Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB VII

BAB 7
PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

Kepemimpinan Desa Tabola
• Pemimpin Lama dan Baru
Siang itu, Minggu, 26 Oktober 2008, ratusan krama desa dari 12
banjar adat yang ada di Desa Pakraman Tabola, berkumpul bersama di
Pura Puseh Tabola. Tidak seperti biasanya, ratusan krama desa ini
ternyata tidak sedang melakukan upacara adat atau agama di Pura
Puseh Tabola, melainkan mereka sedang menghaturkan sembah
memohon petunjuk pada Sang Hyang Widi Wasa, atas apa yang telah
dan akan mereka lakukan bersama.
Selepas menghaturkan sembah kehadapan Sang Hyang Widi
Wasa, ratusan krama desa yang berpakaian adat Bali sebagaimana
layaknya bila mereka melakukan upacara di pura puseh, bergegas
keluar pura menuju wantilan pura, yang persis berada di depan pura,
hanya dibatasi oleh jalan desa beraspal. Wantilan adalah bangunan
semacam balai pertemuan untuk krama (warga) desa ataupun
pemaksan (umat) pura. Mereka berkumpul di wantilan pura itu untuk
menyatakan atau menyuarakan sesuatu maksud atau aspirasi.
Maksud mereka tak lain adalah menyampaikan protes atas

kebijakan PDAM setempat yang menaikkan tarif harga jual air minum
lebih dari 100% sejak beberapa waktu terakhir. Pada umumnya, para
krama desa itu menganggap bahwa besaran kenaikan tarif itu terlalu
tinggi dan sudah di luar jangkauan. Kumpulan ratusan warga itu
melakukan aksi unjuk rasa secara tertib dan damai. Aksi ini sebenarnya
merupakan akumulasi dari berbagai keluhan yang tidak mendapatkan
tanggapan memadai, baik dari pihak PDAM maupun pengurus desa.
Atas dasar itu, beberapa tokoh masyarakat, termasuk
beberapa klian banjar adat yang ada di Desa Tabola, dengan bantuan
seorang pengacara asal Tabola yang berdomisili di Denpasar, Bali,
membentuk suatu lembaga semacam LSM yang dinamakan Forum
Peduli Desa Pakraman Tabola (FPDPT) tersebut. “Lewat FPDPT ini

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
diharapkan aspirasi kekecewaaan masyarakat bisa disatukan dan
diperjuangkan bersama,” demikian ungkap I Gusti Lanang Sidemen,
salah seorang penggagas FPDPT, yang kebetulan pada waktu itu adalah
Klian Banjar Adat Budha Manis Desa Pakraman Tabola.
Sejak terbentuknya FPDPT, kira-kira pada akhir September
2008, semua protes-protes masyarakat terkait kebijakan PDAM Tabola,

disuarakan lewat FPDPT, termasuk aksi demo ratusan warga di
wantilan pura itu. Sejak awal berdirinya, selain didukung oleh seorang
pengacara asal Tabola, I Gusti Ngurai Rai SH, FPDPT juga disokong
oleh beberapa pengusaha yang bergerak dalam bidang pariwisata
setempat, khususnya pemilik homestay atau penginapan.
Bagaimanapun, sebagai pengusaha yang mengelola bisnis hotel di
Sidemen, naiknya tarif harga jual air yang kelewat tinggi tentu ikut
memukul bisnis mereka. Sehingga mereka ikut merasakan kekecewaan,
dan karena itu masuk akal kalau mereka memberikan sokongan
terhadap langkah-langkah menentang kenaikan tarif yang dianggap di
luar batas itu.
Inilah bagian dari keikutsertaan kelompok elit ekonomi baru
untuk ikut mengubah atau memperbaiki keadaan di desa. Sebagaimana
diketahui, sejak beberapa tahun terakhir, di Tabola mulai tumbuh
lapisan baru para pengusaha homestay atau penginapan, yang bisnisnya
menyediakan layanan bagi para wisatawan (asing dan domestik) yang
semakin hari semakin ramai berkunjung ke Tabola, Sidemen. Salah
seorang dari para pengusaha yang mendukung perlawanan FPDPT itu
adalah I Wayan Kari, seorang pemilik penginapan cukup besar di
Tabola.

Namun demikian, perlu disebutkan pula bahwa salah seorang
pelopor dari bisnis penginapan atau home stay di Sidemen itu tidak lain
justru adalah penglingsir (raja/kepala keluarga) Puri Sidemen, Cokorda
Gde Dangin. Desa Pakraman Tabola - para wisatawan biasanya lebih
mengenal daerah ini dengan sebutan nama Sidemen - sekarang ini
malah menjadi tempat yang cukup terkenal sebagai lokasi wisata alam
yang indah, dengan latar belakang pemandangan sawah yang
menghampar sepanjang lereng dan lembah yang mengitari lingkungan
294

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
Desa Tabola. Bagi sebagian kalangan wisatawan mancanegara
khususnya dari negara eropa), pemandangan yang terhampar di Desa
Tabola dan sekitarnya yang berada di Kecamatan Sidemen, Kabupaten
Karangasem, Bali itu, bahkan dianggap jauh lebih indah dari
pemandangan wisata yang ada di Ubud. Kekurangannya, mungkin
hanya kalah dalam hal penyediaan fasilitas wisata yang memadai, yang
hal ini bisa dimaklumi karena Ubud memang berkembang lebih
dahulu. Namun demikian, berdasarkan pengamatan dalam beberapa
tahun terakhir, khususnya sejak 2008 hingga 2012 (September 2012),

perkembangan pariwisata di Sidemen kelihatan semakin maju.
Ketersediaan fasilitas pariwisata, seperti hotel, penginapan, homestay
ataupun restoran, misalnya, terus semakin bertambah.
Kembali ke masalah aksi-aksi yang dilakukan masyarakat.
Dalam perkembangannya FPDPT tidak hanya menyalahkan PDAM
atas kebijakan tarif yang memberatkan itu. Tetapi, isyunya kemudian
berkembang pada masalah mengapa pengurus desa menyerahkan
pengelolaan sumber air bersih (air minum) desa beserta jaringan
pipanisasi yang sudah ada ke tangan Pemerintah Kabupaten, dalam hal
ini PDAM. Untuk itu, mereka meminta pertanggungjawaban pengurus
desa, dan menuntut proses pengembalian usaha pengelolaan air minum
ke desa, karena sesungguhnya apa yang dikelola oleh PDAM itu adalah
milik Desa Pakraman Tabola. Sejak itu, isu persoalan menjadi bergeser,
dari semula kekecewaan terhadap kebijakan kenaikan tarif PDAM
menjadi ketidakpercayaan kepada pengurus desa atas cara pengelolaan
asset-asset milik desa.
Gerakan perlawanan yang dilakukan FPDPT semakin kuat,
terlebih setelah didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat desa yang
kecewa terhadap pola pengelolaan desa oleh kepengurusan desa yang
lama. Di antara tokoh-tokoh lokal yang mendukung perlawanan

FPDPT ini antara lain mantan perbekel (Perbekel Telagatawang),
pejabat Perbekel Telagatawang (yang kelak kemudian dia juga
merangkap menjadi salah seorang pengurus Desa Pakraman Tabola
yang baru, mewakili Telagatawang), pengusaha sukses yang juga guru
di sekolah negeri (pemilik penginapan cukup besar di Tabola), para
klian banjar adat (salah satunya adalah Klian Banjar Adat Budha Manis,
295

