Isu Terkini Dalam Psikologi Anak Berkebu

Isu Terkini Dalam Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Tunarungu

Christ Billy Aryanto
1406591775

Magister Ilmu Psikologi Pendidikan
Universitas Indonesia
Depok
Maret 2015

Pengertian Tunarungu
Tunarungu adalah sebuah gangguan pendengaran yang membuat individu membutuhkan
pelayanan pendidikan khusus (Mangunsong, 2009). Hallahan dan Kauffman (2006)
membedakan antara ketulian (deafness) dengan gangguan pendengaran (hard of hearing).
Orang yang tuli tidak mampu mendengar sehingga menghambat keberhasilan memproses
informasi bahasa melalui pendengaran baik menggunakan ataupun tanpa alat bantu dengar.
Sedangkan orang yang memiliki gangguan pendengaran masih memiliki kemampuan
mendengar yang cukup untuk memproses informasi bahasa melalui pendengaran dengan
bantuan alat bantu dengar (Hallahan & Kauffman, 2006). Terdapat lima kategori dari
ketulian, yaitu











Kelompok 1 adalah hilang pendengaran ringan (mild) antara 26 – 40 dB.
Kelompok 2 adalah hilang pendengaran marginal (moderate) antara 41 – 55 dB.
Kelompok 3 adalah hilang pendengaran sedang (moderate-severe) antara 56 – 70 dB.
Kelompok 4 adalah hilang pendengaran berat (severe) antara 71 – 90 dB.
Kelompok 5 adalah hilang pendengaran parah (profound) > 90 dB.

Gangguan pendengaran juga seringkali dibagi sesuai dengan letak kerusakan organ
pendengaran (Mangunsong, 2009), yaitu



Ketulian yang bersifat konduktif (conductive deafness)
Kerusakan yang disebabkan karena gangguan transmisi suara dari saluran auditoris ke



telinga dalam dan masih dapat dibantu dengan alat bantu dengar.
Ketulian yang bersifat sensorineural (sensorineural deafness)
Kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan telinga bagian dalam atau pada syaraf
pendengaran yang menyampaikan rangsang ke otak. Cara membantunya agar dapat
kembali mendengar adalah dengan implan koklea dengan cara melakukan bypass
koklea yang rusak dan menstimulasi syaraf auditori dengan aliran listrik yang



merupakan kode-kode dari pembicaraan.
Ketulian campuran (mixed hearing loss)
Kerusakan yang disebabkan karena campuran ketulian konduktif dan sensorineural,
alat bantu dengar hanya dapat dilakukan untuk ketulian konduktifnya saja.

1




Ketulian karena masalah pada sentral auditoris ( central hearing loss)
Kerusakan ringan yang bersifat neurologis pada cerebral cortex yang berdampak pada
persepsi, kemampuan organisasi dan pemahaman terhadap suara dan bukan karena
kehilangan kemampuan untuk mendegarkan bunyi-bunyian.

Gangguan pendengaran dapat terjadi sejak anak lahir (congenital) atau terjadi ketika
sudah bertumbuh dewasa (acquired) (Kirk, Gallagher, Coleman, & Anastasiow, 2009). Usia
ketika anak kehilangan pendengaran memiliki dampak terhadap perkembangan bahasa dan
kemampuan bicaranya. Anak dapat mengalami kehilangan pendengaran secara prelingual
atau sebelum bahasa berkembang dan postlingual atau setelah bahasa berkembang. Waktu
hilangnya pendengaran sangat penting karena membentuk komunikasi, bahasa, dan
perkembangan bicara awal anak. Jika gangguan pendengaran terjadi sejak lahir, anak tidak
akan memiliki pengalaman dengan suara bicara dan akan mengalami kesulitan yang lebih
besar dalam memahami dan memproduksi suara. Jika ketulian terjadi sebelum anak telah
dapat berbicara, terlambatnya perkembangan bahasa mungkin akan lebih besar dibandingkan
jika anak sudah mengembangkan kemampuan bahasa yang solid dan kemampuan berbicara
yang kuat. Semakin baik kemampuan berbicara dan berbahasa dasar anak sebelum hilangnya

pendengaran, semakin mudah anak dapat berkomunikasi (Kirk, dkk., 2009).
Penyebab dari ketunarunguan sangat bervariasi dan dapat dikelompokkan sebagai berikut:



