Restriksi Hak Prerogatif Presiden Pasca

Restriksi Hak Prerogatif Presiden Pasca Amandemen UUD 1945
(Membangun Check and Balances antara DPR dan Presiden Sebagai Upaya
Penguatan Sistem Presidensiil)
M. Wildan Humaidi, S.H.I.M.H.
Fakultas Syariah-IAIN Purwokerto
Jl. Ahmad Yani No. 40 A Purwokerto
Abstract
The Constitution desaign of Indonesia (UUD 1945) has put the president as
head of the state and head of the government as well. Before the
amendment, the 1945 Constitution has given the authority to the
president's prerogative widely, both to do with his position as head of the
state as well as head of the government. In practice, the design resulted in
government run more to executive heavy. In post-reform era, after the
amendment of the 1945 Constitution, the President is no longer allpowerful in terms of running power the authority, but there is a
collaborative slices with the Parliament and other state institutions, either
in the form of approval or only limited consideration. The restrictions are
intended as reinforcement presidential system, so that the elected
President is not stuck on the abuse of authority. On the other hand, it’s
needed the rearrangement so that the restriction can run on the track and
does not disrupt the stability of the government. This short narrative tries
to explain the efforts of the 1945 Constitution on tie down the prerogative

power of the President in an effort to build the checks and balances and
strengthen of the presidential system.
Abstrak
Desain konstitusi UUD 1945 Indonesia telah menempatkan Presiden sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus. Sebelum amandemen,
UUD 1945 telah memberikan kewenangan prerogatif kepada presiden secara
luas, baik kaitannya dengan posisinya sebagai kepala negara maupun
sebagai kepala pemerintahan. Dalam praktiknya, desain tersebut
mengakibatkan pemerintahan berjalan lebih condong pada executive
heavy. Pasca era reformasi, dengan diamandemennya UUD 1945, Presiden
tidak lagi berkuasa penuh dalam hal menjalankan kekuasaan prerogatifnya,
melainkan terdapat irisan kolaboratif dengan DPR dan lembaga negara
lainnya, baik dalam bentuk persetujuan maupun hanya sebatas
pertimbangan. Restriksi ini dimaksudkan sebagai penguatan sistem
presidensiil, agar Presiden terpilih tidak terjebak pada penyalahgunaan
kewenangan. Namun di sisi lain, diperlukan penataan ulang agar restriksi
tersebut berjalan ideal dan tidak mengganggu stabilitas pemerintahan.
Narasi singkat ini mencoba menjelaskan upaya UUD 1945 dalam merestriki
hak prerogatif Presiden sebagai upaya membangun check and balances dan
menguatkan sistem presidensiil.

Kata Kunci ; Hak prerogatif, Presiden, Sistem Presidensiil.
1

Pendahuluan
Sejak terjadinya reformasi,1 UUD 1945 yang “disakralkan” telah
mengalami desakralisasi. Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi sebuah
keniscayaan. Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, UUD 1945
sebagai

konstitusi

tertulis

Republik

Indonesia

memiliki

beberapa


kelemahan-kelemahan, yang kelemahan-kelemahan tersebut menjadi dasar
rasionalisasi atas pilihan amandemen. Terdapat lima kelemahan dalam UUD
1945. Pertama, sistem Konstitusi di bawah UUD 1945 bersifat “sarateksekutif”- (executive heavy). Kedua, tidak ada check and balances di
dalamnya. Ketiga, UUD ini mendelegasikan terlalu banyak aturan
konstitusional ke level undang-undang. Keempat, di dalamnya terdapat
sejumlah Pasal yang bermakna ambigu alias rancu. Kelima, konstitusi ini
terlalu banyak bergantung kepada political good will dan intergritas para
politisi.2
UUD 1945 (sebelum amandemen) yang bersifat sarat eksekutif
tersebut, dapat dilihat dari sistem konstitusi yang memberikan begitu
banyaknya kekuasaan kepada eksekutif, tanpa menyertakan sistem kontrol
konstitusi yang memadai.3 Di bawah UUD 1945, Presiden adalah Kepala
Pemerintahan dan Kepala Negara. Sebagai Kepala Pemerintahan atau
Kepala Eksekutif, Presiden memiliki kewenangan eksklusif atas menterimenteri dan pembentukan kabinet.4 Sedangkan sebagai Kepala Negara,
Presiden memegang kekuasaan untuk menjadi Panglima tertinggi Angkatan
1

