Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB IX

BAB 9
KESIMPULAN
Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab
sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya
dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang
dinamis. Sejarah perkembangan masyarakatnya diwarnai oleh berbagai
gejala perubahan sosial, yang prosesnya terkadang membawa berbagai
gejolak sosial. Gambaran perkembangan seperti ini, dari sudut pandang
“orang luar” mungkin agak sulit dibayangkan karena konstruksi
imajinasi yang terlanjur menempel kuat pada sosok “Bali” sebagai
Pulau Dewata. Pulau dengan ribuan pura tempat bersemayam para
dewata, yang suasananya dianggap penuh dengan kedamaian dan
keharmonisan.
Namun antara kesan dan realita memang sering berjarak jauh.
Bali, dalam realitanya, misalnya, jelas tidak sama dengan bayangan
yang melekat pada julukannya sebagai Pulau Dewata, tempat yang
penuh dengan kedamian dan keharmonisan. Sebaliknya, Bali
(masyarakat Bali), adalah masyarakat yang sepanjang sejarahnya
diwarnai oleh perkembangan dinamika sosial yang di dalamnya
terdapat berbagai ketegangan, pertentangan, dan bahkan konflik, di
samping juga suasana damai dan harmonis. Apa yang hendak

dikemukakan di sini adalah bahwa pertentangan dan konflik di satu
sisi, dan kehidupan yang damai serta harmonis di sisi lain sejatinya
adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah kehidupan sehari-hari
masyarakat Bali.
Temuan lapangan dari penelitian ini, secara keseluruhan juga
menegaskan bagaimana masyarakat perdesaan di Tabola yang
wilayahnya terletak di Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem
Bali, adalah masyarakat yang kehidupan sosialnya selalu berkembang
dinamis. Masyarakat yang kehidupan sosialnya tidak pernah lepas dari
berbagai pengaruh, baik yang berasal dari “luar desa” (supra-desa)
maupun dari “dalam desa” (internal desa). Perkembangan pengaruh
dari kedua faktor itu (“luar desa” dan “di dalam desa”), pada gilirannya
telah mendorong terjadinya berbagai gejala perubahan sosial. Berbagai

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
gejala perubahan sosial yang ditunjukkan dalam bab-bab sebelumnya
dari tulisan ini, misalnya, menegaskan perkembangan kehidupan sosial
yang dinamis itu. Ini khususnya terkait konteks periode waktu yang
menjadi fokus perhatian penelitian ini, yaitu sejak awal reformasi
(1999) hingga tahun 2010 (akhir tahun 2010, ketika riset lapangan ini

diakhiri).
Pada tulisan di bab-bab sebelumnya, telah digambarkan antara
lain berbagai gejala perubahan sosial, yang hal itu terjadi terutama
sejak pengaruh reformasi menembus aspek-aspek kehidupan sosial
masyarakat desa Tabola. Gejala perubahan yang terjadi itu, ternyata
tidak saja muncul dalam dimensi material, seperti misalnya aspekaspek kelembagaan masyarakat, tetapi juga dalam dimensi immaterial,
yang dalam hal ini melibatkan aspek-aspek ide dan kesadaran
masyarakat Tabola, baik sebagai individu maupun kolektif. Di sana
tergambar dengan jelas, bagaimana struktur sosial masyarakat, dalam
pengertian nilai-nilai dan norma-norma, mengalami proses perubahan
sejalan dengan proses penyuratan awig-awig Desa Pakraman Tabola.
Hasil dari proses penyuratan itu sendiri (dalam bentuk awig-awig baru
yang tertulis) terbukti kemudian dalam prosesnya telah mengubah
sebagian kesadaran kognitif masyarakat, termasuk pada gilirannya
berbagai praktik terkait substansi ide yang terkandung dalam
kesadaran tersebut. Salah satu yang menonjol, misalnya, adalah ide-ide
dan praktik-praktik terkait berbagai ritual seperti soal cuntaka atau adu
ayam (konsep tabuh rah). Terlihat di sini bahwa munculnya awig-awig
baru di Tabola, selain hal itu merupakan hasil dari proses perubahan
sosial, tetapi di sisi lain juga telah menjadi sumber dari perubahan

sosial itu sendiri.
Dalam tulisan yang sama, juga digambarkan suatu contoh
bagaimana hadirnya awig-awig yang merupakan hasil dari suatu proses
perubahan sosial, ternyata mendorong lebih lanjut terjadinya berbagai
perubahan sosial lainnya. Contohnya, karena munculnya realitas awigawig baru, maka kelembagaan perdesaan mengalami berbagai proses
perubahan, yang hal itu melibatkan perubahan dalam struktur
organisasi dan juga relasi antar struktur, termasuk dengan struktur
supra-desa. Begitupula karena sebab yang sama, maka struktur
376

