Kontribusi Off Farm Income Terhadap Peng

Kontribusi Off-Farm Income Terhadap
Pengelolaan Usahatani
(Kasus dari Sumatera Utara)
Jongkers Tampubolon
Abstract
Policymakers in developing countries have tended to consider the farm sector as the principle
sector for creation of rural employment and income opportunity. Therefore, they interpreted
development as a structural change from agriculture through industry to services based economy,
which is common thought as the ‘pattern of economic development’. This article, which is founded
on empirical research, points out that off-farm income in rural area of North Sumatra plays an
important role not only to food security and risks management, but also to provide capital available
for investment on farm. This fact contradicts the general pattern, that on the ‘transitional stage of
rural industrialization’, the capital resource should flow from agriculture. It indicates the
persistent of multiple employment on individual as well as household level, which allow multiple
jobholding on different sectors dynamically. The most suitable policy measure for such
constellation is to support simultaneous growth of all three sectors and to promote integration
among them, in order to create ‘linkage-friendly’ agricultural and non-agricultural activities.
Key words: economic development, farming system, off-farm income

1. Latar Belakang
Multiple employment, dimana setidak-tidaknya seorang anggota rumah tangga tani bekerja

di luar usahatani sendiri, sudah menjadi gejala global yang persisten (lihat misalnya VON
FRAUENDORFER, 1966; BERTRAND, 1967; SOHN, 1989).
Sementara kontribusi
penerimaan yang bersumber dari bekerja diluar usahatani (off-farm income = OFI) di
negara berkembang signifikan terhadap total penerimaan rumah tangga tani yang
menjalankannya, sebagaimana terungkap dalam kajian FAO, “State of Food and
Agriculture 1998” yang mensintesa 100 hasil penelitian empirik. Hasil sintesis ini
menunjukkan (REARDON, 1998: 1):
a.
Off-farm income di Afrika memberi kontribusi rata-rata 42 % terhadap
pendapatan rumah tangga (untuk Afrika Timur/Selatan, 45 % dan Afrika
Barat 36 %).
b.
Di Amerika Latin, off-farm income memberi sumbangan 40 % terhadap
pendapatan rumah tangga.
c.
Rata-rata 32 % pendapatan rumah tangga di Asia bersumber dari off-farm
income (untuk Asia Timur/Tenggara 35 % dan Asia Selatan 29 %).
Pengaruh off-farm employment terhadap pengelolaan usahatani masih menyisahkan
kontroversi. Di satu sisi, secara teoritis tambahan pendapatan dari bekerja diluar tani

dapat digunakan untuk membiayai pengadaan faktor-faktor produksi bernilai tinggi atau
investasi saluran irigasi, terase dan lain sebagainya yang selanjutnya akan meningkatkan

1

produksi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang (BADIEL, 1991: 181).
Pandangan ini terbukti secara empiris di Pakistan (KLENNERT, 1986: 41):
“77 % of all marginal farm households surveyed did not consume these
additional earnings totally but invested at least part of them in the farm. They
used the additional money for (more) fertilizer, improved seed, (more intensive)
use of tractor and thresher hire.”

Kecenderungan yang sama juga ditemukan oleh ARMAN (1987: 161) di Kalimantan Barat,
walaupun bentuk kontribusi terhadap pengelolaan usahatani (pembangunan pertanian)
tidak dirinci lebih jauh:
“There are examples that when family members take other jobs and leave the
farms they have better opportunities to collect and save money that they send
back to finance further development of the farms.”

Sebaliknya, KADA mengemukakan berdasarkan hasil penelitian empiris bahwa di USA dan

Jepang, “part-time farm households are generally less willing to introduce new types of
farm operation mainly owing to the technological difficulties, financial burdens of
investment or risks involved” (KADA, 1986: 81). Hal yang sama dilaporkan oleh HO
(1986: 125) dari Taiwan:
“Farm households with extensive involvement in non agricultural activities
generally used less material inputs per hectare of cultivated land than did those
with less involvement. The application rate of fertilizer and labor are
complementary inputs, so the shortage of labour will tend to reduce the amount
of fertilizer applied. It is also significant that, the proportion of organic
fertilizer (which uses even more labour than chemical fertilizer) in the total
amount of fertilizer used declines with increases in non-agricultural
involvement.”

Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh off-farm employment terhadap
pengelolaan usahatani, khususnya penggunaan pendapatan tambahan dari bekerja diluar
tani sebagai sumber investasi. Pemahaman yang tepat mengenai hubungan sektor
pertanian dengan sektor non-pertanian akan membantu perumusan kebijakan
pembangunan yang tepat. Jika off-farm income tidak memberi sumbangan yang berarti
bagi usahatani, maka transformasi ekonomi dari yang berbasis pertanian menuju industri
(off-farm) sedang berjalan mengikuti ‘the stylized facts of development stage’ (CLARK,

1960; CHENERY/SYRQUIN, 1975 dan SYRQUIN, 1988). Untuk itu, strategi kebijakan yang
tersedia adalah mendorong pertumbuhan sektor non-pertanian dan menghapus rintangan
masuk bagi sumberdaya tenaga kerja yang akan berpindah dari sektor pertanian ke sektor
non-pertanian. Sebaliknya, apabila OFI memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pengelolaan usahatani, ini menunjukkan terjadinya keterkaitan yang langgeng dan dinamis
antara sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Dalam situasi seperti ini, pemerintah
berada dalam posisisi yang lebih rumit, karena untuk itu kebijakan harus diarahkan guna
menciptakan rangsangan dan kapasitas rumahtangga dan lembaga ekonomi non-pertanian
untuk menciptakan apa yang oleh REARDON (1998: 3) sebagai “linkage-friendly
agriculture and non-agricultural activities”.

