Kisah Kisruh di Tanah Gempa Catatan Pena

P enDaHuLuan

P uBliSh or P eriSh : P eLaJaRan B eRHaRga DaRi B enCana

AB.Widyanta

pengantar Publish dunk! Begitu bunyi sebuah SmS (short message service) super pendek dari seorang kawan, pada suatu sore. Sesaat membaca pesan pendek itu, sebuah SmS dari seorang kawan lainnya merang- sek masuk. “aku masih di lapangan, tapi siap bergabung di perte- muan nanti malam, Kang!”, demikian bunyi SmS menyiratkan antu- siasme pengirimnya. Selang sekian detik inbox messages ditutup, HP tiba-tiba berbunyi. Begitu tut dial dipencet, dari seberang telepon terdengar seorang kawan yang lainnya lagi. Di sela-sela tawanya yang lepas, terselip apresiasi pendek, “aku senang menerima SmS yang lugas, tegas, dan menantang seperti ini. Dengan senang hati aku pas- ti datang, Lik! Sampai ketemu nanti malam”, tegas kawan tersebut menutup pembicaraannya. menit-menit menjelang petang terkirim

2 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

SmS balasan dari beberapa kawan yang menegaskan kesanggupan- nya untuk hadir pada pertemuan dadakan malam itu.

awal cerita, pada pertengahan Februari 2007, sekumpulan ya-Jateng, 27 mei 2006, sepakat untuk menuliskan pengalaman

lapangannya dalam format buku. menurut rencana, buku itu akan diluncurkan persis pada saat peringatan satu tahun bencana gempa bumi terjadi, 27 mei 2007. Sejak tercapai kata sepakat, praktis hanya tersedia waktu 3 bulan untuk proses penulisan. Dua bulan berjalan mengindikasikan komitmen yang melemah. meski setiap seminggu sekali dijadwalkan untuk mempresentasikan draf tulisan masing-ma- sing kawan, namun finalisasi tulisan tak kunjung terealisir juga. Se- lama kurang lebih dua bulan, tak seorang kawan pun mengumpulkan tulisannya untuk segera diedit, demi mengejar tenggat waktu yang teramat mepet. Kesibukan dan keletihan melakukan pendampingan masyarakat memang menjadi alasan yang cukup masuk akal untuk tertundanya proses penulisan. melihat gelagat kawan-kawan yang

nyebar sebuah SmS “kompor”: “mengundang kawan-kawan pada pertemuan nanti malam, pukul 20.00 WiB, untuk menindaklanjuti rencana penerbitan buku penanganan bencana gempa bumi Yogya- Jateng. telah disiapkan hidangan dengan menu pilihan istimewa un- tuk kita semua: Publish or Perish?”

tak disangka-sangka, SmS iseng yang tersebar disambar begitu saja oleh antusiasme kawan-kawan, seperti yang terekspresikan di atas. entah dari mana spirit dan energi itu berasal, hingga dalam himpitan keletihan kawan-kawan pun masih meringankan kaki dan hati demi menghadiri undangan dadakan tersebut. malam itu, sepu- luh orang kawan berkumpul untuk menyusun draf tulisan masing- masing, dengan merelakan kawan lain mengkritisi dan memberikan masukan. Demikian seterusnya, silih berganti mereka saling saji dan bongkar draf tulisan. Pertemuan berakhir sekitar 03.00 WiB. mas- ing-masing kawan mengantongi draf tulisan yang relatif rinci dan

P enDaHuLuan 3 komprehensif. Hari-hari berjalan, upaya saling sharing pengalaman,

mengasah ide, dan memperkaya gagasan terus berlangsung di setiap Senin sore, pukul 17.00-21.00 WiB, di PSPK-ugm. Di tempat itu-

rum Senenan (FS) menginisiasi sekaligus membidani lahirnya buku yang tengah anda baca ini.

Berlakunya sistem jawilan (relasi kawan dekat) dan sistem ge- thok tular (pemberitaan dari mulut ke mulut) dalam relasi antar par- tisipan FS memberi peluang kepada banyak kawan untuk menyum- bang tulisan. mengejar optimalisasi tema, persoalan kekurangan penulis pun segera bisa terpecahkan. Dari dua puluh enam tulisan yang ada di buku ini, lima di antaranya ditulis oleh kawan-kawan jaringan di luar FS. Hal itu terjadi karena beberapa kawan FS me- narik kembali kesanggupannya untuk menulis. Para partisipan FS sendiri meyakini bahwa penulisan buku ini adalah bagian yang tak

bencana. Dan ketika buku ini berhasil diterbitkan, kawan-kawan FS pun memaknainya sebagai sebentuk kemenangan kecil. upaya-upa- ya untuk merancang dan mencapai berbagai bentuk kemenangan kecil semacam ini bagaimanapun juga sangat penting. Karena hal itu akan sangat berarti bagi peminimalisiran rasa bosan, lelah, dan lembeknya energi dalam gerakan sosial. Selain sebagai sarana aktual-

mereka geluti bersama. Selain itu, buku yang dihasilkan juga bisa menjadi wujud penyuaraan dan pembelaan terhadap hak-hak dasar korban yang hingga kini masih tercecer di sana-sini. Dengan cara itulah elan vital kawan-kawan bisa terbaharui lagi, dan secara praktis

bisa meminimalisir terjadinya compassion fatigue 1 yang lazim dialami para pekerja kemanusiaan maupun pekerja sosial.

1. istilah Compassion Fatigue merujuk pada pengertian kelelahan psikologis yang dihadapi oleh kaum pekerja yang bergerak dalam lingkup kerja-kerja pelayanan medis maupun pelayanan sosial kemasyarakatan (karitatif dan non-karitatif). Pengertian itu

4 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

Kendati terbitnya buku ini mundur dua bulan dari rencana awal, namun kawan-kawan tetap berbesar hati, lantaran jerih payah

lapangan tak bisa menulis”, celetuk seorang kawan. “Kita harus tun- penuh percaya diri. memang patut diakui bahwa dengan segenap

cacat dan celanya, kurang dan lebihnya, kemunculan buku ini meru- pakan buah penyelarasan kerja tangan, otak, dan hati mereka. me-

untuk warga korban bencana dengan “gerakan menulis”. menurut keyakinan mereka, sehebat apapun pengalaman lapangan seorang

sar, tanpa adanya diseminasi berbagai pengalaman dan hasil kerja mereka di lapangan. Dengan keyakinan itu, selain mengakar pada gerakan komunitas akar rumput, mereka bisa berjejaring di kancah gerakan yang lebih luas. Dengan demikian, pengalaman lapangan tak sekadar tertimbun di kantung-kantung sejarah personal, namun bisa menjadi materi pembelajaran bersama bagi siapa saja yang ingin mendialogkan berbagai prakarsa ke depan bagi perkembangan gerak- an masyarakat sipil yang lebih besar lagi.

