KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU (SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGIS) Rini Efri Leni

  Telangkai Bahasa dan Sastra, April 2014, 153-168 Tahun ke-8, No 1 Copyright ©2014, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266

  KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU (SEBUAH KAJIAN SOSIOLOGIS) Rini Efri Leni Fakultas Ilmu Budaya USU

  

  Abstract Humanitas atau kemanusiaan menuntut agar seni pada umumnya dan kesusastraan pada khususnya memantulkan ide kemanusiaan, yakni berusaha menyelamatkan manusia dari segala macam penderitaan dan kesengsaraan lahir dan batin. Dalam tugas kemanusiaan itu, sastra merupakan suatu “pemberontakan” terhadap kepincangan-kepincangan, kepalsuan, penindasan dan ketidakadilan yang merajalela di tengah kehidupan masyarakat. Masalah ini tergambar dalam novel berjudul “Pincalang” karya Idris Pasaribu. Melalui tokoh-tokohnya, Idris Pasaribu berpikiran bahwa orang-orang perahu juga memiliki hak untuk hidup sebagaimana orang kebanyakan di darat. Orang-orang perahu juga punya keinginan untuk maju dan bangkit sesuai tuntutan zaman. Bahkan ketika menghadapi modernisasi di bidang armada perkapalan semisal kehadiran kapal motor (KM), orang-orang perahu juga tidak mau tergerus keadaan meski tetap memertahankan kearifan lokal yang dimilikinya. Melalui novel ini, Idris Pasaribu mengingatkan kepada kita bahwa orang-orang perahu itu tidak bodoh, bahkan relatif berpikiran maju. Karena itu, penulis tertarik menuliskan kajian novel ini guna melihat nilai kearifan lokal dalam pendekatan sosiologi. Pendekatan sosiologi atau ilmu kemasyarakatan ini sangat membantu penulis untuk mengupas nilai-nilai kmearifan lokal yang terdapat di dalam novel “Pincalang”. Secara umum, kajian ini bertujuan untuk memahami kearifan lokal yang diungkap Idris Pasaribu dalam novel Pincalang baik secara realitas fiksi maupun realitas faktual, dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data berupa prilaku

yang diamati dari tokoh dalam novel tersebut yang sarat dengan pesan-

pesan agar kehidupan dan lingkungan laut dilestarikan sabagaimana orang-

orang pincalang dulu telah melestarikan. Dari pendekatan sosiologi ini, penulis menemukan sejumlah nilai kearifan lokal pada novel tersebut. Selain itu, juga menemukan gambaran kehidupan masyarakat pincalang, baik secara realitas fiksi maupun realitas faktual serta gambaran kehidupan sosial masyarakat pincalang dengan adanya hantaman modernisasi dalam menjaga kearifan lokal.

  Kata Kunci : novel, pincalang, kearifan lokal, sosiologi

  Rini Efri Leni

Humanitas or humanity demands the arts in general and literature in

particular, reflects the idea of humanity, which is trying to save people from

all kinds of suffering and misery and unseen. In humanitarian work, the

literature is an "uprising" to the imbalance, falsehood, suppression and

injustice which is rampant in public life. In general, this study aims to

understand the local wisdom revealed by IdrisPasaribu in the novel

Pincalang, both fiction reality and factual reality by using qualitative

methods which produce data in the form of observed behaviour of the

characters in the novel which laden with silver lining for life and preserve

the marine environment as the first pincalang have preserved.

  Key word s: novel, pincalang, local wisdom, sociology PENDAHULUAN

Apakah Anda pernah tahu tentang nasib ―orang perahu‖? Orang perahu adalah orang yang biasa hidup di dalam perahu, di atas hamparan laut. Mereka merupakan bagian

  kekuatan bangsa Indonesia. Apalagi, Indonesia pernah dikenal sebagai negara maritim, negara yang mengandalkan kekuatan dan pertahanan laut. Hal itu pernah tergambar dalam kitab Negarakertagama semasa pemerintahan Kerajaan Majapahit di Indonesia. Lautlah menjadi penghubung sentra-sentra ekonomi nenek moyang kita dahulu kala. Colombus yang menemukan benua atau daratan Amerika ataupun Magalhaens yang menemukan negara-negara Austronesia dan Austro Asia juga mengandalkan jasa laut dan hidup di atas kapal.

  Kehidupan laut beserta aksesori perahu-perahu dan biodata alamnya sering menjadi ilham para sastrawan. Sastrawan terkemuka Inggris, Ernest Hemingway, satu di antara sejumlah sastrawan terkemuka dunia yang membidik pesoalan laut dalam novelnya berjudul ―The Old Man and The Sea‖. Sastrawan Indonesia, buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) juga memotret laut dan perahu dalam roman berjudul ―Tenggelamnya Kapal van Der Wick‖ maupun perjalanan Zainuddin ke Mekkah dalam roman ―Di Bawah Lindungan Ka‘bah‖. Sastrawan mampu melukiskan keadaan laut beserta perahu-perahu dan biota alamnya melalui kata-kata yang dipilihnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Atar Semi bahwa sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa i sebagai mediumnya.

  Sastra sebagai karya kreatif mampu melahirkan kreasi yang indah dan dapat menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, serta menjadi wadah penyampaian ide-ide seorang pengarang. Laut dan perahu merupakan satu di antara bejibun sumber ide yang dimiliki sastrawan. Namun tidak semua yang berhasil menggarap ide ini dengan baik. Apalagi, kebanyakan orang lebih memilih persoalan lain ketimbang laut dan orang perahu. Menurut pengamatan penulis, cuma Inggris yang punya Hemingway dengan ―The Oldman and The Sea‖ ataupun William Shakespeare dengan novel ―Saudagar Venesia‖- nya serta Indonesia era 1920-an punya Buya HAMKA deng an kisah ―Tenggelamnya Kapal van Der Wick‖ dan ―Di Bawah Lindungan Ka‘bah‖. Maka, milinium Abad 21 ini Indonesia punya Idris Pasaribu yang memotret aspek-aspek kemanusiaan

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014 ii

  tergambar dalam novel Pincalang . Novel Idris Pasaribu ini penulis pilih dalam objek kajian karena memiliki keunikan tersendiri. Di samping masih langkanya penulis memotret masalah laut dan manusia perahu, novel tersebut penulis anggap sangat sarat dengan nilai kearifan lokal masyarakat pantai Barat Provinsi Sumatera Utara.

