Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB I

BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
• Perubahan di Tingkat Nasional
Pagi hari, Kamis, 21 Mei 1998. Di salah satu ruangan di Istana
Merdeka, ruangan kredensial (credential room), telah berkumpul dan
berdiri beberapa pejabat penting negara. Tampak berdiri di sana,
antara lain, Wakil Presiden Republik Indonesia (RI), B.J. Habibie dan
Panglima TNI, Jenderal Wiranto. Mereka semua yang hadir di sana
menunggu dengan hati berdebar-debar, apa gerangan yang akan
terjadi pada detik-detik ke depan diruangan itu. Lalu kira-kira pukul
09.00 WIB (Waktu Indonesia Barat), Presiden Suharto yang baru saja
tiba di ruangan kredensial itu, maju ke depan menuju podium yang
sudah tersedia di sana. Dengan gaya yang tetap tenang seperti
biasanya, Presiden Suharto membaca teks pidato pengunduran dirinya.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan
saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan
pernyataan ini, pada hari Kamis 21 Mei 1998,” demikian antara lain
bunyi pernyataannya. Sejenak kemudian ia melanjutkan
pernyataannya. “Sesuai dengan pasal 8 Undang Undang Dasar 1945,

maka Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr.Ir. B.J. Habibie,
yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden, Mandataris MPR,
1998-2003”. Selesai membacakan teks pidato pengunduran dirinya,
Jenderal (Purn) Suharto bergeser dari podium dan melangkah keluar
dari ruangan kredensial Istana Merdeka, meninggalkan para undangan
yang hadir di sana. Tidak beberapa lama kemudian, Wakil Presiden
B.J. Habibie dipersilahkan maju ke depan podium untuk dilantik dan
diambil sumpahnya menjadi Presiden Republik Indonesia (Presiden
RI) oleh Ketua Mahkamah Agung (MA). Dari titik ini, sejarah baru
Indonesia mulai bergulir.
Naiknya Habibie sebagai Presiden RI yang ketiga (setelah
Sukarno dan Suharto), memang kemudian dicatat sebagai titik awal

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
dari berlangsungnya serangkaian perubahan sosial-politik di Indonesia.
Di antara berbagai perubahan itu adalah kemunculan kembali sistem
politik multipartai, yang pada tahun 1950-an hingga awal tahun 1970an pernah mewarnai sistem perpolitikan di Indonesia. Dalam
pemilihan umum (Pemilu) tahun 1955, misalnya, ada puluhan partai
politik (kira-kira 40 partai) yang diperbolehkan ikut Pemilu.
Sedangkan Pemilu tahun 1971 masih diikuti oleh 10 partai politik.

Tetapi setelah itu, sistem politik multipartai itu dikubur melalui proses
penyederhanaan partai, yang pada waktu itu diistilahkan dengan
sebutan “fusi partai-partai politik”. Sehingga pada Pemilu tahun 1977,
hanya ada tiga kekuatan politik saja yang boleh ikut Pemilu, yaitu
Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). 1
Kemunculan kembali sistem politik multipartai ini merupakan
salah satu perwujudan dari semakin terbukanya sistem politik di
Indonesia sejak pemerintahan Presiden Habibie. Perkembangan
seperti ini seperti membalik keadaan bila dibandingkan dengan masa
pemerintahan sebelumnya yang sistem politiknya tertutup.
Ketertutupan ini antara lain ditandai oleh: pertama, pemerintah hanya
mengakui keberadaan dan keabsahan dua partai politik (Partai
Demokrasi Indonesia/PDI dan Partai Persatuan Pembangunan/PPP),
ditambah satu golongan politik (Golongan Karya/Golkar), dan karena
itu hanya merekalah bertiga yang berhak ikut pemilu; kedua, bentuk
politik massa seperti yang pernah berkembang pada masa sebelumnya
dilarang, dan sebagai gantinya, dikembangkan sistem politik massa
mengambang (floating mass). Dengan sistem politik masa
1


Pada tahun 1971, Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal
Soeharto menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) yang masih diikuti oleh 10
partai politik, yakni (1) Partai Nasionalis Indonesia (PNI), (2) Partai Katolik, (3) Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), (4) Partai Murba, (5) Partai Ikatan Pelopor
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), (6) Partai Nahdatul Ulama (NU), (7) Partai Muslimin
Indonesia (Parmusi), (8) Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), (9) Partai Pendidikan
Islam (Perti), dan (10) Golkar. Pada Pemilu 1977, lima partai yang pertama kemudian
berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), empat partai berikutnya yang
berhaluan Islam bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lalu Golkar
yang tetap menjadi satu kekuatan politik tersendiri. Dalam sejarah Pemilu Orde Baru,
Golkar selalu menang pemilu (1971 – 1997). Uraian lebih lengkap, lihat: Evans, Kevin
Raymond. The History of Political Parties & General Elections in Indonesia. Arise
Consultancies, Jakarta, 2003.

2

BAB 1 PENDAHULUAN
mengambang ini maka kekuatan politik peserta Pemilu, terutama PDI
dan PPP, dilarang sama sekali membangun jaringan politik formal di

tingkat grassroot, terutama yang bisa digunakan sebagai basis
mobilisasi massa. Konsekuensinya desa/kelurahan harus bebas dari
partai politik; tetapi sebaliknya, Golkar, sebagai “the ruling party”
justru mendapat keistimewaan menggalang kekuatannya sampai ke
desa-desa, khususnya dengan memanfaatkan institusi pemerintahan
desa.
Pada bulan September 1999, pemerintahan Presiden Habibie
menyelenggarakan Pemilu multipartai yang diikuti oleh tidak kurang
dari 40 partai politik. Dalam Pemilu kali ini, sistem politik massa
mengambang dihapuskan sehingga banyak partai yang terdorong
untuk melakukan mobilisasi massa sampai ke tingkat grassroot. Hasil
Pemilu 1999 serta proses perguliran politik yang menyertainya
ternyata terus mendorong berbagai perubahan dalam sistem politik di
Indonesia. 2
Misalnya saja, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR-RI) hasil Pemilu 1999, telah melakukan amandemen
UUD 1945, dengan beberapa hasil antara lain sebagai berikut.
Keberadaan para anggota DPR dan MPR dari unsur-unsur Utusan
Daerah, Utusan Golongan dan Utusan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ABRI), yang keanggotaannya diangkat dan bukan dipilih

lewat Pemilu, untuk selanjutnya dihapuskan. Selain DPR dan MPR,
dimunculkan suatu lembaga negara baru, Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), yang keanggotaannya dipilih secara langsung oleh rakyat di
masing-masing wilayah provinsi di Indonesia. Selanjutnya susunan
anggota MPR terdiri dari para anggota DPR dan DPD. Sistem
pemilihan Presiden (Pilpres) dilakukan secara langsung oleh rakyat,
sehingga MPR, dengan adanya Pilpres, menjadi tidak lagi berwenang
memilih Presiden/Wakil Presiden, sebagaimana masa sebelumnya.
2

Dalam Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil meraih
suara terbanyak, yaitu hampir sebesar 34%. Partai Golkar yang selalu unggul dalam
pemilu selama masa Orde Baru menempati urutan ke dua dengan perolahan kursi
hampir 22%. Urutan perolehan suara selanjutnya adalah: Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) 13%; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 11%, dan Partai Amanat Nasional
(PAN) 7%. Ibid, Evans, Kevin Raymond. Halaman 27 – 31.