Masalah kromosom yang diturunkan



Infeksi kronis



Dampak mendengarkan suara yang sangat keras



Malformasi kongenital (cacat dari lahir)




Tulang tengkorak yang retak



Penyakit virus seperti rubella pada saat kehamilan
Sifilis kongenital (cacat karena ibu memiliki penyakit kelamin)

Karakteristik Anak Tunarungu
Mangunsong (2009) memberikan deskripsi komprehensif mengenai gejala-gejala yang
ditunjukkan anak tunarungu, yaitu:




Tidak mampu memusatkan perhatian yang bersifat kronis
Gagal merespon apabila diajak bicara
Terlambat berbicara

2





Mengalami keterbelakangan di sekolah



sesuai dengan instruksi



konndisi ramai



dengan suara keras.




Melihat wajah pembicara dari jarak dekat untuk membaca bibir pembicara



Memiliki reaksi yang lambat terhadap instruksi dan memberikan respon yang tidak

Tidak mampu mengidentifikasi sumber suara atau pembicara, terutama dalam

Sulit berkonsentrasi, khususnya selama diskusi kelompok atau ketika cerita dibacakan

Perkembangan bahasa terlambat

Prestasinya lebih rendah dari potensinya

Identifikasi Anak Tunarungu
Menurut Cartwright dan Cartwright (1984, dalam Mangunsong, 2009), terdapat tiga cara
mengidentifikasi anak tunarungu, yaitu identifikasi melalui indikator perilaku, tanda-tanda
fisik, dan keluhan yang dikemukakan anak. Berdasarkan indikator perilaku, hal yang dapat
diidentifikasi adalah




Tidak mampu memberikan perhatian



Gagal mengikuti instruksi lisan khususnya dalam situasi kelompok



Memiliki masalah wicara



Menarik diri



Mengarahkan kepala atau telinga ke arah pembicara




Meminta untuk mengulangi instruksi



Menolak menjadi sukarelawan dalam kelas atau diskusi kelompok

Berkonsentrasi berlebihnan pada wajah atau bibir lawan bicara

Berdasarkan tanda-tanda fisik, hal itu ditunjukkan dengan:



Telinga mengeluarkan cairan



Sering menggunakan kapas pada telinga




Bernafas melalui mulut

Ekspresinya tampak letih dan tertekan meskipun pada pagi hari.

Keluhan yang biasa dikemukakan anak tunarungu adalah:


Sakit pada telinga

3




Mendengar dengungan atau deringan di dalam kepalanya




Telinga yang luka



Merasa ada benda di dalam telinga

Sering demam, sakit tenggorokan, dan / atau tonsilitis

Terdapat alat bantu yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi ketunarunguan dan
mengukur seberapa jauh seseorang bisa mendengar atau seberapa besar hilangnya
pendengaran seseorang yaitu menggunakan alat bernama audiometri (Mangunsong, 2009).
Terdapat beberapa jenis alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur ketunaruguan
(Hallahan & Kauffman, 2006; Kirk, dkk., 2009), yaitu


Pure tone audiometry

Merupakan suatu alat tes untuk di mana terdengar suara dengan intensitas dan
frekuensi yang berbeda untuk mengetahui ambang batas pendengaran anak tunarungu
(Hallahan & Kauffman, 2006). Alat ini dapat digunakan untuk anak usia 3 tahun atau


lebih (Kirk, dkk., 2009).
Speech audiometry

Sebuah teknik untuk mengetes cara seseorang mendeteksi dan memahami


kemampuan berbicaranya (Hallahan & Kauffman, 2006)
Play audiometry

Sebuah tes yang menggunakan cara seperti bermain untuk mengukur kemampuan


mendengar anak yang sangat muda (Hallahan & Kauffman, 2006; Kirk, dkk., 2009)
Tympanometry

