Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB IV

BAB 4
DESA PAKRAMAN TABOLA
Profil Desa Pakraman Tabola
• Desa Tabola dan Puri Sidemen
Desa Pakraman Tabola (Desa Tabola) adalah sebuah desa adat
di Bali yang letak geografisnya berada dalam wilayah Kecamatan
Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Sebagaimana telah
disinggung dalam bagian sebelumnya, kata desa di Bali terbagi atas dua
pengertian, yaitu: pertama, mengacu pada desa sebagai bagian dari
administrasi pemerintahan di atasnya (kecamatan dan kabupaten),
yang di Bali dinamakan desa dinas; ke dua, mengacu pada desa sebagai
satu kesatuan masyarakat hukum adat yang berdiri sendiri, yang di Bali
dinamakan desa adat. Terkait dengan hal ini, Desa Tabola merupakan
desa adat, yang penyebutannya sejak tahun 2001 untuk seluruh Bali
berubah dari sebutan semula desa adat menjadi desa pakraman. 1
Sebagai suatu desa adat atau desa pakraman, wilayah Tabola
melingkupi tiga wilayah desa dinas, yang secara hirarkhis administrasi
berada di wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Sidemen.
Tiga desa dinas tersebut masing-masing adalah: (1) Desa Sidemen; (2)
Desa Telagatawang; dan (3) Desa Sinduwati. Pada awalnya, wilayah
Desa Pakraman Tabola hanya mencakup satu desa dinas, yaitu Desa

Sidemen. Lalu dalam perkembangannya, wilayah Desa Sidemen
dimekarkan dua kali, yaitu: pertama, pemekaran Desa Telagatawang
dan ke dua, pemekaran Desa Sinduwati. Desa Telagatawang adalah
hasil pemekaran Desa Sidemen pada tahun 1999/2000; sedangkan Desa
Sinduwati adalah hasil pemekaran Desa Sidemen pada tahun
2007/2008.
Dengan cakupan wilayahnya yang meliputi tiga desa dinas itu,
maka wilayah Desa Pakraman Tabola boleh dikatakan relatif luas.
Sebagai perbandingan, dalam wilayah Kecamatan Sidemen terdapat 10
desa dinas, yang tiga di antara berada dalam wilayah Desa Pakraman
1

Lihat: Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Bali, No. 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman.

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Tabola. Kesepuluh desa dinas yang ada di wilayah Kecamatan Sidemen
itu masing-masing adalah: (1) Desa Sidemen, (2) Desa Telagatawang,
(3) Desa Sinduwati, (4) Desa Talibeng, (5) Desa Tangkup, (6) Desa
Wismakerta, (7) Desa Sangkan Gunung, (8) Desa Tri Eka Bhuwana, (9)

Desa Kerta Bhuwana, dan (10) Desa Lokasari.
Kecamatan Sidemen adalah satu di antara 8 kecamatan yang
ada di Kabupaten Karangasem. Nama dari ke 8 kecamatan itu masingmasing adalah: Kecamatan Abang, Kecamatan Kubu, Kecamatan Selat,
Kecamatan Bebandem, Kecamatan Manggis, Kecamatan Karangasem,
Kecamatan Rendang dan Kecamatan Sidemen (lihat peta Kabupaten
Karangasem). Kalau dilihat dari letak geografisnya, wilayah Kecamatan
Sidemen berada di bagian barat Kabupaten Karangasem, dan karena itu
wilayah Kecamatan Sidemen dan sekitarnya sering disebut dengan
nama lain yaitu Karangasem Barat, bersama dengan Kecamatan
Rendang dan Kubu.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Karangasem tahun 2009, luas
wilayah Kecamatan Sidemen yang terbagi atas 10 desa dinas itu adalah
35,15 km², dengan total jumlah penduduk sebesar 33.958 jiwa, yang
terdiri dari sekitar 7.956 satuan rumah tangga. 2 Berikut data tentang
luas desa, besarnya jumlah penduduk, serta besarnya jumlah rumah
tangga tiga desa dinas yang wilayahnya tercakup dalam wilayah Desa
Pakraman Tabola, yaitu Desa Dinas Telaga Tawang, Desa Dinas
Sidemen dan Desa Dinas Sinduwati.
Tabel 5. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk
dan Jumlah Rumah Tangga Tiga Desa

No
1
2
3
4

Desa (Dinas)
Telaga Tawang
Sidemen
Sinduwati
Total 3 Desa

Luas Wilayah
(km2)

Jumlah
Penduduk (Jiwa)

Jumlah Rumah
Tangga


2,97
3,86
3,02
9,85

3.122
3.850
3.798
10.710

764
1.008
846
2.618

Sumber: BPS Kabupaten Karangasem, 2009
Lihat: Karangasem Dalam Angka 2009 (Keadaan Geografi dan Iklim). Kerjasama
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem dengan Badan Perencana Pembangunan
Daerah Kabupaten Karangasem. Amlapura, Karangasem, Agustus 2010.

2

144

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Oleh karena wilayah Desa Adat Tabola mencakup wilayah tiga desa
dinas sebagaimana tersebut di atas, maka pada tahun 2009, jumlah
penduduk Desa Tabola diperkirakan 10.710 jiwa, yang tercakup dalam
2.618 rumah tangga, dengan luas wilayah kurang lebih 9,85 km².
Angka-angka statistik yang disebutkan itu memang mengacu pada data
statistik tiga desa dinas sebagaimana disebut di atas, karena memang
sejauh ini belum ada angka statistik yang resmi dari Desa Parkraman
Tabola itu sendiri.
Selain itu, sejauh ini belum ada batas wilayah dalam arti
geografis, yang lebih pasti dari Desa Pakraman Tabola. Pada umumnya
batas-batas wilayah desa adat/pakraman di Bali memang tidak dalam
bentuk batas peta wilayah geografis yang tergambar jelas batasbatasnya, sebagaimana biasanya yang berlaku untuk desa-desa dinas.
Sebaliknya, batas wilayahnya adalah batas wilayah adat, yang wujud
kongkritnya kerap berupa batas-batas alam, seperti sungai, perbukitan,
batu besar, suatu tempat tertentu sebagai penanda, dan lain sebagainya.

Contohnya adalah Desa Pakraman Tabola, yang batas-batasnya
ditentukan oleh batas alam dan nama suatu tempat atau nama desa
tetangga (Catra, 2003).
Misalnya, disebutkan bahwa batas sebelah barat Desa
Pakraman Tabola adalah pinggiran Desa Pakraman Sangkan Gunung.
Yang dimaksudkan dengan pinggiran desa tersebut adalah Sungai Unda
atau Tukad Unda yang mengalir melewati pinggiran batas Desa
Pakraman Tabola dan Desa Pakraman Sangkan Gunung. Begitupula
dengan batas “pinggiran desa” yang lainnya, yang bentuk konkritnya
juga merupakan batas alam, seperti misalnya bukit dan lembah. Perlu
dicatat di sana bahwa pengertian batas itu memang sedikit banyak
masih kabur. Ini terlihat dari kata-kata bahwa batasnya adalah
“pinggiran desa…”.
Kekaburan ini bahkan diakui sendiri oleh salah seorang tokoh
adat Desa Pakraman Tabola, Ida I Dewa Gde Catra. Dalam suatu
wawancara, misalnya, ia mengemukakan bahwa dalam awig-awig
sengaja disebutkan bahwa batasnya adalah “pinggiran desa”. Ini
pengertiannya adalah bahwa memang tidak ada batas wilayah geografis
145


PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
yang pasti dan jelas. Sehingga di mana letak “pinggiran desa” itu
menjadi sangat tergantung dari pemahaman bersama dari ke dua belah
pihak desa yang bersangkutan. Pemahamannya tentu mengacu pada
perspektif sejarah dan adat dari masing-masing pihak desa terkait. 3
Selain itu, penyebutan batas “pinggiran desa” adalah untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik wilayah antara desa
adat/pakraman. Sebab penyebutan batas desa yang lebih pasti dan jelas
secara geografis seringkali harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
di Bali masih terdapat perselisihan batas wilayah antar desa. Memang,
sebagaimana diketahui, awig-awig lama di Bali pada umumnya tidak
menyebutkan batas-batas desa adat/pakraman dengan jelas secara
geografis. Sehingga ketika desa adat/pakraman di Bali mulai menata
diri untuk membangun kembali eksistensinya, khususnya sejak masa
reformasi (1998/1999), maka tidak jarang muncul konflik akibat saling
klaim terhadap garis batas desa.
Sebagai contoh adalah konflik yang terjadi pada tahun 2005
yang melibatkan Desa Pakraman Ulakan dan Desa Pakraman Antiga.
Konflik antara dua desa adat/pakraman yang ada di Kacamatan
Manggis, Kabupaten Karangasem itu dipicu oleh persoalan saling klaim

penguasaan tapal batas desa yang berimpitan dengan areal Depo
Minyak Pertamina di Labuan Amuk. Di sini konflik tidak saja
berdimensi adat tetapi juga menonjol kepentingan ekonomi-politik,
khususnya dalam memperebutkan sumber daya ekonomi yang berasal
dari keberadaan Depo Minyak Pertamina itu. Konflik-konflik serupa
tidak jarang terjadi di daerah-daerah lainnya di Bali (Parimatha, 2006:
21-43).
Dalam sejarahnya, batas desa adat/pakraman memang lebih
banyak tidak secara geografis tetapi lebih pada batas adat. Sedangkan
batas adat itu sendiri dalam praktiknya lebih banyak mengacu pada
keberadaan penduduk yang tinggal dan menjadi bagian dari
komunitas/masyarakat adat tertentu. Kalau di Bali, hal itu paling jelas
ditunjukkan dengan keterikatan suatu komunitas/masyarakat adat yang
bersangkutan dengan apa yang disebut sebagai ikatan kahyangan tiga
3

Wawancara dengan Ida I Dewa Catra. Amlapura, 28 Oktober 2010.

146


BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
(sebagai anggota pemaksan pura). Dalam konteks masyarakat Desa
Pakraman Tabola, ikatannya tentu saja adalah ikatan kahyangan tiga
atau kahyangan desa yang terdapat di wilayah Desa Pakraman Tabola.
Sebagai anggota dari institusi yang dinamakan pemaksan, para
krama desa berkewajiban “mengemong” tiga pura suci di desa, yaitu
pura desa/balai agung, pura puseh, dan pura dalem, yang maknanya
mereka bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan
dengan keberadaan tempat suci tersebut. Salah satu bentuk
tanggungjawab ini, misalnya, memelihara bangunan tempat suci,
menyelenggarakan berbagai macam upacara pada hari-hari tertentu di
tempat suci yang bersangkutan, dan lain sebagainya.
Di samping adanya ikatan terhadap kahyangan tiga, ikatan adat
yang lain adalah apa yang disebut pelemahan dan pawongan.
palemahan mengacu pada tanah-tanah sawah, kebun maupun
pekarangan milik desa ataupun milik Pura yang dikuasai dan digarap
oleh penduduk desa yang bersangkutan. Kalau di Bali pada umumnya,
atau di Desa Pakraman Tabola pada khususnya, ikatan terhadap
Palemahan ini berbentuk ikatan terhadap tanah ayahan desa, tanah
pekarangan desa atau tanah pelaba pura. Tanah ayahan desa bisa

berwujud sawah maupun kebun, sedangkan tanah pekarangan desa
umumnya berbentuk tanah-tanah (milik) desa yang diatasnya berdiri
rumah-rumah dan pekarangan penduduk, atau dalam bentuk
bangunan-bangunan kios yang berdiri didalam dan disekitar areal pasar
desa (Pasar Sidemen) milik desa pakraman Tabola. Sedangkan tanah
pelaba pura adalah tanah milik pura yang digarap oleh penduduk desa,
dan sebagai imbalannya mereka yang menggarap tanah tersebut
berkewajiban memberikan sebagian hasilnya ke pura.
Sementara pawongan mengacu pada ikatan di antara orangorang yang ada di desa, atau lebih tepatnya anggota keluarga yang ada
di desa. Dalam hal ini mereka terikat pada keanggotaan berbagai
organisasi yang ada di desa, mulai tingkat tempek, banjar sampai desa,
yaitu sebagai krama tempek, krama banjar serta krama desa. Di
samping mereka juga terikat pada keanggotaan organisasi lainnya
seperti seke-seke yang ada di desa, dari mulai seke gong (kumpulan
147

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
penabuh musik gamelan tradisonal Bali), seke tari, sampai seke subak
(di Desa Tabola sendiri terdapat organisasi subak, yang dinamakan
Subak Tabola). Seke adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan

spesifik yang tertentu (seperti menabuh gamelan, menari, dan lain
sebagainya) dengan keanggotaan bersifat sukarela. Dengan demikian
batas-batas adat yang ditunjukkan oleh keanggotaan dan keterikatan
warga atau penduduk desa terhadap kelembagaan adat di desa yang
bersangkutan memang sudah jelas keberadaannya, yaitu mulai dari
tingkat paling bawah tempek, banjar, sampai desa adat dan kahyangan

desa.
Selanjutnya bagaimana gambaran keadaan sosial-ekonomi
masyarakat Desa Pakraman Tabola? Sejauh ini memang belum tersedia
data statistik sosial-ekonomi tentang masyarakat Desa Adat/Pakraman
Tabola. Namun demikian karena penduduk Desa Pakraman Tabola
mencakup tiga desa dinas yang ada dalam ruang lingkup wilayah desa
pakraman bersangkutan, maka gambarannya bisa dilihat dari statistik
sosial ekonomi tiga dinas tersebut. Berikut gambaran statistiknya.
Tabel 6: Keadaan Kependudukan Desa Pakraman Tabola
Tahun
2000
2006
2008

Sumber:

Jumlah Penduduk

Jumlah Keluarga

Persentasi Keluarga
Petani (%)
9008
2026
66
10738
2574
84
10710
2618
68
Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008.

Patut dicatat di sini bahwa persentase keluarga petani di Desa
Pakraman Tabola angkanya cukup besar dan malah merupakan
mayoritas. Ini sejalan dengan gambaran wilayah Desa Tabola yang
memang merupakan daerah pertanian yang bertopografi bukit dan
lembah. Sebagai daerah pertanian, wilayah Kecamatan Sidemen (yang
didalamnya termasuk Tabola) bahkan menjadi daerah lumbung padi
terbesar ke dua di Kabupaten Karangasem, setelah Kecamatan
Karangasem. Dari angka statistik pertanian Kabupaten Karangasem,
misalnya, tercatat bahwa hasil produksi padi di Sidemen tahun 2009
tercatat sebesar 12.040 ton, atau terbesar ke dua di Kabupaten
Karangasem, setelah Kecamatan Karangasem yang mampu
148