  Novel Pincalang karya Idris Pasaribu menceritakan tentang perjalanan hidup orang-orang pincalang (perahu) di pesisir pantai Barat Pulau Sumatera, di Lautan Hindia. ―Mereka lahir di dalam pincalang, besar dan belajar mengaji di atas pincalang, menikah di atas pincalang, melahirkan di atas pincalang dan mati di atas pincalang. Mereka penjaga habitat laut, termasuk kayu bakau dan batu karang,‖, kata Idris Pasaribu. Orang pincalang hidup dari pulau ke pulau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan, dan membuat ikan asin. Mereka membuat arang dari kayu bakau yang sangat terkenal keharumannya dan sedikit sekali mengeluarkan asap. Mereka diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Mereka mengarungi laut dengan melihat tanda-tanda alam. Nilai-nilai kearifan lokal inilah yang akan menjadi objek kajian penulis dalam menelaah novel ‖Pincalang‖. Untuk mempermudah kajian, penulis menggunakan pendekatan sosiologi.

  Pincalang adalah kapal kayu ukuran menengah dengan 3-4 layar. Idris Pasaribu coba mengenalkan kembali pincalang kepada masyarakat modern, khususnya generasi muda melalui novel. Idris meski dilahirkan di Delitua, Deliserdang, Sumatera Utara, namun sangat piawai membangun kronologis cerita berlatar laut dan perahu. Tidak tanggung-tanggung, dia langsung menyebut penamaan kapal kayu itu menjadi judul novelnya, yakni ‖Pincalang‖. Novel ini diterbitkan Salsabila Pustaka Alkautsar Jakarta, cetakan pertama April 2012. Novel ini sudah beredar ke pasar buku di Indonesia, termasuk Medan.

  Novel ini menceritakan tentang keluarga ‗manusia perahu‘ dalam mengarungi kehidupan di laut dan di darat pantai Barat Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Penuh k etegangan karena adanya tekanan ‗orang darat‘ kepada ‗orang laut‘ dalam hal bajak laut dan jual-beli hasil laut. Termasuk intimidasi pemerintah Orde Baru soal kapal Keppres.

Semuanya dapat mengancam harta, jiwa, dan raga ‗manusia perahu‘ di Sibolga dan sekitarnya

  Pincalang pernah berjaya di sepanjang pesisir barat Pulau Sumatra beserta kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan setempat. Dulu, masyarakat boleh dikata lahir dan menghabiskan hampir seluruh masa kehidupannya di atas pincalang. Sayang, kini telah hilang dan semakin luntur dari ingatan karena tergerus kemajuan zaman yang lebih modern.

  Tokoh utama novel Pincalang ini adalah Amat. Pada halaman belakang novel dilukiskan bahwa selama hidupnya Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. Di atas perahu itu dia dilahirkan ibunya. Sejak berusia lima tahun, di atas perahu itu pula dia belajar salat dan mengaji dari ibunya. Ayah Amat mengajarinya menaik-turunkan layar, mengemudi, melihat bintang, merasakan angin, dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Ia manusia pincalang yang menghabiskan hidupnya di atas perahu.

  Ketika Amat dewasa dan menikah, ia berkenalan dengan Tuan Haji dan Tuan Guru. Amat mulai belajar membaca, menulis, dan berhitung. Dia bertekad akan menyekolahkan anak-anaknya. Amat mulai belajar berdagang. Ia menghimpun semua orang pincalang untuk menjual barang kepadanya dengan harga yang sangat baik. Bukan saatnya lagi orang pincalang dibodohi penduduk daratan. Hingga suatu ketika modernisasi itu menghantam. Para kapitalis berlomba mengeruk keuntungan sebanyak-

  Rini Efri Leni

  banyaknya, tanpa memerhatikan akibatnya. Hutan bakau digunduli, biota laut disapu habis. Alam menangis, tak sanggup lagi memberikan yang terbaik untuk manusia.

  Modernisasi dan kapitalisasi berkontribusi terhadap kacaunya sistem sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat pincalang yang telah dibangun sejak lama. Tidak ada lagi rasa senasib sepenanggungan dan saling membantu.

  Pengarang sangat prihatin dengan pincalang yang nyaris punah akibat tergerus arus modernisasi dan mencoba mengenalkan kembali masyarakat pincalang kepada masyarakat modern, khususnya generasi muda dengan menggambarkan betapa akrabnya manusia dengan laut. ―Laut selalu memberi aba-aba sebelum memulai aksinya‖ (hal 10). Mereka sangat paham dengan ‗bahasa‘ laut sehingga interaksi yang terjadi antara manusia dengan alam menjadikan masyarakat pincalang sangat arif dan bersahabat dengan alam.

  Masalah Kajian

  Sebelum sampai pada pengkajian terhadap kearifan lokal dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu, maka penulis merasa perlu membuat suatu batasan masalah, salah satu kegunaannya adalah untuk membatasi ruang gerak pembicaraan supaya lebih terarah dan sistematis. Penelitian ini dibatasi pada kearifan lokal dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu, dan mendeskripsikan kehidupan masyarakat pincalang baik secara realitas fiksi maupun realitas faktual dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan analisis isi, serta mendeskripsikan kehidupan sosial masyarakat pincalang dengan adanya hantaman modernisasi dalam menjaga kearifan lokal.

  Dari deskripsi itu, maka penulis menemukan masalah sebagai berikut.

  2) Gambaran kehidupan masyarakat pincalang, baik secara realitas fiksi maupun realitas faktual

  3) Gambaran kehidupan sosial masyarakat pincalang dengan adanya hantaman modernisasi dalam menjaga kearifan lokal.

  KAJIAN PUSTAKA Kearifan Lokal

  Dalam kamus Inggris-Indonesia, kearifan lokal terdiri atas 2 kata, yaitu kearifan

(wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom berarti kebijaksanaan.

