Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB V

BAB 5

AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN

Pendahuluan
• Konsep dan Sejarah Awig-awig di Bali
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali, Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman, antara lain disebutkan definisi dan pengertian
tentang desa pakraman. Pada pasal 1 ayat 4 disebutkan:
“Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di
Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa
yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri
serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.

Dari definisi ini, paling tidak ada tiga hal penting menyangkut
pengertian tentang desa pakraman. Pertama, tentang pengertian desa
pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai
tradisi dan tatakrama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu dalam
ikatan kahyangan tiga. Kedua, tentang pengertian desa pakraman

memiliki wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Ketiga, tentang
pengertian desa pakraman berhak mengurus rumahtangganya sendiri.
Kalau mengacu pada pengertian nomer tiga tersebut di atas,
maka sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak mengurus
atau mengelola rumahtangganya sendiri, tentu saja harus ada
seperangkat aturan atau ketentuan hukum (adat) yang memuat
ketentuan-ketentuan tentang bagaimana praktik pengelolaan desa
pakraman itu harus dilakukan. Perangkat aturan atau ketentuan
hukum adat itu, di desa pakraman di Bali, dinamakan awig-awig.
Dalam kamus bahasa Bali, kata awig-awig disebutkan berasal
dari suku kata “wig” yang artinya buruk, rusak. Penambahan kata “a”
dalam suku kata “wig”, sehingga menjadi kata awig, mengubah artinya
menjadi sebaliknya, yaitu tidak buruk, tidak rusak. Berangkat dari asalusul perkembangan suku kata seperti ini maka kata awig-awig
kemudian mendapatkan arti lebih lengkap yaitu sebagai “peraturan

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
yang (dampaknya) bisa membuat kebaikan dan kesejahteraan”
(Anandakusuma, 1986). Sebagai suatu peraturan, awig-awig desa
pakraman memang bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Awigawig sudah ada sejak lama, sejalan dengan asal usul keberadaan desa
pakraman itu sendiri, yang kalau ditelusuri sejarahnya berawal sejak

dari jaman Bali kuno.
Salah satu bukti bahwa awig-awig sudah ada sejak jaman
dahulu, bisa ditemukan dari naskah awig-awig kuno yang ada di
beberapa desa pakraman di Bali. Berdasarkan penelitian dokumentasi
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, misalnya, ditemukan salah satu awigawig yang terbilang kuno, yaitu: Awig-awig Desa Sibetan, di
Kabupaten Karangasem, yang berasal dari masa tahun Isaka 1300 atau
kira-kira pada tahun 1378 M. Desa Sibetan adalah desa pakraman yang
terletak di Kecamatan Sibetan, Kabupaten Karangasem, tidak terlalu
jauh jaraknya dari Desa Pakraman Tabola dan merupakan wilayah
penghasil buah salak Bali yang terkenal itu.
Saat ini, awig-awig desa Sibetan sudah diperbarui kembali
melalui proses penyuratan awig-awig. Sehingga Awig-awig Desa
Pakraman Sibetan sekarang susunan menjadi lebih sistematis
sebagaimana halnya awig-awig desa pakraman lainnya yang sudah
disuratkan. Tokoh di balik proses penyuratan Awig-awig Desa Sibetan
tidak lain adalah Ida I Dewa Gde Catra, salah seorang tokoh yang juga
berhasil menyuratkan awig-awig di Desa Pakraman Tabola.
Selain Awig-awig Desa Sibetan, naskah awing-awig lainnya
yang terbilang sudah ada sejak jaman dahulu adalah yang ada di Desa
Tenganan. Desa Tenganan yang terletak di Kecamatan Manggis,

Kabupaten Karangasem ini memang dikatagorikan sebagai desa Bali
aga, atau desa Bali kuno. Sebagai desa Bali aga, ternyata sejak awal Desa
Tenganan ini sudah memiliki awig-awig, yang sampai saat ini masih
terpelihara dan berfungsi di masyarakat.
Menurut catatan sejarah, Awig-awig Desa Tenganan bahkan
sudah ada dalam bentuk tertulis sejak tahun 1763 Caka (1842 M), yaitu
setelah aturan desa yang sudah ada lebih awal atau disebut pengelingeling terbakar. Penulisan kembali pangeling-eling menjadi awig-awig
194

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
itu dilakukan oleh juru tulis Kerajaan Karangasem saat itu, bernama I
Gede Gurit dan I Made Gianyar. Penulisan itu dilakukan setelah
mendapatkan restu ijin dari Raja Karangasem, I Gusti Made
Karangasem, dan Raja Klungkung, I Dewa Agung Putra. Sampai
sekarang, awig-awig hasil penulisan kembali pangeling-eling Desa
Tenganan itu masih tersimpan rapi dan masih berfungsi baik (dalam
arti tetap ditaati) di masyarakat Desa Tenganan. 1
Dua contoh tersebut di atas menjelaskan bahwa awig-awig desa
pakraman memang bukanlah hal baru. Setiap desa pakraman di Bali,
pada umumnya sudah memiliki awig-awig, hanya saja dalam

bentuknya lama yang belum tertulis, ataupun kalau sudah tertulis,
susunannya (formatnya) belum tersistematisir seperti aturan hukum
positif yang dikenal dewasa ini. Awig-awig lama, yang umumnya
belum tertulis ini biasanya disebut pangeling-eling, kegaduhan, dresta,
atau juga sima (Windia, 2008).
Dalam bahasa Bali, pangeling-eling berasal dari suku kata eling
yang artinya ingat, atau dalam konteks ini berarti apa-apa yang diingat
oleh masyarakat terkait berbagai hal (aturan/ketentuan) yang “dilarang
ataupun diwajibkan” untuk diikuti atau dijalankan oleh desa.
Kegaduhan berasal dari suku kata gaduh, yang artinya punya atau
kepunyaan (desa), yang dalam konteks ini bermakna aturan atau
ketentuan yang menjadi milik desa yang harus diikuti oleh masyarakat
(krama). Dresta pada mulanya berarti pandangan, yang kemudian
berkembang artinya menjadi pandangan suatu masyarakat tentang
sesuatu hal yang berkaitan dengan tatakrama pergaulan hidup.
Sedangkan sima dalam bahasa Bali kurang lebih berarti patok atas batas
suatu wilayah tertentu atau wilayah, yang kemudian berkembang
artinya menjadi patokan-patokan atau ketentuan-ketentuan tidak
tertulis yang berlaku di masyarakat (Andakusuma, 1986 dan Surpha,
2006: 50-51).


1

Wawancara dengan Klian Desa Adat Tenganan, I Wayan Mangku Windya (pak
Mangku). Tenganan, Maret 2010. Lihat juga: Setiawan, K. Oka. Hak Ulayat Desa Adat
Tenganan Pegringsingan Bali Pasca UUPA. Universitas Indonesia, Fakultas Hukum,
Program Pasca Sarjana. Jakarta, 2003. Halaman 96-97.

