Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Sosial di Pedesaan Bali D 902008104 BAB III

BAB 3
PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Asal Mula Desa Asli di Bali
• Desa di Bali Pada Jaman Kuno
Desa adalah kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang
menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo (1984), secara ringkas berarti
tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dalam perkembangannya
kemudian, kata desa lalu diadopsi dalam bahasa Indonesia, yang artinya
menjadi kurang lebih adalah kawasan tempat pemukiman suatu
penduduk. Sebagai suatu tempat pemukiman suatu penduduk,
keberadaan desa di Bali memiliki catatan sejarah yang sangat panjang.
Walaupun kapan persisnya desa-desa di Bali Mulai terbentuk, tidak ada
catatan yang pasti.
Namun demikian, dari cerita-cerita di babad yang ditulis di
lontar dalam huruf Jawa Kuno, desa-desa di Bali sebenarnya sudah
mulai berkembang sejak abad VIII. Ini terutama terjadi sejak seorang
Maharesi dari Jawa bernama Markandya berimigrasi atau datang ke
Bali bersama ratusan pengikutnya untuk memulai suatu kehidupan
baru dengan membentuk desa-desa di sana. Dalam Babad Markandya
Purana yang sudah diterjemahkan oleh Surpha (2004: 7-8), misalnya,
disebutkan antara lain:

“Seorang Maharesi bernama Maharsi Markandya pada
mulanya bertapa di Gunung Raung (Jawa Timur), pergi ke
Bali bersama delapan ribu pengikutnya dengan maksud
membuka hutan yang akan dijadikan ladang pertanian dan
desa tempat pemukimannya. Mereka mula-mula tiba di Desa
Taro (yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan
Tegalalang, Kabupaten Gianyar). Di sana pekerjaan merabas
hutan mulai dilakukan akan tetapi pekerjaannya tidak
berhasil oleh karena banyak di antara para pengikut Maharsi
Markandya ini yang menderita sakit, diserang binatang buas
dan sebagainya, yang sekalian menyebabkan kematiannya.
Beliau kemudian kembali ke Gunung Raung untuk beberapa
waktu lamanya dan kemudian berangkat kembali ke Bali
bersama-sama empat ribu orang pengiringnya. Pada
kedatangannya yang kedua ini beliau tidak langsung merabas

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
hutan akan tetapi terlebih dahulu menyelenggarakan upacara
keagamaan Hindu yang dinamakan Bhuta Yadnya dan
menanam Pancadatu (lima jenis logam pelengkap upakara

yadnya) pada suatu tempat di kakinya Gunung Agung yang
sekarang dikenal dengan nama Pura Basukian di Besakih.
Setelah upacara ini selesai barulah beliau beserta
rombongannya menuju desa Taro dan kemudian
melanjutkan pekerjaan pembukaan tanah hutan tersebut.
Kali ini pekerjaannya berhasil dengan baik dan pada waktu
itu juga beliau mengadakan pembagian tanah pemukiman
dan tanah garapan kepada para pengiringnya. Tempat
Maharsi Markandya membagi-bagikan tanah itu sekarang
dikenal dengan nama Desa Puakan, yaitu disebelah utara
desa Taro. Menurut cerita masyarakat setempat, nama Desa
Puakan itu berasal dari kata ‘Piakan’ yang artinya pembagian
dan merupakan nama yang diberikan oleh Maharsi
Markandya sebagai suatu peringatan bahwa ditempat itulah
pada mulanya Maharsi Markanda membagi-bagikan tanah
untuk para pengikut-pengikutnya. Selanjutnya dalam kurun
waktu yang cukup lama keturunan para pengiring Maharsi
Markandya ini menyebar dan membangun tempat-tempat
pemukiman baru serta bertempat tinggal di desa-desa yang
baru didirikannya itu, antara lain di desa-desa Simbaran,

Cempaga, Sidatapa, Gobleg, Beratan, Tigawasa, Lampu,
Trunyan, Batur, Pelaga, dan lain yang hampir semuanya
terletak di daerah pegungungan”.

Dari sejak saat itulah desa-desa sebagai suatu kesatuan wilayah
pemukiman, mulai secara perlahan-lahan menyebar dan berkembang
di Bali. Tetapi memang tujuan dari Maharsi Markandya beserta para
pengikutnya bermigrasi ke Bali tidak sekedar membangun tanah-tanah
pertanian dan pemukiman baru. Lebih dari itu, tujuan Maharsi
Markandaya pergi ke Bali bersama para pengikutnya adalah untuk
mengembangkan agama Hindu di Pulau Bali, khususnya ajaran
Trisaktipaksa seperti Waisnawapaksa 1 serta tatacara melakukan
upacara dan upakara (bebanten) pada masyarakat Bali. Oleh karena
1

Salah satu aliran dalam ajaran Hindu yang dikembangkan pertamakali di Bali oleh
Maharsi Markandya pada abad VIII. Ajaran Waisnawapaksa ini menekankan pemujaan
terhadap Dewa Wisnu. Sampai sekarang jejak dari aliran ini masih ada di Bali, antara
lain, tergabung dalam apa yang disebut dalam soroh atau klan keluarga Bhujangga
Waisnawa. Soroh atau klan keluarga Bhujangga Waisnawa sampai sekarang mengaku

bahwa leluhur mereka adalah Maharsi Markandya.

84

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
tujuan bermigrasi ke Bali bukan semata-mata membangun pemukiman
baru, tetapi terutama juga untuk menyebarkan dan mengembangkan
ajaran agama Hindu, maka desa-desa baru di Bali yang dibangun sejak
kedatangan Maharsi Markandya, di dalamnya selalu didirikan apa yang
disebut sebagai kahyangan desa. kayangan desa adalah suatu bentuk
bangunan Pura yang didirikan di wilayah suatu desa sebagai tempat
bagi masyarakat desa melakukan upacara pemujaan kepada Tuhannya.
Berkaitan dengan awal keberadaan kayangan desa ini, lontar
Markandya Purana menyebutkan antara lain:
“Sekarang oleh karena sudah banyak yang dapat merabas
hutan maka Maharesi Markandya berkeinginan membangun
kahyangan desa. Pada saat itu ia memberikan pengikutnya
bagian tanah, semua supaya cukup pekarangan serta sawah
dan ladang. Penyelenggaranya disebut ‘desa’. Desa inilah
yang punya tugas kewajiban mengurus pura kahyangan

desa”. 2

Dengan adanya pengertian bahwa penyelenggara (upacara) di
kayangan disebut desa dan desa berkewajiban mengurus pura
kahyangan, maka makna dari suatu desa di Bali sejak awalnya tidak saja
mengandung arti sebagai tempat pemukiman (teritorial) suatu
komunitas (kesatuan masyarakat hukum), tetapi lebih dari itu kata desa
itu sendiri pada mulanya juga mengandung pengertian spiritual atau
kerohanian. Dalam perkembangannya sampai sekarang, keberadaan
desa tidak bisa dipisahkan dengan unsur kahyangan itu, dan bahkan
unsur kahyangan itu yang menjadi landasan paling utama dari
keberadaan suatu desa (adat) di Bali.
Jadi pada awal pembentukannya, struktur desa (asli) di Bali
memiliki konstruksi sebagai kesatuan masyarakat hukum dan sekaligus
juga sebagai kesatuan masyarakat kerohanian, spiritual atau religius.
Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum, desa di Bali pada waktu itu,
paling tidak memiliki batas-batas wilayah hukum (adat) sendiri, yaitu
apakah dalam bentuk kewilayahan fisik atau teritori adat maupun
keanggotaan/warga desa, yang dalam bahasa Bali disebut
2