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
menghasilkan produksi padi sebesar 21.403 ton. Di wilayah Kabupaten
Karangasem sendiri, hampir 53% penduduk usia kerja berkerja di
sektor pertanian (BPS Kabupaten Karangasem, 2010).
Sementara itu kalau diperhatikan dari tabel, ada lonjakan angka
persentase keluarga petani tahun 2006, yaitu 84%, dibandingkan
dengan angka tahun 2000 (66%) maupun 2008 (68%). Lonjakan ini
diperkirakan terjadi akibat dari dampak Bom Bali yang memang
meluluh lantakkan sektor pariwisata di Bali. Sebagaimana
dikemukakan oleh mantan Kepala Desa Dinas Telagatawang, Ketut
Sukayasa, bahwa setelah kejadian Bom Bali, banyak masyarakat di
Sidemen yang bekerja di kota-kota, khususnya tempat-tempat yang
menjadi pusat pariwisata (Denpasar, Sanur, Kuta, dan lain-lain)
kembali ke desa. 4
Keadaan inilah yang diduga menjadikan persentase keluarga
yang berkecimpung di sektor pertanian menjadi meningkat. Sebagai
catatan, data Pokdes 2006 merupakan data hasil survei BPS tahun
2004/2005. Sedangkan tahun 2004/2005 banyak dinilai merupakan
kurun waktu paling pahit bagi Bali akibat jatuhnya sektor pariwisata
sebagai dampak dari Bom Bali. 5 Bagi Bali, sektor pariwisata memang
memegang peranan sangat penting bagi perekonomian domestik
sebagaimana terbukti dari sumbangannya yang cukup dominan
terhadap keseluruhan pendapatan ekonomi regional. Data BPS tahun
2009, misalnya, menunjukkan bahwa sumbangan sektor pariwisata
secara umum kepada PDRB Bali mencapai lebih dari 30% atau kirakira hampir sama dengan sumbangan sektor pertanian secara luas yang
tercatat sebesar 31%. 6

Wawancara dengan Ketut Sukayasa, mantan Perbekel Telagatawang dan ketika
wawancara ini dilakukan ia menjabat sebagai Sekretaris I Desa Pakraman Tabola.
Banjar Kebon, Desa Telagatawang, 24 Desember 2009.
5
Lihat juga: Suriastini, N.DI MANA. Kontribusi Strategi Bertahan Hidup Rumah
4

Tangga Pasca Tragedi Bom Bali
I Pada Peningkatan Kesejahteraan Materi:
Menggunakan Data Panel Rumah Tangga. SurveyMeter, Yogyakarta.
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/2~artikel_kontribusi_strategi_untuk_majalah_pirami
da.pdf
6
Lihat: Karangasem dalam Angka 2009 (Distribusi Persentase PDRB Kabupaten
Karangasem Atas Dasar Harga Konstan tahun 2000 Menurut Lapangan Usaha)

149

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 10: Lahan Pertanian di Sidemen Berada
di Areal Perbukitan dan Lembah.

Sumber: Dokumen Pribadi, 2009.

Bahwa Desa Pakraman Tabola merupakan desa pertanian
(mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian) juga ditunjukkan
oleh cukup besarnya proporsi areal pertanian yang ada di desa tersebut
dibandingkan dengan keseluruhan areal yang ada. Berikut data yang
dikompilasi dari 3 desa dinas, yaitu Telagatawang, Sidemen dan
Sinduwati, yang tercakup dalam wilayah Desa Pakraman Tabola.
Tabel 7: Luas Lahan Pertanian (Sawah) di Desa Pakraman Tabola
Tahun

Luas
(Ha)

Desa

Lahan Sawah (Ha)

Lahan non Sawah*
(Ha)

2000
985
452
533
2006
985
NA
NA
2008
985
450
535
* non sawah di sini termasuk perumahan, pemukiman, ladang, kebun dan hutan.

Sumber: Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008,
yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati.

Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem dengan Badan Perencana
Pembangunan Daerah Kabupaten Karangasem. Amlapura, Karangasem, Agustus 2010.

150

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Dari data tersebut bisa dilihat bahwa luas areal pertanian
(khususnya persawahan) di Desa Tabola mencakup sekitar 46% dari
seluruh areal desa yang ada. Sekali lagi, ini dibandingkan dengan luas
lahan sawah, belum termasuk lahan-lahan perkebunan dan hutan yang
memang ada di desa tersebut (dalam tabel termasuk dalam lahan non
sawah). Kalau menurut data Podes 2008, lahan bukan sawah tetapi
termasuk pertanian/perkebunan/hutan, luasnya sebesar 401 ha. Dengan
luasan lahan sebesar ini berarti luas lahan pertanian dalam arti luas di
Tabola mencapai hampir sebesar 86%.
Pada kenyataannya memang Kecamatan Sidemen, khususnya
Desa Pakraman Tabola, memang dianggap sebagai salah satu dari
wilayah pertanian yang subur yang ada di Kabupaten Karangasem.
Bahkan Sidemen termasuk salah satu sentra produksi pertanian,
khususnya padi sawah, dari Kabupaten Karangasem yang sebagian
besar wilayahnya memang merupakan lahan kering. Sebagai catatan,
persentase luas lahan sawah dibandingkan lahan kering di Kabupaten
Karangasem hanya sekitar 8,42% saja, atau luas totalnya sekitar 7.070
ha (Karangasem dalam Angka, BPS, 2009).
Selanjutnya, bagaimana dengan gambaran sosial ekonomi desa
yang lain? Berikut gambaran selintas tentang keadaan di bidang
pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum di Desa Tabola.
Tabel 8: Data Fasilitas Pendidikan di Desa Pakraman Tabola
Tahun
Jumlah TK
Jumlah SD
Jumlah SMP
Jumlah SMA
2000
0
10
1
1
2006
1
9
1
1
2008
4
10
1
1
Sumber: Dikompilasi dari data Podes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008,
yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati.

Dalam bidang pendidikan, Desa Tabola yang wilayahnya
mencakup tiga desa dinas tersebut, boleh dikatakan relatif maju.
Katakanlah bila dibandingkan dengan desa-desa sekitarnya (desa adat
maupun desa dinas). Gambaran yang paling nyata adalah tersedianya
fasilitas pendidikan, baik pada tingkat Di mana Kanak-Kanak (TK),
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah
151

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Menengah Atas (SMA). SMA yang ada di Tabola (terletak di Desa dinas
Sidemen/Telagatawang), bahkan statusnya SMA Negeri (SMAN 1
Sidemen).
Sebagai tambahan, SMA Negeri I Sidemen memiliki
keistimewaan karena sejak awal berdirinya sudah memperkenalkan
kurikulum kebudayaan (tradisi dan kebudayaan Bali), yang kelak
kemudian dijadikan contoh oleh banyak SMA lainnya di Bali.
Misalnya saja, SMAN I Sidemen memberikan pelajaran menenun,
membaca dan membuat tulisan huruf Bali Kuno dalam lontar, menari,
menabuh gamelan, dan lain sebagainya. Dalam soal pelajaran
menenun, ini sejalan apa yang berkembang di Desa Tabola yang sampai
sekarang dikenal sebagai salah satu pusat produksi kain tenun di Bali.
Di samping Sidemen/Tabola juga dikenal sebagai salah satu tempat
kerajinan pembuatan tulisan-tulisan Bali Kuno serta cerita bergambar
(misalnya, cerita bergambar Ramayana), yang semuanya itu dituliskan
atau digambarkan di daun lontar.
Kalau ditelusuri riwayatnya, salah satu penggagas dari SMA
yang memberikan atau menyertakan kurikulum kebudayaan ini adalah
Penglisir (penguasa) Puri Sidemen, Cokorda Gde Dangin. Menurut
penuturan Pak Cok, nama panggilan popular dari Penglingsir Puri
Sidemen itu, SMA Sidemen sejak awal memang dirancang sebagai
Sekolah Menengah Atas yang dalam kurikulumnya memberikan
pelajaran budaya Bali. Untuk merealisasikan hal itu, ia dibantu oleh
beberapa sahabatnya orang asing yang sempat tinggal di Sidemen.
Kelak kemudian, pada masa pemerintahan Gubernur Bali, Dewa Barata
(1998-2008), SMA Sidemen itu itu dijadikan SMA Negeri (SMAN I,
Sidemen), dengan kekhususan tetap memberikan pelajaran kebudayaan
Bali, sampai sekarang.
Sebagaimana akan dikemukakan pada bagian selanjutnya dari
Bab ini, Puri Sidemen dalam sejarahnya memang memiliki peranan
sosial-politik yang khusus di Sidemen/Tabola. Bahkan dinamika sosialpolitik yang terjadi di Desa Tabola tidak pernah lepas dari pengaruh
Puri yang berdiri sejak abad ke-17 ini. Sampai sekarangpun, pengaruh

