Analisa Tehnik Flying Squad Sebagai Bagi

Analisa Tehnik Flying
Squad Sebagai Bagian
Mitigasi Konflik Gajah –
Manusia di Desa Lubuk
Kembang Bunga,
Propinsi Riau: Tahun
2009 - 2010

Didukung dan didanai oleh
WWF – US dan US Fish and
Wildlife

Oleh Wishnu Sukmantoro dan Syamsuardi

Foto cover: Syamsuardi

Technical Report on 013-WWF-2011

Analisa Tehnik Flying Squad Sebagai Bagian Mitigasi Konflik
Gajah – Manusia di Desa Lubuk Kembang Bunga, Propinsi
Riau: Tahun 2009 – 2010

Oleh Tim Gajah WWF Indonesia Riau Program; Syamsuardi dan Wishnu Sukmantoro
*WWF Indonesia – Riau program

Pendahuluan
Elephant Flying Squad (EFS) di desa Lubuk Kembang Bunga saat saat ini (2011) telah
berusia hampir 6 tahun. Dalam usianya tersebut, beberapa perkembangan dalam kegiatan
mitigasi konflik gajah manusia telah dilakukan misalnya dalam pembuatan dan
pengembangan standar operasional prosedur (SOP) Flying Squad dari seluruh
manajemen Flying squad di LKB dan Flying Squad – Flying Squad lainnya di Riau. EFS
atau dalam bahasa Indonesia yang disahkan Kementrian Kehutanan yaitu Pasukan Gajah
Reaksi Cepat (PGRC) adalah salah satu bentuk atau teknik mitigasi konflik gajah
manusia menggunakan 4 ekor gajah jinak terlatih. Minimal 8 mahout gajah difungsikan
dalam kegiatan mitigasi konflik ini dibantu dengan masyarakat.
Di Propinsi Riau, empat EFS telah terbentuk dan beroperasi yaitu EFS Lubuk Kembang
Bunga (LKB), EFS Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), EFS Gondai (Musi Masyayasan Tesso Nilo) dan EFS Pontian Mekar (Asian Agri). Keempat EFS ini melakukan
aktivitas di lokasi masing-masing sekitar Taman Nasional Tesso Nilo.pada tahun 2009,
ke-4 organisasi yang mengkoordinir EFS, Balai TNTN dan BBKSDA dalam pembuatan
dokumen standar operasional prosedur Flying Squad dan pengembangannya. Praktek
SOP telah dilakukan di dua lokasi yaitu EFS LKB dan EFS RAPP. Dokumen SOP telah
mendapat persetujuan dari kementrian kehutanan Indonesia untuk diterapkan di lokasilokasi lain yang memiliki konflik gajah-manusia seluruh Sumatera dan Kalimantan.

Kemudian, dalam skala pemerintahan, BBKSDA Riau juga berinisiatif membangun EFS
di dua lokasi lain di tahun 2011.
Dari hasil analisa dampak EFS di tahun 2005 – 2008, telah terjadi penurunan tingkat
jumlah kasus kerugian dari kedatangan gajah liar yang masuk di Desa Lubuk Kembang
Bunga. Tingkat jumlah kasus kerugian tersebut dapat ditekan sampai 63,8% (tahun 2007)
dan 78,7% (tahun 2008). Penurunan ini disebabkan tingkat upaya preventif atau
pencegahan dari konflik gajah – manusia akibat kedatangan gajah adalah tinggi yaitu

dari upaya kegiatan patroli EFS, pengaduan masyarakat dan informasi lainnya. Selain itu,
tingkat partisipatif masyarakat juga tinggi membantu dalam upaya mitigasi konflik ini.
Analisa data tahun 2009-2010 adalah kelanjutan dari analisa data tahun 2005-2008.
Analisa ini nanti diharapkan akan berkala untuk melihat tingkat penurunan kerugian
akibat konflik gajah-manusia termasuk kerugian material dan nyawa. Selain itu, analisa
data tersebut juga memberikan kepastian atas dampak meningkatnya keamanan dari
gangguan gajah liar di masyarakat melalui pengembangan EFS.

Metode
Studi kompilasi data ini dilakukan untuk melihat tingkat efektivitas EFS dalam
memitigasi konflik gajah dengan manusia dan kondisi-perilaku gajah liar dimana EFS
telah beroperasi di wilayah jelajah gajah tersebut. Selain itu, studi ini berguna untuk