Lihat: Kertas Posisi Yayasan Wisnu No: 02/VII/2001. Dikutib dari: http://di
antara.wisnu.or.id/v2/ID/pdf/DesaPekraman danGumi Bali.pdf

85

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
krama/kraman. Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, desa
memiliki wilayah teritori tertentu, yang sampai hari ini pun, batasbatasnya lebih banyak mengacu pada bentuk tanda-tanda alam yang
berada atau melingkupi desa bersangkutan, seperti misalnya batu besar,
perbukitan, sungai, areal persawahan, atau juga batas desa (adat)
tetangganya (bandingkan dengan batas-batas Desa Adat/Pakraman
Desa Tabola yang dibahas dalam Bab V).
Selain batas teritorial, desa di Bali juga memiliki batasan
keanggotaan dalam wujud kraman atau krama desa (warga desa) yang
terikat dengan kesatuan adat di desa yang bersangkutan. Sejak jaman
dahulu kala hingga sekarang, kesatuan adat masing-masing desa di Bali
ini memiliki ciri yang berbeda-beda disamping kesamaan, meskipun
kalau di lihat selintas dari luar sepertinya semuanya sama atau seragam.
Terkait dengan hal ini, di Bali sampai sekarang dikenal suatu konsep

yang menjadi salah satu pilar kehidupan masyarakat desa yaitu Catur
Dresta. Konsep yang dari suku katanya berarti empat (catur)
pandangan (dresta) ini, bagi desa adat di Bali bermakna kurang lebih
“empat pandangan mengenai tatakrama pergaulan hidup yang harus
dijunjung tinggi oleh masyarakat (desa)”.
Unsur pertama dari Catur Dresta ini adalah purwa dresta yang
berarti suatu pandangan yang berlaku sejak jaman dahulu kala dan
yang secara tradisi masih berlaku hingga sekarang. Unsur kedua adalah
sastra dresta, yaitu pandangan untuk pedoman mengatur kehidupan
masyarakat desa yang di dasarkan pada ajaran agama Hindu. Unsur
ketiga adalah loka dresta, yaitu sesuatu pandangan yang khas dari
masyarakat lokal (daerah atau desa) tertentu yang bisa berbeda dari
masyarakat lokal yang lain. Unsur keempat adalah desa dresta yaitu
pandangan yang hanya berlaku untuk suatu masyarakat desa tertentu.
Unsur yang ketiga dan keempat ini menjadi rujukan dari adanya
kekhususan terkait keberadaan kraman atau krama desa dari masingmasing desa yang memiliki ciri yang berbeda-beda itu. Ditambah
kenyataan yang sampai sekarang masih tetap berlaku yaitu masingmasing krama dari suatu desa (adat) tertentu di Bali terikat pada suatu
hubungan kerohanian dengan kahyangan desa yang ada di desa (adat)
masing-masing. Ikatan kerohanian para krama desa dengan Pura
86


BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

kahyangan desa yang ada di desa masing-masing ini dikenal dengan
nama pemaksan atau kurang lebih artinya warga pura kahyangan desa.
Konsep pemaksan ini sekaligus menunjukkan keberadaan desa
di Bali sebagai suatu kesatuan spiritual atau kerohanian. Jadi di sini
kalau sebagai kesatuan masyarakat hukum, individu di desa disebut
kraman atau krama desa, maka individu di desa sebagai bagian dari
kesatuan spiritual atau kerohanian disebut pemaksan pura. Dalam
konteks ini, hampir bisa dipastikan bahwa setiap krama desa adalah
anggota dari pamaksan pura kahyangan desa; dan begitupula
sebaliknya. Dengan demikian, sejak semula, struktur desa asli di Bali
dikonstruksikan sebagai sebuah kesatuan masyarakat yang
mengandung dua aspek sekaligus, yaitu masyarakat hukum (adat) yang
tercermin dari struktur desa dengan para kramannya, dan masyarakat
spiritual atau rohani yang tercermin dari struktur kahyangan desa atau
kahyangan tiga dengan para pemaksannya. Dalam praktiknya, antara
aspek hukum dan spiritual atau kerohanian ini bukan merupakan dua
entitas yang terpisahkan dan terdikotomi (dualisme) melainkan saling

berhubungan dan kait mengkait secara erat sehingga boleh dikatakan
membentuk satu struktur dengan suatu relasi di dalamnya yang kurang
lebih bersifat dualitas. Sifat dualitas ini berarti bahwa dua identitas
yang melakat pada diri individu masyarakat Bali, yaitu sebagai krama
dan pemaksan, keberadaannya tidak bisa dipisahkan, tetapi saling
mengandaikan. Desa dalam pengertian yang berstruktur dualitas inilah
yang merupakan bentuk awal dari struktur desa asli di Bali.
Namun dalam perjalanannya kemudian, ajaran agama Hindu di
Bali itu sendiri berkembang menjadi berbagai sekte. Hal demikian,
dengan sendirinya mempengaruhi keberadaan kahyangan yang ada di
desa-desa, yang akhirnya juga berkembang sejalan dengan
perkembangan sekte-sekte yang ada. Berdasarkan catatan sejarah,
berbagai sekte yang pernah berkembang dan dianut sebagai keyakinan
oleh masyarakat desa di Bali pada masa silam itu antara lain: sekte
Syiwa (Dewa Syiwa), Khala, Brahma (Dewa Brahma/Pencipta), Wisnu
(Dewa Wisnu/Pemelihara), Bayu (Dewa Angin), Iswara, Bhairawa,
Ghanapatya (Dewa Ganesha) dan Sogotha (Budha). Keberadaan sektesekte itu terus berlangsung. Sampai pada suatu ketika di abad X, atau
87

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI

tepatnya sejak tahun 988 M wilayah Bali diperintah oleh sepasang raja
suami istri yang bergelar Udayana Warmadewa dan Sri Gunapriya
Dharmapatni.
Pada masa pemerintahan raja Udayana Warmadewa dan Sri
Gunapriya Dharmapatni ini, mulai muncul pertentangan yang sengit di
kalangan masyarakat, terutama oleh karena adanya perbedaan
keyakinan (sekte-sekte), atau dalam bahasa Balinya disebut ‘paksa’. Ini
karena masing-masing sekte berusaha memperluas dan memperkuat
pengaruhnya di masyarakat. Memang perbedaan itu belum sampai
mengarah pada situasi yang membahayakan pemerintahan sepasang
raja suami istri itu. Namun demikian dampak dari pertentangan itu
sebenarnya telah memecah belah kehidupan masyarakat desa,
khususnya dalam konteks kehidupan masyarakat desa yang terkait
langsung dengan aspek-aspek kahyangan desa. Oleh karena desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat terkait erat dengan desa
sebagai kesatuan masyarakat spiritual (sifat hubungannya yang
dualitas), maka terganggunya satu sisi dari dua aspek kehidupan
masyarakat itu dengan sendirinya mulai menggoyahkan struktur desa
secara keseluruhan. Struktur desa yang mulai goyah inilah yang
mungkin telah mengganggu kelangsungan keseimbangan dan

keharmonisan kehidupan sosial-spiritual masyarakat desa.
Menghadapi situasi demikian, maka sepasang raja suami istri
mengundang empat Pandita atau Mpu dari Jawa Timur. Mengapa Mpu
dari Jawa Timur? Ini bisa diterangkan dari realitas hubungan
kesejarahan keluarga yang erat antara dinasti kerajaan di Jawa dan di
Bali. Sebagaimana contoh, misalnya, ayah dari Raja Kahuripan di Jawa
Timur, Airlangga, adalah Udayana, seorang Raja Bali yang beristri
seorang putri dari Kerajaan Medang, di Jawa Timur, bernama Sri
Mahendradatta. Udayana yang dimaksud ini adalah juga Udayana
Warmadewa, sedangkan istrinya tidak lain adalah Sri Gunapriya
Dharmapatni. 3 Kelak hubungan antara Jawa Timur dan Bali tetap erat
terpelihara, sebagaimana terbukti kemudian bahwa Raja Gegel di Bali
3 Lihat: Airlangga. Wikipedia, Ensiklopedia Bebas.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Airlangga