Berbagai tuntutan yang disuarakan oleh elemen-elemen masyarakat ketika reformasi,
antara lain adalah; 1) Amandemen UUD 1945; 2) penghapusan Dwifungsi ABRI; 3)penegakan

supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, dan pemberantasan Korupsi,Kolusi, dan
Nepotisme; 4) desntralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); 5)
mewujudkan kebebasan pers; dan 6) mewujudkan kehidupan demokrasi. Panduan dalam
Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003), hlm. 6. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr.
Satya Arinanto, S.H., M.H dalam kata pengantar. Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden
Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009),
hlm. Ix.
2
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaeraan Indonesia; kajian terhadap dinamika perubahan
UUD 1945,Cetakan kedua (Yogyakarta: FH UII Perss, 2004), hlm. 2.
3
Deny Indrayana, Amandemen UUD 1945; Mitos dan Pembongkaran (Jakarta: Mizan, 2009),
hlm. 153-154.
4
Pasal 17 UUD 1945.

2


Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara,5 menyatakan Perang, membuat
perdamaian, dan menandatangani perjanjian dengan negara lain, 6
menyatakan keadaan bahaya atau darurat,7 mengangkat duta besar dan
konsul,8 dan menerima surat-surat kepercayaan duta besar sahabat dan
memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya.9
Sistem UUD 1945 menjadi lebih “sarat eksekutif” karena disamping
kekuasaan-kekuasaan eksekutifnya yang sedemikian besar, Presiden juga
memiliki kekuasaan legislatif. UUD 1945 jelas menyatakan bahwa Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Selain excecutive power, presiden bersamasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislative power
dalam negara.10
Setelah dilakukan amandemen selama empat kali, konstitusi UUD 1945
telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan praktik ketatanegaraan Indonesia. Hasil perubahan
tersebut, jika dicermati telah terjadi pengurangan kekuasaan presiden.
Beberapa hak mutlak (prerogatif) presiden yang tercantum dalam UUD
1945, setelah perubahan telah mengalami pereduksian. Pengurangan
tersebut bisa dilihat adanya pelibatan DPR, baik dengan bentuk harus
mendapat persetujuan DPR atau sekedar meminta pertimbangan saja.
Selain itu, ada pula yang pelaksanaannya ditentukan oleh undang-undang –

yang tentunya melibatkan peran DPR. Selain itu, kekuasaan mutlak Presiden
yang telah dikurangi adalah pengangkatan duta besar dan konsul,
pemberian amnesti dan abolisi, serta kewenangan membuat perjanjian
internasional.11

5

Pasal 10 UUD 1945
Pasal 11 UUD 1945
7
Pasal 12 UUD 1945
8
Pasal 13 UUD 1945
9
Pasal 15 UUD 1945
10
Deny Indrayana, Amandemen UUD 1945..., hlm. 153.
11
Ibid. Bandingkan rumusan konstitusi naskah awal (UUD 1945) dengan UUD 1945 Pasca
Amandemen keempat.

6

3

Sekilas dari uraian tersebut, jelas sekali telah terjadi pasang surut hak
prerogratif presiden yang tereduksi oleh kewenangan DPR, khususnya pasca
Orde Baru. Selanjutnya dalam tulisan ini akan dielaborasi lebih lanjut
mengenai eskalasi hak prerogatif presiden dan hubungannya dengan DPR
sebagai upaya check and balances dan memperkuat sistem presidensiil di
Indonesia.
Hak Prerogatif dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
Setelah keruntuhan rezim Orde Baru, dengan tumbangnya Presiden
Soeharto belakangan muncul aspirasi politik yang menghendaki agar supaya
dipakai sistem perimbangan kekuasaan (check and balances). Dalam sidang
umum MPR (1-21 Oktober 1999), gagasan mengenai perimbangan kekuasaan
mendapat respons. Tepat pada tanggal 19 Oktober 1999 diterima Perubahan
pertama UUD 1945. Terdapat sembilan Pasal yang diubah, yaitu Pasal-pasal 5,
7, 9, 13, 14, 15, 16, 17, 20, dan 21 UUD 1945.12
Dalam kaitannya dengan wewenang Presiden baik yang tunggal
ataupun yang memerlukan kerjasama dengan pihak lain, ternyata mengalami

pengurangan (pembatasan) yang cukup besar. Hasil Perubahan Pertama UUD
1945 Pasal 5, yang tadinya Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang,sekarang diubah, Presiden tidak lagi memegang kekuasaan
membentuk undang-undang tetapi berhak mengajukan rancangan undangundang.
Kemudian tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, sudah
ditegaskan lamanya masa jabatan dan berapa kali diperbolehkan untuk
menjabat lagi. Demikian pula dengan ketentuan Pasal 13, dalam hal
kewenangan Presiden untuk mengangkat duta dan konsul, serta menerima
duta negara lain, juga mengalami pembatasan. Kewenangan Presiden dalam
persoalan ini tadinya bersifat tunggal, artinya menjadi hak prerogatif,
sekarang

untuk

pelaksanaannya

Presiden

“harus”


memperhatikan

pertimbangan DPR. Jadi, tidak lagi merupakan hak prerogatif Presiden.

