BAB I PENDAHULUAN - BAB I, II, III keluarga

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Seorang pekerja sosial perlu mempelajari tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya, karena tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial adalah pengetahuan dasar untuk mempelajari tingkah laku manusia melalui pendidikan ilmu-ilmu sosial yang relevan dengan pekerjaan sosial. Tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial juga merupakan suatu studi yang mengkaji bagaimana memahami manusia sebagai individu dan sebagai kolektivitas, memahami kondisi yang memengaruhi tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial dan melihat bagaimana interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya.

  Dapat dikatakan bahwa tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial (Human Behaviour in the Social Environment) memiliki kedudukan penting dalam pekerjaan sosial karena dalam perkembangan pekerjaan sosial (teori dan praktik) senantiasa berhubungan dengan masalah perilaku manusia baik sebagai individu ataupun kelompok serta dikaitkan dengan lingkungan sosialnya.

  Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi pertolongan dapat membantu pemerlu pelayanan untuk mengembalikan dan menguatkan keberfungsian sosialnya, baik itu keberfungsian individu maupun situasi sosialnya.

  Ketika mempelajari tingkah laku manusia dalam lingkungan sosialnya, salah satu lingkungan sosial individu tersebut adalah keluarga. Keluarga merupakan awal dari lingkungan manusia hidup dan tinggal. Di dalamnya merupakan cikal bakal bagi perkembangan perilaku manusia. Peran kedua orang tua sangat tinggi dalam tumbuh kembang anaknya. Untuk itu dalam makalah yang berjudul “Keluarga” ini, kami akan menjelaskan apa itu keluarga, hal-hal penting apa saja yang berhubungan dengan keluarga serta kaitan keluarga dengan tingkah laku antar anggota keluarganya.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

  1.2.1 Apa yang dimaksud dengan keluarga?

  1.2.2 Bagaimana struktur keluarga?

  1.2.3 Bagaimana relasi dalam keluarga?

  1.2.4 Apa yang dimaksud dengan keberfugsian keluarga?

  1.2.5 Apa yang dimaksud dengan teori sistem keluarga?

  1.2.6 Pendekatan apa saja yang digunakan untuk menganalisis keluarga?

  1.2.7 Apa yang dimaksud dengan krisis keluarga?

  1.2.8 Bagaimana upaya mengatasi krisis keluarga?

  1.2.9 Apa saja karakteristik konflik keluarga?

  1.2.10 Bagaimana pegaruh keluarga terhadap perilaku anak?

  1.3 Tujuan Penulisan

  Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah yang berjudul “Keluarga” ini adalah untuk mengetahui definisi keluarga, mengetahui struktur keluarga, mengetahui bagaimana relasi yang terjalin dalam keluarga, mengetahui keberfungsian keluarga, mengetahui teori sistem keluarga, mengetahui pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis keluarga, mengetahui krisis dan upaya mengatasi krisis dalam keluarga, mengetahui karakteristik konflik dalam keluarga serta mengetahui bagaimana pengaruh keluarga terhadap perilaku anak.

  1.4 Metode Penulisan

  Metode yang kami gunakan dalam penyusunan makalah yang berjudul “Keluarga” ini adalah metode studi pustaka dan melalui internet.

BAB II KELUARGA

2.1 Definisi Keluarga

  Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuan sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga. Pendapat para ilmuan sosial tersebut antara lain:

   Keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Murdock, 1965).

   Keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan tehadap generasi baru (Ira Reiss, 1965).

   Keluarga adalah suatu tatanan utama yang mengomunikasikan pola-pola niai yang bersifat simbolik kepada generasi baru (Weigert dan Thomas 1971).

   Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2004), definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dan definisi interaksional.

  a. Definisi struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya.

  Definisi ini memfokuskan pada siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian tentang keluarga sebagai asal-usul, keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan, dan keluarga batih.

  b. Definisi fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga. c. Definisi transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga, berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya.  Keluarga adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada pada suatu jaringan (Hill, 1998). Konsep keluarga tersebut tampaknya bersesuaian dengan konsep keluarga dalam masyarakat Indonesia yang memaknai keluarga tidak terbatas pada keluarga inti saja, tetapi juga keluarga batih.

2.2 Struktur Keluarga

  Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti dan keluarga batih.  Keluarga inti adalah kelurga yang di dalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu: suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling (Lee, 1982). Struktur keluarga yang demikian menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan. Adapun orang tua menjadikan keluarga sebagai wahana prokreasi, karena keluarga inti terbentuk setelah sepasanag laki-laki dan perempuan menikah dan memiliki anak (Berns, 2004). Dalam keluarga inti hubungan antara suami istri bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak-anak tergantung pada orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi. Keluarga inti pada umumnya dibangun berdasarkan ikatan perkawinan. Perkawinan menjadi pondasi bagi keluraga, oleh karena itu ketika sepasang manusia menikah akan lahir keluarga yang baru.

   Keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain selain ketiga posisi di atas (Lee, 1982). Bentuk pertama dari keluarga batih yang banyak ditemui di masyarakat adalah keluarga bercabang. Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua dari keluarga batih adalah keluarga berumpun. Bentuk ini terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua orang tuanya. Bentuk ketiga dari keluraga batih adalah keluarga beranting. Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu keluarga terjadi generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama. Adapun keluarga batih dibangun berdasarkan hubungan antargenerasi, bukan antarpasangan. Keluarga batih biasanya terdapat dalam masyarakat yang memandang penting hubungan kekerabatan. Hubungan perkawinan berada pada posisi sekunder dibanding hubungan dengan orang tua.

  Dari segi pemegang wewenang utama atas keluarga, misalnya dalam hal menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sosialisasi anak, keluarga dibedakan menjadi matriarki, patriarki, dan egaliter (Berns, 2004). Keluarga kerajaan Inggris dan masyarakat Minang merupakan contoh keluarga matriarki, karena ibu menjadi pemegang utama wewenang atas keluarga. Pada umumnya keluarga menerapkan pola patriarki dengan ayah sebagai pemegang utama wewenang atas keluarga. Namun pada masa kini, dengan berkembangnya pandangan tentang kesetaraan gender dan semakin banyaknya keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama bekerja, telah berkembang pola egaliter.

  Selain itu variasi keluarga berdasarkan struktur juga mencakup keluarga dengan orang tua tunggal, baik karena bercerai maupun meninggal, keluarga yang salah satu orang tuanya jarang berada di rumah karena bekerja di luar daerah, keluarga tiri, dan keluarga dengan anak angkat. Bahkan di dunia Barat banyak ditemui keluarga kohabitasi, yang orang tuanya tidak menikah, dan keluarga dengan orang tua pasangan sejenis.

  Berbagai penelitian menemukan pengaruh struktur keluarga terhadap kualitas keluarga. Skaggs dan Jodl (1999) menemukan bahwa remaja yang tinggal bukan pada keluarga tiri lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung jawab, dan kurang mengalami masalah perilaku daripada remaja yang tinggal pada keluarga tiri yang kompleks. Hubungan yang kompleks pada keluarga tiri menghadirkan tantangan-tantangan yang membutuhkan penyesuaian, sehingga membuat remaja lebih beresiko mengalami penyesuaian.

  Koweleski-Jones dan Dunifon (2006) mengungkapkan bahwa pada kaum muda kulit putih, orang tua tunggal dan kohabitasi berkaitan dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Joblonska dan Lindber (2007), yang menyatakan bahwa remaja dengan orang tua tunggal memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap perilaku beresiko, menjadi korban dan mengalami stres mental, daripada remaja dengan orang tua yang lengkap.

  Dengan beberapa pengecualian, pada dasarnya keluarga yang utuh dan dalam perkawinan yang sah lebih menjamin kesejahteraan anak. Walaupun demikian, sebagaimana diungkapkan Hetherington (1999), proses yang berlangsung pada keluarga lebih besar dari pada pengaruhnya terhadap akibat- akibat pada diri anak, seperti rendahnya perilaku bermasalah dan kepuasan hidup. Proses dalam keluarga tersebut mencakup proses yang terjadi dalam relasi pasangan, relasi orang tua-anak, supervisi orang tua kepada anak dan perilaku kontrol dalam pengasuhan (Leiber, Mack, dan Featherstone, 2009).

2.3 Relasi dalam Keluarga

  Pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan suami istri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncul lagi bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sibling (saudara sekandung). Ketiga macam relasi tersebut merupakan bentuk relasi yang pokok dalam suatu keluarga inti. Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk-bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi, misalnya kakek/nenek-cucu, mertua-menantu, saudara ipar, dan paman/bibi-keponakan. Setiap bentuk relasi terjadi dalam keluarga biasanya memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut dipaparkan karakteristik relasi tersebut.

  a. Relasi Pasangan Suami Istri

  Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan relasi suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian ini bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Calhoun & Acocella, 1995).

  Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian sebagaimana diungkapkan Glenn (2003), yakni konflik, komunikas, dan berbagai tugas rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik. Komunikasi yang positif merupakan salah satu komponen dalam melakukan resolusi konflik yang konstruktif. Walaupun demikian, komunikasi berperan penting dalam segala aspek kehidupan perkawinan, bukan hanya dalam resolusi konflik. Peran terpenting komunikasi adalah untuk membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan. Bila kedekatan dan keintiman suatu pasangan dapat senantiasa terjaga, maka hal itu menandakan bahwa proses penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik. Keberhasilan membangun kebersamaan dalam pelaksanaan kewajiban keluarga menjadi salah satu indikasi bagi keberhasilan penyesuaian pasangan.

  b. Relasi Orang Tua-Anak

  Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan. Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan (Thompson,2006). Pengalaman mereka sepanjang waktu bersama orang-orang yang mengenal mereka dengan baik, serta berbagai karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka pahami merupakan hal pokok yang memengaruhi perkembangan konsep dan kepribadian sosial mereka. Menurut Thompson, hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi, dan berbagai pengaruh lain semenjak dini. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan, misalnya penyesuaian, kesejahteraan, perilaku prososial, dan tranmisi nilai. Sebaliknya, kualitas hubungan yang buruk dapat menumbulkan akibat berupa malasuai, masalah perilaku, atau psikopatologi pada diri anak.

