Wirausaha Aksesoris(Studi Etnografi Strategi Ekonomi Kreatif di Pasar UD Pajus Baru Medan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

  Penelitian ini mengkaji tentang Strategi Wirausaha Aksesoris yang berada di Pasar UD Pajus Baru, Medan. Penelitian ini dilakukan karena berawal dari maraknya berita yang disiarkan di media elektronik maupun media cetak mengenai perkembangan kondisi perekonomian sekarang, khususnya di Indonesia yang kurang

  

  stabil dan semakin menurun . Ketidakstabilan kondisi ini ditandai dengan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), yang menyebabkan biaya produksi menjadi

   tinggi .

  Kenaikan biaya produksi secara otomatis membuat harga barang kebutuhan masyarakat ikut naik. Barang-barang kebutuhan masyarakat menjadi semakin mahal, yang menyebabkan daya beli masyarakat semakin menurun. Menurunnya daya beli masyarakat mengakibatkan perputaran roda ekonomi di Indonesia tidak berjalan dengan lancar. Ketidak lancaran tersebut membuat perekonomian di Indonesia menjadi tidak stabil. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab menurunnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS (Amerika Serikat).

  Salah satu bukti ketidakstabilan perekonomian di Indonesia dapat dilihat melalui tabel Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar tahun 2000-2010 dari Bank 1 Indonesia seperti berikut ini:

  FMEI (Forum Mahasiswa Ekonomi Indonesia), “Pengangguran akibat krisis global”, 2 diakses pada tanggal 7 Februari 2012).

  Claudia, “Kenaikan BBM dan pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat”, (diakses pada tanggal 21 Februari 2013)

  Tabel 1.

Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar tahun 2000-2010 dari Bank Indonesia.

  

Tahun Harga

  2000 8.396 2001 10.265 2002 9.260 2003 8.570 2004 8.985 2005 9.705 2006 9.200 2007 9.125 2008 9.666 2009 9.447 2010 9.036

3 Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar

  Sumber: Kurs Rupiah 2012

  selalu berubah setiap tahunnya dan cenderung mengalami penurunan. Ketidakstabilan yang terjadi pada kurs rupiah di pasar valuta asing membuat harga-harga bahan pokok (sembako) naik. Kondisi ini sebenarnya tidak menjadi masalah jika dibarengi dengan pendapatan masyarakat yang tinggi juga. Namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Aktivitas masyarakat yang beragam, dengan latar belakang yang berbeda 3 Kurs rupiah merupakan nilai mata uang rupiah saat ini yang dibandingkan dengan mata uang negara

  

lain, misal nilai tukar rupiah sebesar Rp.9000 atas US Dollar, artinya setiap US$ 1 sama nilainya dengan Rp.9.000.

“Kurs rupiah saat krisis ekonomi “,(diakses tanggal 19 Januari 2013). membuat masyarakat mencoba meningkatkan pendapatannya salah satunya dengan cara melakukan wirausaha, seperti di bidang fashion, khususnya aksesoris. dapat digolongkan ke dalam bagian ekonomi kreatif. Selain dapat

  Fashion

  mengangkat kekayaan budaya, juga dapat menghasilkan nilai ekonomi yang dilakukan melalui proses kreatifitas oleh masyarakat. Salah satu inovasi ekonomi kreatif yang tengah berkembang dan hangat diperbincangkan di masyarakat saat ini adalah dunia mode atau fashion. Fashion dapat diartikan sebagai sebuah gaya, cara,

  

  kebiasaan, atau mode berpakaian yang populer dalam suatu budaya . Jenis-jenis

  

fashion yang sering dikenakan seperti pakaian atau busana, tas, sepatu, aksesoris, dan

lain sebagainya.

  Aksesoris sering kali dikaitkan dengan fashion, karena dianggap dapat mendukung serta memberikan nilai tambah pada penampilan seseorang. Aksesoris bermacam-macam bentuknya mulai dari perhiasan (anting-anting atau giwang, kalung, gelang, cincin, bros, jepit/ikat rambut), hingga pelengkap pakaian lainnya (selendang, sabuk, dasi, syal, sarung tangan, dompet, sapu tangan, tas, topi, arloji, dan kacamata). Namun jenis aksesoris yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aksesoris perhiasan, seperti: anting-anting atau giwang, kalung, gelang, cincin, dan bros.

  Secara umum aksesoris dapat digambarkan sebagai suatu benda yang digunakan untuk melengkapi penampilan seseorang dan bisa dipakai oleh siapa saja.

  Namun dengan adanya cara pandang atau paradigma yang berbeda, aksesoris menjadi 4 mempunyai arti yang berbeda-beda pula bagi masyarakat. Cara pandang atau

  “Mode”,(diakses tanggal 18 Februari 2013)

  

kehidupan. Satu kenyataan yang sama bisa menjadi berbeda, jika dilihat dari

paradigma yang berbeda.

  Demikian juga halnya dengan aksesoris. Jenis dan bentuknya bisa saja sama persis, tetapi fungsinya bisa menjadi tidak sama, ketika suatu kelompok tertentu memaknainya dari sudut pandang yang berbeda dengan orang lain di luar kelompoknya. Hal ini didukung dengan pendapat Cliford Gertz (1992:5), yang mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu sistem makna dari tujuan masyarakat, bukannya sandi perorangan dibenak masing-masing anggota masyarakat. Aksesoris dalam konsep ini bersifat fungsional dan menjadi bagian dari komponen kebudayaan, yang dibuat untuk suatu kepentingan pihak tertentu yang diaplikasikan secara praktis dalam menciptakan produk untuk keperluan manusia. Hal inilah yang menyebabkan pemakaian terhadap aksesoris tertentu menjadi terbatasi.