melihat keterlibatan masyarakat sebagai subyek dalam mitigasi konflik gajah dan
manusia di lokasi tersebut. Pengumpulan data dilakukan dari catatan-catatan dan laporan
harian staf EFS Lubuk Kembang Bunga terutama mahout melalui data-sheet form
terstruktur dan standar. Catatan-catatan tersebut kemudian di analisa dan disusun
beberapa bagian terutama dari perilaku dan dinamika kedatangan gajah, informasi
keterlibatan masyarakat dalam mitigasi dan dampak dari EFS kepada masyarakat dan
gajah. Selain itu, dari hasil ini juga dilengkapi analisa untuk perkembangan EFS
selanjutnya di propinsi Riau sebagai bahan acuan BBKSDA (Kementrian Kehutanan),
Pemda dan stakeholder lainnya untuk mendukung keberadaan EFS di Riau.
Hasil Analisa dan Diskusi
A. Jumlah kedatangan gajah
Pada tahun 2009 diperkirakan 55 individu gajah liar yang sampai ke wilayah operasional
Flying Squad (Desa Lubuk Kembang Bunga) dengan total 19 kali kedatangan. Dari 19
kali kedatangan, konsentrasi gajah yang masuk ke dalam dan sekitar desa LKB berada
pada bulan Maret, Juli, Agustus dan September, dimana puncaknya terjadi pada bulan
September yaitu 5 kali kedatangan. Pada bulan Januari, Februari, April Mei, Oktober,
November dan Desember tidak ada kedatangan gajah liar di Desa lubuk kembang bunga,
hal ini juga dipengaruhi dengan tingginya aktifitas masyarakat di daerah jelajah gajah
(perambah hutan yang masuk di areal habitat gajah). Semakin tinggi aktifitas masyarakat
maka semakin lambat pergerakan gajah untuk mengikuti jalurnya dan kondisi ini hanya

berlaku untuk gajah yang berkelompok.
Pada tahun 2010 terjadi kenaikan jumlah kedatangan gajah di Desa Lubuk kembang
Bunga dibandingkan tahun 2009. Tahun 2010 tercatat 21 kali kedatangan gajah dengan
perkiraan jumlah gajah yang datang adalah 142 individu. Tahun 2010, hampir seluruh
bulan di tahun tersebut, terjadi kedatangan gajah, kecuali pada bulan Juni dan Oktober.
Puncak kedatangan terjadi pada bulan Februari, April, Mei dan Juli yaitu 3 kali
kedatangan.

Untuk mengetahui dinamika kedatangan gajah selama tahun 2009 sampai 2010 dapat
dilihat dalam grafik di bawah ini;

Grafik 1. Kedatangan gajah liar berdasarkan bulan tahun 2009 dan 2010
Kedatangan gajah liar berdasarkan bulan tahun 2009-2010
5
4.5
4
3.5
3
2.5
2

1.5
1
0.5
0

Tahun 2009
Tahun 2010

r
embe

tu s

r
mbe
De se
mber
No pe
ber
Ok to


Sept

Agus

J uli

J uni

Mei

April

t
Mare
uari
Pebr
a ri
J anu


a. Kedatangan Gajah berdasarkan komposisi kelompok tahun 2009 dan 2010.
Berdasarkan komposisi kelompok, kelompok gajah dibedakan ke dalam bebrapa
katagori yaitu;
1. Katagori tunggal (bull) yaitu sebenarnya dikhususnya untuk gajah soliter,
tetapi dalam konteks ini, gajah tunggal berarti Bull (gajah jantan soliter, atau
ia berpasangan dengan jantan lainnya atau dalam kondisi bertiga).
2. Katagori kelompok (herd) yaitu kelompok gajah jumlah kecil yang terdiri atas
Ibu dan anak. Kelompok ini kisaran antara 8 – 20 individu.
3. Katagori campuran yaitu kelompok gajah jumlah kecil-besar yang terdiri atas,
ibu, anak dan jantan dewasa (bull) dengan kisaran >10 individu.

Tahun 2009, komposisi kelompok gajah yang datang ke LKB yaitu gajah tunggal
sebanyak 9 kali, gajah kelompok yaitu 9 kali dan gajah campuran sebanyak 3 kali.
Gajah tunggal dan gajah kelompok, persentasenya sama sehingga kedatangan
kedua tipe ini adalah berimbang. Untuk gajah soliter, dari 9 kali kedatangan gajah
tunggal, 100% atau 9 kali adalah kedatangan gajah soliter (satu individu). Gajah
soliter ini merupakan individu yang berbeda satu dengan yang lain dan adalah bull
yang diperkirakan usia masing-masing antara 12-20 tahun. Pada tahun 2009,
diperkirakan musim kawin cukup meningkat beberapa gajah jantan liar
menunjukkan karakter birahi dan terlihat dalam komposisi campuran yaitu gajah

jantan berahi sedang mencari pasangan di gajah kelompok.

Tahun 2010, komposisi kelompok yang datang ke LKB yaitu gajah tunggal
sebanyak 12 kali, gajah kelompok sebanyak 6 kali dan campuran sebanyak 1 kali.
Dari pengumpulan informasi tahun 2010, kedatangan terbanyak dari gajah tunggal
terutama gajah soliter. Gajah campuran hanya sebanyak 1 kali perjumpaan oleh
tim flying quad. Tahun 2010, juga dijumpai beberapa gajah soliter sedang masa
berahi.