2. Hasil Temuan Empiris
2

Informasi pada tulisan ini bersumber dari hasil penelitian di Kabupaten Deli Serdang dan
Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kedua Kabupaten ini merupakan representasi dari dua
sistim pertanian (farming system) yang berbeda, yaitu sistim pertanian lahan sawah (Deli
Serdang) dan sistim pertanian lahan kering (Karo).

2.1. Pola Usahatani dan Off-farm Employment

Pada sistim pertanian lahan sawah, pola tanam yang berlaku secara serempak adalah
Padi-Padi-Kedelai dengan jadwal yang sudah pasti karena dikaitkan dengan iklim (musim
hujan). Luas lahan yang diusahakan rata-rata kecil (0,5 ha). 12 – 34 % dari petani
semata-mata hanya mengusahakan lahan yang disewa dan 15 – 30 % rumah tangga sudah
tidak memiliki akses ke lahan (prototip pertanian Asia yang dilanda oleh tekanan
pertumbuhan penduduk sebagaimana diungkapkan oleh KUHNEN, 1987: 228; PURCAL,
1971: 45 dan TEMPELMAN, 1982: 53 untuk Malaysia; WOLZ, 1987: 188 untuk Thailand;
KLENNERT, 1986: 39 dan RIEKEN, 1994 untuk Pakistan).
Pengelolaan usahatani yang intensif (cropping index 300 %) dapat berlangsung karena
tersedianya dukungan teknologi dan berfungsinya pasar tenaga kerja disaat pekerjaan di
sawah membutuhkan curahan tenaga kerja yang tinggi (bandingkan dengan BOSERUP,
1965: 10; ELLIS, 1996; BEETS, 1990: 369). Pengolahan lahan, khususnya untuk usahatani
padi, sepenuhnya dilakukan secara mekanik dan pemanenan semi mekanik. Penawaran di
pasar tenaga kerja dapat berupa tenaga upahan maupun lembaga gotong-royong, dimana 6
– 10 orang bekerja secara bersama-sama dari satu usahatani ke usahatani yang lain yang
dikelola oleh anggota kelompok. Dengan demikian usahatani padi hanya menyerap ratarata 50 HOK (hari orang kerja) per tahunnya, diantaranya hanya 28 HOK tenaga kerja
keluarga dan selebihnya luar keluarga. Sedangkan usahatani kacang kedelai yang lebih
padat tenaga kerja (labor intensive), khususnya untuk perawatan, rata-rata menyerap 56
HOK per tahun dan hanya 9 HOK diantaranya tenaga kerja keluarga. Oleh karena itu,
waktu kerja yang tersedia untuk dialokasikan bagi aktivitas di luar usahatani sendiri (offfarm) jauh lebih tinggi dari pada yang tercurah untuk usahatani (jumlah anggota keluarga

rata-rata 6 orang).
Mengingat sempitnya lahan usaha dan banyaknya tenaga kerja yang tersedia, maka offfarm employment di masyarakat tani lahan sawah menjadi penting baik sebagai penyedia
pekerjaan (employment generating) maupun sumber penghasilan (income generating).
Lebih dari separuh (55 – 66 %) rumah tangga mengandalkan off-farm income sebagai
sumber pendapatan utama. Bagi mereka ini pekerjaan diluar usahatani sendiri sudah
menjadi basis eksistensi. Hal ini didukung oleh fakta bahwa kepala keluarga umumnya
menekuni berbagai jenis pekerjaan yang dirangkum dalam konsep lokal sebagai “mocokmocok” atau “serabutan”. Konsep ini menggambarkan berbagai jenis pekerjaan yang
dikerjakan dalam satu tahun kalender, yang pada dasarnya ditentukan oleh ketersediaan
penawaran pekerjaan. Tetapi dibalik konsep ini juga tersembunyi ketidakpastian
(pelakunya tidak mengetahui apa yang akan mereka lakukan beberapa hari yang akan
datang untuk memperoleh penghasilan). Mereka ini biasanya bekerja sebagai buruh tani,
buruh bangunan buruh perkebunan, buruh industri rumah tangga dan sejenisnya.

3

Kegiatan off-farm ini sering menuntut migrasi keluar secara temporer. Untuk itu kaum
laki-laki akan segera meninggalkan desa setelah panen padi musim tanam kedua
(Desember) dan kembali sebelum musim tanam padi yang pertama (April). Itulah
sebabnya, pengelolaan usahatani kedelai sangat tergantung pada tenaga kerja luar keluarga
(baik dalam bentuk upahan maupun gotong royong).

