Peran KH. Muhammad Khollil dalam mengembangkan Islam di Bangkalan Madura

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh: SITI FATIMAH NIM: 105022000853

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 28 September 2011


(5)

i

Peran KH. Muhammad Cholil dalam Mengembangkan Islam di Bangkalan-Madura Skripsi ini dengan judul “Peran KH. Muhammad Cholil dalam Mengembangkan Islam

di Bangkalan-Madura” merupakan sejarah yang mengungkap tentang situasi dan kondisi yang tidak dapat kita pungkiri telah memberikan suatu pengetahuan terhadap segala sesuatu yang terjadi di masa lalu. Belajar tentang sejarah sangat penting karena sejarah bisa menjadi arah bagi kita di depan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang peran KH. Muhammad Cholil, maka skripsi ini menggunakan metode penelitian yang meliputi: Pendekatan studi dan jenis penelitian upaya untuk menguraikan data-data historid tersebut dengan menggunakan pendekatan-pendekatan untuk menghimpun jejak masa lampau dengan mengumpulkan data tentang KH. Muhammad Cholil baik berupa dokumen atau sumber lisan. Selanjutnya dilakukan pencarian sumber bail primer maupun sekunder guna mencari tahu suatu kebenaran dalam mencari data-data yang menyangkut skripsi ini. Adapun langkah selanjutnya metode dalam pengumpulan data yang meliputi observasi lapangan dan interview yang memahami wacana yang sebenarnya tentang KH. Muhammad Cholil dari data yang diperoleh. Kemudian yang terakhir teknik dan analisis data sebagai tahap akhir dalam metode penelitian sejarah, dengan menggunakan metode peneliian deskriptif yang meliputi pendekatan metode analisis yaitu dengan kategorisasi dan editing. Serta pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukannya. Sejarah islam di satu wilayah sangat dipengaruhi oleh historis dan ide-ide dari orang-orang terdahulu yang berada di daerah tersebut. Skripsi

tentang “Peran KH. Muhammad Cholil dalam Mengembangkan Islam di Bangkalan-Madura” adalah tanda dari ide-ide tersebut. Dimana KH. Muhammad Cholil merupakan seorang ulama yang memiliki kontribusi yang sangat pesat bagi perkembangan pendidikan islam di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis data, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa KH. Muhammad Cholil adalah sosok seorang pemimpin muslim yang mempunyai karismatik serta sukses mengajarkan ilmu agama serta mencetak santri-santrinya menjadi kyai-kyai besar di Indonesia.


(6)

ii

Segala puji hanya bagi Allah SWT pencipta semua makhluk-Nya yang mngetahui apa yang ada di langit dan di bumi yang nyata maupun yang tersembunyi, kami memuji, memohon pertolongan dan apapun serta perlindungan kepada-Nya dari segala bentuk kejahatan.

Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang membawa umat dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang. Alhamdulillah berkat rahmat-Nya, penulisan skripsi ini telah dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa ada bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang dengan tulus ikhlas memberi bantuan, baik moril maupun materil. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Ibu Dra. Hj. Tati Hartimah, MA. Sebagai Pembimbing Akademik Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam

3. Bapak Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, MA. Selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam beserta Ibu Shalikatus Sa’diyah, M.Pd. Selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam

4. Bapak Dr. Halid, M.Ag. Selaku Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dan petunjuk-petunjuk berharga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(7)

iii

6. Keluarga, terutama Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah mengasuh, membimbing dengan kelembutan dan kasih sayang. Terima kasih atas segala

perhatian dan do’anya. Kepada saudara-saudaraku tersayang Abdullah, Aisyah, Romli, Muhammad dan Mayu yang memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada KH. Fachrillah Aschal. Selaku Pengasuh Pondok Pesantren Syaikhona Muhammad Cholil Demangan Barat Bangkalan- Madura

8. Kepada segenap staf-staf Pondok Pesantren Syaikhona Kholil Demangan Barat Bangkalan, dan juga staf-staf Data Statistik Kabupaten Bangkalan. Yang sudah banyak membantu penulis dalam mencari info dan data tentang keadaan Kabupaten Bangkalan.

Akhirnya penulis hanya dapat mengembalikannya kepada Allah SWT, semoga mereka mendapat imbalan kebaikan berlipat ganda atas segala jasa dan bantuan serta pengorbanannya. Semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Aamin

Jakarta, 21 Juni 2011


(8)

iv

ABSTRAK ……… I

KATA PENGANTAR ………. II

DAFTAR ISI ……… IV

BAB I : PENDAHULUAN ……… I

A. Latar Belakang Masalah ……… I

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….. 5

C. Tujuan Penulisan………. 5

D. Kajian Pustaka………. 6

E. Metodologi Penelitian………. 9

F. Sistematika Penulisan……… 14

BAB II : GAMBARAN UMUM WILAYAH BANGKALAN-MADURA……. 16

A. Kondisi Geografis……….. 16

B. Lembaga Pendidikan di Bangkalan: Formal dan Nonformal………… 17

C. Organisasi Sosial Keagamaan dan Pemerintahan……….. 20

BAB III : BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MUHAMMAD CHOLIL BANGKALAN……… 33

A. Sejarah Hidup………. 33


(9)

v

BAB IV : PERAN KH. MUHAMMAD CHOLIL DALAM MASYARAKAT

MADURA……… 60

A. Intensitas Keterlibatan dan Kepedulian dalam Aktifitas Sosial………. 60

B. Dampak pada Perubahan di Masyarakat……… 68

C. Perintis Berdirinya NU……….. 70

BAB V : PENUTUP……… 74

A. Kesimpulan……… 74

B. Saran……….. 76

DAFTAR PUSTAKA


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Ulama adalah bentuk jama’ dari alim yang berarti terpelajar, dan ulama berarti

orang-orang yang diakui sebagai cendikiawan sebagai pemegang otoritas

pengetahuan.