BAB 9 KESIMPULAN
kepemimpinan di Tabola mengalami perubahan, yang prosesnya
diwarnai oleh pertentangan dan konflik. Apa yang hendak
dikemukakan di sini adalah bahwa perubahan itu memiliki sifat kaitmengkait membentuk suatu jalinan antara satu gejala dengan gejala
yang lain, atau bersifat komplek.
Dari gejala perubahan sosial yang komplek itu, ada sesuatu
yang menarik untuk dikemukakan, yaitu bahwa perubahan di Tabola
ternyata mengandung sifat dualitas. Sebagaimana diungkapkan juga
dalam tulisan sebelumnya, bukan kebetulan kalau ternyata masyarakat
Bali, baik sebagai individu maupun kolektif, sejak jaman dahulu kala,

memiliki cara pandang dualitas dalam melihat dunia sosialnya (social
world view). Cara pandang dualitas ini dikenal dengan nama
Rwabhineda, yang keberadaannya secara historis bisa ditelusuri sejak
abad ke-9 atau ke-10, yaitu ketika Mpu Kuturan mempersatukan
pertentangan antara sekte-sekte yang berkembang banyak di Bali pada
masa itu, dan mengemasnya menjadi satu konsep yang solid, yaitu
Syiwa-Budha, atau diberi nama Rwabhineda.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, konsep Rwabhineda
yang sudah menubuh kuat dalam pikiran dan memandu berbagai
tindakan masyarakat Bali itu, tampaknya memiliki kesejajaran dengan
konsep dualitas Giddens dan Bourdieu. Khususnya dalam hal bahwa
keduanya menolak pemikiran dualisme yang memandang realitas
dunia berdasarkan dikotomi, antinomi atau oposisi biner itu. Bersama
konsep lain tentang pentingnya keharmonisan untuk mencapai
kehidupan yang bahagia (Tri Hita Karana), Rwabhineda boleh
dikatakan sudah menjadi habitus bagi masyarakat perdesaan di Tabola
pada khususnya, dan boleh jadi, di Bali pada umumnya. Dengan
keberadaan habitus ini, masyarakat Bali, baik sebagai individu maupun
kolektif, menjadi agen-agen atau aktor-aktor yang aktif dan berinisiatif
merespon setiap perkembangan dunia sosial yang mereka hadapi.

Gejala perubahan yang bersifat dualitas, sebagaimana dijelaskan dalam
Bab 8, antara lain, adalah hasil dari respon masyarakat Bali sebagai
agen-agen atau aktor-aktor yang aktif dan berinisiatif tersebut.

377

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Atas dasar pemikiran bahwa konsep Rwabhineda dan Tri Hita
Karana sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat Bali,
baik dalam dimensi sekala (material/duniawi) maupun niskala
(immaterial/spiritual), maka ada satu pertanyaannya yang perlu
dikemukakan di sini yaitu apa implikasi hal-hal semacam itu dengan
praktik pembangunan di Bali? Bagaimanapun pertanyaan ini penting
untuk dikemukakan, mengingat ruang lingkup penelitian ini secara
lebih luas adalah bidang studi pembangunan sehingga soal implikasi
terhadap praktik pembangunan menjadi relevan untuk dirumuskan.
Sebagaimana sempat disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa
kalau berbicara tentang pembangunan di Bali, maka mau tidak mau,
aspek pembangunan sektor pariwisata menempati peranan sangat
penting. Tabel 2 tentang Distribusi Pendapat Domestik Regional Bruto

(PDRB) Provinsi Bali yang dicantumkan pada Bab 1 dari tulisan ini,
misalnya, menggambarkan bahwa sektor pariwisata adalah lokomotif
pembangunan di Bali. Sektor pariwisata dalam hal ini memberikan
sumbangan paling besar di antara sektor-sektor pembangunan yang
ada. Gambaran ini secara empirik menegaskan betapa penting sekali
sektor pariwisata bagi pembangunan di Bali.
Terkait hal ini, bisa dijelaskan (kemungkinan) kaitan antara
cara fikir dualitas dengan praktik pembangunan, khususnya
pembangunan pariwisata, di Bali. Dalam konteks pembangunan
pariwisata di Bali selama ini, kita bisa melihat bahwa industri jasa
pariwisata secara umum mampu berkembang berdampingan dengan
realitas sosial-budaya (adat dan agama) masyarakat di Bali. Kedua
sektor itu, yang oleh pemikiran modernisme mungkin bisa dianggap
merupakan dua sektor yang berbeda, satu modern (industri jasa
pariwisata) dan satu lagi tradisional (adat dan agama), ternyata mampu
berkembang bersama tanpa saling menegasikan secara hirarkhis satu
dengan yang lainnya.
Memang, harus diakui, bahwa dalam beberapa dekade terakhir,
khususnya sejak dekade terakhir pemerintahan Orde Baru,
perkembangan industri pariwisata di Bali berkembang hampir tanpa