Jika kita pernah mengenal bahwa credo para intelektual akade- mis adalah publish or perish 2

juga sangat dekat dengan fenomena kelelahan psiko-sosial para pekerja kemanusiaan. awalnya, istilah ini muncul pada tahun 1992, dalam tulisan Joinson (di sebuah majalah keperawatan) maupun dalam buku Jeffrey Kottler yang berjudul Compassionate Therapy. Keduanya menengarai sebuah gejala dengan mengajukan sebuah pertanyaan berikut: bagaimana dan mengapa para pekerja yang bergelut di bidang pelayanan kesehatan dan sosial kehilangan rasa simpati yang mendalam (compassion) atas penderitaan dan ketidakberuntungan orang-orang lain yang mereka layani. indikator penting dari Compassion Fatigue ini muncul ketika para pekerja itu tak lagi berkemauan kuat (lembek, loyo, tidak lagi berpegang pada mandat dan komitmen) untuk meringankan rasa sakit/penderitaan maupun menghilangkan akar penyebab dari penderitaan tersebut. untuk uraian lebih lanjut baca Charles R. Figley, Ph.D, Compassion Fatigue: An introduction dalam www.greencross.org

2. Berdasarkan hasil pelacakan Eugene Garfield, credo “publish or perish” yang sangat terkenal ini, muncul pertama kali dalam tulisan Logan Wilson berjudul The Academic

P enDaHuLuan 5 bisa diubah dan dibunyikan menjadi praxist or perish maupun write

or perish. menurut hemat penulis, tanpa berkeinginan untuk narsis, buku ini sedikit banyak telah merepresentasikan pilihan yang ad- ekuat atas ketiga credo di atas, yaitu: praxist, write, dan publish. Setelah selama lebih dari 1 tahun bergulat bersama-sama warga korban ben- cana, kawan-kawan secara riil telah berpraksis dalam pemulihan pas-

ca bencana. Dari praksis itu, mereka tentu mendapatkan berbagai buah pelajaran yang sangat berharga, yang boleh jadi belum pernah diperoleh sebelumnya. Bertitik tolak dari praksis itu, mereka men- transformasikan berbagai pengalaman dan pelajaran baru tersebut ke dalam tulisan. Kendati berbagai pengalaman itu tak utuh dan masih terfragmentasi dalam penulisannya, namun secara mendasar kawan-kawan telah memilih hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Pada akhirnya berbagai tulisan yang terfragmentasi itu dibingkai dan diterbitkan bersama dalam bentuk buku ini. Dengan alur semacam itu, disadari atau tidak, mereka telah melakukan proses dialektis, aksi-refleksi-aksi. Melalui metode dialektis itu, pengalaman bencana yang telah tertuang di buku ini bisa dijadikan sebagai acuan dalam praksis-praksis penyadaran publik, terutama yang terkait dengan manajemen risiko (risk management) dan kesiapsiagaan bencana (di- saster preparedness).

namun, terlepas dari sisi positifnya, kumpulan kisah dan refleksi yang ditulis kawan-kawan FS di buku ini tetap menoreh- kan cacat dan kelemahannya. Harus diakui, buku ini tidak bisa di- katakan mewakili suara dan pengalaman pelaku utama yakni para penyintas (survivors) gempa. Sebagian dari suara dan pengalaman para penyintas hanya terselip di antara alur-alur pikir dan refleksi

man para penyintas gempa. Dengan kata lain, reduksi makna adalah sebuah keniscayaan dalam buku ini. Dari cacat inilah, semoga para pembaca terpicu untuk menyempurnakan agenda yang tercecer itu dalam buku yang lain, yang secara khusus mengangkat suara dan

6 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

pengalaman para penyintas gempa. Dengan demikian, para penyin- tas gempa tetap memiliki hak yang sama untuk menyuarakan dan membeberkan apa yang mereka alami dan rasakan. Dalam hal ini, mewakili kawan-kawan FS, penulis memohon maaf atas keserba-ter- batasan yang tak bisa ditolak ini.

namun, meski terjadi reduksi dalam berbagai tulisan di buku ini, semoga saja tidak ditangkap dan diartikan sebagai upaya untuk mengecilkan arti pentingnya hak-hak para penyintas gempa untuk bersuara. Bagaimanapun juga, buku ini ditulis kawan-kawan FS un- tuk memberikan penyadaran dan peneguhan komitmen keberpi- hakan, paling tidak untuk diri kami sendiri, untuk tak kenal lelah memperbaiki semangat dan kapasitas pelayanan bagi para penyin- tas. Dengan demikian, kami menjadi terlecut untuk selalu belajar dan berupaya menggenggam komitmen moral dalam menegakkan dan memperjuangkan hak-hak warga korban bencana di masa-masa mendatang.

Kiprah Forum senenan (Fs) tak pernah terbayang sebelumnya bahwa buku ini akan ter- bit dan terlahir dari jejaring lintas person dari berbagai lembaga yang sistem keanggotaannya teramat cair, seperti FS. Ditilik dari namanya saja sudah terkesan bahwa forum itu hanya perkumpulan biasa yang tak perlu diperhitungkan keberadaannya. Di forum ini tak ada aturan maupun struktur formal yang mengikat para parti- sipannya. masing-masing partisipan yang datang dan terlibat di FS adalah representasi pribadi dan bukan lembaga. oleh karena itu, siapapun—tanpa mempedulikan dari lembaga manapun—bisa ber- gabung dan turut terlibat dalam diskusi yang diadakan setiap Senin sore tersebut. tema diskusi tentu saja terkait dengan berbagai per- soalan aktual yang dihadapi warga korban bencana. Karena seba- gian besar partisipan FS adalah community organizer, maka berbagai temuan kasus di lapangan tak pernah habis untuk dijadikan bahan kajian bersama. Dalam format ikatan yang serba luwes, longgar, dan egaliter, forum ini bisa menciptakan ruang untuk saling berbagi

P enDaHuLuan 7 dan meng-update informasi, mengasah pisau analisis kritis, menggali

metode dan strategi pengorganisiran, dan lain sebagainya. Bertitik tolak dari kasus-kasus riil di lapangan, mereka mewacanakan dan mengkajinya lebih jauh dengan berbagai macam perspektif. tak ja- rang, berbagai persoalan mikro melesat jauh hingga terpautkan de- ngan persoalan-persoalan di tingkat makro, baik nasional maupun internasional. Bahkan dalam beberapa kesempatan, sejumlah nara sumber yang kompeten (warga korban, akademisi, jurnalis, dll) pun berhasil “diculik” dan dihadirkan untuk mempertajam analisis pada suatu kajian tertentu.