  Dalam tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang relasi orang tua dan anak pada umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment theory) yang pertama kali dicetuskan oleh John Bowlby (1969). Bowlby mengidentifikasikan pengaruh perilaku pengasuhan sebagai faktor kunci dalam hubungan orang tua-anak yang dibangun sejak usia dini. Pada masa awal kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan orang dewasa yang secara teratur merawatnya. Kelekatan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan khusus antara bayi dan pengasuhnya. Kelekatan dicirikan sebagai hubungan timbal balik antara sistem kelekatan dari anak dan sistem pengasuhan dari orang tua (Tuner,2005). Pengertian yang lebih luas dari kelekatan diungkapkan oleh Mercer (2006), yakni sebagai ikatan emosional yang terjadi di antara manusia yang memandu perasaan dan perilaku.

  Selain teori kelekatan, hubungan orang tua-anak juga dapat dijelaskan dengan pendekatan teori penerimaan dan penolakan orang tua (parental

  

acceptance-rejection theory) yang dikembangkan oleh Rohner. Penerimaan

  dan penolakan orang tua membentuk dimensi kehangatan (warmth dimention) dalam pengasuhan, yaitu suatu kualitas ikatan afeksi antara orangtua dan anak. Dimensi kehangatan merupakan suatu rentan kontinum, yang ditandai oleh penerimaan yang mencakup berbagai perasaan dan perilaku yang menunjukkan kehangatan, afeksi, kepedulian, kenyamanan, perhatian, perawatan, dukungan, dan cinta. Adapun sisi yang lain ditandai oleh penolakan yang mencakup ketiadaan atau penarikan berbagai perasaan atau perilaku tersebut (kehangatan, afeksi, dan lain-lain), dan adanya berbagai perasaan atau perilaku yang menyakitkan secara fisik maupun psikolgis (seperti tidak menghargai, penelantaran, tak acuh, caci maki, dan penyiksaan). Menurut Rohner dkk., persepsi anak terhadap penerimaan dan penolakan orang tua atau sosok signifikan yang lain akan memengaruhi perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam menghadapi masalah.

  Kajian tentang hubungan orang tua-anak dapat dibagi ke dalam dua masa, yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirectionality) pada akhir tahun 60-an dan setelahnya (Chen, 2009). Semasa berkembangnya paham satu arah (unidirectionality), penelitian tentang hubungan orang tua-anak memfokuskan pada mengenali strategi pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya, dan pembawaan yang memengaruhi akibat pada anak, misalnya kompetensi perkembangan yang sehat, prestasi akademik, dan problem perilaku. Setelah era paham dua arah pengaruh imbal balik antara orang tua dan anak mulai diperhatikan. Para ilmuan mulai mengenali bahwa baik orang tua maupun anak merupakan agen bagi proses sosialisasi.

  Menurut Chen, kualitas hubungan orang tua-anak merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect), dan ketanggapan (responsiveness) dalam hubungan mereka. Kehangatan menjadi komponen mendasar dalam hubungan orang tua-anak yang dapat membuat anak merasa dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri. Mereka memiliki rasa percaya dan menikmati kesetaraan dalam aktivitas bersama orang tua kehangatan memberi konteks bagi afeksi positif yang akan meningkatkan mood untuk peduli dan tanggap terhadap satu sama lain.

  Rasa aman merupakan dimensi dalam hubungan yang berkembang karena interaksi yang berulang yang memperlihatkan adanya kesiagaan, kepekaan, dan ketanggapan. Interaksi tersebut mengembangkan kelekatan pada masing- masing pihak yang terlibat dalam hubungan. Rasa percaya diri anak dapat tumbuh karena adanya rasa aman terhadap lingkungannya dan orang lain. Rasa aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan eksplorasi yang bermanfaat bagi perkembangan kompetensi.

  Setelah berkembangnya paham dua arah, area penting yang menjadi fokus penelitian adalah kaitan antara interaksi orang tua-anak dan relasi yang terbentuk. Interaksi dan waktu merupakan dua komponen mendasar bagi relasi orang tua-anak. Yang dimaksud dengan interaksi adalah suatu rangkaian peristiwa ketika individu A menunjukkan suatu perilaku X kepada individu B, atau A memperlihatkan X kepada B yang meresponnya dengan Y. Menurut Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip pokok, yaitu :  Interaksi Orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu hubungan. Berbagai interaksi tersebut membentuk kenangan pada interaksi di masa lalu dan antisipasi terhadap interaksi di kemudian hari.

   Kontribusi mutual Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi keduanya.

   Keunikan Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau anak yang lainnya.