Metode untuk mengukur respons tekanan dan suara telinga bagian tengah (Hallahan


& Kauffman, 2006)
Evoked response audiometry

Sebuah teknik menggunakan electroencephalograph untuk mengukur perubahan


aktivitas gelombang otak terhadap respon suara (Hallahan & Kauffman, 2006)
Auditory brainstem response

Metode yang paling digemari untuk dipakai saat ini. Caranya adalah dengan
memberikan menstimulasi saluran telinga dengan suara, lalu suara tersebut akan
menimbulkan gema di dalam telinga bagian tengah. Gema itu dapat menimbulkan
getaran di sel rambut dalam telinga dan bila tidak terjadi getaran, maka diperlukan
evaluasi lebih lanjut (Kirk, dkk., 2009).

4



Bone conductor test

Tes ini dilakukan untuk mengukur pergerakan suara melalui tulang dan sistem
pendengaran di otak melalu telinga (Kirk, dkk., 2009).

Dampak Tunarungu
Perkembangan bahasa

Anak yang memiliki tunarungu memiliki masalah yang besar dalam perkembangan
bahasa. Semakin parah tingkat kerusakan pendengaran dan semakin dini usia awal
munculnya kerusakan, maka semakin sulit perkembangan bahasa anak tunarungu (Hallahan
& Kauffman, 2006). Kirk, Gallagher, Coleman, dan Anastasiow (2009) mengajukan strategi
yang bisa dilakukan untuk perkembangan pendengaran dan bahasa anak tunarungu, yaitu
dengan berbicara lebih keras atau lebih jelas, mengurangi kebisingan, meningkatkan
kemampuan mempelajari bahasa, dan meningkatkan perhatian anak terhadap bahasa.
Kemampuan berbahasa anak juga dapat ditingkatkan dengan dibantu orang tua selama di
rumah dengan membantu anaknya untuk berkomunikasi kepada anaknya di situasi sehari-hari
(Kirk, et al., 2009). Strategi yang bisa dilakukan orang tua adalah:



Mengembangkan persepsi yang dapat diterima anak tunarungu



Menggunakan sentuhan yang lembut untuk menarik perhatian anak



Mempelajari bahasa isyarat



Menggunakan ekspresi muka untuk membantu anak memahami tanda yang diberikan



melanjutkan untuk berkomunikasi



Jika mengacu pada suatu barang, buatlah tanda dan gestur yang dekat dengan objek



dilihat dan dipahami.



Mempelajari pendekatan oral



Jika anak melihat ke arah lain, biarkan anak untuk melakukannya sebelum

Menggunakan ucapan-ucapa yang singkat

Buat gestur yang berlebihan, berulang-ulang, dan panjang untuk memastikan gestur



Gunakan tanda perlahan-lahan



Memberikan amplifikasi pada sisa pendengarannya
Mempertimbangkan implan koklea jika memungkinkan

Penelitian dari Kennedy dan kawan-kawan (2006) menunjukkan bahwa semakin dini
anak terdeteksi memiliki gangguan pendengaran, maka skor bahasa yang dimilikinya akan

5

lebih baik ketika berada di usia anak-anak tetapi tidak menunjukkan kemampuan berbicara
yang lebih baik.

Perkembangan intelektual dan prestasi akademik

Pembentukan konsep dan kemampuan berpikir abstrak pada anak tunarungu pada
soal-soal yang tidak mengandalkan bahasa faktanya sama dengan anak normal (Suran &
Rizzo, 1979, dalam Mangunsong, 2009).

