PERAN T.G.H. MUKHTAR AMIN DALAM PENGEMBANGAN DAKWAH DAN PENYELESAIAN KONFLIK KEAGAMAAN DI LOMBOK UTARA.

(1)

PERAN T.G.H. MUKHTAR AMIN DALAM PENGEMBANGAN DAKWAH DAN PENYELESAIAN KONFLIK KEAGAMAAN DI

LOMBOK UTARA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi

Komunikasi Penyiaran Islam

Oleh Ishanan NIM. F07214097

Oleh Ishanan NIM. F07214097

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Tesisi ini berjudul “Peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam Pengembangan Dakwah, dan Penyelesaian Konflik Keagamaan di Lombok Utara” yang disusun oleh Ishanan, NIM. F07214097

Kata Kunci: Peran, Dakwah, Penyelesaian Konflik Keagamaan

Ada dua persoalan yang dikaji dalam tesis ini yaitu: (1) Bagaimana peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan dakwah di Lombok Utara? (2) Bagaimana peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara?

Untuk menjawab persoalan tersebut peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif yang berorientasi pada studi tokoh. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan komunikasi, peneliti berusaha menggambarkan bagaimana peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam megembangkan dakwah dan menyelesaikan konflik keagamaan di Lombok Utara berdasarkan pada aktifitas-aktifitas yang dilakukannya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (1) T.G.H. Mukhtar Amin berperan dalam pengembangan dakwah di Lombok Utara melalui da’wah bi al-lisa>n maupun da’wah bi al-ha>l dengan pendekatan dakwah kultural. (2) T.G.H. Mukhtar Amin juga berperan dalam penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara, baik bentuknya konflik antar pemeluk agama yang sama, antar pemeluk agama yang berbeda, maupun antara konflik lain yang melibatkan unsur agama.

Secara umum, hasil temuan pada tesisnya ini lebih banyak dibahas secara general, terutama pada aspek model pengembangan dakwah dan penyelesaian konfliknya. Kedepan diharapkan, jika ada yang melakukan penelitian serupa, hendaklah mengambil salah satu bagian penting dari tema pokok di atas, misalnya hanya sebatas perannya dalam dakwah ataupun perannya dalam resolusi konflik yang dikaji secara khusus, terpisah dan spesifik.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... ….i

HALAMAN JUDUL... ….ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... … iii

HALAMAN PENGESAHAN... … iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... ….v

MOTTO ... ….vi

ABSTRAK ... ….vii

TRANSLITERASI ... …. viii

KATA PENGANTAR ... …. ix

DAFTAR ISI ... …..x

DAFTAR TABEL ... …..xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Kegunaan Penelitian ... 10

F. Penelitian Terdahulu ... 10

G. Sistematika pembahasan ... 17

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kedudukan (Status) dan Peranan Sosial (SocialRole) ... 19

1. Kedudukan dan Cara Masyarakat Mengembangkannya ... 19

2. Peranan dan Hubungannya dengan Status ... 22

B. Peran Ulama dalam Pengembangan Dakwah ... 24

1. Dakwah antara Peran dan Proses ... 24


(8)

3. Ulama dan Upaya Pengembangan Dakwah di Masyarakat ... 28

4. Tuan Guru dan Kedudukannya dalam Masyarakat Sasak ... 40

C. Peran Ulama dalam Resolusi Konflik ... 44

1. Konflik dan Faktor Pemicunya ... 44

2. Masyarakat dan Konflik Keagamaan ... 46

3. Agama dan Resolusi Konflik ... 48

4. Peran Ulama dalam Resolusi Konflik ... 51

D. Kerangka Teoretik ... 54

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 57

B. Jenis Data ... 59

C. Sumber Data ... 60

D. Teknik Pengumpulan Data ... 61

E. Teknik Analisis Data ... 64

F. Pendekatan Penelitian ... 64

BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Kondisi obyektik Kabupaten Lombok Utara dan Suku Sasak ... 66

1. Kebudayaan dan Etnografi Masyarakat Sasak di Lombok ... 66

2. Masuknya Islam ke Lombok ... 68

B. Profil Kabupaten Lombok Utara ... 70

1. Gambaran Umum Kabupaten Lombok Utara ... 70

2. Sosial Keagamaan Masyarakat di Lombok Utara ... 71

C. Biografi T.G.H. Mukhtar Amin ... 72

1. Potret Keluarga dan Latar Pendidikan ... 72

2. Dakwah T.G.H. Mukhtar Amin ... 75

D Peran T.G.H. Mukhtar Amin Pengembangan Dakwah di Lombok Utara ... 76

1. Aktifitas Dakwahnya ... 76


(9)

E. Peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam Penyelesaikan Konflik Keagaaan di

Lombok Utara ... 98

1. Jenis Konflik Keagamaan ... 98

2. Metode T.G.H. Mukhtar Amin dalam Penyelesaian Konflik Keagamaan ... 103

BAB V. PENTUP A. Kesimpulan ... 110

B. Implikasi Teoretik ... 111

C. Keterbatasa Studi ... 111

D. Rekomendasi ... 112

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRA-LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL & DIAGRAM

1. Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu ... 17 2. Table 3.1 Narasumber Wawancara ... 62 3. Diagram 4.1 Proporsi Pemeluk Agama di Kabupaten Lombok Utara ... 71


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama dakwah.1Sebagai agama dakwah, ia memiliki sifat khas yang melekat di dalamnya, yakni upaya penyebaran ajarannya, yang bertujuan untuk mengatur manusia, agar tidak menyalahi perintah-perintah Allah.2

Untuk merealisasikan hal tersebut, Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw, yang padanya dilekatkan tanggung jawab besar, yakni menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh alam.3

Setelah ditunjuk sebagai rasul, Muhammad Saw mulai berdakwah mengenalkan agama Islam kepada masyarakat luas. Agar Islam bisa dikenal dan diterima, Rasulullah Saw menempuh jalan dakwah langsung, di mana beliau berbaur dan menyatu dengan berbagai lapisan masyarakat yang ada, baik itu dari kalangan bangsawan maupun hamba sahaya.4

1Thomas W. Arnold, The Preaching Of Islam, diterjemahkan oleh A. Nawawi Rambe, dengan

judul “Sejarah Dakwah Islam”, (Jakarta: Widjaya 1991), h. 1. Pernyataan yang sama juga bisa dilihat dalam bukunya Ismail Ilyas yang mengutif pernyataan Thomas W. Arnold, The Preacing of Islam, bahwa “agama dakwah ialah agama yang memiliki kepentingan suci untuk menyebarkan kebenaran dan menyadarkan orang kafir sebagaimana dicontohkan sendiri oleh penggagas agama itu, dan diteruskan oleh para penggantinya”. Dari statemen ini kemudian menunjukkan bahwasanya, Islam adalah agama dakwah.Lihat, Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), 10.

2Jika di rujuk dalam beberapa ayat Al_Qur’an, misalnya dalam (Q.S 16:125) dan (Q.S, 41:33) memperkuat bahwa Islam adalah agama “misi”, yaitu agama yang harus disampaikan kepada manusia. Lihat, Acep Aripudin, Sosiologi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 138.

3Maimun Yusuf, “Metode Dakwah Rasulullah SAW”, dalam M. Jakfar Futeh & Saifullah, Dakwah Tekstual dan Kontekstual; Peran dan Fungsinya dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Cet III (Yogyakarta: Penerbit AK Group Yogyakarta, 2006), 66.

4Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisyi; Kajian Sejarah Dakwah pada Masa Rasulullah Saw, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), 63.


(12)

2

Dalam perjalanan dakwahnya, Rasulullah banyak mendapatkan perlawanan dari masyarakat Mekkah, mulai dari penyiksaan, boikot ekonomi, bahkan rencana pembunuhan.5 Namun, dengan petunjuk dan pedoman dakwah dari Allah Swt, Rasulullah Saw selamat dan terhindar dari marabahaya. Pada akhirnya, setelah melewati fase dakwah selama ±23 tahun, Rasulullah Saw berhasil menyebarkan Islam kepada masyarakat luas, khususnya masyarakat Arab.6 Bahkan, hadirnya Islam telah mampu merubah sendi-sendi kehidupan masyarakat Arab menjadi lebih baik.

Sepeninggal Rasulullah Saw, tugas menyebarkan agama Islam dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan seterusnya.7 Setelah itu, tugas mulia tersebut diteruskan oleh para ulama, yang memang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang agama Islam. Mereka inilah yang dikenal gigih dalam usaha dakwah. Tidak mengherankan jika Rasulullah Saw menjuluki para ulama sebagai pewaris para Nabi. Hal ini mengindikasikan bahwa, Rasulullah Saw boleh saja meninggal dunia, tetapi Islam akan senantiasa, terutama melalui lisan, tulisan, ataupun teladannya para ulama.8

Besarnya peran ulama dalam melanjutkan misi dakwah, juga dibarengi dengan sikap masyarakat yang begitu menghormati dan memuliakan mereka. Bagi masyarakat muslim, ulama adalah orang-orang yang dikenal konsisten dalam

5Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 16.

6Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Cet Ke 24, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), 31. 7Wahyu Ilaihi & Harjani Hefni Polah, Pengantar Sejarah Dakwah, Cet Ke II (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2012), 79.


(13)

3

mengamalkan ajaran-ajaran Islam9, termasuk pada masyarakat muslim Sasak yang

ada di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.10

Ulama yang dalam term Sasak biasa dikenal dengan istilah tuan guru, adalah orang-orang yang dihormati dan disegani secara struktur dan kultur masyarakat.11 Bagi masyarakat Lombok, tuan guru dipersepsi sebagai kelompok sosial elit yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. Selain karena keilmuan yang tinggi, tuan guru juga dikenal memiliki peran besar dalam mengajarkan serta memperjuangkan agama di tengah masyarakat. Status tuan guru yang mereka miliki, bukan hanya sekedar alat eksistensi diri, melainkan sebuah amanat dan tanggung jawab yang harus dijaga.

Posisi tuan guru di tengah masyarakat sebagai orang yang terhormat akan senantiasa melekat, karena dalam pandangan masyarakat Sasak, agama adalah sesuatu yang begitu penting. Bagi masyarakat Sasak, figur tuan guru sebagai sumber pengetahuan agama dan pengamalan ajaran Islam akan senantiasa diikuti. Salah satu konsekuensi dari hal tersebut adalah, adanya ketergantungan masyarakat yang begitu tinggi kepada para tuan guru, terutama dalam praktek kehidupan mereka. Pada sisi ini, tuan guru tidak lagi dilihat sebagai pengemban dakwah semata, namun mereka juga diharapkan sebagai pemberi solusi bagi

9Lihat, Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren; di Mata Antropolog Amerika, Terj.

Abdurrahman Mas’ud, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), 146. Lihatjuga , Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 4.

10Tim Penususn dan Penerbit, Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Sejarah Nasional

Indonesia, (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2009), 90.