  Pada jaman dulu perhiasan tidak hanya sekedar dipakai sebagai aksesoris untuk menghiasi badan agar penampilan kelihatan cantik dan menarik saja, tetapi juga difungsikan sebagai pelengkap sebuah upacara. Hal tersebut dapat diketahui dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Bronislaw Malinowski (dalam Belshaw, 1981:15), mengenai sistem kula pada penduduk Trobriand yang berada disebelah tenggara Papua Niugini, yaitu merupakan salah satu bentuk resiprositas atau pertukaran yang saling timbal balik. Barang-barang yang menjadi objek tukar- menukar dengan upacara, secara keseluruhan dikenal sebagai vaygu’a dan dibagi dalam dua kelas, yaitu soulava dan mwali. berupa kalung panjang dibuat dari rangkaian kerang yang diasah,

  Soulava, sehingga berbentuk bulat rata, yang beredar ke satu arah mengikuti arah jarum jam.

  Mwali,

  berlawanan. Barang-barang tersebut pada saat-saat penting dapat dipakai atau dipamerkan sebagai perhiasan pribadi, namun arti pokok benda-benda tersebut adalah sebagai pengumpulan kekayaan barang-barang upacara. Barang-barang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk memperluas pasangan, baik untuk menambah jumlah maupun untuk mempercepat lajunya peredaran benda-benda tersebut. Penyerahan vaygu’a dalam kula adalah suatu kejadian yang diiringi upacara yang mewah. Di luar kula, vaygu’a hanya diberikan pada kesempatan-kesempatan yang penting. Oleh karena itu, barang-barang yang berharga biasanya dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang khusus sehingga dapat meningkatkan nilai sejarah barang- barang tersebut.

  Pada proses pertukaran pemberian di sini berkaitan dengan nilai sosial. Tukar menukar yang dilakukan oleh si pemberi dan si penerima merupakan suatu bentuk kehormatan, dimana pemberi mengharapkan penerima melakukan pengembalian dengan barang yang nilainya paling tinggi. Pada saat terjadi pemberian, orang yang menerima tidak langsung membalas pemberian itu pada saat itu juga, tetapi pengembalian dari penerima dilakukan pada waktu yang berbeda. Barang yang akan dikembalikan oleh penerima tidak berupa barang yang sama dengan nilai non ekonomis yang lebih tinggi, tetapi berupa barang yang berbeda yang juga memiliki nilai prestasi yang lebih tinggi.

  Pemberian dianggap sebagai suatu yang khusus, seorang penerima tidak bisa menolak pemberian tersebut, karena dapat dipandang sebagai penghinaan bagi pemberi. Penerima yang tidak mampu menerima kehormatan dari pemberi biasanya hanya berlaku pada satu kelas yang sama. Pemberian yang didasarkan perbedaan kelas hanya terjadi karena pemberi mengharapkan pengembalian dari Tuhan, dewa atau roh nenek moyang guna membangun hubungan sosial yang lebih harmonis dengan masyarakat yang menerima. di dalam sistem upacara tidak dimaksudkan sebagai perdagangan

  Kula,

  individu. Tetapi di samping mengunjungi pasangan-pasangan kula, orang-orang juga memanfaatkan kesempatan untuk mengadakan perdagangan berupa barang-barang dagangan. Hal tersebut terjadi karena adanya keamanan yang diperoleh dengan hubungan antar pasangan, maka si pengunjung ada kemungkinan untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang lain di desa dan berdagang dengan mereka. Kula juga bukan hanya aktivitas barter tetapi juga pemberian dan pengembalian serta norma- norma yang bersifat magis dan agama, hubungan sosial antar suku dalam masyarakat itu sendiri.

  Berbeda waktu dan tempat, maka akan berbeda kebudayaan juga. Demikian halnya dengan aksesoris yang terdapat pada masa sekarang ini. Aksesoris tidak lagi hanya sebagai pelengkap upacara ritual saja. Namun aksesoris juga dijadikan sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Aksesoris sebagai simbol, seperti alat media untuk menginformasikan sesuatu kepada orang lain. Dalam hal ini seseorang menyampaikan pesan tentang dirinya sendiri melalui aksesoris yang dipakainya. Aksesoris yang menunjukkan suatu simbol tertentu sering kali menjadi tren dalam masyarakat. Tren aksesoris tersebut dapat menggambarkan kehidupan sosial, politik, religi, perasaan, dan identitas diri dari orang yang memakainya.

  

  

boyband Hal

  tersebut bahkan merambat hingga dunia keartisan nasional, dengan memunculkan dan girlband Indonesia seperti Cherrybelle, 7 icons, Dragon boys, SMASH,

  boyband

  Coboy Junior, Princess, dan lain sebagainya. Fenomena tersebut menjadi tren yang banyak diikuti mulai dari kalangan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa.

  Sebagai bentuk luapan perasaan mereka terhadap fenomena tersebut, para pecinta grup boyband dan girlband mencoba mengekspresikan diri mereka dengan berbagai cara. Salah satu bentuk pengekspresian mereka yang dapat diamati adalah seperti dari cara mereka berpenampilan baik itu berpakaian, mengoleksi, dan menggunakan aksesoris perhiasan (seperti kalung, gelang, cincin, anting) yang dianggap menjadi sebuah ciri khas dari boyband atau gilrband idola mereka.

  Pemaknaan yang dilakukan oleh para pecinta gup boyband dan gilrband terhadap sebuah aksesoris, menyebabkan aksesoris tersebut tidak lagi hanya dilihat sebagai sebatas benda yang melengkapi penampilan orang yang memakainya saja. Mungkin orang lain diluar kelompok tersebut yang tidak memahaminya, akan mengganggap aksesoris yang menjadi ciri khas kelompok itu adalah aksesoris yang biasa-biasa saja.