Secara umum, IQ dari anak tunarungu tidak

berbeda dengan anak normal bila dites menggunakan performance test yang diadministrasi
secara tertulis daripada menggunakan tes verbal (Hallahan & Kauffman, 2006). Penelitian
menunjukkan bahwa anak tunarungu dengan orang tua yang tunarungu memiliki prestasi
membaca dan kemampuan berbahasa yang lebih baik daripada yang orang tuanya bisa
mendengar, karena orang tua tunarungu lebih dapat berkomunikasi dengan anaknya
menggunakan bahasa isyarat (Hallahan & Kauffman, 2006).

Perkembangan sosial dan emosional

Perkembangan

sosial

dan

kepribadian

manusia

sangat

dipengaruhi

oleh

kemampuannya untuk berkomunikasi dan hal ini berlaku juga pada anak tunarungu yang
memiliki masalah dalam komunikasi (Mangunsong, 2009). Anak tunarungu biasanya
memiliki masalah dalam berkomunikasi dengan anak normal di sekolah inklusi (Kluwin,
Stinson, & Colarossi, 2002, dalam Hallahan & Kauffman, 2006) dan anak tunarungu merasa
lebih nyaman untuk berkomunikasi dengan anak tunarungu lain yang bisa diajak
berkomunikasi (Stinson & Whitmire, 1992, dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Tetapi hal
in tidak selalu terjadi karena bergantung prevalensi dari tingkat keparahan ketuliannya.
Masalah emosional yang dialami bayi dan anak tunarungu awalnya karena kurang
kemampuan untuk memahami aspek-aspek emosional yang dikomunikasikan oleh orang lain
secara verbal (Mangunsong, 2009). Beberapa ahli menemukan bahwa anak tunarungu yang
memiliki orang tua yang juga tunarungu lebih bahagia dibandingkan yang orang tuanya dapat
mendengar, hal ini karena orang tua yang dapat mendengar tidak paham bahasa isyarat dan
sulit berkomunikasi dengan anaknya (Hallahan & Kauffman, 2006).
Terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi penyesuaian sosial anak menurut Kirk
dan kawan-kawan (2009)


Identifikasi dan intervensi awal dapat meningkatkan fungsi keseluruhan anak dan
meningkatkan self-esteem

6




Dukungan keluarga dan penerimaan anak



kontak sosial



Bantuan teknologi canggih seperti internet yang menyediakan akses ke informasi dan

Partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti olahraga, pramuka, dan seni
Tenaga profesional dan pengasiuh yang bekerja dengan anak dan keluarga:

Intervensi Bagi Anak Tunarungu
Komunikasi

Seluruh manusia akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya dan anak tunarungu
memiliki kemampuan komunikasi yang kurang dibanding anak-anak pada umumnya.
Mangunsong (2009) mengajukan pendekatan komunikasi yang banyak digunakan anak
tunarungu.

Latihan pendengaran

Latihan

pendengaran

dimaksudkan

untuk

meningkatkan

keterampilan anak

mendengar menggunakan sisa-sisa pendengarannya dan memengaruhi seberapa jauh anak
menerima dan ingin memakai alat bantu dengar (Mangunsong, 2009). Kemampuan yang
dikembangkan dalam latihan pendengaran adalah untuk menyadari dan membedakan suarasuara yang mencolok di lingkungannya, pola irama berbicara dan irama musik, pengenalan
huruf hidup dan mati, serta bicara dalam situasi yang ramai (Mangunsong, 2009).

Oralism
Oralism adalah sistem komunikasi menggunakan bicara dan membaca ujaran

(Mangunsong, 2009). Terdapat beberapat hal yang perlu diperhatikan untuk anak dapat
membaca ujaran yaitu inteligensinya, penerangan, jarak antara anak dengan lawan bicaranya,
tipe aktivitas, keakraban anak dengan materi yang dibicarakan, serta perbedaan individu
(Mangunsong, 2009). Oralism merupakan salah satu metode yang kontroversial dan selalu
dibandingkan dengan manualism. MacDougall (1971) menyatakan bahwa metode oralism
merupakan metode yang kurang baik karena hanya sebagian kecil siswa yang bisa naik ke
kelas lanjutan dan 30% dari anak tunarungu pengguna metode ini di Amerika buta huruf.