Grafik 2. Kedatangan gajah liar berdasarkan klasifikasi kelompok
tahun 2009 dan 2010

Kedatangan gajah liar berdasarkan Klasifikasi tahun 2009-2010
15
10

2009

Bulan


2010

5
0
singe

Group

Campuran

b. Kedatangan gajah berdasarkan Kelompok Umur
Dari hasil analisa data EFS yang dilakukan tahun 2009, klasifikasi umur dewasa
(>10 tahun) memiliki nilai tertinggi yaitu 12 kali kedatangan di tahun 2009.
Kedatangan gajah dewasa umumnya adalah gajah jantan dewasa yang soliter atau
dalam kelompok kecil mencari pasangan (bull). Nilai tertinggi kedua adalah pada
klasifikasi campuran (beberapa individu gajah yang berbeda umur (anak-anak,
remaja dan dewasa atau anak-anak dan dewasa) datang ke LKB. Jumlah
kedatangan klasifikasi campuran adalah 6 kali (tahun 2009). Tahun 2010,
kelompok umur campuran lebih dominan dengan 13 kali dan 8 kali untuk
kedatangan gajah dewasa. Kedatangan gajah dalam klasifikasi campuran (umur)

ini umumnya adalah dalam konteks berkelompok (herd) atau dalam satu
kelompok. Tahun 2009-2010, dai informasi mahout gajah dan masyarakat, terjadi
beberapa kelahiran anak gajah liar dalam kurun waktu tersebut. Hal ini akan
menarik, apabila dalam kurun waktu di masa datang, apabila habitat tidak
terganggu, populasi gajah akan bertambah. Tahun 2010 (bulan februari) juga
diwarnai dengan 2 individu gajah mati di sebelah timur EFS Lubuk kembang
Bunga. Usia gajah tersebut diperkirakan 4-6 tahun, jadi sebenarnya dinamika
populasi dari gajah liar di dalam TN Tesso Nilo menunjukkan peningkatan jumlah
anak gajah, meskipun habitat yang terus mengalami degradasi. Dari klasifikasi
umur ini selama dua tahun tidak dijumpai gajah anak atau yang muda melakukan

perjalanan tanpa didampingi dewasa (nilai 0 kedatangan untuk gajah muda (anak)
tahun 2009 dan 2010).
Di bawah ini disajikan informasi mengenai jumlah kedatangan gajah berdasarkan
klasifikasi umur tahun 2009 dan 2010 di LKB di bawah ini;
Grafik 3. Jumlah kedatangan gajah berdasarkan kelompok umur tahun
2009-2010 di Desa Lubuk Kembang Bunga

Kedatangan gajah berdasarkan Umur tahun 2009-2010
14

12
10
8

2009

6

2010

4
2
0
Anak

Remaja

Dewasa

Campuran

c. Waktu Kedatangan gajah
Gajah liar di banyak masuk ke areal perkebunan masyarakat lebih banyak
dilakukan pada malam hari. Data tahun 2009, 79 % (11 kali) gajah datang pada
malam hari dan hanya 3 kasus kedatangan di pagi dan sore hari. Pada siang hari
tidak ada gajah yang bergerak menuju lahan masyarakat. Pada tahun 2010, 8
kasus (40%) kedatangan gajah terjadi pada malam hari. Pada siang hari, terjadi
kasus kedatangan gajah sebanyak 6 kali (30%) dan 4 kali kedatangan gajah pada
sore hari. Pada tahun 2009 dan 2010, dari pola kedatangan pada malam hari
adalah dominan (terjadi penurunan kedatangan gajah pada malam hari), tetapi
tahun 2010 terjadi kenaikan persentase kedatangan gajah pada pagi-sore hari
(terutama siang hari) yaitu sebesar 39 %. Peningkatan tersebut karena ada
aktivitas kedatangan gajah pada siang hari yaitu didominasi oleh bull, gajah jantan
tunggal dan dua kedatangan adalah gajah berkelompok lebih dari 20 individu.
Kedatangan gajah dominan di malam hari karena gajah liar adalah hewan
nokturnal yaitu aktif pada malam hari terutama mencari makan.

Grafik 4. Kondisi waktu pertemuan gajah tahun 2009-2010 di Desa Lubuk
Kembang Bunga
Kedatangan gajah berdasarkan waktu Tahun 2009-2010

12
10
8

2009

6

2010

4
2
0
Pagi

Siang

Sore

Malam

B. Sumber informasi tentang kedatangan gajah
Dalam melakukan penanganan konflik, tim mendapatkan informasi tidak saja dari
kegiatan rutin yang dilakukan namun juga dukungan dari masyarakat sekitar, sehingga
suplay informasi dari pihak lain menjadi sangat penting. Tahun 2009 saja, peran pemilik
kebun cukup besar sebagai suplai informasi yaitu mencapai 46%. Pemilik kebnun adalah
orang yang memiliki kebun yang lahan kebunnya akan atau dimasuki oleh gajah liar.
Tahun 2009, patroli rutin dengan sepeda motor dilakukan seperti tahun-tahun lalu.
informasi yang dilakukan dengan mengunakan sepeda motor terutama pada malam hari
berkontribusi terhadap suplai informasi sebanyak 27 %, sedangkan untuk patroli gajah
berkontribusi sebagai penunjang informasi kedatangan gajah yaitu 9% dan lain-lain (dari
petugas, pertemuan anggota flying squad tidak dalam kegiatan patroli atau gajah masuk
flying squad sebanyak 18%. Informasi masyarakat baik masyarakat Lubuk Kembang
Bunga maupun diluar desa tersebut (dalam konteks di luar pemilik lahan) adalah nol atau
tidak ada pengaduan di tahun 2009.
Grafik 5. Sumber informasi tahun 2009 di Desa Lubuk Kembang Bunga
Sumber informasi tahun 2009