12

Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaeraan Indonesia; ... , hlm. 126.

4

Nampak aspek perimbangan kekuasaan mengenai hubungan presiden dan DPR
muncul dalam persoalan ini.
Kewenangan presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14, juga mengalami
pembatasan. Sekarang, dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
“harus” memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Apabila Presiden
memberi amnesti dan abolisi, juga “harus” memperhatikan pertimbangan
DPR. Dari sini nampak adanya usaha perimbangan kekuasaan yang dibangun
antara Presiden dengan DPR tetapi juga MA pasca perubahan UUD 1945. 13
Demikian pula kewenangan Presiden dalam memberi gelaran, tanda

jasa, dan lain-lain tanda kehormatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 15,
juga mengalami pereduksian. Presiden tidak lagi sepenuhnya memiliki
prerogatif, karena kewenangan Presiden untuk memberi gelar, tanda jasa, dan
lain-lain tanda kehormatan akan diatur dengan undang-undang. Artinya, ada
alat ukur atau kriteria yang jelas dalam penerapannya. Pengalaman selama ini
dalam hal pemberian gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatannya

13

Dalam hal perlunya Presiden memperoleh pertimbangan dari Mahkamah Agung untuk
memberikan amnesti dan rehabilitasi, serta pertimbangan dari DPR dalam hal memberikan grasi
dan abolisi, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 13 UUD 1945 setelah perubahan, menurut
Bagir Manan, untuk grasi pertimbangan dari Mahkamah Agung diperlukan karena grasi menyangkut
putusan hakim. Tetapi kalau rehabilitasi tidak selalu terikat dengan putusan hakim. Karena sangat
dimungkinkan seorang dikenai hukuman di luar putusan hakim. Karena sangat dimungkinkan
seorang dikenai hukuman di luar putusan hakim, misalnya keputusan administrasi, yaitu
diberhentikan dengan tidak hormat dari suatu jabatan atau pekerjaannya. Terhadap kasus seperti
itu, seharusnya tanpa pertimbangan Mahkamah Agung karena itu merupakan “Pemerintah”
(Presiden). Tindakan tanpa meminta pertimbangan dari Mahkamah Agung bisa mengurangi waktu
permohonan tersebut. Sedangkan mengenai amnesti dan abolisi yang memerlukan pertimbangan

DPR, menurut Bagir Manan, dalam pandangan yang lazim berlaku; grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi dipandang sebagai kekuasaan konstitusioanal Presiden di bidang yudisial. Karena itu
senantiasa dikaitkan dengan Mahkamah Agung. Kalau dikaitkan dengan DPR menunjukkan ada unsur
politik dalam pemberian amnesti dan abolisi. Tentunya hal tersebut kurang sesuai dengan sifat
kekuasaan Presiden tersebut yaitu kekuasaan di bidang yudisial. Karena itu senantiasa dikaitkan
dengan Mahkamah Agung. Kalau dikaitkan dengan DPR menunjukkan ada unsur politis dalam
pemberian amnesti dan abolisi. Tentunya hal tersebut kurang sesuai dengan sifat kekuasaan
Presiden tersebut yaitu kekuasaan di bidang yudisial. Selain itu, pemberian amnesti dan abolisi
tidak selalu terikat dengan pidana politik, sehingga kalau pun diperlukan pertimbangan cukup dari
Mahkamah Agung. DPR adalah badan politik, sedangkan yang diperlukan adalah pertimbangan
hukum. Pertimbanga politik, kemanusian, sosial dan lain-lain, merupakan isi dari hak Prerogatif
Presiden. Lihat dalam Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Yogyakarta: FH UII, 2003), hlm.164165.