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
yang juga menjadi Ketua FPDPT), pengusaha kain tenun terkenal di
Sidemen (kelak menjadi Bendahara Desa Tabola yang baru), dan lain
sebagainya.
Pada satu sisi, FPDPT secara berangsur-angsur dan diam-diam
mendapat dukungan pasif dari aparat keamanan (kepolisian dan TNI)
karena kemampuannya untuk meyakinkan dan menggerakkan protes
masyarakat melalui jalan damai dan tertib. Misalnya, ketika melakukan
protes melalui aksi pawai dengan berjalan kaki dari lapangan desa
menuju Pura Puseh Tabola dan wantilan pura, massa yang terlibat aksi
mampu mengendalikan diri dengan tertib. Tidak hanya itu, aksi massa
juga diwarnai oleh penggunaan simbol-simbol adat, yaitu selain massa

memakai pakaian adat, mereka juga menggunakan berbagai peralatan
gamelan tradisional untuk memeriahkan suasana. Akhirnya, aksi unjuk
rasa lalu menjadi seperti pawai upacara adat yang penuh kemeriahan.
Dalam soal ini, pihak FPDPT secara cerdas memang memanfaatkan
simbol-simbol adat dan agama sebagai bagian dari instrumen
perlawanan secara damai.
Di pihak lain, para pengurus desa yang lama, karena lambannya
merespon kekecewaan masyarakat desa secara memadai, maka menjadi
semakin tidak mendapatkan simpati masyarakat. Sebaliknya banyak
krama desa yang mulai bertanya-tanya tentang cara pengelolaan
administrasi keuangan desa yang dianggap tidak terbuka. Bahkan
dalam suatu wawancara, salah seorang tokoh masyarakat Tabola yang
disegani oleh semua pihak, Ida I Dewa Catra, sempat menyinggung dan
menyesalkan ketertutupan dari pengurus lama menyangkut soal
pengelolaan administasi keuangan desa. Meskipun pak Catra, demikian
ia biasa dipanggil di Tabola, mengkritisi pula aksi-aksi yang dilakukan
oleh FPDPT. “Mengapa mereka tidak menggunakan mekanisme awigawig untuk menyuarakan ketidakpercayaannya kepada pengurus desa
yang lama. Untuk mengganti pengurus desa kan sudah ada
ketentuannya, tidak dengan cara menuntut mundur dan melakukan
penggantian sendiri”, demikian Ida I Dewa Gde Catra. 1


1

Wawancara dengan Ida I Dewa Catra. Amlapura, Karangasem, April 2010.

296

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
Pada titik inilah, aksi yang semula muncul sebagai respon dari
masalah kenaikan tarif pemakaian air minum ke PDAM kemudian
berlanjut menjadi aksi yang bersifat lebih politis, dalam bentuk mosi
tidak percaya kepada pangurus desa pakraman. Para tokoh yang
tergabung dalam FPDPT menganggap bahwa mekanisme pengelolaan
desa secara keseluruhan (termasuk asset-asetnya) oleh para pengurus
desa dianggap “tertutup”, dan cenderung mengabaikan suara-suara
masyarakat. Kelak kemudian, para pengurus baru Desa Pakraman
Tabola malah menganggap pengurus desa yang lama memerintah desa
secara agak otoriter, padahal jamannya sudah berubah.
Terkait hal ini, I Gusti Lanang Sideman, mantan guru dan Klian


Banjar Adat Budha Manis, Tabola, yang setelah memimpin perlawanan
terhadap pengurus desa yang lama akhirnya dipilih secara aklamasi
menjadi Bendesa/Klian Desa Pakraman Tabola yang baru,
mengungkapkan:
“Saya tidak menjelek-jelekkan pemimpin yang lama, tetapi
mereka kan kekuasaan yang diutamakan
sehingga tidak
didukung oleh masyarakat. Segala sesuatu dilakukan sendiri,
akhirnya malah timbul ketidakpuasan. Itu sebenarnya
masalahnya. Padahal dari dulu di Desa Tabola ini sudah berlaku
system musyawarah mufakat.” 2

Tentu saja, meskipun tidak disampaikan secara eksplisit,
tudingan bahwa pengurus desa yang lama menjalankan kebijakan
secara kurang terbuka dan agak otoriter, ditujukan terutama kepada
pingajeng dan bendesa Desa Pakraman Tabola, yaitu Cokorda Gde
Dangin dan I Gusti Lanang Gita. Dalam konteks ini, para penentang
pengurus desa lama, khususnya yang tergabung dalam FPDPT
menganggap bahwa pengurus desa cenderung berada di bawah
pengaruh kuat Cokorda Gde Dangin. Bahkan termasuk bendesa lama, I

Gusti Lanang Gita, sering dikatakan berada di bawah bayang-bayang
kekuasaan tokoh pingajeng desa, Cokorda Gde Dangin. “Keadaan
seperti itu sebenarnya sudah berlangsung lama, seolah-olah tokoh Puri
Sidemen itu ingin menegakkan kembali monarkhi puri dalam jaman
Wawancara dengan I Gusti Lanang, Banjar Budha Manis, Desa Pakraman Tabola,
Oktober 2010.

2

297

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
demokrasi seperti sekarang ini”, demikian ungkap bendesa baru Desa
Pakraman Tabola.
Dari sudut pandang penguasa Puri Sidemen sendiri,
langkahnya untuk ikut terus terlibat aktif dalam setiap permasalahan
desa selama ini, tidak pelak merupakan bagian dari upayanya untuk
kembali memperkuat pengaruh puri di Desa Pakraman Tabola.
Bagaimanapun, sejak awal reformasi, keluarga Puri Sidemen,
khususnya di bawah kepemimpinan keluarga (penglingsir) Cokorda

Gde Dangin, memang berusaha keras untuk meneguhkan kembali
kepemimpinan puri di desa. Ini setelah pada masa Orde Baru pengaruh
puri berangsur-angsur semakin terpinggirkan oleh sistem politik yang
berkembang ketika itu. Apalagi, seperti sempat disinggung pada bagian
depan, keluarga Puri Sidemen, sebelum kemunculan Orde Baru adalah
pendukung fanatik Presiden Sukarno dengan Partai PNI nya.
Sedangkan sejak awal Orde Baru, PNI mengambil posisi politik yang
berseberangan dengan Golkar sebagai partai penguasa.
Karena itulah, ketika tanda-tanda jaman (baru) mulai datang,
pak Cok menjadi lebih aktif dan bersemangat memimpin (keluarga)
Puri Sidemen dan berusaha memulihkan kembali pengaruhnya, paling
tidak, di lingkungan Desa Pakraman Tabola, tempat lokasi Puri
Sidemen berdiri sejak abad ke-18. Langkah awal dimulai dengan
memanfaatkan momentum penyelenggaraan upacara keluarga yang
disebut “maligya”, sebagaimana sempat sedikit disinggung pada bagian
sebelumnya. Lewat upacara “maligya” ini Cokorda Gde Dangin berhasil
mengundang datang Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Megawati Sukarnoputri, ke Puri Sidemen. 3 Itu
terjadi pada tahun 1998, beberapa saat sebelum diselenggarakan Pemilu
pertama pada masa reformasi, yaitu tahun 1999. Pada waktu itu sudah

mulai banyak yang memperkirakan bahwa PDIP akan keluar sebagai
pemenang pemilu karena adanya tanda-tanda dukungan yang kuat dan
luas dari berbagai kalangan masyarakat. Megawati, putri mantan
Lihat: Lene Pedersen. The Sphere of The Keris: Power and People in a Balinese
Princedom. A Dissertation Presented to the Faculty of Graduate School University of

3

Souththern California, In Partial Fulfillment of the Requirement for the Degree Doctor
of Philosophy (Anthropology). California, USA, May 2002.