1

Semula kata ulama berarti orang-orang yang mengetahui atau

pandai.Orang yang ahli dalam ilmu apapun dapat dikategorikan sebagai ulama.Istilah

tersebut kemudian berkembang dan tepatnya menciut sehingga lebih banyak

digunakan untuk menyebut mereka yang ahli dalam ilmu agama.

Al-Qur’an menempatkan ulama pada martabat yang mulia.2

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujaadalah: 11 h. 910)

Sejak munculnya pemerintahan Islam yang ditegakkan atas dasar hokum-hukum

Al-Qur’an, ummat Islam telah berhasil mencapai puncak kemakmuran yang nyata. Suatu

masyarakat yang dinamis di bawah bimbingan para ulama yang berpendirian teguh, penuh kejujuran, keberanian dan keikhlasan untuk menegakkan Syari’at Islam. Sehingga para ulama itu bagaikan bintang yang menerangi jalan setiap manusia, baik dia penguasa ataupun rakyat biasa di dalam menempuh kegelapan hidup di dunia.3

Ulama yang ikhlas mengabdikan dirinya kepada Allah senantiasa siap menghadapi segala macam tantangan yang ada. Prinsip mereka adalah hidup mulia atau mati syahid. Pernyataan ini merupakan landasan perjuangan hidup para ulama di jalan Allah untuk menegakkan

1

Lihat Ensiklopedi Islam, Cyril Glasse, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2000), h. 417

2

Perhatikan QS. Al-Mujaadalah: 11, h. 910

3

Abdul „Aziz Al-Badri, Peran Ulama dan Penguasa, Penterjemah: Salim Muhammad Wahid, (Solo Indonesia: Pustaka Mantiq 1987), cet. Ke-2, h.9


(11)

segala kebenaran.4 Dengan hati yang ikhlas dan mengharapkan ridho Allah maka para ulama tidak takut dengan segala macam ancaman dan penindasan dari Raja, Pemerintah, atau pemerintahan kolonial Belanda pada saat bangsa kita dijajah.

Sejarah Indonesia tidak terlepas dari peran ulama dan kaum muslimin. Melalui

dakwah yang dilakukan oleh para ulama, Islam menjadi agama yang banyak dianut

rakyat Indonesia. Ulama pun menjadi komponen yang turut membentuk dan

mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Seseorang disebut ulama apabila ia

mendalami ilmu agama secara mantap, serta mengamalkannya dalam seluruh segi

kehidupan.

Dalam lintasan sejarah Indonesia, ulama menempati posisi penting dalam

pembinaan moral masyarakat, bahkan pada masa penjajahan, ulama menjadi

pemimpin dan konseptor perlawanan terhadap imperialis, dengan kata lain,

kemerdekaan Indonesia tidak akan terwujud tanpa perjuangan ulama dan umat Islam.

Pasca kemerdekaan Indonesia, ulama tidak lagi memimpin Gerilya dengan

memanggul senjata, melainkan mulai berfikir bagaimana cara membina moral

masyarakat, mengembangkan pendidikan bagi umat Islam serta menjembatani antara

umat Islam dengan Pemerintah.

5

Disini penulis akan membahas tentang salah satu ulama yang berada di

Bangkalan-Madura yaitu KH. Muhammad Kholil Bangkalan. Beliau lahir pada hari

Ahad Pahing, tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H bertepatan dengan tanggal 14 Maret

1820 M. Beliau seorang kiai keturunan Sunan Gunung Jati bernama Abdul Latif

4

KH. Drs. Badruddin Shubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, Gema Insani Press, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. Ke-1, h. 71

5


(12)

merasakan kegembiraan yang luar biasa. Istrinya yang hamil tua melahirkan bayi

laki-laki sehat. Rasa syukur atas anugrah yang didapat hari itu. Sesuai ajaran Islam,

kiai Abdul Latif mengadzani telinga kanan bayi yang baru lahir itu dan mengiqomati

telinga kiri mengikuti Sunnah Rasul.

Bayi yang sangat diharapkan kehadirannya ini memang sudah lama dirindukan.

Terbayang dalam benak kiai Abdul Latif akan jejak leluhur nenek moyangnya. Nenek

moyang yang sangat berkhidmat kepada Islam di Tanah Jawa, yaitu Kanjeng Sunan

Gunung Jati. Doa demi doa selalu dipanjatkan. Dengan penuh harap mudah-mudahan

bayi ini kelak melanjutkan jejak perjuangan nenek moyangnya yang memimpin dan

memandu umat menjadi hamba Allah yang sejati. Beliau adalah seorang ulama

sekaligus waliyullah, lahir bernama Muhammad Kholil. Kota Bangkalan tempat

kelahirannya, kemudian dinisbahkan kepada namanya dan akhirnya dikenal dengan

nama Muhammad Kholil Bangkalan.

Dari sudut manapun, kehidupannya sangat menarik untuk dibicarakan. Legenda

tentang perilakunya yang penuh keajaiban banyak sekali, kehidupannya sangat unik.

Kiai kholil dikenal sebagai Muballigh, pimpinan Pesantren, pencetak Kader ulama

terkemuka di Jawa-Madura, juga menjalani kehidupan Sufi dan Mursyid Thariqat.

Disamping itu, kiai kholil adalah inspirator berdirinya Organisasi Islam Terbesar di

Indonesia, yang kelak dikenal dengan nama Nahdhtul Ulama (NU).

Sebagai seorang pendidik yang berhasil pada zamannya, bagi kita generasi

sekarang menjadi sangat penting untuk mengetahui dan meneladani kehidupannya.

Tak seorangpun yang meragukan keulamaan dan kewaliannya. Hal ini terbukti,

semua ulama ternama yang mempunyai pesantren besar adalah hasil tempaannya.