Dengan kata lain, local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

  Kearifan lokal merupakan adat dan kebiasan yang telah mentradisi dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun-temurun yang hingga saat ini masih dipertahankan keberadaannya oleh masyarakat hukum adat dalam suatu wilayah tertentu.

  Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di iii dalamnya dianggap sangat universal.

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014

  Walaupan kearifan lokal bukanlah sebuah ilmu pengetahuan, namun menjadi sumber ilmu pengetahuan modern dengan diciptakan teori dan dalil-dalil yang dapat dirumuskan dan dihitung secara logika. Juga merupakan budaya luhur yang diciptakan nenek moyang lewat sebuah pengalaman yang akhirnya menjadi sebuah pola-pola tertentu dan kaidah.

  Menurut Robert Sibarani, kearifan lokal atau kearifan setempat (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan, karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun temurun diwarisi atau dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas. Pengertian kearifan lokal ini sangat perlu dipahami agar dapat digali dari tradisi lisan sebagai budaya leluhur dan agar dapat dimanfaatkan untuk iv menata kehidupan sosial pada generasi muda sekarang ini.

  Balitbangsos Depsos RI (2005) dalam Sibarani menyatakan, kearifan lokal itu merupakan kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik atau positif.

  Dari beragam pendapat tersebut, penulis beranggapan bahwa kearifan lokal merupakan milik masyarakat yang sikap dan kepribadiannya matang untuk mampu mengembangkan potensi dan sumber lokal dalam melakukan perobahan kearah yang lebih baik. Dengan demikian, kearifan lokal yang dapat dimanfaatkan dapat bersumber dari nilai budaya yang masih dapat diterapkan pada masa sekarang, baik itu nilai budaya yang bermanfaat untuk penciptaan kedamaian maupun untuk peningkatan kesejahteraan.

  Pengertian Pincalang

  Judul novel ini jelas, lugas, singkat, padat, tepat. Begitupun, dia bukan judul biasa dari sebuah novel biasa pula. Sesuai judulnya ―Pincalang‖ menurut WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indon esia ditulis ‗pencalang‘ (istilah sastra v lama) adalah semacam perahu besar untuk memuat barang-barang dagangan. Kamus

  Besar Bahasa Indonesia juga bepengertian sama, kecuali tambahan ‗sering dipakai untuk vi memata-matai musuh dengan memakai sifat dagangnya Jadi, pincalang sama itu‘. dengan pencalang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada lagi istilah ‗pinisi‘ perahu layar tradisional dari daerah Bone atau Buton Sulawesi Selatan yang mempunyai 2 tiang layar utama dan mempunyai 7 buah layar yaitu 3 di ujung depan, 2 di depan, dan 2 di belakang digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau.

  Jadi, pengertian pincalang, pencalang, pinisi, adalah perahu besar, perahu tradisional pengangkutan barang dagangan antarpulau, sekaligus dapat dipergunakan untuk mengintai musuh seperti perompak atau bajak laut yang mengancam harta, jiwa, dan raga. Sementara pincalang dalam novel ini berfungsi lebih dari itu. Perahu berfungsi sebagai rumah, alat transportasi dan media bisnis suatu suku (sekelompok orang) yang hidup matinya di laut. Kemudian memiliki agama, budaya, dan tradisi. Berlayar dari pulau ke pulau untuk mencari makan, berniaga, bertahan hidup dari musuh dan bersahabat dengan alam. Sehingga, konon manusia perahu ini terkebelakang, kaum marjinal, bersifat statis, dan memandang orang darat dengan penuh curiga menjadi terbantahkan. Paling tidak, demikianlah yang dilukiskan pengarang kepada pembaca.

  Rini Efri Leni

  Perahu (dengan berbagai nama lokal: sampan, biduak, pincalang, pelang, kolek, dll.) adalah lambang yang sering digunakan dalam sastra Melayu Klasik untuk jiwa, pikiran, atau hal lainya, baik yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi. Dalam sastra Minangkabau, seperti terepresentasi dalam beberapa rangkaian pantun, simbol perahu juga penting untuk menggambarkan suka-duka pedagang Minangkabau menuju daerah perantauan. Jarak yang jauh antara ranah dan rantau dilambangkan sebagai laut luas. Dan kendaraan untuk menempuh jarak yang jauh itu dilambangkan dengan perahu. Simbol perahu juga sering dijadikan semacam jejak primordial cara merantau orang Minangkabau tahap awal. Dulu, sebelum modernisasi sampai ke Indonesia, orang Minang pergi merantau naik kapal atau sejenis perahu layar menyeberangi laut.

  Pengertian Sosiologi

  Istilah sosiologi pertama sakali dipaparkan oleh seorang cendikiawan Perancis, Auguste Comte, tahun 1839. Dalam bukunya yang berjudul Positive Phylosophy, Comtee dalam Soekanto membagi sosiologi menjadi dua bagian, statika dan dinamika. Statika mempermasalahkan hal-hal yang berhubungan dengan dasar-dasar pergaulan hidup manusia, sedangkan dinamika mempelajari hokum-hukum kemajuan dan perkembangan vii masyarakat.

  Secara etimologi sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius ‗kawan‘ dan logos ‗berbicara‘. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang membicarakan tentang masyarakat. Beberapa sosiologi memberikan batasan sosiologi berdasarkan pandangannya. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Soekanto mengatakan bahwa sosiologi merupakan ―ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses- proses sosial‖. Sedangkan Hasan Shadily dalam Abdulsyani menyatakan ―sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasai viii kehidupan itu‖.

  Sementara itu. Semi mengatakan, ―Sosiologi adalah ilmu yang mencoba memberi jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan oleh masyarakat yaitu masyarakat tertentu mengenai susunannya, hakikatnya, dan hubungan-hubungannya, dan mengenai kodrat- kodrat yang menggerakkannya yang meng uasai kesadaran dan perkembangannya.‖

  Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari seluk beluk masyarakat, baik secara ekonomi, politik, budaya, maupun gejala-gejala yang timbul dalam masyarakat. Proses sosial tersebut selanjutnya akan membentuk interaksi sosial, kelompok sosial, dan lembaga-lembaga sosial.