18%

9%
Patroli gajah

0%
27%

Patroli kendaraan
Pemilik lahan
Masyarakat
Lain-lain

46%

Pada tahun 2010, informasi kedatangan gajah dari pemilik lahan menurun yaitu hanya
8 % dan tahun tersebut terdapat peranan masyarakat lain di luar pemilik lahan yaitu 8 %
sebagai suplai informasi kedatangan gajah. Peran terbesar sebagai suplai informasi
kedatangan gajah yaitu dari patroli gajah sebesar 42%, lain-lain (informasi petugas atau
petugas flying squad diluar kegiatan patroli) sebesar 29% dan patroli kendaraan (sepeda
motor) sebesar 13%. Tahun 2010, patroli gajah dan sepeda motor memang lebih intensif
di Taman nasional terutama tahun 2010 dimulainya patroli gabungan yang melibatkan 4
flying squad di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo. Patroli gajah menjadi kunci
keberhasilan tim melakukan penanganan konflik, bahkan dalam kegiatan patroli ini tim
dapat dengan segera melakukan pengiringan terhadap gajah liar sehingga dari 21 kali
kedatangan 13 kali tim langsung bisa melakukan penanganan baik pengusiran maupun
pengiringan. Patroli kendaraan kondisinya jauh menurun, hal ini juga karena frekuensi
patroli dengan kendaraan pada tahun ini turun akibat kesulitan biaya oprasional.
Grafik 6. Sumber informasi tahun 2010 di Desa Lubuk Kembang Bunga
sumber informasi Tahun 2010
Patroli gajah
Patroli kendaraan

29%
42%

Pemilik lahan
Masyarakat

8%
8%

Lain-lain
13%

F. Tingkat Partisipasi masyarakat dalam Flying Squad
Dari data tahun 2009 dan 2010, tingkat partisipasi masyarakat tinggi yaitu 53% (10 kali
upaya pengecekan dan pengusiran gajah) di tahun 2009 dan 57% (12 kali upaya
pengecekan dan pengusiran gajah) di tahun 2010. Partisipasi masyarakat difokuskan pada
saat pengecekan lokasi konflik (tidak saat melaporkan kedatangan) dan pengusiran. dari
tahun 2009 dan 2010, dukungan atau partisipasi masyarakat meningkat 4 % untuk
kegiatan tersebut. Peningkatan ini disebabkan oleh adanya peningkatan kedatangan gajah
di tahun 2010, dalam konteks flying squad, keterlibatan masyarakat dibatasi sampai
pengusiran saja. Pasca dari pengusiran apabila gajah liar tidak dapat dikendalikan adalah
dengan penggiringan menggunakan gajah flying squad 4 ekor. Upaya penggiringan bnagi
masyarakat adalah sangat beresiko karena dapat berhadapan langsung dengan gajah.
Masyarakat dalam upaya penggiringan adalah berjaga-jaga di kebun masing-masing
dengan menggunakan meriam karbit agar gajah tidak masuk ke dalam kebun mereka.
Upaya penggiringan adalah upaya paksa yang dilakukan untuk menggerakkan gajah liar
ke lokasi yang aman atau ke hutan.

Partisipasi masyarakat tahun 2009

Partisipasi masyarakat tahun 2010

43%

47%
ada

ada

tidak
53%

tidak
57%

Pada tahun 2009-2010 Tim Flying Squad juga mulai melibatkan masyarakat lokal yang
dilatih dalam upaya mitigasi konflik masyarakat yang dapat dilakukan tanpa gajah atau
tanpa Flying Squad sebagai upaya preventif. Beberapa lokasi penting sebagai lokasi
pelatihan adalah Desa Gondai dan Desa Rantau Kasih (perbatasan Taman Nasional Tesso
Nilo).
G. Cara melakukan pengusiran
Pengusiran gajah dilakukan pada tahun 2009 dan 2010. Total kedatangan tahun 2009
adalah 19 kali dan tahun 2010 adalah 21 kali. Upaya pengusiran yang dilakukan adalah
menggunakan gajah flying squad sebanyak 2 kali dan pengusiran tanpa gajah sebanyak 7
kali. Tahun 2009 juga terdapat 10 kasus yang dilakukan tanpa pengusiran. Jadi tahun
2009 terjadi 9 kali pengusiran. Pada tahun 2010, terjadi pengusiran menggunakan gajah