11Fahrurrozi Dahlan, “Tuan Guru Antara Idealitas Normatif Dengan Realitas Sosial Pada Masyarakat Lombok”, dalam http://wwwhttp://fahrurrozidahlan.blogspot.co.id/tuan-guru-antara-idealitas-normatif.html. asp (05-11-2015).


(14)

4

segenap permasalahan sosial yang acapkali muncul, termasuk dalam proses penyelesaian konflik keagamaan.

Kuatnya keterlibatan tuan guru dalam mengisi kehidupan sosial-keagamaan masyarakat Sasak tentu bukan tanpa alasan. Secara historis, para tuan guru memang begitu banyak menggerakkan masyarakat ke arah kemajuan. Salah satunya bisa dilihat dari berkembangnya ajaran Islam di pulau Lombok, yang tidak bisa dipisahkan dari peran para tuan guru sebagai pelaku utamanya. Selain itu, pada zaman dahulu, para tuan guru telah banyak memimpin masyarakat dalam usaha mengusir penjajahan. Hal ini mengindikasikan, bahwa sosok tuan guru sudah menjadi lokomotif perubahan pada hati sanubari masyarakat Sasak.12 Tidak berlebihan dikatakan bahwa, sukses dan tidaknya suatu usaha, juga banyak bergantung pada pelaksana dari usaha itu sendiri. Dalam konteks ini, bisa dimaknai bahwa, sukses dan tersebarnya misi dakwah pada masyarakat Sasak, tidak terlepas dari peran tuan guru sebagai lakon utamanya.13

T.G.H. Mukhtar Amin adalah salah satu tuan guru yang masih aktif melakukan kegiatan dakwah sampai saat ini di Lombok, khususnya di Kabupaten Lombok Utara. Sekembalinya dari Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan

12

Ketika kerajaan Pejanggik Islam ditaklukkan oleh oleh kerajaan Karangasem yang beragama Hindu pada tahun 1686 M, banyak sekali pemberontakan yang terjadi. Dan kebanyakan yang berperan besar dalam memimpin gerakan tersebut, adalah paratuan guru itu sendiri. Gerakan-gerakan tuan guru yang aktif melakukan pemberontakan inilah yang pada akhirnya memicu Belanda untuk melakukan intervensi, sehingga kerajaan Karangasem bisa dikalahkan pada tahun 1895 M. Adanya perlawanan dari tokoh lokal seperti tuan guru inilah yang kemudian menyadarkan Belanda sebagai penguasa baru, bahwaada kekuatan lokal yang sewaktu-waktu bisa melakukan pemberontakan. Mohammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religious, Refleksi Pemikiran Dan Perjuangan Tuan Guru Haji Muhammad Zaenuddin Abdul Majid 1904-1997, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004), 91.


(15)

5

menuntut ilmu, beliau diminta secara langsung oleh masyarakat untuk mengembangkan dan mengajarkan ajaran Islam. Beliau pun memulai dakwah dan mengajarkan agama Islam mula-mula melalui mushala-mushalla, masjid ke masjid dan lainnya, hingga mendirikan sebuah pondok pesantren dan majlis ta’lim sebagai sarana pendidikan dan tempat mengadakan pengajian.

Selain aktif melaksanakan aktifitas dakwah, T.G.H. Mukhtar Amin juga kerap berhadapan dengan berbagai persoalan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat. Sebagai orang yang dipandang memiliki pengetahuan agama yang cukup, seringkali T.G.H. Mukhtar Amin mendapatkan pengaduan dari berbagai elemen masyarakat. Pengaduan itu pun beragam, baik yang skalanya kecil maupun besar, baik itu menyangkut internal agama Islam, ataupun yang melibatkan agama lain.14

Pada tataran penelitian, ada banyak hal yang bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai seorang tuan guru berperan atau tidak dalam konteks sosial-keagamaan. Salah satunya adalah, dengan melihat bagaimana aktifitas yang dilakukan, dan sejauh mana aktifitas itu bermanfaat bagi struktur sosial. Penelitian ini misalnya, yang berusaha mengkaji mengenai peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan dakwah dan penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara.

14Dalam pengamatan peneliti, keberadaan T.G.H. Mukhtar Amin dalam konteks aktifitas dakwah

bisa dirasakan manfaatnya. Di antaranyaadalah, ia mampu memotivasi masyarakat untuk berhaji, sehinggaada signifikansi peningkatan masyarakat dalam usaha untuk berhaji dari tahun ke tahun. Ia juga sering dijadikan sebagai problem solver (penyelesai masalah) oleh masyarakat dalam menangani persoalan-persoalan keagamaan yang timbul. Contohnya dalam masalah-masalah seputar warisan (fara>id) dan lainnya.


(16)

6

Berbicara mengenai peran seorang tokoh, tentu tidak bisa dipisahkan dari beberapa aspek pokok, diantaranya terkait kedudukan atau status tokoh tersebut di tengah masyarakat. Dalam hal ini, T.G.H. Mukhtar Amin yang menjadi subjek penelitian adalah seseorang yang berkedudukan sebagai anggota MUI Kabupaten Lombok Utara, khusunya pada bidang Divisi Hukum Dan Fatwa. Selain itu beliau juga ikut serta mendirikan sebuah yayasan pendidikan Pondok Pesantren al-Mubasysyirun yang merupakan satu-satunya pondok pesantren yang ada di Desa Pemenang Timur.15

Sebagai tuan guru, T.G.H. Mukhtar Amin adalah tokoh agama yang seringkali menjadi acuan dalam praktik-praktik keagamaan, termasuk dalam penyelesaian konflik keagamaan. Sebagai seorang da’i, dalam menjalankan aktifitas dakwahnya, beliau adalah da’i individu, artinya beliau tidak tergabung dalam kelompok tertentu. Pada konteks ini, beliau bisa dikategorikan sebagai da’i yang tidak terorganisir.16

Menjadikan T.G.H. Mukhtar Amin terkait perannya di tengah masyarakat tertentu (Sasak), adalah sesuatu yang logis menurut peneliti bila dijadikan sebagai objek penelitian. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari peran tuan guru dari awal-awal Islam berkembang di tengah masyarakat Sasak sampai saat ini, masih begitu kuat.

15Kedudukan seseorang atau kedudukan yang melekat padanya dapat terlihat pada kehidupan

sehari-harinya, melalui ciri-ciri tertentu, yang dalam sosiologi dinamakan prestise simbol (status simbol). Ciri-ciri tersebut seolah sudah melekat dan menjadi bagian hidupnya. Di antara ciri-cirinyaadalah cara berpakaian, pergaulan, cara mengisi waktu senggang, memilih tempat tinggal, cara dan corak menghiasi rumah kediaman dan lain sebagainya.Lihat, Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Cet Ke 38, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), 242.

16 Istilah da’wah yang biasanya dilakukan oleh seorang diri biasa dikenal dengan dakwah


(17)

7

Bahkan, lembaga-lembaga pendidikan semisal madrasah adalah salah satu wujud nyata dari peran tuan guru di tengah masyarakat.

Gerak gerik tuan guru dalam konteks sosial-keagamaan selalu menarik untuk diteliti, mengingat tidak semua tuan guru menggunakan pendekatan yang sama dalam menunjukkan peranan mereka sebagai juru dakwah ataupun peran-peran lainnya di tengah masyarakat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, ada beberapaa lasan mengapa peneliti memilih T.G.H. Mukhtar Amin sebagai subjek penelitian.

Pertama, beliau adalah orang yang diakui sebagai tuan guru oleh masyarakat. Artinya, julukan tuan guru bukanlah embel pribadi, melainkan sebuah konstruksi makna yang memang dibangun oleh masyarakat itu sendiri untuk mereka yang layak digelari demikian.

Kedua, secara keilmuan, beliau menjadi referensi umat dalam menyelesaikan masalah-masalah keagamaan, mengingat posisi beliau sebagai anggota MUI Kabupaten Lombok Utara. Dan yang tak kalah penting adalah, beliau melakukan banyak sekali aktifitas dakwah, sebagai wujud tanggung jawab beliau sebagai seorang pioner umat.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada beberapa permasalahan yang bisa muncul, sehingga peneliti perlu melakukan identifikasi agar terformat secara sistematis, diantaranya :


(18)

8

1. Bagaimana peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan dakwah

di Lombok Utara?

2. Bagaimana peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara?

3. Bagaimana metode T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan

dakwah di Lombok Utara?

4. Bagaimana pendekatan T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan

dakwah di Lombok Utara?

5. Apa faktor pendukung dan penghambat T.G.H. Mukhtar Amin dalam mentranformasikan nilai dakwah Islam dan menyelesaikan konflik keagamaan di Lombok Utara?

6. Bagaimana manajemen T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan

dakwah dan penyelesaian konflik di Lombok Utara?

7. Bagaimana pengaruh aktifitas dakwah T.G.H. Mukhtar Amin terhadap pola hidup masyarakat Sasak Lombok Utara?

8. Apakah kedudukan T.G.H. Mukhtar Amin berpengaruh masyarakat

keberhasilan dakwah dan penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara?

Banyaknya identifikasi masalah yang muncul dalam penelitian ini tentu tidak bisa dikupas pada satu penelitian saja, mengingat, beberapa identifikasi masalah di atas juga membutuhkan kajian tersendiri untuk menemukan


(19)

9

jawabannya. Oleh karena itu, perlu diberikan batasan penelitian sehingga diperoleh hasil yang maksimal.

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal maka, penelitian ini dibatasi pada, bagaimana peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan dakwah dan penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara. Adapun batasan masalah terkait peran pengembangan dakwah, akan dikaji berdasarkan metode dalam aktifitas dakwahnya. Sedangkan pada konteks perannya dalam penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara, akan dibatasi pada konflik yang berkaitan langsung dengan konteks sosial keagamaan atau konflik lain yang melibatkan unsur agama, serta bagaimana metode penyelesaian konflik keagamaan yang digunakan olehnya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada indentifikasi dan batasan masalah di atas maka, untuk memperjelas masalah tersebut, akan dirinci kepada rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan

dakwah di Lombok Utara?

2. Bagaimana peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara?

D. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permaslahan yang telah peneliti uraikan, maka tujuan penelitian ini adalah:


(20)

10

1. Untuk menjelaskan peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan dakwah di Lombok Utara.

2. Untuk menjelaskan peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara

E. Kegunaaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoretis

a. Untuk meningkatkan khazanah intelektual mahasiswa Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, terutama sekali yang berkonsentrasi pada Progran Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

b. Untuk menambah wawasan dan bahan kajian Mahasiswa

Komunikasi dan Penyiaran Islam, terutama yang bersentuhan aktifitas dakwah.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi para praktisi dakwah (da’i) dalam mensyi’arkan ajaran Islam di tengah masyarakat.