3

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

Semua ketentuan baru hasil amandemen UUD 1945 tersebut di atas
dinyatakan mulai berlaku sejak Pemilu tahun 2004, yang memilih
wakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan
Presiden/Wakil Presiden secara langsung.
Selain itu, DPR hasil Pemilu 1999 juga menyetujui pengesahan
beberapa undang-undang baru yang keberadaannya kemudian
ternyata sangat mempengaruhi perkembangan politik di dalam negeri.
Salah satu di antara undang-undang baru itu adalah UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kedudukannya
menggantikan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintah Daerah serta sekaligus menggantikan UU No. 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa. Lahirnya undang-undang baru ini
menandai awal dari kembalinya pelaksanaan prinsip desentralisasi atau
otonomi dalam pengelolaan pemerintahan di daerah. Tentu ini
merupakan suatu perkembangan baru karena tata pengelolaan
pemerintahan daerah sebagaimana diatur oleh undang-undang yang
lama cenderung bersifat sentralistik.
Pada periode Juli – Oktober 2004, untuk kedua kalinya sejak
masa reformasi diselenggarakan kembali pemilu multipartai. Sejalan
dengan amandemen UUD 1945, maka Pemilu diselenggarakan untuk

memilih anggota legislatif (DPR), yang dibarengi dengan pemilihan
langsung anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Setelah itu
disusul oleh pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) secara
langsung oleh rakyat. Pilpres secara langsung ini adalah yang pertama
kali terjadi dalam sejarah Indonesia modern. Selanjutnya, sejak bulan
Juni tahun 2005 diselenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada)
secara langsung oleh rakyat di berbagai daerah kabupaten/kota dan
provinsi di Indonesia. Pelaksanaan Pilkada ini sebagai bagian dari
implementasi UU No. 32/2004 yang merupakan hasil revisi dari UU No
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Apa yang bisa dicermati dari perkembangan keadaan ini? Pada
satu sisi, proses-proses politik yang bergulir sejak tahun 1998 ini
memang telah mendorong keterbukaan politik, yang hal ini semakin
memperlebar ruang keterlibatan politik masyarakat hingga ke tingkat
4

BAB 1 PENDAHULUAN
paling bawah. Sejalan dengan itu, berbagai pikiran dan aspirasi
masyarakat juga menjadi lebih bebas muncul kepermukaan mengisi
ruang wacana publik. Semuanya ini menjadikan kehidupan sosialpolitikk masyarakat menjadi semakin dinamis (dan bahkan riuh

rendah), sangat berbeda jauh bila dibandingkan masa sebelum jaman
reformasi. Partai-partai yang berhasil mendudukkan wakilnya di DPR,
juga bebas menyuarakan kepentingannya di parlemen, nyaris tanpa
hambatan, dan bahkan tidak jarang oleh sebagian kalangan, kebebasan
yang disuarakan itu sebagian dianggap “kebablasan”. Yang juga
penting digarisbawahi di sini adalah bahwa semua pikiran dan aspirasi
itu bisa bebas muncul kepermukaan karena berkembangnya kebebasan
pers yang tumbuh seiring dengan bergulirnya proses reformasi.
Pada tataran pemerintahan dan kenegaraan di tingkat nasional,
muncul berbagai lembaga dan komisi negara yang baru, yang
kehadirannya dianggap sejalan dengan tuntutan perkembangan
kebebasan dan demokrasi di Indonesia. Lembaga dan komisi negara
yang baru itu antara lain, Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial (KY), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan
lain sebagainya. Hadirnya lembaga dan komisi negara itu, sedikit
banyak telah mendorong perubahan pola relasi antar lembaga negara
(dan pemerintahan), yaitu dari semula yang polanya agak tertutup
menjadi lebih terbuka. Semuanya ini, sekali lagi, mencerminkan
berkembangnya situasi kebebasan dan keterbukaan.

• Perubahan di Tingkat Lokal
Pada tingkat daerah juga terjadi berbagai perubahan yang
mencerminkan perkembangan jaman. Seperti ditunjukkan dari
kenyataan baru bahwa semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), sejak pemilu 2004, tidak ada lagi yang diangkat
seperti pada masa sebelumnya (unsur ABRI). Sejak saat itu semuanya
dipilih melalui pemilu legislatif dari calon-calon yang diajukan oleh
masing-masing partai peserta pemilu. Seperti halnya yang terjadi di
tingkat nasional, para anggota DPRD yang sepenuhnya dipilih dalam
5

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Pemilu itu, juga bebas menyuarakan kepentingan dan aspirasi
partainya, tidak seperti masa sebelum reformasi.
Lalu sejak bulan Juni 2005, Kepala Daerah (Bupati/Wakil
Bupati) tidak lagi dipilih oleh DPRD seperti masa sebelumnya, tetapi
dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah
Langsung (Pilkadal). Proses ini mengikuti jejak Pemilihan
Presiden/Wakil Presiden, yang sejak tahun 2004 juga sudah dipilih
secara langsung oleh rakyat. Tentu saja, perkembangan seperti yang

dikemukakan di atas itu pada akhirnya mendorong terjadinya berbagai
perubahan sosial di tingkat daerah atau lokal, yang dalam hal ini, tak
terkecuali, di perdesaan Bali.
Terkait masalah perubahan sosial di Bali, sejarah
menunjukkan bahwa perkembangan situasi sosial-politik di Bali
memang seringkali memiliki hubungan erat dengan perkembangan
situasi sosial-politik nasional. Robinson (1995) dalam bukunya
berjudul “The Dark Side of Paradise, Political Violence in Bali”,
misalnya, mengungkapkan dengan jelas keterkaitan seperti itu melalui
penggambaran kekerasan politik di Bali menyusul pergolakan politik
nasional melalui suatu peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan
30 September PKI (G30S PKI) yang bermula di Jakarta. Dengan
mengingat dan mempertimbangkan konteks sejarah seperti ini, maka
menjadi tidak terlalu aneh kalau perubahan sosial-politik di tingkat
nasional menyusul kejatuhan pemerintahan Orde Baru, pada akhirnya
juga menggulirkan berbagai perubahan pula di Bali.
Berikut ini gambaran empiriknya. Ketika Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) mampu untuk pertama kalinya dalam 20
tahun terakhir (1977-1997) menghentikan dominasi politik Partai
Golkar di tingkat nasional dalam Pemilu tahun 1999, maka hal serupa

juga terjadi di Bali. Kemenangan PDIP waktu itu dianggap
merepresentasikan tampilnya suatu kekuatan politik baru yang
berhasil menandingi kekuatan lama yang sebelumnya menjadi salah
satu pilar utama Pemerintahan Orde Baru. Kalau dicermati, perubahan
bandul politik yang terjadi di Bali itu bahkan berlangsung lebih drastis