kendali sehingga terkesan mulai mengancam ruang-ruang kehidupan
378

BAB 9 KESIMPULAN
sosial-budaya masyarakat Bali. Banyak kasus-kasus sengketa wilayah
berdimensi adat dan agama yang membawa gejolak di masyarakat,
yang hal itu timbul karena ekspansi industri pariwisata yang tanpa
kendali tersebut. Salah satu di antaranya yang sempat menonjol
kasusnya adalah dibangunnya komplek resort pariwisata, Bali Nirwana
Resort, disekitar wilayah yang dianggap suci oleh masyarakat adat di
Bali, yaitu Tanah Lot, oleh satu grup bisnis konglomerat dari Jakarta.
Pembangunan Bali Nirwana Resort seluas hampir 120 hektar, milik
kelompok bisnis Keluarga Bakrie itu, tercatat sempat menimbulkan
perlawanan yang keras dari masyarakat setempat dan bahkan Bali,
yang merasa dirugikan dengan keberadaan resort yang berdekatan
dengan tempat suci umat Hindu, Pura Tanah Lot (Santoso P dan
Saskarayasa, I.K.: 2002: 41-66).
Itu adalah salah satu saja contoh yang pernah terjadi di waktu
lalu, karena pada kenyataannya cukup banyak contoh lain yang
kasusnya mirip dengan masalah pembangungan Bali Nirwana Resort

tersebut. Dalam banyak kasus, pihak pengembang industri pariwisata
memang akhirnya lebih banyak memenangkan kasusnya atas
masyarakat adat setempat. Hal ini sering dianggap karena adanya
intervensi pihak penguasa di masa lalu, yang pada waktu itu
kekuasaannya boleh dikatakan sangat menghegemoni. Kondisi-kondisi
inilah yang kemudian mendorong munculnya banyak kritik yang tajam
atas perkembangan industri pariwisata di Bali.
Namun, terlepas dari banyak kekurangan yang ada, pada
tingkatan tertentu, kekuatan masyarakat adat terhadap keberadaan
industri pariwisata di Bali, masih cukup berpengaruh. Apalagi ketika
jaman sudah sudah mulai berubah, khususnya sejak memasuki masa
reformasi. Desa adat, yang kelak namanya namanya berubah menjadi
desa pakraman, secara berangsur-angsur semakin kuat kedudukannya,
yang hal itu membawa konsekuensinya bahwa kontrol masyarakat adat
terhadap ekspansi industri pariwisata di Bali juga menjadi semakin
kuat. Sejak waktu itu, hampir tidak mungkin lagi bisa dilakukan suatu
pembangunan sarana industri pariwisata yang mengabaikan
keberadaan adat (desa adat) dan tempat-tempat suci umat Hindu.
379


PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Tetapi sesungguhnya dalam pandangan orang Bali, pariwisata
(baca: industri jasa modern) dan tradisi masyarakat adalah dua entitas
berbeda yang tidak terjebak dalam kerangka pemikiran oposisi biner.
Sebalikya keduanya berbeda tetapi saling menghidupi, karena hanya
dengan saling menghidupi itulah industri pariwisata dan tradisi bisa
sama-sama memiliki masa depan untuk berkembang. Sebab
bagaimanapun, industri pariwisata tidak bisa dilepaskan dari gambaran
imajinasi terkait adat dan agama masyarakat, dan bahkan hal itulah
yang menjadi modal paling utama dari “pasar” industri pariwisata di
Bali. Umumnya masyarakat Bali, termasuk masyarakat Desa Tabola,
menyadari hal demikian. Apalagi Desa Tabola, Kecamatan Sidemen,
termasuk daerah pariwisata alam yang cukup terkenal di Bali.
Sebaliknya, masyarakat desa adat/pakraman akan menghadapi
berbagai kesulitan tanpa kemajuan industri pariwisata, karena sektor
itulah, yang langsung ataupun tidak langsung, banyak menopang
kehidupan ekonomi masyarakat. Sedangkan dalam dimensi yang lain,
praktik kehidupan adat membutuhkan dukungan ekonomi, yang sering
kali, tidak kecil. Gambaran paling jelas bisa dilihat dari kenyataan
bahwa berbagai macam upacara adat di Bali seringkali menelan biaya