terkait dengan program-program yang dirancang FS, persoal- an anggaran selalu dirembug dan dipecahkan bersama-sama. Budaya bantingan (iuran uang berdasarkan pada asas kerelaan dan tanggung renteng perorangan) yang berlangsung sejak awal berdirinya FS, ternyata cukup efektif untuk mendanai keberlangsungan beberapa agenda dan program yang dirancang bersama. Kemunculan buku ini pun bisa menjadi salah satu bukti riil dari budaya bantingan tersebut. Bantingan dana juga terjadi pada program pengkajian dan pengkri- tisan atas Rancangan undang-undang Penanggulangan Bencana. Sekitar pertengahan bulan Februari 2007, seorang kawan, pakar kemanusiaan yang kebetulan turut terlibat dalam penyusunan draf uuPB, melontarkan gagasan—salah satunya kepada FS—untuk se- cepatnya mengkritisi draf uuPB sebelum disyahkan oleh DPR pada

29 maret 2007. menimbang penginformasian yang mendadak dan tenggat waktu yang teramat mepet (1 bulan) untuk urusan sepenting itu, kawan-kawan FS berinisiatif menggelar pertemuan intensif guna memelototi berbagai kelemahan dalam rancangan uuPB tersebut. Berturut-turut, lima kali pertemuan diselenggarakan setiap hari, pada pukul 16.00-23.00 WiB. Bak parlemen yang tengah bersidang, mereka pun menghasilkan berlembar-lembar draf masukan, kritik,

malang tak dapat di tolak, kawan-kawan FS nampaknya harus mu- lai belajar memahami bahwa tak selamanya niat, gagasan, cara, dan mekanisme yang baik akan secara otomatis diterima baik pula oleh

8 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

orang-orang yang tengah dirasuki kepentingan politik. Bertarung timpang dalam kancah politik yang syarat kepentingan, FS akhirnya memilih mundur dan menyimpan hasil jerih payah mereka sendiri. Kendati toh merasa masgul, kawan-kawan FS tetap memetik pelajar- an berharga dari kasus ini: tak ada kata sia-sia demi membela hak- hak warga korban yang terabaikan. Kegagalan adalah pangkal ke- berhasilan, demikian petuah bijak bertutur. akan tiba juga saatnya nanti, ikhtiar yang baik akan berbuah yang baik pula.

Kali kedua, FS menangkap lontaran gagasan dari kawan-kawan unDP tentang penyusunan Rencana aksi Daerah (RaD) untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB). masih dengan semangat yang menyala, kawan-kawan FS berproses bersama kawan-kawan lain di jejaring aktor penanganan bencana yang ada di Yogyakarta. Di tingkatan internal FS, kawan-kawan menyepakati untuk mengga- rap serius tentang muatan kearifan lokal dalam RaD Pengurangan Risiko Bencana ini. Sejak pukul 15.00 WiB, tanggal 21 april 2007, dua puluh orang partisipan FS mulai mendiskusikan dan membedah esensi Pengurangan Risiko Bencana dari sudut pandang kearifan lokal. Berjibaku semalam suntuk, Draf Rancangan RaD itu akhir- nya terselesaikan juga keesokan harinya, pada pukul 09.00 WiB,

22 april 2007. Selang satu jam kemudian, pukul 10.00 WiB, Draf Rancangan RaD tersebut dipresentasikan oleh kawan-kawan FS di Pusat Studi Penanggulangan Bencana (PSPB) ugm. 3

Dalam bab berjudul Prestige and the research Function, Wilson menyatakan bahwa: “The prevailing pragmatism forced upon the academic group is that one must write something and get it into print. Situational imperatives dictate a ‘publish or perish’ credo within the ranks”. Namun Garfield meragukan bahwa frase “publish and perish” itu adalah istilah yang orisinil dari Wilson sendiri. Setelah dilacak lebih lanjut, Garfield menduga bahwa istilah itu muncul dari guru Wilson, seorang sosiolog di era sebelum Perang Dunia

II, Robert K. Merton. Garfield menegaskan: “Merton and others familiar with pre-war academy believe that “publish or perish” was a term in fairly common usage at the time. Baca lebih lanjut dalam Eugene Garfield, What is The Primordial reference For The Phrase ‘Publish or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10, 1996.

3. Hasil Draf Rencana aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana tersebut bisa dibaca di Halaman Lampiran buku ini.

P enDaHuLuan 9 Dari uraian di atas, kita bisa mencermati bahwa kiprah FS

terkesan relatif responsif, lentur, tak terkendala hierarki senioritas dan kelembagaan, dan selalu longgar waktu pertemuannya. topang- an utama kerja-kerja maraton dan spartan FS sendiri terbatas pada dasar ikatan komitmen moral dan kepedulian terhadap warga kor- ban bencana. tak lebih. maka bisa dimaknai bahwa munculnya FS

ini, di satu sisi bisa dimaknai sebagai subculture, 4 namun di sisi lain bisa juga dimaknai sebagai counter-culture 5

dari forum-forum for- mal yang terbentuk pasca bencana. Warna dan karakter forum ini pun berbeda dengan forum-forum formal tersebut, bahkan dalam beberapa sistem relasi dan kerja-kerjanya berseberangan dengan je- jaring forum yang formal. Kendati sistem dan kulturnya berbeda, kehadiran FS tidak berarti menandingi atau menggantikan forum- forum formal yang ada, namun melengkapinya. Dari perspektif so- sial, kelompok semacam ini bisa dikategorikan sebagai kelompok

subaltern. 6 Pengertian dari subaltern di sini merujuk pada kondisi di- mana sekelompok orang lebih banyak menekankan kepeduliannya pada warga korban bencana ketimbang para elit birokrasinya. Ken-

4. Pada dasarnya, subkultur (sub-culture) terbentuk dari proses “pemisahan sosial” masyarakat yang berkecenderungan menghasilkan diferensiasi kultural. Karakteristik struktur sosial, pola kepentingan, dan bentuk-bentuk perilaku tertentu menjadi basis utama bagi pemisahan sosial dan formasi subkultur ini. Subkultur ini eksis di dalam relasi dengan budaya dan sistem sosial yang lebih besar. Hubungan-hubungan yang mungkin berbeda itu bisa dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja, bisa dipandang sebagai hal yang positif, namun juga bisa dipandang sebagai hal yang negatif (karena memang sudah dicap menyimpang). tidak jarang diferensiasi kultural itu pada akhirnya bergeser ke posisi yang bukan sekadar berbeda, namun bertentangan dengan nilai-nilai kultural arus utama (mainstream). Sejak itulah kontra-budaya (counter-culture) terjadi. Baca adam Kuper & Jessica Kuper, ensiklopedi ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm. 1069.