  METODOLOGI

  Menurut Arikunto, metode adalah cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan teknik adalah cara yang spesifik dalam memecahkan masalah ix tertentu yang ditemui dalam melaksanakan prosedur. Metode dan teknik penelitian merupakan penerapan dari suatu teori sastra terhadap karya sastra dengan menggunakan sistematika atau langkah-langkah analisis yang sesuai dengan objek penelitian.

  Dalam hal ini, sastra sebagai objek dalam penelitian kualitatif dengan cara menafsirkan atau menginterpretasikan teks sastra. Menurut Bagdan dan Taylor dalam Moleong, metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data x deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014

  Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang menghasilkan data yang berupa prilaku yang diamati dari tokoh dalam novel Pincalang. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Ratna,

  ‖Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data xi Penelitian kualitatif alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya‖. dilakukan dengan tidak mengutamakan pada angka-angka tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep-konsep yang sedang dikaji secara empiris.

  TEMUAN

  Novel Pincalang karya Idris Pasaribu yang terdiri atas 255 halaman dan 12 episode ini dirangkai dalam peristiwa demi peristiwa. Episode terdiri atas ; Buyung (hal. 7-20), Pernikahan (hal.21-32), Perompak (hal. 33-63), Seuntai Kalung Emas dan Seorang Bayi (hal. 64-91), Berdagang dan Rumah Baru (hal. 92-121), Pengembangan Usaha (hal.122-138), Kapal Keppres (hal. 139-158), KM. Pincalang (hal. 159-182), Sengkuni (hal. 183-204), Kembali ke Habitat (hal. 205-227), Persidangan (hal. 229-241), dan Menanam Kembali (hal. 242-252) serta berupa simpulan ataupun menyerupai sinopsis diberi nama Sebuah Catatan (hal. 253-255) pada bagian akhir. Hal dapat dideskripsikan sebagai berikut di bawah ini.

  Episode 1, cerita dibuka menegangkan tetapi Amat, istri, dan ketiga anaknya berhasil mengatasi ganasnya ombak lautan Hindia. Episode 2, masa pengantin dan kehidupan baru Amat bersama Maryam ditandai kerja keras dan rajin beribadah (surut ke belakang 1). Episode 3, menegangkan lagi, Amat dan para lelaki pincalang lain menang perang melawan perompak berkali-kali (surut ke belakang 2). Episode 4, cerita menggembirakan karena Amat berhasil berniaga, membeli kalung emas dan Maryam melahirkan (surut ke belakang 3) Surut ke belakang dilihat dari depan jalan cerita yang telah dibuka.

  Episode 5, cerita berlanjut, kehidupan Amat, istri, dan ketiga anaknya bergerak maju hingga terjadi perubahan. Di antaranya, satu, Amat menekuni perniagaan dengan pengusaha di darat. Dua, dalam menjalankan perniagaan Amat dibantu Rohim, Sangkot, dan Lokot. Tiga, Amat mampu membeli rumah dan tinggal di darat. Empat, Amat menyekolahkan Buyung, sedang ia dan Maryam ikut belajar membaca dan pengajian. Lima, Amat berhasil memahamkan orang tua/mertua yang memandang negatif terhadap kemajuan. Kemajuan itu juga dimiliki orang beragama, bukan hanya orang kafir.

  Episode 6, cerita Amat mengembangkan usaha, salah satunya toke minyak makan. Episode 7, orang darat berebut kredit kapal motor buatan Jepang. Episode 8,

Amat membeli kapal motor buatan Indonesia, diberi nama ―Pincalang‖. Inilah bukti keberhasilan orang laut dalam berbisnis. Episode 9, cerita beberapa orang laut bak

  Sengkuni (tokoh pewayangan). Licik, di muka ia prihatin, sebab orang darat mengancam kehidupan/keamanan orang laut, tetapi di belakang ia bersekutu dengan perbuatan orang darat demi menyelamatkan diri dan membiarkan orang laut ditindas orang darat.

  Episode10, cerita penguasa membela pengusaha. DPRD/Parpol, wartawan, nelayan dan Amat tak berhasil menuntut keadilan. Malah dampaknya, ia diburu patroli, tertembak dan tertangkap. Episode 11, Amat diadili. Terbukti melakukan pembunuhan berencana melanggar pasal 340 KUHP dan diganjar 7 tahun kurungan. Episode 12, cerita Amat bebas dari penjara. Ia terus bermenantu (Buyung melaksanakan pernikahan) dan kembali ke pincalangnya. Tekadnya, terus berjuang memerbaiki kerusakan alam dan tetap menegakkan kebenaran memertahankan eksistensi orang laut.

  Rini Efri Leni

  Dari pendeskripsian itu, penulis menemukan jawaban penelitian ini sebagai berikut:

  ―Air tumbukan kulit kayu dapat memperkuat jaring dan kain agar tak cepat lapuk terkena air laut‖. (hal. 7-8) ―Langit mulai cerah. Si Gendut mengambil sebuah tempurung kelapa yang berlubang. Dirapatkannya tempurung itu ke wajahnya, lalu sebelah mata yang ditutupi mengintip dari lubang kecil di tempurung itu dan sebelah lagi matanya terpejam,bergerak ke kiri dan kanan. Bagaikan orang meneropong.

  ‖ Jika sudah ada yang mau secepatnya berangkat, silahkan saja. Jangan ke arah barat. Lebih baik ke utara atau ke selatan,‖ ucapnya pasti. Amat pun mengerti kalau dia seorang pawang laut. (hal.14)

  ―Di tengah laut itu mereka berpapasan dengan empat Pincalang lainnya. Mereka saling melambai, walau susah mengenal wajah mereka dari kejauhan. Lambaian menjadi pengganti sapaan yang hangat, ucapan selamat mengarungi laut lepas dan ganas.‖ (hal.16)

  ―Syahwat para pelaut memang tinggi, apalagi jika berbulan-bulan tak bertemu pasangan. Buas seperti ganasnya ombak.‖ (hal 20) Bagaimana dengan Pincalang yang tidak memiliki kompas, peta, dan alat navigasi lainnya? Dia berlayar dengan tanda-tanda ala m yang diberikan Tuhan.‖

  (hal.22) ―Sirih yang dibacai mantra itu dikunyah, lalu airnya disemburkan ke kening