F. Penelitian Terdahulu

Menjadikan tokoh (termasuk tokoh agama seperti, ulama, kyai, da’i, termasuk tuan guru) sebagai objek penelitian, terutama yang berkaitan dengan peran dakwah, pemikiran dakwah, dan metode dakwah, bukanlah hal baru di


(21)

11

dalam dunia akademis. Tak heran, jika kemudian banyak para penulis ataupun peneliti yang menjadikannya sebagai objek kajian, terutama bagi mereka yang bergelut di dalam dunia pendidikan. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurun Naimah.17

Ada dua permaslahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu, (1) bagaimana metode pengobatan K.H Ahmad Rosyidi dalam menangani santri abnormal di Pondok Pesantren Nailul Falah Wonoanyar Wonorejo Pasuruan? Dan (2) bagaimana implikasi pengobatan KH. Ahmad Rosyidi terhadap kegiatan dakwah?

Dari penelitian yang dilakukannya tersebut, menghasilkan kesimpulan bahwa ada beberapa metode pengobatan yang dilakukan oleh KH Ahmad Rosyidi, yakni pra terapi, proses terapi dan pasca terapi. Pra terapi ini terdiri dari penyiapan tempat bagi santri yang abnormal, kemudian membagi mereka ke dalam klasifikasi abnormal ringat, sedang dan berat. Adapun untuk implikasi dakwahnya sudah berlangsung selama proses pengobatan berlangsung. Hal tersebut bisa diamati dari praktek-praktek pengobatan yang dilalui. Penelitian ini menggunakan metede kualitatif.

Selanjutnya ada juga penelitian (skripsi) yang dilakukan oleh Dwi Ismiyati yang meneliti tentang “Dakwah KH. Noer Muhammad Iskandar: Studi Metode Dan Media”.18

17Nurun Naimah, “Dakwah Pesantren; Studi Metode Pengobatan Kyai H. Ahmad Rosyidi dalam menangani Santri Abnormal di Pondok Pesantren Nailul Falah Wonoanyar Wonorejo Pasuruan” (Tesis UIN Sunan Ampel, Surabaya 2012).

18

Dwi Ismiyati “Dakwah KH. Noer Muhammad Iskandar: Studi Metode Dan Media” dalam http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/85/jtptiain-gdl-dwiismiyat-4238-1-skripsi-p.pdf, asp (05-11-2015), 7.


(22)

12

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan bersifat kualitatif deskriptif. Sedangkan dalam hal analisis data, Dwi menggunakan metode analisis data kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan analisis data-data yang telah tersaji secara keseluruhan. Dwi dalam penelitiannya menggolongkan KH. Noer Muhammad Iskandar sebagai seorang ulama yang mengalami transformasi dua generasi, yakni salaf dan modern. Ini bisa dilihat dari upaya beliau dalam menggabungkan dua terminologi generasi tersebut. Misalnya,dari sistem pengajaran di Pesantren Ash-Shiddiqiyyah yang tidak hanya mengajarkan kitab-kitab klasik (salaf ) namun juga mengajarkan ilmu-ilmu modern (formal) di sekolah formal yang berada di bawah naungan pesantren Ash-Shiddiqiyyah.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Luluk Fikri Zuhriyah19 yang mengkaji pemikiran Nurcholish Majid tentang teknik dakwah dialogis sebagai sebuah metode dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan keagamaan di tengah-tengah pluralitas dan eksklusivisme negatif masyarakat Indonesia. Luluk mengidentifikasikan penelitiannya ke dalam dua kelompok. Pertama, seputar pemikiran Nurcholish Majid terhadap kerukunan hidup beragama di Indonesia, yang berorientasi pada pluralisme dan titik temu agama-agama. Kedua, adalah persoalan solusi terkait problematika kerukunan antar umat beragama di Indonesia melalui teknik dakwah dialogis.

19Luluk Fikri Zuhriyah, Dakwah Di Tengah Masyarakat Pluralis: Telaah Teknik Dakwah Dialogis


(23)

13

Penelitian tokoh juga dilakukan oleh Moch. Choirul Arif20, yang mengkaji tentang dakwah dalam persfektif KH. Abdul Wahid Hasyim yang dikenal dengan istilah penerangan Islam pada saat itu. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa, target terbesar dari dakwah Islam adalah terciptanya masyarakat Islam dengan menerapkan nilai Islam sebagai pola kehidupannya. Tetapi, KH. Abdul Wahid Hasyim melihat hal tersebut sulit diwujudkan. Menurut beliau penyebabnya beragam, di antaranya adalah, ketidakjelian da’i dalam membaca “realitas objek umat”, sehingga pesan dakwah yang disampaikan seringkali tidak efektif. Selain itu menurut beliau, kurangnya koordinasi antar lembaga dakwah juga menjadi faktor penting terkait kurang mengenanya pesan dakwah kepada umat. KH. Abdul Wahid Hasyim kemudian menawarkan sebuah solusi pemikiran bahwasanya, seorang da’i harus tau betul prinsip-prinsip dakwah Rasulullah, yang bermuara pada rasionalitas pesan dakwah, serta adanya prinsip persaudaraan manusia. Dengan begitu, pengembangan dakwah makin mampu ditingkatkan, supaya pesan dakwah lebih mengena kepada umat.

Berbeda dengan beberapa penelitian di atas, penelitian ini tetap menjadikan tokoh agama (tuan guru) sebagai objek penelitian, tetapi lebih dispesifikkan lagi pada peranan dakwah. Penelitian ini lebih kepada keterkaitannya dengan penyebaran ajaran Islam pada konteks masyarakat tertentu, dan bagaimana dakwah tersebut berpengaruh bagi kehidupan masyarakat.

20Moch. Choirul Arif, Dakwah Dalam Persfektif KH. Abdul Wahid Hasyim, Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 4, No 1, April 2001: 41-48.


(24)

14

Jika diklasifikasikan, ada beberapa perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu di atas. Misalnya dari segi lokasi penelitian, pendekatan yang digunakan serta rumusan masalah yang dipaparkan.

Berikut perbandingan hasil penelitian tentang studi tokoh yang berkaitan dengan dakwah, yakni:

No Nama Peneliti Tahun Judul Hasil Penelitian

1. Nurun Naimah 2012 Dakwah Pesantren;

Studi Metode Pengobatan Kyai H. Ahmad Rosyidi dalam Menangani Santri Abnormal di Pondok Pesantren Nailul Falah Wonoanyar

Wonorejo Pasuruan

Dari penelitian yang dilakukannya tersebut, menghasilkan

kesimpulan bahwa ada beberapa metode pengobatan yang dilakukan oleh KH Ahmad Rosyidi, yakni pra terapi, proses terapi dan pasca terapi. Pra terapi ini terdiri dari penyiapan tempat bagi santri yang abnormal, kemudian membagi mereka ke dalam klasifikasi abnormal ringat, sedang dan berat. Adapun untuk implikasi dakwahnya sudah berlangsung selama proses pengobatan berlangsung. Hal tersebut bisa diamati dari praktek-praktek pengobatan yang dilalui. Penelitian ini

menggunakan metede kualitatif.

2 Dwi ismiyati 2015 Dakwah KH. Noer

Muhammad Iskandar: Studi Metode Dan Media

Dwi dalam penelitiannya

menggolongkan KH. Noer Muhammad


(25)

15

Iskandar sebagai seorang ulama yang mengalami transformasi dua generasi, yakni salaf dan modern. Ini bisa dilihat dari upaya beliau dalam

menggabungkandua terminologi generasi tersebut. Misalnya,dari sistem pengajaran di Pesantren

Ash-Shiddiqiyyah yang tidak hanya mengajarkan kitab-kitab klasik (salaf ) namun juga

mengajarkan ilmu-ilmu modern (formal) di sekolah formal yang berada di bawah

naungan pesantren Ash-Shiddiqiyyah

3 Luluk Fikri Zuhriyah

2003 Dakwah di Tengah

Masyarakat Pluralis: Telaah Teknik Dakwah Dialogis atas Pemikiran Nurcholish Majid

Luluk Fikri Zuhriyah yang mengkaji

pemikiran Nurcholish Majid tentang teknik dakwah dialogis sebagai sebuah metode dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan

keagamaan di tengah-tengah pluralitas dan eksklusivisme negatif masyarakat Indonesia. Luluk

mengidentifikasikan penelitiannya ke dalam dua kelompok. Pertama, seputar pemikiran Nurcholish Majid terhadap kerukunan hidup beragama di Indonesia, yang


(26)

16

berorientasi pada pluralisme dan titik temu agama-agama. Kedua, adalah persoalan solusi terkait

problematika kerukunan antar umat beragama di Indonesia melalui teknik dakwah dialogis

4. Moch. Choirul

Arif

2001 Dakwah dalam

persfektif KH. Abdul Wahid Hasyim

Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa, target terbesar dari dakwah Islam adalah terciptanya masyarakat Islam dengan

menerapkan nilai Islam sebagai pola

kehidupannya. Tetapi, KH. Abdul Wahid Hasyim melihat hal tersebut sulit

diwujudkan. Menurut beliau penyebabnya beragam, di antaranya adalah, ketidakjelian da’i dalam membaca “realitas objek umat”, sehingga pesan dakwah yang disampaikan seringkali tidak efektif. Selain itu menurut beliau, kurangnya koordinasi antar lembaga dakwah juga menjadi faktor penting terkait kurang

mengenanya pesan dakwah kepada umat. KH. Abdul Wahid Hasyim kemudian menawarkan sebuah solusi pemikiran bahwasanya, seorang da’i harus tau betul


(27)

17

prinsip-prinsip dakwah Rasulullah, yang bermuara pada rasionalitas pesan dakwah, serta adanya prinsip persaudaraan manusia. Dengan begitu, pengembangan dakwah makin mampu

ditingkatkan, supaya pesan dakwah lebih mengena kepada umat. Tabel 1.1

G. Sistematika Pembahasan

Dalam penyusunan tesis ini, penulis membagi pembahasan ke dalam beberapa bab. Dan tiap-tiap bab dibagi atas beberapa sub, yang mana isi antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dengan maksud agar mudah dipahami. Adapun sistematika pembahasan tesis ini adalah sebagai berikut:

Bab Pertama Pendahuluan. Bab ini memuat latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan maslah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua Tinjauan Umum. Bab ini membahas tinjauan pustaka yang berkaitan dengan teori peran dan konsep dakwah, peran ulama, konflik dan resolusi konflik keagamaan, kedudukan tuan guru pada masyarakat Sasak serta kerangka teoretik.

Bab Ketiga. Bab ini memuat tentang metode penelitian, yang mencakup jenis penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan pendekatan penelitian.


(28)

18

Bab Keempat Hasil Penelitian. Bab ini memaparkan data yang didapatkan di lapangan terkait kondisi obyektif Lombok Utara dan Suku Sasak, serta temuan yang berkaitan dengan peran T.G.H. Muhktar Amin dalam pengembangan dakwah dan resolusi konflik, untuk kemudian dilakukan analisis data, guna melihat bagaimana perannya terhadap perngembangan dakwah dan penyelesaian konflik keagamaan di tengah masyarakat.

Bab Kelima Penutup. Bab ini memuat kesimpulan, implikasi teoretik, keterbatasan studi, dan rekomendasi. Bagian akhir yang memuat daftar pustaka, pedoman wawancara, daftar riwayat pendidikan penulis dan lampiran-lampiran.