88

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
yang mulai berkuasa sejak abad ke 13, Sri Kresna Wang Bang
Kepakisan, semula adalah salah seorang Pangeran dari Kerajaan
Majapahit. Sedangkan para elit penguasa yang mengelilinginya
sebagian besar adalah Arya-Arya (para panglima dan prajurit satria)
dari kerajaan yang sama. 4
Dengan demikian memang menjadi tidak aneh kalau yang
didatangkan untuk bisa membantu mengatasi situasi pertentangan di
masyarakat adalah para Mpu dari Jawa. Keempat Mpu tersebut adalah
sebagai berikut. 5 Pertama, Mpu Semeru atau Mahameru yang tiba di
Bali pada tahun 999 M. Mpu Semeru adalah pemeluk Syiwa (memuja
Dewa Syiwa sebagai symbol Maha Pemusnah/Pralina atau yang
mengembalikan sesuatu yang ada ke asalnya) dan menjalani ‘sukla
brahmacari’ atau tidak kawin seumur hidup. Kedua, Mpu Ghana yang
tiba di Bali pada tahun 1000 M. Mpu Ghana adalah pemeluk paham
Ghanapatya (memuja Dewa Ganesha sebagai simbol Ilmu
Pengetahuan) dan juga menjalani ‘sukla brahmacari’. Ketiga, Mpu
Kuturan yang tiba di Bali pada tahun 1001 M. Mpu Kuturan adalah
pemeluk agama Budha, aliran Mahayana, dan menjalani ‘sewala
brahmacari’ atau kawin hanya sekali dalam seumur hidup dengan satu
istri. Keempat, Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M. Mpu Genijaya
adalah pemeluk paham Brahmaisme (memuja Dewa Brahma sebagai
simbol Maha Pencipta) dan menjadi ayah dari 7 Mpu yang kemudian
dikenal dengan nama Sang Sapta Rsi di Bali. Mpu Genijaya menjalani
‘sewala brahmacari’.
Keempat Mpu itu, secara bertahap, bersamaan dengan
kedatangannya dalam waktu yang berbeda-beda, berusaha untuk ikut
mengatasi masalah pertentangan antar sekte dalam keyakinan agama
Hindu yang ada di masyarakat. Kedatangan mereka boleh dikatakan

4 Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun, terjemahan Cokorda Gede Dangin. Dokumen
pribadi tanpa Tahun.
5
Lihat: Mpu Kuturan Sang Konseptor Desa Pakraman. Posted by ngarayana, 22
Januari 2010. Http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/01/mpu-kuturan-sangkonseptordesa-pekraman/
Baca juga: Sastrodiwiryo, Soegianto. Perjalanan Danghyang Nirartha. Sebuah
Dharmayatra (1478-1560) dari Daha sampai Tambora. Penerbit BP Denpasar.
Denpasar, Bali, 1999. Halaman 15- 27.

89

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
berhasil meredam dan bahkan meleburkan kembali pertentangan
sengit yang semula berkembang di masyarakat. Dari keempat Mpu itu,
satu di antara, yaitu Mpu Kuturan perlu disinggung khusus di sini
karena memiliki catatan sejarah yang menonjol. Ini terutama dilihat
dari buah pemikirannya untuk menyatukan kembali pertentangan
sengit di masyarakat desa ketika itu, yang hingga saat ini,
pemikirannya itu masih dijadikan sebagai dasar bagi pengaturan
kehidupan sosial di desa-desa Bali.
Mpu Kuturan sendiri memegang jabatan penting di kerajaan
sejak kedatangannya ke Bali, yaitu sebagai purohito kerajaan. Purohito
adalah semacam jabatan pendeta istana tertinggi, tempat raja berguru
dan meminta berbagai nasehat yang dibutuhkan. Di luar jabatannya
sebagai purohito, Mpu Kuturan juga memegang kekuasaan sebagai
senopati kerajaan dengan gelar Senopati Kuturan. Juga pada saat yang
sama dia menjadi Ketua Majelis ‘Pakira-kira Ijro Makabehan’ yang
beranggota semua senopati dan pandita dangacarya dan
dangupadhyaya (Pandita Siwa dan Budha). Majelis ini berfungsi
memberikan nasehat dan pertimbangan kepada raja serta melakukan
pembinaan di segala bidang untuk menciptakan keamanan dan
ketertiban di masyarakat.
Dengan jabatan seperti itu maka Mpu Kuturan mengambil
inisiatif untuk mengadakan apa yang disebut sebagai pesamuan agung
atau pertemuan besar yang diselenggarakan di desa Bedulu, Bataanyar
– kini namanya menjadi Desa Bedahulu yang ada di Kabupaten
Gianyar, Bali. Dalam pesamuan agung itu berkumpul kurang lebih
1370 desa yang ada di seluruh wilayah Bali, yang semuanya dipimpin
oleh para tokoh desanya masing-masing. Sedangkan pesamuan agung
itu dipimpin langsung oleh Mpu Kuturan sebagai Ketua Majelis Pakirakira Ijro Makabehan. Hasilnya, dicapai suatu kesepakatan bersama
melalui proses musyawarah.
Apa hasil kesepakatan dalam pesamuan agung itu? Berikut
hasil-hasil pokoknya, yang sampai hari ini masih tetap menjadi pilar