152

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
sosial, politik dan budaya Puri Sidemen, khususnya di bawah
kepemimpinan Pak Cok, boleh dikatakan masih cukup kuat.
Berikutnya adalah gambaran statistik mengenai kondisi
ketersediaan fasilitas Kesehatan di Desa Tabola.
Tabel 9: Data Fasilitas Kesehatan di Desa Pakraman Tabola
Rumah
Praktek Praktek Surat Dukun
Bidan
Miskin
Bayi
Tahun Bersalin Puskesmas Posyandu Dokter
2000
1
1
NA
3
2
37
NA
2006
NA
1
14
3
2
58
NA
2008
1
1
16
NA
1
206
2
Sumber: Dikompilasi dari data Pokdes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008,
yaitu untuk Desa (Dinas) Telagatawang, Sidemen dan Sinduwati.

Dari gambaran yang ada tersebut, terlihat bahwa di Desa
Tabola relatif cukup tersedia fasilitas kesehatan. Dalam koteks ini perlu
dicatat bahwa letak Ibu kota Kecamatan Sidemen ada di wilayah Desa
Tabola, tepatnya ada di wilayah Desa (Dinas) Sidemen. Sehingga bisa
dimaklumi kalau fasilitas kesehatan di Tabola tersedia di sana.
Selanjutnya bagaimana gambaran infrastruktur yang ada di
Desa Tabola? Berikut data statistik ketersediaan infrastruktur seperti
PLN, telpon, pura dan masjid.
Tabel 10: Data Fasilitas Infrastruktur di Desa Tabola
Tahun
2000
2006
2008

Pelanggan
PLN
1090
1402
2033

Pelanggan
Telpon Kabel
30
NA
40

Jumlah
Pura
39
36
36

Jumlah
Masjid/Surau
3
3
3

Sumber: Dikompilasi dari data Pokdes (Potensi Desa) BPS, tahun 2000, 2006 dan 2008.

Terkait jumlah pelanggan PLN kalau dibandingkan dengan
jumlah keluarga yang ada di Desa Tabola, maka bisa dikemukakan
bahwa terjadi peningkatan yang cukup tajam dalam proporsi antara
jumlah keluarga dengan jumlah pelanggan PLN, khususnya pada tahun
2008. Dalam hal ini bisa dicatat, misalnya, bahwa proporsi pelanggan
PLN dibandingkan jumlah seluruh keluarga yang ada di Desa Tabola
tahun 2000 sebesar 54%, lalu tahun 2006 hampir tidak berubah, yaitu
153

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
54,4%. Tetapi tahun 2008 terjadi lonjakan menjadi 77,7%. Ini bisa
ditafsirkan bahwa cakupan pelayanan infrastruktur listrik di Desa
Tabola semakin meningkat tajam pada tahun 2008. Peningkatan yang
sama juga terjadi dalam hal layanan telpon.
Sedangkan jumlah pura di Desa Tabola, seperti halnya di desadesa adat/pakraman, cukup banyak. Tahun 2008 jumlahnya mencapai
36, termasuk pura yang dikatagorikan sebagai pura kahyangan tiga,
yaitu pura puseh, pura desa/bale agung dan pura dalem. Sebagai
catatan, pura puseh dan pura desa yang ada di Desa Tabola, lokasinya
menjadi satu, yaitu ada di Banjar Tabola; sedangkan pura dalem di
Tabola ada beberapa buah, antara lain: Dalem Bwan, Dalem Kikiyan,
Dalem Boni, Dalem Yangtaluh, Dalem Cepik dan Dalem Panggung. Di
luar pura kahyangan tiga, terdapat pura-pura yang lain, seperti
misalnya pura melanting (pura yang ada di pasar Sidemen), pura ulun
suwi (pura Subak), dan pura keluarga atau pura dadia. Yang terakhir ini
contohnya pura dadia kanuruhan, yaitu pura keluarga yang diempon
(dikelola dan dipelihara) oleh para keluarga yang berasal dari
soroh/keturunan Kanuruhan. Pura dadia kanuruhan di Sidemen
terletak di Banjar Kebon, Telagatawang.
Dari data yang ada juga terlihat bahwa di Desa Tabola terdapat
Masjid yang jumlahnya mencapai tiga buah. Memang, di Desa Tabola
terdapat pemukiman komunitas muslim dengan tempat ibadahnya
(masjid). Mereka umumnya tinggal mengelompok dalam suatu
komunitas, khususnya berada di Desa Dinas Sinduwati dan Sidemen.
Menurut Ida I Dewa Gde Catra, keberadaan komunitas muslim di Desa
Tabola ini memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak abad 19, terutama
sejak keterlibatan Puri Sidemen membantu Kerajaan Karangasem
dalam perang di Lombok. Dalam Babad Dalem Anom Pemahyun juga
diceritakan tentang keterlibatan Sidemen membantu Kerajaan
Karangasem dalam perang di Lombok. 7
“Diceritakan Raja Karangasem I Gusti Bagus Karang, mendengar
kesaktian Cokorda Oka (penguasa Sidemen) di masyarakat,

Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun. Koleksi Pribadi Cokorda Gde Dangin
(terjemahan tanpa tahun). Halaman 78.

7

154

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
diundanglah beliau agar datang ke Puri (Karangasem)
mengadakan pertemuan dengan maksud membantu Raja
Mataram Sasak, untuk menggempur/memerangi Raja Singasari
Sasak. Sebab melanggar tata aturan (hukum) “gamya gamana”
menggendaki saudara kandung. Hal itu menyebabkan merusak
Negara dan harus dimusnahkan”.

Tentang pasukan Sidemen yang berangkat ke Lombok, dalam
babad yang sama dicertakan antara lain:
“Maka

berangkatlah beliau menuju Sasak menggempur
Singasari… Keberangkatan beliau pada hari minggu paing uku
sungsang sasih kasa tahun Caka 1760 Masehi 1838. Adapun
jumlah pasukan dari Sidemen terdiri dari 311 laki-laki, 39
perempuan, penggotong 84 orang, dukun 21 orang, pemangku 15
orang, pemimpin pasukan Dewa Ketut Gede, ujung tombaknya I
Gusti Dangin yang diketuai oleh I Gusti Jambe, pemberi
petunjuk Ida Wayan Dangin Buruan, pembantu klian-klian desa
masing-masing”.