  Maryam. Dengan liurnya yang memerah, ibu Amat mengeluskan tangannya ke perut Maryam, mulai dari atas ke bawah. Bersamaan pula tangan kanannya memijat jempol kaki kanan Maryam, sementara telapak tangan kirinya masih berada di perut Maryam. Berganti pula, telapak tangan kanannya berada di perut Maryam dan telapak tangan kirinya memijat jempol kaki kiri Maryam.‖(hal.75-76)

  ―Amat berlari ke palka mengambil bendera berwarna merah dan kembali berlari ke geladak, lalu menancapkannya di haluan. Tidak lupa diikatnya erat-erat. Itu pertanda agar siapa saja yang ancapkannya di haluan. Tidak lupa diikatnya erat-erat. Itu pertanda agar siapa saja yang lewat mengetahui kalau pincalang Amat ada masalah. Biasanya Pincalang-pincalang lain akan mendekat dan menawarkan bantuan. Karena paniknya, Amat tak mengingat tradisi Pincalang mengibarkan bendera malah. Biasanya Pincalang-pincalang lain akan mendekat dan menawarkan bantuan. Karena paniknya, Amat tak mengingat tradisi Pincalang mengibarkan bendera merah.‖ (hal.87)

  ―...Bintang-bintang di langit sangat banyak. Terang dan mengirimkan cahaya biru, kecil-kecil, berkelip-kelip. Dalam pelayaran malam bintang-bintang itu menjadi petunjuk jalan. Menjadi navigasi dan pertanda apakah angin akan datang atau hujan akan deras dan sebagainya. Bintang, bulan dan langit menjadi tumpuan harapan. Jika siang, petunjuk bisa dilihat dari awan atau angin. Semuanya tergantung kejelian. Pela jaran yang tak pernah dipelajari di bangku sekolah.‖ (hal.97-98)

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014 2)

Gambaran kehidupan masyarakat pincalang, baik secara realitas fiksi maupun

realitas faktual

  ―.....Dia melipatnya sendiri, dua lembar layar berwarna cokelat dari kain belacu yang dicelupkan ke dalam sebuah wadah berisi air dari tumbukan kulit kayu. Air tumbukan kulit kayu dapat memperkuat jaring dan kain agar tak cepat lapuk terkena air laut‖. (hal. 7-8)

  ―Laut adalah dunianya. Laut adalah lahan hidupnya. Amat dan Maryam lahir dalam Pincalang. Seperti sudah terencana, anak mereka, Buyung dan adik-adiknya, juga lahir di atas Pincalang‖. (hal. 8)

  ― Dalam pelukan hitamnya langit, Amat tidak mengetahui di mana mereka berada. Yang diketahuinya, dia baru saja melaksanakan shalat zuhur. Ditatapnya langit, seperti berharap ada bintang agar ada petunjuk. Tak sekeping bintang bersinar. Mana mungkin ada, hari masih tinggi. Seharusnya matahari masih bertengger di ubun-ubun. Membakar kulit yang m akin legam.‖ (hal.9)

  ―Fatamorgana selalu terjadi di laut lepas. Mata sering tertipu, walau laut tak pernah mau menipu. Laut selalu jujur. Tidak seperti hutan. Di dalam hutan, bahaya selalu mengancam diam-diam. Tiba-tiba harimau atau beruang sudah datang menerkam atau ular mematuk secara sembunyi- sembunyi.‖(hal. 10)

  ―Laut selalu memberikan aba-aba lebih dahulu sebelum memulai aksinya. Awan menggumpal dan angin mendesau terlebih dahulu. Manusia saja yang selalu salah mengerti. Memperkirakan angin akan datang dengan kencang dalam dua jam kemudian, ternyata dalam setengah jam angin sudah menderu-deru. Hanya manusia laut yang berpengalaman yang mengerti apa keinginan laut. Keinginan alam lepas.‖ (hal. 10)

  ―...Di sana ada sebuah gubuk. Cahaya halilintarlah yang menunjukkan itu ke mata Amat. Siapa bilang alam tak bersahabat dengan manusia? Sebaliknya, manusia yang tak mau bersahabat dengan alam atau tidak mau mengerti alam.‖ (hal.11)

  ―Yuuunnnggg!‖ Amat berteriak dari buritan dengan mengangkat sebelah kiri tangannya dengan lima jari terbuka lebar. Itu pertanda dia ingin kabar dari buyung. Putranya itu membalas dengan mengangkat kedua tangannya tinggi sejajar ke atas. Perintahnya masih sama: pertahankan kemudi lurus ke depan. Amat mengikutinya.‖(hal.11)

  ―Ujung tali itu diikat sebuah batu kecil sebagai pemberat.‖ (hal.12) ―Di darat udah ada nelayan yang menunggu mereka. Beberapa orang siap menangkap ujung tali yang terlempar.orang itu segera menangkap ujung tali dan menariknya, lalu mengikatkannya ke pohon kelapa kuat.‖ (hal.12)

  ―Selain melihat situasi, dia juga harus menyapa para temannya untuk berterima kasih.‖ (hal.12) ―Perahu katuk-katuk diturunkan dari pincalang. Perahu itu bisa dinaiki tiga orang. Perahu ini tak bercadik (penyeimbang) di sisi kiri dan kanannya. Amat dan Buyung naik ke perahu, lalu mengayuhnya ke darat. Sesampainya di tepian pulau merek menyeret perahu sampai ke tempat aman, menelungkupkannya agar tidak dimasuki air, agar tak mudah lapuk. Jika gelombang sampai ke darat, perahu itu tidak terseret ke t engah laut.‖ (hal.13)

  Rini Efri Leni

  ―Biasanya di setiap pulau ada gubug yang dibangun oleh mereka, dipelihara oleh mereka. Siapa pun mereka selalu menitipkan beberapa potong kayu kering di tempat terlindung. Itu sudah adatnya, adat yang tak tertulis. Selalu ditati dan diikuti, kalau tak mau klat.‖ (hal.13)

