Teori Interaksi Simbolik dalam filsafat (3)

Teori Interaksi Simbolik
Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George
Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yaitu “The Theoretical
Perspective” yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”. Dikarenakan Mead tinggal di
Chicago selama lebih kurang 37 tahun, maka perspektifnya seringkali disebut sebagai Mahzab
Chicago.
Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal
yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu
interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian
pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat
mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang
ditampilkan oleh orang lain.
Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari
interaksi simbolik adalah :
a. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang
sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan
individu lain.
b. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut
pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu
cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia

luarnya.
c. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh
tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang
mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam
proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik
antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia,
dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena

awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif
oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati
secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia, bertindak,
terhadap, manusia, lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka,
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses
interpretif .
2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept)
Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut
secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara lain :

Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui nteraksi dengan orang lain, Konsep
diri membentuk motif yang penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini
sebagai : ”The particular kind of role thinking – imagining how we look to another person” or
”ability to see ourselves in the reflection of another glass”.
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan
masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada
akhirnya

tiap

individu-lah

yang

menentukan

pilihan

yang


ada

dalam

sosial

kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan
dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah :
Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial
dihasilkan melalui interaksi sosial

Teori Belajar Sosial (Albert Bandura)
Pertama, Bandura berpendapat manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri;
sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi obyek: pengaruh lingkungan. Sifat kausal
bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi.
Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi orang itu dengan
orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di
mana tingkah laku itu diperoleh dan di pelihara. Teori belajar sosial (Social learning theory) dari
Bandura, didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan

(beyond reinforce), dan pengaturan diri/berifikir (self-regulation/cognition).

1. Determinis resiprokal: pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi
timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. 0rang
menentukan/mempengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol kekuatan lingkungan, tetapi orang
itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determinis resiprokal adalah konsep yang penting
dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori
belajar sosial memakai salingdeterminis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psikososial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku
interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial. Gambar 12 menunjukkan Nilai
komprehensif dari determinis resiprokal Bandura dibandingkan dengan teori Behaviourisme lainnya.


Tanpa reinforsemen: Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung kepada
reforsemen. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilah untuk direnforse
satu persatu, bisa jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya, reforsemen penting
dalam menen-tukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan
satusatunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan
mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa
ada reforsemen yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu
merupakan pokok teori belajar sosial.




Kognisi dan Regulasi diri: Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidak senangan
atau ketidak mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura
menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur dixi sendiri (self regulation),
mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan
kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan
untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya
dengan menyirnpan pengalaman (dalam ingatan) dalam ujud verbal dan gambaran imaginasi
untuk kepentingan tingkah laku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk
menggambarkan secara imaginatif basil yang diinginkan pada masa yang akan datang
mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang.

Sistem Self (Self System)
Tidak seperti Skinner yang teorinya tidak memiliki konstruk self, Bandura yakin bahwa pengaruh yang
ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determinan tingkah laku tidak dapat dihilangkan tanpa
membahayakan penjelasan & kekuatan peramalan. Dengan kata lain, self diakui sebagai unsur
struktur kepribadian. Saling determinis menempatkan semua hal saling berinteraksi, di mana pusat
atau pemulanya adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur psikis yang mengontrol tingkah laku,


tetapi mengacu ke struktur kognitif yang memberi pedoman mekanisme dan seperangkat fungsifungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkah laku. Pengaruh self tidak otomatis atau mengatur
tingkah laku secara otonom, tetapi self menjadi bagian dari sistem interaksi resiprokal.
Regulasi Diri
Manusia mempunyai kemampuan berfikir, dan dengan kemampuan itu mereka memanipulasi
lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia. Balikannya dalam
bentuk deteminis resiprokal berarti orang dapat mengatur sebagian clan tingkah lakunya sendiri.
Menurut Bandura, akan terjadi strategi reaktif dan proaktif dalam regulasi did. Strategi reaktif dipakai
untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan hampir tercapai strategi proaktif menentukan tujuan
baru yang lebih tinggi. Orang memotivasi dan membimbing tingkah lakunya sendiri melalui strategi
proaktif, menciptakan ketisakseimbangan, agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya
berdasarkan antisipasi apa Baja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Ada tiga proses yang dapat
dipakai untuk melakukan pengaturan memanipulasi faktor eksternal, memonitor dan mengevaluasi
tingkah laku internal. Tingkah laku manusia adalah hasil pengaruh resiprokal faktor eksternal dan
faktor internal itu.

Faktor Eksternal dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama; faktor eksternal memberi
standar untuk mengevaluasi tingkah laku. Faktor lingkungan bertinteraksi dengan pengaruhpengaruh pribadi, membentuk standar evalusi diri orang itu. Melalui orang tua dan guru anak-anak
belajar baik-buruk, tingkah laku yang dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman

berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang dapat
dipakai untuk menilai prestasi diri.
Kedua: faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan(reinforcemenl). Hadiah
intrinsik tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan insentif yang berasal dari lingkungan
ekstemal. Standar tingkah laku dan penguatan biasanya bekerja sama; ketika orang dapat mencapai
standar tingkah laku tertentu, perlu ada penguatan agar tingkah laku semacam itu menjadi pilihan
untuk dilakukan 1agi.
Faktor Internal dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal dalam pengaturan diri sendiri. Bandura
mengemukakan tiga bentuk pengaruh internal (label 35):