(13)

Hampir semua ulama besar abad-20 pernah berguru pada kiai kholil. Demikian juga

dengan kewaliannya, banyaknya karomah yang dimiliki, bukti dirinya adalah kekasih

Allah SWT.

Kiai kholil memang suatu fenomena tersendiri. Selain kealimannya dalam ilmu

Nahwu, Sharaf, Fiqh, dan ilmu-ilmu Al-

Qur’an, termasuk Qira’ah Sab’ah, juga

seorang hafidz Al Qur’an.

Pendidikan adalah upaya manusia untuk mengembangkan kemampuan dan

potensi manusia sehingga bisa hidup layak, baik sebagai pribadi maupun sebagai

anggota masyarakat. Pendidikan itu bertujuan untuk mendewasakan anak yang

mencakup pendewasaan intelektual, sosial, dan moral. Pendidikan adalah proses

sosialisasi untuk mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kapasitas yang

dimilikinya.

6

Sebenarnya keilmuan Kholil selama nyantri di Madura dapat dikatakan sudah

cukup. Belajar di Jawa lebih tepat sebagai penyempurnaan disamping mencari

barokah Guru. Selama di pulau Jawa. Dan selanjutnya kiai kholil melanjutkan

belajarnya hingga ke Makkatul Mukarramah. Setelah merasa cukup menimba ilmu di

Makkah, Kholil pulang ke Jawa. Sepulangnya dari Tanah Arab, Kholil dikenal

sebagai pakar berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu alat, spesialisasi kitab Alfiyah.

Kholil kemudian mendirikan Pesantren di desa Jengkibuan, Kabupaten

Bangkalan. Kealimannya segera menyebar keseluruh Madura. Santri-santri mulai

berdatangan untuk mengaji di Pesantren itu. Semakin hari pesantren Syaikhona

6

Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Grasindo), cet,ke-1,h. 3


(14)

semakin ramai. Para santri tidak hanya dari lingkungan wilayah Bangkalan, tetapi

juga mencakup seluruh Madura. Santri pertama dari luar Madura, tercatat bernama

Hasyim Asyari dari Jombang. Hasyim Asyari kelak muncul sebagai ulama besar,

bahkan berhasil mendirikan suatu organisasi Islam terbesar di pulau Jawa, yaitu

Nahdhatul Ulama (NU). Sejak mendirikan Pesantren di Kademangan, kiai Kholil

bersama para santrinya menetap di Bangkalan. Demikian juga dengan keluarga kiai

Kholil.

7

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi permasalahan pada peranan

KH.Muhammad Kholil Bangkalan dalam menyebarkan agama Islam di

Bangkalan-Madura.

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1.

Siapakah K.H. Muhammad Kholil Bangkalan?

2.

Bagaimana peran K.H. Muhammad Kholil di lingkungan masyarakat Madura?

3.

Apa saja karya tulis K.H. Muhammad Kholil?

C.

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain:

1.

Penulis ingin lebih jauh mempelajari riwayat hidup KH. Muhammad Kholil

Bangkalan

7


(15)

2.

Ingin mengetahui bagaimana peran KH. Muhammad Kholil Bangkalan dalam

pendirian dan pengembangan Pondok Pesantren

3.

Agar pembaca dapat mengetahui bahwa pendidikan yang dibutuhkan

sekarang ini adalah pendidikan yang terdapat unsur duniawi dan ukhrawi.

D.

Kajian Pustaka

Peran merupakan suatu yang penting bagi setiap orang sebab dalam

kenyataannya kelangsungan hidup suatu bangsa atau Negara sangat dipengaruhi oleh

para pemimpinnya. Pemimpin diidentifikasikan sebagai seorang yang secara formal

diberi status tertentu melalui pemilihan, pengangkatan, keturunan atau cara-cara lain.

Kepemimpinan mengacu pada perilaku yang ditunjukkan sesuatu yang lebih individu

dalam kelompok yang membantu kelompok mencapai tujuan.

8

Berhasil tidaknya seorang pemimpin banyak bergantung dari keberhasilannya

dalam melakukan kegiatan komunikasi. Sebab seorang tidak mungkin menjadi

pemimpin tanpa mempunyai pengikut. Oleh sebab itu lebih tinggi kedudukan seorang

pemimpin, tentunya akan lebih banyak pengikutnya. Begitu pula bagi seorang kyai,

dalam hal ini yang menjadi salah satu tolak ukur bahwa kyai tersebut berkaliber besar

atau kecilnya dilihat dari banyak dan sedikitnya santri yang dipimpinnya. KH.

Muhammad Kholil Bangkalan adalah salah seorang kyai yang dikategorikan

berkaliber besar.

8

Onong Uchjana Efendi, Kepemimpinan dan Komunikasi, (Bandung: CV Masdar Maju, 1992), hl 2


(16)

KH. Muhammad Kholil mula-mula melakukan pembinaan agama islam di

sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulai merambah

kepelosok-pelosok jauh, sehingga menjangkau keseluruh Madura secara merata. Pulau Jawa

yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran dakwahnya,

sehingga dari pulau Jawa banyak berdatangan nyantri ke KH. Muhammad Kholil

Bangkalan. Pondok pesantren pada saat itu merupakan suatu lembaga pendidikan

yang mempunyai peran penting dalam memberi

Shibhah

atau

Wajhah

(corak atau

arah) sehingga dengan demikian mampu untuk merubah pandangan atau sikap mental

kejalan yang benar.

Menurut Harun Handiwijoyo, bahwa pesantren-pesantren merupakan lembaga

yang penting dalam penyebaran agama islam, karena pembinaan calon-calon guru,

kyai atau ulama yang justru berasal dari pesantren. Setelah keluar pesantren itu akan

kembali ke masing-masing kampung atau desanya, ditempat asalnya mereka akan

menjadi tokoh keagamaan menjadi kyai yang menyelenggarakan pesantren baru.