7

Manualism
Manualism adalah sistem komunikasi yang menekankan pada manual alfabet dan

bahasa isyarat (Mangunsong, 2009). Di Indonesia, terdapat dua bahasa isyarat yang
berkembang yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia
(SIBI). BISINDO adalah bahasa Ibu komunitas tuna rungu di Indonesia dan berkembang
secara alami di kalangan tuli Indonesia dan sudah digunakan turun temurun selama bertahuntahun (GERKATIN, 2015). Walaupun sudah menjadi bahasa pengantar sejak lama,
BISINDO secara resmi belum diakui pemerintah, sehingga BISINDO tidak digunakan di
sekolah-sekolah luar biasa. Saat ini pemerintah hanya mengakui SIBI sebagai satu-satunya
bahasa isyarat resmi (GERKATIN, 2015).
Menurut Departemen Pendidikan dan Budaya (1994), SIBI yang dibakukan
merupakan salah satu media yang membantu sesama kaum tuna rungu ataupun komunikasi
kaum tuna rungu di dalam masyarakat yang lebih luas. Wujudnya adalah tatanan yang
sistematis bagi seperangkat isyarat jari, tangan, dan berbagai gerak untuk melambangkan
kosakata bahasa Indonesia. BISINDO berbeda dengan SIBI, salah satu perbedaannya adalah
isyarat untuk melambangkan alfabet seperti yang tertera pada gambar 1 dan gambar 2.
Alfabet BISINDO merupakan alfabet yang dibuat oleh Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna
Rungu Indonesia (GERKATIN), sedangkan SIBI menggunakan alfabet yang diadaptasi dari
American Sign Language (ASL). Perbedaan lainnya adalah SIBI mengenal imbuhan tetapi

BISINDO tidak. Sehingga isyarat untuk kata memakan, dimakan, dan termakan dalam SIBI
memiliki isyarat yang berbeda-beda, sedangkan dalam BISINDO semuanya memiliki isyarat
yang sama.

Gambar 1. Alfabet dalam BISINDO

8

Gambar 2. Alfabet dalam SIBI yang sama dengan ASL

Menurut Juniati Efendi, kepala dari GERKATIN, SIBI dibuat oleh orang-orang yang
tidak memiliki ketunarunguan dan terlalu kompleks dipakai untuk orang tunarungu
(Hamdani, 2014). Oleh karena itu, GERKATIN sekarang sedang memperjuangkan agar
pemerintah mengganti SIBI dengan BISINDO yang lebih sederhana dan mulai muncul
website berjudul dukungbisindo.com untuk menggalang dukungan agar DPR memberikan

perhatian kepada masalah ini (Hamdani, 2014).

Komunikasi Total

Komunikasi total adalah sistem komunikasi yang berusaha menggabungkan berbagai
bentuk komunikasi untuk mengembangkan konsep dan bahasa pada anak tunarungu, dan
sistem komunikasi ini lebih efektif untuk anak dengan gangguan pendengaran berat dan tuli
(Mangunsong, 2009). Komunikasi total menggunakan seluruh media yang lazim digunakan
seperti gerakan-gerakan, suara yang diperkeras, berbicara, membaca ujaran, ejaan jari, bahasa
isyarat, membaca dan menulis (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994;
Mangunsong, 2009). Dalam melakukan komunikasi total, atensi visual merupakan prasyarat

9

yang perlu ada untuk kesuksesan komunikasi dengan bahasa isyarat (Lieberman, 2014).
Semakin dini anak terpapar untuk menggunakan bahasa isyarat, maka kompetensi dalam
berkomunikasi dari anak akan semakin baik juga sehingga mulai dari usia 19 bulan anak
sudah bisa memusatkan perhatiannya untuk berkomunikasi dengan orang lain (Lieberman,
2014).