1. Observasi diri (self observation): dilakukan berdasarkan faktor kualitas penampilan, kuantita
penampilan, orisinalitas tingkah laku dan seterusnya. Orang harus mampu memonitor
performansinya, walaupun tidak sempurna karena orang cenderung memilih beberapa aspek
dari tingkah lakunya dan mengabaikan tingkah laku lainnya. Apa yang diobservasi seseorang
tergantung kepada minat dan konsep dirinya.
2. Proses penilaian atau mengadili tingkah laku (judgmental process): adalah melihat
kesesuaian tingkah laku dengan standar pribadi, membandingkan tingkah laku dengan norma
standar atau dengan tingkah laku orang lain, menilai berdasarkan pentingnya suatu aktivitas,
dan memberi atribusi performansi. Standar pribadi bersumber dari pengalaman mengamati

model misalnya orang tua atau guru, dan menginterpretasi balikan/penguatan dari
performansi diri. Berdasarkan sumber model dan performansi yang mendapat penguatan,
proses kognitif menyusun ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi, karena
ukuran itu tidak selalu sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas.
Sebagian besar aktivitas hams dinilai dengan membandingkannya dengan ukuran eksternal,
bisa berupa norma standar, perbandingan social, perbandingan dengan orang lain, atau
perbandingan kolektif. Orang juga menilai suatu aktivitas berdasarkan anti penting dari
aktivitas itu bagi dirinya. Akhirnya, orang juga menilai seberapa besar dirinya menjadi
penyebab dari suatu performansi, apakah kepada diri sendiri dapati dikenai atribusi
(penyebab) tercapainya suatu performansi, atau sebaliknya justru mendapat atribusi
terjadinya kegagalan dan performansi yang buruk.
3. Reaksi-diri-afektif (self response): akhirnya berdasarkan pengamaan dan judgment itu, orang
mengevaluasi diri sendiri positif atau negatif, dan kemudian menghadiahi atau menghukum
diri sendiri. Bisa terjadi tidak muncul reaksi afektif, karena fungsi kognitif membuat
keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau negatif menjadi kurang bermakna
secara individual.
Faktor-faktor Penting dalam Belajar Melalui Observasi
Tentu saja, mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak tidak mesti berakibat belajar, karena
belajar melalui observasi memerlukan beberapa faktor atau prakondisi. Menurut Bandura, ada
empat proses yang penting agar belajar meinlui observasi dapat terjadi, yakni:

1. Perhatian (attention process) : Sebelum meniru orang lain, perhatian hams dicurahkan ke
orang itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat model
yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat.

2. Representasi (representation process): Tingkah laku yang akan ditiru, hams disimbolisasikan
dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk gambaran/imajinasi.
Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara verbal tingkah laku yang
diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan dicoba dilakukan.
Representasi imajinasi memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik dalam fikiran,
tanpa benar-benar melakukannya secara fisik.
3. Peniruan tingkah laku model (behavior production process): Sesudah mengamati dengan
penuh perhatian, dan memasukkanya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkah laku.
Mengubah dad gambaran fikiran menjadi tingkah laku menimbulkan kebutuha evaluasi;
“Bagaimana melakukannya?” “Apa yang harus dikerjakan?” “Apakah sudah benar?”
Berkaitan dengan kebenaran, basil belajar melalui observasi tidak dinilai berdasarkan
kemiripan respon dengan tingkah laku yang ditiru, tetapi lebih pada tujuan belajar dan efikasi
dari pebelajar.
4. Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process): Belajar melalui
pengamatan menjadi efektif kalau pebelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat
melakukan tingkah laku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang untuk menguasai

tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada, tidak bakal terjadi proses
belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tingkah laku model yang diganjar, daripada tingkah
laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walapun model tidak diganjar, sepanjang pengamat
melihat model mendapat ciri-ciri positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil,
sehingga diyakini model umumnya akan diganjar.
Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan
karakteristik modelnya. Ciri-ciri model seperti usia, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan,
penting dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih senang meniru model seusianya daripada
model dewasa. Anak juga cenderung meniru model yang standar prestasinya dalam jangkauannya,
alih-alih model yang standarnya diluar jangkauannya. Anak yang sangat dependen cenderung
mengimitasi model yang dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi antara ciri
model dengan observernya. Anak cenderung mengimitasi orang tuanya yang hangat dan open (jw),
gadis lebih mengimitasi ibunya.
Dampak Belajar
Setiap kali respon dibuat, akan diikuti dengan berbagai konsekuensi; ada yang konsekuensinya
menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, ada yang tidak masuk kekesadaran sehingga

dampaknya sangat kecil. Penguatan – baik positif maupun negatif – dampaknya tidak otomastis
sejalan dengan konsekuensi respon. Konsekuensi dari suatu respon mempunyai tiga fungsi:
1. Pemberi informasi: memberi informasi mengenai dampak dari tingkah laku, informasi ini

dapat disimpan untuk dipakai membimbing tingkah laku pada masa yang akan datang.
2. Memotivasi tingkah laku yang akan datang: Menyajikan data sehingga orang dapat
membayangkan secara simbolik hasil tingkah laku yang akan dilakukannya, dan bertingkah
laku sesuai dengan peramalan-peramalan yang dilakukannya. Dengan kata lain, tingkah laku
ditentukan atau dimotivasi oleh masa yang akan datang, di mana pemahaman mengenai apa
yang akan terjadi pada masa yang akan datang itu diperoleh dari pemahaman mengenai
konsekuensi suatu tingkah laku.
3. Penguat tingkah laku: Keberhasilan akan menjadi penguat sehingga tingkah laku menjadi
berpeluang diulangi, sebaliknya kegagalan akan membuat tingkah laku cenderung tidak
diulang.