9

Penulis mendapatkan buku

Dari Kanjeng Sunan Sampai Romo Kiai

Syaikhona Kholil Bangkalan

karya KH. Ali Badri bin Azmatkhan. Yang membahas

tentang Syaikhona Cholil tapi yang menjadi perbedaannya dengan buku dan karya

ilmiah yang penulis bahas yaitu buku yang berjudul itu lebih condong kepada

pembahasan silsilah/keturunan yang bergelarkan “Azmatkhan”

sedangkan karya

ilmiah yang penulis ambil dengan judul “Syaikhona Cholil” yaitu menjelaskan akan

perannya Kyai Cholil di lingkungan masyarakat Madura. Walaupun sama-sama

membahas tentang Syaikhona Cholil tapi perbedaannya hanyalah buku itu lebih

9


(17)

condong kepada keturunan yang bergelar Azmatkhan sedangkan penulis lebih

condong kepada peran beliau (Kyai Cholil) di lingkungan masyarakat Madura.

Selain itu pula penulis mendapatkan karya ilmiah yang membahas tentang Syaikhona

Cholil, yang berjudul “Sejarah Pondok Pesantren Syaikhona Muhammad Cholil dan

Kehidupan Sehari-hari pada Santri” karya Muhammad Romli, di Universitas terkemuka di daerah Sidogiri. Di dalam karya tulis itu hanya menjelaskan bagaimana asal usul dari pendirian pondok pesantren yang didirikan oleh Kyai Cholil tersebut. Serta kehidupan keluarganya dimulai dari keturunan hingga beliau menjadi tokoh terkemuka seperti yang banyak diceritakan oleh buku lain yang membahas tentang Syaikhona Cholil.

Begitupun bagaimana cara pengajaran beliau kepada para santrinya maupun pada keluarganya sendiri,yang lebih mirip dengan pengajaran nenek moyangnya yang dahulu yaitu beberapa dari Sunan Walisongo, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Yang di antara pengajarannya itu lebih banyak kepada praktek.

Sebenarnya tidak banyak yang membahas tentang Kyai Cholil, walaupun ada yang membahas Kyai Cholil, kemungkinan hanya sedikit data yang didapatkan oleh para penulis, karena di keluarganya sendiri terkadang merasa takut untuk menceritakan tentang kehidupan Kyai Cholil. Mereka takut ada yang salah dalam mengisahkan kehidupan Kyai Cholil,karena

itu bisa menjadi bala’ bila dalam mengisahkan beliau sampai salah, karena beliau Waliyullah. Sedangkan keluarga dari Kyai Cholil kemungkinan mendapatkan data beliau dari keluarganya sendiri itu hanya mereka ketahui atau cerita dari para leluhurnya tapi kemungkinan hanya sedikit, begitupun yang penulis lakukan, yaitu dengan mencari beberapa buku yang membahas tentang Kyai Cholil dan dengan wawancara kepada beberapa sanak keluarga beliau dan juga pada pengurus yang bisa melengkapi karya ilmiah yang penulis lakukan ini. Kebanyakan yang penulis dapatkan dari hasil-hasil penelitian orang lain,


(18)

yang menjelaskan Syaikhona Cholil, belum ada yang membahas tentang peran Kyai Cholil dalam mengembangkan Islam di Bangkalan. Maka penulis berinisiatif untuk melakukan karya ilmiah yang berjudul tentang “Peran KH. Muhammad Cholil dalam Mengembangkan Islam di Bangkalan-Madura”. Dan alhamdulillah penulis mendapatkan izin dari keluarga Kyai Cholil.

E.

Metodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan beberapa data yang

berhubungan dengan pembahasan mengenai KH. Muhammad Kholil Bangkalan dan

perannya, baik data yang bersifat primer sebagai bahan utama, maupun data yang

bersifat sekunder sebagai bahan pelengkap.

Dalam menyusun skripsi ini, ada beberapa hal yang perlu penulis jelaskan

terlebih dahulu yaitu mengenai istilah-istilah dari judul skripsi ini.

Pertama

, peran

merupakan kata kunci dalam penulisan skripsi ini. Dengan demikian peran

menunjukkan hubungan dengan sejumlah norma yang berhubungan dengan

status/kedudukan seseorang dalam struktur sosial. R.K Merton mengatakan bahwa

peran adalah kumpulan pola tindakan tertentu yang diwujudkan seseorang dalam

suatu struktur sosial tertentu, atau bagaimana seseorang harus berbuat (bertindak)

terhadap orang lain dan orang lain terhadapnya.

10

Dalam skripsi ini makna peran

diartikan dengan keikutsertaan Syaikhona Cholil dalam menumbuh kembangkan

wawasan Islam.

Kedua

, pengembangan mempunyai arti menyebarluaskan, dalam hal

10

H. Ahmad Sutarmadi, Al-Imam al-Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqh, (Jakarta: Logos, 1998), Cet ke-1,h.27


(19)

ini Syaikhona Cholil berusaha untuk menyebarluaskan pemikiran-pemikiran

keislamannya.

Adapun buku

“ Pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, dan

Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, terbitan CeQDA 2007, menjadi buku

acuan yang penulis gunakan untuk membantu dalam hal teknik penulisan skripsi ini.

1.

Pendekatan Studi dan Jenis Penelitian

Setelah dilakukan klasifikasi data, tahap selanjutnya yang penulis lakukan

adalah melakukan analisa yang bersifat kualitatif, dalam artian penulis akan

menguraikan data-data historis tersebut dengan menggunakan pendekatan-pendekatan

yang sesuai dengan konteks dimana sejarah tersebut terjadi. Pendekatan sejarah

digunakan untuk mendeskripsikan sejarah hidup KH. Muhammad Cholil di

Bangkalan dengan ajaran pengembangan Islam. Sejarah intelektual dalam bahasa

Sartono Kartodirdjo adalah mencoba mengungkapkan latar belakang sosio-kultural

para pemikir, agar dapat mengekstrapolasikan faktor-faktor sosio-kultural yang

mempengaruhinya. Dengan demikian, kita tidak mudah jatuh ke suatu absolutisme

atau determinisme. Memang pandangan historis sebaiknya akan lebih mendorong ke

suatu relativisme dalam menghadapi berbagai ideologi beserta doktrin-doktrinnya.