Selanjutnya dari sini bisa dirunut bahwa nenek moyang
komunitas muslim yang tinggal di Tabola itu berhubungan dengan
orang-orang Lombok beragama Islam yang di bawah ke Bali (Sidemen)
oleh penguasa Puri Sidemen setelah peperangan itu. Sejak itu
komunitas muslim di Tabola terus berkembang sampai sekarang.
Menurut catatan sejarah, Desa Adat/Pakraman Tabola, ikut
menyediakan tanah-tanah yang sampai sekarang dipakai/digunakan
oleh masyarakat muslim setempat. Tanah-tanah itu statusnya mirip
tanah ayahan desa, yaitu bisa dipakai/diusahakan tetapi tidak bisa
dijual, dan para pemakainya harus menjalankan kewajiban tertentu
terhadap desa adat sesuai ketentuan yang ada.
Dalam awig-awig (peraturan) Desa Pakraman Tabola
disebutkan dengan jelas bahwa terdapat tanah-tanah yang direlakan
(diijinkan) kepada mereka yang beragama Islam. Tanah-tanah itu
hingga kini dikuasi oleh masyarakat komunitas muslim yang tinggal di
Kampung Sindu, Puniya dan Buhu. Termasuk juga dalam hal ini tanah
desa yang statusnya dijadikan tanah kuburan (makam), yaitu Kuburan
Islam Batunkapas (Catra, 2003).
155

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 11: Perkampungan Warga Muslim di Desa Tabola, Sidemen

Sumber: Dokumen Pribadi, 2012

Keberadaan tanah-tanah desa yang dipakai atau digunakan oleh
komunitas Islam di Desa Tabola menunjukkan bahwa komunitas itu
dalam konteks tertentu dianggap menjadi bagian dari masyarakat adat
di Tabola. Kalau diamati, masyarakat muslim di Tabola bisa hidup
berdampingan secara baik dengan masyarakat desa pada umumnya
yang mayoritas memiliki keyakinan Hindu. Bahkan setelah terjadinya
peristiwa Bom Bali, ketika di berbagai tempat di Bali merebak
sentimen negatif terhadap komunitas muslim, di Tabola hal demikian
boleh dikatakan tidak terjadi. Mereka tetap dapat melanjutkan pola
kehidupan berdampingan bersama seperti biasanya selama ini.
Sebagaimana disinggung di atas, keberadaan komunitas muslim
di Desa Adat/Pakraman Tabola, sesungguhnya terkait erat dengan
keberadaan Puri (istana raja) Sidemen di Desa Tabola. Ini berawal
ketika pasukan Sidemen yang ikut dalam rombongan pasukan perang
Karangasem kembali dari Lombok dengan membawa pulang orangorang muslim dari Lombok tersebut untuk tinggal di Sidemen. Apa
yang dilakukan orang-orang Sidemen ini mengikuti apa yang juga
dilakukan oleh Raja Karangasem. Dalam konteks ini, perlu pula dicatat
bahwa Lombok pada mulanya adalah bagian wilayah Kerajaan
Karangasem. Sehingga memang tidak aneh kalau sejak semula
perkampungan Islam sudah ada di Karangasem. Bahkan menurut
156

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
catatan sejarah yang ada, Puri sebagai pusat pemerintahan dan
kebudayaan Kerajaan Karangasem dikelilingi oleh perkampungan
Islam, yang antara lain berfungsi juga sebagai benteng kerajaan. Dalam
sejarah disebutkan bahwa hal seperti ini mungkin terjadi karena
adanya loyalitas dari kelompok Islam tersebut kepada Raja Karangasem
(Gde Putra, 2006: 103-106).
Sebagaimana diungkapkan oleh Cokorda Gde Dangin
(pemimpin/penerus kekuasaan Puri Sidemen), bahwa wilayah Puri
Sidemen tidak hanya mencakup daerah Sidemen (sekarang Kecamatan
Sidemen) saja, tetapi hingga sampai ke daerah Selat (sekarang
Kecamatan Selat), Rendang (sekarang Kecamatan Rendang) dan Kubu
(sekarang Kecamatan Kubu). Tetapi Puri Sidemen sejak dahulu kala
berada di bawah pengaruh Kerajaan Karangasem, yang wilayahnya
kurang lebih mencakup wilayah Kabupaten Karangasem sekarang. 8
Pusat kekuasaan Puri Sidemen sejak dari dahulu kala berada di
wilayah Desa Tabola sekarang. Tetapi kalau ditelusuri sejarahnya, Desa
Tabola itu sendiri sudah ada sejak jauh sebelum berdiri kerajaan
Sidemen dengan Puri Sidemennya itu. Menurut catatan Babad Dalem
Anom Pemahyun, misalnya, pada tahun Caka 1563 atau tahun 1641
Masehi, Desa Tabola masih berada di bawah kekuasaan seorang
penguasa lokal yang bernama Kyai Lurah Sidemen. Selanjutnya, pada
suatu ketika Kyai Lurah Sidemen, menyerahkan kekuasaannya di
Sidemen kepada Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade, putera Sri Aji
Anom Pemahyun yang merupakan mantan Raja Gegel yang
melengserkan diri dan menyerahkan kekuasaannya pada adiknya. 9
8

Wawancara dengan Cokorda Gde Dangin, penglingsir Puri Sidemen. Sidemen, 30
April 2010.
9
Menurut cerita dalam Babad Dalem Anom Pemahyun, Sri Aji Dalem Anom
Pemahyun adalah putera sulung dan pengganti Raja Gegel yang bernama Sri Aji
Segening, yang wafat pada tahun Caka 1587 atau 1665 Masehi. Karena konflik politik
yang tidak berkesudahan dan untuk menghindarkan pertumpahan darah di
kerajaannya, Sri Aji Dalem Anom Pemahyun terpaksa melengserkan diri, dan
menyerahkan kekuasaannya kepada adiknya, Ida I Dewa Dimade. Selanjutnya Dalem
Anom Pemahyun meninggalkan Gegel dan menuju Desa Purasi (suatu tempat yang
sekarang berada di wilayah Timur, Karangasem) untuk bertempat tinggal di sana.
Kelak kemudian, Dalem Anom Pemahyun memerintahkan anaknya, Ida I Dewa Anom
Pemahyun Dimade untuk memerintah dan mengkonsolidasikan kekuasaan di Sidemen.
Sedangkan pada waktu itu Sidemen berada di bawah kekuasaan Kyai Lurah Sidemen,
yang memerintah berdasarkan petunjuk Raja Gegel yang sudah wafat, Sri Aji Segening.

157

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Sejak itulah berdiri kekuasaan Puri Sidemen di Desa Tabola, yang jejak
pengaruhnya – dalam ukuran tertentu, sebagaimana juga dibahas dalam
tulisan ini – masih kelihatan nyata sampai sekarang.
• Struktur Organisasi Desa Tabola
Dari versi cerita yang lebih lama, sebagaimana dituturkan oleh
I Wayan Suartana, atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan pak
Kawi, sebelum kehadiran Puri Sidemen, Desa Tabola sudah lebih
dahulu diperintah oleh penguasa lokal keturunan dari pendiri Desa
Tabola. Sebagaimana dituturkan oleh pak Kawi, panggilan sehari-hari
dari I Wayan Suartana, salah seorang pengurus Desa Pakraman:
”Keluarga (leluhur) saya yang paling pertama datang ke Desa
Tabola. Leluhur saya itu, Semeton Pasek Gelgel, yang
membangun Pura Puseh (di Desa Tabola). Itu terjadi pada abad
15, atau sekitar tahun 1463, yang dengan demikian berarti
memang Puri Sidemen belum ada pada waktu itu”. 10

Jadi kalau mengikuti penuturan tersebut, Desa Tabola sudah
ada jauh sebelum ada Puri Sidemen. Selain itu, sebagaimana
diungkapkan oleh Ida I Dewa Gde Catra, salah seorang pemuka adat di
Karangasem yang berasal dari Desa Tabola, Desa Tabola bahkan
dianggap sebagai desa kuno. Pengertian kuno ini dikaitkan dengan
keberadaan Desa Tabola yang sudah ada jauh sebelum masa kerajaan
Karangasem, atau bahkan Gelgel (sebelum abad 15). Menurutnya,
kekunoan itu antara lain ditunjukkan dari bentuk padmasana yang ada
di Pura Puseh Desa Tabola yang memiliki tiga ruang. Hal itu
mencirikan bentuk-bentuk padmasana peninggalan dari jaman kuno,
atau sebelum tahun 1000 Masehi. Sebagai catatan, padmasana berasal
dari bahasa sanskerta “padmāsana”, yang adalah sebuah tempat untuk
bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu, terutama umat
Hindu (Bali) di Indonesia.