flying squad sebanyak 5 kali dan tanpa gajah adalah 11 kali. Ada 4 kasus kedatangan
gajah yang dilakukan tanpa pengusiran tahun 2010. Jadi total pengusiran tahun 2010
adalah 15 kali. Kasus pengusiran tanpa menggunakan gajah adalah dengan mitigasi
konflik bersama-sama masyarakat melakukan pengusiran dengan meriam karbit atau alatalat untuk menghalau gajah misalnya kentongan. Penggunaan meriam karbit adalah salah
satu bentuk mitigasi konflik gajah manusia bersama-sama dengan penggunaan flying
squad. Upaya pengusiran dapat dilakukan dalam waktu singkat atau lama dan biasanya
gajah Bull (jantan) dan berahi adalah rata-rata terlama waktu untuk mengusirnya.

Grafik 8. Cara melakukan pengusiran tahun 2009 - 2010 di
Desa Lubuk Kembang Bunga

H. Tingkat kerusakan material dari gajah liar yang datang
Dari jumlah kasus kerugian, pada tahun 2009, jumlah kasus kerugian (kerusakan lahan
masyarakat) adalah 11 kasus, sedangkan pada tahun 2010, jumlah kasus kerugian
masyarakat adalah 8 kasus. Jadi ada penurunan kasus kerugian oleh masyarakat di tahun
2010 dibandingkan data tahun 2009.
Dari penghitungan tingkat kerusakan material, tingkatan serangan terhadap tanaman
masyarakat pada perkebunan sawit memiliki rangking teratas sedangkan karet peringkat
kedua. Pada tahun 2009, sekitar 110 batang sawit yang dirusak dengan umur sawit 1-4
tahun, sedangkan pohon kelapa (Coconut) hanya 1 batang umur 4 tahun, pisang 8 batang,
sedangkan pada tahun 2010 sekitar 48 batang sawit dengan umur 1-3 tahun dan 5 batang
pohon karet umur 3 tahun, kemudian 1 rumpun bambu di perkarangan pondok ladang dan
pisang berjumlah 6 batang. Dari tahun 2009 dan 2010, terjadi penurunan lebih dari 50%

di tahun 2010 untuk jumlah pohon sawit yang dirusak gajah liar. Untuk tanaman karet
terjadi kasus kerusakan di tahun 2010, tetapi di tahun 2009 tidak terjadi kasus kerusakan.

Grafik 9. Jumlah kasus kerugian dan jumlah individu tumbuhan yang dirusak
gajah tahun 2009-2010 di Desa Lubuk kembang Bunga

Diskusi
Sebagai salah satu bagian teknik mitigasi konflik, EFS (PGRC) adalah teknik yang
efektif dalam menurunkan tingkat kerugian manusia akibat konflik dan menurunkan
tingkat kematian gajah pula akibat konflik gajah-manusia. Sebagai salah referensi penting
untuk melihat kapasitas EFS dalam implementasinya adalah perhitungan dan analisa data
EFS di desa Lubuk Kembang Bunga tahun 2005-2008. Dari tingkat kematian gajah dan
manusia antara tahun 2005-2008 adalah 0 (nol) di desa Lubuk Kembang Bunga,
meskipun ada satu kematian tahun 2007 diwilayah lain (Desa Gondai) tetapi tidak
tercakup dalam lingkup kerja EFS LKB. Ada satu kejadian pahit yaitu tahun 2010
(bulan ....) terjadi kematian anak gajah sejumlah 2 ekor di wilayah desa Air Hitam dan
masuk di dalam Taman Nasional Tesso Nilo. Kematian gajah ini juga berbarengan EFS
melakukan aktivitas pengusiran gajah di LKB (desa LKB bersebelahan dengan desa Air
Hitam). Dari hasil investigasi tim Flying squad dan WWF Indonesia mengindikasi adalah
racun tumbuhan yang sengaja diletakkan pada tanaman sawit atau diberikan langsung
kepada gajah. Dua ekor gajah yang mati tersebut melakukan pergerakan di habitatnya
yang telah rusak oleh perambahan sawit ilegal dimana dua tahun lampau kawasan itu
masih hutan. Jadi, kesimpulan dari ini adalah bahwa EFS sangat hati-hati saat ini dalam
melakukan pengusiran terutama arah melakukan pengusiran karena jangan sampai
rombongan gajah liar yang diusir, masuk ke lahan perkebunan lainnya. Kalau
perambahan ini terjadi dan terus terjadi, maka EFS akan kesulitan menentukan arah
pengusiran gajah liar dalam implementasi EFS. Kebutuhan habitat yaitu hutan adalah
sangat esensial bagi operasional EFS.
Keterlibatan masyarakat dalam ikut serta mitigasi konflik adalah tinggi dengan kisaran di
atas 60 % di tahun 2005-2006, dan tetap tinggi pula yaitu diatas 50% di tahun 2009-2010
(53% dan 57%). Keterlibatan masyarakat dalam pengusiran dan monitoring adalah
penting sebagai bagian ke ikutsertaan dan insiatif masyarakat dalam kegiatan pengusiran
tersebut. Pembelajaran yang paling penting dari konteks keterlibatan masyarakat ini
adalah masyarakat aktif dan punya tanggung jawab dalam upaya mitigasi konflik gajahmanusia tersebut. Upaya ini adalah sangat positif dan menjadi ”roh” dalam kegiatan EFS.
Tahun 2005-2006, keterlibatan masyarakat dalam Flying Squad adalah 60,6%, turun
ditahun 2009 dengan 53% dan naik kembali di tahun 2010 yaitu 57%. Di tahun 2005 dan
2006, keterlibatan masyarakat meliputi dalam pengecekan gajah liar yang masuk ke desa,
partisipasi masyarakat dalam pengusiran dan partisipasi masyarakat dalam penjagaan.
Tahun 2009 dan 2010, kisaran partisipasi masyarakat fokus pada ketiga hal tersebut
(sama dengan konteks partisipasi tahun 2005-2006). Tahun 2007 dan 2008, tidak ada
catatan tentang partisipasi masyarakat tetapi tidak menyimpulkan bahwa tidak ada
partisipasi masyarakat tahun 2007 dan 2008.
Dari konteks analisa di lapangan dan fakta di lapangan, bahwa partisipasi masyarakat
50% adalah cukup mewakili masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan mitigasi konflik.
Tentu, fokus masyarakat adalah gajah masuk ke dalam desa sehingga upaya-upaya
masyarakat tersebut fokus pada upaya menciptakan sistem peringatan dini dan mitigasi
dan tidak 100% masyarakat akan menjaga kawasannya (setiap hari) dari serangan gajah
karena konteks masyarakat adalah pekebun, gajah datang sewaktu-waktu dan tim flying