90

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
dari keberadaan desa adat/pakraman di Bali. 6 Pertama, paham Tri
Murti dijadikan sebagai dasar keagamaan yang melingkupi semua sekte
yang ada di Bali pada masa itu. Tri Murti adalah simbol dari keyakinan
untuk memuja tiga dewa sebagai satu kesatuan, yaitu: Dewa Brahma,
yang memiliki sifat sebagai ‘pencipta’ alam semesta; Dewa Wisnu, yang
memiliki sifat sebagai ‘pemelihara’ alam semesta; dan Dewa Syiwa,
yang memiliki sifat sebagai ‘pralina’ atau memusnahkan alam semesta
yang ada. Kedua, dibentuk organisasi masyarakat desa yang disebut
desa pakraman, dengan kahyangan tiga sebagai salah satu sendi
dasarnya. Kahyangan tiga adalah tiga tempat suci (pura) yang harus ada
dalam suatu desa pakraman, yaitu: (a) pura desa atau pura bale agung,
yang merupakan tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma; (b)
pura puseh, yang merupakan tempat suci untuk memuliakan Dewa
Wisnu; (c) pura dalem, yang merupakan tempat suci untuk
memuliakan Dewa Syiwa. Ketiga, dalam setiap rumah tangga didirikan
sebuah pelinggih atau tempat pemujaan di rumah yang berbentuk rong
telu (rong tiga). Fungsinya (dalam konteks sekarang) adalah untuk
memuja dan memuliakan Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) dan roh suci
para leluhur (keluarga). Nama lain dari rong tiga adalah kemulan yang
terdapat dalam sanggah atau mrajan (kuil keluarga). Jadi di sini kalau
pada tingkat desa terdapat tempat pemujaan yang dinamakan
kahyangan tiga, maka pada tingkat rumah tangga/keluarga terdapat
tempat pemujaan yang disebut pelinggih. Keempat, semua tanah
pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura
(kahyangan tiga) adalah milik desa dan pura. Kelima, nama agama yang
dianut oleh masyarakat Bali selanjutnya disebut sebagai agama (Hindu)
Syiwa-Budha.
Lima kesepakatan itu kemudian menjadi dasar konsensus dalam
menyatukan kembali pertentangan yang terjadi di kalangan masyarakat
desa di Bali pada jaman itu. Dalam sejarah perkembangan masyarakat
Bali sejak jaman kuno, proses tercapainya kesepakatan itu dianggap
sebagai contoh gemilang terwujudnya suatu bentuk konsensus dalam
Lihat juga: Yayasan Wisnu. Mampukah Desa Pakraman Menjaga Gumi Bali. Kertas
Posisi, No.: 02/VII/2001. Disampaikan dalam rangka program data informasi Yayasan
Wisnu 3 bulanan tanggal 11 Juli 2001 di Aula Yayasan Wisnu. Denpasar, Bali, 2001.
6

91

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
rangka membangun kembali suatu kehidupan bersama masyarakat desa
yang harmoni. Dalam konteks sosiologis, dengan terbangunnya
konsensus itu, maka struktur desa yang semula goyah bisa dipulihkan
kembali. Dalam hal ini hubungan antara desa sebagai kesatuan
masyarakat hukum (adat) dan desa sebagai kesatuan masyarakat
spiritual berjalan normal dan harmonis kembali. Struktur desa yang
berciri dualitas sebagaimana disebut di atas, bisa terbangun kembali.
Secara teoritis, perkembangan seperti yang dijelaskan di atas itu
boleh dikatakan merupakan suatu gejala perubahan sosial; sedangkan
hasil kesepakatan yang mendorong pulihnya struktur sosial yang
semula goyah itu dalam kerangka pemikiran Schulte-Nordhlot (1971)
termasuk yang disebut sebagai prinsip-prinsip struktur (structural
principles). Dalam konteks terjadinya perubahan sosial yang
disebutkan di sini, maka terbangunnya structural priciples yang baru
itu menjadi dasar dari pulihnya struktur sosial dari keadaan semula
yang goyah.
Hasil musyawarah itu sampai hari ini masih tetap dipelihara,
kemudian dijalankan oleh desa dan masyarakat desa di Bali dalam
kehidupannya sehari-hari, sampai hari ini. Sebagaimana akan
dijelaskan kemudian, sampai sekarang di seluruh desa di Bali terdapat
kahyangan tiga atau kahyangan desa sebagai tempat suci untuk
memuliakan Dewa Brahma (pura desa/bale agung), Dewa Wisnu (pura
puseh) dan Syiwa (pura dalem) sebagai Tri Murti atau representasi tiga
sifat Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Begitupula
sampai hari ini, setiap keluarga di Bali, pada umumnya, memiliki
pelinggih/sanggah/mrajan keluarga dengan didalamnya terdapat rong
telu atau kemulan. Jadi kalau kahyangan tiga merupakan tempat suci
pada tingkat desa maka pelinggih/sanggah/mrajan adalah semacam
kahyangan pada tingkat keluarga. Dalam konteks ini maka seolah-olah
ada hubungan spiritual yang erat antara struktur desa (masyarakat
desa) dengan kahyangan tiga dan struktur keluarga (individu dalam
keluarga) dengan pelinggih, sanggah atau mrajannya keluarganya
masing-masing.

92

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Gambar 5: Mrajan milik suatu keluarga di Bali

Sumber: Istimewa

Menarik untuk diketahui bahwa pada akhirnya, nama agama
Hindu di Bali sampai hari ini sering disebut dengan nama lain sebagai
agama (Hindu) Syiwa-Budha, termasuk sebutan yang dikenal di Desa
Tabola, Sidemen, tempat penelitian ini dilakukan. Namun begitu tidak
berarti hanya agama (aliran) Syiwa-Budha saja yang ada, karena sampai
sekarang ini, aliran Waisnawa juga masih hidup dan berkembang di
beberapa tempat di Bali. Mereka bahkan membentuk klan atau soroh
yang di Bali dikenal dengan nama Bhujangga Waisnawa.
Tetapi apa yang dimaksud dengan aliran agama Syiwa-Budha?
Salah satu peninggalan sejarah dari ‘Samuan Tiga’ adalah Prasasti
Samuan Tiga. Dalam prasasti disebutkan pengertian dari agama SyiwaBudha, yaitu:
“Ndatan len kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang
trimandala, Sang Sangkan Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu
kojaring aji, utpee, stithi, linaning dadi kita koncanani
paramartha Sogatha” (Tiada lain Siwa berupa Budha, berkuasa
menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta,
menciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka,
Engkau yang mengadakan ajaran atau dharma, yang
berdasarkan nilai-nilai kelahiran, kehidupan, dan akhirnya

93

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai
Budha). 7

Dalam masa kemudian, realitas Syiwa-Budha dinyatakan dalam suatu
konsep yang disebut Rwabhineda.
Sebagaimana akan dikupas dalam bagian lain dari disertasi ini,
konsep Rwabhineda ini bahkan kemudian ikut mendasari cara berfikir,
bersikap dan dan bertindak masyarakat desa Bali. Secara singkat,
Rwabhineda bisa diartikan sebagai ‘dua yang berbeda tetapi adalah
satu’; dua yang berbeda itu dicerminkan dengan sosok kesatuan Syiwa
dan Budha, sedang satu itu bermakna Dia Yang Tunggal, Sang Hyang
Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Konsep Rwabhineda ini
sesungguhnya mengandung gagasan tentang dualitas, yang maknanya
adalah bahwa dalam kehidupan dunia ini realitas sering menampakkan
diri dalam dua sisi katagori yang berbeda (hitam-putih, baik-buruk,
benar-salah, hilir/teben dan hulu, profane/sekala dan sakral/niskala,
dan lain sebagainya) tetapi yang eksistensinya saling mengandaikan
dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Hitam, misalnya, tidak pernah akan ada tanpa putih, dan
sebaliknya; begitupula kebaikan tidak akan
pernah ada tanpa
keburukan, dan sebaliknya. Tetapi realitas yang menampakkan diri
dalam wujud dualitas itu pada hakekatnya adalah satu, sebagaimana
Syiwa dan Budha itu sendiri yang merupakan dua hal berbeda tetapi
hakekatnya adalah satu, yaitu Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang
Esa. Dalam konteks yang berbeda, Rwabhineda, dua hal berbeda tetapi
satu, juga mengandung pengertian tentang keharmonisan (satu) yang
muncul dari kehidupan dengan realitas yang beragam, berbeda (plural),
yang seringkali mengundang terjadinya ketegangan dan konflik.
Gagasan tentang keharmonisan ini, secara eksplisit dicerminkan
melalui konsep Tri Hita Karana. Sebagaimana nanti akan dibahas dalam
Bab 8, ada keterkaitan yang kuat antara konsep Rwabhineda dengan
dualitasnya dengan konsep Tri Hita Karana dengan gagasan
keharmonisannya itu.