195

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

Pangeling-eling, kegaduhan, dresta atau sima yang dimiliki
oleh desa adat/pakraman, yang wujudnya seringkali tidak tertulis ini
yang kemudian disuratkan atau dituliskan dalam bentuk suatu
peraturan desa pakraman yang disebut awig-awig. Seperti yang
disinggung dalam tulisan di atas, bahwa penyuratan awig-awig di desa
adat/pakraman di Bali sesungguhnya sudah dilakukan sejak lama.
Seperti di Desa Adat Tenganan bahkan dilakukan sejak tahun 1842.
Tetapi karena penyuratan awig-awig dilakukan dari dan oleh

masyarakat desa setempat, maka tentu saja bentuk dan struktur
penulisannya berbeda-beda. Sebagai catatan, di masa lalu, penyuratan
itu dilakukan di atas media daun lontar dan ditulis dalam huruf Jawa
Kuno/Bali Kuno.
Hasil penulisan di daun lontar ini biasanya di samping di pura
puseh, dan masyarakat desa pada umumnya hanya mengingat-ingat
saja isi atau substansi dari naskah daun lontar itu. Dalam konteks ini
perlu dikemukakan bahwa seringkali naskah lontar yang di samping di
pura puseh itu tidak memuat seluruh ketentuan yang ada. Sebab masih
banyak ketentuan yang belum tertulis (di daun lontar), dan tersimpan
baik dalam bentuk pengertian dan pemahaman yang ada dalam
kesadaran masyarakat desa. Pengertian dan pemahaman itu seperti itu
disebut dresta.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa nilai-nilai dan normanorma itu biasanya belum semuanya dalam bentuk tertulis yang bisa
diakses dengan mudah secara obyektif oleh masyarakat luas. Namun
demikian tidak berarti hal seperti itu tidak dipahami masyarakat desa.
Dalam konteks ini, substansinya lebih banyak dimengerti dan
dipahami dalam kesadaran kognitif masyarakat (kesadaran kolektif)
desa. Dalam pengertian ini, nilai-nilai atau norma-norma yang ada
dalam pengeling-eling, kegaduhan, dresta, atau sima itu, sudah

menubuh dalam kesadaran masyarakat, atau kalau memakai konsep
Bourdieu, dikatakan sudah menjadi habitus.
Tentu saja dia menjadi habitus bukan saja karena proses
pewarisan nilai-nilai dan norma-norma dari generasi sebelumnya,
tetapi juga karena nilai-nilai dan norma-norma itu di praktikkan secara
196

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
langsung dalam kehidupan sosial-budaya dan religi (keagamaan)
sehari-hari. Dalam praktik inilah terjadi proses penyesuaianpenyesuaian sesuai konteks ruang dan waktu. Berangkat dari titik ini,
maka nilai-nilai dan norma-norma yang dipraktikkan sehari-hari itu
pada akhirnya mewujud dan melekat menjadi habitus masyarakat,
sebagai individu ataupun kolektif.
Sebagai suatu habitus, nilai-nilai dan norma-norma yang juga
adalah suatu struktur yang terinternasilisasi dalam kesadaran kognitif
(individu maupun kolektif) itu, tentu saja substansinya membatasi
pikiran dan pilihan tindakan dari individu dan masyarakat desa
pakraman. Membatasi dalam pengertian bahwa pikiran dan pilihan
tindakan yang dilakukan oleh individu maupun masyarakat itu, mau
tidak mau harus menyesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma

tersebut; atau kalau yang terjadi sebaliknya, maka pilihan tindakan itu
dianggap melanggar, yang tentu saja dalam hal itu menghadapi
konsekuensi berupa sanksi-sanksi, sesuai ketentuan yang ada.
Meskipun begitu, seperti ditegaskan oleh Bourdieu, habitus itu tidak
menentukan (dalam pengertian determine) pikiran dan tindakan
tersebut. Seperti disinggung dalam Bab 2, bahwa ketimbang menjadi
faktor yang “menentukan” (determine), habitus, menurut Bourdieu,
hanyalah “menyarankan” (suggest) kepada individu dan masyarakat
tentang apa yang harus dipikirkan dan strategi pilihan tindakan yang
harus diambil dalam dunia sosial (lingkungan sosial desa pakraman).
Oleh karena faktor seperti ini maka di sini nilai-nilai dan
norma-norma itu lalu bersifat agak fleksibel, kontekstual, dan
menyesuaikan atau mengikuti dimensi ruang dan waktu. Di samping
juga bahwa nilai-nilai dan norma-norma itu tetap terbuka terhadap
subyek perubahan, khususnya dalam kaitannya ketika harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Secara konsepsional,
kenyataan ini sejalan dengan konsep lama yang dikenal luas dan
dipahami secara dalam oleh masyarakat desa pakraman, tentang
pelaksanaan nilai-nilai tradisi yang mengacu pada konsep desa kala
patra. Konsep desa kala patra ini, artinya kurang lebih adalah semuanya

menyesuaikan diri berdasarkan konteks tempat (desa), waktu (kala),
dan situasi (patra).
197

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Inilah yang menjelaskan mengapa perilaku masyarakat desa
pakraman, tak terkecuali di Desa Tabola, pada umumnya masih tetap
patuh mengikuti ketentuan-ketentuan yang termuat dalam substansi
pengeling-eling tersebut. Kepatuhan yang kalau ditelusuri bertahan
dari genenerasi ke generasi dan dari jaman ke jaman. Meskipun kalau
dicermati, ketentuan yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang
selalu dipraktikkan sehari-hari tersebut seringkali maknanya sudah
tidak bisa dipahami, atau dijelaskan dengan cara yang argumentatif
lagi. Mereka mempraktikkannya karena hal itu dianggap sebagai suatu
kewajiban yang dikenalnya lewat perwarisan tradisi. Sebagaimana
dikemukakan dalam Bab 2, Giddens, menyebut hal seperti ini sebagai
suatu practical consciousness, kesadaran praktis; sesuatu yang agak
berbeda dengan yang disebut sebagai discursive consciousness atau
kesadaran diskursif (Allan, 2006: 263).
Sebagai contoh, dalam upacara dan upakara di desa pakraman,

seringkali sebagian atau beberapa bagian dari proses upacara dan
upakara yang bersangkutan, tidak dipahami lagi substansi maknanya
secara utuh. 2 Dalam hal ini mungkin hanya orang-orang tertentu saja
yang mengerti dan memahami secara utuh tentang proses upacara dan
upakara itu. Yang lainnya, mayoritas masyarakat desa atau krama desa,
hanya mengenal bahwa proses upacara dan upakara itu harus
dijalankan karena merupakan suatu kewajiban adat yang memang
harus dilakukan, begitu saja dan apa adanya, sama seperti yang sudah
dilakukan selama ini.
2
Upakāra dan Upacāra merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang sering
disebut dengan “Yajña” (Yadnya). Yajña berasal dari kata “Yaj” yang artinya ”korban
suci atau persembahan suci”. Korban suci yang dimaksud adalah suatu korban yang
dilandasi pengabdian, cinta kasih dengan niat hati yang suci dan tulus ikhlas, dengan
tidak mengikatkan diri pada hasil. Sedangkan Upakāra itu sendiri berasal dari kata
“Upa” yang artinya berhubungan dengan, dan “Kara yang berarti
perbuatan/pekerjaan/tangan. Jadi pengertian Upakāra di sini berarti segala sesuatu yang
berhubungan dengan perbuatan/pekerjaan/tangan, yang pada umumnya berbentuk
materi, seperti daun, bunga, buah-buahan, air, dan api, sebagai kelengkapan dari suatu
Upacāra. Kemudian Upacāra berasal dari kata “Upa” yang artinya berhubungan dengan,

dan kata “Car” yang berarti gerak, kemudian mendapat akhiran “a”, merubah kata kerja
menjadi kata sifat yang artinya gerakan. Jadi upacāra adalah sesuatu yang ada
hubungannya dengan gerakan (pelaksanaan) dari suatu Yajña (Yadnya).