   Pengharapan masa lalu Interaksi orang tua-anak membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, orang tua akan memahami bagaimana anaknya akan bertindak pada suatu situasi. Demikian pula sebaliknya anak kepada orang tua.  Antisipasi masa depan

  Karena relasi orang tua-anak bersifat kekal, masing-masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.

c. Relasi Antarsaudara

  Keberadaan saudara baik kandung, tiri, maupun adopsi berpengaruh dalam kehidupan anak-anak. Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung dalam jangka panjang. Pola hubungan yang terbangun pada masa kanak-kanak dapat bertahan hingga dewasa. Hubungan dengan saudara dapat memengaruhi perkembangan individu secara positif maupun negatif tergantung pola hubungan yang terjadi.

  Pada masa kanak-kanak pola hubungan dengan sibling dipengaruhi oleh empat karakteristik, yaitu : jumlah saudara, ururan kelahiran, jarak kelahiran, dan jenis kelamin. Penelitian Powell dan Steelman (1990) menemukan bahwa kombinasi antara jumlah saudara dan jarak kelahiran yang dekat berpengaruh negatif terhadap prestasi akademik dibandingkan dengan yang memiliki jarak kelahiran yang jauh. Pola hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orang tua dalam memperlakukan mereka. Misalnya, ibu menyediakan waktu yang lebih sedikit untuk interaksi yang bersifat sosial, afeksi, dan perawatan terhadap anak kedua dibanding dengan anak pertama, terutama bila anak kedua perempuan (Jacobs & Moss, 1976). Perlakuan orang tua yang berbeda terhadap anak dapat berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan, dan harga diri yang pada gilirannya bisa menimbulkan distress pada hubungan romantis di kemudian hari (Rauer & Voliing, 2007).

  Menurut Dunn (2002), pola hubungan antara saudara kandung dicirikan oleh tiga karakteristik, pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut. Emosi yang menyertai hubungan dengan saudara dapat berupa emosi negatif maupun emosi positif. Kedua, keintiman yang membuat antarsaudara kandung saling mengenal secara pribadi. Keintiman ini dapat menjadi sumber bagi dukungan maupun konflik. Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan diantara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerja sama, dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memperlihatkan adanya ketidaksukaan satu sama lain.

  Pada satu sisi saudara kandung dapat dianggap sebagai pesaing dalam memanfaatkan sumber daya dari orang tua. Dalam perfekstif ini seorang anak dapat mengalami kemunduran perkembangan (regresi) yang disebabkan oleh kelahiran adiknya. Regresi tersebut menjadi taktik bagi anak untuk memperoleh bagian sumber daya yang lebih besar. Selain itu, terdapat suatu kecenderungan bahwa orang tua akan menginvestasikan sumber dayanya secara lebih besar pada anak sulung daripada anak yang lahir kemudian.

  Walaupun berbagai penelitian menunjukkan berbagai hal negatif dalam hubungan antarsaudara yang dikenal dengan sebutan sibling rivary, namun keberadaan saudara kandung juga bermanfaat (Ihinger-Tallman & Hsiao, 2003), antara lain :  Sebagai tempat uji coba (testing ground). Saat bereksperimen dengan perilaku baru, anak akan mencobanya terhadap saudaranya sebelum menunjukkan pada orang tua atau teman sebayanya.

   Sebagai guru. Biasanya anak yang lebih besar, karena memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, akan banyak mengajari adiknya.

   Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negosiasi. Saat melakukan tugas dari orang tua atau memanfaatkan alokasi sumber daya keluarga, kakak beradik biasanya akan melakukan negosiasi mengenai bagian masing- masing.

   Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama dan konflik.  Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan.  Sebagai pelindung bagi saudaranya.  Sebagai penerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya terhadap adiknya.  Sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan pada keluarga.

2.4 Keberfungsian Keluarga

  Keluarga merupakan tempat yang penting bagi perkembangan anak secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih sayang, perlindungan, dan identitas bagi anggotanya. Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi. Dari kajian lintas budaya ditemukan dua fungsi utama keluarga, yakni iternal (memberikan perlindungan psikososial bagi para anggotanya) dan eksternal (mentransmisikan nilai-nilai budaya pada generasi selanjutnya) menurut Minuchin (1974).

  Menurut Berns (2004) keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu :

  a. Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada di dalam masyarakat.

  b. Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumnya ke generasi yang lebih muda.

  c. Penugasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.

  d. Dukungan ekonomi. Keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, dan jaminan kehidupan.

  e. Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat mendalam, mengasuh dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.

  Dalam perspektif perkembangan fungsi paling penting dari keluarga adalah melakukan perawatan dan sosialisasi pada anak. Sosialisasi merupakan proses yang ditempuh anak untuk memperoleh keyakinan, nilai-nilai dan perilaku yang dianggap perlu dan pantas oleh anggota keluarga dewasa, terutama orang tua. Keluarga memang bukan satu-satunya lembaga yang melakukan peran sosialisasi, melainkan keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam menjalani kehidupannya. Oleh karena berbagai peristiwa, pada awal tahun kehidupan anak sangat berpengaruh pada perkembangan sosial, emosi, dan intelektual anak, maka keluarga harus dipandang sebagai instrument sosialisasi yang utama.

