Permasalahan Penataan Ruang dalam Admini

Nama : Diah Ekawati
NRP : 123130016
Tugas Small Paper Untuk Uas “Permasalahan Penataan Ruang dalam Administrasi
Pembangunan Nasional”
Terbangunnya Ribuan Perumahan Kota Batam
Diatas Kawasan Hutan Lindung
I. Pengantar
Pembangunan adalah suatu proses untuk mencapai suatu perubahan. Sebelum melakukan suatu
kegiatan pembangunan, idealnya terlebih dahulu dibuat sebuah rencana yang dapat dijadikan
arahan dalam menjalankan prosesnya. Dalam konteks perkotaan, pembangunan merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu perubahan ke arah yang lebih baik, dalam hal
infrastruktur, perekonomian, kependudukan dan lain-lain. Rencana Tata Ruang Wilayah
merupakan salah satu bentuk dari bahan acuan tersebut. Rencana ini dibuat berdasarkan analisis
kondisi eksisting dan rencana yang ingin dicapai wilayah ke depannya guna mencapai tujuan
pembangunan nasional. Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. (UU Pasal 1 ayat 2 No.25/2004).
Setiap pembangunan disuatu kota harus merujuk pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
tersebut. Jika dalam suatu pembangunan terdapat penyimpangan terhadap rencana tataruang
wilayah setempat, akan diberlakukan sanksi berupa disinsentif, yaitu penanggungan kerugian
akibat melakukan penyimpangan. Hal ini yang sedang terjadi di Kota Batam. Kota Batam yang
direncanakan sebagai kota penghasil barang industry utama di Indonesia menyebabkan

pertambahan jumlah penduduk terus meningkat. Hal ini menyebabkan kebutuhan lahan semakin
meningkat. Para pengembang memanfaatkan peluang ini untuk membangun perumahan
sebanyak-banyaknya. Hingga pada tahun 2005 ditemukan kendala bahwa ketersediaan lahan
semakin menipis dan sertifikat kepemilikan rumah tidak dapat dikeluarkan akibat
penyalahgunaan penggunaan lahan hutan lindung. Penyimpangan ini terjadi karena adanya
kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh salah satu elemen pemerintahan menyebabkan
kerugian bagi masyarakat.Akibat penyimpangan guna lahan dalam melakukan pembangunan

yang tidak mengikuti peraturan rencana tata ruang Kota Batam, pemilik rumah mengalami
kesulitan dalam pengajuan sertifikat rumah mereka jika ingin menjadikannya jaminan.
II. Gambaran Umum Wilayah
Kota Batam adalah kota terbesar di provinsi Kepulauan Riau dan merupakan kota terbesar ke
tiga populasinya di Sumatra setelah Medan dan Palembang. Batam merupakan sebuah kota
dengan letak sangat strategis. Selain berada di jalur pelayaran internasional, kota ini memiliki
jarak yang cukup dekat dengan Singapura dan Malaysia. Batam merupakan salah satu kota
dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. Ketika dibangun pada tahun 1970-an awal kota ini
hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk dan dalam tempo 40 tahun penduduk Batam bertumbuh
hingga 170 kali lipat.
Dari segala kemajuan dan kemegahan yang ada pada Batam, menyimpan persoalan-persoalan
sosial yang mengikutinya sebagai sebuah konsekuensi industrialisasinya. Kesenjangan sosial

antara kawasan berikat yang menjadi konsentrasi industrinya dengan daerah di luarnya
(hinterland) menjadi tak terelakkan. Bahkan Batam pun tidak luput dari menjamurnya
perumahan liar, pelacuran, dan kriminalitas.
Kemajuan yang telah dicapai dan persoalan yang diupayakan untuk berkurang, tak terlepas dari
kerja keras Pemda Kota Batam dengan Batam Industrial Development Authority (Otorita Batam)
sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tugas Otorita Batam sebagai perancang dan
pelaksana pembangunan fisik boleh dikatakan sudah menunjukkan hasil. Namun semenjak 1
Januari 2001, UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah berlaku, perlu ada aturan jelas
dan tegas atas kewenangan antara Pemda Batam dan Otorita Batam. Tentunya pihak Pemda Kota
Batam tidak ingin sebagai “penguasa” di daerahnya sendiri namun tidak memiliki kewenangan.
Kota Batam mengalami pertumbuhan yang pesat dalam angka jumlah penduduknya. Hal ini
terjadi karena semakin banyak pembukaan industri di kota tersebut. Semakin banyaknya industry
yang ada menjadikan Kota Batam belakangan menjadi tujuan migrasi guna memperoleh
pekerjaan yang sesuai. Semakin bertambahnya jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan
kebutuhan akan lahan untuk perumahan. Para pengusaha property tentunya mampu melihat
peluang besar seperti ini. Mereka berlomba untuk membangun berbagai tipe perumahan vertical