squad saja sudah cukup mampu melakukan mitigasi konflik. Bagi masyarakat, tim Flying
Squad merupakan tulang punggung upaya mitigasi, terutama apabila saat mitigasi
berlangsung oleh masyarakat, gajah tidak dapat dikendalikan.
Dari hasil analisa data bulanan kedatangan gajah dari tahun 2005-2010, terlihat
perbedaan yang cukup berarti dari kedatangan gajah setiap bulan diukur dari perbedaan
tahun. Misalnya pada bulan januari, tahun 2005-2006 dan 2007, 3 kali kedatangan gajah,
tahun 2008 dan 2010 hanya satu kali kedatangan gajah. Pada bulan februari, level
kedatangan gajah hampir sama antara 2-3 kali kedatangan dari tahun 2005-2010 dan
kosong informasi di tahun 2009. Bulan maret perbedaan signifikan yaitu tahun 2008
terjadi 6 kali kedatangan gajah tetapi tahun 2007 hanya satu kali kedatangan, tahun 2009
ada 5 kali kedatangan dan tahun 2010 hanya 2 kali kedatangan gajah. Hal yang sama
pada bulan Desember, tahun 2008, 6 kali kedatangan gajah sedangkan tahun-tahun
lainnya hanya 0-1 kali kedatangan gajah. Tabel Kedatangan gajah dapat dilihat dalam
grafik atau Grafik 10 di bawah ini;
Grafik 10. Dinamika kedatangan gajah liar per bulan tahun 2005 – 2010 di Desa
Lubuk Kembang Bunga

Dari grafik 10. Di atas terlihat dinamika kedatangan gajah liar yang acak pada tahun
2005-2010. Tidak ada pola yang jelas tentang kedatangan gajah, karena sewaktu-waktu
dalam satu bulan, kedatangan gajah dapat meningkat pesat dibandingkan pada bulan yang
sama di tahun kemudian atau sebelumnya. Pola-pola seperti ini menunjukkan bahwa
setiap bulan, tim flying squad dan masyarakat harus melakukan patroli dan waspada
terhadap kedatangan gajah liar ke Desa Lubuk Kembang Bunga. Dari Tabel 9. Januari,
Febuari, Mei dan Oktober merupakan bulan dimana interval kedatangan gajah antara 0-3
kali. Bulan Oktober antara 0-2 kali kedatangan. Kalau pola ini dapat dipertahankan,
kemungkinan bulan Januari, Februari, Mei dan Oktober adalah bulan-bulan dengan
frekuensi kedatangan gajah yang kecil. Bulan-bulan lainnya adalah fluktiatif.
Grafik 11. Di bawah ini menunjukkan partisipasi masyarakat atau persentase peranserta
masyarakat dalam kegiatan mitigasi konflik gajah – manusia. Telah dijelaskan bahwa
partisipasi masyarakat dalam mitigasi konflik tahun 2005-2006 dan 2009-2010 atau di
atas 50%. Di tahun-tahun mendatang, peningkatan partisipasi masyarakat diarahkan
kepada mitigasi konflik gajah – manusia dengan peran masyarakat dalam menciptakan
sistem peringatan dini dan kemandirian melakukan mitigasi. Diluar areal lingkup Flying
Squad, partisipasi masyarakat diharapkan 100%. Mengapa pentingnya keterlibatan
masyarakat untuk aktif 100% tanpa perlu keterlibatan Flying Squad?
Pertama, Tidak semua wilayah dicover (didalam) kegiatan Flying Squad. Apalagi dalam
konteks flying squad dibutuhkan biaya yang relatif besar dalam konteks mitigasi konflik
gajah-manusia yang dikelola masyarakat. Kemudian, tentu tidak akan dapat dicapai
jumlah gajah jinak apabila satu kabupaten saja, setiap desa yang berkonflik dengan gajah
memiliki flying squad.