6

BAB 1 PENDAHULUAN
karena PDIP mampu mengalahkan Partai Golkar dengan perolehan
suara yang sangat telak.
Dalam Pemilu 1999 tersebut, PDIP mampu meraih
kemenangan lebih dari 80% kursi suara. Padahal selama masa Orde
Baru – sampai terakhir pada Pemilu tahun 1997 – Golkar selalu
memperoleh kemenangan mutlak. Dengan hasil Pemilu seperti itu,
maka Pemerintahan Daerah di Bali, baik pada tingkat Propinsi,
Kabupaten maupun Kota (kotamadya), boleh dikatakan dikuasai
hampir sepenuhnya oleh wakil-wakil dari PDIP. Sedangkan dalam
dimensi yang lain, perubahan bandul politik yang lebih drastis itu,
antara lain, ikut mendorong terjadinya “amok” massa di Bali,
menyusul kegagalan Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden RI.
Meskipun pada waktu itu partainya keluar sebagai pemenang Pemilu
1999, tetapi justru Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB yang berhasil
terpilih sebagai Presiden RI dalam Sidang Umum MPR RI tahun 1999.
Padahal PKB mendapatkan kursi suara yang jauh lebih kecil
dibandingkan PDIP, yaitu 34% versus 13%. Kejadian “amok” 3 itu
sendiri mengundang banyak pertanyaan, mengapa Bali yang selama ini
dikenal sebagai Pulau Dewata, yang masyarakatnya (dianggap)
menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang harmonis, bisa
mengalami “amok” massa seperti itu?
Amok massa itu kalau ditelusuri memiliki jejak sejarah yang
panjang di masyarakat Bali. Sehingga kalau mengacu pada sejarah,
sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan kalau hal seperti itu bisa
terjadi di Bali. Vickers (2012) dalam bukunya berjudul “Bali A Paradise
Created ” dan juga Schulte-Nordholt (2006) dalam bukunya berjudul
“The Spell of Power, Sejarah Politik Bali 1650 – 1940”, mengemukakan
3

Menyusul kekalahan Megawati Sukarnoputri dalam pemilihan presiden tahun 1999,
maka sejak pagi hari tanggal 20 Oktober 1999 meletus kerusuhan masal di beberapa
kota di Bali, khususnya di Negara (Kabupaten Jembrana), Singaraja (Kabupaten
Buleleng), dan Denpasar (Kotamadya Denpasar). Dalam kerusuhan yang membawa
nuansa anti Jawa dan Islam itu, beberapa gedung pemerintahan, khususnya yang ada di
Singaraja dan Denpasar dibakar hangus massa. Kerusuhan baru mereda setelah
Megawati Sukarnoputri dipilih oleh MPR menjadi Wakil Presiden pada tanggal 21
Oktober 1999. Lihat: Schulte-Nordholt, (2007). Bali, An Open Fortress 1995 – 2005.
Regional Autonomy, Electoral Democracy and Entrenched Identities. Singapore: NUS
Press. Halaman16 – 17.

7

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
bahwa masyarakat Bali dalam perjalanan sejarahnya ternyata memang
sangat dinamis, tidak pernah sepi dari konflik sosial-politik, disamping
realitas harmoni yang ada. Realitas ini tentu tidak seperti yang banyak
disangka “orang luar Bali” bahwa masyarakat Bali berada dalam suatu
tatanan kehidupan sosial-politik yang selalu damai dan harmonis,
sejalan dengan julukannya Bali sebagai Pulau Dewata. Kenyataannya,
konflik dan harmoni, ternyata menjadi satu bagian yang tidak
terpisahkan dalam perjalanan sejarah masyarakat Bali.
Salah satu fenomena yang mencerminkan realitas masyarakat
Bali yang dinamis, paling tidak terlihat dari adanya pergeseranpergeseran bandul politik dalam pemilu sejak masa reformasi, yaitu
pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009. Kalau PDIP dalam tahun 1999
mampu memenangkan Pemilu hampir secara mutlak maka dalam
Pemilu 2004 jumlah perolehan kursi suaranya mulai berkurang, meski
tetap mampu mempertahankan kemenangannya. Sebaliknya, Golkar
dalam Pemilu 2004 berhasil mengambil kembali sebagian suaranya
yang sempat tersedot PDIP dalam pemilu 1999. Dalam Pemilu 2004,
pendatang baru, Partai Demokrat (PD), berhasil memperoleh suara
6,4%, sehingga menempatkan diri sebagai partai ke tiga terbesar di Bali
setelah PDIP dan Partai Golkar.
Dalam Pemilu 2009, suara PDIP terus merosot, sementara
suara Partai Golkar terus meningkat dibandingkan Pemilu 2004.
Sementara perolehan suara Partai Demokrat melonjak pesat dari 6,4%
pada Pemilu 2004 menjadi 17,6% pada Pemilu 2009. Berikut tabel
yang menggambarkan hasil Pemilu di Bali antara tahun 1971 – 2009.
Tabel 1: Perolehan Suara Golkar dan PDIP dalam Pemilu
Tahun Pemilu
1971
1992
1997
1999
2004
2009

Golkar/Partai Golkar
82,8%
78,5%
93,5%
10,4%
16,8%
19,2%

PNI/PDI/PDIP
12,4%
19,7%
3,5%
79%
52,5%
40,1%

Partai Demokrat
6,4%
17,6%

Sumber: Schulte-Nordholt (2007). Bali: An Open Fortress, 1995-2005 dan kompas.com
(Infografis, Peta Pemilu 2009)

8

BAB 1 PENDAHULUAN
Dibandingkan dengan PDIP dan Golkar, PD merupakan partai
baru yang awalnya didirikan untuk bisa mendukung pencalonan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pilpres 2004. Dalam Pilpres 2004,
SBY mendapatkan suara yang cukup besar di Bali sehingga berhasil
menempati posisi ke 2 setelah Megawati. Bali, disamping NTT adalah
dua wilayah di Indonesia dimana perolehan suara Megawati mampu
mengungguli perolehan suara SBY dalam Pilpres 2004. Dalam Pilpres
2009, perolehan suara Megawati tetap unggul dibandingkan SBY,
meski jumlahnya terus berkurang dibandingkan perolehan suara pada
Pilpres 2004.
Sementara itu dalam pemilihan kepala daerah di Bali paska
Pemilu 2004 (2005 – 2009) dominasi PDIP mulai pudar. Kalau Kepala
Daerah terpilih di Bali paska Pemilu 1999 semuanya berasal dari PDIP,
maka paska Pemilu 2004, PDIP mengalami kekalahan di beberapa
daerah kabupaten/kota di Bali, seperti misalnya di Kabupaten Badung,
Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Gianyar. Di ketiga kabupaten
tersebut, calon dari Partai Golkar yang didukung oleh beberapa partai
lainnya terutama Partai Demokrat, berhasil mengungguli calon dari
PDIP yang sebelumnya berkuasa. Perkembangan dinamika politik
(baru) di Bali seperti ini merefleksikan perubahan bandul politik
nasional. Di tingkat nasional, dalam Pemilu 2004 Partai Golkar
berhasil mengungguli kembali PDIP dengan perolehan suara 21,58 %
dibandingkan 18,53%. Sedangkan dalam Pemilu 2009, kembali PDIP
kalah unggul, sehingga menduduki posisi ketiga di bawah PD (21%),
Partai Golkar (15%) dan PDIP (14%).

