bisa dilihat dari
fenomena perkembangan organisasi desa dinas yang cenderung
semakin demokratis dan tidak lagi menghegemoni semua urusanurusan desa, terutama urusan yang sebenarnya merupakan wewenang
desa adat/pakraman. Proses ini terjadi seiring dengan berjalanannya
proses demokratisasi yang merasuk semakin dalam ke desa sejak jaman
reformasi (1998).
Salah satu wujud awal dari proses demokratisasi yang merasuk
ke desa ini, antara lain adalah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemeritahan Daerah, yang substansinya mengatur pula
346
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
ketentuan tentang pengelolaan pemerintahan desa. Bila dibandingan
dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa akan
tampak jelas bahwa substansi tentang Pemerintahan Desa dalam UU
No. 22 Tahun 1999 memberikan nuansa kebebasan/demokrasi yang
jauh lebih kuat. Nuansa demokrasi inilah yang akhirnya mengubah
kedudukan dan wewenang desa dinas, sehingga boleh dikatakan
pengaruh kedudukan desa dinas tidak lagi menghegemoni (hampir)
semua urusan masyarakat desa, yang di Bali keberadaannya terbagi
atas dua desa, yaitu desa dinas dan desa adat/pakraman.
Lebih dari itu, bahkan boleh dikatakan hubungan antara desa
(dinas) dan masyarakat menjadi lebih seimbang, karena, salah satunya,
hadirnya lembaga yang mengawasi jalannya pengelolaan
pemerintahan desa, yaitu Dewan Perwakilan/Permusyawatan Desa
(DPD). Anggota DPD berasal dan dipilih dari masyarakat secara
langsung melalui musyawarah desa. Di samping itu, dengan
berjalannya proses demokratisasi dan berkembangnya politik
multipartai hingga ke desa-desa, maka tidak ada kekuatan tunggal
yang mampu menghegemoni semua urusan masyarakat, termasuk juga
kekuatan militer (TNI) yang sekarang lebih menjaga jarak dengan
politik kekuasaan pemerintahan (desa). Yang disebutkan terakhir ini
merupakan faktor penting, yang hal ini jelas berbeda dengan keadaan
di masa sebelum reformasi.
Dalam tingkat tertentu, proses demokratisasi ini tidak saja
mempengaruhi organisasi desa dinas tetapi juga desa adat/pakraman.
Yang paling menyolok adalah proses penyuratan awig-awig, yang
keseluruhan prosesnya diatur agar melibatkan seluas mungkin
partisipasi masyarakat adat. Ditambah bahwa proses penyuratan itu
sendiri merupakan bagian dari upaya untuk memperluas proses
keterbukaan. Ini dalam arti bahwa awig-awig yang tadinya tidak
tertulis diupayakan untuk menjadi tertulis dengan susunan yang lebih
sistematis mengacu pada sistematika hukum positif dan bersifat
terbuka. Yang disebutkan terakhir ini jelas sejalan dengan proses
keterbukaan/demokratisasi.
347
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Ini ditambah lagi dengan penyusunan kepemimpinan
organisasi desa adat yang juga mulai mengadopsi mekanisme
pemilihan langsung secara demokratis, dan tidak lagi mengandalkan
begitu saja pada faktor-faktor tradisional, seperti halnya
kepemimpinan dipilih berdasarkan asal usul dari keturunan tertentu
(geneologi) atau sejenisnya. Pendek kata, pada tingkat tertentu,
pengelolaan desa adat/pakraman di Tabola telah mengadopsi sebagian
dari gagasan demokratisasi yang merasuk ke desa sejak munculnya
jaman reformasi.
Demokratisasi itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari
proses modernisasi, yang secara makro sering disebut sebagai suatu
proses perubahan sosial berpola linier atau evolusionis. Jadi dengan
demikian proses demokratisasi yang merasuk dalam desa, tak pelak
membawa aspek-aspek dari proses perubahan sosial berpola linier.
Aspek-aspek perubahan sosial berpola linier seperti ini fenomenanya
kelihatan terjadi di Tabola/Sidemen.