Kedua, Flying squad dapat mobile atau membantu wilayah yang tidak dicover oleh
Flying Squad, tetapi apabila lokasinya jauh dan membutuhkan waktu sampai ke desa,
sehingga konteks Flying Squad dapat tidak efektif karena jangkauan lokasi. Upaya
preventif yang dilakukan masyarakat secara mandiri akan lebih efektif membendung
dalam tahap awal kegiatan mitigasi sambil menunggu tim flying squad datang ke lokasi.
Ketiga, kemandirian masyarakat dalam mitigasi konflik dan biaya murah. Kemandirian
masyarakat penting karena sebagai antisipasi awal untuk mitigasi konflik (early warning
system/sistem peringatan dini) yang berbiaya murah dan dapat dilakukan oleh masyarakat
sendiri. Mitigasi konflik oleh masyarakat sebenarnya telah dilakukan masyarakat sejak
dahulu, terutama bagi masyarakat lokal yang dikenai dampak konflik dengan gajah secara
turun temurun. Pengetahuan lokal ini dimulai dengan pengusiran dengan bunyi-bunyian,
api atau dengan bau-bauan yang menyengat.

Grafik 11. Persentase tingkat partisipasi masyarakat dalam mitigasi konflik gajahmanusia bersama-sama dengan Tim EFS di Lubuk Kembang Bunga

62
60

60.6

58

57

56
54
52

53

Persentase
keterlibatan
masyarakat

50
48
2005-2006

2009

2010

Kasus konflik

Dari tahun 2005 sampai 2010, terjadi penurunan kasus konflik yang signifikan. Dari ratarata 23 kasus tahun 2005 dan 2006, turun menjadi 12 kasus di tahun 2007, kemudian
turun kembali di tahun 2008 mencapai 10 kasus, naik kembali tahun 2009 menjadi 11
kasus dan turun kembali tahun 2010 mencapai 8 kasus konflik. Kasus konflik ini dapat
berupa gajah masuk ke kampung dan merusak kebun atau pemukiman masyarakat
sebelum dihalau kembali ke hutan (dalam konteks ini laporan dan tindakan mitigasi
dianggap terlambat, karena gajah sudah merusak lahan masyarakat). Tahun 2009 dan
2010, kedatangan gajah adalah 19 kali pada tahun 2009 dan 21 kali pada tahun 2010,
upaya mitigasi konflik sanggup menekan mencapai 11 kasus saja tahun 2009 dan 8 kasus
tahun 2010, jadi rata-rata 50% jumlah kedatangan gajah tidak menimbulkan kerusakan

(bukan kasus konflik) akibat dari upaya mitigasi konflik yang dilakukan masyarakat dan
tim flying squad, 50% lainnya adalah kasus konflik.
Dalam kasus konflik yang terjadi tahun 2005 sampai 2010, tim flying squad dan
aktivitasnya mampu menurunkan jumlah konflik sebesar 65,2 % dari data tahun 2005 (23
kasus konflik). Persentase ini sangat baik dalam upaya efektivitas flying squad di tahun
2005 sampai 2010.

Grafik 12. Jumlah kasus konflik gajah-manusia masa operasional EFS tahun 20052010 di Lubuk Kembang Bunga

25
23

23

20
17
15
10

10

Jumlah kasus

11
8

5
0
2005

2006

2007

2008

2009

2010

Dampak dari penurunan kasus konflik, masyarakat setempat desa Lubuk Kembang
Bunga dari beberapa responden yang menjadi target diskusi, EFS Lubuk Kembang Bunga
telah berhasil membantu masyarakat untuk menurunkan konflik gajah dan manusia di
desa tersebut. Masyarakat menganggap sudah tidak banyak lagi gangguan gajah yang
merusak lahan masyarakat, tetapi beberapa masyarakat masih tetap dalam konteks
waspada terhadap kedatangan gajah ke desa tersebut terutama masyarakat yang kebunnya
sering didatangi gajah.
Wilayah Jelajah EFS di Lubuk Kembang Bunga