Jadi ada semacam penyerahan kekuasaan oleh penguasa Sidemen kepada penerus dari
Sri Aji Segening, yaitu Ida I Dewa Anom Pemahyun Dimade, atau cucu dari Sri Aji
Segening sendiri.
10
Wawancara dengan I Wayan Suarthana. Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola,
Sidemen, 29 Oktober 2010.

158

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA

Padmasana seperti yang ada di Pura Puseh Tabola memiliki
bentuk seperti yang dikenalkan oleh Empu Kuturan yang datang dari
Jawa ke Bali pada abad 9/10 M. Bentuk-bentuk padmasana seperti ini
tentu berbeda dengan bentuk padmasana dari jaman yang lebih baru,
yang terutama dikenalkan oleh Dahyang Nirarta, seorang Mahaguru
dari Jawa yang datang ke Bali kira-kira pada abad ke 15/16 M, atau
kira-kira 6-7 abad setelah Empu Kuturan datang ke Bali. Berikut ini
gambar foto dari padmasana bentuk baru yang asal mulanya
dikembangkan oleh Dahyang Nirarta.
Gambar 12: Contoh bentuk Padmasana

Sumber: Dokumen Pribadi, 2009.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pura puseh adalah salah
satu dari tiga pura desa (kahyangan tiga) yang menandakan keberadaan
desa adat atau desa pakraman. Keberadaan kahyangan tiga sebagai
dasar dari desa adat di Bali mulai dikenalkan oleh Empu Kuturan
sekitar abad ke 9 M. Jadi dengan demikian, awal dari keberadaan pura
puseh sebagai salah satu dari kahyangan tiga, terkait langsung dengan
awal dari keberadaan desa adat itu sendiri.
159

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Dalam kahyangan tiga, selain pura puseh juga ada pura balai
agung/pura desa dan pura dalem. Pura Puseh Desa Tabola berada di
lokasi wilayah Banjar Tabola. Di lokasi yang sama di pura puseh itu
terdapat pula pura desa. Sedangkan pura dalem di Desa Tabola ada
beberapa jumlahnya, yang letaknya tersebar di berbagai tempat di Desa
Tabola. Sebagian pura dalem memiliki Setra (kuburan), sedangkan yang
lainnya tidak memiliki Setra (kuburan). Yang terakhir ini seperti pura
dalem yang ada di Banjar Tabola, yang diberinama Pura Dalem Suci
Tabola.
Gambar 13: Pura Puseh dan Pura Desa (Balai Agung) Desa Tabola

Sumber: Dokumen Pribadi 2012

Kembali kepada keberadaan Puri Sidemen di Tabola. Hadirnya
Puri Sidemen di Tabola sejak kurang lebih abad 17, memang pada
akhirnya mengubah struktur sosial masyarakat Desa Tabola, yang
sebelumnya boleh dikatakan termasuk dalam katagori desa kuno di
Bali. Sebagaimana halnya Desa Kuno –yang hingga kini keberadaannya
sebagian masih nyata di Bali– susunan masyarakatnya umumnya lebih
sederhana, yang hal itu antara lain ditunjukkan dengan tidak adanya
pelapisan sosial atau hirarkhi sosial yang lebih komplek. Dalam Bab 3
terdahulu, misalnya, sudah dijelaskan bagaimana masyarakat desa di
Bali yang masih memiliki ciri sebagai desa kuno di Bali (desa aga)
seperti halnya Desa Tenganan Pegringsingan, memiliki susunan
masyarakat yang lebih egaliter (dalam pengertian susunan

160

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
masyarakatnya tidak terlalu hirarkhis), khususnya bila dibandingkan
dengan susunan masyarakat desa pada umumnya di Bali (desa apanaga).
Maka dengan hadirnya Puri Sidemen, susunan masyarakat Desa
Tabola yang semula termasuk desa kuno itu, lalu mulai mengenal
pelapisan sosial atau hirarki sosial atas dasar geneologis (keturunan).
Di sini para penguasa baru tersebut, langsung atau tidak langsung,
mengkonstruksi suatu realitas sosial baru yang didalamnya para
keluarga puri dan pengikutnya menempati lapisan sosial paling atas di
desa. Mereka menduduki suatu posisi lapisan atas yang kemudian
disebut sebagai golongan satria dan arya (golongan satria yang lebih
rendah). Sementara pada saat yang sama kedatangan mereka di Tabola
juga disertai oleh para pendeta, yang secara hirarkhis dikatagorikan
sebagai golongan brahmana.
Sebagaimana sudah disinggung dalam bagian sebelumnya,
golongan brahmana, satria (dan weisya), secara bersama-sama
menyebut dirinya sebagai golongan triwangsa. Merekalah yang
menempati posisi paling atas dari pelapisan sosial dimasyarakatnya. Di
luar itu, adalah golongan non-triwangsa, yang dari sisi jumlah
merupakan golongan mayoritas. Di antara para non-triwangsa ini,
sebagian kemudian menjadi parekan atau pengikut keluarga puri. Para
parekan ini biasanya menempati dan/atau menggarap tanah-tanah
milik keluarga puri. Realitas sosial yang seperti ini, sedikit banyak
masih ditemui hingga dewasa ini, tidak saja di Sidemen, tapi juga di
hampir semua desa-desa di Bali, terkecuali desa-desa yang digolongkan
sebagai desa Bali aga seperti Tenganan.
Sebagai parekan, tentu saja mereka harus memberikan
loyalitasnya secara penuh pada keluarga puri. Dalam konteks Sidemen,
loyalitas itu tidak saja dibangun berdasarkan basis material, tetapi juga
non-material. Yang dimaksudkan dengan basis material di sini adalah
suatu relasi kekuasaan timbal balik antara para penguasa puri dengan
para parekan yang didasarkan pada hubungan ekonomi dan politik
(power). Sebagai gambaran, dalam hubungan ekonomi dan politik,
misalnya, para parekan adalah mereka para pengikut penguasa puri
yang mendapatkan manfaat-manfaat ekonomi dan politik dari
161