  Oleh karena itu, yang membatasi orang menggunakan aksesoris sebenarnya bukanlah terletak pada bendanya, melainkan budaya yang dimiliki oleh masyarakat 5 itu sendiri yang digunakan untuk memaknai suatu benda tertentu. Sehingga aksesoris

  

Boyband adalah sejenis kelompok musik pop atau R&B yang terdiri dari tiga anggota atau lebih,

semuanya penyanyi laki-laki muda. Sedangkan untuk perempuan disebut Girlband. Biasanya

anggota boyband atau girlband selain menyanyi juga menari dalam pertunjukan mereka. 6 diakses tanggal 22 Januari 2013) karena berbeda situasi dan tempat dapat menyebabkan kebudayaan yang berbeda pula.

  Bentuk aksesoris yang dikenakan biasanya sering juga dikaitkan dengan peran gender dari si pemakainya. Ada semacam pengetahuan yang sudah melekat secara turun temurun dalam benak masyarakat tentang mana aksesoris yang layak digunakan bagi kaum lelaki dan mana yang layak bagi kaum perempuan. Meski tidak diinformasikan secara tertulis, namun dengan melihat benda aksesoris tersentu masyarakat sudah langsung tahu mengklasifikasikan mana aksesoris untuk laki-laki dan mana aksesoris untuk perempuan.

  Pengklasifikasiannya bisa dari segi bentuk, warna, corak, dan jenis suatu benda aksesoris. Aksesoris untuk laki-laki misalnya, biasanya lebih identik dengan warna-warna gelap, dimana bentuk dan coraknya lebih menonjolkan sisi maskulin (seperti: hitam, biru, abu-abu, hijau tua, merah tua, dan cokelat). Sedangkan aksesoris untuk perempuan biasanya lebih identik dengan warna-warna cerah dan lembut, dimana bentuk dan coraknya lebih menonjolkan sisi feminim (seperti: putih, merah, merah jambu/pink, kuning, biru muda, orange, hijau muda, dan ungu).

  Pengklasifikasian aksesoris tersebut merupakan salah satu gambaran dari cermin kebudayaan yang ada di masyarakat Kota Medan saat ini, yang secara langsung maupun tidak langsung masih menunjukkan adanya batasan-batasan tentang apa yang layak dipakai atau digunakan oleh kaum lelaki maupun kaum perempuan.

  Namun batasan-batasan itu tidak berarti menjadi suatu harga mati yang harus wajib dipatuhi oleh anggota masyarakat di Kota Medan pada khususnya. Tidak berarti aksesoris yang dianggap maskulin hanya boleh dipakai oleh laki-laki saja.

  Penggolongan warna, corak, bentuk, dan jenis yang menunjukkan ciri khas dari laki-laki dan perempuan, merupakan sebuah pengetahuan yang bisa saja diturunkan oleh generasi-generasi sebelumnya maupun lingkungan mereka secara sengaja maupun tidak sengaja. Pengetahuan yang ada dalam pikiran manusia menurut James Spradley disebut dengan kebudayaan, yaitu sistem pengetahuan yang diperoleh manusia dari proses belajar yang digunakan untuk menginterpretasi dunia sekelilingnya dan sebagai strategi untuk menghadapi lingkungan sekitarnya (Spradley, 1997).

  Seiring dengan semakin majunya perkembangan jaman, perempuan yang berpenampilan dan memakai aksesoris dengan bentuk yang lebih maskulin atau laki- laki yang berpenampilan dan memakai aksesoris yang lebih feminim, kini bukanlah menjadi suatu hal yang mengherankan. Bahkan bagi sebagian masyarakat fenomena seperti ini sudah dianggap wajar saja. Mengingat sekarang bukan jaman “Siti

7 Nurbaya” yang membatasi seseorang untuk bebas berpendapat. Kini jaman sudah

  berubah menjadi sistem demokrasi, yang berarti setiap orang bebas mengeluarkan pendapat dan mengekspresikan dirinya seperti yang orang tersebut inginkan selama 7 hal tersebut dianggap tidak merugikan pihak lain.

  

Sitinur Baya adalah sebuah novel sastra karya Marah Rusli, yang bercerita tentang perjodohan yang

masih kental dengan adat istiadat Padang. Novel ini mengisahkan seorang gadis bernama Siti

Nurbaya yang hidup hanya bersama ayahnya yang bernama Baginda Sulaiman. Baginda Sulaiman

jatuh miskin dan terlilit hutang pada seorang rentenir bernama Datuk Maringgih. Karena Baginda

Sulaiman tidak mampu membayar hutang-hutangnya pada sang rentenir, maka jalan satu-satunya

agar hutangnya lunas adalah dengan menikahkan puterinya Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih.

Saat itu Siti Nurbaya sudah mempunyai kekasih, namun demi melunasi hutang ayahnya dia pun rela

dinikahkan dengan Datuk Maringgih seorang pria tua yang tidak ia cintai. Kisah ini menceritakan

budaya tradisional yang masih kental, dan tidak ada kebebasan bagi seorang anak dalam menentukan pilihannya (Marah Rusli, 1990). lokal dan tertutup terhadap budaya asing, mungkin hal seperti itu dianggap tabu dan dianggap tidak beradab. Namun dalam masyarakat modern yang lebih bersifat individualis dan terbuka terhadap inovasi baru, aksesoris apa yang dikenakan atau siapa yang mengenakannya tidak menjadi masalah selama itu dianggap tidak merugikan kepentingan orang lain. Kondisi seperti ini menunjukkan suatu perubahan budaya, dalam konteks ini adalah pola pikir dalam masyarakat.

  Perubahan pola pikir yang demikian menjadi sangat menarik saat ada orang yang melihat fenomena yang berkembang di masyarakat dari sudut pandang positif dan menjadikannya sebagai sebuah peluang usaha yang bisa dikembangkan atau yang lebih dikenal dengan istilah berwirausaha. Menurut Iskandarini Soetadi (2010:109), wirausaha adalah orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menangkap peluang bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat dalam memastikan keberhasilan. Wirausaha itu sendiri tidak terlepas dari adanya kegiatan industri kreatif, yaitu industri yang berfokus pada kreasi dan eksploitasi karya kepemilikan intelektual seperti seni rupa, film dan televisi, piranti lunak, permainan, desain fashion, kerajinan tangan, dan termasuk layanan kreatif antar perusahaan seperti iklan, penerbitan, dan

   desain .