yang tidak sedikit. Bahkan semakin besar skala upacara semakin besar
pula biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu, antara adat dan
pariwisata, keduanya boleh dikatakan saling menghidupi,
keberadaannya saling mengandaikan, dan hubungan keduanya tak
pelak, mencirikan sifat dualitas.
Patut dicatat di sini, bahwa sifat dualitas ini tidak terbangun
dengan sendirinya, tetapi pada dasarnya berpijak pada realitas
masyarakat yang sudah memiliki modal dasar tertentu dalam bentuk
cara berfikir Rwabhineda dan pandangan kehidupan yang harmonis
lewat konsep Tri Hita Karana. Dari titik ini maka bisa dimengerti
bahwa pembangunan pariwisata di Bali juga berkembang sangat
dinamis, yang setiap kurun waktu tidak pernah sepi dari tarik menarik
kepentingan antara industri jasa yang modern itu dengan keberadaan
masyarakat dengan cara berfikirnya yang dualitas itu. Hasilnya, meski
di sana-sini masih saja terus terdapat berbagai permasalahan yang
mengundang sorotan keras dan tajam, toh keseimbangan kehidupan
380

BAB 9 KESIMPULAN
antara sektor modern dan tradisional itu tetap berproses, dalam rangka

untuk mencari berbagai alternatif solusinya.
Pemikiran dualitas dalam wujud konsep Rwabhineda,
sebenarnya juga bukan monopoli masyarakat Bali. Masyarakat Jawa,
meskipun tidak memiliki konsep yang solid seperti Rwabhineda, dalam
alam pikirannya sebenarnya juga terkandung gagasan dualitas. Hal ini,
misalnya, ditunjukkan dengan gagasan yang disebut “Manunggaling
Kawula Gusti”, yang artinya kurang lebih bersatunya pemimpin
dengan rakyat yang dipimpinnya. Dalam “Manunggaling Kawula
Gusti” ini maka hubungan yang terjadi antara Gusti (raja/pemimpin)
dan Kawula (rakyat) adalah hubungan yang harmonis, dimana raja bisa
mengoptimalkan kedudukannya dan rakyat bisa nyengkuyang
(mendukung) serta berfungsi sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Yang ditekankan di sini adalah sebuah perpaduan serta penyatuan yang
harmonis dari berbagai macam elemen yang berbeda satu sama lain
dalam hubungan saling menguntungkan. 1 Lewat gagasan ini,
sesungguhnya ide yang memisahkan keberadaan pemimpin dan rakyat
secara tajam, gagasan dikotomi atau oposisi biner, jelas-jelas ditolak.
Persoalannya, sampai saat ini, belum cukup banyak kalangan
peneliti yang mencoba mengeksplorasi lebih jauh alam pikiran dualitas
tersebut, khususnya untuk konteks masyarakat Jawa dan dalam
hubungannya dengan teori, konsep, dan praktik pembangunan.
Melanjutkan apa yang sempat disinggung dalam penelitian ini, maka
tampaknya penelitian yang mengeksplorasi apa yang dikemukakan di
atas sangat relevan untuk dijadikan agenda ke depan. Harapannya,
lebih banyak penelitian yang mengeksplorasi hal-hal serupa untuk
konteks masyarakat lokal di berbagai daerah sehingga pada waktunya
nanti bisa dikonsepsikan suatu bentuk konsep, teori, kebijakan dan
praktik pembangunan di Indonesia, dengan menggunakan perspektif
dualitas. Kalau hal seperti ini bisa diwujudkan, maka terbuka
kemungkinan untuk secara bertahap bisa dimunculkan suatu konsep
1 Lihat: Prasaja, S.A., (2009). “Sebuah Uraian Singkat Konsep Manunggaling Kawula
Gusti”. http://setyawara.webnode.com/news/konsep-manunggaling-kawula-gusti/

381

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
atau teori Pembangunan yang khas Indonesia, konsep dan teori
Pembangungan ala Indonesia. Teori pembangunan yang berakar dan
(diharapkan) benar-benar mampu menjawab persoalan pembangunan
di Indonesia. Dengan konsep dan teori Pembangunan ala Indonesia
seperti itu, mungkin praktik pembangunan di Indonesia bisa lebih
mempunyai makna bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.

382