Daerah sistim pertanian lahan kering, terletak 1400 meter diatas permukaan laut dan
terkenal sebagai sentra produksi hortikultura (sayur dan buah-buahan). Begitupun,
bahagian terbesar dari lahan yang tersedia dialokasikan untuk menanam jagung dan padi
gogo sebagai jaminan keamanan pangan (subsisten) apabila produksi hortikultura secara
agronomis mengalami kegagalan atau secara ekonomi jatuh harga.
Diversifikasi (multiple cropping dan atau inter cropping) merupakan ciri khas sistim
pertanian lahan kering, dimana masing-masing rumah tangga mengelola 2 – 7 persil lahan
usahatani yang satu sama lain dapat berjarak hingga 5 kilometer. Karena keadaan tanah
yang subur, curah hujan yang cukup dan suhu yang sedang, petani Karo dapat menanam
berbagai jenis sayur dan buah setiap saat (tidak tergantung pada musim). Keputusan
mengenai komoditi yang akan diusahakan tergantung pada 3 faktor, yaitu: (i) harga
produk di pasar spot dan prakiraan future price, (ii) letak lahan usahatani, khususnya jarak
ke jalan, (iii) status lahan, apakah milik atau sewa/gadai dan (iv) ketersediaan tenaga kerja
keluarga.
Sayur dan buah tidak dapat disimpan lama, oleh karena itu tujuan produksi semata-mata
untuk pasar. Sementara itu, produk sayur dan buah tidak mendapat jaminan harga dari
pemerintah di Indonesia, sehingga fluktuasi harga sangat tinggi. Sebagai contoh, harga
cabai ditingkat petani tahun 1996 berfluktuasi dari Rp 1.400,- hingga Rp 12.000,- per
kilogram. Dalam pemilihan komoditi, petani hanya menyandarkan pengambilan keputusan
pada harga yang sedang berlaku dan memperkirakan harga dimasa panen.

Menghadapi risiko harga, petani menganut pola diversifikasi yang khas berupa inter
cropping diatas lahan tertentu yang sekaligus juga dapat mengatasi masalah kelangkaan
kapital. Diversifikasi ini membentuk piramida tanaman sebagai berikut:
d.
Tanaman tahunan (misal jeruk) sebagai tanaman pokok.
Jeruk
membutuhkan kapital yang besar pada 5 tahun pertama (untuk pengadaan
pupuk dan pestisida) tanpa memberikan penerimaan bagi petani. Tetapi
setelah 5 tahun, hasil panen telah dapat menutupi biaya dan bahkan
menghasilkan laba yang signifikan per tahunnya.
e.
Untuk membiayai investasi tanaman jeruk pada 5 tahun pertama, di celahcelah jeruk akan ditanam cabai atau tomat (dengan lama produksi 12 – 16
bulan). Sebahagian dari hasil usahatani cabai/tomat akan digunakan untuk
membiayai usahatani cabai/tomat itu sendiri dan sebahagian lagi membiayai
investasi jeruk.
f.
Untuk menjembatani masa produksi cabai/tomat, diatas persil lahan
usahatani yang sama akan ditanam buncis yang masa produksinya hanya 2
bulan.
g.

Apabila tenaga kerja masih tersedia, maka diantara tanaman buncis akan
ditanam kol, yang dalam waktu 45 hari sudah dapat dipanen.
4

Dengan pola diversifikasi seperti ini, maka setiap minggu akan ada hasil panen yang siap
dijual ke pasar, dari berbagai jenis sayuran. Hasil ini masih didukung oleh hasil panen dari
persil lahan usahatani yang lain (seperti wortel atau jagung), dalam hal produk sayuran
tertentu mengalami jatuh harga.
Karena kepadatan populasi tanaman dalam pola piramida tanaman diatas, maka
penggunaan alat mekanik untuk pengolahan lahan maupun penggunaan herbisida untuk
pengendalian gulma menjadi sangat terbatas. Sehingga sistim pertanian lahan kering
menjadi sangat padat tenaga kerja (kususnya sayuran) dengan menggunakan alat
sederhana seperti cangkul (cuan) dan sabit. Temuan ini bertolak belakang dengan
kesimpulan RUTHENBERG (1980: 176 dan 204) yang memandang pengalihan lahan kering
menjadi sawah merupakan “the tradisional answer” atas problem pengecilan lahan
usahatani sebagai akibat tekanan penduduk.
Petani holtikultura sangat tergantung pada pasar tenaga kerja yang umumnya berupa
tenaga upahan. Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1: Struktur dan Curahan Tenaga Kereja pada Berbagai Komoditi Pertanian Lahan
Kering

Keterangan
Total curahan Tenaga Kerja (HOK)
Proporsi TK luar keluarga (%)
Proporsi TK keluarga (%)
Lama produksi (bulan)
Luas areal rata-rata (ha)