Sementara itu perubahan sosial berpola siklikal ternyata juga
tergambar dalam proses perubahan sosial yang berlangsung di Tabola.
Gambaran paling nyata bisa dilihat dari munculnya gagasan untuk
mengubah sebutan desa adat menjadi desa pakraman. Memang gagasan
perubahan penyebutan itu awalnya muncul dalam Perda Provinsi Bali
(No. 3 Tahun 2001), walaupun pada akhirnya gagasan tersebut
diterima penuh dan diadopsi oleh desa-desa adat di Bali, termasuk desa
adat Tabola. Kalau ditelusuri, perubahan penyebutan desa adat
menjadi desa pakraman bukan hanya sekedar mengubah nama. Tetapi
lebih jauh lagi, perubahan nama itu mengandung maksud, yaitu salah
satunya untuk “mengembalikan” lagi bayangan ideal desa (adat) di
masa lalu sebagai suatu desa Hindu dengan segala nilai-nilainya yang
dianggap luhur itu.
Dalam konteks perubahan nama desa adat menjadi desa
pakraman ini, tentu tidak berlaku pepatah “apa artinya sebuah nama”.
Perubahan nama dari desa adat menjadi desa pakraman jelas membawa
arti yang dalam, karena perubahan nama itu mengandung makna ingin
mengkonstruksi kembali gagasan tentang desa adat sesuai dengan asal
348
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
usulnya di masa lalu sehingga diharapkan terbangun identitas desa
sebagaimana yang diharapkan. Keinginan itu, misalnya, secara tersirat
bisa dibaca dari isi Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001, khususnya
bagian “menimbang”, yang menyebutkan, antara lain:
“Bahwa desa pakraman di Provinsi Bali yang tumbuh dan
berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad, yang
memiliki otonomi asli mengatur rumah tangganya sendiri, telah
memberikan kontribusi yang sangat berharga terhadap
kelangsungan kehidupan masyarakat dan pembangunan; bahwa
desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang
dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya yang
hidup di Bali sangat besar peranannya dalam bidang agama dan
sosial budaya sehingga perlu diayomi, dilestarikan, dan
diberdayakan…”.
Apa yang bisa dikemukakan di sini adalah bahwa perubahan
nama desa adat menjadi desa pakraman memiliki aspek-aspek siklikal,
seolah-olah perubahan yang terjadi “mengacu” pada keadaan masa lalu
yang dianggap pernah ada. Dengan nama baru, yaitu desa pakraman,
diharapkan bayangan desa adat yang berbasis nilai-nilai agama Hindu,
bisa terwujud kembali, paling tidak sebagian dari aspek-aspeknya.
Inilah yang dikatakan sebagai suatu bentuk perubahan sosial yang
mengandung aspek-aspek siklikal karena memang ada semacam
semangat untuk mengembalikan masa lalu yang dinilai baik untuk
diwujudkan pada masa sekarang dan masa depan.
Sejalan dengan hal itu, tidak mengherankan kalau dalam
proses penyuratan awig-awig mencuat gagasan lain untuk
memunculkan kembali suatu bentuk institusi baru dalam susunan
kepengurusan desa pakraman yang mengacu pada keadaan yang
pernah ada dimasa lalu, yaitu “pingajeng desa”. Upaya (yang berhasil)
untuk memunculkan kembali institusi “pingajeng desa” ini tak pelak
merupakan bagian dari fenomena perubahan yang berpola siklikal.
Yang juga perlu dicermati di sini adalah bahwa persoalannya bukan
hanya memunculkan nama dan institusi baru yang disebut “pingajeng
desa”, tetapi lebih dari itu adalah suatu upaya (sadar atau tidak sadar),
untuk mengembalikan lagi kedudukan para elit desa dari golongan
(kasta) tinggi (khususnya golongan bangsawan dan brahmana) dalam
349
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
struktur kepemimpinan pemerintahan desa adat. Tentu semuanya atas
dasar pikiran “mempertahankan dan melestarikan” keberadaan desa
adat atau pakraman yang sudah ada di Bali sejak jaman dahulu.