  Kegiatan wirausaha tersebut didukung dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2009, tentang pengembangan ekonomi kreatif. Dimana pada tanggal 22 Desember 2008 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah 8 menetapkan tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Usaha dari pengembangan “Industri Kreatif”, (Diakses tanggal 15 Februari 2012). khususnya masyarakat, karena sektor ekonomi kreatif dianggap telah mampu bertahan di tengah krisis ekonomi global. Sektor kegiatan ekonomi kreatif ini sendiri dalam ilmu Antropologi merupakan salah satu bagian dari tujuh unsur kebudayaan yaitu sistem mata pencaharian hidup (Koentjaraningrat, 1990:203, 207). Sehingga ekonomi kreatif seperti wirausaha aksesoris dapat disebut juga sebagai profesi atau pekerjaan yang bergerak dibidang informal.

  Meskipun demikian kesadaran dari masyarakat sendiri untuk melakukan

  

  kegiatan wirausaha juga masih minim . Hal ini dapat disebabkan oleh faktor budaya dalam diri masyarakat yang berbeda-beda dalam menanggapi kegiatan wirausaha itu sendiri. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa dunia wirausaha seperti melemparkan dadu, yang artinya seseorang itu tidak tahu berapa jumlah angka yang akan muncul tergantung keberuntungannya.

  Demikian juga halnya dengan berwirausaha, selain dianggap membutuhkan modal yang sangat tinggi, pendapatan yang akan diperoleh juga tidak tetap dan yang lebih parahnya usaha tersebut sewaktu-waktu bisa mengalami kebangkrutan. Hal ini menjadi sebuah ketakutan yang membuat orang berpikir dua kali untuk mencobanya.

  Oleh karena itu, ada sebagian masyarakat yang tidak berani mengambil resiko untuk menjadi seorang wirausaha dan membiarkan dirinya menjadi pengangguran dan menunggu sampai ada lapangan pekerjaan yang terbuka untuknya.

  Untuk menghindari resiko tersebut, tidak sedikit orangtua yang rela 9 mengeluarkan banyak biaya hanya demi memasukkan anaknya ke lembaga

  Ridwan Putra, “Membangun karakter mental kewirausahaan pemuda”, (diakses pada tanggal 24 Januari 2013). mencari pekerjaan dengan gaji yang tetap seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), sehingga bisa meningkatkan status sosial dan ekonominya dalam masyarakat. Sangat jarang ada orang yang berpikir, setelah lulus menciptakan pekerjaan. Menurut Valentino Dinsi (2004:17), pemikiran seperti ini bisa dimaklumi dalam masyarakat kita yang mementingkan status dan kedudukan sosial yang mapan. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma tentang mencari pekerjaan sepertinya sudah menjadi budaya dan melekat dalam diri masyarakat.

  Namun seiring dengan terus meningkatnya jumlah pencari kerja setiap tahunnya, mengakibatkan lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mencukupi yang

  

  pada akhirnya menimbulkan masalah pengangguran Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya perusahaan besar relatif padat modal dan membutuhkan pekerja dengan pendidikan formal yang tinggi serta pengalaman yang cukup, sedangkan industri kecil seperti kegiatan wirausaha relatif padat karya dan tidak mengharuskan pendidikan formal. Sehingga kegiatan wirausaha khususnya di bidang ekonomi kreatif aksesoris bisa menjadi salah satu alternatif lain bagi orang belum mempunyai pekerjaan.

  Berdasarkan hasil observasi saya diberbagai tempat di Kota Medan, pembuatan kerajinan tangan aksesoris merupakan salah satu bentuk kerajinan tangan yang lebih diminati oleh banyak orang karena proses pembuatannya relatif lebih mudah dan tidak membutuhkan jangka waktu yang lama. Berbeda halnya dengan

10 Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (usia 15-64 tahun) yang sedang

  

mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya (http://organisasi.org/pengertian-pengangguran-dan- jenis-macam-pengangguran-friksional-struktural-musiman-siklikal). proses pembuatannya lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lama.

  Di Medan penulis menemukan usaha ekonomi kreatif aksesoris yang dikelola oleh Pak Ojie yang lebih dikenal dengan sebutan OAM Aksesoris yang berada di Pasar UD Pajus Baru Medan, tepatnya beralamat di Jl. Letjend Drs. Djamin Ginting No. 340-A Sumber Padang Bulan. Usaha OAM (Ojie Anak Manis) Aksesoris yang berada di Pasar UD Pajus Baru Medan menjadi tempat penelitian penulis, karena dari hasil observasi penulis OAM Aksesoris adalah satu-satunya wirausaha aksesoris yang sebagian besar (kurang lebih 60%) memproduksi sendiri benda-benda aksesorisnya di Pasar UD Pajus Baru.

  Mereka memproduksi kerajinan tangan sendiri berupa benda-benda aksesoris seperti kalung, gelang, pita rambut, kotak perhiasan, gantungan kunci, dan hiasan lainnya yang sebagian besar dibuat dari bahan dasar berupa barang-barang bekas yang bagi sebagian besar orang barang tersebut dianggap sampah. Barang-barang bekas yang mereka gunakan itu, seperti: batok kelapa, kotak teh, kain bekas, goni, tali sepatu, kayu, botol plastik, kaca/pecahan kaca, serbuk teh, kaleng minuman, tulang, dan lain sebagainya. Selain menggunakan bahan bekas mereka juga menggunakan besi putih, nilon, dan lain sebagainya yang mereka beli dari toko peralatan. Selain membuat aksesoris sendiri, mereka juga tidak menutup diri terhadap karya aksesoris yang dibuat oleh orang lain. Mereka juga memesan benda-benda aksesoris yang sudah jadi dari pusat pasar dan luar kota seperti Nias, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Benda-benda aksesoris yang berasal dari luar kota tersebut adalah benda-benda aksesoris yang bentuk maupun motifnya berbeda dan belum pernah mereka buat sebelumnya, dan tentu saja benda-benda tersebut memiliki keunikan tersendiri. aksesoris tersebut tidak hanya sebatas membuat aksesoris dan melakukan transaksi jual-beli saja, namun lebih pada mengungkapkan kejadian lain dibalik itu.