Jagung
40,9
50,9
49,1
6
0,5

Komoditas
Padi
Jeruk
109,1
161,2
55,1

45,8
37,9
54,2
6
12
0,5
0,5

Wortel
43,2
55,9
44,1
3,5
0,3

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 183).
Luas lahan yang dikelola rumah tangga tani berkisar antara 0,4 dan 2,3 ha dengan rataan
1,1 ha. Kepemilikan dan penguasaan lahan usahatani di daerah sistim pertanian lahan
kering jauh lebih tinggi dari pada di daerah sistim pertanian lahan sawah, walaupun jumlah
anak lahir per keluarga di kedua daerah relatip sama. Perbedaan terletak pada pendidikan
anak yang selanjutnya meningkatkan mobilitas mereka untuk migrasi keluar dari desa,
sehingga tekanan atas fragmentasi lahan tidak terlalu besar. Elemen ini dapat menghindari
ramalan MALTHUS dan BOSERUP (lihat TAMPUBOLON, 1998: 196) selain keragaman pada
pola warisan (lihat CAIN/MCNICOLL, 1988: 106 ff.). Mekanisme migrasi ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
(i) Masyarakat desa di daerah sistim pertanian lahan kering sangat menilai tinggi
pendidikan, sehingga mereka bersedia mengirimkan anak ke kota untuk
bersekolah serta membiayainya. Pada saat penelitian lapang, 17 % anak lakilaki dan 16 % dari total anak perempuan meninggalkan desa untuk sekolah
(umumnya di Medan).
(ii) Bagian terbesar dari anak-anak yang sudah meninggalkan rumah orangtua dan
tidak lagi menjadi tanggungan orangtua, pergi dengan alasan bekerja.

5

Sementara di daerah sistim pertanian lahan sawah, alasan pokok meninggalkan
rumah orangtua adalah menikah.
(iii)Bagian terbesar dari anak-anak yang meninggalkan orangtua dan tidak lagi menjadi
tanggungan orang tua di daerah sistim pertanian lahan sawah, tinggal di desa
tempatnya dibesarkan atau di desa-desa tetangga. Sementara di daerah sistim
pertanian lahan kering, anak-anak yang sudah tidak menjadi tanggungan
orangtua tinggal di kota-kota besar (seperti Medan, Jakarta dan Bandung).
Anak-anak dari daerah sistim pertanian lahan kering, dengan pendidikan yang lebih tinggi,
memperoleh pekerjaan di sektor jasa dan industri perkotaan yang jauh dari desa. Mereka
ini tidak membutuhkan lahan warisan miliknya sebagai sumber pendapatan. Tetapi karena
ikatan emosional, lahan ini tidak dijual. Dalam beberapa kasus, pasangan suami isteri yang
sudah tua, terpaksa harus mengelola sendiri lahan yang sudah diwariskan kepada anakanaknya, karena semua anaknya bermigrasi (merantau). Situasi seperti ini mengakibatkan
luas penguasaan lahan hampir tidak mengalami perubahan dari generasi ke generasi,
sekalipun hak kepemilikan tetap terfragmentasi.
Kombinasi antara pengelolaan usahatani yang sangat intensif (piramida tanaman) dan luas
penguasaan lahan telah menghasilkan multiple employment dengan dimensi yang berbeda
dan bervariasi:
(i) Bagi sebagian kecil, multiple employment merupakan strategi untuk bertahan
hidup. Mereka bekerja off-farm karena penghasilan dari usahatani sendiri tidak
mencukupi. Kelompok ini umumnya petani berlahan sempit dan merupakan
pendatang yang sebelumnya bermigrasi ke daerah ini sebagai buruh tani.
(ii) Pegawai negeri sipil (aparat pemerintahan kecamatan maupun guru) yang tinggal di
desa umumnya berada dalam golongan penggajian yang rendah. Kelompok ini
menambah penghasilan dengan bertani, terutama untuk tujuan menabung
(akumulasi kapital) guna membiayai investasi maupun konsumsi khusus dimasa
datang, seperti pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, komoditi yang
diusahakan umumnya tanaman tahunan yang lebih padat modal.
(iii)Pensiunan pegawai negeri sipil, memperoleh pensiun setiap bulan. Tetapi
penerimaan ini tidak mampu menutupi semua kebutuhan, khususnya untuk
aktivitas sosial, yang ditingkat desa dengan ikatan sosial yang tinggi
membutuhkan biaya yang besar. Kelompok ini harus menambah penghasilan
melalui usahatani.
(iv)Kelompok yang merasa memiliki bakat khusus seperti dagang, sehingga memilih
tidak bertani. Tetapi dalam kelompok inipun berlangsung multiple employment
pada tingkat rumah tangga, artinya sebagian anggota rumah tangga secara
penuh bertani (umumnya kaum ibu) dan sebagian lagi secara penuh bekerja
dibidang luar tani (kaum bapak).
Secara keseluruhan, off-farm income menunjukkan kontribusi yang signifikan bagi
penerimaan rumah tangga di kedua daerah dengan sistim pertanian yang berbeda,
walaupun peranan farm income di daerah sistim pertanian lahan kering lebih dominan
(tabel 2).
Tabel 2. Struktur Pendapatan Rumah Tangga yang Melakukan Multiple Employment
(dalam %)
6

Sumber pendapatan utama
Usahatani sendiri
Off-farm income
Keduanya berimbang

Sistim Pertanian
Lahan Kering
69,2
17,3
13,5

Lahan Sawah
27,1 – 34,9
54,6 – 66,7
6,2 – 10,5

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 205).