7

Op.cit. Mpu Kuturan Sang Konseptor Desa Pakraman.

94

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
• Desa Bali Aga dan Apanaga
Sampai sekarang, di Bali dikenal dua macam penyebutan desa
adat, yaitu desa aga (Bali aga) dan desa apanaga (Bali apanaga).
Perbedaan penyebutan ini dihubungkan dengan asal mula
perkembangan desa atau masyarakat desa yang bersangkutan. Yang
pertama (Bali aga), dikaitkan dengan sejarah masuknya para pendatang
dari Jawa ke Bali gelombang pertama yang dipimpin oleh Mahersi
Markandya pada abad ke 9. Yang kedua (Bali apanaga), dihubungkan
dengan kedatangan imigran dari Jawa ke Bali pada gelombang ke dua
yang terjadi sejak abad 14, yaitu ketika kerajaan Majapahit di Jawa
Timur mulai memperluas dan memperdalam pengaruhnya ke Bali.
Meskipun ada dua sebutan nama, tetapi pada umumnya atau sebagian
besar desa-desa di Bali bisa digolongkan sebagai desa apanaga.
Sedangkan hanya sedikit yang digolongkan dengan sebutan nama desa
aga; dan umumnya desa aga ini lebih banyak berada di wilayah dataran
tinggi atau pegunungan di Bali. Kedua bentuk desa ini sampai sekarang
memiliki beberapa ciri yang berbeda, disamping masih adanya
kesamaan, khususnya yang berkaitan dengan unsur dasar kahyangan
yang memang harus ada di masing-masing desa di Bali.
Sebagaimana diketahui, kata aga itu sendiri berasal dari nama
yang diberikan kepada para pengikut Maharsi Makandya di Gunung
Raung, Jawa Timur, yaitu wong aga atau orang aga, yang berarti
‘orang-orang pilihan’. Mereka inilah yang bersama Maharsi Markandya
pergi ke Bali, yang pada waktu itu masyarakatnya dikatakan dalam
sejarah belum mengenal agama Hindu. Masyarakat Bali pada waktu itu
masih tinggal dalam kelompok-kelompok dengan jro-nya atau para
pemimpinnya masing-masing, dan mereka disebut sebagai orang Bali
mula atau Bali awal, untuk membedakan dengan para pendatang awal
dari Jawa yang menyebut dirinya sebagai orang aga. 8
Kelak kemudian masyarakat Bali mula dan orang aga menjadi
membaur, bersamaan dengan semakin diterimanya ajaran-ajaran
8 Lihat: Gde Pratam. Maha Rsi Markadeya dan Orang Bali Aga.
http://ngarayana.web.ugm.ac.id/2010/01/maha-rsi-markandeya-dan-orang-bali-aga/

95

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Hindu yang disebarkan oleh Maharsi Markandya ke Bali. Mereka lalu
membentuk kesatuan-kesatuan masyarakat yang tinggal dalam suatu
desa yang menempatkan kahyangan sebagai landasan dasar dari
kehidupan masyarakat desa, sebagaimana diajarkan oleh Maheresi
Markandya. Sampai sekarang, desa-desa yang keberadaannya berasal
dari masa kuno itu jejak-jejaknya sebagian masih ada. Salah satu di
antara adalah desa Tenganan Pegringsingan, yang terletak di
Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.
Bahwa desa Tenganan bisa digolongkan sebagai desa Bali aga
atau Bali mula, bisa dijelaskan dengan melihat perbedaan dalam
beberapa aspek kehidupan sosial masyarakatnya, khususnya bila
dibandingkan dengan masyarakat desa di Bali pada umumnya, atau
yang disebut sebagai desa Bali apanaga. Perbedaan itu, misalnya,
menyangkut: sistem pemerintahan desa, sistem pemilikan dan
panguasaan tanah di desa, sistem hirarkhi sosial (sistem
wangsa/kasta/warna) dalam masyarakat, begitu juga adanya variasi
dalam tatacara sistem religi agama Hindu yang dianut masyarakatnya. 9
Sebagai contoh, kepemimpinan desa-desa di Bali pada
umumnya, atau desa apanaga, pada dasarnya berada ditangan seorang
kepala desa (bendesa) yang dibantu oleh beberapa pengurus yang lain,
yaitu prakangge (pengurus inti, seperti sekretaris dan bendahara) dan
prajuru (pengurus biasa, seperti kepala urusan dan para klian banjar)
desa. Misalnya, kepengurusan desa apanaga biasanya terdiri dari:
bendesa (kepala desa), penyarikan (sekretaris), petengen (bendahara),
dan prajuru (pengurus) desa yang lain. Termasuk dalam hal ini
pengurus organisasi masyarakat desa di bawah desa, yaitu banjar dan
tempekan, yang masing-masing memiliki kepengurusan sendiri. Pola
kepengurusan seperti ini boleh dikatakan bersifat hirarkhis atau
berjenjang, yaitu mulai dari kepemimpinan puncak hingga yang paling
bawah (prajuru).

9

Hasil kunjungan dan pengamatan lapangan di desa serta wawancara dengan
pemimpin adat desa yang bernama Wayan Mangku Widia atau Mangku Jero, Desa
Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, pada
periode bulan Mei 2010.

96

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Sebaliknya di desa aga, seperti halnya di Tenganan,
kepemimpinan desanya lebih bersifat kolektif atau tidak berada di
tangan seorang pemimpin melainkan di tangan beberapa orang
pemimpin. Biasanya kepemimpinannya, langsung atau tidak langsung,
mengacu pada senioritas, yang dalam hal ini biasanya dilihat dari tolok
ukur umur (usia), lama perkawinan dan/atau asal keturunan. Misalnya,
di Tenganan, struktur kepemimpinan desanya terdiri dari enam
tingkatan, yang masing-masing tingkatan tersebut membentuk
semacam kepemimpinan kolektif, yaitu: (1) luanan, yang terdiri dari
enam orang; (2) bahan duluan, terdiri dari enam orang; (3) bahan
tebenan, terdiri dari enam orang; (4) tambelapu duluan, terdiri dari
enam orang; (5) tembelapu tebenan, terdiri dari enam orang; dan
akhirnya (6) pengeluduan, yang terdiri dari para penduduk desa yang
sudah kawin (krama desa).