5. Konsep ini terkait dengan subkultur di atas. Counter-culture merujuk pada pengertian suatu subkultur dan kultur tandingan yang memiliki tatanan kepercayaan dan nilai- nilai yang berbeda dengan kultur utama yang dominan (mainstream culture). Baca

1991, hlm.125. Bandingkan adam Kuper & Jessica Kuper, ensiklopedi ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm.1069.

6. istilah subaltern ini awalnya muncul dalam karya seorang marxist italia, antonio Gramsci (1881–1937). Secara harafiah, istilah itu merujuk pada pemahaman tentang

10 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

dati berfokus pada non-elit (semisal elit birokrasi pemerintahan, elit birokrasi LSm, dan lain-lain) namun kelompok ini tentu saja akan bersinggungan dengan elit juga ketika mewacanakan dan beretorika dalam proses penguatan gerakan sosial dan politik demi membela kepentingan basis massanya tersebut.

rKmsY: awal mula Forum senenan (Fs) awal terbentuknya FS ini tak bisa dilepaskan dari sejarah pem- bentukan aliansi masyarakat sipil pasca bencana gempa bumi Yogya- Jateng. aliansi yang diberi nama Rembug Konsolidasi masyarakat Sipil Yogyakarta (RKmSY) itu merupakan gabungan dari berbagai elemen masyarakat sipil, di antaranya adalah: Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), Forum Suara Korban Bencana, Jogja recovery, Forum Jogja Bangkit, merti Jogja, gerakan Jogja Bangkit, FKKJ, Forum LSm DiY, Forum Korban Bencana (ForKoB), gabun- gan Posko Rakyat (gPR), Paguyuban Korban gempa Yogyakarta (PKgY), aJi Jogja, WaLHi DiY, LBH Yogyakarta, Sappurata, PSm Yogyakarta, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.

Pembentukan aliansi besar itu dilatarbelakangi oleh tiga alasan dasar: pertama, “Jangan jadikan Yogya seperti aceh”. Catatan bu- ruk tentang penanganan pasca bencana gempa bumi dan tsunami di aceh rupanya menginspirasi kalangan masyarakat sipil Yogyakarta untuk mengupayakan penanganan pasca bencana yang lebih baik. mereka tak ingin penanganan bencana Yogya seperti yang terjadi di aceh. tak rela Yogya dijadikan sebagai aceh kedua, berbagai

untuk menerapkan aturan yang jelas dan tegas kepada lembaga-lem- baga pemberi bantuan baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kedua, selama dua bulan pasca gempa, penanganan bencana yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), nampaknya telah memunculkan preseden buruk. Di sana-sini terjadi kekisruhan, kesemrawutan, ketidakmerataan, tumpang tindih ban- tuan, dan bahkan muncul kasus program bantuan yang tak mendidik pula, semisal cash for work. melihat perkembangan situasi yang kian memprihatinkan itu, maka berbagai elemen tergerak untuk mengini-

P enDaHuLuan 11 siasi lahirnya gerakan masyarakat sipil lintas jaringan yang mampu

meminimalisir berbagai dampak buruk bantuan pasca bencana. Ketiga, pentingnya menjumbuhkan gerak pikir dan langkah da- lam koordinasi kerja-kerja lintas lembaga dan forum. terkait dengan capaian ini, dalam serangkaian pertemuan besar yang digelar di salah satu ruang Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-ugm, selu- ruh elemen RKmSY bersama-sama mendiskusikan persoalan aktual warga korban bencana berikut solusi, strategi, dan pendekatannya. Demi tercapainya tujuan itu, maka agenda utama dari RKmSY ini adalah penyusunan Code of Conduct dalam penanganan bencana Yog- ya. Penyusunan Kode etik itu dirasa sangat penting untuk dilaku- kan, agar seluruh proses penanganan bencana bisa terkoordinir, ti- dak tumpang-tindih, tidak menimbulkan konflik di masyarakat, dan selalu mengedepankan nilai-nilai keadilan maupun kearifan lokal masyarakat.

Semua itu merupakan prasyarat utama bagi pemenuhan hak- hak dasar warga korban bencana. Dengan adanya Kode etik terse- but, seluruh pemangku kepentingan dalam penanganan bencana bisa menghargai martabat warga korban bencana dan pola-pola pemberi- an bantuan tidak mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat. Secara rinci, berbagai hal penting yang tercakup dalam agenda RK- mSY itu di antaranya adalah sebagai berikut: (a) Code of Conduct (kesamaan prinsip-prinsip cara bertindak, episentrumnya harus dari perspektif korban); (b) Perencanaan rehabilitasi/ rekonstruksi; (c) Pendekatan/cara-cara; (d) Pembagian peran; dan (e) Identifikasi

sumber daya dan partisipasi masyarakat. 7

orang atau kelompok yang terkategorikan berada di tingkatan dan tataran inferior, yang disebabkan oleh karena ras, kelas, gender, orientasi seks, etnis, agama dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya, istilah subaltern ini kadang diterapkan juga pada cara pandang dan pendekatan yang lebih luas lagi. Kajian subaltern ini misalnya lebih menekankan pada keutamaan untuk membeberkan sejarah dari bawah (akar rumput), dan lebih memusatkan perhatian lebih pada apa yang terjadi dan dialami oleh massa rakyat di tingkat akar rumput ketimbang kaum elitnya. Baca lebih jauh dalam “http://en.wikipedia.org/wiki/Subaltern_Studies”

7. notulensi pertemuan Rembug Konsolidasi masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli 2006. untuk mengetahui poin-poin penting dalam Rancangan Code of Conduct

12 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

mengawali agenda besar itu, muncul kesepakatan bersama un- tuk melakukan latihan “pemanasan”. Rencana aksi massa pun diran- cang dan diuji-cobakan di awal-awal RKmSY berdiri. terbentuklah ketika itu aliansi gerakan aksi massa untuk menagih janji dana ban- tuan pemerintah sebesar 10, 20, dan 30 juta untuk setiap rumah war-

ga yang rusak ringan, sedang, dan berat/roboh. aliansi yang diberi nama gerakan aksi tagih Janji (ganti) tersebut digelar pada 19 Juli 2006, bertepatan dengan kunjungan Wapres Jusuf Kalla di Yo- gyakarta. 8 jalanan tersebut berhasil digelar secara damai dan bisa menggerak- kan ribuan orang, namun muncul beberapa catatan kelemahan. Satu di antaranya adalah kurang solidnya elemen-elemen masyarakat sipil yang tergabung di dalam RKmSY itu sendiri.