298

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
Presiden Sukarno yang berdarah Bali, pada waktu itu juga dianggap
sebagai kandidat paling kuat untuk menjadi Presiden paska Pemilu
1999.
Kedatangan Megawati, yang pada waktu itu sangat populer di
mata masyarakat Bali, tentu saja memiliki arti simbolik yang kuat bagi
Puri Sidemen. Seolah-olah kedatangannya dalam upacara keluarga itu,
secara tidak langsung, merupakan wujud dukungan (politik) terhadap
keberadaan puri, yang pada masa lalu memang dikenal sebagai loyalis
PNI, partai yang kelak menjadi cikal bakal dari PDIP. Peluang jaman
seperti inilah yang dimanfaatkan oleh Cokorda Gde Dangin. Terlebih
lagi di Bali pada waktu itu mulai muncul tanda-tanda akan adanya
perubahan bandul politik, yaitu semakin merosotnya dukungan rakyat
Bali ke Golkar dan sebaliknya semakin kuatnya dukungan ke PDIP.
PDIP sendiri selama masa Orde Baru dikenal sebagai rival politik
utama Golkar paling sengit.
Pada kenyataannya, sejak kedatangan Megawati ke upacara
“maligya” itu, keluarga Puri Sidemen menyerahkan dukungan
politiknya ke PDIP dalam pemilu 1999. Bahkan pada pemilu 1999,
salah seorang anak dari Cokorda Gde Dangin, Cokorda Suteja menjadi
calon legislatif dari PDIP dan berhasil terpilih menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali (DPRD I) untuk periode 19992004. Terpilihnya Cok Suteja sebagai anggota legislatif daerah tentu
bukan tidak ada hubungannya dengan kedatangan Megawati ke
Sidemen sebelumnya, karena pada kenyataannya PDIP memperoleh
suara besar di Kecamatan Sidemen. Di Provinsi Bali, untuk pertama
kalinya sejak tiga dekade sebelumnya, PDIP juga berhasil mengalahkan
Golkar secara telak.
Situasi politik seperti ini yang melatarbelakangi adanya
semangat yang kuat dari keluarga Puri Sidemen untuk mengukuhkan
kembali pengaruh dan kepemimpinan politiknya di Desa Pakraman
Tabola. Bagaimanapun wilayah Tabola memiliki posisi sejarah yang
sangat penting sebagai tempat keberadaan Puri Sidemen sejak abad ke18. Menurut catatan, pusat kekuasan Kerajaan Sidemen (Puri Sidemen)
pada masa lalu adalah di Tabola dengan cakupan wilayah kekuasaan
299

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
sampai ke desa-desa pakraman di luar Tabola. “Puri Sidemen ini puri
yang sangat lama (kuno). Pengaruhnya, kalau ke Timur sampai ke
Selat, Rendang, terus ke Barat sampai ke Tirtagangga bahkan Kubu,”
demikian ungkap Cokorda Gde Dangin. 4 Atas dasar penjelasan ini, bisa
dilihat bahwa pada masa lalu, wilayah pengaruh Puri Sidemen yang
berkedudukan di Desa Tabola, melampaui wilayah teritorial
Kecamatan Sidemen pada masa sekarang.
Maka sejak masa reformasi (1998), Cokorda Gde Dangin terus
aktif mengkonsolidasikan pengaruhnya di Tabola. Dengan segala
pengaruh yang masih dimilikinya, penglingsir Puri Sidemen
membangun jaringan kekuasaan di Desa Tabola, dengan memberikan
dukungan pada keluarga ataupun kolega dekatnya untuk bisa
memimpin desa dinas maupun adat. Salah satu hasilnya, Perbekel
Sidemen terpilih pada masa reformasi adalah orang yang masih
tergolong keluarga dekatnya (ponakan), yang dalam suatu wawancara
mengakui peranan dukungan Pak Cok dari Puri Sidemen. Begitupula
Bendesa Tabola (lama), yang sebelumnya adalah Perbekel Sidemen
(mengakhiri jabatan perbekel tahun 1999), sering disebut-sebut oleh
krama desa sebagai “orangnya pak Cok”. Jadi dalam hal ini wilayah
Tabola dan Sidemen pada awal masa reformasi praktis dipimpin oleh
“orang-orang dekat pak Cok”.
Adapun Cokorda Gde Dangin sendiri, sejak terbentuk
kepengurusan Majelis Desa Pakraman (MDP) menyusul keluarnya
Perda No. 3 Tahun 2001, terpilih sebagai Ketua Majelis Desa Pakraman
(MDP Alit) tingkat Kecamatan Sidemen. Dengan posisi sebagai Ketua
MDP ini, ia bersemangat melaksanakan salah satu tugas dan kewajiban
MDP, yaitu mendorong penyuratan awig-awig desa pakraman yang
ada di wilayah Kecamatan Sidemen. Demikianlah, maka sejak terpilih
menjadi Ketua MDP (Alit) Sidemen, desa-desa pakraman yang ada di
sekitar Desa Pakraman Tabola mulai bergiat melakukan penyuratan
awig-awig. Bahkan untuk itu, Cokorda Gde Dangin mampu menjalin
kerjasama dengan lembaga donor untuk ikut membiayai proyek

4

Wawancara dengan Cokorda Gde Dangin. Puri Sidemen, Desa Tabola, April 2010.

300

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
penyuratan awig-awig di desa-desa pakraman seperti Sangkan Gunung,
Ipah dan Iseh.
Pak Cok Dangin, demikian ia biasa dipanggil oleh masyarakat
di Tabola, menjadikan proses penyuratan awig-awig Desa Pakraman
Tabola sebagai model bagi desa-desa yang lain. Dalam proses
penyuratan awig-awig ini, ia dibantu oleh seorang budayawan asal
Desa Tabola, yang juga kolega Cokorda Gde Dangin sejak muda, yaitu
Ida I Dewa Gde Catra. Pak Catra ini adalah seorang cendikiawan asal
Tabola yang lahir dari keluarga golongan satria tinggi, sebagaimana
terlihat dari nama depannya, Ida I Dewa. Lewat kepemimpinannya
sebagai Ketua MDP serta langkah-langkahnya yang aktif membantu
penyuratan awig-awig desa pakraman itu, Pak Cok terus membangun
kembali pengaruh sosial – politiknya.
Dalam proses ini, ia secara sadar mendayagunakan kekuatan
modal simboliknya sebagai pewaris penguasa (penglingsir) Puri
Sidemen, yang bagi sebagian masyarakat desa masih diakui realitasnya.
Yang terakhir ini terutama bagi mereka penduduk desa yang
leluhurnya memiliki hubungan patronase dengan Puri Sidemen, baik
sebagai “pengiring” atau “parekan”. Pada masa lalu, yang disebut
pengiring adalah para prajurit pengawal raja (golongan bangsawan
tinggi atau rendah). Sedangkan parekan adalah lapisan para petani yang
mendapatkan tanah dari raja/puri, sebagai bukti dan imbalan atas
kesetiaannya sebagai pengikut raja (klien).
Kekuatan modal simbolik Cokorda Gde Dangin ini secara
eksplisit bahkan diakui oleh Ketut Sukayasa, mantan Perbekel
Telagatawang dan yang kemudian menjabat sebagai Sekretaris I dalam
kepengurusan organisasi Desa Pakraman Tabola periode 2009 – 2014.
Ia antara lain menyatakan 5:
“Meskipun saya melawan beliau ketika terjadi pergolakan di
Tabola, tetapi saya tetap menghormatinya. Bagaimanapun, di
masa lalu, leluhur saya adalah pengiring keluarga Raja Sidemen.
Leluhur kami bahkan bisa berdiam di sini (Banjar Kebon, Desa

5 Wawancara dengan Ketut Sukayasa. Banjar Kebon, Desa Pakraman Tabola, Sidemen,
24 Desember 2009.

301

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Pakraman Tabola, Sidemen) berkat jasa Puri Sidemen yang mau
membagikan tanahnya.”