97

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 6: Struktur kepemimpinan kolektif
di Desa Tenganan Pegringsingan

Pada tingkatan luanan, terdapat seorang yang dijadikan
semacam simbol primus interpares, yang disebut Mangku. Orang
tersebut harus berasal dari keluarga tertentu yang dianggap keturunan
Sang Hyang atau yang disucikan. Untuk bisa masuk dalam struktur
kepemimpinan yang terdiri dari enam tingkatan tersebut,
persyaratannya adalah bahwa warga desa yang bersangkutan haruslah:
sudah menikah; di antara anaknya belum ada yang menikah sehingga

98

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
belum ada yang menjadi krama desa; harus masih berstatus pasangan
suami-istri (tidak cerai atau salah satunya belum meninggal). 10
Posisi dalam masing-masing tingkatan mulai dari pengeluduan
sampai luanan, dicapai dengan mengisi posisi yang lowong atau
ditinggalkan dari masing-masing lembaga itu, karena berbagai sebab
seperti meninggal, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana
disebutkan di atas. Pengisian posisi itu bergerak serentak, dari posisi
yang ada di bawahnya menuju ke atas. Contohnya, ketika ada anggota
(sepasang suami istri) yang harus harus keluar dari lembaga luanan
karena berbagai sebab, maka lembaga luanan harus diisi lagi (supaya
jumlahnya tetap 6) oleh salah satu orang yang ada di lembaga bahan
duluan berdasarkan senioritas usia dan umur perkawinan.
Selanjutnya, posisi yang kosong di lembaga bahan duluan
(karena salah satu harus menjadi luanan) harus diisi oleh salah seorang
anggota lembaga di bahan tebenan. Dan begitulah seterusnya,
berdasarkan urutan yang ada, bergerak terus dari bawah untuk mengisi
posisi lowong yang ada diatasnya, sampai pada tingkatan pengeluduan
(Ramseyer, 2009: 25-28). Jabatan yang ada dalam luanan seringkali
bersifat simbolis; sedangkan keputusan tertinggi dilakukan secara
musyawarah mufakat dalam bahan duluan yang berjumlah enam
anggota itu. Namun demikian setiap permasalahan yang dianggap
penting dibicarakan dalam sangkepan mulai dari tingkat pengeluduan
(krama/warga desa) sampai ke atasnya, dan diambil keputusan
berdasarkan musyawarah secara kolektif.
Begitupula di desa Tenganan, tanah-tanah yang ada dalam
wilayah desa adalah milik kolektif desa, yang diserahkan
tanggungjawab pengelolaannya kepada para warganya dan tidak bisa
diperjualbelikan ke pada pihak lain di luar desa. Ini berbeda dengan
tanah-tanah yang ada di desa Bali apanaga, misalnya di Desa Tabola,
yang meskipun sebagian adalah milik kolektif desa, tetapi pada
10

Seharusnya yang menjadi simbol ‘primus interpares’ adalah Mangku Jero, yang
dianggap oleh masyarakat Tenganan sebagai keturunan Sang Hyang. Tetapi ketika
Mangku sudah berada pada tingkatan luanan, salah seorang anaknya menikah, dan
karena itu otomatis posisinya dalam lembaga luanan harus dilepas. Hasil wawancara
dengan Mangku Windya, Mei 2010.

99

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
umumnya sebagian besar sudah menjadi milik pribadi-pribadi krama
desa. Jenis kepemilikan tanah milik kolektif desa adalah: (1) tanah
druwe (milik) desa; (2) tanah pelaba pura (milik Pura); (3) tanah
ayahan desa (tanah desa); (4) tanah pekarangan desa; (5) tanah pribadi
milik penduduk desa.
Contoh tanah druwe desa di desa Bali Apanage adalah setra
(kuburan) dan tanah-tanah kebun milik desa. Tanah-tanah ini, kecuali
setra atau kuburan, dikerjakan oleh warga desa yang hasilnya sebagian
diserahkan ke desa untuk keperluan desa secara kolektif. Tanah-tanah
druwe desa yang lain bisanya dalam bentuk tanah dari pasar desa,
lapangan dan lain sebagainya. Tanah pelaba pura adalah tanah kebun
atau sawah milik pura yang dikerjakan oleh warga, yang hasilnya
sebagian menjadi hak pura untuk kepentingan pengelolaan dan
pemeliharaan pura itu sendiri.

Tanah ayahan adalah tanah sawah atau kebun milik desa yang
dikelola dan dikerjakan oleh warga desa, dan sebagai imbalannya
warga yang bersangkutan mempunyai kewajiban tertentu terhadap
desa yang diatur oleh ketentuan adat. Tanah pekarangan desa adalah
tanah milik desa yang dijadikan untuk lokasi pemukiman atau rumahrumah warga. Mereka yang menguasai tanah pekarangan desa ini
biasanya memiliki kewajiban tertentu kepada desa sebagaimana
mereka yang menguasai tanah ayahan desa. Baik tanah ayahan desa
maupun tanah pekarangan desa tidak boleh diperjual-belikan ke pihak
luar keluarga, tetapi atas persetujuan desa bisa diwariskan ke
keturunannya, biasanya anak laki-laki. Atau bila tidak memiliki anak
laki-laki, maka tanah itu biasanya dikembalikan ke desa, untuk
selanjutnya tergantung kepada desa untuk diserahkan pengelolaannya
ke pihak yang dianggap paling layak dan berhak mengelola. Mereka
yang menerima atau mendapatkan bagian dari tanah ayahan desa
maupun tanah pekarangan desa akan meneruskan kewajiban terhadap
desa. Bila diterima dari orang tuanya maka mereka melanjutkan
kewajiban orang tuanya; dan bila karena berbagai sebab baru diterima
dari desa, maka mereka menjalankan kewajiban kepada desa
sebagaimana ditentukan oleh desa sejak tanah itu diberikan kepadanya
oleh desa.
100

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Tanah pribadi adalah tanah yang dimiliki secara perorangan
oleh warga desa. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap desa karena
penguasaan atas tanah perorangan ini. Terkecuali bila tanah yang
bersangkutan adalah tanah kebun atau sawah, pemilik atau
pengelolanya memiliki kewajiban tertentu terhadap organisasi subak
yang berada di wilayah tanah pribadi yang bersangkutan. Kewajiban
diatur berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam organisasi subak
yang bersangkutan. Dalam konteks desa Bali aga seperti di Tenganan,
di dalam wilayah desa adatnya, tidak terdapat tanah yang berstatus
milik pribadi. Mungkin saja pada masa sekarang orang-orang Tenganan
memiliki tanah pribadi, tetapi tanah pribadi yang bersangkutan
lokasinya biasanya berada di luar wilayah desa adat Tenganan.
Bisa saja suatu tanah dalam wilayah Desa Adat Tenganan
dikelola oleh pribadi-pribadi atau krama (warga) desa. Namun tanah
yang bersangkutan tetap menjadi milik desa, terbukti dari adanya
larangan adat (desa) untuk memperjual-belikan tanah tersebut ke luar
orang Tenganan. Jual beli hanya mungkin dilakukan di antara orang
Tenganan sendiri, dan hal itu harus melalui persetujuan desa dengan
persyaratan tertentu. Misalnya, proses penjualan tanah tersebut pada
awalnya harus ditawarkan terlebih dahulu kepada lingkungan keluarga
terdekat, dan kalau tidak ada respon, berlanjut hingga ke lingkungan
keluarga lebih luas atau sesama krama desa Tenganan. 11
Perbedaan yang cukup menyolok lainnya antara desa Bali aga
dan desa Bali apanaga adalah soal adanya hirarkhi sosial dalam
masyarakat yang di Bali sering disebut dengan wangsa, atau seringkali
disebut juga dengan kasta. Katagori wangsa di Bali terdiri dari (1)
wangsa brahmana, (2) wangsa satria, (3) wangsa waisya, dan (4) wangsa
sudra. Empat golongan ini kadangkala disederhanakan menjadi dua,
yaitu golongan Triwangsa (tiga wangsa pertama: brahmana, satria dan
weisya) dan golongan tidak memiliki wangsa (non-triwangsa). Di desadesa Bali apanaga, seperti halnya di Desa Tabola, Kecamatan Sidemen,
Kabupaten Karangasem, Bali, tempat penelitian ini dilakukan, masalah
11

Hasil wawancara dengan Domplong, tokoh pemuda Tenganan dari Banjar Pande.
Bulan April 2010.