  Berdasarkan hasil observasi saya di lapangan, selain memperoleh keuntungan dengan adanya transaksi jual beli ini ternyata juga menjadi suatu wadah dalam menjalin tali silaturahmi, sumber informasi, dan memperluas jaringan kekerabatan, baik antara sesama wirausaha aksesoris, wirausaha dengan pembeli, maupun antara sesama pembeli itu sendiri.

  Pada proses pembuatan aksesoris cara yang dilakukan adalah dengan membuat inovasi dan kreatifitas terhadap barang-barang tersebut, sehingga dapat menarik minat banyak orang, dengan demikian aksesoris yang dibuat akan memiliki nilai ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan. Proses perubahan dari barang tidak bernilai, menjadi memiliki nilai seni, kemudian memiliki nilai ekonomi yang menghasilkan keuntungan dapat digambarkan sebagai berikut ini:

  

Gambar 1.

Proses Ekonomi Aksesoris

  Barang bekas/ Proses tidak bernilai pemanfaatan budaya dengan melakukan

  Nilai seni Keuntungan inovasi dan kreatifitas

  Nilai ekonomi sebuah peluang usaha dalam ekonomi kreatif dengan memanfaatkan situasi dan mengembangkan kreatifitas dan inovasi yang dimiliki oleh seseorang. Oleh karena itu dalam wirausaha, persepsi dalam masyarakat tentang budaya “mencari kerja” harus diubah terlebih dahulu menjadi pola pikir “pencipta lapangan kerja”. Kondisi ini dapat dicapai jika disertai dengan pemahaman dan pendidikan tentang pentingnya melakukan wirausaha kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak hanya sekedar mengetahui tetapi juga paham bagaimana menjadi wirausaha yang baik.

  Selain itu masyarakat juga dapat diberikan pandangan tentang wirausaha ekonomi kreatif diberbagai daerah, karena hal tersebut bisa memperluas wawasan dan menjadi motivasi mereka dalam berkarya. Beberapa diantaranya seperti perkembangan industri seni rupa dan seni karya di Bali, industri kerajinan keramik dan gerabah di Yogyakarta dan industri busana dan belanja di Bandung. Ekonomi kreatif atau dikenal dengan ekonomi budaya tidak hanya berperan dalam membuka lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran saja, tetapi juga berperan dalam menggali nilai-nilai budaya dan mengembangkan semangat kreatifitas masyarakat.

  Modal utama ekonomi kreatif adalah sumber daya manusia, ide, kreatifitas, dan inovasi. Jadi, meskipun industri kreatif memproduksi barang-barang yang sama khususnya benda-benda aksesoris, tetapi tetap saja akan ada perbedaan tersendiri seperti dalam hal warna, corak atau bentuk, harga, dan pelayanan kepada konsumen.

  Hal ini dapat disebabkan karena budaya dari setiap orang itu berbeda-beda, sehingga selera atau jenis barang yang diinginkan setiap orang dalam masyarakat untuk barang yang sama tentu juga akan berbeda, dan ini juga menentukan produksi barang yang wirausahawan itu sendiri.

  Mengingat produk yang dihasilkan mempunyai variasi yang semakin banyak dan bersifat musiman menurut peristiwa tertentu, juga mudah untuk dibajak atau ditiru oleh orang lain. Seorang wirausaha aksesoris dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat, tentu harus mempunyai cara atau strategi tersendiri yang dimodifikasi sesuai dengan pengetahuan atau kebudayaan yang dimilikinya agar dapat terus bertahan dan mencapai kesuksesan. Karena dalam ekonomi kreatif yang berharga itu bukanlah bendanya, akan tetapi ide-ide untuk membuat benda aksesoris itulah yang berharga sehingga memiliki nilai seni, dan strategi usaha mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjaga kestabilan suatu usaha.

1.2. Tinjauan Pustaka

  Kerajinan menurut Boeke (dalam Dunham, 2008:45), “Merupakan produksi untuk perdagangan lokal. Ada kontak langsung antara produsen dengan konsumen tanpa perantara pedagang professional; seringkali produksi berdasarkan pesanan; tidak ada penumpukan stok”. Kerajinan tangan (handy craft) adalah “a work produced

  

by hand labor, a trade requiring skill of hands ” al ini mengandung pengertian

  tentang suatu karya yang dibuat oleh seseorang berdasarkan ide-ide yang dimilikinya dengan menggunakan tangan mereka sendiri, dan memerlukan keterampilan untuk

  

  mengkreasikan kerajinan tersebut sehingga mempunyai suatu nilai . Kerajinan itu sendiri adalah sebuah bagian dari ekonomi kreatif.

  11 12

Handy Craft”, http:/arti kata.com/arti-85438-handicraft.html (Diakses tanggal 13Februari, 2012).

  

Nilai merupakan suatu konsepsi-konsepsi yang ada dalam pikiran masyarakat dan organisasi

mengenai hal-hal yang berarti dalam hidup (Koentjaraningrat, 1974: 31).

  

  input dan outputnya adalah ide atau gagasan hli ekonomi Paul Romer (1993) juga berpendapat, bahwa ide adalah barang ekonomi yang sangat penting, lebih penting

  

  dari objek yang ditekankan dikebanyakan model-model ekonomi Melalui ide-ide kreatif yang dimiliki oleh seseorang, sesuatu bisa dijadikan bernilai lebih, sehingga menghasilkan nilai ekonomi.