Sumber:http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1729
&Itemid=28

198

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
Contoh untuk kasus seperti ini, misalnya, upacara Batara Turun
Kabeh, suatu upacara besar yang setiap tahun diadakan di Pura Puseh
Desa Pakraman Tabola. Upacara ini ditujukan untuk memuja para
dewa yang ada di Pura Suci Besakih, yang melakukan perjalanan dari
Pura Besakih ke Pura Segara Klotok (di Pantai Klotok, Klungkung);
yang dalam perjalanannya kembali ke Pura Besakih, diyakini singgah
di Pura Puseh Desa Tabola. Untuk menghormati kesinggahan para
dewa yang bersemayam di Pura Besakih itu maka diselenggarakan
upacara di Pura Puseh Tabola. Dalam proses upacara itu dilakukan
berbagai persembahan seperti sesajen-sesajen, yang hal itu disebut
sebagai persyaratan upakara. Para krama Desa Tabola, menjalankan
upacara dan upakara begitu saja berdasarkan tatacara yang diwariskan
dari orang tuanya atau generasi sebelumnya.
Oleh warga desa pakraman, situasi seperti ini sering disebut
dengan istilah, “mula keto”, yang artinya kurang lebih adalah “dari
semula memang sudah begitu”. Di sini para krama desa menerapkan
dan menjalankan nilai-nilai dan norma-norma itu “serta merta begitu
saja, apa adanya” karena memang cara demikianlah yang dipelajari
melalui tradisi yang diturunkan oleh orang tuanya atau generasi
sebelumnya. Realitas seperti ini mendukung sepenuhnya kenyataan
bahwa pangeling-eling, sima, dresta, atau dalam istilah yang lebih baru,
awig-awig, nilai-nilainya sudah “menubuh” menjadi habitus dan yang
dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat desa sehari-hari.
Dengan demikian, walaupun nilai-nilai dan norma-norma itu
tidak dalam bentuk tertulis, tetapi tetap bisa berfungsi dan terpelihara
karena menjadi acuan dalam berfikir dan bertindak. Namun demikian
bukan berarti tidak ada upaya untuk menyuratkan (menuliskan) nilainilai dan norma-norma itu. Seperti sempat disinggung di atas,
masyarakat desa pakraman di Tenganan, sejak abad 19 sudah mulai
berusaha melakukan penyuratan pangeling-eling mereka.
Begitupula dengan Desa Pakraman Tabola, yang berdasarkan
dokumen yang ada, sudah berusaha menyuratkan awig-awignya pada
tahun 1930-an. Tetapi, seperti dikemukaan oleh Windia (2008), bahwa
hasil penulisan awig-awig pada masa lalu itu umumnya memiliki ciri
199

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
yang sama, yaitu: sistimatikanya kurang jelas, ketentuan dalam awigawig terkesan seperti notulen rapat, tidak mencantumkan batas
wilayah (desa adat) yang jelas dan semua penduduk yang tinggal di
suatu desa dianggap sama sebagai krama desa. Untuk konteks jaman
sekarang, poin yang terakhir ini menjadi penting, karena sejak Bali
menjadi terkenal karena pariwisata maka dengan sendirinya semakin
banyak para pendatang dari luar, mulai bermukim di suatu desa adat.
Mereka ini tidak hanya dari luar desa di Bali, tetapi juga bahkan dari
luar daerah Bali.
Lalu pada akhir tahun 1960-an muncul upaya menata penulisan
awig-awig dari Pemerintah Provinsi Bali. Misalnya, pada tahun 1969,
dalam Seminar Hukum I, tentang “Pembinaan Awig-awig Desa Dalam
Tertib Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Universitas Udayana
Bali dan Pemda Provinsi Bali, di samping antara lain bahwa awig-awig
yang belum tertulis, dalam waktu singkat supaya diusahakan
penulisannya. Kemudian, sambil menunggu penulisan tersebut, awigawig yang tidak tertulis itu dianggap masih mempunyai kekuatan
berlaku sebagaimana biasa.
Sebagai tindak lanjut dari Seminar Hukum I itu, tahun 1974
dimulailah proyek pembinaan dan penulisan awig-awig yang
dilaksanakan oleh Provinsi Bali, bekerjasama dengan Fakultas Hukum
dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Udayana. Untuk awal
pelaksanasan proyek maka dilakukan pesamuan (pertemuan
musyawarah) di desa-desa adat Kabupaten Badung, Gianyar, Bangli dan
Tabanan. Selanjutnya tahun 1981-1982 dilanjutkan proyek yang sama
di Kabupaten Klungkung dan Karangasem (Windia, 2008).
Sebelumnya, tahun 1979, dibentuk suatu lembaga yang
bertugas melaksanaan pembinaan dan penulisan awig-awig. Lembaga
itu bernama Majelis Pembinaan Lembaga Adat (MPLA). Sejak
terbentuknya MPLA, maka terus menerus diupayakan untuk disusun
suatu pedoman/teknis penyusunan awig-awig dan keputusan desa adat.

200

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
• Awig-awig di Era Otonomi Daerah
Setelah mengalami penyempurnaan, tahun 2002 diterbitkan
pedoman/teknis penyusunan awig-awig, yang kurang lebih sistimatika
maupun sebagian besar substansi pokok awig-awig tertulis tampak
seragam di seluruh Bali (desa pakraman). Kalau ada perbedaan, maka
perbedaan itu hanya tampak di perarem-arem (bagian keterangan
tambahan/pasal-pasal tambahan yang mengatur sesuatu hal yang
bersifat khusus atau lokal). Pedoman ini selanjutnya dibuat dalam
bentuk buku acuan bagi masyarakat dalam melakukan
“penyuratan”/penulisan kembali awig-awig.
Terkait dengan penulisan awig-awig itu, sebelumnya, pada
tahun 1986, Pemerintah Provinsi Bali pernah mengeluarkan Peraturan
Daerah No. 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan
Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi
Daeah Tingkat I Bali. Dengan Perda itu, maka dirumuskan secara lebih
jelas kedudukan, fungsi dan peranan desa adat, khususnya dalam
konteks kehidupan pemerintahan desa (hubungan desa dinas dan desa
adat), dan juga di sini secara lebih jelas dirumuskan kedudukan, fungsi
dan peranan awig-awig desa.
Sejalan dengan perkembangan jaman (reformasi) dan menyusul
dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
maka keluarlah Perda No 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman di Bali.
Perda ini dimaksudkan mengganti Perda No. 6 Tahun 1986 yang dinilai
perlu diperbarui dengan datangnya era otonomi (desa). Dalam Perda
No. 3 Tahun 2001 ini maka soal-soal yang menyangkut kehidupan desa
adat (yang dalam Perda ini diberi nama dengan istilah baru yang
disebut desa pakraman), termasuk kedudukan, fungsi dan peranan
awig-awig desa, diatur kembali sejalan dengan datangnya
perkembangan baru dalam kehidupan tata pengelolaan pemerintahan
desa.
Salah satu ketentuan baru yang menonjol dari Perda No. 3
Tahun 2001 ini adalah pengertian tentang desa adat yang sekarang
penyebutannya diganti menjadi desa pakraman, dan juga tentang awig201

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

awig desa. Bandingkan pengertian desa dalam Perda No. 3 Tahun 2001
yang terdapat pada bagian awal tulisan dengan Perda No. 6 Tahun
1986, yang dalam hal ini disebutkan bahwa yang disebut desa adat
adalah:
“Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Daerah Tingkat I
Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun
dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang
mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.