101

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
wangsa menjadi bagian dari realitas sehari-hari yang ada dalam
masyarakat.
Sebagai gambaran, di Desa Tabola, misalnya, berdiri Puri
Sidemen, yang merupakan pusat pemerintahan kerajaan di masa lalu.
Puri Sidemen ini adalah tempat kediaman keluarga dari golongan
wangsa satria tertinggi, seperti disimbolkan dari nama depan para
penghuninya yaitu Tjokorda. Selain wangsa satria tertinggi, di Tabola
juga berdiam keluarga-keluarga dari wangsa satria lainnya yang lebih
rendah, seperti terlihat dari nama depannya, yaitu I Gusti. Disamping
itu juga terdapat pusat pemukiman dari wangsa rahmana, sebagaimana
yang disimbolkan dari nama depannya Ida Bagus atau I Ida. Mereka ini,
misalnya, tinggal di suatu tempat pemukiman khusus yang disebut
griya. Di Desa Tabola, golongan barhmana tinggi, yang riwayatnya
dahulu adalah para brahmana Puri Sidemen (semacam pendeta
kerajaan Sidemen), bermukim disuatu wilayah yang dinamakan griya,
seperti misalnya di Griya Punia Sidemen.
Gambar 7: Pintu Gerbang Puri Sidemen, Sidemen, Karangasem, Bali.

Sumber: dokumen pribadi

102

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Di masa lalu, kalau para keluarga wangsa satria penguasa puri
memiliki otoritas di bidang pemerintahan, maka para keluarga wangsa
brahmana yang berdiam di griya memiliki kewenangan dalam
mengurusi masalah-masalah agama. Seringkali merekalah yang
memiliki otoritas memimpin berbagai upacara keagamaan yang
diselenggarakan di pura-pura. Di luar itu adalah para warga desa, baik
mereka yang masih termasuk golongan triwangsa, yaitu wangsa weisya,
atau mereka yang tidak termasuk triwangsa, yaitu golongan masyarakat
kebanyakan (sudra).
Kalau di desa apanaga masih dikenal penggolongan hirarkhi
sosial seperti disebutkan di atas, maka di desa-desa Bali aga hal seperti
ini justru tidak dikenal. Di Desa Tenganan Pegringsingan yang bisa
dikatagorikan sebagai desa Bali aga, misalnya, penggolongan status
sosial masyarakat berdasarkan hirarkhi wangsa boleh dikatakan tidak
ada. Kalau pun masih ada yang disebut penggolongan status sosial, hal
itu lebih banyak berdasarkan senioritas usia, baik usia dalam
pengertian umur kelahiran maupun umur (lamanya) perkawinan yang
dijalani. Jadi mereka yang berusia lebih tua umumnya memiliki tingkat
hirarkhi yang lebih tinggi, sebagaimana terbukti dari salah satu
ketentuan yang mengatur susunan hirarkhi kepemimpinan desa. Atau
juga yang sangat sederhana, bahwa yang bisa menduduki jabatan
sebagai Mangku atau pemimpin upacara adat dan agama adalah mereka
dari keluarga yang dianggap berasal dari keturunan Sang Hyang. Jadi
kalau diperbandingkan, tatanan masyarakat desa-desa Bali aga boleh
dikatakan relatif lebih egaliter dibandingkan dengan desa-desa Bali
apanaga.
Hal lain yang juga membedakan antara desa Bali aga dan desa
Bali apanaga adalah beberapa hal tentang ritual keagamaan.
Contohnya, berdasarkan wawancara dengan Mangku Jro Desa
Tenganan, upacara ngaben atau pembakaran mayat tidak dikenal di
Tenganan karena mayat orang Tenganan yang meninggal justru
dikubur dan tidak dibakar sebagaimana dilaksanakan oleh masyarakat
desa adat (Bali apanaga) pada umumnya di Bali. Hal yang sama juga
berlaku di masyarakat desa Bali Aga Trunyan, yang ada di Danau Batur,
Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Mayat orang Trunyan tidak dibakar
103

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
tetapi diletakkan di udara terbuka (disebut mepasah) atau
dikubur/ditanam. Padahal bagi masyarakat desa di Bali pada umumnya,
upacara ngaben termasuk salah satu upacara besar yang melibatkan
masyarakat desa, apakah ditingkat banjar atau desa.
Hal yang sama juga terjadi pada upacara Nyepi yang
merupakan hari raya umat Hindu yang dirayakan diseluruh Bali.
Namun kegiatan Nyepi ini jusru tidak dilaksanakan di Desa Tenganan
seperti halnya di desa-desa di Bali pada umumnya. Sebagaimana
terungkap dalam wawancara bahwa tidak ada kewajiban yang ketat
yang harus dipenuhi oleh krama desa di Tenganan dalam rangka
memperingati Hari Raya Nyepi seperti krama desa lainnya di Bali.
Meskipun mereka sendiri menghormati kegiatan Nyepi yang dilakukan
krama desa lainnya di luar Tenganan. Perbedaan ini menjadi menonjol
karena bagaimanapun kegiatan Nyepi, seperti halnya juga ngaben,
merupakan salah satu kegiatan ritual agama Hindu yang dianggap
penting oleh masyarakat Bali pada umumnya.
Sebagai catatan, Hari Raya Nyepi adalah salah satu hari suci
agama Hindu yang dirayakan setahun sekali, dalam rangka menyambut
Tahun Baru Caka, yang biasanya jatuh pada hari pertama Sasih Kedasa
(kalender Bali) atau sekitar bulan Maret dan April. Pada waktu satu
hari sebelum Hari Raya Nyepi, masyarakat desa di Bali umumnya
melakukan upacara penyucian yang disebut dengan nama
melasti/mekiis atau melis. Tujuannya adalah memohon kepada Sang
Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan alam
semesta berserta isinya.
itu juga dilaksanakan upacara pecaruan atau
pengerupukan, yang praktiknya sering didahului oleh pawai ogohogoh, yaitu patung berbentuk raksasa yang diarak keliling desa, untuk
kemudian dibakar. Tujuannya dari upacara ini adalah membuang
pengaruh buruk atau jahat dari butha kala (roh-roh jahat yang ada di
alam sekitar manusia, yang disimbolkan oleh patung ogoh-ogoh) agar
alam semesta beserta isinya terbebas dari berbagai gangguan buruk
yang menggoncangkan dan kembali harmonis. Lalu tepat pada Hari
Raya Nyepi, masyarakat desa melaksanakan apa yang disebut dengan
Selain