5

hanya digantungkan pada penilaian “loyalitas” subyektif Presiden. Perubahan
ini mengisyaratkan secara implisit harus ada persetujuan DPR.
Pembatasan hak prerogatif berikutnya tentang kementrian Negara,
yang diatur dalam Pasal 17 UUD 1945. Ternyata perubahan yang dilakukan
terhadap pasal ini tidak terlalu besar dampaknya bagi kekuasaan Presiden,
seperti pasal-pasal lainnya, karena hanya merubah redaksional ayat (2) dan
(3). Padahal banyak masukan dari masyarakat agar dalam pengangkatan
ataupun pemberhentian menteri DPR dilibatkan. Pelibatan DPR dalam masalah
ini bisa dalam penyusunan undang-undang atau adanya persetujuan DPR
secara langsung. Hal ini penting dilakukan agar Presiden lebih cermat dan
berhati-hati dalam mengangkat atau memberhentikan seseorang. Artinya ada
kriteria yang jelas dan tegas dalam pengangkatan maupun pemberhentian
menteri.14
Dalam sidang Tahunan

MPR RI November

2001,

MPR telah

menghasilkan Perubahan ketiga UUD 1945. Salah satu hasil perubahannya
adalah menambah satu ayat untuk Pasal 17, praktis menjadi empat ayat. 15
Ayat (4) Pasal 17 UUD 1945 berbunyi sebagai berikut: “Pembentukan,
pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undangundang”.
Kewenangan Presiden dalam memegang kekuasaan yang tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara meskipun belum diubah
sebagaimana Pasal-pasal yang lain, tetapi dalam Sidang MPR RI Tahun 1999

14

Pemberhentian atau penggantian menteri oleh Presiden tersebut pernah dilakukan
ketika Presiden Soeharto,misalnya pemberhentian Harmoko sebagai Menteri Penerangan dan
digantikan R. Hartono, kemudian Harmoko diangkat sebagai Menteri Urusan Khusus. Ketika masa
Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa, Presiden memecat Yusuf Kalla dari jabatan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan, dan Laksamana Sukardi dari jabatan Menteri Negara Penanaman
Modal dan Pembinaan BUMN (Masing-masing dari Golkar dan PDI Perjuangan). Pada masa
Abdurrahman Wahid, jumlah dan macamnya kementrian negara ditentukan oleh kepentingan
politik dari partai-partai politik dan militer yang ada di DPR saat itu. Bahkan di era Gus Dur ini,
beberapa kementria dihapus. Akibat dari kebijakan tersebut dibutuhkan penataan ulang dari
departemen-departemen yang cukup lama. Di masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, juga pernah terjadi beberapa kali perombakan kabinet kementruannya (reshufle).
15
Latar belakang penambahan ayat (4) tersebut antara lain karena besarnya wewenang
Presiden dalam persoalan pengangkatan Menteri.Soeharto pada masa orde baru, jumlah dan
macam kementrian negara sangat ditentukan oleh “kebutuhan dan kepentingan politiknya”.
Demikian juga yang terjadi ketika Presiden Abdurrahman Wahid.

6

masuk dalam pembahasan secara mendalam oleh PAH III Badan Pekerja MPR.
Munculnya gagasan perubahan isi Pasal 10 UUD 1945 mencerminkan kehendak
yang kuat sebagian anggota PAH III BAP MPR untuk memberi “pagar” konstitusi
agar Presiden tidak lagi mengulangi pengalaman masa lalu yang menggunakan
TNI untuk kepentingan politiknya maupun untuk mempertahankan kekuasaan.
Kedudukan Presiden sebagai pimpinan tertinggi TNI dan POLRI diberi
pengertian sebagai kewenagan efektif, bukan sekedar simbolik. Memang
terdapat dua pandangan mengenai kedudukan Presiden (Kepala Negara)
sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang. Pandangan yang menganggap
Presiden sebagai bersifat simbolik tersebut untuk menunjukkan bahwa militer
ada di bawah kendali pemerintah sipil. Pandangan lain mengatakan bahwa
kedudukan Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan bersenjata atau
angkatan perang tidak hanya simbolik, tetapi efektif. Presiden dengan kuasa
sendiri dapat mengerahkan angkatan perang untuk melakukan tindakan
tertentu.16
Kemudian dalam Pasal 11 UUD 1945, diatur kewenangan Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan
perjanjian dengan negara lain. Ketentuan tersebut melalui sidang tahunan
MPR RI Tahun 2001. Perubahan dan penambahan dalam Pasal 11 ini merupakan
penegasan atas ketidakjelasan praktek selama ini khususnya dalam pembuatan
perjanjian dengan negara lain. Presiden dalam hal mana yang harus dengan
persetujuan DPR dan mana yang tidak perlu dengan perstujuan DPR, tidak ada