  Oleh karena itu, Ekonomi kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi yang lebih mengutamakan informasi dan kreatifitas, dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. Ekonomi kreatif lebih berfokus pada penciptaan barang dan jasa yang mengandalkan keahlian, bakat dan kreatifitas sebagai kekayaan intelektual yang dimiliki oleh seseorang.

  Sedangkan dalam ilmu Antropologi Ekonomi yang memusatkan studi pada gejala ekonomi dalam kehidupan masyarakat manusia. Melihat ekonomi kreatif sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang segala aktivitas dan kreatifitas manusia dalam proses pengelolaan sumber daya-sumber daya, baik Sumber Daya Manusia (SDM), maupun Sumber Daya Alam (SDA) di bidang produksi dan jasa. Dibidang produksi pengelolaan itu berupa bahan mentah atau penyiapannya menjadi bahan setengah jadi, maupun bahan setengah jadi menjadi bahan jadi. Sedangkan di bidang jasa merupakan segala aktivitas yang terkait dengan pengelolaan sumber daya, 13 baik langsung maupun melalui perantara.

  “Ekonomi kreatif di Indonesia”, 14 (diakses tanggal 22 Februari 2013) “Definisi ekonomi kreatif”, (diakses tanggal 22 Februari 2013) termasuk ekonomi kreatif, merupakan suatu bentuk perekonomian rakyat yang mampu membantu mengurangi pengangguran, turut mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional serta berperan penting dalam proses industrialisasi. Kegiatan tersebut telah berperan dalam perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja di daerah pedesaan; dalam penanggulangan kemiskinan; bahkan juga dalam peningkatan ekspor.

  Kementerian Perdagangan Indonesia juga menekankan bahwa industri kreatif merupakan industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan

  

  Dengan demikian proses peningkatan nilai tambah dari hasil kekayaan intelektual berupa kreatifitas, keahlian, dan bakat individu menjadi produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang yang terlibat.

  Ada empat belas sektor yang dimasukan dalam ekonomi kreatif di Indonesia, yakni:

1. Periklanan.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa periklanan (komunikasi satu arah dengan menggunakan medium tertentu), yang meliputi proses kreasi, produksi dan distribusi dari iklan yang dihasilkan. Contoh: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, promosi kampanye, pemasangan poster, 15 reklame, dan sebagainya.

  Ibid, hal 3.

  Arsitektur.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan, perencanaan biaya, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, pengawasan konstruksi baik secara menyeluruh dari level makro sampai dengan level mikro.

  3. Pasar Barang dan Seni.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar, swalayan, internet. Contoh: alat music, percetakan, film, seni rupa, dan lukisan.

  4. Kerajinan.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi produk yang dibuat dan dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya. Contoh: barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, bamboo, kayu, rotan, logam (emas, perak, tembaga, perunggu, besi), porselin, kaca, marmer, kapur, tanah liat.

  Produk kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil, bukan produksi massal.

  5. Desain.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan.

  6. Fashion. kaki, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, dan desain aksesoris mode lainnya.

  7. Video, Film, dan Fotografi.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi produksi video, film dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, dan sinetron.

  8. Permainan Interaktif.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi.

  9. Musik.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi/komposisi, pertunjukan, reproduksi, dan distribusi dari rekaman suara.

  10. Seni Pertunjukan.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten, produksi pertunjukan (misalnya: pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan.

  11. Penerbitan dan Percetakan.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, majalah, koran, tabloid, dan konten digital, serta kegiatan kantor berita dan pencari berita.

  12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak. informasi termasuk jasa layanan komputer, pengolahan data, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal termasuk perawatannya.

  13. Televisi dan Radio.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan acara televisi (seperti games, kuis, reality show, , dan lainnya), penyiaran, dan transmisi konten acara televisi

  infortainment

  dan radio, termasuk kegiatan station relay (pemancar kembali) siaran radio dan televisi.

  14. Riset dan Pengembangan.

  Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha inovasi yang menawarkan penemuan ilmu teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar; termasuk yang berkaitan dengan humaniora seperti penelitian dan pengembangan bahasa, sastra dan seni; serta jasa konsultasi

   bisnis dan manajemen .

  Berdasarkan ke empat belas (14) subsekstoral industri kreatif di atas, aksesoris termasuk ke dalam bagian fashion. Fashion atau mode menurut Helen Reynolds

   16 (2011) 17 (Diakses tanggal 10 Maret, 2012).

  Siti Muyassarotul Hafidzoh, “Mode, cermin peradaban”, perhiasan dan aksesoris, melainkan sebuah jejak kuasa, hasrat, seni dan jati diri manusia. Identitas manusia dalam lintasan sejarah dapat dengan mudah dibaca dalam jejak mode yang ditampilkan. Kreasi dalam mode mencerminkan ruh kebudayaan dan peradaban yang dirakit manusia untuk mencipta peta kehidupan.

  Koentjaraningrat (1990), mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia yang diperoleh melalui proses belajar. Di dalamnya terkandung nilai-nilai dan aturan yang didapat melalui proses belajar dan juga pengalaman manusia yang ada dalam pikirannya. Sehingga apa yang didapat oleh manusia itu adalah melalui tahapan dari belajar dan tersusun sedemikian rupa dalam mind manusia itu sendiri. Dalam konsep ini, segala aktivitas manusia yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari kebudayaan. Oleh karena itu, kreatifitas dari karya manusia berupa benda-benda aksesoris merupakan salah satu bagian dari hasil kebudayaan.

  Untuk menghasilkan suatu kreatifitas, manusia harus belajar terlebih dahulu bagaimana cara membuat karya tersebut. Kemampuan tersebut diperoleh melalui

  

  proses belajar dalam interaksi sosial yang kemudian disesuaikan terhadap berbagai macam lingkungan yang berbeda-beda. Proses belajar ini berlangsung terus menerus dan mengalami perubahan (modifikasi) dari generasi ke generasi berikutnya sesuai dengan kebudayaan yang diperolehnya (Mintargo, 2000:81).