Pasca aksi jalanan, RKmSY meneruskan agenda besarnya dalam beberapa kali pertemuan, dengan tingkat partisipasi yang nampak kian merosot dari waktu ke waktu. Seiring dengan meningkatnya kesibukan lembaga-lembaga partisipan di wilayah dampingan ma- sing-masing, aliansi RKmSY pun benar-benar mengendur, dan akh-

berlangsung kurang lebih tiga bulan. memasuki bulan keempat pas- tak diketahui secara pasti, kapan RKmSY ini bubar. meski pada

awal-awal proses perumusan Kode etik Penanganan Bencana di Yogyakarta banyak partisipan masih terlibat aktif, namun akhirnya proses perumusan itu tak juga tertuntaskan hingga kini.

meningkatnya kompleksitas persoalan penanganan bencana, justru ditandai oleh merosotnya soliditas dalam jejaring gerakan ma- syarakat sipil di Yogyakarta. Kendati respon atas lemahnya penanga- nan bencana tetap muncul dari elemen-elemen gerakan masyarakat

Penanganan Pasca Bencana gempa Bumi Yogya-Jateng, baca lebih jauh di halaman lampiran buku ini.

8. Baca Batal 30 Juta, tuntut minta maaf dalam Buletin Suara Korban Bencana, edisi Susulan ke 7, 1 agustus 2006, hlm.4-5.

P enDaHuLuan 13 sipil, namun itu toh hanya berskala kecil, sporadis, dan tak terpadu.

Dalam situasi seperti itu, posisi tawar (bargaining position) mereka tak cukup memadai untuk merubah keadaan. merasakan kepriha- tinannya meradang, beberapa kawan eks-RKmSY tetap berupaya keras untuk menghidupi harapan yang telah ada. Dengan sisa-sisa harapan itu, kawan-kawan secara rutin menggelar pertemuan setiap Senin sore. Selepas mendampingi masyarakat di wilayah masing-ma- sing, mereka selalu berkumpul di tempat lahirnya RKmSY, yaitu di Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-ugm. Salah satu proponen RKmSY, mas Susetiawan, sosok intelektual gaek yang bersemangat muda, merelakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menjadi sparing partner yang setia dalam diskusi kawan-kawan. Jika meminjam petuah Ki Hajar Dewantara tentang laku seorang pendi- dik yang musti selalu ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tutwuri handayani, maka mas Susetiawan inilah sosok riilnya. Lanta- ran pertemuan selalu diadakan setiap hari Senin, maka sejak itulah kelompok ini mendapat julukan Forum Senenan, sekadar identitas pengenal saja.

Otokritik Kiprah Lsm pasca Gempa Pada dasarnya, konstalasi sosial turut memicu berdirinya FS. Sejumlah forum yang formal tingkat kerentanannya ternyata rela- tif lebih tinggi. ibarat baru seumur jagung saja, forum-forum terse- but sudah mulai loyo dan mengendur. Bahkan ada pula yang bubar. artinya, mereka tidak mampu lagi menjalankan mandat, fungsi, dan perannya secara ajeg, berkelanjutan, dan mandiri. Pilihan rasional untuk tidak terperangkap dalam formalitas itu memungkinkan FS mampu bertahan hingga saat ini. Pola relasi dan kerja-kerjanya pun bisa dibilang tak kalah serius ketimbang forum-forum yang formal. Bila ditelisik lebih jauh, berdirinya FS itu memang dipicu oleh kepri- hatinan yang sama atas tumpang-tindihnya kiprah LSm (baik yang lokal, nasional, maupun internasional) pasca bencana.

Sekilas, menilik kembali perjalanan setahun penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng, tentu saja kita tak bisa menafikan peran

14 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

yang signifikan dari kalangan LSM yang terlibat di dalamnya. Tak terbayangkan, apa jadinya tanpa adanya andil dari kalangan LSm tersebut. Semisal, dalam situasi serba darurat pada hari naas hingga tujuh hari pasca gempa, kalangan LSm bersama-sama warga dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya melakonkan penanganan darurat yang mengagumkan. Di kepung oleh situasi yang chaotic,

liki, membuat jejaring sosial, dan mengerahkannya demi menolong warga korban yang tertimpa musibah gempa bumi. Harus diakui, peran LSm dalam penanganan pasca gempa Yogya-Jateng jauh lebih cepat ketimbang pemerintah.

Kendati responnya terhitung cepat, namun terkait dengan per- soalan koordinasi dan manajemen, kiprah LSm tetap saja tak jauh berbeda dengan pemerintah. tidak ada koordinasi dan guideline (gerak pikir dan tindakan) yang sama di antara LSm lokal sendiri. meskipun mungkin sudah terwadahi dalam satu forum bersama, na- mun koordinasi di antara mereka tetap tidak bisa optimal. terkait dengan data misalnya, forum-forum LSm lokal tidak berhasil meng- umpulkan dan saling sharing data-data yang penting. Jaringan di an- tara mereka pun masih terpecah dan tidak padu. ada kesan, forum dibentuk sekadar untuk memenuhi prasyarat “rasa aman” (simptom- simptom mental kawanan) saja, bukan atas dasar kebutuhan yang substansial. muncul kesan juga bahwa forum dibentuk lebih karena untuk kepentingan penggalangan dana (fund rising) secara bersama- sama.

Ketika penggalangan dana berhasil, forum biasanya bertambah partisipannya, namun tidak dengan tingkat koordinasinya. Setelah masing-masing lembaga partisipan forum menjalankan proyek kerja di wilayah masing-masing, koordinasi bersama menjadi semakin me- lemah dan terabaikan. tak jarang, di antara anggota forum sendiri

dan menjelek-jelekan (black campaign) di antara LSm lokal sudah la- zim terjadi. Perbedaan dasar ideologi, strategi, dan pendekatan ma-

P enDaHuLuan 15 sing-masing LSm ternyata cukup menentukan pola relasi semacam

itu. 9 ujung-ujungnya, warga korban bencana menerima getahnya juga. Warga korban bencana yang semestinya dibantu, justru harus membantu menyelesaikan tumpang tindihnya pendekatan antar LSm tersebut. alih-alih bersepakat untuk saling menakar kekurang- an dan kelebihan masing-masing di dalam suatu forum koordinasi, kedua LSM yang terlibat konflik itu tetap bersikeras untuk bekerja sendiri-sendiri.