  ―Salah seorang di antara mereka membawa ceret dari Pincalangnya dan air bersih serta bubuk teh dan gula. Biasanya oleh orang yang pertama tiba. Kemudian mereka menunggu Pincalang mana yang akan datang berlindung dan mereka memberikan perlindungan. Seperti sebuah perjanjian tak tertulis. Kenyataannya demikianlah adatnya.‖ (hal.13)

  ―Mereka memakai bahasa pesisir pantai barat di lautan Hindia yang as dan ganas itu. Walau jarak mereka berjauhan sampai ratusan bahkan ribuan mil, bahasa yang hampir sama itu dapat mereka mengerti satu sama lainnya, dengan dialek yang berbeda.‖ (hal.13)

  ―Mereka saling berkenalan. Amat mengatakan dia pengelana di wilayah ini sejak kecil. Itu artinya Amat adalah tuan rumah.‖ (hal.14) ―Sembari berbicara pengalaman, mereka tak henti-hentinya memerbaiki atap gubuk yang terbuat dari kajang, daun pandan berduri yang dirajut menjadi atap agar tak bocor. Mereka memersiapkan air panas lagi, siapa tahu ada Pincalng yang akan berlindung lagi ke pulau itu.‖ (hal.14)

  ―Langit mulai cerah. Si Gendut mengambil sebuah tempurung kelapa yang berlubang. Dirapatkannya tempurung itu ke wajahnya, lalu sebelah mata yang ditutupi mengintip dari lubang kecil di tempurung itu dan sebelah lagi matanya terpejam,bergerak ke kiri dan kanan. Bagaikan orang meneropong.

  ‖ Jika sudah ada yang mau secepatnya berangkat, silahkan saja. Jangan ke arah barat. Lebih baik ke utara atau ke selatan,‖ ucapnya pasti. Amat pun mengerti kalau dia seorang pawang laut. (hal.14) ―Sepenggalah bisa berarti dekat. Tak ada yang tahu pasti apa makna penggalah. Dua penggalah bisa berarti dua puluh mil, dua jam, atau berapa saja.‖ (hal15)

  ―laut sudah membiru, jernih, dan bening. Hujan baru saja mencucinya sebersih mungkin.‖ ―Di tengah laut itu mereka berpapasan dengan empat Pincalang lainnya. Mereka saling melambai, walau susah mengenal wajah mereka dari kejauhan. Lambaian menjadi pengganti sapaan yang hangat, ucapan selamat mengarungi laut lepas dan ganas.‖ (hal.16)

  ―...Setelah kemudi diambil alih, Amat mengambil gayung dan menciduk air laut dari geladak. Dia mengambil wudhu, melihat matahari, lalu mengembangkan selembar kain lusuh. Di atas kain tersebut, dia mengangkat takbir, menghadap Sang Khalik dan melaksanakan shalat. Dia yakin istrinya juga melaksanakan hal itu di bawah, di perut Pincalang. Selesai melaksanaknan shalat, kemudi kembali ke Amat. Kini Buyung yang mlaksanakan shalat.‖ (hal.16)

  ―Sayup-sayup, Buyung dan Amat mendengar Maryam mengaji di perut Pincalang. Lantunan ayat-ayat suci terdengar merambat merdu ke atas geladak.

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014

  Maryam memang seorang perempuan yang tak pernah lupa mengaji dan mengajari anak- anaknya mengaji.‖ (hal16-17)

  ―Amat menanti layangan tali yang akan dilemparkan oleh Buyung. Bocah itu memutar- mutar ujung tali seperti putaran rod. Tali melesat menuju darat.‖ (hal.17)

  ―Ketika memasuki gubuknya, Amat melihat ada tambahan kayu bakar di terasnya. Ada ceret dari kaleng berdiri di tungku. Amat meraba abu di bawah ceret, terasa masih panas. Itu pertanda baru saja ada orang yang singgah di gubuknya, menghidupkan api dan menjerang air. Pasti pincalang yang berpapasan dengannya di laut tadi yang singgah dan berlindung di pulau itu.‖ (hal.18)

  ―Amat mengambil bekas kaleng minyak rambut dari sakunya. Kaleng minyak rambut untuk laki-laki berbentuk oval, bertuliskan Lavender. Di bagian atas kaleng itu ada gambar perempuan eropah cantik sedang tersenyum. Dari kaleng itu Amat mengambil tembakau dan dua lembar daun nipah yang kemudian dilipat-lipat agar gulungannya terbuka. Di atas dua lembar daun nipah yang terpotong sepanjang lima centimeter itu diletakkan tembakau, lalu dilinting. Dengan mancis berbatu alumunium dan berisikan minyak tanah, mancis itu menyulut ujung daun nipah berisi tembakau. Asap mengepul ke udara. Dia duduk sembari mengamati Pincalangnya dan mengenang. Dia mendapatkan Pincalang itu sebagai warisan.‖ (hal. 18-19)

  ―...Lampu dihidupkan dan digantungkan di sebuah sudut yang terlindung dari hujan. Lampu itu harus kelihatan dari kejauhan agar Pincalang lainnya tidak menabraknya.‖ (hal.19)

  ―Sesekali bajak laut juga datang merompak gubuk-gubuk. Mereka menguras ikan asin yang sudah kering, kopra, dan arang, lalu mereka larikan jauh ke tempat lain. Orang-orang Siam selalu melakukan hal itu. Bukan hanya merompak, juga memerkosa perempuan yang ada di dalamnya, setelah suami mereka diikat atau disiksa. Pemerkosaan bukan hanya oleh seorang, tapi bisa bergantian digilir beberapa lelaki. Syahwat para pelaut memang tinggi, apalagi jika berbulan-bulan tak bertemu pasangan. Buas seperti ganasnya ombak.‖ (hal 20)

  ―Amat belajar menaik-turunkan layar. Belajar mengemudi. Belajar melihat bintang, belajar merasakan angin, dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan.‖ (hal.21)

  ―Sebagai laki-laki, dia memang harus menikah agar memiliki banyak anak yang kelak bisa membantunya dalam hidup.‖ (hal.23) ―Ayam jantan selalu setia mengabarkan kalau subuh sudah tiba. Terkadang ayam jantan suka bersahutan-sahutan dengan kokok ayam jantan hutan di pulau. Atau mungkin ayam jantan dan betinanya yang lepas dari Pincalang yang mendarat. Atau bisa juga ada pemilik Pincalang yang melepaskan sepasang ayam di pulau itu sebagai nazar. Ayam itu pun menjadi liar dan berkembang biak.‖ (hal.61)