Tujuan dan Metode
Berdasarkan latar belakang seperti tersebut di atas, maka
tujuan dari penelitian yang hasilnya dituangkan dalam disertasi ini
adalah mengungkapkan gambaran tentang proses perubahan sosial di
perdesaan Bali, termasuk sifat atau karakter dari proses perubahan itu.
Selanjutnya, berdasarkan gambaran yang ada tersebut, dilakukan suatu
refleksi analitis terkait teori dan konsep perubahan sosial dan
9

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
pembangunan. Soal pembangunan ikut disinggung di sini karena
penelitian ini secara keseluruhan termasuk dalam ruang lingkup studi
pembangunan. Terkait hal ini, kata pembangunan di sini dimaknai,
antara lain, sebagai suatu proses perubahan sosial atau transformasi
sosial. Jadi singkat kata, pembangunan yang dimaksudkan di sini tidak
lain adalah suatu proses perubahan sosial (development as social
change) menuju kemajuan (progress) masyakat.
Proses perubahan sosial itu sendiri diasumsikan terjadi,
terutama sebagai akibat dari berkembangnya dinamika sosial-politik
baru di tingkat nasional dan lokal/daerah (Bali) sejak awal era
reformasi (1998), yang pengaruhnya terus mengalir ke perdesaan.
Sehingga dalam konteks perubahan sosial di perdesaan Bali, faktor
awal pendorongnya adalah berkembangnya dinamika sosial-politik di
tingkat supra-desa; disamping pada gilirannya faktor intra-desa juga
ikut menjadi faktor penentunya. Terkait tingkat hirarkhis gejala
perubahan ini (perubahan di tingkat perdesaan dan di supra-desa),
Sztompka (2005), menyatakan bahwa perubahan sosial memang
seringkali bisa dibayangkan terjadi pada berbagai tingkatan yang satu
sama lain memiliki keterkaitan pengaruh. Tingkatan perubahan itu
adalah perubahan pada tingkat makro (sistem internasional dan
nasional/negara), tingkat meso (sistem lokal dan daerah) dan tingkat
mikro (sistem desa dan komunitas). Sejalan dengan hal ini, maka
penelitian ini memfokuskan pada perubahan pada tingkatan mikro,
dengan tentu saja, mengkaitkan sumber-sumber serta pengaruhpengaruh perubahan pada tingkat meso dan makro.
Unit pengamatan penelitian ini adalah suatu wilayah
perdesaan, yaitu di wilayah Desa Adat/Pakraman Tabola, yang
lokasinya berada Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem,
Propinsi Bali (lihat peta). Lalu pertanyaannya, mengapa unit
pengamatan yang dipilih adalah perdesaan di Bali? Memang,
bagaimanapun, untuk suatu studi perubahan sosial, Bali merupakan
suatu wilayah yang tidak habis-habisnya menarik untuk dikaji.
Keunikan sistem sosial masyarakat Bali yang dalam realitanya terus
menerus menghadapi proses interaksi dengan elemen-elemen dari
dalam dan dari luar Bali secara sekaligus, terus memunculkan berbagai
10

BAB 1 PENDAHULUAN
perkembangan sosial baru yang menarik untuk diungkapkan. Dari sisi
ilmu pengetahuan, hal seperti ini tentu bisa menjadi bahan pelajaran
yang bernilai. Lalu karena wilayah perdesaan pada dasarnya memiliki
ruang lingkup kehidupan sosial yang lebih terbatas ketimbang tataran
kehidupan sosial pada tingkat meso atau makro, maka perkembanganperkembangan baru sebagai hasil dari proses perubahan sosial di
perdesaan bisa digambarkan secara lebih nyata.
Meskipun unit pengamatan penelitian ini ditetapkan pada
tingkatan perdesaan atau mikro, tetapi pada tataran analisanya, mau
tidak mau, akan mencakup pula tingkatan meso dan makro, atau
supra-desa. Ini mengingat bahwa proses perubahan sosial di perdesaan
yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, sebagaimana
disinggung sebelumnya, antara lain, didorong oleh kekuatan-kekuatan
perubahan yang berasal dari tingkatan supra-desa tersebut.
Berangkat dari tujuan tersebut di atas maka dirumuskan
pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut. Pertama, bagaimana
gambaran proses-proses sosial-politikk di perdesaan dengan semakin
mendalamnya penetrasi pengaruh sosial-politik supra-desa? Kedua,
proses-proses sosial-politik yang berkembang di perdesaan tersebut
telah mendorong atau membawa gejala perubahan sosial penting apa?
Selanjutnya bagaimana gambaran dari perubahan sosial di perdesaan
tersebut? Ketiga, pembelajaran apa yang mungkin bisa digali dari
keseluruhan proses penelitian tentang perubahan sosial di perdesaan,
terutama bila dihubungkan dengan perspektif konsep maupun teori
perubahan sosial. Poin yang terakhir ini menyangkut suatu refleksi
analitis terhadap konsep dan teori perubahan sosial yang didasarkan
pada proses dan hasil dari penelitian lapangan. Terakhir, karena
penelitian ini sesungguhnya berada dalam koridor ruang lingkup studi
pembangunan, maka pertanyaannya adalah, dari hasil refleksi analisis
konsep dan teoritis tersebut di atas, apa relevansinya bagi
pengembangan gagasan atau ide terkait konsep dan praktik
pembangunan itu sendiri, khususnya dalam konteks Bali.

11

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
• Ruang Lingkup Perubahan Sosial
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan dengan perubahan
sosial di perdesaan itu terutama manyangkut hal-hal sebagai berikut.
Proses perubahan dalam tatanan nilai-nilai dan norma-norma, yang
dampaknya mempengaruhi pikiran, sikap dan tindakan masyarakat
perdesaan, baik sebagai individu maupun kolektif; proses perubahan
struktur dan tata hubungan/relasi kelembagaan sosial-politik di
perdesaan; proses perubahan struktur dan sistem kepemimpinan
sosial-politik di perdesaan; proses pergeseran atau perubahan dari
keseluruhan sistem sosial masyarakat perdesaan. Perlu dicatat di sini
bahwa berbagai proses perubahan yang disebutkan di atas, dalam
kenyataannya bukanlah suatu proses yang masing-masingnya berdiri
sendiri, melainkan merupakan suatu proses yang kait mengkait satu
dengan yang lainnnya, dan tidak jarang juga saling tumpang tindih.
Berbicara tentang perubahan sosial, tentu saja prosesnya harus
dibayangkan berada dalam suatu kerangka waktu atau dimensi waktu
tertentu. Ini artinya perubahan sosial itu secara konsepsional harus
dilihat dalam kaitannya dengan perbedaan keadaan atau situasi pada
suatu kurun waktu tertentu, yaitu antara sebelum dan sesudah proses
perubahan itu berlangsung. Menurut Sztompka (2005), untuk bisa
menyatakan perbedaannya, ciri-ciri awal unit analisa harus diketahui
dengan teliti, meski terbuka kemungkinan ciri-ciri yang bersangkutan
terus berubah. Mengacu pada konsep ini, maka dalam penelitian
tentang perubahan sosial di perdesaan Bali, terutama difokuskan dalam
kerangka waktu kurang lebih satu dekade sesudah masa reformasi
(1998-2010). Selanjutnya perkembangan keadaan selama kurang lebih
satu dekade itu kemudian juga dibandingkan dengan keadaan sebelum
masa reformasi.
Meskipun telah ditetapkan suatu fokus kerangka waktu
sebagaimana disebutkan di atas, tidak berarti proses penelitian ini
mengabaikan kerangka waktu yang lebih panjang kebelakang, yaitu
yang menyangkut dimensi historis dari kehidupan sosial-politik
masyarakat Bali. Alasannya, dengan menarik garis sejarah yang lebih
12