  Kajian tentang keberfungsian keluarga merupakan salah satu faktor topik yang memperoleh perhatian dari para peneliti dan terapis. Secara umum keberfungsian keluarga merujuk pada kualitas kehidupan keluarga, baik pada level sistem maupun subsistem, dan berkenaan dengan kesejahteraan, kopetensi, kekuatan, dan kelemahan keluarga (Shek,2002). Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (strength) keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan.

a. Kelentingan keluarga

  Pendekatan kelentingan keluarga bertujuan untuk mengenali dan membentengi proses interaksi yang menjadi kunci bagi kemampuan keluarga untuk bertahan dan bangkit dari tantangan kehidupan yang mengganggu (Walsh,2006). Perspektif kelentingan memandang distress sebagai tantangan bagi keluarga, bukan hal yang merusak, serta melihat potensi yang dimiliki keluarga untuk tumbuh dan melakukan perbaikan. Walsh mendefinisikan kelentingan sebagai kemampuan untuk bangkit dari penderitaan, dengan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya. Kelentingan lebih dari sekedar kemampuan untuk bertahan (survive), Karena kelentingan memampukan orang untuk sembuh dari luka yang menyakitkan, mengendalikan kehidupannya dan melanjutkan hidupnya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

  Terdapat tiga faktor yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga, yaitu sistem keyakinan, pola pengorganisasian keluarga, dan proses komunikasi dalam keluarga. Keyakinan merupakan lensa yang digunakan untuk memandang dunia dan kehidupan. Sistem keyakinan merupakan inti dari kelentingan keluarga yang mencakup tiga aspek, yaitu kemampuan untuk memaknai penderitaan, berpandangan positif yang melahirkan sikap optimis, dan keberagaman.

  Pola pengorganisasian keluarga mengindikasikan adanya struktur pendukung bagi integrasi dan adaptasi dari unit atau anggota keluarga. Untuk menghadapi krisis secara efektif, keluarga harus memobilisasi sumber dayanya dan melakukan reorganisasi untuk menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Pola pengorganisasian keluarga mencakup tiga aspek, yaitu fleksibilitas, keterhubungan (connectedness), serta sumber daya sosial dan ekonomi.

  Komunikasi yang baik merupakan faktor yang penting bagi keberfungsian dan kelentingan keluarga. Komuikasi mencakup transmisi keyakinan, pertukaran informasi, pengungkapan perasaan, dan proses penyelesaian masalah. Keterampilan yang menjadi elemen dari komunikasi yang baik adalah keterampilan berbicara, mendengar, mengungkapkan diri, memperjelas pesan, menyinambungkan jejak, menghargai dan menghormati. Tiga aspek komunikasi yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga adalah:  Kemampuan memperjelas pesan yang memungkinkan anggota keluarga untuk memperjelas situasi krisis.  Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan yang memungkinkan anggota keluarga untuk berbagi, saling berempati, berinteraksi secara menyenangkan, dan bertanggung jawab terhadap masing-masing perasaan dan perilakunya.

   Kesediaan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah sehingga yang berat sama dipikul dan yang ringan sama dijinjing.

b. Kekukuhan Keluarga

  Selain konsep tentang kelentingan keluarga, terdapat ahli yang mengajukan konsep kekukuhan keluarga. Kekukuhan keluarga merupakan kualitas relasi di dalam keluarga yang memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being) keluarga. Defrain dan Stinnett (2003) mengidentifikasi enam karakteristik bagi keluarga yang kukuh, sebagai berikut:

   Memiliki komitmen.

  Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga memiliki komitmen untuk saling membantu meraih keberhasilan, sehingga semangatnya adalah “satu untuk semua, semua untuk satu”. Intinya adalah terdapat suatu kesetiaan terhadap keluarga dan kehidupan keluarga menjadi prioritas.  Terdapat kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi.

  Setiap orang menginginkan apa yang dilakukannya diakui dan dihargai. Ketahanan keluarga akan kukuh manakala ada kebiasaan mengungkapkan rasa terima kasih. Setiap anggota keluarga dapat melihat sisi baik dari anggota yang lainnya, dan selalu terbuka untuk mengakui kebaikan tersebut. Setiap ada keberhasilan dirayakan bersama. Dengan demikian komunikasi dalam keluarga bersifat positif.  Terdapat waktu untuk berkumpul bersama.

  Kuantitas interaksi antara orang tua dan anak di masa kanak-kanak menjadi pondasi penting untuk membentuk hubungan yang berkualitas di masa perkembangan anak selanjutnya. Melalui interaksi orang tua-anak yang frekuensinya sering akan mendukung terbentuknya kelekatan anak dengan orang tua. Oleh karena itu keluarga yang kukuh memiliki waktu untuk melakukan kegiatan bersama dan sering melakukannya. Misalnya makan bersama, bermain bersama, dan melakukan pekerjaan rumah bersama. Seringnya kebersamaan membantu anggota keluarga untuk menumbuhkan pengalaman dan kenangan bersama yang akan menyatukan dan menguatkan mereka.  Mengembangkan spiritualitas.