untuk karyawan pemula dan horizontal untuk para ekspatriat dan pengusaha, masyarakat
menengah keatas.
Peluang bisnis properti di Kota Batam semakin meyakinkan kalangan usaha karena kota itu juga

didukung oleh kelengkapan fasilitas infrastruktur yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
kabupaten dan kota lain yang ada di Provinsi Kepulauan Riau. Hal ini juga yang menyebabkan
para pengembang tidak lagi melakukan peninjauan terhadap peraturan rencana tata ruang
wilayah setempat. Pembangunan proyek perumahanpun dilakukan diatas lahan yang tidak
seharusnya, seperti lahan yang dikhususkan sebagai kawasan perhutanan.
Pembangunan perumahan yang semakin merebak seakan mengeksploitasi lahan di Kota Batam.
Sehingga pada menjelang tahun 2005 para pengembang mulai khawatir, dua hambatan besar
sedang mengancam peluang yang selama ini dimanfaatkan dari kedekatan wilayah antara
Singapura dan Batam tersebut. Pertama, semakin kecilnya ketersediaan lahan di Pulau Batam
yang dapat digunakan sebagai kawasan perumahan. Walaupun disekitar Kota Batam masih
tersedia lahan yang memadai untuk dibangun, namun fasilitas, infrastruktur, dan transportasi
tidak mendukung. Hal ini yang menyebabkan pulau tersebut kurang memiliki nilai jual, sehingga
dianggap tidak menarik oleh para pengembang.
Permasalahan kedua yang sedang meresahkan para pengembang dan kerap dibicarakan di kota
perbatasan Singapura ini adalah kasus masalah keabsahan sertifikat kepemilikan property. Para
pengembang dipusingkan belum keluarnya sertifikat lahan di berbagai kawasan perumahan yang
sudah dibangunnya. Mulia Pemadi, Ketua DPD REI Batam menyebutkan bahwa lebih dari 240
hektare lahan perumahan belum mengantongi sertifikat meskipun telah diberi izin oleh Badan
Otorita Batam dan sudah berpenghuni selama beberapa tahun, khususnya di kawasan-kawasan
padat penduduk.

Legalitas perumahan di Batam juga semakin ditimpa masalah setelah belakangan diketahui
bahwa puluhan kompleks hunian vertikal di kota itu berdiri di atas lahan yang masih termasuk
dalam kawasan hutan lindung. Kasus yang kemudian terjadi adalah para pemilik unit pada
beberapa perumahan mengaku sulit menjadikan sertifikat kepemilikan rumahnya karena bank
tidak menganggap surat tersebut sah dan layak dijadikan jaminan, disebabkan oleh lahan mereka
yang melanggar pemanfaatan lahan untuk perhutanan. Ironiya pihak bank yang tidak menerima

penjaminan dari pemilik unit tersebut justru adalah bank yang memberikan fasilitas KPR bagi
pemilik unit yang mengajukan tersebut. Sertifikat yang mereka miliki ternyata tidak mempunyai
nilai jual di mata pihak bank termasuk pihak bank yang sebelumnya memberikan mereka KPR.
Sementara itu, kondisi hutan lindung di Batam makin memprihatinkan. Hutan lindung di Batam
kini luasnya sudah berkurang hingga 45 persen dari sebelumnya. Luas peruntukan kawasan
hutan lindung di Batam, yang tercantum Perda RTRW tahun 2004 berkurang 45 persen
dibandingkan Perda RTRW 2001 dari 15.982,06 Ha menjadi 8.797,51 ha. Hampir separuh
peruntukan hutan lindung telah diubah menjadi berbagai jenis pemanfaatan lahan, seperti
kawasan perdagangan, perumahan dan jasa.
III. Pembahasan
Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya
Jika dilihat dari segi tata ruang, penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas
kawasan lindung dan kawasan budi daya.

Yang termasuk dalam kawasan lindung adalah:
1. kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya, antara lain, kawasan
hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;
2. kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan
sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air;
3. kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka
alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman
hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar
budaya dan ilmu pengetahuan;
4. kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi,
kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang
pasang, dan kawasan rawan banjir; dan
5. kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan
plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, dan terumbu karang.