BAB 1 PENDAHULUAN
panjang itu, diharapkan gambaran tentang proses perubahan sosial
yang terjadi selama kurun satu dekade terakhir ini bisa terungkap
dalam perspektif yang lebih lengkap dan komprehensif. Terkait hal ini,
Holton (2003: 27-38) dalam tulisannya berjudul “Max Weber and the
Intepretatif Tradition”, misalnya, menulis antara lain:
”Understanding the present, and the direction in which social
change was leading, required a profound grasp of long-run
processes of social change. The distinctiveness, the dynamics
and the inertias of the present could only fully be grasp in
historical perspective…”

Dalam kenyataannya, memang banyak segi-segi kehidupan
sosial-politik masyarakat desa di Bali yang sulit dilepaskan dengan
sejarahnya. Bahkan bagi masyarakat desa di Bali, kehidupan sosial
masa lalu dan masa kini terangkai erat oleh suatu jalinan benang
merah berbentuk nilai-nilai dan norma-norma adat dan religi yang
hingga kini masih hidup dan berlaku dalam masyarakat. Sehingga
memang sulit menangkap gambaran kehidupan sosial-politik
kontemporer masyarakat perdesaan di Bali tanpa mengetahui aspekaspek historis dari kehidupan sosial-politik masyarakat yang
bersangkutan. Dalam hubungannya dengan hal ini, masyarakat desa
adat di Bali, menurut Subanda (2005), mempunyai suatu konsep yang
disebut dengan nama Catur Dresta, yang maknanya kurang lebih
adalah empat pandangan mengenai tatakrama pergaulan hidup yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Secara tersurat, catur dresta itu sendiri berasal dari suku kata,
catur yang berarti empat, dan dresta yang berarti pandangan. Unsurunsur catur dresta itu terdiri dari purwa dresta, loka dresta, desa
dresta, dan sastra dresta. Purwa dresta atau juga biasa disebut sebagai
kuna dresta adalah suatu pandangan dari sebuah komunitas yang
berlaku sejak dahulu kala secara turun menurun sehingga menjadi
suatu tradisi yang masih berlaku sampai sekarang. Sedangkan loka
dresta adalah pandangan dari suatu masyarakat lokal atau daerah
tertentu yang bisa berbeda dengan masyarakat lokal atau daerah
lainnya. Desa dresta adalah pandangan masyarakat yang hanya berlaku
pada suatu desa tertentu. Pandangan ini menunjukan adanya
13

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
kekhususan tradisi dari masing-masing desa adat yang ada di Bali.
Konsep ini menegaskan bahwa di balik kehidupan sosial masyarakat
desa di Bali yang terkesan sama dan seragam itu, sesungguhnya di
dalamnya terdapat keanekaragaman yang menunjukkan kekhususan
masing-masig desa adat. Yang terakhir, sastra dresta, adalah pandangan
yang dilandasi oleh ajaran-ajaran Hindu yang dipergunakan sebagai
pedoman mengatur kehidupan masyarakat. Konsep sastra dresta ini
menegaskan bahwa kehidupan sosial desa adat di Bali terkait erat
dengan nilai-nilai ajaran agama Hindu.
Berdasarkan konsep catur dresta ini, khususnya purwa dresta,
jelas kelihatan bahwa keberadaan desa-desa di Bali memiliki akar
sejarah yang panjang, sepanjang perjalanan kehidupan sosial
masyarakat desa itu sendiri. Ada benang merah yang kuat dalam
bentuk nilai-nilai lama (kuno dresta) yang masih berlaku, yang
konteksnya menghubungkan antara kehidupan sosial kekinian dengan
masa lalu atau sejarah kehidupan sosial masyarakat desa yang
bersangkutan. Lebih dari itu, menurut Schulte-Nordholt (2007), orang
Bali, baik sebagai individu maupun kolektif bahkan tidak bisa hidup
tanpa masa lalunya atau sejarah asal usulnya. Dalam pandangan orang
Bali, itulah yang disebut dengan konsep kawitan, yang menjadi unsur
penting dari identitas orang Bali itu sendiri. Dalam bahasa Bali
(Sukayana, I.N, 2008), kawitan itu artinya asal-usul, leluhur.
Dalam praktiknya sehari-hari di perdesaan Bali, konsep Catur
Dresta bersama dengan konsep Tri Hita Karana menjadi dasar dari
keberadaan suatu perangkat aturan hukum adat yang ada, hidup dan
berlaku di semua desa adat di Bali. Perangkat aturan itu dinamakan
awig-awig, yang merupakan suatu acuan hukum normatif yang
mendasari tatanan dan proses kehidupan sosial, budaya dan religi dari
masyarakat (krama) desa adat di Bali, atau yang sekarang dikenal
dengan nama desa pakraman. Jadi awig-awig ini, kurang lebih bisa
disejajarkan dengan semacam konstitusi yang berlaku bagi desa adat,
yang substansinya memuat berbagai ketentuan atau aturan tentang
pelaksanaan kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan di
perdesaan di Bali. Sebagaimana sudah disinggung di atas, hampir
semua desa adat di Bali memiliki awig-awig, yang isinya bisa berbeda
14