Pengkajian bidang sejarah intelektual dari yang barang tentu memiliki peninggalan

tertulis, cukup dipermudah dengan adanya dokumentasi berbagai mentifact. Aspek

yang sangat menarik dari sejarah intelektual ialah dialektik yang terjadi antara

ideologi dan penghayatan oleh penganutnya. Adapun tema-tema yang dikembangkan

dalam Sejarah Intelektual adalah pemikiran yang dilakukan oleh perseorangan


(20)

(Soekrano, Natsir, John Locke), Isme atau Paham (nasionalisme, sosialisme,

pragmatisme), gerakan intelektual (aliran Frankfurt, Strukturalisme, Pasca

Modernisme), periode (The Age of Belief, Renaissance, Pencerahan), dan pemikiran

kolektif (MUI, Muhammadiyah, NU).

11

Dalam perspektif kesejarahan baik pesantren

dan madrasah, pada umumnya dipandang sebagai Lembaga Pendidikan Indigenous

Jawa, tradisi keilmuan pesantren dalam banyak hal memiliki afinitas dengan

Lembaga-lembaga Pendidikan Islam Tradisional di Kawasan Dunia Islam lainnya.

Afinitas atau kesamaan itu dalam batas tertentu bukan hanya pada tingkat

kelembagaan dan keterkaitannya dengan lingkungan sosialnya, tetapi juga pada watak

dan karakter keilmuannya. Sebagai lembaga pendidikan

indigenous

, pesantren

memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat, sehingga membuatnya mampu

menduduki posisi yang relative sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya, dan

sekaligus bertuhan di tengah berbagai gelombang perubahan. Kalau kita menerima

spekulasi bahwa “pesantren” telah ada sebelum masa Islam

, maka sangat boleh jadi ia

merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan keilmuan di luar istana. Dan jika ini

benar, berarti pesantren merupakan semacam lembaga “

Counter Culture

” (budaya

tandingan) terhadap budaya keilmuan yang dimonopoli kalangan istana dan elite

Brahmana. Eksistensi pesantren bertambah kuat ketika corak Islam yang berkembang

di Jawa memberikan dasar ideologis dan kelembagaan yang kondusif bagi pesantren.

Corak Islam tersebut biasanya di tipologisasikan (watak) banyak ahli sebagai “Islam

11


(21)

Tradisional”, atau lebih tepatnya “Islam Tradisi”, dimana Syari’ah dan tasawuf yang

berkembang sepanjang sejarah Islam menjadi unsur-unsur terpenting.

12

Sedangkan pendekatan sosial dalam hal ini, digunakan untuk menjelaskan

bagaimana peran KH. Muhammad Cholil dalam mengembangkan Islam di

masyarakat Bangkalan khususnya Madura-Jawa.

2.

a. Sumber Data Primer

Dalam usaha mendapatkan data dan metode ini, penulis melakukan kunjungan

ke Pondok Pesantren Syaikhona Cholil yang bertempat di Demangan Barat

Bangkalan-Madura guna melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh (H. Ikhsan

Fadhil beserta staff dari pondok pesantren tersebut, dan H. M. Thoyyib Fawwaz

Muslim, S.Pdi) disana. Selain itu pula penulis mendapatkan karya beliau (Syaikhona

Cholil) antara lain:

Alfiyah

, yaitu kitab alat bagi ilmu nahwu yang selalu dipakai oleh

beliau baik di dalam pengajarannya kepada santri-santinya maupun dalam kehidupan

sehari-hari.

Assilahu Fi Bayaninnikah

, yaitu kitab yang menjelaskan asal usul dalam

pernikahan,

Hasyiyah al-Bajuri

, yaitu kitab yang menjelaskan tentang hukum fiqh,

yang pernah dijadikan sebagai bahan utama beliau dan juga sebagai manfaat bagi

penulis dan untuk mencari sumber-sumber yang ada kaitannya dengan pembahasan

skripsi ini.

12

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,


(22)

b. Sumber Data Sekunder

Adapun penulis mengumpulkan data sekunder ini dengan melakukan ke

beberapa Perpustakaan dan Website terkait dengan KH.Muhammad Cholil serta

mencari sumber-sumber yang ada kaitannya.

3.

Metode Pengumpulan data

Penulis mengumpulkan data dari tiga sumber sebagai berikut:

a. Observasi Lapangan

Dilakukan dengan cara melakukan penelitian terjun langsung kepada tokoh

yang mengetahui sejarah tersebut. Dalam hal ini, metode yang digunakan adalah

berupa sejarah lisan. Metode sejarah lisan ini dipergunakan sebagai metode

pelengkap terhadap bahan dokumenter.

13

b. Interview (wawancara)

Sebagai salah satu sumber dalam penulisan skripsi ini, karena penulis telah

mendapatkan izin dari Keluarga Besar KH. Muhammad Cholil, dengan melakukan

wawancara untuk membantu memberikan atau mencarikan informasi mengenai judul

yang sedang penulis angkat sebagai judul skripsi.

4.

Teknik dan Analisis Data

Penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian deskriptif analitis, yaitu

mendapatkan gambaran tentang kenyataan di antara berbagai faktor atau gejala-gejala

sosial yang ada. Metode penelitian deskriptif memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a.

Memusatkan diri pada pemecahan masalah

13


(23)

b.

Data-data yang dikemukakan mula-mula disusun, dijelaskan kemudian di

analisis.