Keluarga Puri Sidemen hingga sekarang juga dikenal masih
menguasai dan memiliki tanah-tanah di Tabola dan desa-desa
sekitarnya dalam jumlah lumayan banyak dan luas. Meskipun hal itu
tidak sebanyak dan seluas yang dikuasai pada masa lalu, khususnya
sebelum tahun 1960-an, ketika dilaksanakan kebijakan politik land
reform. Menurut penjelasan Pak Cok, sebagian dari tanah-tanah
keluarga telah “diambil” dan dibagikan dalam rangka politik land
reform di masa lalu (tahun 1960-an). “Kami waktu itu menjadi sasaran
Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dianggap sebagai tuan tanah.
Cukup banyak tanah-tanah keluarga kami yang diambil alih dan
dibagikan ke rakyat,” demikian ungkap pak Cok sambil mengenang
peristiwa masa lalu itu.6
Tanah-tanah keluarga yang masih ada itu kemudian dibangun
sebagai tempat penginapan untuk para wisatawan dalam bentuk
homestay ataupun vila, yang hal ini sejalan dengan berkembangnya
Sidemen sebagai salah satu tujuan wisata alam di Bali. Bersamaan
dengan itu, keluarga Puri Sidemen membangun bisnis keluarga dengan
memberikan pelayanan kepada para wisatawan yang berkunjung ke
Sidemen, di samping usaha-usaha ekonomi keluarga yang lain. Dalam
konteks ini, maka di samping berupaya memperkuat kembali modal
simboliknya, pada saat yang bersamaan, Pak Cok juga terus
membangun modal ekonominya.
Kalau mengikuti konsep Bourdieu tentang realitas modal atau
kapital (modal ekonomi, modal politik/power, modal sosial/jaringan
sosial, modal simbolik/pengaruh adat, dan modal kultural/pengaruh
kebudayaan), masing-msaing modal itu bisa ditransformasikan dari satu
bentuk modal (simbolik) ke modal yang lain (ekonomi) secara
berkelanjutan dan timbal balik. Dalam pengertian yang sederhana,
maka apa yang dilakukan oleh keluarga Puri Sidemen adalah suatu
upaya mentransformasikan modal simbolik Puri menjadi modal politik
(kekuasan), dan selanjutnya ditransformasikan lagi menjadi modal
6

Wawancara dengan Cokorda Gde Dangin. Sidemen, 30 April 2010.

302

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
ekonomi, yang semuanya bisa berlangsung secara serentak atau
simultan dan tidak harus linier atau berurutan.
Dalam pandangan Cokorda Gde Dangin, berbagai langkah yang
dilakukan itu didorong oleh semacam spirit memenuhi “kewajiban
sejarah” keluarga, agar Puri Sidemen mampu terus menjalankan peran
positifnya, khususnya dalam konteks mendorong kemajuan masyarakat
Desa Tabola dan sekitarnya. Hanya saja, sebagian langkah-langkahnya
dalam rangka mewujudkan peran positif puri itu seringkali dimaknai
oleh pihak lain di Tabola, sebagai bentuk keinginan Cokorda Gde
Dangin untuk menghegemoni kekuasaan desa. Atau dalam bahasa
pengurus desa yang baru, ada keinginan dari keluarga Puri untuk
mengembalikan sistem feodalisme di jaman demokrasi sekarang ini.
Upaya keras untuk membentuk kelembagaan yang disebut “pingajeng”
desa, yang kedudukannya menurut awig-awig boleh dikatakan
“mengatasi” kedudukan bendesa, dianggap sebagai salah satu
perwujudan keinginan menghegemoni kekuasaan desa.
Kesan adanya keinginan untuk menghegemoni kekuasaan desa
itu, semakin kuat karena adanya peran aktif dari Cokorda untuk secara
tidak langsung terlibat dalam setiap proses Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) di Bali, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten.
Bentuk keterlibaan tidak langsung itu dilakukan dengan ikut
mendorong calon-calon tertentu agar mendapat simpati dan dukungan
dari masyarakat desa. Calon-calon yang didukung oleh keluarga Puri
Sidemen, misalnya, secara tidak langsung diberikan kesempatan untuk
melakukan “mesimakrama” atau kira-kira artinya bersilahturahmi
dengan masyarakat desa; dan sebaliknya calon yang tidak didukung
kurang atau tidak diberi kesempatan seperti itu.
Dalam situasi politik multi partai yang terbuka ini, di mana
masyarakat desa bebas dan terbuka menentukan pilihannya, langkah
keluarga puri seperti disebutkan di atas dianggap tidak tepat. Selain itu
langkah keluarga puri seperti ini mengundang tanda tanya dan bahkan
kecurigaan, yang semuanya itu berujung pada penafsiran bahwa
keluarga puri memang berkeinginan menghemoni politik desa.
Ditambah, kelak kemudian, pada bulan Mei 2010, putra sulung dari
303

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Cokorda Gde Dangin ikut maju dalam Pilkada Kabupaten Karangasem.
Meskipun hasilnya kalah dari calon lain, dan bahkan di Sidemen
sendiri tidak berhasil memenangkan suara. Tetapi memang pada saat
Pilkada itu, pengaruh Cokorda Gde Dangin di Sidemen sedang
merosot, menyusul pelengseran pengurus lama desa oleh krama desa
dari 12 banjar adat yang ada di Tabola, awal tahun 2009.
Adanya anggapan bahwa keluarga Puri ingin menghegemoni
desa, tentu memunculkan reaksi resisten dari sebagian kalangan
masyarakat desa. Di sinilah sesungguhnya awal dari munculnya
persaingan kepemimpinan desa, yaitu antara kelompok pemimpin lama
di bawah pengaruh Cokorda Gde Dangin, dengan sekelompok lapisan
kepemimpinan baru yang terdiri dari orang-orang dengan berbagai
latar belakang seperti mantan guru, mantan perbekel, pengusaha
pariwisata dan binis kain tenun (usaha kerajinan khas asal di Sidemen),
pengacara, perbekel yang masih menjabat, klian banjar adat, unsur
pemuda, dan lain sebagainya. Yang semuanya itu, ketika waktunya
sudah dianggap tiba, berkumpul dan bersatu membentuk organisasi
perlawanan FPDPT untuk menghadapi kepemimpinan lama. Mereka
memanfaatkan isu kenaikan tarif pemakaian air minum yang dikelola
oleh PDAM Kabupaten Karangasem, yang dalam hal ini dianggap oleh
masyarakat sebagai bagian dari jaringan kekuasaan keluarga Puri
Sidemen. Di sini masalah sekitar kenaikan tarif pemakaian air desa
pada akhirnya boleh dibilang hanya sebagai titik pencetus mencuatnya
berbagai permasalahan desa, yang kemudian menjadi momentum
perubahan sosial di Tabola.
Setelah mendapatkan mosi tidak percaya dan didesak untuk
mengundurkan diri oleh perwakilan dari 12 banjar adat yang ada di
desa Tabola, maka pada hari minggu 16 November 2008, Bendesa Desa
Prakaman Tabola, I Gusti Lanang Gita, yang memimpin desa sejak
tahun 2002, membuat surat pengunduran diri. 7 Pengunduran diri
Bendesa Tabola ini merupakan puncak keberhasilan dari gerakan
perlawanan krama desa yang mewakili 12 banjar adat di Tabola, yang
pada dua hari sebelumnya (jumat 14 November 2008) secara sepihak di
7

Koran Nusa Bali. Kelian Tabola Mundur. Nusa Bali, 5 Desember 2008.