Kalau kita lihat dari rumusan yang ada sebagaimana tersebut di
atas, pengertian tentang desa ternyata tidak berubah, atau bahkan
persis sama. Kalau diperhatikan, yang berbeda hanya penggunaan
peristilahan, dari yang tadinya disebutkan sebagai desa adat, kemudian
(Perda No 3 tahun 2001) diganti menjadi desa pakraman. Perubahan
ini berlatar belakang mengembalikan nama desa sesuai dengan
namanya pada masa lalu, yaitu pakraman. Kata pakraman itu sendiri
berasal dari karaman yang kemudian berubah menjadi krama yang
pada mulanya berarti kumpulan orang-orang tua (orang yang sudah
berumah tangga). Dalam perkembangannya krama kemudian diartikan
sebagai warga masyararakat (desa). Jadi perubahan itu untuk
menegaskan suatu makna tentang adanya benang merah nama desa
(adat) sekarang dengan nama desa (adat) di masa lampau.
Selain itu, perubahan nama itu juga dikaitkan dengan upaya
untuk mengkonstruksikan kembali identitas desa (adat) agar lebih
sesuai dengan gambaran sejarah aslinya. Hal ini bisa dikaitkan dengan
dengan adanya gagasan untuk mengembalikan identitas desa adat
sesuai dengan gambaran desa Hindu di Bali. Ini sejalan dengan definisi
dalam Perda No 3 Taun 2001 tentang desa pakraman yaitu sebagai
“kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat
Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga”.
Kata adat untuk istilah desa adat itu sendiri pada dasarnya
memang bukan kata asli Bali. Adat adalah kata yang berasal dari bahasa
Arab, yang menurut Van Vollenhoven berarti kebiasaan. Di Bali, kata
adat kelihatannya mulai dikenal sejak jaman penjajahan Belanda
202

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
sekitar permulaan abad 20, diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan yang
telah melembaga di masyarakat yang berlangsung turun temurun.
Sebagaimana telah disinggung dalam bagian sebelumnya, kata adat
dipakai di depan kata desa, telah dikenalkan sejak jaman Belanda untuk
membedakan dengan kata “dinas” dalam desa dinas yang dibentuk oleh
Belanda. Kata “dinas” itu sendiri asal katanya diambil dari bahasa
Belanda, dienst, yang kemudian diadopsi menjadi “dinas”.
Jadi dalam konteks perubahan nama dari desa adat menjadi
desa pakraman, hal itu merupakan bagian dari proses perubahan sosial.
Lebih dari itu, perubahan nama ini kelak menjadi awal dari berbagai
perubahan di desa, karena perubahan nama itu memang pada
gilirannya membawa perubahan terkait keberadaan desa itu sendiri,
baik dalam hubungannya secara internal (hubungan dalam desa itu
sendiri) maupun eksternal (hubungan desa pakraman dengan lembaga
lain di luar desa atau bahkan dengan supra desa). Sebab memang yang
terjadi bukan hanya soal perubahan kata (kata adat menjadi kata
pakraman), tetapi lebih dari itu ada proses memunculkan makna dan
pengertian baru tentang desa dalam kesadaran kognisi individu dan
kolektif masyarakat desa. Makna dan pengertian baru itu, paling tidak,
substansinya sejalan dengan definisi desa pakraman seperti yang
tertuang dalam Perda Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 yang isinya
sudah disebutkan di atas.
Masih terkait Perda No. 3 Tahun 2001. Dalam Perda ini, selain
soal desa, dicantumkan pula pengertian tentang awig-awig desa
pakraman bersama pasal yang menyangkut berbagai ketentuannya,
seperti misalnya soal “penyuratan’ atau penulisan, prinsip-prinsip yang
mendasarinya, dan lain sebagainya. Soal pengertian awig-awig,
dinyatakan bahwa:
“Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa
pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai
sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai
dengan desa mawacara dan dharma agama di desa

203

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
pakraman/banjar pakraman masing-masing”. 3

Dengan pengertian ini maka jelas bahwa awig-awig pada dasarnya
merupakan suatu ketentuan atau aturan yang menjadi acuan atau
pedoman bagi krama desa dalam menjalankan praktik kehidupan sosial,
budaya dan keagamaan sehari-hari, yang berlandaskan Tri Hita Karana.
Sedangkan menyangkut awig-awig itu sendiri, dalam Perda
disebutkan antara lain bahwa: pertama, setiap desa pakraman
menyuratkan awig-awignya; kedua, awig-awig desa pakraman tidak
boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, dan hak asasi manusia; ketiga, awig-awig desa pakraman dibuat
dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui paruman desa
pakraman; keempat, awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor
bupati/walikota masing-masing.
Atas dasar Perda inilah maka desa-desa adat di Bali, yang
namanya sejak terbitnya Perda itu berubah menjadi desa pakraman,
mulai di dorong untuk melakukan “penyuratan” awig-awig desanya.
Ini sejalan dengan salah satu pasal dalam perda tentang desa pakraman,
yang menyebutkan bahwa “setiap desa pakraman menyuratkan awigawig”. Pada waktu yang sama, Pemerintah Daerah Provinsi Bali juga
sudah menerbitkan pedoman penyuratan awig-awig, yang bisa
dijadikan sebagai acuan bagi desa pakraman di Bali dalam menyuratkan
awig-awig desanya.
Maka kemudian desa-desa pakraman di Bali memulai langkah
untuk melakukan penyuratan awig-awig; dan di antara yang paling
awal merespon Perda itu adalah Desa Pakraman Tabola di Sidemen.
Perlu dikemukakan di sini bahwa istilah yang digunakan bukan
menyusun awig-awig, tetapi “menyuratkan” awig-awig. Istilah
penyuratan digunakan karena pada umumnya desa-desa adat di Bali
sejak semula sudah memiliki awig-awig, meski banyak di antaranya
memiliki nama lain seperti disebutkan di atas, yaitu pangeling-eling,
gegaduhan, sima atau dresta. Awig-awig yang ada sebelumnya, pada
umumnya tidak dalam bentuk tertulis, atau kalau ada yang tertulis,
3

Lihat: Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001.

204

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
susunannya umumnya tidak sistematis, lebih sering seperti notulen
rapat desa. Berikut gambaran perbandingan awig-awig lama dengan
awig-awig baru yang sudah disuratkan.