(29)

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Epistimologi keilmuan dakwah harus senantiasa dikembangkan

berdasarkan konteks dan perkembangan keilmuan. Untuk menunjang upaya tersebut, perlu dilakukan kajian-kajian tentang dakwah yang sifatnya operasional dan fungsional. Oleh karena itu, bab ini secara khusus membahas format yang ideal mengenai konsep-konsep dan definisi-defini yang berkaitan langsung dengan peran, pengembangan dakwah, penyelesaian konflik serta definisi tuan guru, agar kajian ini mampu memberikan pemahaman yang holistik terkait peran T.G.H. Mukhtar Amin dalam pengembangan dakwah dan penyelesaian konflik keagamaan di Lombok Utara.

Untuk memudahkan pemahaman terhadap judul dari penelitian ini, maka akan dipaparkan beberapa konsep terkait judul di atas. Di antara konsep yang dimaksud adalah:

A. Kedudukan (Status) dan Peranan Sosial (SocialRole)

1. Kedudukandan Cara Masyarakat Mengembangkannya

Selo Soemardjan, sebagaimana dikutif Soerjono menyatakan bahwa, dalam teori-teori sosiologi yang membicarakan tentang lapisan masyarakat, maka kedudukan (status) dan peranan (role) adalah unsur utamanya.1 Keduanya merupakan unsur baku di dalam lapisan masyarakat, serta memiliki makna


(30)

20

penting bagi sistem sosial.2 Terdapat hubungan timbal balik di dalamnya, di mana kedudukan dan peranan individu mempunyai arti yang penting. Hal ini didasarkan pada, terciptanya sebuah masyarakat yang langgeng, tidak terlepas dari adanya keseimbangan kepentingan antar individu-individu pada masyarakat itu sendiri.

Ralp Linton sebagaimana dikutif Soerjono menegaskan bahwa, secara abstrak, kedudukan berarti tempat seseorang dalam suatu pola tertentu. Pengertian ini menegaskan bahwa, semakin banyak seseorang menempati pola tertentu dalam masyarakat, juga berpengaruh pada beberapa kedudukan yang ia dapat, terutama jika mengacu pada kerangka masyarakat secara menyeluruh.3 Bahkan menurut Koentjaraningrat, suatu saat, seorang individu bisa saja berada dalam suatu keadaan dimana ia bertindak dalam tiga bahkan sampai empat kedudukan sekaligus, dan ia harus memerankan kedudukan itu dalam satu waktu tertentu.4

Soerjono menyatakan, sekurang-kurangnya ada dua macam kedudukan yang dikembangkan oleh masyarakat, yakni:5

a. Ascribrd Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Dalam hal ini Sorjono mencontohkan misalnya dengan kedudukan bangsawan yang didapatkan oleh anak yang memang memiliki orang tua bangsawan. Dan umumnya, ascribed status biasa terjadi pada

22 Menurut Soerjono, yang dimaksud dengan sistem sosial adalah pola-pola yang berfungsi

mengatur hubungan timbal balik antar individu dalam masyarakat, ataupun antara individu dengan masyarakat. Ibid.

3Ibid., 240.

4Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Ed, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), 139. 5 Soerjono, Sosiologi Suatu…, 240.


(31)

21

masyarakat-masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup dan feodal.

Achieved Status, adalah kedudukan yang dicapai oleh seseorang melalui usaha-usaha yang memang disengaja. Kedudukan seperti ini tidak diperoleh melalui kelahiran, melainkan bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung pada kemampuan setiap orang untuk mendapatkan tujuan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, bisa disimpulkan bahwasanya, dalam konteks kehidupan sosial, faktor-faktor pengetahuan dan pendidikan serta faktor lainya, begitu berpengaruh terhadap kedudukan seseorang. Faktor pendidikan misalnya, orang yang berstatus sarjana tentu akan dilihat secara berbeda oleh masyarakat dengan orang yang hanya tamatan SD, selama si sarjana tadi memang berprilaku selayaknya seorang sarjana.

Mungkin memang sudah menjadi sesuatu yang alamiah terjadi, bahwasanya masyarakat cenderung memberikan imbalan (reward), terhadap orang-orang yang memang memiliki kelebihan dari yang lain. Termasuk dengan memberikan gelar-gelar tertentu, penghormatan-penghormatan tertentu, bahkan bentuknya bisa beragam, misalnya seperti pemberian pangkat, kedudukan, atau bahkan jabatan tertentu di tengah masyarakat.


(32)

22

2. Peranan dan Hubungannya dengan Status

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “peran” bisa bermakna sebagai

sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan tertentu.6 Lebih

lengkapnya, menurut Biddle dan Thomas, peran bisa didefinisikan sebagai suatu rumusan yang berfungsi untuk membatasi prilaku-prilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu.7 Contohnya dalam institusi keluarga, seorang ibu diharapkan bisa member nasehat, motivasi, arahan, anjuran dan bahkan sangsi tertentu, dan hal lain yang berkaitan dengan perannya.

Kata yang memiliki kesamaan makna dengan “peran” adalah “peranan”. Keduanya menunjukkan arti adanya sebuah status tertentu, dan status tersebut diperankan seperti apa di tengah masyarakat.8 Dalam konteks agama misalnya, seorang tokoh agama diharapkan bisa berperan aktif dalam memberikan pesan-pesan agama yang dapat mempersuasi umat agar semakin mendekatkan diri kepada tuhannya. Selain itu, mereka juga diharapkan mampu berperan dalam memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan sosial keagamaan di tengah masyarakat.

Pada dasarnya setiap orang memiliki beragam peranan yang berasal dari pola interaksi dan pergaulan di tengan masyarakat. hal ini mengindikasikan bahwa peranan sebenarnya begitu berkaitan dengan kesempatan apa yang diberikan oleh

6W.J.S Poerwadarminta, Kamus BesarBahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1985), 735.

Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Popular, peran dimaknai sebagai “laku, hal berlaku, atau bertindak. Pius A. Partanto & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Popular, (Yogyakarta: 2001), 585.

7Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2000), 224.


(33)

23

masyarakat, dan apa yang diperbuatnya dari kesempatan yang diberikan masyarakat kepadanya.9

Setiap orang barangkali memiliki sejumlah status dan diharapkan mengisi peran sesuai dengan status itu. Artinya, status dan peran adalah dua aspek dari gejala yang pada dasarnya sama. Pembedaan terhadap keduanya hanya sebatas kepentingan pengetahuan.10 Status bisa dimaknai sebagai seperangkat hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah bagaimana proses pemeranan dari seperangkat kewajiban dan hak-hak tersebut.11

Peranan sosial merupakan suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu sebagai upaya untuk menjalankan hak dan kewajibannya berdasarkan status yang diemban. Seseorang bisa disebut berperan jika ia telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya dalam masyarakat. Apabila seseorang memiliki status sosial tertentu dalam masyarakat, maka selanjutnya ada kecenderungan akan timbul suatu harapan-harapan baru dari masyarakat itu sendiri kepada yang memiliki status.12

Timbulnya harapan-harapan tersebut, menyebakan seseorang akan bersikap dan bertindak atau berusaha untuk mencapainya dengan cara dan kemampuan yang dimiliki. Oleh sebab itu, peranan bisa juga didefinisikan sebagai kumpulan-kumpulan dari berbagai keinginan dan harapan yang terencana. Atas dasar definisi tersebut maka, bisa disimpulkan bahwasanya peranan dalam kehidupan

9Ibid. 10Ibid., 243. 11Ibid., 119


(34)

24

masyarakat adalah sebagai aspek dinamis dari status.13 Hal inilah yang kemudian ditegaskan oleh Soerjono, bahwa sesorang yang telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dengan sendirinya dia telah menjalankan suatu peranan. Pembedaan keduanya menurut Soerjono, tak lain hanyalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata.14

B. Peran Ulama dalam Pengembangan Dakwah 1. Dakwah Antara Peran dan Proses

Al-Qur’an secara normatif telah menjelaskan bagaimana penempatan antara penempatan dakwah dalam konteks peran dan prosesnya di masyarakat.15 Surat al-Ahzab ayat 45-46.16 Menurut Asep Saeful, Ayat tersebut sekurang-kurangnya mengandung lima peran dakwah:17

a. Dakwah berperan sebagai sya>hidan. Dalam hal ini dakwah adalah saksi dan bukti dari ketinggian serta kebenaran ajaran Islam, berdasarkan pada keteladanan yang diperankan oleh para pemeluknya. Pada konteks ini, dakwah dituntut untuk memberikan kesaksian kepada umat tentang masa depan yang akan dilalui serta masa lalu yang bisa menjadi pelajaran terkait kemajuan dan kehancuran suatu umat karena perilaku yang mereka perankan.

13 Ibid.

14

Ibid., 243.

15Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an & Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota

Surabaya, 1989), 675.

16Asep Saipul Muhtadi & Agus Ahmad Safei, Metode Penelitian Dakwah, (Bandung: CV Pustaka

Setia, 2003), 17.


(35)

25

b. Dakwah berperan sebagai mubashshiran. Dakwah dalam hal ini beperan

sebagai penggembira bari bagi umat yang meyakini kebenarannya. Dengan dakwah, orang bisa saling memberi kabar gembira satu dengan yang lain, sekaligus saling berbagi solusi dan motivasi dalam menjalani kehidupan. c. Dakwah berperan sebagai nazdi>ran. Seiring dengan perannya sebagai

pemberi dan pembawa kabar gembira, dakwah juga berperan sebagai pemberi peringatan. Dalam hal ini, dakwah akan senantiasa memberi peringatan kepada umat manusia, terutama umat muslim untuk senantiasa mengingat Allah dan tidak terjebak dalam kesesatan.

d. Dakwah berperan sebagai da’iyan ilalla>h. Dakwah dalam hal ini bak panglima yang berusaha untuk memelihara keutuhan umat sekaligus membina umat sesuai idealisasi peradaban yang dikehendaki. Proses rekayasa sosial berlangsung dalam keteladan kepribadian, dan senantiasa teguh memegang pesan-pesan dakwah.

e. Dakwah berperan sebagai sira>janmuni>ra. Sebagai bentuk akumulasi dari peran-peran dakwah sebelumnya, dakwah juga memiliki peran sebagai pemberi cahaya yang menerangi kegelapan sosial atau kondisi spiritual yang tandus. Ia diharapkan menjadi penyejuk ketika umat berhadapan dengan masalah yang selalu melilit kehidupan manusia.

Sedangkan dakwah sebagai sebuah proses adalah hal yang berkaitan langsung dengan bagaimana dakwah itu dilakukan. Baik itu melalui tabligh dan sebagainya.


(36)

26

2. Ulama dan Tugasnyadi Masyarakat

Kata ulama secara harfiah hanya disebutkan sebanyak dua kali di dalam al-Qur’an. Pertama, pada QS. As-Shuara ayat 197. Dalam ayat ini kata “ulama” berarti ahli-ahli ilmu yang berasal dari orang-orang Bani Isra’il (kelompok Yahudi dan Nashrani) yang meragukan kandungan al-Qur’an. Ayat tersebut terletak antara ayat 192 sampai dengan 220. Ayat ini umumnya berisi tentang proses dan sifat penurunan al-Qur’an oleh malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab, dan mengapa tidak dengan bahasa kaum mereka, yakni bahasa Ibrani.