Dua bentuk perubahan yang diuraikan di atas, memang terjadi
di Tabola, yang hal itu menggambarkan bahwa perubahan berpola
linier maupun siklikal betul-betul berlangsung, apakah hal itu terjadi
secara serentak dan tumpang tindih maupun berkesinambungan atau
silih berganti. Bahkan soal munculnya fenomena “pingajeng desa”,
yang dalam hal ini digambarkan sebagai suatu bentuk perubahan
berpola siklikal, kelak kemudian dihapuskan dan diganti oleh institusi
lain yang bernama “pangrajeg”. Meskipun istilah “pangrajeg” berasal
dari pengertian masa lalu, yaitu semacam dewan penasehat yang
berwenang memberikan nasehat-nasehat atas jalannya pemerintahan
desa pakraman, tetapi maknanya dikonstruksi dan dipakai dalam
pengertian baru yang lebih demokratis. Hal ini khususnya dalam
konteks untuk mengganti istilah “pingajeng” yang dianggap tidak
demokratis. Mengapa demikian? Ini karena kata “pingajeng” memiliki
makna “mengatasi” kekuasaan kepemimpinan desa pakraman,
sehingga seolah-olah bendesa bukan lagi pimpinan tertinggi desa.
Mungkin ciri perubahan ini lebih mirip dengan pengertian perubahan
berpola dialektis. Jadi bisa disimpulkan di sini bahwa perubahan di
Tabola lebih mencirikan suatu perubahan yang tidak berpola tertentu,
yaitu antara linier atau siklikal, tetapi keduanya ada secara bersamaan.
Dua pola perubahan yang terjadi secara bersama-sama ini yang
dikatakan sebagai perubahan sosial berpola dualitas.
• Faktor Pendorong Struktur dan Agensi
Dalam perspektif teori-teori modernisme, perubahan sosial
seringkali dipandang secara dikotomis, dualisme. Dalam konteks
proses perubahan sosial, misalnya, maka yang menjadi faktor utama
penyebab perubahan sosial itu seringkali di dikotomikan dalam dua
sisi, yaitu apakah penyebab utamanya faktor struktur ataukah
sebaliknya faktor aktor/agen. Sebagai contoh, teori-teori perubahan
sosial yang menggunakan perspektif Marxian, Durkheimian ataupun
350
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
pendekatan struktural fungsional lebih condong mengutamakan faktor
struktur ketimbang aktor sebagai pendorong perubahan. Sebaliknya,
teori-teori perubahan sosial yang menggunakan perspektif Weberian
ataupun pendekatan interaksionisme simbolik, lebih menekankan
pada faktor aktor sebagai pendorong perubahan.
Berbeda dengan perspektif teori-teori modernisme, perspektif
teori late modernity yang digaungkan suaranya oleh Giddens lewat
teori strukturasi maupun perspektif teori constructivist structuralism,
menolak adanya dikotomi atau dualisme seperti disebut di atas.
Menurut Giddens, sebagaimana dikutip oleh George Ritzer (2011: 524)
dalam bukunya Sociological Theory, “structure only exists in and
through the activities of human agents”. Jadi di sini ia menolak
pandangan yang menggambarkan struktur adalah “outside” atau
“external” dari tindakan manusia sebagai aktor. Konsep Giddens
tentang struktur seperti ini terang berbeda dengan konsep struktur
dalam pengertian bahwa struktur itu eksis sebagai suatu realitas
obyektif yang mempengaruhi tindakan individu secara independen
dari pengetahuan dan maksud tujuan individu-individu yang
bersangkutan. Jadi seperti ditulis oleh Ritzer (2008: 522): “…agency
and structure cannot conceived of parts from one another; they are
two sides of the same coin”. Atau dalam bahasa Giddens, keduanya
(struktur dan agensi) adalah dualitas (duality) – lihat sekali lagi Bab 2.