304

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA

wantilan Pura Puseh menyatakan secara bulat “menurunkan” I Gusti
Lanang Gita dari jabatannya sebagai Bendesa Desa Pakraman Tabola.
Pada waktu hampir bersamaan, Cokorda Gde Dangin, juga
menyatakan mengundurkan diri sebagai prakangge atau pengurus desa,
khususnya dalam kedudukannya sebagai “pingajeng” desa yang
kontraversial itu. “Saya juga mundur terhitung Minggu, 16 November
2008. Saya sudah berkirim surat,” demikian kata Cokorda Dangin,
seperti dikutib dari Koran Nusa Bali, yang terbit di Bali. “Namun
demikian saya masih akan tetap aktif sebagai Ketua Majelis Alit Desa
Pakraman Kecamatan Sidemen”, demikian tambahnya. 8 Pengunduran
diri pak Cok Dangin sebagai prakangge dan pingajeng desa ini, praktis
untuk sementara waktu mengakhiri konflik di desa Tabola.
Pengunduran diri Bendesa Tabola bukan berarti masalah telah
selesai. FPDPT masih harus melangkah ke agenda perjuangan
selanjutnya, yaitu berusaha menarik kembali pengelolaan asset desa
berupa usaha jaringan penyaluran air minum desa di Tabola. Sebelum
hal itu dilakukan, maka awal tahun 2009, Desa Pakraman mengadakan
pemilihan pengurus desa yang baru, dimulai dengan menyeleksi caloncalon wakil dari 12 banjar adat yang ada di Tabola. Dari hasil itu, lalu
terpilih prakangge atau pengurus inti, yang terdiri dari bendesa (kepala
kesa adat/pakraman), pemaden (wakil kepala desa), penyarikan
(sekretaris), juru raksa (bendahara) dan prajuru atau pengurus biasa,
yaitu terdiri dari petajuh (pembantu) ke bawah (lihat struktur
organisasi desa Tabola pada Bab 6). Dalam struktur prakangge desa
yang baru ini, sudah tidak terdapat lagi unsur pingajeng, dan
selanjutnya diganti dengan unsur pangrajeg, yang kedudukannya
kurang lebih sejajar dengan bendesa, dan lebih banyak berfungsi
sebagai penasehat. Prakangge desa ini dipimpin oleh Bendesa/Klian
Desa Pakraman Tabola, yaitu I Gusti Lanang Sidemen, yang
sebelumnya bertindak sebagai Ketua FPDPT.

Koran Nusa Bali. Prakangge Tabola Undurkan Diri. Nusa Bali, Sabtu 6 Desember
2008.

8

305

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 22: Proses Perubahan Kepemimpinan Desa (Lama ke Baru)
Pengaruh
Keluarga Puri Sidemen

Kepemimpinan
Lama (2002-2008)

Pelengseran

Kepemimpinan
Baru (2009-2014)

Konflik
Kepemimpinan
Dukungan Banjar &
Kelompok Elit Baru Desa
Dari informasi yang dikumpulkan, hampir tidak ada masalah
dalam proses pemilihan prakangge desa yang baru. Proses pemilihan
berlangsung mulai dari bawah, yaitu pada tingkat banjar adat; yang
kemudian dari calon-calon dari tingkat banjar itu dipilih satu orang
untuk menjadi bendesa lewat pemilihan langsung yang diikuti oleh
para anggota perwakilan banjar. Selanjutnya setelah terpilih bendesa,
calon-calon dari tingkat banjar dimasukkan sebagai pengurus desa, baik
pengurus inti maupun pengurus biasa. Dengan demikian, semua tokohtokoh banjar pada akhirnya diakomodasi dalam struktur kepengurusan
desa.
Selanjutnya pengurus desa itulah yang melakukan negosiasi
dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem untuk mengambil
kembali usaha pengelolaan usaha air minum desa dari tangan PDAM.
306

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
Setelah melalui proses negosiasi yang rumit dan berkepanjangan
akhirnya pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem setuju
menyerahkan kembali pengelolaan asset jaringan air minum desa dari
PDAM ke Desa Pakraman Tabola. Negosiasi memang berjalan rumit,
karena sejak pengurus Desa Pakraman Tabola yang lama menyerahkan
pengelolaan usaha air minum desa ke Pemda Karangasem, pihak
PDAM telah mengeluarkan investasi baru untuk perbaikan dan
pembangunan jaringan air minum dengan biaya yang cukup besar.
Atas dasar ini pihak PDAM meminta pengembalian biaya investasi itu,
berupa biaya investasi perpipaan dan fasilitas pelangkap lainnya, yang
ditaksir bernilai kurang lebih Rp278,511 juta. Lalu ditambah,
tunggakan pembayaran oleh para pelanggan yang ada di Tabola (selama
Januari 2008 sampai Juni 2009) sebesar Rp258,34 juta. Jumlah
tunggakan pembayaran ini besar sekali karena selama kurun waktu itu,
khususnya sejak tarif air mimun PDAM dinaikkan, masyarakat
sebagian enggan membayar. Sehingga total biaya penggantian yang
diminta pihak PDAM kepada Desa Pakraman Tabola sebesar Rp536,85
juta, yang terdiri dari biaya pengeluaran investasi dan tunggakan
pembayaran iuran.
Pihak Desa Pakraman Tabola menyanggupi melakukan
pembayaran ganti rugi itu, dan untuk tahap awal diserahkan dana
pembayaran sebesar Rp150 juta. Sisanya, khususnya biaya investasi
pipanisasi oleh PDAM, akan dibayarkan bertahap selama 10 tahun.
Sedangkan sisa tagihan pelanggan yang sebesar Rp108,34 juta akan
dilunasi dalam waktu 2 tahun. Terkait masalah ini, Bendesa Desa
Pakraman Tabola menyatakan 9:
“Kami sudah hitung-hitung, kalau usaha air minum milik desa
ini dikelola dengan baik, akan menghasilkan pendapatan yang
lumayan bagi desa. Sehingga kami perkirakan akan bisa melunasi
biaya ganti rugi itu. Tentang tunggakan tagihan, masyarakat
berjanji akan membayar secara bertahap.”

Maka tanggal 10 Juli 2009, pengelolaan usaha air minum desa
diserahkan kembali ke Desa Pakraman Tabola. Tuntutan krama desa

9

Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Desa Pakraman Tabola, Oktober 2010.