Sifat ulama selanjutnya adalah senantiasa rendah hati terhadap orang yang mengikutinya untuk beriman, serta bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang menentangnya.18

Aktualisasi dan transformasi nilai-nilai Islam dewasa ini adalah sebuah tugas yang sangat berat untuk direalisasikan.19 Dalam keadaan seperti ini, ada empat beban besar yang berkaitan dengan umat yang dipikul oleh para ulama:20

a. Ulama harus berperan pengawal ajaran Islam. Pengawalan dalam konteks

ini paling tidak dilakukan dari dua kelompok, yaitu:

• Para pendusta ajaran Allah. Kelompok ini banyak dijelaskan di dalam ayat-ayat al-Qur’an seperti QS. Ali Imra>n ayat 11.21 Selain

18Lihat, Ahmad Anas, Paradigm Dakwah Kontemporer: Aplikasi Teoritis Dan Praktis Dakwah

Sebagai Solusi Problematika Kekinian, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006), 98.

19Ahmad Anas, Paradigm Dakwah Kontemporer: Aplikasi Teoritis Dan Praktis Dakwah Sebagai

Solusi Problematika Kekinian, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006), 104.

20Ibid., 105

21Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an & Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota


(37)

27

itu ada juga para pendusta seperti yang dijelaskan dalam QS. Az-Zuma>r ayat 59.

• Selanjutnya, adalah melakukan “pengawalan” terhadap ajaran Islam dari kelompok kedua, yakni orang-orang yang berpaling dari ajaran agama Islam. Hal ini misalnya bisa dilihat dari firman Allah QS. al-Maidah ayat 92.22

b. Ulama berperan sebagai juru bicara aspirasi dan kepentingan umat Islam. Peran ini meliputi aspirasi terutama bidang ekonomi dan politik.

c. Sebagai rujukan umat dalam mengatasi persoalan yang dihadapi umat.

Peran ini sendiri adalah implementasi dari perintah Allah dalam QS. An-Nahl ayat 43.23

Selain itu, jika umat bertanya tentang suatu persoalan, maka ulama wajib memberikan keterangan-keterangan sebagai jawaban-jawaban segala persoalan dengan merujuk kepadaal-qur’an dan sunah yang dibawa nabi, sebagaimana yang termuat dalam QS. An-Nahl ayat 44:

d. Peran keempat adalah sebagai integrator umat yang diharapkan mampu

menyatukan seluruh potensi umat. Dalam hal ini Allah Swt sudah mengisyaratkan tentang manusia yang pada awalnya adalah umat yang satu. Akan tetapi, pada akhirnya manusia banyak yang berselisih. Berkaitan

22Ibid., 177 23Ibid.


(38)

28

dengan hal ini, peran ulama begitu diharapkan untuk menyatukan mereka kembali.24

Arti penting dari pola integrasi antar berbagai potensi umat itu menurut Ahmad Anas sekurang-kurangnyaada tiga, yakni:25

1) Mengangkat otoritas sebagai umat yang menunjukkan kepada yang

hak.26

2) Menjadikan diri sebagai umat yang terbaik, mencapai cita-cita umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.27

3) Menjadikan diri sebagai umat teradil yang dipilih oleh Allah swt untuk menjadi saksi atas perbuatan manusia.28

3. Ulama dan UpayaPengembangan Dakwah di Masyarakat

Moh Ali Aziz memberikan sebuah ilustrasi menarik dalam bukunya “Ilmu Dakwah”, yang berkaitan dengan upaya penyebaran dakwah. Ia mengilutrasikan upaya penyebaran dakwah ibarat sebuah iklan makanan yang dipajang pada sebuah restoran. Ia misalnya mencontohkan dengan iklan di sebuah restoran Jakarta, “Jika anda puas, beritahukan kepada rekan Anda. Jika tidak puas, beritahukan kepada kami. Berdasarkan iklan di atas, menurut Ali Aziz, kepuasan pengunjung bukan hanya diukur dari menu dan kualitas makana, melainkan juga ditentukan oleh tehnik pelayanan.29

24(QS. Al-Baqarah: 213 dan QS. Yunus: 19). 25Ahmad Anas, Paradigm Dakwah…, 106. 26(QS. al-A’raf: 181).

27(QS. Ali-Imran: 110). 28(QS. al-Baqarah: 143). 29Ali Aziz, Ilmu…, 345.


(39)

29

Dakwah juga tak ubahnya strategi pemasaran seperti ilustrasi di atas. Dakwah juga memasarkan sebuah ideologi. Ajaran yang baik dan benar, perlu juga didukung dengan proses pengembangan dan pengajaran yang benar. Dakwah, walaupun mengemban misi kebaikan, tetapi jika tidak dikemas dengan bai, akan sulit diterima oleh mad’u. Dengan demikian, ungkapan Ali Aziz tentang pelayanan lebih strategis daripada produk, adalah sesuatu yang perlu dipertimbangkan dalam konteks penyebaran dan pengembangan dakwah.

Ulama, yang dikenal dalam Islam sebagai kelompok elit yang memiliki pengetahuan luas, juga perlu mengemas dan mencermati bagaimana seharusnya pengembangan dakwah ditempuh agar bisa diterima oleh mad’u yang heterogen. Mereka harus mampu membaca realitas mad’u, agar ilmu mereka yang tinggi, mampu disampaikan bukan dengan skala standar mereka, melainkan harus sesuai dengan realitas mad’u itu sendiri.

Untuk merealisasikan hal tersebut, berikut diuraikan beberapa metode yang juga berkaitan langsung dengan istilah-istilah lain, sehingga bisa menjadi pedoman pengembangan dakwah bagi segenap juru dakwah, tak terkecuali para ulama. Berikut beberapa istilah terkait yang dimaksud, yakni pendekatan (approach), strategi (strategy), metode (method), teknik (technique), dan taktik (tactic).30

Menurut Ali Aziz, istilah-istilah di atas memiliki kemiripan makna, sehingga untuk mencari perbedaannya secara jelas agak sulit. Namun, jika


(40)

30

istilah tersebut diurutkan, maka secara garis besar, pendekatan merupakan langkah awal dalam konteks berdakwah.31 Pendekatan bisa bermakna, sebagai sebuah sudut pandang dalam memahami persoalan tertentu. Pendekatan pada akhirnya melahirkan strategi, yakni akumulasi dari semua cara untuk mencapai tujuan. Strategi kemudian membutuhkan metode, dan metode membutuhkan tehnik, yang mengacu kepada cara yang lebih spesifik dan bersifat operasional. Selanjutnya tehnik membutuhkan taktik, yang juga lebih spesifik daripada tehnik.

Lebih jelasnya berikut diuraikan secara singkat beberapa makna istilah-istilah yang berkaitan dengan upaya penyebaran dakwah di atas:32

a. Pendekatan Dakwah

Pendekatan dakwah bisa dimaknai sebagai sudut pandang terhadap dakwah. Ali Aziz mengutip pendapat Sjahudi Siradj, bahwasanya pendekatan dakwah itu ada tiga, yakni pendekatan budaya, pendekatan pendidikan, dan pendekatan psikologis. Sebuah pendekatan dakwah bisa juga didasarkan kepada bidang kehidupan sosial kemasyarakatan.33 Pendekatan umumnya didasarkan pada kondisi mitra dakwah, segenap atribut yang digunakan dalam dakwahpun cenderung menyesuaikan dengan kondisi mitra dakwah

Secara umum, pendekatan dakwah bisa disederhanakan menjadi dua poin utama, yakni pendekatan dakwah struktural dan pendekatan dakwah kultural. Pendekatan dakwah struktural lebih mengarah kepada jalur-jalur pilitik sebagai

31Ibid., 347. 32Ibid. 33Ibid., 347.


(41)

31

haluannya, sedangkan pendekatan dakwah kultural lebih mengarah kepada membangun moral masyarakat melalui kultur mereka. Selain itu, ada juga pendekatan dakwah berdasarkan keterlibatan semua aspek dakwah di dalamnya yakni pendekatan dakwah yang Terpusat Pada Pendakwah (menyesuaikan dengan kemampuan pendakwah) dan pendekatan dakwah yang Terpusat Pada Mitra Dakwah (pendakwah yang cocok bagi mitra dakwah pada tipologi tertentu).

b. Strategi Dakwah

Strategi dakwah adalah perencanaan yang mengandung muatan kegiatan yang didesain secara khusus guna mencapai tujuan tertetu. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam strategi dakwah yakni:

• Strategi merupakan rencana tindakan (kegiatan dakwah) yang di

dalam terdapat penggunaan metode serta pemanfaatan segenap sumber daya yang ada. Indikasinya, strategi hanyalah proses penyususnan rencana kerja, dan belum sampai pada tindakan.

• Strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu, sehingga arah dari sebuah penyusunan strategi haruslah mengacu pada pencapaian tujuan. Wina Sanjaya memaparkan seperti dikutip Ali Aziz, bahwa sebelum sebuah strategi disusun, rumuskanlah terlebih dahulu tujuan yang yang jelas serta bisa diukur keberhasilannya.34

c. Metode dan Teknik Dakwah


(42)

32

Setelah menyusun strategi, maka hal yang diperlukan selanjutnya adalah metode. Jika strategi merujuk kepada sebuah perencanaan untuk menggapai tujuan, maka metode adalah cara yang bisa dilakukan untuk menjalankan strategi. Dan dalam penerapan metode biasanya dibutuhkan beberapa teknik.

Sebelum membahas secara utuh bagaimana metode dakwah, maka yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah, apa saja bentuk-bentuk dakwah itu sendiri. Secara garis besar, ada tiga bentuk dakwah, yakni: Dakwah Lisan (da’wah bi al-lisa>n), Dakwah Tulis (dak’wah bi al-qalam), Dakwah Tindakan (da’wah bi al-ha>l).35

1. Dakwah bi al-Lisa>n

Secara substantif, kata “dakwah” berasal dari bahasa Arab yang berarti, panggilan, seruan, dan ajakan. Dalam term Ilmu Nahwu, kata “dakwah” adalah bentuk masdar dari kata awal, “da’a-yad’u-da’watan”, yang berarti upaya memanggil, menyeru, dan mengajak manusia ke jalan Allah. Orang yang berdakwah disebut dengan istilah da’i, sedangkan orang yang menjadi sasaran dakwah disebut dengan istilah mad’u.36 Sedangkan kata lisan, dalam bahasa Arab berarti “bahasa”. Maka da’wah bi al-lisa>n bisa diartikan sebagai upaya

35Ibid.,359.

36Secara garis besar da’i bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, secara umum, adalah setiap

muslim dan muslimat yang mukallaf (dewasa). Bagi mereka, kewajiban dakwah merupakan sesuatu yang melekat, dan tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam. Kedua, secara khusus adalah mereka yang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu dalam Islam. Umumnya mereka ini adalah orang-orang yang dikenal dengan ulama, kyai, ataupun tuan guru.Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah…, 19.