16

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan..., hlm.118. Melalui sidang Tahunan MPR 7-18
Agustus 2000 telah lahir Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian
Negara RI, dan ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Kepolisian Negara RI.
Melalui Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 susunan dan kedudukan TNI ditegaskan bahwa TNI
dipimpin oleh seorang Panglima yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat
persetujuan DPR [Pasal 3 Ayat (3)]. Demikian pula susunan dan kedudukan Kepolisian Negara RI,
ditegaskan bahwa Kepolisian Negara RI dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara RI yang diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden denganPersetujuan DPR [Pasal 7 ayat(3)]. Penegasan di dalam
Pasal 3 Ayat (3) maupun Pasal 7 Ayat (3) TAP MPR No. VII/MPR/2000 secara substantif telah
membatasi kewenangan Presiden yang diatur dalam Pasal 10 UUD 1945. Terakhir bahwa
pengaturan tersebut dituangkan dalam UU Polri yang sekarang masih dalam proses judicial review
di MK.

7

ketegasan. Semuanya seolah bergantung pada political will Pemerintah
(Presiden).17
Untuk memecahkan persoalan di atas, melalui Peruabahan Ketiga, ada
tambahan terhadap Pasal 11 (yaitu Ayat 2 dan Ayat 3). Dalam Ayat (2).
disebutkan: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan
atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR. Ketentuan
baru ini memuat dua hal. Pertama; mengakui secara konstitusional perjanjian
yang tidak memerlukan persetujuan DPR yaitu dengan ungkapan “membuat
perjanjian internasional lainnya”. Kata “lainnya” adalah yang tidak
memerlukan persetujuan DPR sebagaimana ditentukan dalam ayat (1);
“Presiden

dengan

persetujuan

DPR

menyatakan

perang,

membuat

perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Kedua; memberi petunjuk
mengenai hal-hal yang memerlukan persetujuan DPR. Petunjuk ini terlalu
elastik. Dalam praktek, sangat tergantung pada kehendak politik yang
dominan pada waktu tertentu. Karena begitu elastik, maka mudah
menimbulkan sengketa hukum bersifat konstitusional (judicial review).
Sebaliknya harus diakui, tidak mudah merumuskan secara tepat hal-hal yang
memerlukan persetujuan DPR. Peranan penting untuk menemukan secara
dinamik batas dan lingkup tersebut ada pada doktrin, hakim, (Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung) serta pemerintah yang membuat perjanjian
internasional.18
Pasal 12 UUD 1945 sampai saat ini belum diubah. Pembuat UUD 1945
memandang arti penting dan bahaya dari suatu keadaan yang dinyatakan
bahaya, oleh karena itu ada pembatasan wewenang kepada Presiden tentang
kapan Presiden dibenarkan menyatkan keadaan bahaya, oleh karena itu ada
pembatasan wewenang kepada presiden dibenarkan menyatakan keadaan

17
18

Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia; ..., hlm. 133.
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan...., hlm.172.

8

bahaya. Dan sekaligus ditetapkan perubahan ketatanegaraan sebagai akibat
pernyataan keadaan bahaya.
Check and Balances sebagai upaya Memperkuat Sistem Presidensial
Sebagai negara yang menganut sistem Presidensial, sejatinya tidak
ada garis demarkasi secara tegas yang membedakan antara presiden sebagai
kepala negara dan presiden sebagai kepala pemerintahan, justru kedua fungsi
tersebut melebur pada diri seseorang presiden. Dalam kedudukannya sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan negara sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 itu terkandung pula status kepala negara, sehingga
kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan eksekutif menyatu secara
tidak terpisahkan dalam jabatan presiden. 19 Pembedaan dan pemisahan
antara kedua fungsi itu hanya relevan dalam sistem pemerintahan
parlementer yang memang mempunyai dua jabatan terpisah, yaitu kepala
negaara dan kepala pemerintahan. Adapaun sistem pemerintahan presidensiil
cukup memiliki presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan
ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan. 20
Dengan demikian, pada dasarnya kekuasaan sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan adalah bersifat inheren, artinya menyatu dalam jabatan
presiden. Bahkan lebih lanjut, jimly asshiddiqie berpendapat bahwa dalam
konteks negara hukum dan prinsip the rule of law, dapat dikatakan bahwa
secara simbolik yang dinamakan kepala negara dalam sistem pemerintahan
presidensial itu adalah konstitusi. Dengan kata lain, kepala negara dari negara
konstitusional Indonesia adalah UUD sebagai konstitusi, sedangkan presiden
dan wakil presiden beserta semua lembaga negara atau subjek hukum tata
negara lain seharusnya tunduk pada norma konstitusi sebagai the symbolic
head of state.21

19

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hlm.