104

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
nama catur brata (empat tindakan/kelakuan), yaitu sebagai berikut. 12
Pertama, amati geni, tidak menyalakan api serta mengobarkan hawa
nafsu. Kedua, amati karya, tidak melakukan kegiatan kerja jasmaniah
melainkan meningkatkan kegiatan mensucikan rohani. Ketiga, amati
lelungaan, tidak berpergian melainkan melakukan mawas diri.
Keempat, amati lelanguan, tidak mengobarkan kesenangan melainkan
melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widi. Dalam
praktiknya, kegiatan ini dilakukan secara serentak di seluruh Bali,
sehingga pada waktu satu hari menjelang Hari Raya Nyepi, seluruh Bali
boleh dikatakan sunyi senyap. Di sana-sini banyak petugas-petugas
desa adat yang dinamakan pecalang mengawasi semua warga agar
menaati kewajiban Nyepi itu.
Jadi perbedaan antara desa aga/mula dengan desa apanaga
memang bersumber dari perjalanan sejarah desa-desa yang ada di Bali.
Sebagian desa, karena proses historis, mengalami berbagai perubahan
dalam sistem sosialnya, sedangkan sebagian (kecil) lainnya, karena
berbagai alasan, lebih banyak berusaha menahan proses perubahan
atau mempertahankan sistem sosial yang ada. Yang pertama berkaitan
dengan perkembangan sejarah dari desa Bali apanaga, sedangkan yang
kedua berhubungan dengan perjalanan sejarah desa Bali aga.
Secara historis, kemunculan apa yang kemudian disebut sebagai
desa Bali apanaga itu sendiri terutama dipacu oleh gelombang
pengaruh kekuasaan pemerintahan Kerajaan Majapahit di Bali,
khususnya sejak abad ke 14. Sebelumnya, sebagaimana disinggung
dalam tulisan di atas, Bali sejak abad ke 9 memang sudah menerima
pengaruh dari Jawa. Namun pengaruh dari luar itu menjadi semakin
kuat ketika kerajaan Majapahit di Jawa Timur, dalam rangka
memperkokoh pengaruh kekuasaannya di Bali, mengirimkan wakilnya
untuk menjadi raja di Bali. Ini terjadi ketika Majapahit diperintah oleh
Raja Hayam Wuruk, dengan Mahapatihnya bernama Gajah Mada.

Lihat: Sekilas tentang Hari Raya Nyepi.
Http://sosbud.kompasiana.com/2010/13/sekilas-hari-raya-nyepi/

12

105

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Gambar 8: Suasana Desa Tenganan Pegringsingan,
Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali.

Sumber: Foto Pribadi

Menurut catatan sejarah, Bali jatuh dalam pengaruh kekuasaan
pemerintahan Majapahit pada tahun 1334 (Vickers, 1996: 11-37).
Sebagaimana diceritakan dalam Babad Dalem Anom Pemahyun, bahwa
suatu ketika Patih Gajah Mada, atas persetujuan Raja Majapahit,
mengirim utusan untuk membangun pemerintahan baru di Bali.
Utusan ini dikirim setelah Bali mengalami situasi tidak menentu sejak
Raja Bali yang bertahta di Bedahulu (sekarang daerah Bedulu,
Kabupaten Gianyar, Bali) ditundukkan dan mengakui kekuasaan
Majapahit. Utusan Majapahit yang ditugaskan untuk membangun
pemerintahan baru yang lebih stabil (menggantikan Raja Bali di
Bedulu) bernama Sri Kresna Wang Bang Kepakisan. Ia adalah
keturunan seorang brahmana terkenal dari Kediri, Jawa Timur,
bernama Mpu Baradah. 13

13
Lihat: Babad Dalem Anom Pemahyun (terjemahan). Koleksi pribadi Cokorda Gde
Dangin. Tanpa tahun.

106

BAB 3 PERDESAAN DI BALI DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Setelah ditunjuk sebagai Adipati di Bali, dan memerintah Bali
atas nama Raja Majapahit, Hayam Wuruk, maka adipati yang
memerintah di luar keraton Majapahit ini memakai gelar Dalem Ketut
Kresna Kepakisan. Menurut Babad Dalem Anom Pemayun, ini terjadi
kira-kira pada Tahun Caka 1274 atau 1352 M. Raja Bali yang baru ini
berkedudukan di Samprangan, Gelgel, suatu wilayah yang sekarang ada
di dekat Kota Amlapura, Kabupaten Klungkung. Sejak itulah
pemerintahan baru di Bali yang dibentuk atas prakarsa Majapahit itu
dinamakan Kerajaan Gelgel, Bali.
Dalam sejarah, kerajaan ini merupakan cikal bakal dari semua
kerajaan yang ada di Bali. Bermula dari Kerajaan Gelgel, di Gelgel
(dekat kota Smarapura, Klungkung, Bali), lalu berpindah ke Smarapura,
Klungkung, menjadi Kerajaan Klungkung. Kemudian dari Kerajaan
Klungkung ini berkembang menjadi beberapa kerajaan lain di Bali,
baik besar maupun kecil. Yang dianggap besar misalnya: Gianyar,
Bangli, Karangasem, Badung, Tabanan, Jembrana, dan Buleleng.
Sedangkan yang dianggap kecil seperti Ubud, Mas, Sukawati, dan
Sidemen (yang berada di Desa Tabola, tempat lokasi penelitian ini
dilakukan), serta masih banyak yang lainnya lagi. Pusat kekuasaannya
berada di suatu tempat yang disebut sebagai puri (semacam istana di
Bali).
Setelah tahun 1520-an, ketika Majapahit yang berbasis Hindu
mulai tenggelam dan digantikan oleh Kerajaan Demak yang berbasis
Islam, Kerajaan Gelgel yang berbasis Hindu tetap berkembang, yang
kekuasaannya kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Klungkung. Masa
kejayaan Gegel berlangsung ketika kerajaan itu dipimpin oleh Raja
Dalem Baturenggong. Pada masa pemerintaannya, Bali mengalami
proses transformasi atau perubahan sosial yang masif dari keadaan
sebelumnya. Pada masa sebelum pemerintahan Dalem Baturenggong,
desa-desa di Bali selalu mampu menjaga jarak dengan kekuasaankekuasaan pemerintahan raja-raja yang berkuasa. Tetapi ketika Dalem
Baturenggong berkuasa, kekuasaan pemerintahnya mampu menyentuh
sekaligus menembus desa-desa di Bali, yang sebelumnya sering
dikatakan otonom.
107

PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
Perkembangan seperti ini menjadikan desa-desa di Bali,
langsung ataupun tidak langsung, menjadi bagian dari kekuasaan raja,
yang dengan demikian, mau atau tidak mau, harus mengikuti berbagai
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintahan kerajaan. Termasuk
dalam hal ini adalah berbagai ketentuan, yang prosesnya menjadikan
masyarakat Bali pada akhirnya terbagi secara hirarkhis atas empat
tingkatan kasta atau warna sebagaimana disinggung di atas, yaitu:
golongan brahmana; golongan satria; golongan weisya; dan golongan
sudra. Sebagai catatan, penggolongan masyarakat Bali atas empat warna
tersebut terutama mulai menguat sejak kedatangan seorang bhagawan
Hindu dari Jawa (Kediri)
bernama Nirartha yang berusaha
memperkuat kembali ajaran Hindu di Bali.
Menurut Sastrodiwiryo (2008), usaha Bhagawan Nirartha ini
dilakukan mengingat keprihatinannya atas semakin merosotnya
pengaruh agama Hindu di Jawa, khususnya yang terjadi di Majapahit.
Sedangkan pada saat yang sama pengaruh ajaran agama baru yaitu
Islam, justru semakin menguat. Maka kepergian Bhagawan itu ke Bali
antara lain adalah berusaha menjadikan Bali, khususnya desa-desa di
Bali, sebagai benteng pertahanan Hindu terhadap semakin kuat dan
meluasnya ajaran baru di Jawa. Perjalanan Nirartha dari Jawa untuk
menelusuri Pulau Bali dalam rangka memperkuat basis ajaran Hindu
hingga sekarang tetap menjadi cerita sejarah yang cukup dikenal oleh
masyarakat Bali pada umumnya.
Kembali ke masalah semakin kuatnya pengaruh kerajaan di
perdesaan Bali. Dalam konteks perkembangan hubungan antara raja
(yang dalam hal ini merepresentasikan kekuasaan kerajaa