(43)

33

penyampaian pesan dakwah melalui lisan, baik berupa ceramah atau komunikasi antara da’i dan mad’u. 37

Dalam menyampaikan pesan dakwah, da’i harus berbicara dengan gaya bahasa yang berkesan, menyentuh dan komunikatif. Bahasa lisan yang harus digunakan dalam berdakwah yaitu perkataan yang jujur, solutif terhadap permasalahan yang dihadapi mad’u, menyentuh kalbu, santun, menyejukan dan tidak provokatif serta tidak mengandung fitnah.

Bahasa dakwah yang digambarkan dalam al-Qur’an, yakni tegas dalam menetapkan urusan, dan halus cara penyelesaiannya. Pemilihan kata-kata yang tepat ketika berdakwah, diklasifikasikan al-Qur’an dalam beberapa bentuk sesuai dengan siapa mad’u yang dihadapi,diantaranya:

a. Qaulan Balighan (perkataan yang membekas pada jiwa).38

Menyampaikan pesan dakwah di hadapan orang-orang munafik diperlukan bahasa yang bisa mengesankan dan membekas pada hati mereka, sebab dihatinya banyak dusta, khianat serta ingkar janji. Da’i sebagai komunikator dituntut agar mampu berbicara yang efektif dalam menyampaikan pesan dakwahnya agar tepat mengenai sasaran.

37Sholeh, Sosiologi…, 25., 24. 38(QS.An-Nisa>: 63).


(44)

34

b. Qaulan Layyinan (perkataan yang lembut).39

Pesan dakwah yang disampaikan kepada penguasa yang dzalim dan kejam hendaknya dengan lembut karena jika dilakukan dengan perkataan yang keras dan lantang akan memancing respon yang lebih keras dari mereka. c. Qaulan Ma’ru>fan (perkataan yang baik).40

Adalah perkataan atau ungkapan yang pantas dan baik. Allah menggunakan frase ini ketika bicara tentang kewajiban orang-orang kuat atas kaum d}uafa (lemah). Qaulan ma’ru>fan berarti pembicaraan yang bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan orang lemah.

d. Qaulan Maisu>ran (perkataan yang ringan).41

Ialah perkataan yang mudah diterima, ringan, pantas, dan tidak berbelit-belit. Dakwah dengan qaulan maisu>ran berarti pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dipahami, tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam.

e. Qaulan Kari>man (perkataan yang mulia).42

Dakwah dengan qaulan kari>man sasarannya adalah orang yang telah lanjut usia. Sedangkan pendekatan yang digunakan ialah dengan perkataan yang mulia, santun, penuh hormat, dan penghargaan, tidak menggurui, sebab kondisi fisik mereka yang mulai melemah membuat mudah

39(QS. T}aha> 44). 40(QS. An-Nisa>: 5). 41(QS. Al-Isra’: 28). 42(QS. Al-Isra’:23).


(45)

35

tersinggung apabila menerima perkataan yang keras dan terkesan menggurui.

2. Da’wah bi al-Ha>l

Da’wah bi al-ha>l adalah bentuk ajakan kepada Islam dalam bentuk amal, kerja nyata, baik yang sifatnya seperti mendirikan lembaga pendidikan Islam, kerja bakti, mendirikan bangunan keagamaan, penyantunan masyarakat secara ekonomis atau bahkan acara-acara hiburan keagamaan. Da’wah bi al-ha>l merupakan aktivitas dakwah Islam yang dilakukan dengan tindakan nyata terhadap penerima dakwah. Sehingga tindakan nyata tersebut sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh penerima dakwah.

Dakwah dengan pendekatan amal nyata merupakan aktivitas dakwah yang harus dilakukan bagi aktivis dakwah, sehingga dakwah tidak hanya dipahami sebagai ceramah atau dakwah bi al-lisan saja. Karena sesungguhnya dakwah juga dapat dilakukan melalui tindakan atau amal nyata yang dilakukan sesuai kebutuhan masyarakat. Terhadap kaum d}uafa (lemah) diperlukan suatu strategi dakwah yang cocok dan sesuai dengan tuntunan dan kebutuhan masyarakat kaum dhuafa tersebut. Pemberdayaan masyarakat, khususnya melalui pemberdayaan ekonomi, sebagai realisasi da’wah bi al-ha>l, adalah salah satu cara yang sangat efektif.

3. Da’wah bi al-Qalam

Da’wah bi al-Qalam ialah suatu kegiatan menyampaikan pesan dakwah melalui tulisan, baik itu melalui buku, majalah, jurnal, artikel, internet dan


(46)

36

lain. Karena dimaksudkan sebagai pesan dakwah, maka tulisan-tulisan tersebut tentu berisi ajakan atau seruan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar. Format da’wah bi al-qalam itu memiliki banyak keunikan dan kelebihan, yakni suatu tulisan tidak dibatasi ruang dan waktu, bisa dibaca dimana saja serta kapanpun.

Para da’i harus mencontoh kreatifitas ulama salaf yang dikenal gigih dan aktif menulis. Karya tulis mereka masih tetap eksis dan terus dikaji hingga kini. Karena itulah buku disebut sebagai jendela ilmu, sebab buku selalu menjadi sumber rujukan utama yang tidak mengenal basi. Disamping melalui buku, pesan-pesan dakwah bisa dituangkan ke dalam majalah, majalah dakwah bisa digunaka untuk menyoroti masalah sosial atau dinamika yang terjadi di masyarakat. Kemudian mengupas masalah tersebut di berbagai sudut pandang yang ditujukan kepada masyarakat umum, dan ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti oleh banyak orang.

Berdasarkan ketiga bentuk dakwah tersebut, maka bisa diklasifikasikan metode dan tehniknya sebagai berikut:43

a) Metode Ceramah

Metode ceramah atau yang dikenal dengan istilah muhad}arah atau pidato merupakan sebuah metode yang telah dipergunakan oleh semua Rasul Allah. Bahkan sampai saat ini, metode ceramah paling banyak diapakai dalam kegiatan dakwah. Selain itu, metode ini juga dikenal dengan istilah public speaking. Sifatnya secara


(47)

37

komunikasi lebih kepada satu arah dengan komunikator sebagai pihak yang mengontrol, walau sesekali diimbangi dengan komunikasi dua arah melalui tanya jawab. Hal yang menjadi khas metode ini antara lain adalah, pesan-pesan dakwahnya yang ringan, informatif dan tidak mengundang perdebatan.44

b) Metode Diskusi

Metode diskusi umumnya digunakan untuk merangsang pikiran mitra dakwah agar mau berpikir serta mengeluarkan ide serta pendapatnya. Diskusi dalam statusnya sebagai metode dakwah, berperan sebagai media bertukar pikiran tentang suatu masalah keagamaan sebagai pesan dakwah antar beberapa orang dalam tempat tertentu. Dalam diskusi, pasti ada dialog yang tidak hanya sekedar bertanya, tetapi juga memberikan sanggahan atau usulan, diskusi dapat dilakukan dengan komunikasi tatap muka ataupun komunikasi kelompok.45

c) Metode Konseling

Konseling adalah pertalian timbale balik diantara dua orang individu, di mana seorang (konselor) berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai pengertian tentang drinya sendiri dalam hubungannya dengan masalah-masalah yang dihadapinya pada saat ini dan pada waktu yang akan datang. Metode konseling

44Ibid. 45Ibid., 367.


(48)

38

merupakan wawancara secara individual dan tatap muka antara konselor sebagai dai dan klien sebagai mitra dakwah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.

d) Metode Karya Tulis

Metode ini termasuk dalam kategori dakwah bil kalam (dakwah dengan karya tulis). Tanpa tulisan, peradaban dunia akan lenyap dan punah. Metode karya tulis merupakan buah dari keterampilan tangan dalam menyampaikan pesan dakwah. Keterampilan tangan ini tidak hanya melahirkan tulisan, tetapi juga gambar atau lukisan yang mengandung misi dakwah.46

e) Metode Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu metode dalam dakwah bil hal (dakwah dengan aksi) adalah metode pemberdayaan masyarakat, yaitu dakwah dengan upaya untuk membangun daya, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya dengan dilandasi proses kemandirian. Metode ini selalu berhubungan antara tiga faktor, yaitu masyarakat (komunitas), pemerintah dan agen (dai). Melalui hubungan ketiga actor ini, kita bisa membuat tekniknya.47

46Ibid., 374. 47Ibid., 378.


(49)

39

f) Metode Kelembagaan

Metode lainnya dalam dakwah bil hal adalah metode kelembagaan yaitu pembentukan dan pelestarian norma dalam wadah organisasi sebagai instrumen dakwah. Metode kelembagaan dan pemberdayaan berbeda satu sama lain. Menurut Ali Aziz, perbedaan pokok dari metode ini adalah terletak pada arah kebijakannya bersifat dari atas ke bawah. Sedangkan strategi pemberdayaan lebih bersifat desentralistik

dengan kebijakan dari bawah ke atas. Perbedaan yang lain adalah kontribusi keduanya pada suatu lembaga. Ada kata kunci yang membuat keduanya berbeda, metode kelembagaan menggerakkan lembaga, sedangkan metode pemberdayaan mengembangkan lembaga.48

f. Taktik Dawah

Sanjaya sebagimana dikutip Ali Aziz menyatakan bahwasanya taktik adalah gaya yang seseorang di dalam melaksanakan teknik atau metode tertentu. Taktik lebih bersifat individual dan biasanya menjadi ciri ataupun pembeda antara masing-masing pendakwah di dalam menjalankan aktifitas dakwah, termasuk

ketika berhadapan dengan mitra dakwah tertentu.49 Dengan demikian,

keberhasilan dakwah lebih bersifat kasuistik. Taktik sifatnya fleksibel, dan ia

48Ibid., 381. 49 Ibid., 384.


(50)

40

dinilia efektif manakala faktor internal (diri pendakwah) maupun eksternal (situasi diluar pendakwah) mendukungnya.50

4. Tuan Guru dan Kedudukannya Dalam Masyarakat Sasak

Setiap agama yang menyadari keberlanjutan agamanya, senantiasa ditugaskan oleh pendirinya untuk meneruskan “karisma” agama yang dianut, secara teratur dan tertib kepada para pengikutnya.51 Agama, menurut Clifford Gertz, seperti yang dikutip oleh Abdul Basit adalah;

Sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasasana hati dan motivasi-motivasi kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia, dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak jelas.52

Selain itu, Lutfhi Hamidi juga mengutip pendapatnya Peter L Berger bahwasanya agama adalah;

Semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan yang memberikan penjelasan paling komprehensip tentang realitas seperti kematian, penderitaan, tragedi dan ketidakadilan.53

Berdasarkan pernyataan di atas, bisa dipahami bahwasanya agama adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan, terutama dalam menjawab persolan-persoalan alam kehidupan yang sifatnya supranatural. Akan tetapi, bagaimanapun, agama semata tentu tidak akan mampu memberikan perannya bagi masyarakat, tanpa disertai dengan peran yang sama dari para

50Ibid.

51Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983), 121 52Abdul Basit, WacanaDakwah…, 206


(51)

41

pemeluk agama itu sendiri. Oleh karenanya, peran para pemimpin agama dalam mengaplikasikan nilai-nilai keagamaannya begitu penting. hal ini dilakukan sebagai media dalam memberikan wawasan, pemahaman, dan keteladanan dalam menjalankan ajaran agama di tengah masyarakat.

Mungkin memang sudah menjadi sesuatu yang alamiah terjadi, bahwasanya masyarakat cenderung memberikan imbalan (reward), terhadap orang-orang yang memang memiliki kelebihan dari yang lain. Termasuk dengan memberikan gelar-gelar tertentu, penghormatan-penghormatan tertentu, bahkan bentuknya bisa beragam, misalnya seperti pemberian pangkat, kedudukan, atau bahkan jabatan tertentu di tengah masyarakat.54

Soerjono Soekanto menyatakan, sekurang-kurangnya ada dua macam kedudukan yang dikembangkan oleh masyarakat, yakni:55

b. Ascribrd Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Dalam hal ini Sorjono mencontohkan misalnya dengan kedudukan bangsawan yang didapatkan oleh anak yang memang memiliki orang tua bangsawan. Dan umumnya, ascribed status biasa terjadi pada masyarakat-masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup dan feodal.

Achieved Status, adalah kedudukan yang dicapai oleh seseorang melalui usaha-usaha yang memang disengaja. Kedudukan seperti ini tidak diperoleh

54Soerjono, Sosiologi Suatu…, 211. 55Soekanto, Sosiologi Suatu…, 210.


(52)

42

melalui kelahiran, melainkan bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung pada kemampuan setiap orang untuk mendapatkan tujuan tersebut.

Tuan guru, dalam konteks etnis Sasak, dianggap sebagai alim ulama, adalah fungsionaris agama Islam yang memiliki kedudukan terhormat dan menjadi panutan masyarakat. Kualifikasi seorang tuan guru adalah, memiliki ilmu pengetahuan agama Islam yang tinggi, serta mereka diakui sebagai penyebar dan

pemelihara ajaran Islam, khususnya dalam menegakkan amar ma'ruf nahi

munkar. Gelar tuan guru umumnya diberikan oleh masyarakat kepada mereka yang sudah menunaikan ibadah haji dan memiliki tempat memberikan pengajaran agama Islam. Gelar ini kemudian umum disingkat menjadi T.G.H. (Tuan Guru Haji), yang selanjutnya dipadukan dengan nama tokoh yang digelari tuan guru tersebut.56

Baharudin menyatakan ada dua faktor utama yang mendukung posisi kuat tuan guru di tengah masyarakat Sasak:57

a. Tuan Guru adalah orang yang memiliki pengetahuan keagamaan luas yang kepadanya penduduk desa belajar pengetahuan. Kepesantrian dan pengetahuannya yang luas tentang Islam, menyebabkan sosok tuan guru selalu memiliki pengkut, baik yang sifatnya para pendengar informal, yakni yang senantiasa mengikuti ceramahnya, ataupun para santri yang secara khusus berada di sekitar rumahnya.

56Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial: Menyingkap Pemahaman Masyarakat Sasak Tentang

Taqdir Allah dan Kematian Bayi, (Jakarta: Sentra Media, 2006),23.


(53)

43

b. Tuan Guru biasanya berasal dari keluarga berada, meskipun tidak jarang ditemukan tuan guru yang miskin pada saat ia mulai mengajarkan Islam, baik itu dilihat dari kecilnya gedung pengajian ataupun pesantren yang dimilikinya. Namun secara umum, tuan guru adalah orang yang berasal dari keluarga yang kaya.

Kedua faktor iniliah yang pada akhirnya menjadikan tuan guru sebagai tokoh elit di pulau Lombok. Lebih jauh, dalam persepsi masyarakat Sasak, umumnya tuan guru adalah orang yang diberi anugrah dan kemampuan yang luar biasa, yang itu semua tidak terjadi pada masyarakat awam. Kemampuan itu,

bahkan sudah nampak pada saat tuan guru itu sedang nyantri, sebelum

diamemulai ketuan-guruannya. Hal semacam ini juga begitu berpengaruh bagi masyarakat, terkait penghormatan dan pandangan mereka ketika tuan guru yang bersangkutan aktif berdakwah di masyarakat kelak. Selain itu, adanya santri dan

penduduk sekitar juga menjadi penopang kedudukan dan kepemimpinan tuan

guru di masyarakat.

Hubungan antara tuan guru dengan masyarakat biasanya disatukan oleh emosi keagamaan yang menjadikan kekuasaan dan figurnya semakin berpengaruh.58 Adanya karisma, yang turut menyertai kegiatan dan aktifitas tuan guru, sedikit banyak telah menjadikan hubungan yang ada, sarat dengan emosi

keagamaan. Ditambah lagi dengan peran tuan guru sebagai penolong bagi

masyarakat, terutama dalam memecahkan masalah yang sifatnya spiritual, dan

58Ibid, 67


(54)

44

bahkan kadang lebih luas dari itu. Keadaan inilah yang dengan sendirinya menempatkan seorang tuan guru tidak hanya sebagai mediator hukum sesuai doktrin Islam, melainkan sebagai kekuatan suci itu sendiri. Lebih jauh lagi, posisi dan peran penting tuan guru tidak hanya terbatas pada masyarakat kalangan bawah semata, bahkan juga berlaku di kalangan para intelektual, dan para politisi.59

C. PeranUlama dalam Penyelesaian Konflik 1. Konflik dan Faktor Pemicunya

Dalam konteks kehidupan manusia, konflik menjadi bagian yang selalu ada, baik yang sifatnya laten ataupun manifest.60 Konflik laten acapkali lahir pada kondisi masyarakat yang diperintah oleh sistem otoriter, di samping juga bisa terjadi pada masyarakat yang tertutup.61 Sedangkan konflik manifest, cendrung lahir dikarenakan adanya keinginan suatu kelompok, negara, atau etnis tertentu untuk berusaha menguasai yang lainnya.

Banyak hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya koflik, salah satunya adalah, adanya ketidak sepahaman antara manusia (masyarakat), dalam memaknai

interaksi yang mereka bangun satu sama lain.62 Semakin sering ketidak

59Ibid.

60Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam Dan Masyarakat Modern: Teori, Fakta, Dan Aksi Sosial,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), 251.

61Ibid. 62

Konflik dipahami sebagai suatu proses sosial yang dipraktekkan secara luas dalam masyarakat. berbeda dengan “kompetisi” yang selalu berlangsung dalam suasana positif, konflik adalah peristiwa yang berlangsung dengan melibatkan orang perorang atau kelompok perkelompok yang saling bertentangan dengan ancaman kekerasan. Lihat, Hamadi B. Husain, “Ambon Manise: Sebuah Upaya Merajut Benang Kusut”, dalam Thoha Hamim dkk, Resolusi Konflik Islam Indonesia, (Surabaya: Lembaga Studi agama dan sosial (LSAS) dan IAIN Sunan ampel Press, 2007), h. 209


(55)

45

sepahaman terjadi dalam proses interaksi manusia (masyarakat), akan semakin sering pula peluang bagi konflik untuk lahir. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa, konflik akan senantiasa terjadi, bersamaan dengan adanya masyarakat. Sebaliknya, konflik tidak akan hilang, kecuali bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Sebagai sebuah gejala sosial, konflik akan senantiasa ada di dalam masyarakat, mengingat dalam kenyataanya, masyarakat itu sendiri terbentuk dari berbagai kelas yang berbeda.63 Karl Max misalnya, memandang bahwasanya dalam masyarakat terdapat dua kelas yang acapkali berbenturan. Kelas borjuis yang merupakan kumpulan para modal dan kelas proletar yang merupakan para buruh. Kedua kelas ini umumnya memiliki kepentingan yang berbeda, borjuis punya kepentingan mendapatkan keuntungan dengan modal yang sedikit, sedangkan proletar bekerja yang berat dan menguras tenaga dengan hasil sedikit hanya untuk mengenyangkan perut para pemiliki modal. Dalam hal ini, kelas borjuis dan proletar bukanlah merupakan sumber konflik, melainkan ada berbagai faktor lain yang menjadi pemicu, yakni instrument yang senantiasa menggerakkannya.64

Syarifuddin menegaskan bahwasanya, ada tiga hal pokok yang paling dominan menjadi sumber konflik, yakni adanya persoalan ketidakadilan, kemiskinan dan kesejahteraan.65 Sumber-sumber inilah yang kemudian merambat

63Ibid., 254. 64Ibid., 255. 65Ibid., 254


(56)

46

pada faktor akselerator yang kemudian mencari faktor pemicu. Inilah yang dimaksud oleh Syarifuddin sebagai faktor yang berhubungan satu dengan lainnya dalam memicu lahirnya konflik. Maksudnya, sebuah konflik tidak terjadi dan berdiri sendiri, melainkan ada instrument-instrumen lain yang memiliki tali-temali satu dengan yang lain.

Secara sosiologis, apabila suatu masyarakat dihuni oleh berbagai macam agama, ras, etnik yang berbeda, maka perbedaan itu sedikit potensial bagi lahirnya konflik ataupun kekerasan. Seringkali pihak yang berkonflik begitu menonjolkan kepentingannya sendiri dan di sisi lain merendahkan kepentingan pihak lainnya. Sikap seperti inilah yang cendrung melahirkan disharmonisasi, baik itu secara sosial, ekonomi, maupun politik. Berdasarkan pernyataan tersebut maka, sebenarnya ada banyak hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya konflik. Faktor itu bisa berbentuk kepentingan ideologi politik, ekonomi, budaya, maupun agama.66 Boleh jadi, kepentingan-kepentingan itu berkaitan dengan status sosial, pangkat atau jabatan, etnis, agama dan lainnya. Keinginan untuk mencapai kepentingan itupun kadang diperparah dengan tidak adanya kesepahaman bersama dalam merealisasikannya.

2. Masyarakat dan Konflik Keagamaan

Dalam teori konflik, dikatakan bahwasanya, masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi konflik.67 Teori konflik atau sering pula disebut

66Ibid. 249

67 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda; Penerjemah Alimandan,


(57)

47

paradigma konflik merupakan kerangka teori yang melihat masyarakat sebagai sebuah arena tempat kesenjangan yang ada di dalamnya berpotensi menimbulkan konflik dan perubahan.68 Konflik dapat terjadi intern dan antar kelompok serta terbatas pada tipe dan ukurannya, seperti klan, suku, keluarga, negara dan sebagainya. Konflik tersebut merupakan unsur utama dalam politik dan perubahan sosial.