Tujuan menggunakan metode deskriptif analitis adalah untuk mendeskripsikan

secara rinci tentang obyek penulisan ini bisa dilakukan tanpa hipotesis yang telah di

rumuskan secara ketat. Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan pendekatan

metode analisis, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Kategorisasi: Membuat kategori-kategori dari masing-masing tulisan itu

kemudian memilah-milah dan memisahkannya kedalam sub-sub pemikiran.

b. Editing: Pemeriksaan kembali terhadap kelengkapan jawaban yang telah

diperoleh.

F.

Sistematika Penulisan

Untuk dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dan mampermudah serta

keteraturan dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi materinya menjadi sub-sub

bab yang telah terperinci, adapun sistematika penulisan secara lengkap adalah sebagai

berikut:

Bab I : Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metodologi Penulisan,dan Sistematika

Penulisan

Bab II : Gambaran umum keadaan Bangkalan-Madura, yang terdiri dari Kondisi

Geografis dan demografis, lalu Lembaga pendidikan di Bangkalan baik

formal nonformal, dan Organisasi Sosial Keagamaan dan Pemerintahan.


(24)

Bab III : Biografi intelektual KH. Muhammad Cholil Bangkalan, yang akan dibahas

tentang Sejarah hidup, Karir pendidikan, Karir organisasi, Karya tulis KH.

Muhammad Cholil dan Murid-murid KH. Muhammad Cholil Bangkalan.

Bab IV : Peranan KH. Muhammad Cholil dalam masyarakat Madura, yang akan

dibahas tentang Intensitas Keterlibatan dan Kepedulian dalam Aktifitas

Sosial, Dampak Pada Perubahan di Masyarakat, serta Perintis Berdirinya NU.

Bab V : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.


(25)

BAB II

GAMBARAN UMUM KEADAAN BANGKALAN-MADURA

A.Keadaan Geografi

Kabupaten Bangkalan dengan luas wilayah 1.260,14 Km yang berada dibagian paling

Barat dari pulau Madura terletak diantara koordinat 112 40’06” – 113 08’04” Bujur Timur serta 6 51’39” – 7 11’39” Lintang Selatan.

Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut: - Disebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa

- Disebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sampang - Disebelah Selatan dan Barat berbatasan dengan Selat Madura.

Dilihat dari topografi, maka daerah Kabupaten Bangkalan berada pada ketinggian 2-100 m di atas permukaan air laut. Wilayah yang terletak di pesisir pantai, seperti Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Socah, Kamal, Modung, Kwanyar, Arosbaya, Klampis, Tanjung Bumi, Labang dan Kecamatan Burneh mempunyai ketinggian antara 2-10 m di atas permukaan air laut. Sedangkan wilayah yang terletak di bagian tengah mempunyai ketinggian antara 19-100 m di atas permukaan air laut, tertinggi adalah Kecamatan Geger dengan ketinggian 100 m di atas permukaan laut.

Kemampuan tanah di Kabupaten Bangkalan jika dilihat dari kemiringannya maka sebagian besar memiliki kemiringan 2-15% yaitu sekitar 50,45% atau 63.002 Ha. Dan kemiringan 0-2% sekitar 45,43% atau 56.738 Ha. Apabila dilihat dari tekstur tanahnya maka sebagian besar bertekstur sedang yaitu seluas 116.267 Ha. Atau sekitar 93,10% sedangkan dari kedalaman spektip tanahnya maka prosentase terbesar adalah tanah yang kedalamannya 90 cm yaitu sekitar 64.131 Ha atau 51,35%.

11 16


(26)

Rata-rata curah hujan di Kabupaten Bangkalan tahun 2008 sebesar 5.94 mm, naik sedikit dari tahun lalu yang sebesar 5,35 mm atau naik 9,96 persen. Pada periode yang sama rata-rata jumla hari hujan per tahun mengalami penurunan yakni dari183 hari pada tahun 2007 menjadi 182 hari pada tahun 2008. Dengan demikian meningkatnya curah hujan tersebut tidak diiringi peningkatan jumlah hari hujan.

B. Lembaga Pendidikan di Bangkalan

Dari hasil penelitian penulis yang didapat dari data statistik di Bangkalan terutama dalam kelembagaan pendidikan baik yang formal maupun nonformal itu pastinya akan ada peningkatan dan penurunan khususnya di negeri dan swasta.

Perkembangan sarana pendidikan di Kabupaten Bangkalan, untuk pendidikan sekolah dasar negeri maupun swasta semakin meningkat. Dari hasil penelitian bahwa jumlah sekolah SD yang Negeri pada tahun 2009 mencapai 666, sedangkan Swasta hanya terdapat 7 sekolahan.Peningkatan dari tahun ke tahun itu sudah pasti terjadi.

Di tahun 2009 ini, jumlah murid SDN turun sebesar 1,5 persen, sementara jumlah guru mengalami penurunan dari tahun 2008 sebesar 8,59 persen. Pada periode yang sama rasio murid terhadap guru naik, yakni dari 21,95 murid/guru pada tahun 2009 dari 21,51 murid/guru pada tahun 2008, begitupun dengan Swasta.1

Jumlah SMP pada tahun 2009 ada sebanyak 122 sekolah yang terdiri dari 42 SMP Negeri dan 80 SMP Swasta. Untuk pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) maka tingkat perkembangan murid pada tahun 2009 jumlah murid SMP Negeri mengalami penurunan 2,15 persen. Dan kenaikan sebesar 10,34 persen untuk SMP swasta. Mengenai perkembangan jumlah guru untuk SMP Negeri mengalami penurunan sebesar 1,04 persen.