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
kehadiran keluarga puri. Manfaat itu bisa dalam bentuk pemberian,
maupun sekedar menggunakan/menggarap tanah-tanah milik keluarga
puri; atau juga perlindungan politik yang diberikan oleh penguasa puri.
Ini sebagai imbalan atas loyalitas mereka kepada keluarga puri.
Sampai saat ini, jejak hubungan antara penguasa puri dengan
para parekan-nya masih kelihatan. Padersen (2006), dalam bukunya
berjudul “Ritual and World Change in Balinese Princedom”, misalnya,
menunjukkan bahwa hubungan antara penguasa puri dengan para
parekan (dan/atau bekas parekan) masih kelihatan jelas ketika pada
tahun 2000, Penglisir Puri Sidemen menyelenggarakan upacara besar
yang dinamakan maligya. Pada saat upacara maligya itu, sebagian
masyarakat desa Tabola dan desa-desa lain yang ada di sekitarnya
beramai-ramai datang membantu secara sukarela persiapan dan
pelaksanaan upacara tersebut.
Dalam tulisan Lene Pedersen, terungkap bahwa di antara
mereka adalah keluarga-keluarga yang mengaku keturunan parekan
Keluarga Puri Sidemen. Keterlibatan mereka dalam upacara maligya
yang dipersembahkan bagi almarhum bekas Penglingsir Puri Sidemen
yang lalu (ayah Cokorda Gde Dangin, Penglingsir Puri Sidemen saat
ini), diakui sebagai bagian dari wujud ketaatan atau loyalitas terhadap
Puri Sidemen. Loyalitas itu dalam praktiknya diwujudkan dalam suatu
kegiatan yang terkait dengan kewajiban adat yang disebut ngayah atau
kerja wajib sukarela untuk kepentingan Puri Sidemen.
Dalam konteks ngayah ke puri ini, misalnya, Cokorda Gde
Dangin sebagai Penglingsir Puri Sidemen, melihatnya sebagai
kewajiban yang terkait dengan sejarah masa lalu leluhurnya dan
leluhur dari individu masyarakat yang bersangkutan (parekan).
Sebagaimana dikemukakan dalam buku Pedersen (2006:134-138):
“In many cases, their forefathers came here (Sidemen) with my
forefathers, under my forefathers. Now, this was passed on from
generation to generation and is still remembered, and from
generation to generation there has continued to be conection,
especially in the case of large ceremonies. If we have cremation
ceremony, they are sure to come also. This to indicate an earlier

162

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
social conection, one
forefather….came here.”.

with

other,

before

when

our

Sedangkan dalam pandangan individu masyarakat desa Tabola
yang ikut ngayah, merekapun melihat dari perspektif yang hampir
sama. Sebagaimana dikutip dalam buku yang sama, mereka
mengungkapkan hal sebagai berikut:
“It is difficult for us to say wheter it is an obligation or not. It
depends on our own conviction, that we really believe that they
raised us and that there is a persistent connection from earlier
time, from the times of rajas. Up until now even, we believe that
there is this connection…So we consistently “matur ngayah”
(ask, or literally plead, to ngayah). And it is the same with them,
because they feel that they posses us.”

Tetapi apa yang dimaksud dengan upacara maligya?
Sebagaimana kepercayaan Hindu di Bali, manusia itu pada dasarnya
memiliki atau terdiri dari tiga badan yang disebut tri sarira, yang
mengandung maksud: tri berarti tiga dan sarira berarti badan atau
tubuh. Tri sarira atau tiga badan/tubuh itu terdiri dari: (1) stula sarira,
yaitu badan wadag berupa tubuh dan tenaga; (2) suksma sarira, yaitu
badan halus berupa badan pikiran dan akal budi; (3) atma, yaitu roh
atau sang diri.
Dalam konteks ini, upacara maligya adalah upacara di Bali
setelah pelaksanaan upacara ngaben (pembakaran) yang tujuannya
untuk menyucikan atma (roh) agar tidak terbelenggu oleh badan halus
(suksma sarira). Sedangkan ngaben adalah upacara menyucikan atma
agar tidak terbelenggu oleh badan kasar (stula sarira) dengan cara
membakar atau mengkremasi jenazah. Istilah lain dari maligya adalah
mamukur. Hanya bedanya, maligya biasanya sebutan bagi upacara yang
dilakukan untuk keluarga golongan satria tinggi (keturunan raja),
sedangkan istilah mamukur lebih sering dipakai untuk upacara yang
ditujukan bagi keluarga dari golongan warna/kasta yang lebih rendah.
Sebagai tambahan, dalam literatur Hindu di Bali ada lima
kewajiban yang harus ditunaikan oleh manusia, yaitu apa yang disebut
sebagai panca yadnya. Panca artinya lima, dan yadnya kurang lebih
artinya kewajiban (suci) yang harus dilaksanakan oleh manusia. Panca
163

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

yadnya itu terdiri dari: (1) dewa yadnya, yaitu kewajiban
melaksanakan persembahan suci kepada Tuhan Yang Maha Esa atau
Sang Hyang Widi Wasa; (2) rsi yadnya, kewajiban melaksanakan
penghormatan kepada para pendeta atau guru; (3) pitra yadnya,
kewajiban melaksanakan persembahan kepada orang tua, roh nenek
moyang atau leluhur; (4) bhuta yadnya, kewajiban melaksanakan
persembahan kepada alam; dan (5) manusa yadnya, kewajiban untuk
melaksanakan perbuatan baik sesama manusia. Dalam konteks panca
yadnya ini, maligya termasuk ke dalam katagori pitra yadnya, yaitu
kewajiban melaksanakan persembahan kepada orang tua atau leluhur.
Kembali pada soal loyalitas keluarga puri dan para parekannya.
Yang dimaksudkan dengan loyalitas yang di dasarkan pada basis nonmaterial lebih banyak menyangkut suatu relasi kekuasaan timbal balik
antara penguasa puri dengan parekan yang didasarkan pada hubunganhubungan yang bersifat simbolik dan historis. Bersifat simbolik karena
relasi kekuasaan timbal balik itu didasarkan kepada suatu nilai-nilai
tertentu yang saling diyakini dan dipercayai kebenarannya. Bersifat
historis karena relasi itu berasal dari suatu warisan sejarah lama, yang
terinternalisasi dan “diwariskan” dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui praktik sehari-hari yang sudah mentradisi.
Praktik sehari-hari yang telah mentradisi ini secara teoritis bisa
dikatagorikan sebagai suatu habitus – kalau mengikuti konsep yang
dikembangkan oleh Bourdieu. Praktik sehari-hari yang sudah
mentradisi ini cenderung dianggap “taken for granted” bagi para
aktornya (penguasa puri dan para parekannya), dan juga cenderung
“tidak disadari”. Dalam konteks ini juga harus diingat bahwa menurut
Bourdieu (1990: 54), habitus itu memiliki dimensi kolektif, selain
individual, serta merupakan produk sejarah (a product of history).
Dimensi kolektif itu tidak lain tercermin dalam praktik para parekan,
dan nilai-nilai terkait hubungan keluarga puri dan para perekannya
yang tetap dijalankan itu tidak lain adalah aspek habitus sebagai
produk sejarah.
Dalam konteks relasi timbal balik yang bersifat simbolik
tersebut di atas, ada yang menarik kalau menyimak sebagian isi dari
164

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Babad Dalem Anom Pemahyun. Babad yang menuturkan asal usul dan
riwayat perjalanan sejarah Keluarga Puri Sidemen itu didalamnya
antara lain dikemukakan suatu cerita bagaimana Raja Sidemen telah
memberikan hadiah berupa tanah/wilayah kepada para pengikutnya.
Sebagai imbalannya, para pengikut dan seluruh keturunannya nanti
harus setia dan loyal kepada raja seketurunannya; atau sebaliknya akan
dikutuk bersama para keturunannya.
“Saya memberikan tempat (tanah/wilayah) untukmu di sini
agar selamat hidupmu. Dan bila kamu tetap setia kepadaku
sampai kemudian, semoga turunan-turunanmu berguna, tidak
kurang pangan dan sandang, memperoleh kebahagiaan! Tetapi
bila kamu dan turunan-turunanmu tidak jujur, sengaja
melupakan dan melawan kekuasaanku, untuk selanjutnya turun
temurun agar kamu banyak kerja tanpa hasil. Tidak hentihentinya timbul percekcokan dalam keluargamu. Demikian
selanjutnya!” 11