307

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
agar asset desa itu dikembalikan dan dikelola oleh desa sendiri,
akhirnya terpenuhi.
Tahap pertama dari konflik internal di dalam Desa Pakraman,
(untuk sementara) akhirnya selesai. Sebagai hasilnya, struktur
organisasi desa berubah, menyesuaikan diri dengan berkembanganya
kepentingan-kepentingan baru. Desa Pakraman Tabola, pada saat ini
dipimpin oleh lapisan pemimpin baru, yang akar kepemimpinannya
datang dari berbagai latar belakang. Para pemimpin baru ini bertemu
dan bersatu karena kesamaan kepentingan, yaitu ingin melihat
perubahan dalam tata pengelolaan desa pakraman sejalan dengan
datangnya jaman keterbukaan dan demokrasi. Di sisi lain,
kepemimpinan lama, yang ditopang oleh lapisan elit tradisional,
khususnya yang memiliki akar jaringan dengan Puri Sidemen, untuk
sementara, menyingkir, mundur kebelakang dengan melengserkan diri.
• Perjuangan Yang Belum Selesai
Tanya: sejak terjadinya konflik internal di Desa Tabola dua
tahun yang lalu, bagaimana perkembangannya sekarang?
Apakah sudah selesai masalahnya?
Jawab: Masalahnya belum tuntas sampai sekarang…ini ada
kekeliruan. Makanya saya dulu pernah bilang, masalah ini lebih
baik diselesaikan, jangan diredam saja….kalau diselesaikan kan
ada kata selesainya, tetapi kalau diredam kan sewaktu-waktu
bisa bangkit lagi.

(Cuplikan wawancara dengan Ida I Dewa Catra, tokoh
masyarakat Tabola dan konseptor awig-awig desa, yang tinggal
di Amlapura Karangasem. 28 Oktober 2010)

Sudah hampir dua tahun Desa Pakraman Tabola memilih
pengurus desa yang baru. Begitupula pengelolaan usaha air minum
desa sudah diambil alih kembali oleh desa, yaitu sejak Juli 2009. Tetapi
masalah yang muncul, khususnya yang bersumber dari pengelolaan air
minum desa belum juga selesai tuntas. Sejak pengelolaannya diambil
alih oleh desa, penyaluran air ke para pelanggan di desa ternyata tidak
selancar seperti yang dibayangkan semula. Berkali-kali terjadi
308

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
gangguan penyaluran air karena di beberapa lokasi terjadi kebocoran
pipa, baik karena pipa-pipanya sudah lama ataupun pemeliharaannya
yang kurang teliti. Akhirnya, penyaluran air minum/bersih ke para
pelanggan seringkali mati dan terpaksa dilakukan penggiliran.
Dalam suatu pertemuan (pesamuhan) yang melibatkan para
tokoh banjar, Bendesa Desa Pakraman, I Gusti Lanang Sidemen, sempat
meminta para pengurus desa menjelaskan dengan baik permasalahan
pengelolaan air minum desa kepada para pelanggan. Dalam kesempatan
pertemuan tersebut, I Gusti Lanang Sidemen mengatakan 10:
“Melalui kesempatan ini kami mohon kepada pemimpinpemimpin banjar, anggota-anggota pengurus, juga prajuru desa
yang ada, tolong bantulah bagaimana supaya masyarakat
menyadari bahwa kembalinya (pengelolaan) air ke desa masih
memerlukan penanganan-penanganan selanjutnya”.

Intinya, bendesa meminta kepada segenap pengurus desa, baik mulai
dari tingkat desa sampai banjar, untuk memberikan pengertian kepada
masyarakat pelanggan air agar memahami masalah yang masih tersisa,
dan bahwa desa sedang berusaha mengatasi masalah itu.
Memang sejak terpilih menjadi Bendesa Tabola, I Gusti Lanang
Sidemen yang mantan guru dan klian banjar itu, langsung dihadapkan
pada berbagai masalah desa, terutama masalah air minum yang boleh
dikatakan sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat desa di Tabola.
Sedangkan sejak dipilih menjadi bendesa, tidak ada proses penyerahan
dan pengalihan kekuasan dan wewenang (transisi) dari pengurus lama
ke pengurus baru. Ini karena bendesa lama beserta jajarannya
mengundurkan diri begitu saja, menyusul adanya tuntutan masyarakat
untuk segera lengser. Oleh karena itu berbagai masalah yang ada
langsung dengan sendirinya menjadi beban yang harus ditanggung dan
diatasi. Bahkan sejak hari pertama ia terpilih menjadi bendesa.
Beberapa langkah konsolidasi sudah dilakukan oleh bendesa
baru beserta jajaran pengurusnya. Pengelolaan asset-asset milik desa, di
luar usaha pengelolaan air minum desa, juga sudah ditempuh, seperti
Transkrip hasil pertemuan pengurus desa Tabola.Wantilan Banjar Budha Manis,
Desa Tabola, 14 November 2009.

10

309

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
sudah dijelaskan pada bagian tulisan sebelumnya. Ini antara lain
menyangkut asset pasar desa dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Dua asset desa yang penting ini relatif lebih mudah dikonsolidasi,
dibandingkan dengan usaha pengelolaan air minum desa. Yang
terakhir ini, selain rumit karena melibatkan beban hutang desa
terhadap PDAM lebih dari setengah milyar rupiah, juga jaringan air
minum desa di Tabola telah menjadi salah satu kebutuhan pokok warga
desa. Menurut catatan, hampir 90% rumah-rumah penduduk yang ada
di Tabola telah terlayani jaringan air minum desa. Sehingga timbulnya
masalah yang tidak cepat dapat diatasi, sangat mungkin (dan telah
terbukti) menjadi masalah yang meresahkan masyarakat desa.
Oleh karena itu, Bendesa Tabola, menempuh segala macam
cara yang mungkin untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh
usaha pengelolaan air minum desa. Contohnya, suatu ketika di salah
satu lokasi di Tabola, dilaksanakan proyek pipanisasi air minum tanpa
sepengetahuan terlebih dahulu pihak Desa Pakraman Tabola. Ketika
dilakukan penggalian, salah satu pipa milik desa ikut tercangkul dan
pecah, sehingga sempat menjadi masalah karena penyaluran air bersih
ke suatu tempat di desa menjadi terhenti. Pihak desa memprotes dan
mengadukan hal ini ke Pemerintah Daerah Kabupaten, dan minta agar
proyek pipanisasi itu dihentikan, atau pengerjaannya melibatkan pihak
desa. Pemerintah Provinsi, sebagai pemilik dan pelaksana proyek,
merespon protes dengan memberikan pipa-pipa air minum itu ke desa,
dan pengerjaannya selanjutnya disesuaikan dengan rencana pihak desa.
“Syukurlah, kita malah diberi pipa-pipa itu. Pipanya besar dan kuat
sekali,” demikian ungkap Bendesa Tabola.
Apa yang bisa dilihat di sini adalah bahwa pihak desa
adat/pakraman, dewasa ini berani memprotes pemerintah supra-desa,
yang melaksanakan proyek di wilayah desa adat/pakraman tanpa
memberitahu atau meminta ijin terlebih dahulu. Bahkan kemudian
pihak desa pakraman menuntut agar desa dilibatkan dalam pengerjaan
proyek, agar sesuai dengan rencana pembangunan desa, dalam hal ini
rencana pembangunan jaringan pipanisasi milik desa. Sulit
dibayangkan bahwa hal demikian bisa terjadi di masa sebelum jaman
reformasi. Juga karena desakan kebutuhan untuk mengatasi masalah
310