Pendidikan

Anak berkebutuhan khusus di Indonesia akan mendapatkan layanan pendidikan dari
pemerintah melalui Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK-PLK). Sesuai
dengan UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 32 ayat 1 anak tunarungu, yang merupakan anak
berkebutuhan khusus, perlu mendapatkan Pendidikan Khusus (PK) dan pada pasal 32 ayat 2
bagi anak berkebutuhan khusus non-disabilitas perlu mendapatkan Pendidikan Layanan
Khusus (PLK) (PK-PLK, 2015).
Melalui PK-PLK, pemerintah sekarang mulai mengedepankan pendidikan inklusif
yang adalah sistem pelayanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus
belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (PK-PLK,
2015). PK-PLK berusaha untuk memberikan pendidikan untuk semua dan terbuka untuk
merangkul semua kalangan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus dengan disabilitas
maupun ABK non disabilitas. Pada awalnya, ABK hanya mencakup impairment, handicap,
dan disability sehingga pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus diselenggarakan di
Sekolah Luar Biasa, dan untuk anak normal pada sekolah-sekolah regular. Hal tersebut
merupakan konsep dari ekslusifisme yang merupakan kebalikan dari pendidikan inklusif (PKPLK, 2015).


Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif terbagi dalam dua jenis:



Sekolah Biasa/sekolah umum yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus



Alternatif dari layanan pendidikan inklusif yang dilakukan antara lain :



Kelas Biasa dengan Tambahan Bimbingan di Dalam



Kelas Khusus dengan Kesempatan Bergabung di Kelas Biasa,

Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak normal.



Kelas Biasa Penuh



Kelas Biasa dengan Tambahan Bimbingan di Luar Kelas.



Kelas Khusus Penuh
Sekolah Khusus, dan

10



Sekolah Khusus berasrama.

Observasi Yayasan Pendidikan Luar Biasa Nusantara
Yayasan Pendidikan Luar Biasa (YPLB) Nusantara adalah Sekolah Luar Biasa
Berasrama (boarding school) bagian A-B-C-D. Sekolah Luar Biasa (SLB) Nusantara terletak
di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan dan Sekolah Berasrama terdapat di Sempu Raya, Beji,
Depok. Siswa yang bersekolah di SLB Nusantara adalah siswa yang pulang-pergi dan siswa
asrama adalah mereka yang yatim-piatu atau yang memang sengaja didaftarkan orang tuanya
untuk sekolah asrama. Pemisahan sekolah ini terjadi karena adanya otonomi daerah sehingga
meskipun murid sekolah di 2 daerah yang berbeda, mereka sama-sama siswa di YPLB
Nusantara. Kepala sekolah sekaligus perintis dari YPLB Nusantara adalah bapak Sujono.
Kegiatan belajar mengajar di SLB Nusantara dilakukan dari pagi hari sampai siang
hari, sedangkan kegiatan belajar mengajar di sekolah asrama baru dimulai siang hari sampai
sore hari. Kegiatan yang dilakukan di sekolah asrama di pagi sampai siang hari adalah
kegiatan bina diri, mulai dari membersihkan tempat tidur, mandi, makan, dan aktivitas seharihari lainnya. Seluruh kegiatan observasi dilakukan di sekolah asrama Sempu Raya, Beji.
Kegiatan belajar mengajar di kelas antara ketunaan yang berbeda-beda juga digabung satu
sama lain, misalnya anak tuna daksa dan anak tuna grahita belajar dalam satu kelas yang
sama, anak tuna rungu dan anak dengan autisme berada dalam satu kelas yang sama.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada saat pelajaran komputer di sekolah,
terdapat empat anak tunarungu di sekolah Nusantara di mana satu anak merupakan anak
tunarungu dan mengalami autisme. Di dalam kelas juga terdapat tiga siswa lainnya yang
memiliki autisme dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Guru memberikan instruksi
kepada anak tunarungu menggunakan komunikasi total, yaitu mengucapkan kata-kata yang
ingin disampaikan dan memakai gestur. Tiga anak tunarungu tanpa autisme sudah dapat
melakukan komunikasi total dengan baik dengan gestur dan berusaha mengeluarkan suara
dari mulutnya, sehingga dapat berinteraksi satu sama lain dengan baik. Meskipun sudah
mencoba bersuara, tetapi terdengar belum terlalu jelas apa yang ingin dikatakannya. Seorang
anak tunarungu dengan autisme ini belum bisa berbicara dan hanya menggunakan gestur saja.
Anak tersebut juga cenderung lambat dalam menerima informasi dibandingkan ketiga
temannya yang lain. Pengamat bertanya kepada guru apakah beliau memiliki informasi
mengenai data demografis siswa, kecerdasan siswa, dan tingkat keparahan ketunarunguan.
Guru kelas tidak memiliki data tersebut dan hanya mengetahui keadaan anak berdasarkan
interaksi di dalam kelas saja.