BAB 1 PENDAHULUAN
antara satu desa adat dengan desa adat yang lainnya. Hal yang terakhir
ini sejalan dengan salah satu konsep catur dresta, yaitu konsep desa

dresta.
Memang, agak berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia
pada umumnya, di Bali sampai sekarang terdapat dua jenis desa yang
keberadaannya sama-sama nyata di mata masyarakat, yaitu desa adat
dan desa dinas. Desa adat atau yang sekarang ini lebih dikenal dengan
nama desa pakraman adalah desa asli di Bali yang keberadaannya bisa
ditelusuri sejak jaman kuno, jauh sebelum Bali mendapatkan pengaruh
dari luar (Kerajaan di Jawa) yaitu sekitar abad 9. Pada jaman itu
masyarakat desanya disebut dengan nama “kraman”, sedangkan tempat
atau wilayah dimana kraman tinggal disebut “desa”. Sehingga tempat
para kraman tinggal di suatu tempat itu disebut desa pakraman.
Desa pakraman ini pada awalnya merupakan kelompok cikal
bakal atau keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal telah
mendiami daerah tertentu. Kemudian dengan munculnya pengaruh
kekuasaan Hindu Jawa awal abad 14 maka mulailah desa pakraman itu
berada di bawah pengaruh raja-raja. Keadaan ini, menurut
Dharmayudha (2001), menunjukkan bahwa desa berfungsi ganda yaitu
sebagai kelompok cikal bakal pemuja leluhur atau religius dan fungsi
desa sebagai kelompok sosial-politik yang dibina oleh para raja, yang
merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit di Jawa Timur.
Dari sudut pandang kelembagaan, desa adat di Bali ini
mungkin bisa disejajarkan dengan bentuk-bentuk kesatuan masyarakat
hukum (masyarakat adat) di tingkat lokal lainnya yang ada di
Indonesia, seperti: gampong atau mukim di Aceh; marga di Sumatera
Selatan, Bengkulu, atau Jambi; nagari di Sumatera Barat; wanua di
Minahasa; golo di Manggarai, Flores; Negeri, ori atau huta di Sumatera
Utara; desa (lama) di Jawa; dan lain sebagainya. Hanya perbedaannya,
umumnya kesatuan masyarakat hukum lainnya yang ada di Indonesia
itu keberadaannya sudah memudar atau bahkan hampir lenyap ditelan
waktu dan jaman. Ini terjadi terutama sejak dibentuknya institusi baru
di tingkat lokal yang memiliki nama generik, yaitu desa untuk
menggantikan bentuk-bentuk kesatuan masyarakat hukum (adat) yang
15

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
ada di tingkat lokal itu. Sedangkan di Bali, kesatuan masyarakat
hukum adatnya tetap eksis sampai sekarang, dengan nama desa adat
atau desa pakraman (Daddi, 2010).
Desa dalam pengertian umum itu kemudian menjadi bagian
atau perpanjangan dari birokrasi paling bawah dari pemerintahan
nasional yang pembentukannya di dasarkan pada UU No 5/1974
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 5/1979 tentang
Pemerintahan Desa. Dengan berkembangnya suatu bentuk
pemerintahan yang bersifat sentralistik pada masa Orde Baru maka
dengan sendirinya desa seolah-olah menjadi pusat dari semua aktivitas
pemerintahan di tingkat lokal. Desa, dengan demikian seperti
memiliki kedudukan sosial, ekonomi, dan politik yang sangat kuat,
yang dalam perjalanannya kemudian boleh dikatakan “mengatasi”
keberadaan kesatuan masyarakat hukum (lokal) atau institusi adat
setempat.
Desa dinas di Bali, secara umum menggambarkan hal yang
sama dari realitas desa yang merupakan perpanjangan tangan birokrasi
pemerintahan pusat sebagaimana disebutkan di atas. Hanya bedanya,
sebagaimana dikemukakan oleh Agung (2006), kalau di daerah lainnya
di Indonesia (khususnya di luar Jawa), desa atau nama desa boleh
dikatakan merupakan institusi baru yang gagasan pembentukannya
mulai mencuat terutama sejak akhir tahun 1960-an, desa (dinas) di Bali
justru sudah mulai berkembang sejak masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda dan terus hidup hingga saat sekarang ini.
Sementara konsep Tri Hita Karana yang sampai sekarang
menjadi landasan keberadaan desa adat merupakan konsep yang
bersumber dari ajaran Hindu di Bali. Pengertiannya diambil dari suku
kata: Tri yang berarti tiga, Hita berarti baik, dan Karana berarti
sumber. Sehingga secara keseluruhan Tri Hita Karana bermakna tiga
sumber kebaikan yang memungkinkan manusia dan masyarakat desa
bisa memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Menurut
Surpha (2006), agar manusia (dan kemudian, masyarakat) bisa
mencapai kehidupan bahagia lahir batin, maka harus mampu
membangun tiga hubungan yang harmonis, yaitu hubungan antara:
16

BAB 1 PENDAHULUAN
manusia dengan Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa); manusia
dengan wilayah tempat pemukiman dan alam sekitarnya (wilayah
desa/banjar); dan akhirnya manusia dengan sesama manusia.
Memang, masyarakat Bali memiliki unsur keunikan tersendiri
karena ajaran agama Hindu umumnya dianggap menjadi sumber nilai
utama dari kehidupan sosial masyarakatnya. Oleh karena itu dalam
membahas masalah perubahan sosial di perdesaan Bali, maka pengaruh
dan saling pengaruh antara sistem religi/kepercayaan masyarakat yang
didasarkan pada ajaran Hindu itu terhadap proses-proses sosial
masyarakat perdesaan ikut mendapatkan perhatian. Dalam
hubungannya dengan hal ini, Koentjaraningrat (2009: 294-295)
mengartikan sistem religi sebagai semua aktivitas manusia yang
bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang
biasanya disebut emosi keagamaan (religious emotion). Sementara
sistem kepercayaan atau keyakinan lebih mengarah kepada suatu
kepercayaan manusia yang berhubungan dengan konsepsi-konsepsi
seperti misalnya konsepsi tentang dewa-dewa yang baik atau jahat;
konsepsi tentang makhluk halus atau roh leluhur; konsepsi tentang
dewa tertinggi dan pencipta alam; masalah tentang terciptanya dunia;
dan lain sebagainya. Dalam realitanya, sistem religi dan kepercayaan
masyarakat Bali itu sendiri berkembang secara dinamis, sejalan dengan
perkembangan sosial-politik masyarakatnya. 4
Sebagaimana sempat dikemukakan di depan, penelitian ini
akan memasukkan suatu tinjauan historis dari kehidupan sosial-politik
masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat desa di Bali pada
khususnya. Kalau dilihat dari sisi babakan waktu, tinjauan historis
dalam penelitian ini akan dimulai dari masa Bali pada akhir abad ke
19. Ini dengan pertimbangan bahwa pada kurun waktu itu Bali mulai
bersentuhan secara lebih intens dengan pengaruh kekuatan politik
4

Gambaran lebih detil tentang bagaimana kehidupan religi dan kultural yang terus
berkembang pemaknaannya sejalan dengan berlangsungnya perubahan-perubahan
dalam kehidupan sosial masyarakat Bali bisa dilihat dalam: Johnsen, Scott Adam.

From Royal House to Nation: The Construction of Hinduism and Balinese Ethnicity in
Indonesia (A Dissertation presented to the Graduate Faculty of the University of
Virginia in Candidacy for the Degree of Doctor of Philosophy). University of Virginia,
2007.