Diakui atau tidak, LSm lokal di Yogya-Jateng secara umum bisa dikatakan tidak/belum siap melakukan penanganan bencana. Banyak LSm lokal tidak memiliki pengalaman dalam penanganan darurat bencana. Sebagian besar dari mereka masih berada pada taraf belajar, learning by doing, dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng itu. Ditakar dari mandat kelembagaannya, tidak banyak LSm lokal yang memiliki sistem manajemen dan kapasitas pengalaman yang memadai untuk bergerak di emergency unit ini. Lan-

baga), praktis sebagian besar dari mereka tidak menyiapkan segenap resources (seperti human resource, skill, financial, dan berbagai institu- tional management lainnya) untuk darurat bencana tersebut. maka tak mengherankan jika banyak LSm lokal yang terlihat kedodoran

9. Black campaign ini biasanya dilakukan karena ada kepentingan tersembunyi dari pelakunya. misalnya, rebutan akses resources/funding menggiring LSm ke persaingan yang tidak sehat. antar LSm berupaya mengunggulkan namanya dengan cara menyebar gosip yang menjelek-jelekkan pihak lain. Dalam konteks ini, kiranya benar pepatah jawa yang menuturkan dahwen ati open . Pepatah itu secara harafiah berarti demikian: Perasaan iri karena tidak berhasil memiliki, membuat orang jadi dengki

“dapur” ini memang cukup menentukan pilihan pendekatan, program, strategi, metode pengorganisiran di lapangan. Di sini, godaan pragmatisme sering dihadapi LSm, yaitu bagaimana caranya untuk “menghemat” dana agar dapur tetap ngebul. Dalam konteks seperti ini, warga korban bencana lagi-lagi terkorbankan haknya. Warga korban menjadi prioritas kedua, terkalahkan oleh kepentingan LSm itu sendiri.

16 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

ketika harus menangani warga korban bencana, terutama ketika di masa emergency. 10

Kendati tidak memiliki mandat untuk bergerak di bidang emer- gency, sebagian besar LSm lokal “terpaksa” harus melakukan itu. “Didesak” oleh situasi (lantaran warga korban butuh bantuan mau- pun banyak lembaga donor asing perlu mitra LSm lokal untuk me- nyalurkan bantuan), LSm lokal memposisikan diri sebagai “media- tor” untuk dua kutub kepentingan itu. Situasi itulah yang ditangkap LSm lokal sebagai suatu peluang (oportunity) ataupun momentum. tentu saja, momentum/peluang itu sangat tergantung pada motif dari masing-masing LSm lokal itu sendiri (untuk kepentingan mem- bantu warga korban, belajar manajemen bencana, maupun meng- hidupkan kembali “dapur” lembaga, dan lain-lain). Bisa dikatakan, nyaris semua LSm lokal terlibat dalam penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng, meski dengan tingkat keterlibatan yang ber- beda-beda. ada korelasi positif antara besarnya akses dana bantuan yang dimiliki LSm lokal dengan besarnya tingkat keterlibatan LSm lokal dengan warga korban bencana. mereka yang memiliki akses lebih besar kepada lembaga donor maka semakin besar/luas pula tingkat keterlibatan ke warga. Bagi mereka yang aksesnya relatif ke- cil kepada lembaga donor, maka relatif kecil pula keterlibatan/akti-

10. Secara umum dan mendasar, LSm di indonesia memang masih memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan seperti: kurangnya dana, tingginya keterantungan pada donor, rendahnya tingkat efisiensi manajerial dan kredibilitas sosial, rendahnya profesionalisme, tingginya bias yang terjadi di LSm, dan lain-lain. Beberapa catatan tentang kelemahan dan keterbatasan LSm ini baca Suharko, Merajut Demokrasi, hubungan NGo, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966- 2001); Yogyakarta: tiara Wacana, hlm.115-120. Bandingkan Binny Buchori, Peta Permasalahan LSm dalam Kompas, lSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan, Jakarta: Kompas, 2004, hlm.3-16.

11. Situasi ini memang menjadi dilema bagi banyak LSm lokal. Sebagian besar dari mereka masih berpegang pada keyakinan dan komitmen bahwa untuk memfasilitasi, menganimasi, dan gerak pemberdayaan masyarakat tak selalu butuh dana yang besar. Celakanya, dalam situasi pasca bencana, warga korban bencana memiliki logika sendiri

P enDaHuLuan 17 mencermati situasi tersebut, bisa dikatakan di sini bahwa

dalam upaya membantu memenuhi hak-hak dasar warga korban bencana, LSm lokal sangat tergantung kepada dana bantuan dari lembaga donor. Besarnya tingkat ketergantungan ini boleh jadi akan sangat berdampak pada beberapa hal berikut: 12 pertama, LSm lo- kal tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap lem- baga donor tersebut. Konsekuensinya, berbagai “pesan khusus” yang dipaksakan oleh lembaga donor harus diterima, meski tidak sesuai

13 misalnya, lembaga donor menunjuk dan menentukan sendiri ko-

munitas yang akan menerima bantuan. munculnya kapling-kapling wilayah komunitas di antara LSm lokal pun menjadi tak terhindar- kan. Konflik antar LSM lokal ini tak urung juga menimbulkan kon- flik dengan warga korban yang akan menerima bantuan tersebut. 14

Kedua, LSm lokal tidak leluasa untuk menerapkan berbagai program partisipatif yang disesuaikan dengan kebutuhan warga korban ben- cana. misalnya, karena terpaksa harus mengejar jumlah sasaran dan tenggat waktu yang mepet dari lembaga donor, LSm lokal tidak bisa mewujudkan capaian nilai-nilai (semisal partisipasi, kearifan lokal,

yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan itu. Banyak kasus menunjukkan, LSm lokal ditolak warga lantaran tidak membawa bantuan yang “riil”. LSm yang tidak membawa bantuan diharap menyingkir. Harus diakui, derasnya kucuran dana bantuan dari donor pasca bencana berpotensi menciptakan ketergantungan, baik bagi LSm sendiri maupun warga masyarakat.

12. ancaman dari ketergantungan pada bantuan ini telah diuraikan secara gamblang dan detail oleh penulis Jerman, erler. ada anekdot satir tentang itu: ambilah proyek ini! Bukankah orang sulit membuktikan bahwa ia telah membawa dampak negatif. Baca Brigitte erler, Bantuan Mematikan, Catatan lapangan tentang Bantuan Asing; Jakarta: LP3eS, hlm. 28.

13. terkait dengan relasi yang asimetris dan timpang ini, baca Suharko, Merajut Demokrasi, hubungan NGo, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966- 2001); Yogyakarta: tiara Wacana, hlm.119-120.