Sejalan dengan Giddens, Pierre Bourdieu, juga menolak
pandangan dikotomi antara agensi dan struktur dalam proses
perubahan sosial. Dasar penolakan Bourdieu, dijiwai oleh keinginan
untuk
mengatasi
kesalahan
dalam
ilmu
sosial
karena
mempertentangkan
subyektivisme
dan
obyektivisme,
yang
menurutnya dikatakan sebagai “oposisi absurd antara individu
(individual) dan masyarakat (society)”. Kata Bourdieu (1990: 25): “of
all the oppositions that artificially divide social science, the most
fundamental, and the most ruinous, is that one that is set up between
subyectivism and obyectivism”.
Lantas gejala perubahan seperti apa yang tergambar di Tabola?
Dari hasil penelitian – sebagaimana diungkapkan dalam bagian
351
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
sebelumnya – terlihat bahwa baik faktor struktur maupun agensi,
keduanya, secara berkesinambungan telah menjadi faktor pendorong
dari proses perubahan sosial di Desa Pakraman Tabola. Faktor struktur
sebagai pendorong perubahan, bisa digambarkan, misalnya, dari
adanya berbagai ketentuan supra-desa yang dampaknya secara
langsung mendorong perubahan sosial di desa. Contoh yang paling
jelas adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab 5, Perda Provinsi Bali
No. 3 Tahun 2001, telah mendorong proses perubahan di desa, yaitu
antara lain: Pertama, desa Pakraman di Bali, termasuk Desa Tabola,
terdorong untuk melakukan penyuratan awig-awig desa, yang dalam
konteks desa boleh dikatakan merupakan semacam “konstitusi” baru
desa atau suatu konsensus baru bagi masyarakat desa tentang
bagaimana menjalankan kehidupan sosial di Desa Pakraman di Bali.
Hadirnya kontitusi baru ini tentu saja mengubah sebagian dari cara
masyarakat desa pakraman (krama desa) dalam menjalankan
kehidupan sosialnya. Bab 5 menggambarkan dengan jelas bagaimana
berbagai aspek kehidupan sosial krama Desa Pakraman Tabola
mengalami perubahan terkait dengan adanya awig-awig baru desa.
Kedua, munculnya institusi baru yang merupakan institusi
“supra desa adat/pakraman”, yang sebelumnya tidak dikenal. Institusi
baru ini dihadirkan baik pada tingkat Provinsi dengan nama Majelis
Desa Pakraman (MDP) Agung, tingkat Kabupaten dengan nama
Majelis Desa Pakraman (MDP) Madya, dan tingkat Kecamatan dengan
nama Majelis Desa Pakraman (MDP) Alit. Dengan munculnya institusi
baru tersebut maka desa pakraman di Bali, termasuk di Tabola,
langsung maupun tidak langsung terhubung dengan jalinan struktur
birokrasi pemerintahan, mulai dari tingkat Provinsi hingga
Kecamatan. Meskipun dalam konteks ini, desa pakraman tetap
merupakan institusi desa (adat) yang otonom.
Ketiga, perubahan penyebutan nama desa dari desa adat
menjadi desa pakraman, sebagaimana diatur dalam Perda Provinsi Bali
No. 3 Tahun 2001, sedikit banyak telah mengubah sebagian
352
BAB 8 PERSPEKTIF DUALISME DAN DUALITAS
bayangan/imajinasi tentang desa adat dari yang pernah dibayangkan
sebelumnya. Sebagaimana di kupas pada Bab 5 dan 6, perubahan nama
ini tidak saja memiliki arti perubahan penyebutan nama dari adat
menjadi pakraman, tetapi didalamnya mengandung keingingan untuk
mengkonstruksi kembali bayangan desa sebagaimana gagasan asalnya
yaitu desa yang menyandarkan nilai-nilai sosialnya pada ajaran Hindu
Bali.
Dalam Bab 3 dan 4, misalnya, digambarkan bagaimana Mpu
Kuturan pada abad 9 meletakkan dasar nilai-nila