  ―Sirih yang dibacai mantra itu dikunyah, lalu airnya disemburkan ke kening Maryam. Dengan liurnya yang memerah, ibu Amat mengeluskan tangannya ke perut Maryam, mulai dari atas ke bawah. Bersamaan pula tangan kanannya memijat jempol kaki kanan Maryam, sementara telapak tangan kirinya masih berada di perut Maryam. Berganti pula, telapak tangan kanannya berada di perut Maryam dan telapak tangan kirinya memijat jempol kaki kiri Maryam.‖(hal.75-76)

  Rini Efri Leni

  ―Maryam didudukkan, diberi minum air putih setelah dibacakan mantera. Cukup tiga teguk. Sisanya disapukan ke wajah Maryam oleh ibu Amat dan dia bersenandung sembari melakukan hal itu.‖ (hal.76)

  ―Amat berlari ke palka mengambil bendera berwarna merah dan kembali berlari ke geladak, lalu menancapkannya di haluan. Tidak lupa diikatnya erat-erat. Itu pertanda agar siapa saja yang ancapkannya di haluan. Tidak lupa diikatnya erat-erat. Itu pertanda agar siapa saja yang lewat mengetahui kalau Pincalang Amat ada masalah. Biasanya Pincalang-pincalang lain akan mendekat dan menawarkan bantuan. Karena paniknya, Amat tak mengingat tradisi Pincalang mengibarkan bendera malah. Biasanya Pincalang-pincalang lain akan mendekat dan menawarkan bantuan. Karena paniknya, Amat tak mengingat tradisi Pincalang mengibarkan bendera merah.‖ (hal.87)

  ―Sembilu adalah kulit bambu yang sudah tua dan tajam. Biasanya dipakai untuk memotong tali pusar bayi atau menyunat anak laki-laki. Sembilu diyakini tidak akan menimbulkan infeksi atas luka yang ditimbulkannya.‖ (hal.90)

  ―...Bintang-bintang di langit sangat banyak. Terang dan mengirimkan cahaya biru, kecil-kecil, berkelip-kelip. Dalam pelayaran malam bintang-bintang itu menjadi petunjuk jalan. Menjadi navigasi dan pertanda apakah angin akan datang atau hujan akan deras dan sebagainya. Bintang, bulan dan langit menjadi tumpuan harapan. Jika siang, petunjuk bisa dilihat dari awan atau angin. Semuanya tergantung kejelian. Pelajaran yang tak pernah dipelajari di bangku sekolah.‖ (hal.97-98)

  3)

Gambaran kehidupan sosial masyarakat pincalang dengan adanya hantaman

modernisasi dalam menjaga kearifan lokal.

  ―...Kata mereka, para nakhoda kapal besar berlayar di atas peta, bukan di atas laut. Kapalnya berlayar di atas laut, tapi nakhodanya berlayar di atas peta. Pilot pesawat terbang di atas peta, hanya pesawatnya yang terbang di udara. Bagaimana dengan Pincalang yang tidak memiliki kompas, peta, dan alat navigasi lainnya? Dia berlayar dengan tanda- tanda alam yang diberikan Tuhan.‖ (hal.22)

  ―Sana, lu bawa lu punya bini makan gado-gado di warung. Murah dan enak. Lu harus sayang bini. Tapi ingat, ya, lu gak boleh kasi naik orang lain sama lu punya Pincalang kalau aku belum naik,‖ kembali Aliung menekankannya. Itulah cara halus Aliong menaklukkan orang-orang seperti Amat. Memberi sedikit untuk mengeruk keuntungan lebih banyak. ‖ (hal 69)

  ―... Sudah menjadi kebiasaan bagi para istri orang-orang Pincalang untuk membeli emas jika mereka memiliki uang. Selain gampang dijual jika ada keperluan, perhiasan emas bisa dipakai sehari-hari sebagai sebuah prestise. Kemakmuran seseorang bisa dilihat berapa buah Pincalangnya dan perhiasan apa yang dipakainya.‖(hal.70)

  ―Amat membawa radio ke geladak kapal dan duduk di buritan. Dia menghidupkan radio dan terdengar senandung dendang Melayu dari siaran radio Malaya...‖ (hal. 73)

  ―Buyung merasa canggung memakai selop dan membawa tas sekolah plastik bermerek Ganefo, yang kata penjualnya, sangat disukai anak-anak karena modelnya...‖ (hal. 100)

  Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 1, April 2014

  ―Seminggu setelah sekolah, Buyung mulai terbiasa mmemakai seragam dengan topi dan semua atributnya. Dia juga sudah memiliki teman. Buyung mengajak dua temannya untuk berfoto ke studio foto. Buyung berjanji akan membayarnya...‖ (hal. 141)

  ―Orang-orang mulai membicarakan penggunaan mesin pada kapal nelayan. Bank akan memberikan kredit sesuai Keppres. Di kota orang-orang ramai membicarakan pembuatan kapal motor dengan ukuran kargo tonage 20 sampai 60 ton. Jika nilai tonage lebih dari 60 ton, bentuk kreditnya tidak lagi lunak. Amat ikut nimbrung dalam pembicaraan poara tauke di kedai kopi itu. Amat juga membeli sebuah koran, walau dia masih terbata-bata membacanya. Amat tak malu membaca koran, walau banyak kata yang tak dia mengerti. Dia menulis kalimat yang tak dimengertinya di atas elembar kertas. Dia akan bertanya kepada pak haji di kampungnya. Amat memang rahin belajar dalam kelas Pemberantasan Buta Huruf. Amat senang sudah bisa membaca dan berhitung; kali, bagi, tambah, dan kurang.‖ (hal. 150)

  ―Buyung menunjukkan radar mini yang ada di sebelah kalan juru mudi pada Amat. Buyung menjelaskan kalau di sebelah kanan berjarak sekitar dua mil ada sebuah pulau. Lima mil di hadapan mereka ada sebuah kapal yang sebentar lagi akan berpapasan. Buyung menjelaskan mana kapal dan mana pulau. Dijelaskan pula kalau baru saja mereka berpapasan dengan pincalang pada jarak berkisar seratus meter.