2.2 Kontribusi Off-farm Icome Terhadap Pengelolaan Usahatani
Praktik multiple employment secara reoretis akan mempengaruhi pengelolaan usahatani.
Pengaruh ini dapat positip maupun negatip. Pengaruh positip terutama bersumber dari
tambahan pendapatan rumah tangga yang dapat digunakan untuk membiayai investasi di
usahatani sendiri. Pengaruh negatip dapat muncul dalam bentuk berkurangnya tenaga
kerja yang tersedia untuk pengelolaan usahatani karena sebahagian dari tenaga kerja
keluarga telah dialokasikan untuk kegiatan off-farm. Kekurangan tenaga kerja keluarga
seperti ini membutuhkan penyesuaian dalam bentuk: (i) pengelolaan usahatani yang lebih
ekstensip, (ii) menghentikan cabang usahatani yang bersifat padat tenaga kerja (KADA,
1980: 77 dan 81); BARLETT, 1986: 294), dan (iii) mengurangi luas areal yang diusahakan.
Meskipun dalam penelitian lapang tindakan penyesuaian ini ditemukan, tetapi karena
keterbatas tempat tulisan ini hanya akan membahas pengaruh off-farm income terhadap
alokasi faktor produksi tradisional (kapital, tenaga kerja upahan dan lahan) dalam
usahatani.

2.2.1 Situasi Pada Sistim Pertanian Lahan Sawah
Secara umum, tidak terdapat pengaruh kegiatan multiple employment terhadap alokasi
faktor produksi tradisional dalam usahatani pada sistim pertanian lahan sawah. Artinya,
rumah tangga dengan pendapatan per kapita per tahun dari kegiatan off-farm yang
berbeda, tidak menunjukkan perbedaan pengeluaran per tahun untuk pembiayaan kapital
dan upah tenaga kerja per hektar lahan usahatani. Sebagai contoh dapat dilihat dalam
hubungan antara OFI per kapita per tahun dan pengeluaran kapital per rante lahan
usahatani per tahun pada gambar 1.
Gambar 1. Pengaruh Off-farm Income Terhadap Pengeluaran Kapital pada Sistim
Pertanian Lahan Sawah.

7

Pengeluaran Modal/rante
Pengamatan
Linear

Off - Farm

Income

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 236).
Catatan: Kemiringan kurva linier tidak signifikan berbeda dari nol dan hasil analisa
statistik persamaan garis linier tidak memberikan nilai yang memuaskan
sehingga tidak relevan untuk disajikan.
Bahwa OFI tidak berpengaruh terhadap luas lahan usahatani dapat dimaklumi, mengingat
luas lahan usahatani tidak tergantung pada situasi ekonomi rumah tangga petani,
melainkan pada ketersediaan lahan. Pada daerah sistim pertanian lahan sawah, faktor
produksi lahan merupakan limiting faktor yang bersifat given. Oleh karena itu, luas lahan
usahatani tidak dapat dipandang sebagai faktor variabel.
Perbedaan dalam curahan tenaga kerja luar keluarga (upahan) juga tidak diharapkan,
mengingat sistim produksi padi yang memiliki puncak-puncak curahan tenaga kerja yang
tinggi pada fase-fase tertentu, khususnya pada saat menanam dan panen. Fase produksi ini
tidak dapat diselesaikan tepat waktu apabila hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga.
Dengan demikian, penggunaan tenaga kerja luar keluarga (upahan) tetap akan dilakukan
tanpa tergantung pada situasi ekonomi keluarga petani. Terlebih lagi, penggunaan tenaga
kerja luar keluarga tidak harus berarti tenaga upahan, mengingat di daerah sistim pertanian
lahan sawah, gotong royong (kerjasama) antar petani baik dalam bentuk pooling tenaga
kerja wanita (menanam padi) maupun pooling tenaga kerja laki-laki (memanen padi)
berfungsi dengan baik.
Sebaliknya, tidak adanya hubungan antara OFI per kapita dan pengeluaran kapital, tidak
sesuai dengan logika umum (common sense). Penelitian empiris bertema ‘multiple
employment dan pengelolaan usahatani’, khususnya di negara berkembang berkesimpulan
bahwa tambahan pendapatan petani dari kegiatan off-farm akan mendorong peningkatan
investasi di usahatani (KLENNERT, 1986: 41 dan ARMAN, 1987: 161).
Tetapi penyimpangan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
(i) Pada sistim pertanian lahan sawah, motif bekerja off-farm adalah untuk menutupi
defisit dari pendapatan usahatani. Artinya, tambahan pendapatan terutama
8