335.
20

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika,
2010), hlm. 167.
21
Ibid.

9

Dengan

menggunakan

perspektif

konstitusi

itulah,

yang

mengemukakan bahwa dalam sistem presidensial, sebagaimana yang dianut
bangsa Indonesia, tidak mengenal adanya pembedaan antara presiden selaku
kepala negara dan kepala pemerintahan, maka penggunaan istilah hak
prerogatif presiden menjadi relevan untuk menunjukkan eksistensi presiden
selaku kepala pemerintahan negara di mana di dalamnya melekat dua fungsi
sekaligus. Pada lazimnya jabatan kepala negara lebih bersifat simbolis
daripada substansial, tetapi dalam praktik justru bersifat substansial. Hal ini
disebabkan DPR sebagai mitra presiden senyatanya tidak dapat menjalankan
fungsi legislasinya dengan baik, sebagai akibat konfigurasi kepentingan dari
partai politik yang ada didalamnya.
Terlepas dari berbagai hal, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan
presiden daam menggunakan kekuasaannya, maka penggunaan kekuasaan
presiden tersebut harus dibatasi agar tidak terjerembab pada penyalahgunaan
kewenangan. Oleh karenanya, kekuasaan prerogatif presiden harus dibatasi
dan konstitusi telah memberikan desaign pembatasan tersebut dengan adanya
irisan kolaboratif wewenang antara presiden dengan DPR, baik dengan
mekanisme persetujuan atau hanya sebatas pertimbangan.
Dengan demikian, kekuasaan presiden sebagai kepala negara
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang
diwujudkan dalam bentuk penggunaan hak-hak prerogatif hendaknya hanya
digunakan dalam kapasitas sebagai kekuasaan administratif, simbolis dan
terbatas yang merupakan suatu kekuasaan di samping kekuasaan utamanya
sebagai kepala pemerintahan. Pengunaan hak konstitusional presiden selaku
kepala negara selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari
kontrol lembaga lain, karena sesungguhnya pasca amandemen UUD 1945 telah
menganut sistem check and balances, sebagai konsekuensi dianutnya sistem
pemerintahan presidensial yang dengan jelas memisahkan cabang-cabang
kekuasaan sebagai alat kelengkapan negara. Di sisi lain, dalam sistem
pemerintahan negara-negara modern di dunia telah menempatkan segala
model kekuasaan dalam kerangka pertanggung jawaban publik. Sehingga
dalam praktik ketatanegaraan modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat
10

mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijkaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Post-Scriptum
Secara umum dapat dipahami bahwa UUD 1945 (naskah awal) telah
memberikan wewenang perogatif kepada presiden melalui Pasal 10 sampai
dengan Pasal 15, dan Pasal 17, sehingga Presiden dalam melaksanakan
kewenangannya tidak perlu meminta persetujuan lembaga lain,seperti DPR.
Akan tetapi setelah perubahan, struktur UUD 1945 mengalami perubahan
yang luar biasa. Pasal-pasal yang tadinya memberikan wewenang penuh
kepada Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan telah tereduksi
cukup drastis. Ada sebuah keharusan seorang Presiden untuk meminta
persetujuan atau pertimbangan dari DPR. Hal ini disebabkan karena
kehendak perubahan konstitusi menghendaki adanya check and balances di
antara lembaga negara.
Melihat pereduksian tersebut, penting untuk dicatat bahwa perlu
tatanan yang lebih ideal lagi dalam membangun check and balances di
antara lembaga negara. Hal mana wewenang Prerogatif Presiden perlu
diintervensi oleh DPR, dan sebaliknya. Karena tanpa sebuah kesadaran
politik yang etis, intervensi DPR dalam wewenang Presiden sebagai kepala
pemerintahan hanya saja menyisakan masalah. Berdasarkan kepentingan
politiknya, DPR dengan dalih kewenangannya, bisa menjegal dan justru
menghambat berjalannya pemerintahan. Namun di sisi lain, penting juga
dicatat bahwa dalam upaya penguatan sistem presidensiil Indonesia,
pembatasan kekuasaan prerogatif presiden tetap perlu dihadirkan, sebagai
“pagar” yang konstitusional agar kewenangan tersebut tidak berjalan
kebablasan.

11