11

Selama kegiatan di dalam kelas, tiga anak tunarungu tanpa autisme tanpa membentuk
kelompok dan saling berkomunikasi di dalam kelas layaknya anak normal mengobrol di
dalam kelas. Tetapi anak tunarungu dengan autisme lebih memilih untuk bermain permainan
komputer saja dan tidak berinteraksi dengan teman-temannya. Guru di dalam kelas juga pada
saat itu memberikan kebebasan pada murid-muridnya untuk kegiatan yang akan dilakukan di
dalam kelas, sehingga tiga anak tunarungu tanpa autisme bersama-sama menonton youtube
dengan satu komputer dan satu anak tunarungu dengan autisme bermain permainan komputer
sendirian.

Analisis Berdasarkan Hasil Observasi
Bila dikategorikan berdasarkan layanan pendidikan dari PK-PLK (2015), maka
sekolah yang diselenggarakan YPLB Nusantara tergolong dalam Sekolah Khusus untuk SLB
Nusantara Srengseng Sawah dan Sekolah Khusus Berasrama untuk SLB Nusantara Sempu
Raya. Menggabungkan anak dengan disabilitas yang berbeda dalam satu kelas merupakan
keputusan yang kurang tepat karena tiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.
Misalnya di dalam kelas anak tunarungu yang digabung dengan anak dengan autisme,
instruksi yang guru berikan pada anak tunarungu akan melibatkan gestur sedangkan anak
dengan autisme tidak membutuhkan hal tersebut.
Berdasarkan penelitian Rosenhall, Nordin, Sandstrom, Ahlsen, dan Gillberg (1999),
komunikasi pada anak tunarungu dengan autisme sangat buruk terkhusus karena fungsi
pendengarannya yang kurang. Padahal memang karakteristik anak autisme adalah menarik
diri secara ekstrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi, dan tingkah
lakunya terbatas dan berulang (Hallahan & Kaufmann, 2006). Sehingga terlihat jelas seperti
hasil observasi bahwa anak tunarungu dengan autisme tersebut memilih untuk bermain
sendiri dibandingkan bergabung dengan teman-temannya. Rosenhall dan kawan-kawan
(1999) juga menyatakan bahwa sebenarnya kasus anak autisme sangat jarang terjadi dengan
prevalensi 3,5%.
Anak-anak tunarungu yang tidak memiliki autisme berdasarkan hasil observasi
tampak senang berkumpul dan melakukan kegiatan bersama-sama. Hal ini baik dilakukan
menurut Yuhan (2013) karena berinteraksi dengan teman-temannya (peer ) memberikan
dampak bagi fungsi-fungsi penting anak tunarungu, yaitu pada kemampuan komunikasi,
adaptasi sosial, hubungan pertemanan jangka panjang, dan pengembangan kognisi, emosi dan
kepribadian. Berinteraksi dengan teman harus dimulai dengan seseorang yang memulai
interaksi terlebih dahulu dan menurut Deluzio dan Girulametto (2011, dalam Yuhan, 2013)