  

(diakses tanggal 6

18 Februari 2013)

Interaksi sosial menurut Soerjono Soekanto merupakan dasar proses yang terjadi karena adanya

hubungan-hubungan sosial yang dinamis mencakup hubungan antar individu, antar kelompok, atau

antar individu dan kelompok.

  ra_ahli_info965.html) adanya kewirausahaan. Kewirausahaan sebagai suatu pola-pola perilaku seringkali dihubungkan dengan kearifan lokal yang ada disuatu daerah, karena menyangkut nilai-nilai dasar atau pandangan hidup yang dianut oleh individu-individunya atau suatu golongan sosial tertentu. Syafri Sairin (2011) mengatakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai:

  “Sebuah sistem gagasan dan ide yang merupakan milik

  bersama suatu kesatuan sosial; berfungsi sebagai blue

  

print atau pedoman bagi sikap dan perilaku bersama

anggota kesatuan sosial tersebut dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya; berakar dari kristalisasi pengalaman hidup bersama dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya ”.

  Ahimsa-Putra (dalam Berutu, 2011), juga menjelaskan bahwa kearifan lokal bersifat dinamis dan variatif. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu komunitas itu tidak hanya berasal dari warisan generasi-generasi sebelumnya saja, akan tetapi juga diperoleh dari berbagai pengalaman dan pengetahuan masa kini yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya. Oleh karena itu, hasil kerajinan tangan dari suatu tempat yang berbeda akan memperlihatkan corak perilaku wirausaha yang berbeda pula yang disesuaikan dengan kebudayaannya.

  Dalam ekonomi kreatif tidak pernah ada kata cukup atau berpuas diri, para pelakunya selalu mencari cara untuk terus berinovasi untuk menghasilkan karya-karya 19 baru. Hessinger mengatakan bahwa, kebutuhan terhadap inovasi itu lebih dulu ada,

  

Blue Print maksudnya adalah kebudayaan itu sudah ada sebelumnya, orang lain tinggal meniru saja

(Kluchon, 1998). Contohnya kalung, seseorang membuat sebuah kalung dengan model yang baru

tidak berarti dia murni sebagai pencipta kalung tersebut, karena jauh sebelumnya “kalung” sudah ada sejak dulu. Dia tinggal menirunya saja dan melakukan modifikasi terhadap kalung tersebut. seseorang membuka diri terhadap pesan-pesan inovasi jika mereka belum membutuhkan inovasi tersebut. Pesan-pesan dari inovasi tersebut akan menjadi kurang maksimal jika seseorang tidak atau belum menganggap inovasi itu sesuai dengan kebutuhannya dan tidak selaras dengan sikap dan kepercayaannya. Hal seperti ini ia sebut sebagai selective perception (Hanafi, 1981).

  Ada beberapa tipe keputusan inovasi, yaitu: 1.

  Keputusan otoritas, yaitu keputusan yang dipaksakan kepada seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atasan.

  2. Keputusan individual, yaitu keputusan dimana individu yang bersangkutan ambil peranan dalam pembuatannya.

  3. Keputusan kontingen, yaitu pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi setelah ada keputusan inovasi yang mendahuluinya (Hanafi, 1981).

  Inovasi yang dilakukan sedikit banyaknya membuat suatu perubahan- perubahan yang nyata dalam masyarakat baik itu berakibat negatif maupun berakibat positif. Oleh karena itu, para pelaku usaha industri kreatif juga harus selektif dalam membuat inovasi-inovasi baru dan akibat inovasi itu harus dikontrol. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, mereka tentu membuat suatu strategi tersendiri yang dianggap dapat memajukan usahanya dan diterima oleh masyarakat disekitarnya.

  Melalui strategi inilah mereka melakukan persaingan dalam menarik minat para konsumen sehingga dapat memperoleh keuntungan material (seperti uang) dan simbolik (seperti pangkat ataupun ketenaran).

  Seperti pendapat G. R. Lono Lastoro Simatupang menyatakan Budaya sebagai Strategi dan Strategi Budaya, dengan strategi itu, manusia dalam melakukan berbagai dibentuk. Pada era ketika waktu dan ruang menjadi barang mewah seperti saat ini, kita harus berani menawar “bentuk” untuk memenangkan pertarungan kontrol atas diri kita sendiri dan kesediaan untuk menerima keragaman bentuk sesuai dengan ruang atau bidang kehidupan yang dimasuki (Simatupang, 2000).

  Dengan demikian pemilihan strategi yang digunakan dalam menjalan suatu usaha khususnya ekonomi kreatif yang tidak lepas dari adanya inovasi-inovasi baru, tentu menjadi salah satu aspek yang sangat penting dan perlu pertimbangan dengan penuh ketelitian. Sukses tidaknya suatu usaha itu tergantung pada strategi apa yang digunakan oleh pelaku usaha tersebut. Jika strategi yang digunakan tidak tepat sasaran kemungkinan usaha yang dijalankan tidak akan berkembang dengan baik, dan sebaliknya jika strategi yang digunakan tepat sasaran maka pelaku usaha dapat mencapai kesuksesan seperti yang diharapkan.

1.3. Rumusan Masalah

  Melihat dari latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi wirausaha aksesoris di Pasar UD Pajus Baru Medan agar dapat bertahan dan mencapai kesuksesan ditengah persaingan yang semakin ketat, yang dirumuskan ke dalam beberapa poin pertanyaan berikut : a.

  Bagaimana mereka memperoleh ide-ide sehingga dapat membuat aksesoris sebagai bagian dari ekonomi kreatif? b.

  Bagaimana strategi mereka dalam memodifikasi dan mengembangkan produknya sesuai dengan perkembangan mode saat ini?