ditujukan untuk konsumsi langsung (keamanan pangan). Setelah ketersediaan
pangan terjamin, OFI akan digunakan untuk investasi ‘konsumptif’ seperti
perbaikan rumah, biaya sekolah anak dan sejenisnya. Investasi di usahatani
berada pada urutan keempat atau kelima dalam skala prioritas.
(ii) Produksi padi mendapat intervensi dari pemerintah dalam bentuk subsidi sarana
produksi seperti bibit unggul, pupuk dan pestisida. Pemberian subsidi sarana
produksi ini dapat dinikmati oleh petani gurem dengan tersedianya kredit
berbunga rendah untuk pengadaan sarana produksi. Setiap petani mempunyai
akses terhadap kredit, asal ia bersedia menjadi anggota kelompok tani. Kredit
ini sampai ditangan petani dalam bentuk natura seperti bibit, pupuk dan
pestisida serta uang tunai untuk membiayai pengolahan lahan. Oleh karena itu
setiap petani mendapat saprodi yang sama per hektar lahan usahatani, sehingga
penggunaan kapital per hektar akan sama pada setiap usahatani. Dalam
konstelasi seperti ini, faktor produksi kapital tidak lagi dapat dipandang sebagai
faktor variabel.
Peranan penting intervensi pemerintah di sektor pertanian dalam bentuk penyediaan sarana
produksi (faktor produksi kapital) pada usahatani padi sawah akan semakin nyata apabila
penggunaan kapital didiferensiasi per cabang usahatani. Hasil pemilahan per cabang usaha
menunjukkan hubungan yang mirip dengan gambar 1 untuk cabang usaha padi sawah.
Sebaliknya pada cabang usaha kacang kedelai, lahan merupakan faktor produksi variabel
yang berkorelasi positip dan signifikan dengan OFI. Subsidi sarana produksi tidak berlaku
untuk usahatani kedelai. Kelembagaan gotong-royong (pooling tenaga kerja) untuk
mengatasi tenaga kerja keluarga juga tidak berlaku pada usahatani kedelai. Karena
kebutuhan kapital (sarana produksi) harus dibiayai secara tunai, luas areal pertanaman
kedelai menjadi tergantung pada situasi keuangan petani. Dalam hal ini berlaku secara
cross-section, semakin tinggi OFI maka lahan pertanaman kedelai akan semakin luas
(gambar 2). Temuan di lapang menunjukkan, hanya dua pertiga (66 %) dari petani yang
menanami lahannya dengan kedelai. Selebihnya menyerahkan lahannya kepada orang lain
hanya untuk ditanami kedelai. Penyebabnya adalah ketidaktersediaan kredit untuk
membiayai produksi, sementara usahatani kedelai berisiko tinggi.

Gambar 2. Hubungan antara Luas Pertanaman Kacang Kedelai dan Off-farm Income.

9

Luas Lahan Usaha
Pengamatan
Linear

Off–Farm Income

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 238).
Pada cabang usahatani kedelai terdapat korelasi yang positip dan signifikan antara luas
areal pertanaman dan pengeluaran kapital serta upah tenaga kerja. Koefisien korelasi
ketiga faktor ini mendekati satu, sehingga pengaruh OFI terhadap penggunaan faktor
produksi tradisional (lahan, kapital dan tenaga kerja) sepenuhnya dapat direpresentasikan
oleh gambar 2. Artinya luas areal tanam yang semakin tinggi menunjukkan penggunaan
kapital dan tenaga kerja upahan yang semakin tinggi juga. Koefisien korelasi disajikan
pada tabel 3.
Tabel 3. Matrix Koefisien Korelasi antara OFI dan Penggunaan Faktor Produksi dalam
Usahatani Kacang Kedelai pada Sistim Pertanian Lahan Sawah.
Variabel
OFI
Luas lahan
Biaya Kapital
Biaya Upah

OFI
1,00
0,74**
0,76**
0,68**

Luas Lahan
1,00
0,96**
0,96**

Biaya Kapital
1,00
0,95**

Biaya Upah

1,00

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 239).
Catatan:
** signifikan pada = 0,01.
Temuan empiris ini menunjukkan, bahwa, sekalipun OFI terutama ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan pokok keluarga, tidak seluruh tambahan pendapatan ini digunakan
untuk konsumsi. Sebagian dari pendapatan digunakan juga juga untuk membiayai
investasi pada produksi pertanian, khususnya usahatani kedelai. Dalam hal adanya
intervensi pemerintah untuk keuntungan produsen (petani) dalam bentuk subsidi faktor
produksi (secara khusus untuk usahatani padi sawah), OFI akan dialokasikan untuk tujuan
lain. Dengan kata lain, apabila intervensi pemerintah tidak hadir, OFI memberikan

10

kontribusi yang signifikan sebagai sumber permodalan untuk investasi di sektor
pertanian.
2.2.2 Situasi Pada Sistim Pertanian Lahan Kering
Pada sistim pertanian lahan kering berlaku, bahwa OFI per kapita berkorelasi positip dan
signifikan dengan penggunaan kapital pada produksi pertanian. Koefisien korelasi 0,55
dan signifikan pada a = 0,05. Korelasi ini tidak sekuat pada usahatani kedelai pada sistim
pertanian lahan sawah. Tetapi korelasi OFI dan biaya upah tidak signifikan. Hubungan
antara OFI dan pemakaian kapital disajikan secara grafis pada gambar 3.
Gambart 3. Pengaruh OFI Terhadap Penggunaan Kapital pada Sistim Pertanian Lahan
Kering.
Biaya Kapital/0,25 ha
Pengamatan
Linear