17

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
kolonial Belanda yang berkedudukan pusat di Jawa, tepatnya Batavia
atau Jakarta sekarang. Terkait hal ini, Geertz (1980) mengemukakan
bahwa desa-desa di Bali secara berangsur-angsur mulai mendapatkan
pengaruh yang semakin mendalam dari hadirnya kekuasaan kolonial
tersebut. Bahkan kelak setelah tahun 1908, tahun setelah Klungkung
jatuh ke tangan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda melalui
suatu peristiwa yang dikenal dengan nama Puputan Klungkung, desadesa di Bali harus menghadapi serbuan pengaruh politik kolonial yang
nantinya merombak struktur perdesaan di Bali.
Masa-masa setelah itu, pemerintahan kolonial mulai
membangun dan mengembangkan jaringan birokrasi kolonial hingga
ke desa-desa. Sampai kemudian muncullah apa yang disebut sebagai
struktur ganda (dualisme) dalam kekuasaan pemerintahan di perdesaan
di Bali, yaitu dalam bentuk struktur kekuasaan pemerintahan desa adat
dan desa dinas (Agung, 2006). Struktur ganda kekuasaan pemerintahan
di perdesaan di Bali warisan pemerintahan kolonial itu hingga
sekarang masih tetap bertahan, dan dalam prakteknya sampai kini
tetap menimbulkan kesan dualisme pemerintahan di perdesaan Bali.
Apa yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pengaruh
kekuatan-kekuatan sosial-politik supra-desa sejak lama telah menjadi
faktor pendorong penting dalam proses perubahan sosial-politik di
perdesaan Bali.
Pengertian desa yang akan dibahas dalam penelitian ini
mencakup keberadaan desa yang memiliki struktur ganda itu yaitu:
desa dinas dan desa adat/pakraman. Tetapi dalam konteks pembahasan
dalam penelitian ini, keberadaan desa adat/pakraman mendapatkan
fokus perhatian yang lebih besar. Sebagai catatan, saat ini diseluruh
Bali terdapat kurang lebih 1.482 desa adat dan kira-kira 600 desa dinas.
Menurut Surpha (2006: 52-53), kedua jenis desa itu merupakan satuan
terkecil yang meliputi sekelompok masyarakat yang mendiami atau
bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang di antara
keduanya terdapat variasi hubungan sebagai berikut. Pertama, ada satu
desa dinas yang sama wilayahnya dan pendukungnya dengan satu desa
adat. Kedua, ada satu desa dinas yang wilayahnya meliputi beberapa
desa adat. Ketiga, ada beberapa desa dinas yang berada dalam satu
18

BAB 1 PENDAHULUAN
wilayah desa adat. Keempat, ada wilayah desa dinas yang meliputi
sebagian desa adat tertentu dan sebagian lagi desa adat yang lain.
Dalam kasus desa penelitian ini (di Desa Adat/Pakraman
Tabola), variasi hubungan desa dinas dan desa adat adalah variasi
nomor 3, yaitu wilayah Desa Adat Tabola mencakup tiga wilayah desa
dinas. Struktur kelembagaan desa-nya sendiri meliputi struktur
kelembagaan desa dinas dan desa adat, beserta susunan kelembagaan
yang ada dibawahnya dan/atau ada dalam jaringanya. Struktur
kelembagaan yang berada di bawah desa adat/pakraman antara lain
adalah: banjar adat dan tempek (satuan kepala keluarga di bawah
banjar); seka-seka dengan berbagai urusannya masing-masing,
misalnya, seka taruna-taruni/kelompok pemuda-pemudi, seka
gong/kelompok musik gamelan, dan lain-lainnya; subak-subak, yang di
Sidemen terdiri dari subak sawah atau subak kebun (subak abian); dan
juga lembaga klan keluarga yang khusus ada dalam desa adat di Bali,
yang disebut dengan dadia atau soroh. Sedangkan di bawah struktur
desa dinas terdapat banjar dinas atau juga sering disebut dengan nama
lain yaitu dusun dinas.
Sebagai tambahan, perlu dikemukakan di sini bahwa
sesungguhnya proses perubahan sosial dalam dimensi yang lain juga
sudah lama melanda Bali. Perubahan ini terutama banyak didorong
oleh perkembangan perekonomian di Bali, khususnya yang berasal
dari perkembangan ekonomi pariwisata yang tumbuh cepat sejak awal
dekade 1980-an. MacRae (1997), dalam disertasinya bejudul
“Economy, Ritual and History in Balinese Tourist Town”, misalnya,
menggambarkan secara rinci bagaimana desa-desa di Bali, khususnya
yang ada di wilayah Ubud, Kabupaten Gianyar, mengalami berbagai
perubahan sosial sebagai dampak dari berkembangnya ekonomi
pariwisata di sana.
Berbeda dengan karya MacRae tersebut di atas, penelitian ini
lebih diarahkan untuk mengkaji pengaruh dinamika sosial-politik di
Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya, terhadap
perkembangan kehidupan sosial masyarakat perdesaan di Bali. Dalam
konteks ini, tentu saja perkembangan kehidupan sosial masyarakat di
19

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
perdesaan tersebut di atas juga memiliki keterkaitan dengan
perkembangan sosial-ekonomi di Bali. Sedangkan kalau bicara
mengenai perkembangan sosial-ekonomi di Bali maka tak pelak
pengaruh perekonomian sektor pariwisata sangat menentukan karena
sektor tersebut menyumbang porsi terbesar dalam keseluruhan
perekonomian domestik di Bali. Berikut gambarannya (lihat tabel di
bawah).
Tabel 2: Distribusi Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atas
Harga Konstan Tahun 2000 Berdasarkan Sektor Industri di Propinsi
Bali, 2006 -2007
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Sektor Perekonomian
Pertanian, Peternakan, Kehutanan
dan Perikanan
Pertambangan dan Galian
Industri Manufaktur
Listrik, Gas, dan Tenaga Air
Konstruksi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Transportasi dan Komunikasi
Keuangan dan Jasa Perusahaan
Jasa-Jasa
PDRB atas Harga Konstan

Tahun 2006
(%)
21,54

Tahun 2007
(%)
20,85

0,62
9,46
1,49
3,86
30,79
10,47
7,54
14,22
100,00

0,60
9,75
1,52
3,87
31,27
10,96
7,38
13,80
100,00

Sumber: Bali Dalam Angka 2008, BPS – Statistik Propinsi Bali, 2009

Dari tabel 2 bisa dilihat bahwa sektor pariwisata memberikan
sumbangan paling besar terhadap keseluruhan perekonomian Propinsi
Bali. Elemen-elemen dari sektor pariwisata dalam tabel tersebut paling
tidak mencakup antara lain sektor perdagangan, hotel dan restoran,
ditambah sektor transportasi dan komunikasi. Sumbangan keseluruhan
sektor perdagangan, hotel dan restoran saja sudah mencakup 30,79 %
untuk tahun 2006 dan sedikit meningkat menjadi 31,27 % pada tahun
2007. Kalau ditambah dengan sektor transportasi dan komunikasi
maka angkanya menjadi lebih besar lagi, yaitu kira-kira sebesar 41%
pada tahun 2006 dan 42% pada tahun 2007. Bandingkan dengan
sektor-sektor yang lain, yang semuanya jauh berada di bawah sektor
pariwisata, termasuk juga sektor pertanian dalam arti luas.