Dalam persfektif konflik, keteraturan sosial di dalam masyarakat, keteraturan sosial dalam masyarakat dinilai hanya akibat dari tekanan atau pemaksaan penguasa kepada massa.69 Karena wajar kemudian menurut Hamadi yang mengutif pandangan Lewis Coser yang mengatakan bahwa, masyarakat adalah persekutuan yang terkoordinir secara terpaksa. Pandangan demikiaan mengindikasikan pemahaman bahwa di dalam masyarakat terdapat kpentingan yang berbeda-beda. 70

Secara teoretis, konflik dapat bersumber dari berbagai hal, termasuk berdasarkan berbagai bidang kehidupan yang menjadi objek konflik.71 Salah satu bentuk konflik yang sering muncul dalam proses interaksi di masyarakat adalah konflik di bidang agama. Sepanjang sejarah manusia, sudah sekian kali lahir dan muncul konflik yang satu ini. Konflik ini bisa terjadi pada tataran pemeluk agama yang berbeda, maupun antar pemeluk agama yang sama. Konflik agama umumnya terjadi antar pemeluknya, bukan antar ajarannya ataupun kita sucinya,

68 Sindung Haryanto, Spektrum Teori…, h.43

69 Hamadi B. Husain, “Ambon Manise: Sebuah Upaya…, h. 211. 70Ibid.

71 Sarlito Wirawan Sarwono, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan Penelitian,


(58)

48

mengingat, para pemeluklah yang menjadi aktor pengamalan ajaran kitab suci mereka. Suatu contoh, agama dan kitab sucinya tidak membenci ataupun membunuh orang, tetapi yang kerap membenci dan membunuh adalah para pemeluk agama.

Masyarakat muslim, yang juga banyak melakukan interaksi dalam pengamalan ajarannya (baik sesama maupun antar pemeluk agama lain), juga tidak terlepas dari adanya konflik. Jika lahirnya konflik dalam masyarakat umumnya disebabkan oleh ketidak sepahaman dalam interaksi yang dibangun, maka demikian pula dalam konteks konflik keagamaan. Di mana, lahir dan munculnya, tidak terlepas dari adanya ketidak sepahaman dalam memaknai interaksi keagamaan yang terjadi. Jika sudah demikian (tidak sepaham) maka, berbagai atribut keagamaan pun bisa menjadi sumber konflik.

Atau bisa saja, konflik yang terjadi tersebut, adalah bentuk akomodasi yang ditimbulkan oleh berbagai macam persoalan yang terhambat dan kemudian muncul ke permukaan secara serentak. Misalnya terkait dengan kecemburuan sosial, perbedaan nilai budaya, perbedaan kepentingan atau ideologi politik, atau hal-hal lain yang bisa menjadi pemicu lahirnya konflik.

3. Agamadan Resolusi Konflik

Pluralisme dalam masyarakat acapkali melahirkan konflik.72 Muncul berbagai macam spekulasi, bahwasanya selama ini konflik condong ke arah perebutan berbagai sumber daya yang ada, baik itu ekonomi, sosial, politik,


(59)

49

agama ataupun lainnya. Sementara etnik dan agama hanyalah “kendaraan” bagi upaya perebutan sumber tersebut.73

Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan resolusi atau akomodasi konflik antara pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan.74

Ada beberapa pemikir yang menawarkan berbagai bentuk resolusi konflik di dalam masyarakat, termasuk dalam konteks konflik keagamaan. Jack Rothman sebagaimana dikutip Syarifuddin menyatakan bahwa, untuk mengatasi konflik yang terjadi, perlu dilakukan beberapa tindakan:

a. Tindakan Koersif (paksaan). Tindakan seperti ini mencakup adanya pengaturan administratif, penyelesaian hokum, tekanan politik dan ekonomi.

b. Memberikan intensif. Tindakan semacam ini berorientasi pada

pemberian penghargaan kepada komunitas yang bisa menjaga ketertiban.

c. Tindakan persuasif. Umumnya diarahkan kepada masyarakat yang

tidak puas secara ekonomi, politik maupun ketidakpuasan dalam menghadapi realitas sosial.

d. Tindakan normatif. Sebuah upaya membangun persepsi terkait system sosial yang dicapai berdasarkan nilai-nilai sosial yang dianut.

73Ibid.

74https://bukunnq.wordpress.com/penyelesaian-konflik-internal-dan-eksternal/. Surabaya, diakses


(1)

112

Mukhtar Amin, mengingat ketika penelitian ini berlangsung, beliau sedang dalam

keadaan sakit dan sedangditimpa musibah, yakni salah seorang keluarga beliau

(menantu) mengalami kecelakaan lalu lintas, dan membutuhkan waktu yang lama

untuk dirawat di rumah sakit. Selain itu, kegiatan-kegiatan pengajian, semisal

untuk anak-anak, remaja, dan pengajian subuh diliburkan sementara waktu.

Khusus untuk pengajian sehabis subuh, beliau untuk sementara memberikan

kepercayaan kepada seorang ustaz yang bernama Bapak Mahyudin, sebagai badal

beliau.

Untuk mengantisivasi keterbatasan tersebut, peneliti menghubungi

orang-orang terdekat beliau seperti anak-anak beliau, dan orang-orang-orang-orang terdekat beliau.

D. Rekomendasi

Dalam konteks ilmu dakwah, penelitian seputar masalah da’i, baik itu

menyangkut masalah peran, meteode, media dakwah, adalah hal yang penting

untuk dilakukan. Ini bertujuan untuk menambah khazanah keilmuan dakwah baik

secara teoretis maupun praktis. Di antara manfaatnya, adalah untuk mendapatkan

perbandingan dakwah antara tokoh yang satu dengan yang lain, sehingga mampu

diambil sebuah jawaban, kira-kira bagaimana dakwah yang tepat digunakan pada

konteks masyarakat sesuai dengan karakteristiknya.

Untuk penelitian selanjutnya, jika ada peneliti yang menggunakan

penelitian dengan tema yang sama, diharapkan untuk lebih dalam lagi

menggunakan berbagai macam pendekatan dan teori-teori, baik itu sifatnya


(2)

113

dakwah di masyarakat untuk kemudian bisa menjadi pedoman dalam


(3)

Alan, Ronald Lukens-Bull. Jihad Ala Pesantren; di Mata Antropolog Amerika,

Terj. Abdurrahman Mas’ud, (Yogyakarta: Gama Media, 2004).

Anas, Ahmad. Paradigm Dakwah Kontemporer: Aplikasi Teoritis Dan Praktis

Dakwah Sebagai Solusi Problematika Kekinian, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006).

Arbi, Armawati. Psikologi Komunikasi Dan Tabligh, (Jakarta: Amzah, 2012).

Arifin, Anwar. Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2011).

Aripudin, Acep. Sosiologi Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013).

Asnawi, Agama dan Paradigma Sosial: Menyingkap Pemahaman Masyarakat

Sasak Tentang Taqdir Allah dan Kematian Bayi, (Jakarta: Sentra Media, 2006).

A. Pius, Partanto & Dahlan, M. al-Barry. Kamus Ilmiah Popular, (Yogyakarta:

2001).

A.W. H., Widjadja. Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat,

(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002).

Baharudin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Genta Press,

2007).

Budiawanti, Erni. Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, (Yogyakarta: LKiS

Yogyakarta, 2000).

Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan

Metodologis ke Arah Penguasaan Model Komunikasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Ed I, 2003).

B. Paul, Horton dan L. Chester, Hunt. Sosiologi, Terjemahan Aminuddin Ram dan

Tita Sobari, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993).

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an & Terjemahnya, (Surabaya:

Mahkota Surabaya, 1989).

Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1983).

Hamim, Thoha dkk. Resolusi Konflik Islam Indonesia, (Surabaya: Lembaga Studi


(4)

Ilaihi, Wahyu & Hefni, Harjani Polah. Pengantar Sejarah Dakwah, Cet Ke II

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012).

________. Komunikasi Dakwah, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2010).

Ismail, Ilyas & Hotman, Prio. Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama

dan Peradaban Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011).

Jakfar, M. Futeh & Saifullah. Dakwah Tekstual dan Kontekstual; Peran dan

Fungsinya dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Cet III (Yogyakarta: Penerbit AK Group Yogyakarta, 2006).

Jauhari, Heri. Panduan Penulisan Skripsi Teori dan Aflikasi, (Bandung: CV

Pustaka Setia, 2009).

Jurdi, Syarifuddin. Sosiologi Islam Dan Masyarakat Modern: Teori, Fakta, Dan

Aksi Sosial, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014).

J. Lexy, Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008).

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi, Ed, (Jakarta: PT Rineka Cipta,

2009).

Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009).

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, Cet ke-12 (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2008).

Murodi, Dakwah Islam dan Tantangan Masyarakat Quraisyi; Kajian Sejarah

Dakwah pada Masa Rasulullah Saw, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013).

Mustari, Mohamad. Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: laksBang

PRESSindo, 2012).

Noor, Mohammad dkk. Visi Kebangsaan Religious, Refleksi Pemikiran Dan

Perjuangan Tuan Guru Haji Muhammad Zaenuddin Abdul Majid 1904-1997, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2004).

Nasrullah, Rulli. Komunikasi Antar Budaya: Di Era Budaya Siber, (Jakarta:


(5)

Nata, Abuddin. Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Fiqih Ibadah, (Bandung:

Penerbit Angkasa Bandung, 2008).

Prasetyo, Bambang & Miftahul, Lina Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif, (Jakarta:Raja Grafindo Persada.2005).

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda; Penerjemah

Alimandan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 20080).

Saipul, Asep Muhtadi & Ahmad, Agus Safei. Metode Penelitian Dakwah,

(Bandung: CV Pustaka Setia, 2003).

Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2012).

Sholeh, Shonhadji. Sosiologi Dakwah: Persfektif Teoretik, (Surabaya: IAIN

Sunan Ampel Press, 2011).

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar Cet Ke 38, (Jakarta: Rajawali

Press, 2005).

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitati, (Bandung:Alfabeta, 2008).

Suprayogo, Imam. Metodologi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Rosdakarya,

2001).

Straus, Anselm & Corbin, Juliet. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2013).

Syani, Abdul. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara,

1994).

Syukir, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas

1983).

Tim Penulis Jamaah Mahasiswa PBA, Wajah Islam Sasak Dalam Lebaran Topat

Dan Maulid, (Mataram: Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram, 2011).

Tim Penyususn dan Penerbit, Muatan Lokal Ensiklopedia Sejarah dan Budaya

Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Lentera Abadi, 2009).

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Cet Ke 24, (Jakarta: PT RajaGrafindo


(6)

Wirawan, Sarlito Sarwono. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan

Penelitian, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010).

______. Teori-Teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000).

W. Thomas, Arnold. The Preaching Of Islam, diterjemahkan oleh A. Nawawi

Rambe, dengan judul “Sejarah Dakwah Islam”, (Jakarta: Widjaya 1991).

Sumber lain

Internet:

http://wwwhttp://fahrurrozidahlan.blogspot.co.id/tuan-guru-antara-idealitas-normatif.html.

https://bukunnq.wordpress.com/penyelesaian-konflik-internal-dan-eksternal

www. MUI. Or.id.

http://ms.wikipedia.org/wiki/Sasak

Journal:

Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 8 No. 2, Oktober 2003