Tabel 11: Perbandingan Awig-awig Tertulis Zaman Dulu
dan Jaman Sekarang
No
1

Awig-awig Tertulis
Sistematika

2

Batas Wilayah

3

Penduduk

4

Sanksi/Denda

Zaman Dulu
• Sistematikanya
kurang jelas.
• Ketentuan dalam
awig-awig
terkesan seperti
notulen rapat.
• Tidak
mencantumkan
batas wilayah
yang jelas.

Zaman Sekarang
• Sistematika lebih
baik
(tersistematisir)

• Mencantumkan
batas wilayah,
meskipun
umumnya masih
menggunakan
konsep batas
alam (tukad,
telabah,
pangkung), atau
wilayah desa
pakraman
tetangga atau
hamparan
persawahan atau
subak.
• Semua penduduk • Penduduk desa
yang tinggal di
telah
suatu desa
dikatagorikan
pakraman adalah
menjadi dua: (1)
warga desa.
krama desa dan
(2) krama tamiu
• Belum ada
atau warga tidak
ketentuan yang
tetap.
mengatur
mengenai krama
tamiu (warga
tamu/tidak tetap)
di desa.
• Tidak tercantum • Sanksi/denda ada
ketentuan sanksi
dalam
pasalpasal awig-awig.
tersendiri.
• Besar
kecilnya
sanksi/denda

205

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

• 5

• Penyeragaman





diatur lebih detil
dalam peraremarem.
Awig-awig dibuat • Sistematika dan
isi pokok awiguntuk mengatur
awig hampir
pelaksanaan
seragam.
kehidupan
Perbedaannya
beragama Hindu
biasanya tampak
dan pelaksanaan
dalam peraremadat istiadat di
arem.
desa pakraman
tertentu.
• Ada peluang
Sehingga nuansa
untuk
“desa mawacara”
merumuskan
sangat kental.
keseragaman
awig-awig pada
Sulit
merumuskan
bidang tertentu.
awig-awig yang
sama untuk
beberapa desa
pakraman.

Sumber: dikutib dari: Windia, P. Wayan. Awig-awig Desa Pakraman. Sarathi Vol. 15
No. 3 Oktober 2008. Halaman 360.

Desa adat Tabola sendiri, mulai menyuratkan awig-awig desa,
justru beberapa waktu tak lama sebelum keluarnya Perda Provinsi
tentang Desa Pakraman. Bahkan boleh dikatakan untuk tingkatan
Kabupaten Karangasem, Desa Tabola termasuk pelopor dalam proses
penyuratan awig-awig oleh desa pakraman. Di Kecamatan Sidemen,
sebelum desa-desa pakraman lainnya memiliki awig-awig tertulis, Desa
Tabola sudah melakukan penyuratan awig-awig. Oleh karena itu, ketika
desa-desa pakraman di Kecamatan Sidemen - khususnya yang ada di
sektiar desa Tabola, seperti Sangkan Gunung, Talibeng, Iseh, dan Ipah melakukan penyuratan awig-awig sekitar tahun 2003, maka proses
penyuratan awig-awig di Desa Tabola dijadikan sebagai acuan. Bahkan
untuk itu, nara sumber utamanya juga tokoh dari desa Tabola, yaitu Ida
I Dewa Gde Catra dan Cokorda Gde Dangin.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kedua nama tersebut di
atas adalah tokoh kunci di balik penyuratan awig-awig Desa Tabola.
Lebih dari itu, bahkan sejak mulai dibentuk Menjelis Desa Pakraman
(MDP) untuk tingkat Kecamatan (MDP Alit), tingkat Kabupaten (MDP
Madya) dan tingkat Provinsi (MDP Agung) pada tahun 2004, Cokorda
206

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
Gde Dangin terpilih menjadi Ketua MDP Alit Kecamatan Sidemen.
Seperti diketahui, MDP dibentuk menyusul dihapuskannya Mejelis
Pertimbangan Lembaga Adat (MPLA) melalui Perda No. 24/2002
tentang pencabutan SK Gubernur No. 18/1979 soal MPLA.
Keberadaan Majelis Desa Pakraman didasarkan pada Perda
Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam Perda
tentang Desa Pakraman tersebut, misalnya, soal Majelis Desa Pakraman
diatur antara lain soal jenis dan kedudukan Majelis Desa Pakraman,
yaitu MDP Alit ditingkat kecamatan, MDP Madya kabupaten dan MDP
Agung ditingkat provinsi (pasal 14). Selain itu juga diatur tentang
tatacara pemilihan Ketua dan Anggota dari masing-masing Majelis di
tingkat kecamatan, kabupaten dan provinsi.
Dalam pasal 15 (Perda No 3 Tahun 2001) diatur antara lain
bahwa pembentukan Majelis Desa Pakraman (MDP Alit) di kecamatan
dipilih oleh prajuru desa pakraman se-kecamatan melalui paruman alit.
Sedangkan MDP Madya dipilih oleh desa pakraman se-kabupaten/kota
melalui paruman madya. Sementara MDP Utama/Agung dipilih oleh
utusan desa pakraman se-Bali melalui paruman agung. Paruman adalah
istilah di Bali yang artinya semacam pertemuan musyawarah yang
dihadiri oleh wakil-wakil dari seluruh anggota untuk mengambil
keputusan tentang sesuatu hal.
Tentang peserta dari masing-masing paruman disebutkan
antara lain: (1) dalam paruman agung, pesertanya adalah utusan majelis
madya desa pakraman; (2) peserta paruman madya adalah utusan dari
majelis alit desa pakraman; (3) dan peserta paruman alit adalah utusan
dari masing-masing desa pakraman. Dengan struktur peserta paruman
seperti ini maka bisa dikatakan bahwa peserta paruman berlangsung
secara bertingkat, mulai dari desa pakraman, majelis desa pakraman alit
dan majelis desa pakraman madya. Sedangkan dalam paruman akan
dipilih beberapa orang pimpinan sementara yang dipilih dari peserta
paruman, sebelum terbentuknya pengurus majelis.
Adanya institusi Majelis Desa Pakraman (MDP), baik yang ada
di tingkat pusat (MDP Utama) maupun di tingkat kecamatan (MDP
Alit), tentu saja merupakan sesuatu hal baru karena lembaga seperti ini
207