  Semua terbaca dari radar.

  Amat manggut —manggut. Dia tak mengerti sama sekali walau sudah melihat radar itu. Amat tak mampu membedakan mana kapal, pulau, atau Pincalang. Dia tetap lebih peraya pada pengalamannya berpuluh tahun sebagai orang Pincalang. Dia mampu mencium bau karang dari jarak dua puluh mil. Mampu melihat rasi bintang dan mengetahui apakah kawasan itu banyak ikan atau tidak. ...‖ (hal. 169)

  PEMBAHASAN

  Pendekatan sosiologi sangat membantu penelaah untuk menemukan pusat pengisahan suatu cerita. Apalagi, untuk mencari kearifan lokal suatu keadaan. Di dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu, persoalan pokok atau tema besar kisahnya adalah Keppres yang dapat mengancam kehidupan nelayan kecil, tak terkecuali suku perahu. Keppres ini sangat berbenturan dengan kebiasaan yang ada dan mengabaikan kearifan lokal yang ada di kawasan pesisir Sibolga. Betapa tidak? Keppres ini berkaitan dengan kredit kapal yang diluncurkan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan para nelayan. Bayangkan, harga kapal 100 juta (panjar/uang muka/DP 32 juta sisanya 68 juta diangsur selama 5 tahun). Nelayan mana yang sanggup mengkredit sebesar itu, kecuali para juragan nelayan kaya atau pengusaha berbagai niaga. Sementara, nelayan hanya berpenghasilan untuk kebutuhan sehari-hari.

  Memang bagi juragan atau pengusaha, operasi Keppres sangat menjanjikan. Lalu lintas niaga di perairan Sibolga semakin ramai, karena banyaknya orang-orang di luar Sibolga datang untuk bertransaksi. Rumah makan, penginapan, pertokoan, dan lainnya pun bermunculan. Akan tetapi nelayan miskin tetap miskin, tak mampu mengikuti arus bangkit ekonomi kerakyatan demi kesejahteraan, kecuali hanya sebagai penonton saja. Malah perahunya rusak dihantam kapal kredit bila bersinggungan, sedangkan tetumbuhannya punah karena digunduli orang-orang darat untuk dijual ke pasar ramai.

  Rini Efri Leni

  Secara sosiologis, tokoh Amat dalam cerita ini sebenarnya tidak kesulitan menerima Keppres tersebut. Sebab ia pun mampu kalau ia mau mengkredit kapal itu. Bukankah ia mampu membuat KM Pincalang walau meminjam modal dari bank. Namun meski ia mampu, sebagai orang pincalang, ia tak tega melihat penderitaan nelayan miskin. Inilah nilai kearifan lokal yang terus dibawa Amat ini. Bahkan, untuk memertahankan nilai kearifan lokal itu, dia mencoba mengadu ke DPRD/Parpol. Sayangnya, anggota DPRD/Parpol tempatnya mengadu malah di-recall dari DPRD, wartawan pun digari penanya pakai amplop atau intimidasi. Bahkan Amat dianggap provokator, lalu diburu patroli hingga ke sudut pulau, ditembak, ditangkap, diadili dan dipenjarakan tanpa ampun. Begitulah nasib Amat, orang laut yang ingin memertahankan kearifan lokal kaumnya.

  Kearifan lokal lain yang mendapat tantangan dalam novel Idris Pasaribu ini ialah integrasi sosial suku perahu yang marjinal di laut dengan multietnis masyarakat kota yang modern di darat. Barangkali dengan kondisi alam dan diskriminasi eksistensi kemanusiaan, maka ternyata lautan lebih besar dari daratan dalam mengancam kehidupan manusia. Terbukti di laut, pertama, Amat dan keluarganya mengalami ancaman angin kencang dan ombak ganas yang menghantam pincalang, belum lagi hujan deras, kilat dan petir saling menyambar tiang. Pincalang pun oleng ke kanan ke kiri, tetapi tidak pecah dan tenggelam.

Dokumen yang terkait

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus Di Wilayah Hukum POLRES TOBASA)

0 0 12

PENETAPAN KADAR HIDROKORTISON ASETAT DALAM SEDIAAN KRIM SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) TUGAS AKHIR - Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat Dalam Sediaan Krim Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

0 0 13

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS PEMAKAIAN KOAGULAN PAC DAN TAWAS DALAM MENURUNKAN KEKERUHAN AIR BAKU (SUNGAI BELAWAN) TUGAS AKHIR - Perbandingan Efektifitas Pemakaian Koagulan PAC dan Tawas dalam Menurunkan Kekeruhan Air Baku (Sungai Belawan)

0 0 12

BAB II PRINSIP KEHATI – HATIAN DALAM PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) A. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum 1. Kedudukan PT Sebagai Badan Hukum Mandiri - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direk

0 0 66

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jaka

0 0 33

IMPLEMENTASI ALGORITMA LEVENSHTEIN DISTANCE DAN ALGORITMA KNUTH-MORRIS-PRATT (KMP) DALAM FITUR WORD COMPLETION PADA SEARCH ENGINE SKRIPSI RYAN DHIKA PRIYATNA 131421064

0 1 13

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Arsip - Evaluasi Aplikasi Sistem Informasi Arsip (SIA) pada Kantor Pusat Komputer Universitas Negeri Padang

0 0 33

BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kualitas Pelayanan - Analisis Kualitas Pelayanan dengan Menggunakan Metode LibQual+TM di Perpustakaan Umum Gunung Bungsu Sumatera Barat

0 0 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perpustakaan Perguruan Tinggi - Efektivitas Diseminasi Informasi Repository di Perpustakaan Universitas Negeri Padang

1 2 28

PENGARUH KOMITMEN ORGANISASIONAL, PENJUALAN ADAPTIF , ORIENTASI SMART-WORKING DAN KEPUASAN HUBUNGAN KERJA TERHADAP KREATIVITAS STRATEGI PEMASARAN UNTUK MENINGKATKAN KINERJA BISNIS IBO DALAM MULTI LEVEL

0 0 16