14. ada banyak kasus lain tentang pemaksaan oleh lembaga donor ini. Sejumlah donor memaksakan kepada LSm lokal untuk menyalurkan bantuan karitatif pasca emergensi, yang menurut kalangan LSm lokal itu sendiri sesungguhnya tidak

18 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

dan lain-lain), ataupun mengontrol kualitas fasilitas bantuan yang diberikan kepada warga korban. 15 Ketiga, LSm lokal sebagai “media- tor” terperangkap dalam konflik kepentingan. Konflik kepentingan seperti ini semakin membuat LSm lokal menjadi semakin tergiring pada pragmatisme klasik-paternalis: asal Bapak Senang (aBS) atau asal Donor Senang (aDS). Didesak oleh pragmatisme itu, keberpi- hakan LSm lokal kepada warga korban bencana akhirnya terbajak. LSm lokal lupa akan hakikat dirinya. Kewajiban utamanya untuk melayani dan membela warga korban bencana, dengan mudah terka- lahkan oleh kepentingan untuk melayani dan “membela yang bayar”, yaitu lembaga donor. 16

Jika kultur semacam itu terus menerus dikembangkan, maka LSm lokal akan terjebak dalam pola perilaku yang menurut pepatah

mendidik warga. ada donor yang memaksakan untuk menyalurkan bantuan bukan kepada warga miskin namun kepada industri-industri kelas menengah dengan alasan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (gDP). ada juga donor yang sengaja menuntut prasyarat yang cukup memberatkan warga. Semisal terkait dengan pengucuran dana bantuan untuk industri kerajinan, lembaga donor menuntut bahwa design handycraft warga tersebut harus diserahkan dan menjadi hak milik lembaga donor. Contoh lainnya, sebuah lembaga donor dari Jerman (sekaligus implementator di daerah Klaten) tetap memaksakan pendekatan yang tidak tepat dalam penyaluran bantuan. Meski telah menimbulkan konflik horisontal di masyarakat, seorang wakil dari lembaga donor itu dengan pongahnya mengatakan bahwa: “Kami sudah berupaya membantu. tidak ada yang salah dengan bantuan yang telah kami serahkan kepada warga. Jika bantuan yang telah kami serahkan itu akhirnya bermasalah (tidak merata/menimbulkan konflik), maka itu urusan warga dan bukan urusan kami.” Jawaban semacam ini bisa dibaca sebagai fenomena ketidakpedulian lembaga donor asing terhadap warga korban bencana. terkait dengan bantuan yang menjerat warga, baca Basilica D. Putranti dan Y. tri Subagya, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi, Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK ugm dan Ford Foundation, 2005.

kurir” (delivery NGo) untuk melukiskan peran LSm lokal yang terkesan lalu lalang, sekadar menjadi pengirim bantuan dari donor kepada warga. Fenomena ini banyak dijumpai terutama pada masa emergensi.

16. muncul banyak godaan bagi LSm untuk bias donor dan menjauh dari konstituen (warga masyarakat). tanpa sadar, LSm “tergoda” untuk lebih “mengabdi” lembaga donor ketimbang warga. Dari sudut pandang semiotik, baca Zaim Zaidi, as’as

P enDaHuLuan 19 Jawa diistilahkan sebagai “milik nggendong lali”. 17 tergiur oleh loba

dan mental tamak demi meraup keuntungan dari “berkah bencana” ini, hak-hak dasar dan kebutuhan warga korban bencana pun akan mudah dikorbankan oleh LSm. Demi mengisi pundi-pundinya, LSm bisa mudah tergiur melakukan mark up atau menggeser beberapa alokasi budget, sehingga tak sesuai dengan mou dengan lembaga donor (semisal operation cost yang mestinya sebesar 10 % dari total dana bantuan, dalam praktiknya melebihi prosentase tersebut). Di- sinyalir, pola-pola korupsi dana bantuan semacam ini acap terjadi di

lingkup LSm, terutama dalam proyek-proyek pasca bencana. 18 Dari beberapa kasus, LSm lokal sangat lemah untuk mendesak- kan idealismenya kepada lembaga donor. Semua itu tentu karena besarnya tingkat ketergantungan LSm kepada donor asing. tentu saja tidak semua donor asing memaksakan “pesan-pesan khusus” itu kepada LSm lokal. Banyak juga dari mereka yang mempercayakan sepenuhnya alokasi dana bantuan itu kepada LSm lokal. Rasa saling percaya di antara donor asing dan LSm lokal seperti ini biasanya telah terbangun sejak lama, jauh sebelum bencana gempa bumi itu sendiri terjadi. Relasi seperti ini tentu saja memudahkan LSm lo- kal mensinergikan berbagai pendekatan yang sesuai dengan konteks masyarakat lokal. Bahkan, dengan adanya relasi kemitraan yang telah

nugroho, dan Hamid abidin, Merebut hati lembaga Donor, Kiat Sukses Pengembangan Program, Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka logis;

Jakarta:Piramedia, 2004. 17. Pepatah milik nggendong lali ini secara harafiah berarti barang siapa yang menyimpan hasrat, niat dan maksud ingin memiliki, maka ia akan melupakan berbagai nilai keutamaan dalam hidup. tujuan hidup yang mulia bisa terkorbankan oleh karena hasrat ingin memiliki tersebut. Dalam konteks penanganan bencana, nafsu besar LSm untuk meraup keuntungan dari dana bantuan niscaya akan menghilangkan komitmen dan keberpihakannya kepada warga korban bencana.

18. menurut John Clark, masalah petangungjawaban keuangan ini telah ditengarai sebagai salah satu kelemahan LSm. Baca John Clark, NGo dan Pembangunan Demokrasi; Yogyakarta: tiara Wacana, 1995, hlm.78-79. Bandingkan dengan persoalan korupsi di LSm dalam Suharko, Merajut Demokrasi, hubungan NGo, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: tiara Wacana, hlm.116.

20 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

lama berjalan itu, program-program jangka menengah dan panjang pun sangat mungkin dirancang oleh LSm lokal tersebut bersama masyarakat. Dengan demikian, bantuan kepada masyarakat bukan bersifat karitatif (biasanya pada masa emergency), tetapi yang bersifat memberdayakan dan memandirikan para beneficiaries-nya.

terlepas apakah relasi dengan lembaga donor asing itu baru terjalin sebelum atau setelah gempa terjadi, LSm lokal memang me- miliki prosedur baku untuk proyek penyaluran bantuan. LSm lokal harus mengajukan proposal ke lembaga donor terlebih dulu. Setelah diterima dan disetujui donor, bantuan baru bisa disalurkan oleh LSm lokal kepada warga. Kondisi prosedural ini tentu saja menjadi kendala yang cukup prinsipil bagi kalangan LSm untuk merespon segera situasi darurat bencana. LSm juga kerepotan dan nyaris tidak mungkin merancang program bersama warga, sehingga benar-benar merepresentasikan kebutuhan komunitas akar rumput. Sejumlah kasus menunjukkan warga terlambat menerima bantuan karena mekanisme prosedural tersebut. Hal itu tentu saja mengandung im- plikasi bahwa bantuan tidak lagi tepat waktu, tepat guna, dan te- pat sasaran. Kondisi semacam itu tentu saja rawan bagi LSm yang kurang menekankan aspek pemberdayaan, dan cenderung karitatif dengan sifatnya yang suka menebar janji kepada masyarakat. Dam- pak risiko yang lebih besar bisa terjadi ketika proposal yang diajukan LSm ditolak donor. Karena terlanjur dijanjikan sesuatu, maka keti- ka janji itu tak terealisasi, warga pasti akan merasa dikecewa. Bukan tidak mungkin itu akan merusak relasi antara warga dan LSm itu sen- diri. Bahkan muncul sejumlah kasus, LSm diusir oleh warga lantaran urung memberikan bantuan yang telah dijanjikan sebelumnya.