Of f – Fa r m In c ome

Sumber: Hasil penelitian dipublikasikan pada TAMPUBOLON (1998: 241).
Sekalipun bentuk garis linier pada gambar 3 memberikan nilai statistik yang memuaskan,
tetapi perlu ditambahkan, bahwa 35,7 % responden menanam jeruk, cabang usahatani
yang secara kontinu menuntut penggunaan kapital. Tanaman tahunan seperti ini dipandang
sebagai investasi masa depan, dimana luas areal pertanaman sangat tergantung pada situasi
keuangan petani. Jika petani tidak yakin bahwa dalam lima tahun (hingga usahatani jeruk
membukukan keuntungan) kebutuhan pokok rumah tangga tidak dapat ditutupi oleh OFI,
biasanya mereka akan berkonsentrasi pada tanaman sayuran. 70 % dari petani sampel
hanya bekerja off-farm apabila ada kebutuhan akan uang tunai secara mendadak. Dalam
keadaan normal, pola piramida tanaman dapat menjadi basis ekonomi yang kokoh.

3. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Kesimpulan dari temuan empiris yang diuraikan diatas dapat dirangkum sebagai berikut:

11

(i) Off-farm income memegang peranan yang penting dalam ekonomi rumah tangga
masyarakat tani Sumatera Utara, walaupun motif melakukan aktivitas off-farm
berbeda pada masing-masing lingkungan sistim pertanian. Pada sistim
pertanian lahan sawah, off-farm employment bertujuan untuk menambah
pendapatan usahatani, yang karena sempitnya lahan tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan subsisten rumah tangga. Sementara rendahnya curahan
tenaga kerja keluarga di usahatani sendiri telah mengakibatkan pengangguran
yang bersifat saisonal, sehingga dari sisi sumberdaya tenaga kerja multiple
employment memungkinkan untuk dilakukan.
Pada sistim pertanian lahan kering, motif multiple employment lebih beragam.
Sebahagian hanya untuk memenuhi kebutuhan uang tunai secara mendadak,
sementara dalam situasi normal, usahatani melalui pola piramida tanaman dapat
menjadi basis ekonomi rumah tangga yang kokoh. Sementara itu, bagi
sebahagian lainnya, aktivitas off-farm merupakan basis ekonomi rumah tangga
dan usahatani dijalankan untuk menambah penghasilan (khusus bagi pensiunan
PNS) atau sebagai sarana menabung guna membiayai investasi atau
pengeluaran konsumsi yang besar di kemudian hari.
(ii) Pada kedua daerah dengan sistim pertanian yang berbeda, penghasilan dari OFI
sebagian digunakan untuk membiayai investasi di sektor pertanian. Sekalipun
usahatani padi sawah, yang menjadi kegiatan utama pada sistim pertanian lahan
sawah, diintervensi oleh pemerintah melalui pemberian subsidi sarana produksi
yang mengakibatkan pemakaian modal seragam, pengaruh OFI terhadap
investasi masih terbaca melalui usahatani kedelai.
Kenyataan ini kembali membawa pengalaman Sumatera Utara menyimpang dari pola
umum pembangunan dalam arti perubahan struktur secara sektoral. Dari kriteria
REARDON (1998), pedesaan Sumatera Utara berada pada “transitional stage of rural
industrialization”. Pengalaman historis secara global, arus tenaga kerja dan modal
(resource flows) dari pertanian ke non-pertanian pada fase ini justru mencapai puncaknya
(JOHNSTON/MELLOR, 1961 dan TIMMER, 1986: 8). Tetapi yang terjadi di pedesaan
Sumatera Utara adalah sebaliknya: aliran modal dari non-pertanian (off-farm) ke pertanian
(capital flow to agriculture).
Pada kesempatan lain telah ditunjukkan (TAMPUBOLON, 2001: 8-11), bahwa mengingat
magnitude multiple employment di pedesaan secara global, yang mengakibatkan
terintegrasinya berbagai sektor baik pada level individu dan terutama pada level rumah
tangga, maka ‘the stylized facts of development stage’ tidak relevan lagi dijadikan acuan
dalam merencanakan dan mengimplementasikan pembangunan.
Dengan konstelasi seperti digambarkan diatas, pembangunan ekonomi harus diarahkan
untuk mengintegrasikan ketiga sektor: pertanian, industri dan jasa dengan menilai ketiga
sektor itu sama pentingnya. Sehingga pembangunan harus diimplementasikan dengan
meningkatkan pertumbuhan di ketiga sektor itu dan sekaligus membangun jaringan
dinamis yang menghubungkan ketiganya. Dengan demikian tenaga kerja dapat dengan
mudah bergerak dari satu sektor ke sektor lain atau bahkan berada di dua sektor secara
bersamaan. Tujuan ini diformulasikan REARDON (1998: 3), ‘the creation of linkagefriendly agricultural and non-agricultural activities’.
12