  Bagi sebagian keluarga, komunitas keagaaman menjadi keluarga kedua yang menjadi sumber dukungan selain keluarganya. Ikatan spiritual memberikan arahan, tujuan, dan perspektif. Ibarat ungkapan, keluarga- keluarga yang sering berdoa bersama akan memiliki rasa kebersamaan.  Menyelesaikan konflik serta menghadapi tekanan dan krisis dengan efektif. Keluarga yang kukuh akan bersama-sama menghadapi masalah yang muncul, bukannya bertahan untuk saling berhadapan sehingga masalah tidak terselesaikan. Konflik diselesaikan dengan cara menghargai sudut pandang masing-masing terhadap permasalahan. Keluarga yang kukuh juga mengelola sumber dayanya secara bijaksana dan mempertimbangkan masa depan, sehingga tekanan dapat diminimalkan. Ketika keluarga ditimpa krisis, keluarga yang kukuh akan bersatu dan menghadapinnya bersama-sama dengan saling memberi kekuatan dan dukungan.

   Memiliki ritme.

  Keluarga yang kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap mengalirnya kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki aturan, prinsip yang dijadikan pedoman. Ritme atau pola-pola dalam keluarga ini akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-harapan yang dibangunnya.

  Keberfungsian sosial keluarga juga dapat dilihat dari tiap-tiap peran anggota keluarganya. Peran di dalam keluarga, mencakup peran sebagai ayah, sebagai ibu, dan sebagai anak.

  a. Peran Ayah Bertanggung jawab kepada seluruh anggota keluarga - Mencari nafkah untuk keluarga - Pendidik dan memberi nasehat kepada anak-anaknya - Pelindung dan pemberi rasa aman -

  • Sebagai kepala keluarga

  b. Peran Ibu Mengurus keperluan rumah tangga - Mendampingi ayah daam mengurus anak-anak - Mengasuh dan mendidik anak-anaknya - Mengatur gizi makanan keluarga sehari-hari -

  • Mengatur nafkah yang diberikan ayah

  Pencari nafkah tambahan dalam keluarga -

  c. Peran Anak Sebagai Kakak dan Adik Kakak -  Memberi contoh yang baik terhadap adik.

   Patuh dan taat terhadap perintah kedua orang tua  Menghormati kedua orang tua

   Membantu pekerjaan kedua orang tua  Belajar dengan giat agar tercapai cita-cita Adik -  Patuh dan taat terhadap perintah kedua orang tua  Menghormati kedua orang tua  Membantu pekerjaan kedua orang tua  Belajar dengan giat agar tercapai cita-cita Keluarga dapat berfungsi sosial jika peran tiap individu di dalam keluarga dapat berfungsi sosial dengan baik. Jadi dapat dikatakan, bahwa keluarga dapat berfungsi sosial tergantung dengan keberfungsian tiap-tiap anggota dalam keluarga tersebut

2.5 Teori Sistem Keluarga

  Teori sistem pertama kalidicetuskan oleh Minuchin (1974) yang mengajukan skema konsep yang memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen:  Struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi.  Keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan.  Keluarga berdaptasi dengan perubahan situasi kondisi dalam usahanya untuk kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya.

  Struktur keluarga adalah serangkaian tuntuan fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah keluarga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi. Pengulangan transasksi membentuk pola bagaimana, kapan, dan dengan siapa berelasi, dan pola tersebut menyokong sistem. Pola transaksi yang meregulasi perilaku anggota keluarga dipertahankan oleh dua batasan:

   Aturan umum yang mengatur organisasi keluarga. Misalnya, dalam keluarga terdapat hierarki kekuasaan dalam pola hubungan orang tua-anak, dan fungsi komplementer antara suami dan istri dalam bekerja sebagai tim.

   Adanya harapan bersama terhadap anggota keluarga tertentu. Harapan tersebut berasal dari negosiasieksplisit maupun implisit di antara anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari Keluarga menghadapi tekanan dari dalam yang berasal dari perubahan perkembangan para anggotanya dan tekanan dari luar yang berasal dari kebutuhan untuk mengakomodasi institusi sosial yang berpengaruh signifikan terhadap anggota keluarga. Untuk itu dibutuhkan transformasi konstan terhadap posisi anggota keluarga dalam berelasi, agar anggota tetap dapat tumbuh sementara sistem keluarga mempertahankan kontinuitasnya. Stres dalam sistem keluarga dapat datang dari empat sumber:  Kontak salah satu anggota dengan kekuatan di luar keluarga.

   Kontak seluruh anggota keluarga dengan kekuatan di luar keluarga.  Stres pada titik transaksi dalam keluarga.  Stress yang timbul di sekitar problem anggota yang berkebutuhan khusus atau keabnormalan fisik.