Kiranya hubungan triadik: donor-LSm-masyarakat pasca ben- cana memang terasa sangat penting dan urgen untuk ditelisik dan dikaji lebih jauh lagi. Karena, pemetaan atas pola relasi di antara ketiganya itu akan sangat berarti untuk menyikapi pergeseran atas berbagai aspek keberdayaan, kemandirian, dan keberlanjutan hidup masyarakat. Pasca gempa telah muncul kecenderungan pola relasi

P enDaHuLuan 21 itu semakin asimetris dan timpang. Baik warga maupun LSm sema-

kin tersubordinasi dan tergantung kepada donor. Hal itu tentu saja menjadi kendala bagi tumbuhnya gerakan kemandirian masyarakat. itulah tantangan bagi kiprah LSm dan berbagai elemen masyarakat sipil ke depan. Waktunya bagi seluruh kalangan masyarakat untuk memaknai bencana sebagai momentum perubahan menuju ke situ- asi yang lebih baik.

Bencana sebagai momentum: petikan hikmah Bertolak pada oto-kritik atas cacat dan lemahnya kiprah LSm pasca gempa di atas, berikut ini kita perlu menegaskan lagi beberapa hikmah dan pelajaran berharga yang bisa kita jadikan modal untuk kerja-kerja ke depan. Dengan belajar pada kesalahan, kita diberi peluang untuk menjajal pendekatan lain yang musti dijumbuhkan kembali dengan kithah LSm berikut mandat moral yang diemban-

nya. 19 Dalam konteks penanganan pasca gempa itu, mandat moral yang musti dikukuhkan kembali itu adalah bahwa segala daya upaya yang responsif, kompeten, berkeadilan, dan bermartabat harus di- maksimalkan agar warga korban terposisikan sebagai subyek yang aktif dan bukannya obyek yang pasif; sebagai subyek yang otonom dan bukan obyek yang tergantung. Dengan berpegang pada komit- men moral itu maka gerak pikir dan langkah LSm akan lebih ter- fokus dan berpihak kepada komunitas akar rumput, bukan kepada lembaga donor.

19. menurut eldrige (1995:38), orientasi dasar LSm di antaranya adalah: (1). memperkuat kelompok masyarakat sebagai basis pembentukan masyarakat yang sehat, dan sebagai kekuatan pengimbang terhadap kekuasaan pemerintah; (2). mencari strategi baru untuk menghadapi kebutuhan sosial yang terus berubah, dan untuk menghadapi kemunculan kelompok lemah dan miskin; (3). Berkomitmen kuat pada cita-cita partisipasi rakyat dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan program. uraian ini dikutip dari Suharko, Merajut Demokrasi, hubungan NGo, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: tiara Wacana, hlm.115.

22 K iSaH K iSRuH Di t anaH g emPa

inilah hikmah dan pelajaran yang paling utama dan berharga bagi kalangan LSm pasca gempa. Bencana telah mengajarkan ke- pada kita tentang arti pentingnya penguatan jejaring sosial untuk menghadapi datangnya masa dan situasi yang sulit, seperti halnya bencana alam yang muncul tiba-tiba itu. Kuatnya jejaring sosial ini tentu saja bisa menjadi jaminan atas terakumulasinya modal sosial sebagai basis utama bagi perubahan yang radikal, massif, dan me- nentukan. memang, dalam situasi krisis seperti itu, orang cenderung abai terhadap berbagai peluang yang terkandung di dalamnya. Pada- hal krisis sejatinya bisa menjadi momentum bagi kita untuk menyu- sun langkah-langkah strategis dan taktis guna menghadapi berbagai risiko bencana yang akan datang. Bencana mesti diposisikan sebagai titik tolak dan daya dorong bagi seluruh elemen masyarakat untuk menyusun agenda berikut langkah-langkah konkritnya ke depan. Di dalam bencana yang memilukan terkandung oase harapan untuk menata kembali masa depan yang lebih baik.

LSm yang tersebar di seluruh tulisan di buku ini, beberapa agenda yang mendesak untuk ditindaklanjuti bersama-sama akan diuraikan lebih jauh dalam paparan berikut ini.

Pertama, munculnya kesadaran baru di kalangan masyarakat tentang ancaman bencana. Berpijak pada kesalahan dan kelemahan- nya, LSm merasa perlu menginisiasi, menyemai, dan menguatkan kesadaran tentang risiko dan ancaman bencana yang berpotensi menghancurkan lingkungan fisik, tatanan sosial, dan budaya masya- rakat. Di sini, beragam bentuk fasilitasi penyadaran publik, melalui jalur pendidikan formal dan informal, perlu mendapat atensi dan kepedulian yang lebih besar ketimbang masa-masa sebelumnya. Di tingkatan praksis, secara partisipatif, organisasi berbasis komunitas (Community Based organization) atau kelembagaan lokal yang terse- bar di seluruh pelosok desa mesti terlibat penuh dalam proses pe- nyadaran ini. Dengan demikian, kesadaran baru itu bisa tersebarluas- kan secara massif dan partisipatoris. Seluruh ikthiar penyadaran ini

P enDaHuLuan 23 tentu saja mengarah pada tercapainya tahapan yang lazim disebut

sebagai kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) di masyarakat kita. Kesiapsiagaan bencana bisa dirancang dan diimplementasikan melalui intensifikasi praksis sosial dan kultural yang menyasar pada upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction).

Kedua, munculnya kebutuhan untuk meningkatkan dan mem- perkuat kapasitas kelembagaan dalam manajemen bencana. Bagi kalangan LSm, bencana telah memicu dan mendorong semangat untuk segera memperbaiki dan mengembangkan kapasitas (capacity building) manajerial LSm yang terkait dengan penanganan bencana seperti: skill pendataan, analisis data, penggalangan dana, distribusi

dan sasaran (terutama anak-anak, perempuan dan difable), penen- tuan strategi dan pendekatan partisipatoris (participatory approach), akuntabilitas, transparansi anggaran, koordinasi, penguatan jejaring (networking), pengorganisasian masyarakat, pemberdayaan masyara-