1


(27)

Dilihat rasio murid terhadap guru, maka SMP Negeri memiliki rasio 16,47 murid/guru sedangkan SMP Swasta yang hanya memiliki rasio 20,34 murid per guru. 2

Jumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2009 ada sebanyak 34 sekolah yang terdiri dari 14 SMA Negeri dan 39 SMA Swasta. Sementara pula jumlah murid SMA Swasta meningkat 11,87 persen disbanding tahun sebelumnya, sedangkan jumlah murid SMA Negeri menurun dari tahun sebelumnya.

Sedangkan rasio murid terhadap guru untuk SMA Negeri sebesar 6,04 murid/guru, lebih kecil dari pada SMA Swasta yang memiliki rasio 6,91 murid per guru.

Di wilayah Kabupaten Bangkalan juga terdapat Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madarasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) baik Negeri maupun Swasta.

Apabila diikuti perkembangannya dalam lima tahun terakhir, dari sisi perkembangan sarana fisik pendidikan, maka untuk sekolah yang berstatus Negeri tidak mengalami perubahan, sedangkan yang berstatus Swasta jumlahnya terus mengalami kenaikan hingga tahun 2003, namun memasuki tahun 2004. Sedikit mengalami penurunan, kemudian pada tahun 2007 mengalami peningkatan kembali.3

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di tanah air. Lazimnya dalam pesantren, seorang ulama dikelilingi beberapa santri yang mempelajarinya agama Islam sekaligus menjadi penerus perjuangan Islam serta dilatih untuk menjadi pelayan masyarakat. Oleh karena itu, di samping pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga perjuangan Islam juga lembaga pelayan masyarakat.4

Jika kita masuk ke dalam asrama lembaga pendidikan pondok pesantren, di sana kita tidak akan mendapatkan seorang santripun yang tidak memiliki buku yang biasa disebut

2

Hasil dari Data Statistik Kabupaten Bangkalan Tahun 2009

3

Hasil dari Data Statistik Kabupaten Bangkalan Tahun 2009

4

Ibnu Assayuthi Arrifa’I, Korelasi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan dan NU, Editor: KH. Irfan Aziz, al-Haula press, Juni 2010, h. 32


(28)

dengan kitab kuning, yaitu suatu jenis buku berbahasa Arab dengan gaya susunan dan tulisan model klasik dalam berbagai macam bidang pembahasan ilmu-ilmu agama Islam. Karena buku-buku jenis itulah yang digunakan sebagai pegangan para santri pondok pesantren dalam mempelajari dan memperdalam ilmu-ilmu agama lembaga tradisional itu.

Sejak abad VIII M. Agama Islam mulai berkembang dengan pesatnya. Kitab-kitab ilmu agama dengan model yang kini diistilahkan dengan kitab kuning, itu mulai banyak bermunculan dari buah pikiran para cerdik cendikiawan muslim terutama di jazirah Arab dan sekitarnya. Kita mengenal kitab-kitab, seperti: Ihya’Ulumuddin karangan Imam Al-Ghozali dari Thus, yang kini termasuk wilayah Iran, Fathul Wahhab hasil tulisan karya Imam Zakaria Al-Anshari dari Mesir, Syarah Muhadzab buah karya Imam Nawawi dari Damaskus Syiria dan lain-lainnya.

Namun setelah agama Islam meluas sampai ke wilayah timur hingga ujung daratan Timur Asia, maka mulailah kitab-kitab jenis muncul pula dari hasil buah pena ulama-ulama di wilayah Islam batu itu terutama dari kawasan Asia Tenggara khususnya Indonesia.5

Dari hasil penelitian yang penulis dapatkan bahwa jumlah keseluruhan pondok pesantren yang ada di Kabupaten Bangkalan khususnya pada tahun 2008 bahkan mungkin sampai sekarang itu mencapai 327 pondok pesantren ataupun bisa lebih dari itu yang ada di Kabupaten Bangkalan. Menurut apa yang diketahui oleh penulis dari hasil penelitian kalau pondok pesantren yag ada di Kabupaten Bangkalan itu tidak disebutkan atau ditulis oleh bagian data statistik karena itu sudah menjadi hak pondok sendiri dalam mengembangkan data statistiknya. Bagian data statistik yang ada di Kabupaten Bangkalan hanya menyebutkan berapa saja jumlah pondok pesantrennya, serta tidak mencantumkan nama-nama pondok pesantren. Tapi yang jelas bahwa pondok pesantren keseluruhannya itu ada 327 pondok

5

Muhammad Ulul Fahmi, Ulama Besar Indonesia Biografi dan Karyanya, Editor: KH. Muhammad Nu’man HM, Kendal: Pustaka Amanah, 2007, h. 1


(29)

pesantren bahkan bisa saja sekarang ini ada penambahan lagi pondok pesantren yang sedang di bangun untuk masa depan.

Menurut hasil penelitian penulis tentang pendidikan nonformal di keseluruhan Kabupaten Bangkalan itu lebih banyak meminatkan diri pada kursus dan pelatihan. Adapun dalam kursus itu meliputi kursus bahasa Inggris karena dalam bidang ini sangat dibutuhkan di zaman sekarang atau zaman modern ini. Setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Sedangkan pada pelatihan ini meliputi pada pelatihan menjahit, dan setiap tahunnya juga selalu mengalami peningkatan walaupun tidak seperti kursus peningkatannya. Sampai sekarang belum ada peningkatan pendidikan nonformal selain yang disebut di atas. Kemungkinan dalam 2 atau 5 tahun lagi pendidikan nonformal di Kabupaten Bangkalan akan lebih ditingkatkan lagi, agar kota serta masyarakatnya bisa lebih maju dari sebelumnya.

C.Organisasi Sosial Keagamaan dan Pemerintahan

1. NU

Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses

pendirian Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kyai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kyai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kyai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kyai Wahab sebagai pencetus ide, Kyai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kyai Cholil sebagai penentu berdirinya.

Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut, masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH.Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren

Sidogiri.Setelah meminta restu kepada Kyai Hasyim seputar rencana pendirian Jam’iyyah.