Memang tidak semua (tidak banyak) masyarakat Desa Tabola
yang membaca dan memahami isi Babad, termasuk apa yang
disebutkan di atas. Namun demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam
babad tersebut sedikit banyak dimengerti atau dipahami melalui proses
pewarisan nilai-nilai, paling tidak dari orangtua dan para leluhurnya.
Apa yang bisa dipelajari dari hal ini adalah bahwa basis material dan
basis non-material ternyata memiliki keterkaitan yang erat. Mengacu
pada pemikiran Bourdieu, basis material seperti yang dijelaskan diatas
bisa dihubungkan dengan konsep ekonomi kapital dan basis nonmaterial bisa dikaitkan dengan simbolik kapital. Dalam hubungan ini,
tampak jelas bahwa kapital ekonomi bisa ditransformasikan ke dalam
kapital simbolik, yaitu dalam bentuk pemberian tanah untuk
mendapatkan imbalan loyalitas keluarga dan seketurunannya.
Bahwa kelak kemudian ketaatan sebagai parekan itu sebagian
bisa terpelihara, dapat digambarkan dari sikap penghormatan yang
ditunjukkan oleh Ketut Sukayasa kepada Keluarga Puri Sidemen.
Padahal Ketut adalah salah seorang tokoh masyarakat Desa Tabola yang
11

Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun (terjemahan). Halaman 68.

165

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
terlibat aktif dalam aksi-aksi perlawanan yang bermuara pada proses
pelengseran pengurus lama Desa Tabola, yang di dalamnya termasuk
Cokorda Gde Dangin sebagai pingajeng desa. Penghormatan itu,
menurut penuturan Ketut didasarkan suatu kepercayaan tentang relasi
kekuasaan di masa lalu antara leluhurnya dengan leluhur keluarga Puri
Sidemen.
Berikut antara lain penuturan Ketut Sukayasa berkaitan dengan
kepercayaannya tentang nilai-nilai terkait dengan keberadaan dan
hubungan antara leluhurnya dengan leluhur keluarga Puri Sidemen.
“Apa sebab saya dekat dengan Cok Dangin (nama panggilan
Cokorda Gde Dangin)? Itu secara kekeluargaan…karena dia kan
keturunan raja, seorang Dalem. Saya sebagai (keturunan)
pengiring lah, istilahnya di Bali…Arya Kanuruhan itu pengiring.
Kanuruhan itu kan artinya sekretaris – jadi sebagai sekretarisnya
Dalem. Saya (baca: leluhur saya) memiliki kedekatan langsung
(dengan Dalem), ngiring (mengabdi/mengawal) di Sidemen,
sehingga diberikan tempat di Kebon. Dulu Kebon ini namanya
Kubon, yg artinya kubu, rumah (dan tanah) yg baru dibangun.
Lalu kemudian jadi Kebon.” 12

Atas dasar pengertian sebagai keturunan Arya Kanuruhan itu,
maka sulit bagi Ketut Sukayasa mengabaikan keberadaan Puri Sidemen.
Di sisi lain, Cokorda Gde Dangin, dalam suatu wawancara pernah juga
mengemukakan bahwa Pura Keluarga (Dadya) Arya Kanuruhan yang
ada di seputar komplek Pura Besakih, atau yang disebut Pura Pedarman
Arya Kanuruhan, bisa berdiri karena berkat jasa baik Puri Sidemen.
Sesuatu hal yang dalam kesempatan wawancara dengan Ketut Sukayasa
diakuinya juga. Relasi antara Ketut Sukaya dengan keluarga Puri
Sidemen itu, paling tidak menggambarkan masih adanya/hadirnya
suatu bentuk kekuatan kapital simbolik yang dimiliki oleh Puri
Sidemen (karena pewarisan nilai-nilai dalam masyarakat), yang
representasinya melekat dalam diri Cokorda Gde Dangin.

12

Wawancara dengan Ketut Sukayasa, tanggal 24 Desember 2009 di Banjar Keboen,
Desa Telagatawang Dinas, Kecamatan Sidemen.

166

BAB 4 DESA PAKRAMAN TABOLA
Sebagai tambahan, Ketut Sukayasa adalah Ketua Keluarga
Keturunan (Dadya) Arya Kanuruhan di Kecamatan Sidemen. Selain itu,
dia menjabat sebagai Penyarikan (Sekretaris) Desa Pakraman Tabola,
yang terbentuknya didahului oleh konflik yang berujung pada
pelengseran pengurus lama yang kepemimpinannya berada di bawah
bayang-bayang pengaruh Cokorda Gde Dangin. Cokorda Gde Dangin
sendiri dalam kepengurusan Desa Pakraman Tabola yang lama
menjabat sebagai Pingajeng Desa (Penasehat). Sedangkan sebelum
menjabat sebagai pengurus Desa Pakraman, Ketut Sukayasa adalah
Perbekel Desa Dinas Telaga Tawang.
Adanya relasi sosial bersifat hirarkhis seperti tersebut diatas
itulah yang menjelaskan mengapa kepemimpinan sosial-politik di Desa
Tabola dalam sejarahnya banyak didominasi oleh keluarga dari
kalangan lapisan atas masyarakat Desa, khususnya yang memiliki
hubungan keluarga (langsung maupun tak langsung) dengan Keluarga
Puri Sidemen. Cokorda Gde Dangin sendiri sejak tahun 1960-an hingga
tahun 1970-an, pernah memegang jabatan formal sebagai bendesa dan
juga kemudian Perbekel Sidemen. Setelah tidak memegang jabatan
formal itu, Cokorda Gde Dangin tetap merupakan seorang figur yang
memiliki pengaruh yang kuat di wilayah Sidemen dan di Desa Tabola
pada khususnya.
Sampai saat ini, kepemimpinan desa di Sidemen, baik desa
dinas maupun desa adat/pakraman, masih diwarnai oleh golongan
lapisan atas masyarakat, yang hal itu paling mudah digambarkan dari
asal-usul golongan/warna/kasta mereka yang memegang kepemimpinan
tersebut. Misalnya, Bendesa Desa Pakraman Tabola yang lama berasal
dari golongan ksatria, sebagaimana ditunjukkan dari nama depannya
yang bergelar Gusti (I Gusti Lanang Gita). Begitupula bendesa yang
menggantikannya hingga sekarang, kalau dilihat dari namanya juga
berasal dari golongan ksatria (I Gusti Lanang Sidemen). Meskipun
memiliki nama depan yang sama, yaitu I Gusti Lanang, keduanya tidak
memiliki hubungan keluarga.
Bahwa kepemimpinan desa sejak dulu lebih didominasi oleh
golongan lapisan atas desa, juga dijelaskan oleh Ida I Dewa Tjatra
167

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
tentang bagaimana pola perekrutan kepemimpinan desa yang berlaku
sejak lama.
“Sistem perekrutan dasarnya campuran: keturunan dan dipilih.
Artinya, perekrutan dipilih dari orang-orang keturunan itu
(keturunan pemimpin sebelumnya). Lalu juga dipilih. Sebab,
misalnya, seorang bendesa mempunyai lima orang anak, kan
tidak ke limanya menjadi bendesa, ada di antaranya dipilih,
dengan kesepakatan. Lalu terjadi lagi seorang bendesa sama
sekali tidak punya keturunan laki-laki. Maka desa mengambil
keputusan akan dipilih dari keluarga besar bendesa itu. Sekarang
masih berlaku itu.” 13

Selanjutnya bagaimana gambaran keseluruhan struktur dari
organisasi Desa Pakraman Tab