Yang termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan
peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan,
kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan
industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan
kawasan pertahanan keamanan. (UU No. 26 Tahun 2007)

Dilihat dari jenis fungsi utama kawasan, maka hutan bakau termasuk ke dalam kawasan lindung.
Hutan bakau memiliki peran sangat penting, sebagai media entrusi air laut, penahan tsunami,
tempat perkembangbiakan biota laut, penghasil oksigen. Sedangkan, kawasan peruntukan
perumahan atau pun pemukiman merupakan termasuk dalam kawasan budidaya.
Masalah yang terjadi dalam contoh kasus di Kota Batam ini merupakan penyimpangan dari segi
pentaan ruang, perumahan yang termasuk ke dalam kawasan budi daya dalam pembangunannya
justru dibangun di atas lahan kawasan lindung (hutan bakau). Rencana pembangunan perumahan
tersebut di atas hutan bakau Tiban.
Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi guna lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya ini dapat menyebabkan
ekosistem terganggu, mengingat fungsi dan peran hutan bakau dalam ekosistem suatu kota atau
wilayah cukup penting. Dengan pengalihan fungsi lahan ini salah satunya dapat mengakibatkan
banjir terutama yang diakibatkan pasang surut air laut. Jika dilihat dari segi penataan ruang,
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana yang ada merupakan hal yang keliru.
Pemanfaatan lahan yang ada harusnya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Koordinasi Antar Lembaga
Dalam kasus pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana yang ada di Batam ini, inti
permasalahannya adalah di Batam dan di seluruh Indonesia, perizinan pemanfaatan ruang dan
kepemilikan lahan diurus atau ditangani oleh lembaga yang berbeda. Dalam konteks ini, hal-hal
yang berkaitan dengan kepemilikan lahan menjadi urusan tanggungan jawab Badan Pertanahan

Nasional, sedangkan hal-hal yang terkait dengan perizinan pemanfaatan ruang / lahan merupakan
tanggung jawab instansi-instansi daerah seperti dinas tata ruang, BPPT, dan lain-lain.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di
bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Sesuai dengan Perpres No. 10 Tahun
2006, Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala. Beberapa
fungsi BPN antara lain adalah sebagai berikut:
1. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah,
2. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah,
3. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan.
4. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan.
5. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan.
6. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum.
7. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah.
8. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja
sama dengan Departemen Keuangan.
9. Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain.
10. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang
pertanahan.

11. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan.
12. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan.
13. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.
14. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.
15. Dan lain-lain
BPN bersifat terpusat / centralized (jadi, secara umum banyak lembaga pemerintah yang
terdesentralisasi , dimana ada pemerintah pusat di nasional dan di daerah ada pemkab / pemkot,
jika di nasional terdapat kementeriaan PU, di provinsi dan atau kota terdapat dinas PU). BPN
tidak terdesentralisasi mengikuti pemerintah daerah karena BPN merupakan suatu badan bukan
kementerian sehingga Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak mengikuti “komando” aturan dari
pemerintah daerah (pemda). BPN pada tingkat provinsi bernama kantor wilayah, sedangkan pada
tingkat kabupaten/ kota bernama kantor pertanahan. Kanwil dan Kanah ini berpatokan terhadap
perintah dari BPN pusat tidak mengikuti instruksi dari pemerintah kota atau pemda.

Sementara itu, di lain pihak badan perizinan seperti dinas tata kota, dan sejenisnya merupakan
badan yang ada di bawah koordinasi pemerintah kota / daerah. Dinas Tata Kota memiliki tugas
dalam melaksanakan perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang serta
penyelenggaraan urusan pertanahan. Dinas Tata Kota memilik fungsi diantaranya sebagai
berikut:
1. Penyusunan, dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran dinas tata ruang;