  Dalam menghadapi stres tersebut keluarga mempertahankan kontinuitas sambil melakukan restrukturisasi yang dimungkinkan. Randal D. Day (2010) mengungkapkan bahwa keluarga sebuah sistem memiliki karaktristik sebagai berikut:

  1) Keseluruhan (the family as a whole)

  Memahami keluarga tidak dapat dilakukan tanpa memahaminya sebagai sebuah keseluruhan. Persoalan individu tidak hanya dilihat terbatas pada individu yang bersangkutan. Dalam pendekatan keluarga sebagai sistem, perhatian utamanya justru diberikan pada bagaimana kehidupan keluarga, baru kemudian memberikan fokus pada individu.

  2) Struktur (underlying structures)

  Suatu kehidupan keluarga berlangsung berdasarkan suatu struktur, misalnya pola interaksi antara anggota keluarga yang menentukan apa yang terjadi di dalam keluarga. Seorang peneliti atau terapis keluarga akan berusaha mengungkap pola-pola di dalam keluarga dengan mengamati bagaimana keluarga memecahkan masalah, bagaimana anggota keluarga berkomunikasi satu sama lain, dan bagaimana keluarga mengalokasikan sumber dayanya.

  3) Tujuan (families have goals)

  Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin diraih, tetapi untuk mengungkap tujuan keluarga ini, seorang peneliti atau terapis perlu memiliki keterampilan observasi yang memadaiuntuk dapat melihat pola-pola yang berulang di dalam keluarga sebelum tujuan terungkap. Tujuan keluarga ini memiliki rentang yang luas dan bervariasi dari satu keluarga dengan keluarga yang lainnya. Selain itu efektivitas pencapaian tujuan suatu keluarga tergantung seberapa besar sumbangan masing-masing anggota keluarga terhadap pencapaian tujuan.

  4) Keseimbangan (equilibrium)

  Keluarga merupakan sistem terbuka dan bersifat dinamis. Dalam rangka meraih tujuannya, keluarga akan menghadapi situasi dan kondisi di luar dirinya yang berubah dan berkembang. Keluarga akan senantiasa melakukan adaptasi, menyesuaikan dengan perubahan dan menanggapi situasi dan kondisi yang dihadapi. Keluarga akan berusaha mencapai tujuannya dengan menjaga kehidupannya agar tetap seimbang.

  5) Kelembaman (morphostatis)

  Keluarga mempertahankan aturan dan menjaga kelangsungan kehidupan sehari-hari agar berlangsung dengan baik. Ada rutinitas dan kebiasaan yang sudah menetap yang selalu dijaga untuk tetap berlangsung secara sama dari hari ke hari. Pada umumnya hal ini berkaitan dengan tugas-tugas kerumahtanggaan, misalnya memasak, menyapu lantai, dan memandikan anak.

  6) Batas-batas (boundaries)

  Setiap sistem memiliki batas-batas terluarnya yang membuatnya terpisah atau berbeda dengan sistem yang lain. Batas-batas ini muncul manakala dua atau lebih sistem atau subsistem bertemu, berinteraksi, dan bersama-sama. Sebagai sebuah sistem terbuka, keluarga memiliki batas-batas terluar yang bersifat mudah tembus (permeable). Batas-batas dari keluarga dapat dilihat dari aturan-aturanyang dibangun dalam keluarga, misalnya apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota keluarga. Apabila batas-batasnya mudah tembus, berarti keluarga memiliki batas-batas yang tidak rapat.

  7) Subsistem

  Di dalam sistem keluarga terdapat unit-unit subsistem, misalnya subsistem pasangan suami istri, subsistem relasi orang tua-anak, subsistem peran orang tua. Salah satu tuga utama dari subsistem keluarga adalah menjaga batas- batas keluarga. Bahwa keluarga bukan hanya terdiri dari individu-individu yang menjadi anggota keluarga, melainkan terdapat berbagai interaksi yang membentuk subsistem keluarga. Proses saling memengaruhi terjadi antar- individu, subsistem, atau antara subsistem dan individu.

  8) Equifinality dan equipotentiality

  Equifinality berarti bahwa permulaan dapat membawa padahasil yang sama, sementara suatu permulaanyang sama dapat pula membawa pada hasil akhir yang berbeda. Contohnya, berbagai kajian tentang interaksi orang tua-anak memperlihatkan bahwa keterlibatan yang berlebihan (overinvolvement) dari orang tua dapat menyebabkan hasil yang berbeda. Sikap orang tua yang sangat tanggap (over-responsive) dapat menyebabkan sebagian anak sangat berprestasi (overachieve) dan dapat pula menjadi kurang berprestasi

  (underachieve). Adapun equipotentiality, berarti bahwa suatu sebab dapat

  menghasilkan suatu akibat sangat terkait dengan proses apa yang berjalan mengikuti sebab tersebut.

  Pendekatan teori sistem yang memandang keluarga sebagai kelompok yang memiliki sistem hierarki (Henry, 1994), yang artinya bahwa terdapat subsistem-subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu atau relasi dua pihak (dyadic). Proses saling memengaruhi antarbagian di dalam keluarga dapat terjadi secara langsung dan tak langsung (Shaffer, 2002). Pengaruh secara langsung (direct effect) terjadi dalam hubungan dua pihak, misalnya antara suami dan istri. Dapun pengaruh tak langsung

  

(indirect effect) dapat berupa pengaruh satu pihak terhadap hubungan dua pihak

  lain, atau pengaruh hubungan dua pihak terhadap pihak yang lain. Misalnya, sikap seorang suami akan memengaruhi kualitas hubungan ibu dengan bayinya.