4. Daftar Pustaka
Arman, S. 1987: Off-farm works in Three Coastal Communities of West Kalimantan,
Indonesia. Rutgers The State University of New Jersey - New Brunswick:
Dissertation.
Badiel, B. 1991: Mehrfachbeschäftigung in Haushalten mit Landbewirtschaftung –
Versuch einer entwicklungsbezogenen Typologie. Sozialökonomische Schriften
zur Ruralen Entwicklung, Bd. 86. Aachen: Alano.
Barlett, P.F. 1986: Part-time farming: Saving the farm or saving the lifestyle ? Rural
Sociology 51(3): 289 - 313.
Beet, W.C. 1990: Raising and Sustaining Productivity of Smallholder Farming Systems
in the Tropics. A Handbook of Sustainable Agricultural Development. Alkmaar:
AgBé.
Bertrand, A.L. 1967: Research on Part-time Farming in the US. Sociologia Ruralis
7(3): 295 - 306.
Boserup, E. 1965: The Conditions of Agricultural Growth. The Economics of Agrarian
Change under Population Pressure. London: George Allen & Unwin.
Cain, M. and McNicoll, G. 1988: Population Growth and Agrarian Outcomes. In:
Lee, R.D., Arthur, W.B., Kelly, A.C., Rodgers, G., and Srinivasan, T.N.
(eds.): Population, Food and Rural Development: 101 – 117. Oxford:
Clarendon.
Chenery, H. and Syrquin, M. 1975: Pattern of development, 1950 – 1960. London:
Oxford University Press.
Chenery, H., and Srinivasan, T.N. (eds.), 1988: Handbook of Development Economics.
Vol. I. Amsterdam, etc.: North Holland.
Clark, C. 1960: The Condition of Economic Progress. 3rd. ed. London/NY:
MacMillan/St. Martin.
Ellis, F. 1996: Peasant Economics: Farm Households and Agrarian Development (second
edition). Cambridge, etc.: Cambridge University Press.
Frauendorfer, S. von. 1966: Part-time Farming, A Review of Literature. World
Agricultural Economics and Rural Sociology Abstracts 8: 5 - 38.
Ho, S.P.S. 1986: Off-farm Employment and Farm Households in Taiwan. In: Shand,
R.T. (ed.), 1986: 95 - 133.
Johnston, B.F. and Mellor, J.W. 1961: The Role of Agriculture in Economic
Development. American Economic Review 51 (4): 566 – 593.
Kada, R. 1980: Part-Time Family Farming: Off-farm Employment and Farm Adjustment
in the US and Japan. Tokyo: Center for Academic Publications.
Kada, R. 1986: Off-farm Employment and the Rural –urban Interface in Japanese
Economic Development. In: Shand, R.T. (ed.), 1986: 75 – 93.
Klennert, K. 1986: Off-Farm Employment in Marginal Farm Households: A Hidden
Development of Parts of Pakistan’s Rural Poor.
Quarterly Journal of
Internatioal Agriculture 25(1): 37 – 48.
Kuhnen, F. 1986: Mehrfachbeschäftigung in der asiatischen Landwirtschaft. In: Jauch,
D., and Kromka, F. (eds.), 1986: Agrarsoziologische Orientierung, Ulrich
Plank zum 65. Geburtstag: 227 – 235. Stuttgart: Ulmer.
Purcal, J.T. 1971: Rice Economy. Honolulu: University Press of Hawaii.
13

Reardon, T. 1998: Rural Off-farm Employment and the Role of Agriculture: Policies and
Prospects for Proverty Alleviation. Seminar on March 25, 1998: Michigan State
University.
Rieken, J. 1994: Institutionen, Kultur und Erwerbstätigkeit in Nordwest-Pakistan.
Sozioökonomischen Schriften zur Ruralen Entwicklung, Bd. 86. Aachen: Alano.
Ruthenberg, H. 1980: Farming Systems in the Tropics (third edition). Oxford:
Clarendon.
Shand, R.T. (ed.), 1986: Off-farm Employment in the Development of Rural Asia.
Papers presented at a conference held in Chiang Mai, Thailand, 23 to 26 August
1983, vol 1 and 2, Canberra.
Sohn, H. 1989: Erwerbskombinationen in Haushalten mit Landbewirtschaftung in der
Bundesrepublik Deutschland. FAA Band 285.
Syrquin, M. 1988: Pattern of Structural Change. In: Chenery, H., and Srinivasan,
T.N. (eds.): 203 – 273.
Tampubolon, J. 1998: Interaktionen zwischen Mehrfachbeschäftigung und betrieblicher
Organisation der Landwirtschaft (interaction between multiple employment and
farm organization). Göttingen: Cuvilier Verlag.
Tampubolon, J. 2001: Hakekat Multiple Employment Bagi Masyarakat Tani Sumatera
Utara. Visi 9(1): 1 – 14.
Tempelman, G-J. 1982: Off-Farm Employment: A Barrier to Agricultural Development
– A Case Study From Trengganu, Peninsular Malaysia. Malaysian Journal of
Tropical Geography 6: 50 – 60.
Timmer, C.P. 1988: The Agricultural Transformation. In: Chenery, H., and
Srinivasan, T.N. (eds.): 275 – 331.
Wolz, A. 1987: Rural Employment under a Closing Land Frontier. Bonner Studien zur
landlichen Entwicklung in der Dritten Welt, Bd. 10. Saarbrücken, Fort
Lauderdale: Breitenbach.

14