  1.4. Maksud dan Tujuan Penulisan

  Penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan pengetahuan dari wirausaha aksesoris yang berjiwa kreatif dalam membuat, memodifikasi, serta mengembangkan produk yang mereka hasilkan. Selain itu juga bertujuan untuk menjelaskan bagaimana strategi yang mereka lakukan dalam menjalankan usaha aksesorisnya sehingga dapat tetap bertahan dalam persaingan pasar, mengingat banyaknya pedagang aksesoris di Pasar UD pajus Baru Medan. Sehingga dengan diketahuinya strategi tersebut, pembaca atau orang lain di luar kelompok tersebut dapat menambah pengetahuan dan masukan bagi mereka dalam melakukan wirausaha aksesoris.

  Manfaat penelitian ini secara akademis diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang ilmu Antropologi, terutama dalam melihat realita masyarakat saat ini yang membutuhkan ide-ide yang lebih kreatif dalam berkarya khususnya dalam membuat aksesoris.

  Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan alternatif pemecahan masalah lapangan pekerjaan yang kerap terjadi di masyarakat. Selain dapat mengembangkan sebuah hobi, aksesoris juga dapat dijadikan sebuah mata pencaharian, guna memenuhi kebutuhan hidup.

  Hal inilah yang dijadikan sebagai sebuah kajian dan pembelajaran. Bagi penulis sendiri, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan dibidang wirausaha aksesoris, serta dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapatkan selama di perkuliahan.

  1.5. Kerangka Penulisan

  Skripsi ini berisi kajian analisis yang didasarkan pada observasi partisipasi dan wawancara penulis, yang membahas tentang wirausaha aksesoris di Pasar UD Pajus terhadap para wirausahawan kreatif, dalam konteks orang yang membuat dan memodifikasi aksesoris di pasar UD Pajus Baru Medan. Pembahasan tentang wirausaha aksesoris tidak terlepas dari berbagai pihak yang secara langsung (seperti pembeli) maupun tidak langsung (seperti wirausaha aksesoris yang tidak membuat dan memodifikasi aksesoris) ikut serta dalam proses perkembangan usaha aksesoris tersebut, dan bagaimana sikap masyarakat dalam menanggapi keberadaan dari para wirausahawan kreatif tersebut.

  Berikut diuraikan apa saja yang dibahas dalam skripsi ini, yakni:

  Bab I Pendahuluan, berisi mengenai latar belakang, tinjauan pustaka, rumusan masalah, maksud dan tujuan penulisan, kerangka penulisan, metode dan pengalaman penelitian.

  Bab II Situasi Perkembangan Wirausaha Aksesoris, berisi mengenai sejarah singkat aksesoris, industri kreatif aksesoris di Kota Medan, sejarah berdirinya OAM aksesoris, serta sejarah berdirinya IMEGI.

  Bab III Proses Pembuatan Aksesoris, yang berisi mengenai tahapan dalam pembuatan aksesoris dan jenis-jenis aksesoris. Bab IV Strategi Persaingan Wirausaha Aksesoris, yang berisi mengenai strategi ekonomi aksesoris, strategi kreatifitas, dan strategi pelayanan prima kepada setiap pelanggan.

  Bab V Kesimpulan dan Saran, berisi tentang kesimpulan dari hasil hasil penelitian yang telah dilakukan dan juga saran yang ditujukan kepada wirausahawan aksesoris, pihak pemerintah setempat, serta masyarakat.

1.6. Metode dan Pengalaman Penelitian

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi, dimana seorang etnografer atau peneliti ikut berpartisipasi dalam melakukan kegiatan atau kebiasaan-kebiasaan hidup dari objek yang diteliti yaitu masyarakat dalam periode waktu yang lama. Penelitian etnografi meneliti suatu proses dan hasil akhir. Penelitian sebagai suatu proses, dimana saya melakukan observasi partisipasi dengan cara mengeksplorasi kegiatan dan tingkah laku sehari- hari dari informan dan mewawancarai anggota yang ikut terlibat didalamnya, seperti: pedagang, pengrajin, dan pembeli aksesoris dengan menanyakan suatu kejadian yang terjadi dan apa manfaat kegiatan tersebut dilakukan.

  Metode ini digunakan agar mampu menjelaskan sesuatu hal yang di lihat dan memahami apa yang mereka katakan. Di sini informan yaitu pengrajin adalah sebagai guru yang memberikan informasi, pemahaman, dan pembelajaran bagi saya.

  Melalui metode penelitian etnografi ini saya dapat membuat hasil akhir dengan memaparkan tulisan dengan gambaran detail dan mendalam mengenai objek penelitian tentang sumber ide-ide dan strategi budaya wirausaha aksesoris yang dilakukan oleh informan, sehingga usaha aksesoris tersebut dapat berkembang dan bertahan dalam mencapai kesuksesan di tengah persaingan yang semakin ketat di Pasar UD Pajus Baru Medan.

  Selain itu dalam metode etnografi diperlukan teknik pengumpulan data seperti observasi partisipasi dan wawancara. Teknik observasi (pengamatan) digunakan dalam proses pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati suatu kejadian yang terjadi di lapangan. Hal tersebut seperti melakukan pengamatan terhadap kegiatan para wirausaha kreatif, seperti saat membuat dan modifikasi pengrajin (pembuat) dan juga Pak Muslim sebagai orang yang melakukan modifikasi dan menjual aksesoris .

  Observasi (pengamatan) sebenarnya sudah dilakukan sejak pertama sekali datang ke lokasi penelitian, seperti saat melihat situasi lingkungan sosial dari objek penelitian. Namun observasi yang lebih detail dilakukan pada saat proses kegiatan wirausaha, dimana informan datang ke toko, menyusun dan merapikan benda-benda aksesoris yang akan dijual, menyiapkan perlengkapan dan peralatan yang digunakan pada saat membuat atau pun memodifikasi aksesoris, mengamati tingkah lakunya dalam bekerja, sikapnya saat melayani pembeli, dan interaksinya dengan lingkungan sekitar.