  Semakin banyak anggota dalam keluarga akan membuat semakin kompleks sistem sosial yang terbangun, karena setiap anggota keluarga adalah sosok pribadi yang unik. Keluarga juga merupakan sistem yang dinamik, karena setiap anggotanya merupakan individu yang berkembang. Sebagai sistem yang dinamik dan berkembang maka perubahan dan perbaikan dapat dilakukan oleh keluarga. Keluarga sebagai sistem sosial juga tidak bisa terlepas dari konteks sosial dan budaya yang lebih besar. Faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi keluarga dapat berupa agama, komunitas yang lebih besar maupun lingkungan pertetanggaan.

  Keluarga sebagai sebuah sistem memiliki karakteristik yang terkait dengan kemapuan keluarga dalam beradaptasi untuk meraih kepuasan hidup keluarga (Henry, 1994). Karakteristk tersebut adalah kelekatan, fleksibilitas, dan stabilitas. Berbagai penelitian menemukan adanya hubungan antara derajat ikatan

  

(bonding) yang moderat dan fleksibilitas dengan tingkat kepuasan remaja

  terhadap kehidupan keluarga. Ikatan mengindikasikan adanya perasaan dekat secara emosi dan memiliki waktu bersama. Fleksibilitas menggambarkan adanya perasaan mampu untuk menyesuaikan dengan kondisi yang dapat maupun tidak dapat diperkirakan. Adapun stabilitas merujuk pada pemanfaatan waktu untuk aktivitas rutin sehari-hari dan adanya perayaan pada waktu-waktu tertentu. Bila ikatan antaranggota keluarga terbentuk cukup kuat, para anggota keluarga mampu bersikap luwes dalam berinteraksi serta terpelihara saat-saat kebersamaan dalam keluarga, maka dimungkinkan untuk terwujud hubungan yang harmonis dalam keluarga. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa hubungan orang tua-anak yang harmonis mendukung perkembangan harga diri pada anak, perkembangan penalaran moral, dan pencapaian kebahagiaan pada anak.

  Dengan pendekatan teori sistem, para peneliti dan terapis keluarga akan memberikan fokus perhatian pada tindakan yang dapat dilakukan dalam menangapi peristiwa sehari-hari, para peneliti dapat menduga nilai-nilai yang dimiliki keluarga, bagaimana mereka melakukan penyelesaian masalah, serta bagaimana mereka memandang dunia ini.

2.6 Pendekatan Untuk Menganalisis Keluarga 1) Pendekatan Peranan

  Keluarga sebagai sistem peran merupakan gambaran yang mengandung harapan, kebudayaan terhadap tingkah laku dalam keluarga merupakan tempat dimana peranan tersebut dipelajari dan diterapkan.

  2) Pendekatan Sebab-Akibat

  Menurut Nimkof, keluarga dapat dipandang sebagai:  Keluarga sebagai variabel terikat : keluarga merupakan tujuan terhadap harapan, tuntutan dan keinginan dari sistem sosial yang lebih besar.

   Keluarga sebagai variabel bebas : keluarga merupakan pendukung kekuatan potensial bagi suatu generasi sebagai gambaran alternatif di masa yang akan datang.

  3) Keluarga Sebagai Sistem Evolusi

a. Trustee Family

  Suatu bentuk keluarga dimana anggota-anggota keluarga merupakan orang-orang yang dipercaya atas nama keluarga. Jadi, yang disebut dan diakui sebagai anggota suatu keluarga adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan yang sudah dianggap dan dipercaya sebagai keluarga sendiri. Anggota keluarga diberikan hak dan kewenangan penuh oleh keluarga untuk menentukan aktivitas sendiri. Dalam hal ini berlaku hak prerogratif (hak menentukan diri sendiri) bagi tiap-tiap anggota keluarga. Keluarga memberikan kebebasan kepada anggota keluarga untuk melakukan apa yang ingin dilakukan selama kebebasan tersebut dilakukan dengan tanggung jawab.

  b. Domestic Family

  Suatu bentuk keluarga antara, yang lambat laun menjadi “Trustee Family” yaitu suatu kondisi untuk mencapai keleluasaan pengawasan keluarga terhadap anggota-anggotanya. Dengan adanya kepercayaan, maka keluarga dapat dengan leluasa melakukan pengawasan terhadap apa saja yang dilakukan oleh anggota-anggota keluarganya.

  Keluarga membagi kekuasaan dan menciptakan konsep hak-hak individu agar dipelihara sehingga tidak bertentangan dengan kewenangan keluarga. Terjadi pembagian kekuasaan dan hak-hak yang disesuaikan sehingga diharapkan tidak terjadi pertentangan dengan kewenangan keluarga.

  c. Atomistic Family