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
yang ada, pihak desa berani menuntut agar asset milik Pemerintah
Provinsi itu diberikan kepada desa. Di sini sekali lagi menunjukkan
bahwa relasi desa adat/pakraman dengan pemerintah supra-desa sudah
mengalami perubahan, yang dalam hal ini kedudukan desa pakraman
diakui sebagai entitas yang lebih otonom.
Lalu ketika di Kabupaten Karangasem diselenggarakan Pilkada
tahun 2010 (pilkada dilaksanakan bulan 4 Mei 2010), muncul suatu
peristiwa yang cukup menghebohkan. Peristiwa itu berhubungan
dengan tindakan pengurus Desa Pakraman Tabola yang menjelang
Pilkada membuat perjanjian tertutup untuk mendukung salah satu
kandidat yang ikut Pilkada. Dalam surat perjanjian dinyatakan bahwa
pihak pengurus desa akan mengusahakan dukungan bagi kandidat
dimaksud, dengan kompensasi bila menang akan membebaskan beban
hutang desa atas pengalihan pengelolaan usaha air minum desa dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem ke Desa Pakraman Tabola.
Seperti sudah disebutkan dalam bagian tulisan sebelumnya,
Desa Pakraman Tabola harus melunasi hutangnya terhadap Pemda
(dalam hal ini PDAM Karangasem) sebesar kurang lebih Rp500 juta,
yang harus dibayar dengan cara mencicil. Langkah pengurus desa,
khususnya Bendesa Tabola, untuk membuat perjanjian itu di dorong
oleh keinginan untuk bisa mengatasi berbagi masalah dalam hal
pengelolaan usaha air minum desa oleh desa pakraman secara mandiri,
yang salah satu sumbernya adalah beban utang yang besar. Beban utang
yang besar ini membuat rencana untuk memperbaiki berbagai fasilitas
usaha air minum, khususnya perbaikan jaringan pipa menjadi
terkendala.
Langkah terobosan dari bendesa yang oleh sebagian warga
Tabola dibilang “nekad” ini menjadi masalah ketika surat perjanjian itu
digugat oleh kandidat lainnya sebagai praktek money politic dan
diadukan ke pihak Lembaga Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten.
Pihak pengurus desa pakraman sempat diperiksa oleh Panwaslu
meskipun pada akhirnya disimpulkan tidak terjadi praktek money
politic. Sebagaimana diketahui, kandidat calon yang didukung oleh
Bendesa Tabola pada akhirnya memang memenangkan Pilkada, terpilih
311

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
kembali untuk kedua kalinya sebagai Bupati dan Wakil Bupati
Karangasem.
Menarik untuk mencermati apa yang dilakukan oleh Bendesa
Tabola bersama dengan sebagian jajaran para pengurusnya. Di sini
disebutkan, bersama sebagian jajaran pengurusnya, karena memang
tidak semua pengurus setuju atau bahkan mengetahui langkah “nekad”
bendesa itu. Seperti misalnya Bendahara Desa Pakraman Tabola yang
mengaku tidak mengetahui karena sedang di luar desa saat perjanjian
itu dibuat. Selain itu, secara terus terang dia juga tidak setuju karena
justru cenderung mendukung calon lainnya yang berasal dari satu
leluhur keluarga (dadya) yang sama. Terkait dengan relasi dadya ini,
memang di Bali hal tersebut penting, karena mobilisasi politik sering
menggunakan jaringan relasi keluarga besar (dadya).
Sebagaimana akan dibahas pada bagian tulisan di bawah ini,
dukungan yang dilakukan Desa Tabola kepada salah satu kandidat,
yaitu bupati yang sedang menjabat (imcumbent), selain karena alasan
untuk mendapatkan pembebasan beban hutang kepada Pemda, juga
bernuansa kesamaan leluhur (dadya). Meskipun harus diakui bahwa
pertimbangan paling utama untuk mendukung kandidat dimaksud
memang adalah pembebasan beban hutang. Dalam satu surat yang
berjudul “Sikap Prajuru Desa Pakraman Tabola, Kaitannya Dengan
Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Karangasem Periode 2010 – 2015”
disebutkan, antara lain pernyataan sebagai berikut.
“Kami ingin agar kandidat pasangan I Wayan Geredeg/I Made
Sukarana menang di tingkat kabupaten, khususnya di Desa
Pakraman Tabola. Andaikata dimenangkan oleh pasangan I
Wayan Geredeg/I Made Sukarana pasangan tersebut berjanji
akan (1) menghapuskan beban hutang biaya kompensasi dalam
hal pengembalian pengelolaan Air Minum milik Desa Pakraman
Tabola sebesar: Rp536.851.043,-; (2) membantu pembangunan
Pura Puseh Tabola dan mengangkat status Pura Puseh Tabola
sebagai Kahyangan Jagat melalui Gubernur, Walikota dan Bupati
seluruh Bali.” 11

Surat Desa Pakraman Tabola yang ditandatangani Bendesa, I Gusti Lanang Sidemen
dan Sekretaris Desa, Ketut Sukayasa tentang “Sikap Prajuru Desa Pakraman Tabola

11

312

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
Di samping pernyataan dukungan itu, juga disebutkan
pernyataan lain yang sifatnya seolah-olah memperingatkan (secara
politis) warga Desa Tabola tentang beban yang harus dipikul desa.
“Jika pasangan I Wayan Geredeg/I Made Sukarana menang di
Kabupaten tetapi tidak menang di Desa Pakraman Tabola, janji
itu akan sulit terwujud. Oleh karena itu harus bersiap-siap
mengeluarkan urunan untuk pengembalian beban hutang
kepada PDAM Karangasem”.

Lalu pernyataan penegasan itu diikuti oleh suatu kesimpulan surat,
yang menyatakan: “…kami mengharapkan kepada semua krama
desa/krama banjar Pakraman Tabola untuk mencermati apa yang kami
paparkan tersebut di atas dan menghimbau demi untuk kepentingan
Desa Pakraman Tabola, khususnya Pembangunan/pemugaran Pura
Puseh Tabola”. Akhirnya surat itu ditutup dengan tandatangan
Bendesa/Klian Desa dan Sekretaris Desa Tabola, I Gusti Lanang
Sidemen dan Ketut Sukayasa.
Dari keseluruhan isi surat, sangat jelas bahwa para pengurus
desa memberikan dukungan kepada kandidat calon Bupati/Wakil
Bupati I Wayan Geredeg/I Made Sukarana; ketimbang ke tiga kandidat
calon yang lain, yaitu pasangan I Putu Kertya/Cokorda Suteja, I Wayan
Sudirta/ I Wayan Astawan, dan I Wayan Bagiarta/I Gusti Lanang
Rudiarta. Di antara pasangan calon itu, salah satu kandidat calon Wakil
Bupati, Cokroda Suteja bahkan putra asli dari Desa Pakraman Tabola,
anak sulung dari penglingsir Puri Sidemen, Cokorda Gde Dangin.
Namun tentu saja, pengurus desa tidak mendukung sama sekali calon
asal desanya tersebut karena berbagai alasan. Selain pasangan calon
yang bersangkutan dinilai kurang popular dan kecil peluangnya untuk
memenangkan Pilkada, calon tersebut terutama adalah keluarga Puri
Sidemen. Bagaimanapun, suasana konflik yang pernah terjadi antara
pengurus desa dengan Cokorda Made Dangin dari Puri Sidemen belum

Kaitannya Dengan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Karangasem Periode 2010 s/d
2015”. Desa Tabola, Sidemen, 20 April 2010.