2. Perumusan kebijakan teknis pelaksanaan tugas perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian tata ruang kota serta penyelenggaraan urusan pertanahan;
3. Perencanaan tata ruang kota
4. Pemanfaatan tata ruang kota
5. Pelayanan di bidang tata ruang kota dan pertanahan;
6. Pelayanan di bidang tata ruang kota dan pertanahan
7. Penyelenggaraan sistem informasi tata ruang kota dan pertanahan;
8. Dan lain-lain
Di antara kanwil dan pemerintah kota tidak ada koordinasi jika tidak diperintahkan oleh atasan
masing-masing. Dampak dari itu, sering muncul konflik terutama terkait pemanfaatan dan
perizinan atas lahan atau tanah. Misalnya, pada kasus di Batam ini, Otorita Batam telah
mengalokasikan lahan di atas hutan bakau itu, sehingga Pemerintah Kota Batam tidak bisa
melakukan apa-apa.
Mekanisme Pembangunan Kota Batam
Batam secara umum kondisinya berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia, karena lokasi dan
aktivitasnya di zona perdagangan internasional. Kota Batam memiliki potensi untuk memberi
kontribusi terhadap kemajuan ekonomi Nasional maupun daerah Pulau Batam dan sekitarnya.
Nilai ekonomis kawasan ini pun tinggi di mana terdapat industri-industri yang berkembang di
Batam. Batam memiliki keunikan sendiri, di mana pemerintahannya dilaksanakan oleh
pemerintah kota yang didampingi oleh Badan Otorita Batam (BOB), hal semacam ini sering

disebut sebagai dualisme pemerintahan dalam pengelolaan kota. Badan Otoritas Batam ini sudah
berdiri sejak tahun 1983. Sebagai pondasi dasar berdirinya BOB adalah diterbitkannya Keppres
No.41/1973 yang menetapkan Daerah Industri Pulau Batam seluruh wilayah pulau Batam merupakan
lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam.

Badan Otorita Batam (BOB) memiliki dua kewenangan. Kewenangan tersebut meliputi
penyelenggaraan ‘dual functions’, yaitu (a) sebagian fungsi pemerintahan, berupa pemberian
izin, pelayanan masyarakat, pertanahan dan sebagainya, atas dasar pendelegasian berbagai
kewenangan Pemerintah Pusat dan Departemen teknis terkait; (b) fungsi pembangunan, di mana
Badan Otorita Batam mengelola sarana dan prasarana seperti bandara, pelabuhan laut, listrik, air
minum, rumah sakit dan lain-lain dalam rangka mempertahankan daya saing sebagai kawasan
industri, kegiatan alih kapal, perdagangan dan pariwisata.
Kembali kepada permasalahan koordinasi terkait konflik perizinan dan pemanfaatan ruang antara
BPN dan instansi di bawah pemerintah daerah / kota. Otorita Batam sudah megalokasikan lahan
di atas hutan bakau untuk menjadi lahan perumahan padahal lahan tersebut termasuk ke dalam
lahan kawasan lindung (ditetapkan oleh Dinas Tata Ruang Kota Batam / Pemkot). Di mana izin
prinsip atau kepemilikan lahan diterbitkan oleh Badan Otorita Batam atas pertimbangan BPN,
sedangkan izin lokasi terkait keruangan seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diterbitkan
oleh Pemkot Batam. Akibatnya, pemerintah kota (pemkot) tidak dapat melaksanakan peran
sepenuhnya terkait pengendalian pembangunan, karena pemerintah kota hanya mendapatkan

proporsi dalam urusan yang terkait pengendalian tertib bangunan saja.
Pemerintah Kota Batam sebenarnya telah melaksanakan kewajibannya dalam penyusunan
rencana tata ruang sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 dan UU No. 26 Tahun
2007 tentang penataan ruang, namun sekali lagi pemkot tidak memiliki kewenangan dalam
pengawasan tata ruang di wilayah kota Batam karena hal ini terkait dengan kewenangan
pemberian ijin penggunaan lahan yang hingga saat ini masih dipegang oleh Otorita Batam.
Apabila konflik kewenangan ini tidak segera diselesaikan maka akan membawa dampak yang
amat serius bagi keseimbangan tata guna lahan kota Batam yang notabene sangat terbatas.
Inti dari kasus perumahan Kota Batam adalah ada di permasalahan pemberian izin penggunaan
lahan dan izin lokasi yang diterbitkan oleh lembaga yang berbeda. Satu lembaga
bersifat centralized dan lembaga lainnya bersifat decentralized. Oleh karena itu, koordinasi
menjadi sulit dilakukan oleh kedua belah pihak. Berbeda dengan di negara maju, di mana
sertifikat tanah dan perizinan lokasi diterbitkan oleh lembaga yang sama. Sehingga kasus seperti
ini jarang terjadi.