Dari hasil kegiatan patroli, posisi kasus konflik dan kedatangan gajah, dapat dilihat dari
sebaran spot (spot putih/kuning) dalam peta 1. Dimana luas areal jangkauan (jelajah) EFS
Lubuk Kembang Bunga adalah 1500 ha mencakup seluruh Desa Lubuk Kembang Bunga,
sebagian wilayah Desa Air Hitam dan Kesuma. Spot juga berada di dalam kawasan
Taman Nasional Tesso Nilo termasuk diareal terbuka dan terokupasi oleh sawit. Dalam
beberapa tahun terakhir, perambahan di dalam Taman Nasional tersebut meningkat
termasuk wilayah utara taman nasional yang dicover jelajahnya oleh EFS. Kejadian
kematian gajah tahun 2010 (2 individu remaja) adalah salah satu akibat pembukaan lahan
di dalam taman nasional tersebut. Sebagai penjelasan pula bahwa EFS tidak

diperuntukkan untuk melakukan mitigasi konflik bagi masyarakat perambah atau
menggunakan lahan taman nasional secara ilegal (jadi tidak ada pertolkongan dari EFS)
sehingga masyarakat perambah melakukan cara tersendiri dalam melakukan “mitigasi”
yaitu dengan menggunakan racun. Racun dioleskan pada pohon sawit muda atau media
nanas. Meskipun demikian tim EFS melakukan monitoring untuk kontrol posisi gajah di
dalam TNTN yang notabene telah diokupasi perambahan.

Peta 1. Daerah Jelajah EFS di Lubuk Kembang Bunga berdasarkan patroli dan
psosisi saat mitigasi konflik gajah-manusia

Kesimpulan dan Rekomendasi
Sampai saat ini, EFS merupakan salah satu teknik mitigasi konflik yang berhasil
menurunkan tingkat kasus konflik mencapai 65,2% dari tahun 2005 sampai tahun 2010.
Penurunan tingkat konflik tersebut diikuti dengan penurunan jumlah kerusakan terutama
tanaman akibat gajah liar. Dari kedatangan gajah liar yang masuk ke desa Lubuk
Kembang Bunga adalah sangat fluktiatif setiap bulan, sehingga pola penjagaan dan
peningkatan kewaspadaan masyarakat dan tim EFS tidak terlihat dalam pola waktu
kedatangan, sehingga selama 2005 – 2010, masyarakat dan tim EFS dituntut untuk tetap
waspada menghadapi kedatangan gajah setiap waktunya.

Dari hasil ini yang belum diperhitungkan adalah luasan areal dimana masyarakat terkena
dampak serangan gajah liar, kedepan, tim EFS juga perlu untuk mencatat luasan areal
yang dirusak gajah sebagai bagian penghitungan penurunan kerugian yang dialami
masyarakat. Saat ini EFS telah dilengkapi SOP (standar operasional prosedur) sehingga
upaya-upaya penanganan konflik dilakukan menurut standarisasi EFS. Kementrian
Kehutanan beberapa waktu lalu sangat tertarik untuk menerapkan teknik EFS ini dalam
skala nasional dan dalam konteks ini, implementasi EFS dapat dilakukan di lokasi-lokjasi
yang memiliki konflik gajah dengan pembiayaan dari pemerintah atau perusahaan.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dr. Anwar Purwoto, Ir. Ahmad Dian Kosasih Ms.,
Prof. Dr. Hadi Alikodra, Bapak Suhandri, Bapak Kurnia Rauf (BBKSDA) dan Bapak
Hayani Suprahman (BTNTN) yang mendukung dan memberikan masukan dalam
pembuatan dokumen ini. Terima kasih juga kepada rekan-rekan mahout yang telah
mendukung dalam penyusunan database mitigasi konflik gajah – manusia yang sampai
saat ini tetap diperbaharui oleh tim EFS. Terima kasih pula kepada Michael Stuewe,
Long Barney, masyarakat Lubuk Kembang Bunga dan yang telah membantu dalam
pengembangan EFS di Propinsi Riau.

Referensi
Qomar, N. 2003. Integrasi Sub Sistem Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Tesso Nilo
Untuk Pelestarian Gajah Sumatera dan Ekosistemnya. Thesis. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Samsuardi & A. A. Desai.2009. Death of four elephants outside the Tesso Nilo National
Park. WWF – Indonesia Report on May 2009. Riau.
Syamsuardi & N. Fadhli. 2007. Usulan konsep mitigasi konflik manusia dan gajah.
Materi presentasi WWF Indonesia Riau Program. Propinsi Riau.
Syamsuardi, Wishnu Sukmantoro, Muslino, Nukman, Nurchalis Fadly, Adi Purwoko,
Riyadin, Eko Heri & Joko Prawoto. 2010. Standar operasional prosedur untuk elephant
flying squad (Pasukan Gajah Reaksi Cepat) dalam mitigasi konflik manusia dan gajah.
Tim penulis SOP. Pekanbaru.
Wishnu Sukmantoro, Syamsuadi, & Samsuardi. 2010. Tehnik Flying Squad Sebagai
Bagian Mitigasi Konflik Gajah – Manusia di Desa Lubuk Kembang Bunga, Propinsi
Riau: Tahun 2005 – 2008. WWF Indonesia Program Riau, Pekanbaru.