12

tidak ada perbedaan frekuensi dalam memulai interaksi dan kualitas dalam merespon
temannya pada anak dengan gangguan pendengaran ringan maupun berat. Cara anak
tunarungu memulai interaksi adalah dengan menggunakan vokalisasi, senyuman,
menawarkan suatu barang, dan sentuhan (Yuhan, 2013). Di sisi lain, berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan anak tunarungu yang berusaha untuk memulai interaksi dengan
temannya yang bisa mendengar biasanya diabaikan atau ditolak (Yuhan, 2013).

Kesimpulan
Secara umum yang sebenarnya membedakan antara anak tunarungu dan anak normal
adalah kemampuan mendengarnya. Kemampuan kognitif, sosial, emosional, dan bahasa
sebenarnya tidak memiliki perbedaan jika sejak usia dini sudah terekspos dengan bahasa.
Tetapi sayangnya karena anak tunarungu tidak bisa mendengarkan apa yang orang lain
sampaikan, sehingga kemampuan berbahasa dan bicara anak menjadi masalah utama anak
tunarungu serta kemampuannya tidak terasah dan tidak berkembang dengan baik. Hal ini
kemudian memengaruhi kemampuan sosial anak yang cenderung sulit untuk memulai
komunikasi dengan teman-temannya yang tidak memiliki ketunarunguan (Yunan, 2013).
Beberapa peneliti setuju bahwa anak dengan tunarungu harus diberikan intervensi
sedini mungkin agar dalam perkembangannya anak dapat memiliki perkembangan bahasa
serta kemampun menggunakan bahasa isyarat yang baik dengan lebih cepat (Kennedy, dkk.,
2006; Lieberman, 2014). Intervensi komunikasi yang sekiranya dapat digunakan adalah
komunikasi total yang menggunakan bahasa isyarat serta tetap mengusahakan anak tunarungu
mengatakan apa yang ingin disampaikan.

13

Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994). Kamus sistem isyarat bahasa indonesia
edisi pertama . Jakarta.

GERKATIN

(2015).

Lebih

lanjut

tentang

bisindo .

Diunduh

dari

http://gerkatin.com/detailberita-140-lebih-lanjut-tentang-bisindo.html pada tanggal 3
Maret 2015.
Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. (2006). Exceptional learners: Introduction to special
education (10th ed.). USA: Pearson Education, Inc.

Hamdani, S. (2014, November 30). Reading the signs with bisindo . Diunduh dari
http://thejakartaglobe.beritasatu.com/features/reading-signs-bisindo/ pada tanggal 3
Maret 2015.
Kennedy, C. R., McCann, D. C., Campbell, M. J., Law, C. M., Mullee, M., Petrou, S., . . .
Stevenson, J. (2006) Language ability after early detection of permanent childhood
hearing impairment. The New England Journal of Medicine, 354(20), 2131 – 2141.
Kirk, S., Gallagher, J. J., Coleman, M. R., & Anastasiow, N. (2009). Educating exceptional
children (12th ed.). USA: Houghton Mifflin Harcourt Publishing.

Lieberman, A. M. (2014). Attention deaf children using american sign language in a
preschool classroom. Applied Psycholinguistics, 1 - 19
MacDougall, J. C. (1971). The education of the deaf in canada. The Canadian Psychology,
12(4), 534 – 540.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus: Jilid kesatu.
Depok: LPSP3.
PK-PLK (2015). Pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (PK-PLK). Diunduh dari
www.pk-plk.com pada tanggal 3 Maret 2015.
Rosenhall, U., Nordin, V., Sandstrom, M., Ahlsen, G., & Gillberg, C. (1999). Autism and
hearing loss. Journal of Autism and Developmental Disorders, 29(5), 349 – 357.
Yuhan, X. (2013). Peer interaction of children with hearing impairment. International
Journal of Psychological Studies, 5(4), 17 – 25.

14