Alternatif Penyelesaian Kasus
Berdasarkan pemaparan masalah-masalah di atas, lebih banyak yang berhubungan dengan
koordinasi antar lembaga (antara BPN atau juga Badan Otorita Batam dengan Pemerintah Kota
Batam / Dinas – Dinas). Karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun Badan Otorita
Batam (BOB) dan Pemkot Batam (misalnya Dinas Tata Ruang) sulit untuk melakukan
hubungan / koordinasi, akibatnya terjadi tata guna lahan yang keliru. Hal ini dikarenakan secara
birokratis tidak ada garis komado / garis koordinasi antara pemerintah Kota Batam dengan BPN
atau pun Badan Otorita Batam . Perubahan guna lahan yang tidak sesuai dengan rencana
cenderung sulit untuk diatasi, karena terbentur hak orang / lembaga atas lahan tersebut (misalnya
dalam kasus ini hak lahan yang jatuh pada para developer).
Solusi yang bisa dipertimbangkan untuk mencegah konflik masalah seperti yang dijelaskan di
atas dapat berupa :
1. Membangun koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional (yang juga terkait dengan
Badan Otorita Batam) dengan Pemerintah Kota (terutama badan perizinan lokal seperti
dinas tata ruang) dengan sebelumnya harus diperjelas mengenai kewenangan dari
masing-masing lembaga, jangan sampai terdapat kewenangan yang overlap. Akan tetapi
mungkin Pemkot Batam justru harus melakukan pendekatan koordinasi terlebih dahulu
dengan kanwil atau kanah.
2. Idealnya sistem yg sekarang dirombak, dimana badan atau lembaga yang berwenang
mengurus perizinan dan pemilikan lahan adalah lembaga yang sama. Dengan demikian,
diharapkan pemberian izin dan terkait kepemilikan lahan dilakukan secara terpadu dan
meninjau segala aspek secara komperensif
3. BOB kini telah ditiadakan setelah masa berlaku keppres berakhir pada tahun 2005 dan
digantikan Badan Pengusahaan Batam ( BP Batam) yang memiliki tugas dan wewenang
serupa. Dibutuhkan payung hukum yang pas agar tidak terulang kesalahan pada zaman
BOB
4. Badan Pertanahan Nasional (atau Kanah dalam konteks kota) sebaiknya tidak
bersifat centralized tetapi dibentuk menjadi semacam kementerian di mana dalam

lingkup kota / wilayah, badan pertanahan yang ada di kota seperti Kanah memiliki
koordinasi juga dengan pemerintah kota. Dengan demikian, tidak ada misskoordinasi
antar lembaga terkait.
Dengan solusi-solusi di atas, diharapkan permasalahan-permasalahan pemanfaatan lahan dan
penataan ruang yang terutama diakibatkan oleh faktor kelembagaan bisa teratasi baik itu di
Batam maupun di wilayah maupun kota di seluruh Indonesia.
V. Kesimpulan
Setiap melaksanakan kegiatan pembangunan diharuskan untuk mengacu kepada ketentuan yang
berlaku, yaitu berupa peraturan perencanaan tata ruang wilayah. Agar terlaksana pembangunan
sesuai yang diinginkan, proses pembangunan harus selalu mempertimbangkan segala aspirasi
baik dari masyarakat maupun stakeholder lainnya, mulai dari perancangan dokumen perencanaan
hingga pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan serta pengendalian. Hal ini dilakukan guna
menerapkan keadilan bagi setiap aktor yang berkepentingan, agar tidak ada yang merasa
dirugikan. Selain diperlukan diskusi antar stakeholder pra-pelaksanaan pembangunan. Dalam
pelaksanaannya juga dibutuhkan koordinasi antar stakeholder tersebut. Koordinasi dengan
hierarki yang jelas dan informasi yang baik akan meminimalisir adanya penyimpangan yang
menimbulkan kerugian.
Kasus seperti penyimpangan guna lahan hutan bakau di Kota Batam ini terjadi akibat adanya
miskoordinasi antara Pemerintah Kota Batam (Pemkot) dengan Badan Otorita Batam.
Pemerintah Kota Batam sebenarnya telah melaksanakan kewajibannya dalam penyusunan
rencana tata ruang sesuai yang diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 dan UU No. 26 Tahun
2007 tentang penataan ruang, namun sekali lagi pemkot tidak memiliki kewenangan dalam
pengawasan tata ruang di wilayah kota Batam karena kewenangan pemberian ijin penggunaan
lahan yang hingga saat ini masih dipegang oleh Otorita Batam. Apabila konflik kewenangan ini
tidak segera diselesaikan maka akan membawa dampak yang amat serius bagi keseimbangan tata
guna lahan kota Batam yang notabene sangat terbatas dan tentunya merugikan bagi masyarakat.

Daftar Pustaka

http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/kep_riau/batam.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Batam
UU No. 25 Tahun 2004 – Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
UU No. 26 Tahun 2007 – Penataan Ruang