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
sebelumnya tidak ada di desa adat atau pakraman. Proses pembentukan
lembaga baru dengan peran dan fungsinya yang baru itu, tak pelak
merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai gejala perubahan
sosial. Adanya lembaga seperti ini, khususnya yang ada di tingkat
kecamatan, memungkinkan desa-desa pakraman pada satu kecamatan
yang sama melakukan koordinasi untuk meneguhkan keberadaannya
sesuai dengan ketentuan yang ada.
Bahwa adanya MDP ikut meneguhkan eksistensi desa-desa adat
di Bali bisa dilihat dari praktik yang telah dilakukan oleh MDP
Sidemen terhadap desa-desa adat yang ada di wilayah Kecamatan
Sidemen. Sebagai contoh, MDP Sidemen, misalnya, ikut memelopori
secara aktif dan memfasilitasi desa-desa pakraman di Sidemen (di luar
Desa Tabola) untuk melakukan penyuratan awig-awig. Sehingga
setelah tahun 2004, beberapa desa pakraman di Sidemen berhasil
menyuratkan awig-awignya sendiri, sebagaimana yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Desa Pakraman Tabola.
Sedangkan kalau mengacu Perda No.3 Tahun 2001, penyuratan
awig-awig itu sendiri merupakan amanat yang harus dilaksanakan oleh
desa-desa pakraman di Bali. Hadirnya awig-awig yang sudah
disuratkan (dituliskan) di desa pakraman menjadikan kedudukan,
fungsi dan peranan desa pakraman menjadi lebih jelas, dan karena itu,
posisinya dalam konteks keseluruhan kehidupan pemerintahan pada
tingkat perdesaan menjadi lebih kuat. Ini tak lain karena bagi desa
pakraman, awig-awig merupakan semacam konstitusi tertulis (desa)
yang menegaskan kedudukan, fungsi dan peranan desa pakraman bagi
warga/kramanya dan juga bagi lingkungan luar desa (desa-desa adat
lainnya dan supra desa).
Kembali ke soal Majelis Desa Pakraman. Dalam Perda No. 3
Tahun 2001, dirumuskan lingkup tugas Majelis Desa Pakraman, yaitu
antara lain: (1) mengayomi adat istiadat; (2) memberikan saran, usul
dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan,
kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah adat; (3)
melaksanakan setiap keputusan paruman; (4) membantu penyuratan
awig-awig; (5) melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara
208

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
menyeluruh.
Sedangkan dalam Perda yang sama dinyatakan wewenang
Majelis Desa Pakraman, antara lain : (1) memusyawarahkan berbagai
hal yang menyangkut masalah-masalah adat dan agama untuk
kepentingan desa pakraman; (2) sebagai penengah dalam kasus-kasus
adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa; (3) membantu
penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di kabupaten/kota
dan di provinsi.
Kalau melihat lingkup tugas dan wewenang Majelis Desa
Pakraman seperti disebutkan di atas, kelihatan betapa penting
kedudukan MDP dalam konteks pengembangan desa pakraman di Bali.
Ini terutama terkait tugasnya utamanya membantu menyuratkan awigawig (membuat konstitusi tertulis desa) dan menjadi media untuk
memusyawarahkan masalah-masalah adat dan agama. Terkait dengan
yang terakhir ini, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa cukup
banyak konflik di desa adat/pakraman yang sumbernya adalah
masalah-masalah adat dan agama. Konflik itu bisa menyangkut
perselisihan antar banjar dalam satu desa atau berbeda desa, atau juga
antar desa yang berbeda. Dalam hal seperti ini jelas peran MDP
menjadi penting.

Awig-awig Desa Tabola
• Proses Penyuratan Awig-awig
Sebagaimana disinggung di bagian depan, upaya untuk
menyuratkan awig-awig di desa Tabola telah dilakukan sebelum
munculnya Perda No. 3 Tahun 2001 yang mengamanatkan melalui
pasal-pasalnya agar setiap desa adat/pakraman di Bali melakukan
penyuratan awig-awig. Tetapi upaya yang dilakukan pada waktu itu
untuk menyuratkan awig-awig masih belum memberikan hasil,
sehingga kemudian dibentuk tim penyuratan awig-awig.
Tim tersebut dimotori, terutama oleh dua tokoh Tabola yang
209

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
bersahabat sejak muda yaitu: Cokorda Gde Dangin (pak Cokorda) dan
Ida I Dewa Gde Catra (pak Catra). Kedua tokoh ini, pada tahun 1960an pernah berduet, masing-masing menjadi Perbekel dan Sekretaris
Desa Dinas Sidemen, yang pada waktu itu wilayahnya persis mencakup
wilayah desa adat Tabola. Melalui tim ini maka dilakukan upaya-upaya
lebih serius untuk menggali bahan-bahan yang bisa digunakan bagi
proses penyuratan awig-awig desa.
Sebelumnya, Desa Tabola bukan tidak memiliki awig-awig.
Sebaliknya awig-awig Desa Tabola sudah ada sejak jaman dahulu kala,
dan merupakan warisan adat dan tradisi setempat. Bentuk awig-awig
tersebut berupa naskah di atas daun lontar yang ditulis dalam huruf
Jawa kuno, dan karenanya sering disebut di Bali sebagai awig-awig
kuno. Awig-awig kuno Desa Tabola dalam wujud fisiknya tersimpanh
di Pura Desa, dan dianggap sebagai salah satu naskah kuno yang
penting dan dihormati isinya.
Sebetulnya awig-awig kuno itu sempat diterjemahkan isinya
dalam tulisan latin dengan bahasa Bali dan Indonesia oleh Ida I Dewa
Gde Catra. “Saya yang menyalin awig-awig daun lontar dalam tulisan
Jawa Kuno ke tulisan latin dalam bahasa Bali. Kalau tidak salah, saya
menyalin itu antara tahun 1979 – 1982,” demikian ungkap Ida I Dewa
Gde Catra, dalam salah satu kesempatan wawancara. 4 Awig-awig yang
sudah disalin itu, antara lain, menjadi salah satu bahan bagi tim dalam
menyuratkan awig-awig Desa Tabola tersebut.
Selain awig-awig kuno yang sudah disalin dalam bahasa Bali
itu, bahan lainnya yang digunakan sebagai acuan dalam penyuratan
awig-awig desa Tabola adalah widisastra atau naskah tulisan yang
berisi ajaran tentang Ketuhanan. Kata widisastra itu sendiri berasal dari
kata Widi yang berarti Tuhan; dan sastra berarti ajaran. Widisastra ini
antara lain bersumber dari ajaran-ajaran Hindu (Bali), yang ada di
dalam berbagai bentuk kitab.
Dari berbagai bahan sumber yang ada itu, lalu disusun naskah

awig-awig desa, yang kemudian naskah itu di samping dalam suatu
4

Wawancara dengan Ida I Dewa Gde Catra, Amlapura, Karangasem, November 2009

210

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN

pesamuan adat (pertemuan musyawarah adat) yang dihadiri oleh
berbagai perwakilan banjar desa dan tokoh masyarakat adat Tabola
untuk dibahas bersama. Jadi Tim penyuratan awig-awig menyusun
kembali awig-awig kuno menjadi naskah awig-awig baru yang struktur
dan susunannya mengikuti naskah peraturan/perundang-undangan
yang digunakan pemerintah. Untuk itu, naskah disusun tidak dalam
bentuk narasi biasa seperti dalam awig-awig kuno tetapi distrukturkan
dalam bab-bab (dalam bahasa Bali di awig-awig disebut sargah) dan
pasal-pasal (yang dalam awig-awig disebut dengan nama palet).
Sebagaimana dituturkan oleh Ida I Dewa Gde Catra (pak
Catra), seringkali dalam pesamuan terjadi perdebatan di antara mereka
yang hadir tentang sesuatu pasal yang akan dicantumkan dalam awigawig. Perdebatan ini terjadi karena adanya perbedaan pengertian
tentang sesuatu hal, yang selama ini memang dipahami dan
“dipraktikan” secara berbeda-beda di antara satu kelompok keluarga
(juga satu banjar) dengan yang lainnya.
Salah satu contohnya adalah pesamuhan atau musyawarah
untuk memutuskan suatu ketentuan tentang masalah cuntaka yang
akan dimasukkan dalam naskah awig-awig baru. Cuntaka kurang lebih
artinya sesuatu keadaan dimana seseorang, pria atau perempuan,
karena sesuatu hal dianggap “tidak bersih”, atau dalam bahasa Bali
disebut “leteh”, dan karena itu dilarang melakukan sesuatu tindakan
tertentu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ketentuan tentang
cuntaka ini sumbernya, antara lain, diambil dari widisastra.
Dalam ketentuan tertulis awig-awig baru (bukan awig-awig
kuno) desa Tabola disebutkan, misalnya, seseorang yang sedang
mengalami cuntaka dilarang masuk ke pura kahyangan, ke “penyucian”
pada waktu dilaksanakan pembuatan sajen (persembahan) suci (nyuci
gening); juga ke semua tempat yang dinyatakan dilarang dan disucikan,
seperti mandi di pemandian umum di sungai, dan lain sebagainya.
Selain itu juga dilarang mengerjakan sajen yang akan dipersembahkan