313

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
pulih betul, meskipun upaya rekonsiliasi dari ke dua belah pihak terus
diupayakan oleh masing-masing. 12
Sedangkan dukungan terhadap kandidat calon Bupati/Wakil
Bupati, I Wayan Geredeg/I Made Sukarana, tentu saja lebih
menjanjikan. Pasangan ini dianggap jauh lebih popular dibandingkan
calon-calon yang lain; dan tentu saja peluang untuk menang sangat
besar mengingat I Wayan Geredeg adalah Bupati incumbent.
Begitupula peluang untuk dibebaskan dari beban hutang bila pasangan
ini memenangkan Pilkada cukup terbuka, mengingat proses negosiasi
pengambilalihan pengelolaan usaha air minum desa dari PDAM ke
desa adalah sepengetahuan dan seijin Bupati I Wayan Geredeg. Faktor
lain yang tidak kalah penting, I Wayan Geredeg adalah Ketua Dadya
Kanuruhan Bali; sedangkan sekretaris desa Tabola, Ketut Sukayasa
adalah Ketua Dadya Kanuruhan Kecamatan Sidemen. Adanya
kesamaan asal usul keturunan (dadya kanuruhan) ini tak pelak menjadi
salah satu faktor pendorong munculnya dukungan itu.
Dalam kesempatan wawancara dengan Ketut Sukayasa,
sekretaris Desa Pakraman Tabola, jauh hari sebelum surat itu keluar,
sudah menunjukkan tanda-tanda dukungannya kepada I Wayan
Geredeg. “Bagaimanapun sulit untuk tidak mendukung beliau lagi
(Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg). Sebab beliau itu satu leluhur,
satu keturunan keluarga, satu dadya, kanuruhan dengan saya,”
demikian kata Ketut Sukayasa. 13 Dadya Kanuruhan mengacu pada
leluhur keturunan keluarga Arya Kanuruhan, salah satu satria
Majapahit yang ikut dalam ekspedisi pasukan Majapahit dalam
menaklukkan Bali. Kelak kemudian, Arya Kanuruhan ini menjadi
pengiring atau patih Raja Bali yang berkedudukan di Gelgel, dan
12

Dalam kesempatan wawancara, dengan tokoh kedua kubu yang bertikai (Cokorda
Gde Dangin dan I Gusti Lanang Gita di satu pihak dengan I Gusti Lanang Sidemen dan
pengurus Desa Tabola yang baru di pihak lain) terkesan kuat bahwa mereka semua
menginginkan adanya rekonsiliasi. Terkait upaya rekonsiliasi ini, mereka menjelaskan
hal yang sama, yaitu menginginkan kehidupan desa yang kembali harmonis sesuai
dengan prinsip Tri Hita Karana.
13 Wawancara dengan Ketut Sukayasa. Banjar Kebon, Desa Pakraman Tabola,
Sidemen, 24 Desember 2009

314

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOLA
kemudian Klungkung, Bali. Raja Bali ini, dalam babad diakui sebagai
leluhur langsung keluarga di Puri Sidemen.
Yang juga menarik untuk dicermati dari isi surat adalah adanya
janji bahwa bila calon yang didukung desa menang, mereka akan
membantu pembangunan Pura Puseh Tabola, dan mengangkat status
Pura Puseh Tabola itu sebagai kahyangan jagat. Hal pertama yang perlu
diperhatikan, bahwa ternyata janji untuk menghapuskan beban hutang
masih perlu diembel-embeli atau ditambahi dengan janji bantuan
pembangunan pura puseh dan mengusahakan untuk bisa mengangkat
statusnya menjadi kahyangan jagat. Embel-embel janji ini sifatnya
simbolik, karena terkait adat dan agama yang diyakini oleh krama desa.
Janji seperti ini dinilai penting untuk dinyatakan semata-mata untuk
menunjukkan bahwa komitmennya tidak hanya bersifat material,
tetapi lebih dari itu juga memiliki dimensi immaterial, yaitu dalam
wujud adat dan agama, yang bagi masyarakat desa menjadi sesuatu hal
yang sangat penting. Jadi dalam hal ini, transaksi dalam politik tidak
saja melibatkan transaksi material, tetapi juga transaksi immaterial
yang tentu saja memiliki dimensi simbolik.
Terkait janji untuk meningkatkan status Pura Puseh Tabola
menjadi pura kahyangan jagat, bisa dijelaskan sedikit artinya berikut
ini. Pura Puseh Tabola selama ini dikenal sebagai pura milik Desa
Tabola yang menjadi salah satu bagian dari kahyangan tiga yang ada di
desa Tabola. Dalam pura puseh ini para krama desa menyembah Sang
Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dalam perwujudannya
sebagai Dewa Brahma, Sang Maha Pencipta. Namun, pada setiap waktu
tertentu secara regular, di Pura Puseh Tabola dilakukan kegiatan
bersama terkait upacara keagamaan yang cukup besar bagi umat Hindu
di Bali yang dinamakan Betara Turun Kabeh. Secara sederhana,
upacara Batara Turun Kabeh bisa digambarkan sebagai suatu upacara
menyambut perjalanan Dewa-Dewa yang ada di Pura Besakih menuju
pantai Klotok yang ada di Klungkung.
Dalam perjalanan pulang menuju Pura Besakih, para Betara
atau Dewa-Dewa itu mampir dan bermalam di Pura Puseh Tabola.
Kehadiran para Betara atau Dewa di Pura Puseh ini kemudian
315

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
disambut suatu upacara besar di pura puseh oleh umat Hindu, yang
tidak saja berasal dari Desa Tabola, tetapi juga luar Tabola. Mungkin
karena Pura Puseh Tabola pada waktu tertentu menjadi tempat upacara
bagi umat Hindu, yang juga berasal dari luar Desa Tabola, maka oleh
sebagian kalangan di desa, statusnya bisa ditingkatkan menjadi pura
kahyangan jagat. Kahyangan jagat ini artinya kira-kira tempat suci
(untuk sembayang) bagi seluruh (umum) umat Hindu (Stuart-Fox,
2010). Ini berbeda dengan status kahyangan tiga, yang merupakan
tempat suci untuk para krama desa pakraman tertentu sebagai
pemaksan pura (umat).
Dengan adanya keingingan untuk menjadikan Pura Puseh
Tabola menjadi pura kahyangan jagat, maka kira-kira Puseh Tabola
ingin disamakan (kurang lebih) dengan pura-pura besar berikut ini
yang memang memiliki status sebagai Pura kahyangan jagat, yang
lokasinya mewakili 9 penjuru angin. Sembilan pura kahyangan jagat
itu adalah sebagai berikut. Pertama, Pura Besakih di arah Timur Laut
(terletak di punggung Gunung Agung, Kabupaten Karangasem). Kedua,
Pura Lempuyangan Luhur di arah Timur (terletak di Kabupaten
Karangasem). Ketiga, Pura Anda Kasa di arah Selatan (terletak di
Kabupaten Karangasem). Keempat, Pura Gua Lawah di arah Tenggara
(terletak di Kabupaten Klungkung). Kelima, Pura Ulu Watu di arah
Barat Daya (terletak di Kabupaten Badung). Keenam, Pura Luhur Batu
Karu di arah Barat (terletak Kabupaten Tabanan). Ketujuh, Pura
Puncak Mangu di arah Barat Laut (terletak di Kabupaten Badung).
Kedelapan, Pura Batur di arah Utara (terletak di Kabupaten Bangli).
Kesembilan, Pura Pusering Jagad di arah Tengah (terletak di Pejeng
Kabupaten Gianyar).
Melihat perbandingan seperti ini, tentu bukan hal gampang bagi
seorang Bupati untuk menjadikan Pura Puseh Tabola meningkat
statusnya dari Pura Kahyangan Tiga menjadi Pura Kahyangan Jagat.
Tetapi, seperti pepatah: “dalam politik, apa yang tidak bisa dijanjikan”.
Hal-hal yang kurang masuk akal pun bahkan tidak jarang juga
dijanjikan, dan anehnya banyak pula yang terpikat oleh janji-janji
seperti itu. Tetapi memang seringkali janji politik merupakan satu hal,
316

BAB 7 PERGULATAN KEPEMIMPINAN DI TABOL