20

BAB 1 PENDAHULUAN
• Kerangka Logis Penelitian
Berikut gambaran dari kerangka logis (logical framework)
penelitian yang hasilnya dituangkan dalam disertasi ini:
Gambar 1. Kerangka Logis Penelitian
Reformasi
1998/1999

Politik Multi Partai

Pemilu
DPR

Pemilu
DPD

Otonomi Daerah
UU No. 22/1999

Pilpres

Pilkada

Mobilisasi/Partisipasi
Politik Massa Perdesaan

Perubahan Sosial di Perdesaan Bali

Dinamika
Sosial-Ekonomi di Bali

21

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Dari kerangka logis penelitian itu, bisa dilihat bahwa perubahan
sosial di perdesaan Bali tertutama dipicu oleh adanya berbagai faktor
pengaruh supra-desa. Faktor supra-desa ini tergambarkan dari
hadirnya proses-proses sosial-politik yang berkembang di luar lingkup
perdesaan tetapi yang pengaruhnya menetrasi ke perdesaan. Dari
gambar di atas sebenarnya bisa dibedakan bahwa faktor supra-desa
memiliki dimensi nasional dan lokal/daerah; dua dimensi yang dalam
kajian ini diasumsikan sebagai dimensi makro dan meso dari
perubahan sosial.
Sebagai contoh, dimensi makro adalah berbagai perubahan
sosial-politikk di tingkat nasional lewat apa yang disebut sebagai
proses reformasi. Proses di tingkat makro ini dalam realitasnya
merembes terus kebawah pada tingkat lokal dalam bentuk berbagai
perubahan di tingkat daerah (Bali), yang pada tataran tertentu terus
bergulir di tingkat perdesaan. Yang terakhir ini kita sebut sebagai
perubahan di tingkat mikro.
Dengan kerangka logis seperti itu maka secara teoritis yang
dianggap menjadi sumber utama perubahan pada awalnya adalah
faktor-faktor eksogen. Namun demikian, sebagaimana terungkap dari
hasil penelitian ini, bahwa dalam prosesnya ternyata berbagai faktor
endogen juga ikut mendorong lebih lanjut terjadinya perubahan sosial
di perdesaan. Seperti yang akan dibahas pada bagian lain dari tulisan
hasil penelitian ini, faktor endogen muncul sebagai hasil dari berbagai
aksi respon masyarakat desa setempat, baik sebagai individu maupun
kolektif, atas berbagai gejala perubahan yang terjadi, yang pada
gilirannya juga menggulirkan dan menggerakkan proses perubahan
sosial pula.
Secara teoritis, proses endogen dan eksogen ini memang
seringkali berjalan secara serentak, berkesinambungan dan saling
berinteraksi satu sama lain. Smelser (1992: 369-393) yang
menggunakan istilah ekstenal dan internal untuk faktor eksogen dan
indogen, mengemukakan:
“I use the term external to refer to influences emanating from
the presence of other societies in given society’s environment,

22

BAB 1 PENDAHULUAN
… intersocietal, and intercultural forces. By internal, I refer to
the mutual interrelations of values, social structure, and classes
as they are institutionalized in a given society. In making this
external-internal distinction, how ever I would like to be clear
that it cannot be regarded as a fixed, dichotomous one; some of
the most interesting questions to be raised about the two kinds
of forces are how they interact with each other and how the
distinction sometimes breaks down as the two kinds of forces
fuse to generate or block social change”.

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Smelser di atas,
hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang erat dan
sulit dipisahkan antara faktor endogen dan eksogen dalam proses
perubahan sosial di Tabola.
• Metode Penelitian
Dalam
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
penelitian
sebagaimana dirumuskan di atas, maka proses penelitian ini
menyandarkan pada paradigma penelitian intepretatif dengan
menggunakan metode kualitatif. Pengertian paradigma penelitian
intepretatif yang dimaksudkan disini berhubungan dengan bagaimana
cara untuk memperoleh pengetahuan (dalam rangka menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian) yang didasarkan pada proses
pemahaman melalui intepretasi dan pemaknaan dari realitas sosial
terkait penelitian ini. Jadi di sini dilibatkan suatu proses intepretasi
dan pemaknaan terhadap hasil pengamatan atau temuan lapangan
selama proses penelitian ini. Tentu saja, tidak bisa dihindarkan, bahwa
hal seperti ini mau tidak mau melibatkan dimensi subyektif dari
peneliti. Hasil intepretasi dan pemaknaan ini menjadi bahan dasar dari
keseluruhan tulisan (disertasi) yang disajikan di sini.
Menurut Marvasti (2004), paradigma intepretatif ini bisa
dibedakan dengan paradigma positivis, yaitu dari cara untuk
memperoleh pengetahuannya. Dalam paradigma positivis, cara untuk
memperoleh pengetahuannya lebih didasarkan pada suatu observasi
obyektif terhadap suatu fenomena tertentu ketimbang proses
23

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
intepretasi dan pemaknaan, yang seringkali berdimensi subyektif itu.
Paradigma intepretatif ini sering disebut juga sebagai paradigma
konstruktivis, yang hal ini terutama dihubungkan dengan posisi
teoritikalnya terhadap realitas sosial. Disini pertanyaan pokoknya
adalah bagaimana realitas itu secara sosial dikonstruksikan, yang dalam
hal tersebut dilakukan melalui proses intepretatif dan pemaknaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian metode
kualitatif adalah cara atau metoda bagaimana proses pemahaman
intepretatif dan pemaknaan terhadap realitas sosial itu dilakukan.
Terkait dengan hal ini, paling tidak ada dua cara atau metoda yang
digunakan, termasuk dalam penelitian ini, yaitu melalui pengamatan
partisipasi langsung (participation observation) dan wawancara
langsung secara mendalam (in-depth interviews). Tekanan yang
diberikan dalam upaya memahami realitas sosial yang menjadi fokus
perhatian penelitian ini mencakup perspektif individu, kelompok atau
komunitas. Sedangkan substansi yang menjadi pokok perhatian adalah
ide-ide, gagasan-gagasan, sikap-sikap, motif-motif, maksud-maksud
dan kepentingan-kepetingan dari individu atau kelompok yang
bersangkutan itu (Henn, W dan Foard, 2006).
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif ini dilakukan
melalui suatu pendekatan riset lapangan (field research) yang
dipadukan dengan pendekatan riset komparatif-sejarah (historicalcomparative research). Lewat pendekatan riset lapangan maka
berbagai permasalahan sosial (realitas sosial) terkait pertanyaan
penelitian bisa dipelajari dan dipahami secara langsung dan mendalam.
Dari sini kemudian diungkapkan dan dideskripsikan berbagai jawaban
atas pertanyaan penelitian.
Berbagai kegiatan yang telah dilakukan dalam riset lapangan
ini, antara lain, adalah kunjungan serta tinggal dilokasi penelitian
dalam suatu kurun waktu tertentu untuk bisa melakukan pengamatan
lapangan secara langsung. Lokasi penelitian adalah Desa Pakraman
Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.
Kunjungan lapangan dilakukan dalam beberapa kali kesempatan dalam
periode waktu antara tahun 2008 hingga 2010. Dalam kesempatan
24

BAB 1 PENDAHULUAN
kunjungan lapangan itu, dilakukan wa