211

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
ke sanggah (padmasana). 5
Sedangan sesuatu hal yang dinyatakan cuntaka, dalam awigawig dijelaskan sebagai berikut: (1) wanita datang bulan (haid); (2)
pengantin mempelai pria dan perempuan; (3) ibu bapa cuntaka karena
kelahiran anak (istri melahirkan anak); (4) mereka yang menghaki
(ngarepin), termasuk yang bertempat tinggal dalam pekarangan tempat
kematian itu; (5) mereka yang dapat menjenguk (melayat) mayat, ikut
memandikan jenazah, memegang atau memikul segala peralatan
jenazah; (6) siapapun yang keluar masuk ke rumah yang menyimpan
jenazah, termasuk mereka yang memakan sesajen bekas upacara
jenazah; dan lain sebagainya.
Tentang masalah cuntaka itu sendiri biasanya memang terdapat
pemahaman bersama, tetapi yang sering menjadi sumber perbedaan
adalah seberapa lama cuntaka itu diberlakukan kepada seseorang, atau
syarat apa yang harus dilakukan untuk “membersihkan” diri dari
keadaan cuntaka. Hal-hal seperti inilah yang mengundang perdebatan
sengit dalam pesamuan/musyawarah terkait penyuratan naskah awigawig baru Desa Tabola.
Salah satu perdebatan menonjol yang pernah terjadi dalam
musyawarah terkait penyusunan naskah awig-awig baru desa Tabola,
sebagaimana dicatat oleh Ketua Tim Perumus awig-awig desa Tabola,
Ida I Dewa Gde Catra, adalah masalah lamanya cuntaka terkait
kematian seseorang. Seperti dituturkan oleh pak Catra, sebelum adanya
awig-awig baru, lama seseorang dinyatakan sebagai cuntaka pada
umumnya berbeda-beda di antara masing-masing kelompok maupun
keluarga yang ada di Tabola. Selain berbeda-beda, umumnya waktu
yang ditetapkan bagi seseorang yang dinyatakan cuntaka juga cukup
lama, bahkan ada yang mencapai 42 hari.
Dengan waktu cuntaka yang umumnya ditetapkan terlalu lama,
maka mau tidak mau seseorang tersebut dilarang melakukan berbagai
aktivitas di desa dalam selang waktu yang terlalu lama. Keadaan ini
5
Lihat: Ida I Dewa Gde Catra (Penterjemah). Awig-awig Desa Pakraman Tabola
(terjemahan dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia). Amlapura, Karangasem Bali, April,
2003.

212

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
oleh tim dianggap sudah tidak sesuai perkembangan jaman lagi, karena
seseorang umumnya dituntut untuk bisa terus setiap hari melakukan
kegiatan sosial-ekonomi. Maka tim penyurat awig-awig mengusulkan
agar waktu cuntaka di antara kelompok-kelompok atau keluargakeluarga di Tabola yang masih berbeda-beda itu untuk disamakan saja
lama waktunya (diseragamkan), dan dibuat aturan baru yang
menetapkan waktu cuntaka yang tidak terlalu lama waktunya.
Sebagaimana di samping oleh pak Catra:
“Tadinya waktu cuntaka berbeda-beda, ada yang 30 hari, dan
bahkan ada yang 42 hari. Lalu saya dan tim mengajukan
pendapat (dalam musyawarah) kalau orang yang cuntaka tidak
boleh masuk pemandian, tidak boleh masuk pasar, tidak boleh
masuk pura, tidak boleh bepergian jauh, tidak boleh manjat
pohon….siapa sanggup (sekarang)? Kemudian saya sampaikan,
hal ini harus dirubah. Lalu setelah melalui perdebatan sengit
dicapai kesepakatan boleh dibuat ketentuan baru, yang
membolehkan orang mengakhiri masa cuntaka karena kematian
hanya 3 hari saja sejak penyelesaian upacara” 6

Maka kemudian, sebagaimana diatur dalam awig-awig baru,
bahwa sejak 3 hari setelah dilakukan upacara membersihkan rumah,
orang yang mendapati keadaan duka karena kematian anggota keluarga
di rumah, sudah boleh ke pura lagi, dan juga boleh melakukan berbagai
kegiatan sosial ekonomi di desa.
Kalau dilihat secara selintas, perubahan waktu lamanya cuntaka
itu memang seperti tidak terlalu punya arti. Sebab hal ini seolah-olah
hanya menyangkut persoalan lamanya waktu dan bagaimana
menjadikan lamanya waktu cuntaka itu bisa seragam untuk berbagai
kelompok maupun keluarga besar (dadya) yang ada di Tabola. Namun
demikian kalau dicermati, perubahan seperti itu memiliki arti cukup
penting, karena cuntaka merupakan satu ketentuan yang ditaati oleh
penduduk (krama) Desa Tabola sejak dari waktu yang lama sekali, dan
sudah menjadi nilai serta norma yang dipraktikkan dari satu generasi ke
generasi. Sehingga soal cuntaka boleh dikatakan merupakan bagian dari
6

Wawancara dengan Ida I Dewa Gde Catra, Amlapura, Karangasem, November 2009.

213

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
suatu habitus masyarakat desa, khususnya terkait masalah bagaimana
sikap dan tindakan masyarakat desa bila dirinya sedang menghadapi
situasi “tidak bersih” atau “leteh” karena sesuatu hal yang telah
ditentukan oleh ketentuan adat dan/atau agama.
Oleh karena itu, soal perubahan waktu cuntaka boleh dikatakan
akan (dan sebagian mungkin telah) merubah kesadaran kognitif
individu dan masyarakat (kolektif) Tabola, yang pada akhirnya
mendorong terjadinya perubahan praktik dalam melaksanakan
ketentuan cuntaka di Tabola. Yang terakhir ini cenderung akan (dan
telah) merobah habitus seseorang dan juga masyarakat Tabola,
khususnya dalam menyikapi dan menindak lanjuti masalah cuntaka.
Gejala sosial seperti ini tak pelak merupakan bagian dari proses
perubahan sosial penting.
Perubahan terkait masalah cuntaka bagaimapapun bagi
masyarakat desa memang menjawab kebutuhan jamannya. Sekarang
menjadi hampir tidak masuk akal dan sulit dipraktikkan bila seseorang
dikenai cuntaka (terkait kematian) selama 30 hari, apalagi 42 hari
seperti yang dipraktikkan dulu. Masa cuntaka 3 hari sebagaimana diatur
dalam awig-awig baru, jelas lebih menjawab perkembangan dan
tuntutan jaman.
Oleh karena tatacara yang berkaitan dengan masalah kematian
adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat desa
pakraman, maka otomatis perubahan dalam soal cuntaka ini juga
merupakan aspek yang penting pula dalam kehidupan masyarakat desa,
baik dalam ukuran individu, keluarga atau masyarakat (tempek, banjar
dan desa). Itulah sebabnya, musyawarah untuk mengubah ketentuan
soal cuntaka ini mengundang perdebatan yang sengit, sampai pada
akhirnya harus meminta pendapat dari para pedanda (pendeta
brahmana, tokoh agama).
Pendapat para pedanda (pendeta dari wangsa brahmana)
menjadi penting karena soal cuntaka yang berkaitan dengan masalah
kematian, menjadi bagian dalam ketentuan agama. Itu sebabnya konsep
yang ditawarkan oleh tim penyuratan awig-awig, sebagaimana
dikemukakan di depan, berlandaskan pada bahan yang bersumber pada
214

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN

widisastra. Sebagaimana dikemukakan oleh Ida I Dewa Gde Catra,
masalah perbedaan yang muncul dalam musyawarah, memang akhirnya
menjadi lebih mudah dikompromikan ketika sudah mendapat
pandangan dari para pedanda, yang memang memiliki otoritas dalam
bidang keagamaan.
Contoh kasus yang dikemukan di atas, menggambarkan
bagaimana proses penyuratan awig-awig dilakukan melalui
musyawarah yang melibatkan, baik
perwakilan dari kelompokkelompok pemaksan pura, kelompok subak, kelompok taruna teruni
(muda-mudi desa), keluarga-keluarga besar (dadya), keluarga brahmana
(griya), keluarga bangsawan (Puri Sidemen), dan juga perwakilan
tempek dan banjar. Jadi meskipun pada mulanya naskah awig-awig
disusun oleh suatu tim, pada akhirnya sebelum diputuskan,
substansinya dimusyawarahkan dalam pesamuan desa.
Cara penyuratan awig-awig seperti ini tentu merupakan sesuatu
hal baru. Dan hal seperti ini mesti diakui sebagai suatu bentuk baru
perubahan sosial dimana suatu ketentuan yang mengatur kehidupan
individu dan kolektif masyarakat desa (semacam konstitusi desa),
khususnya yang berkaitan dengan kehidupan adat dan agama, disusun
berdasarkan prinsip demokrasi musyawarah.
Bagi masyarakat desa, ketentuan yang ada di awig-awig juga
dilihat sebagai suatu “perjanjian” bersama atau semacam “kontrak
sosial”, sehingga isinya harus merupakan suatu persetujuan bersama
untuk bisa ditaati dan dipraktikkan. Sebagai suatu “perjanjian” bersama
maka tidak aneh kalau kemudian naskah final awig-awig baru itu perlu
“dipasopati” melalui suatu upacara di Pura Desa, sebelum dinyatakan
mulai berlaku.
Kata Pasupati awalnya berasal dari nama anak panah sakti milik
Arjuna, yang adalah salah seorang satria dari lima satria Pandawa yang
dikenal dalam cerita pewayangan di Bali dan di Jawa. Dalam konteks
tindakan me-pasupati di pura puseh, artinya menjadi bukan lagi nama
benda (anak panah) tetapi berubah menjadi suatu pemberkatan
kekuatan suci dari Dewa Syiwa (Sukayana, 2008).
215

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka makna dari “mempasupati” awig-awig lantas berarti suatu proses “pemberkatan” terhadap
naskah awig-awig yang merupakan semacam ketentuan atau konstitusi
yang mengatur kehidupan bersama masyarakat desa. Pemberkatan ini
dilakukan oleh para pedanda (pendeta brahmana) yang merupakan
pemuka (pingajeng) desa agar isi/ketentuan awig-awig bisa ditaati
bersama karena seperti kata masyarakat desa setempat bahwa awig-awig
disebut sebagai sepat siku-siku atau artinya kurang lebih “pedoman
dasar” di dalam Desa Tabola agar tercapai suatu kehidupan sosial yang
harmoni di desa berdasarkan Tri Hita Karana.
Dalam konteks ini, situasi demokrasi yang melingkupi
kehidupan
sosial-politik
paska
reformasi,
tampaknya
ikut
mempengaruhi proses kehidupan sosial-politik masyarakat; yang dalam
hal ini praktik musyawarah dan demokrasi telah menjadi suatu
tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Dengan dasar ini, maka boleh
dikatakan bahwa selain isi dari awig-awig merupakan sesuatu hal baru
yang menjadi bagian dari proses perubahan sosial, proses
penyuratannyapun juga merupakan suatu cara baru yang menjadi
bagian dari proses perubahan sosial.
Sebagaimana akan dikemukakan dalam bagian berikutannya
dari tulisan ini bahwa pada masa kemudian, awig-awig baru itu juga
dijadikan landasan bagi krama Desa Tabola untuk menyatakan suatu
tuntutan baru yang dianggap sejalan dengan perkembangan aspirasi
masyarakat. Tuntutan baru itu adalah agar sumberdaya alam yang ada
di desa (dan yang sejak dahulu kala dianggap milik desa, dan yang juga
telah diatur oleh awig-awig baru) dikembalikan pengelolaannya pada
masyarakat, dari yang sebelumnya dikelola oleh pihak-pihak luar desa.
Sebagaimana yang akan dibahas lebih rinci dalam Bab 6 dan 7,
tuntutan baru itu telah mendorong munculnya dinamika baru dalam
bentuk proses “pelengseran” pengurus desa adat/pakraman, karena
dianggap oleh sebagian masyarakat desa tidak lagi aspiratif terhadap
kepentingan masyarakat/krama desa.
Yang menarik untuk dicermati, munculnya tuntutan dan
dinamika baru itu justru didorong oleh timbulnya suatu kesadaran baru
216

BAB 5 AWIG-AWIG DAN GEJALA PERUBAHAN
yang prosesnya berkembang berbarengan dengan proses penyuratan
awig-awig (yang melewati suatu proses musyawarah demokrasi ). Juga
kemudian terjadi proses internalisasi substansi awig-awig baru, yang
ujungnya telah mendorong tumbuhnya kesadaran tentang hak
masyarakat desa untuk mengawal kepentingannya secara kolektif.
Sebagai hasil dari timbulnya kesadaran baru itu, misalnya,
masyarakat Desa Tabola menjadi semakin kritis akan hak-haknya,
termasuk hak kolektifnya sebagai krama desa untuk mendapatkan
pelayanan yang memadai atas sumberdaya alam milik desa (air bersih).
Seperti akan dijelaskan dalam Bab 7, tumbuhnya kesadaran baru itu
pada akhirnya menjadi sumber pemicu dari perubahan kepemimpinan
di Desa Pakraman Tabola.
Selain itu, masyarakat ternyata juga semakin kritis dengan terus