(30)

Kyai Hasyim pula, Kyai Ridhwan yang diberi tugas oleh Kyai Hasyim untuk membuat lambing NU juga menemui Kyai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan peran Kyai Wahab, Kyai Hasyim, Kyai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.6

Pada awalnya, ide pembentukan Jam’iyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kyai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti : “Potret Pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kyai Wahab dan para Kyai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum

diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk Jam’iyyah, maka Kyai Wahab merasa

perlu meminta restu kepada Kyai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yang sangat berpengaruh di Jawa Timur.7

Organisasi sosial keagamaan di Kabupaten Bangkalan ini, sebagaimana diketahui bersama, organisasi NU adalah organisasi para ulama, Kyai, dan santri yang berada di kalangan orang kecil pedesaan, para petani dan buruh organisasi ini juga melakukan advokasi pendidikan kepada kalangan masyarakat bawah akan kehidupan sosial dan budayanya, dan organisasi ini juga memberikan sumbangsih perjuangan melawan penjajah.

Perangkat organisasi NU Lembaga

Perangkat organisasi yang berfungsi pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan satu bidang tertentu.

Adapun lembaga-lembaga NU meliputi:

6

Mokh. Syaiful Bakhri, Syaikhona Kholil Bangkalan; Ulama Legendaris dari Madura, Cipta Pustaka Utama, Pasuruan: September 2006, cet 1, h 106

7

Wawancara pribadi dengan Bapak H. M. Thoyyib Fawwaz Muslim, S.Pdi, (Wakil Sekretariat I PCNU Bangkalan 2007- Sampai sekarang) Pada tanggal 30 Oktober 2010


(31)

1. Lembaga Dakwah NU (LDNU)

2. Lembaga Pendidikan Ma’arif NU (LP Ma’arif NU) 3. Lembaga Sosial Mabarut NU (LSMNU)

4. Lembaga Perekonomian NU (LPNU)

5. Lembaga Pembangunan dan Pengembangan Pertanian (LP2NU)

6. Rabithah Ma’ahid Islamiah (RMI); Pengembangan Bidang Pondok Pesantren 7. Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU)

8. Ha’iyah Ta’miril Masjid Indonesia (HTMI)

9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) 10. Lembaga Seni Budaya NU (LSBNU)

11. Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU (LPTKNU) 12. Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum NU (LPBHNU) 13. Lembaga Pencak Silat (LPS)

14. Jam’iyyah Qurawal Huffadz (JQH): Bidang Pengembangan Tilawah, Metode

Pengajaran dan Penghafalan Al Qur’an.

Bisa dikatakan jika organisasi ini mengawal proses kelahiran kemerdekaan Indonesia, mengawal proses masa revolusi, lahirnya orde baru, dan lahirnya orde reformasi. Organisasi ini tetap eksis sampai kini. Tentunya kita tak bisa menghapus begitu saja peran Kyai Cholil Bangkalan atas lahirnya organisasi ini di masa silam.

Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang sebelum dibentuk, para perintisnya mengadakan pembicaraan-pembicaraan untuk mencari kesamaan-kesamaan dalam cita-cita, program, dan sebagainya. Kemudian mensosialisasikan kepada orang-orang yang diharapkan menjadi anggota, Nahdlatul Ulama tidak melakukannya karena:


(32)

a. Kesamaan-kesamaan termaksud sudah dimiliki oleh kaum Muslimin Indonesia,

yaitu Faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dengan berhaluan madzhab, yang menjadi “trayek” Nahdlatul Ulama.

b. Para calon anggota umumnya adalah mereka yang berada di bawah bimbingan para ulama pesantren yang mendirikan Nahdlatul Ulama, sehingga dengan mudah dan cepat ikut Nahdlatul Ulama.

Cepatnya perkembangan Nahdlatul Ulama, terutama dalam jumlah anggota yang bergabung, dari satu sisi sangat menggembirakan, tetapi di satu sisi lain agak memprihatinkan karena sekian banyak orang yang mendadak bergabung dengan NU, ternyata tidak mampu diurus secara organisatoris-administratif. Tenaga yang bisa mengurus tidak sebanding dengan besarnya jumlah mereka yang harus diurus.8

Sejak semula, sesuai dengan ajaran Islam, Nahdlatul Ulama menempatkan semua manusia pada kedudukan yang sama dihadapan Allah SWT, sebagaimana firmannya:

“ Hai manusia! Sungguh Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal. Sungguh, orang yang paling mulia di antara kalian disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha mengenal”.

Saling mengenal (Lita’aarafuu) artinya saling mengerti, saling menghormati dan saling membantu. Manusia, dihadapan Allah adalah Makhluk yang terhormat, sebagaimana firmannya:

“ Sungguh, Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka (Kami beri kemampuan dalam angkut mengangkut) di daratan dan di lautan. Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. Al-Isra’ ayat 70)

8

Saifullah Ma’sum, Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan, 1998, h 25-26


(33)

Menurut yang telah didapatkan oleh penulis dari Kabupaten Bangkalan itu, sikap kesosialannya di dalam organisasi berangkat dari dua sikap: Lita’aarafuu(saling mengerti) dan Karamna (saling menghormati) itu, Islam mengatur hubungan antar sesama manusia yang berkembang dan saling tolong menolong, saling membantu, saling mengasihi dan seterusnya. Manusia yang hidup bersama dan saling berhubungan itu bermacam sifat hubungannya. Ada yang dihubungkan dengan family atau kekerabatan, ada yang dihubungkan dengan tempat tinggal atau ketetanggaan, dengan pekerjaan, tempat pendidikan, ada yang dihubungkan dengan kesukuan, kebangsaan dan ada yang dihubungkan dengan kemanusiaan.9

2. Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah organisasi yang didirikan oleh Muhammad Darwis, yang dikemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, 8 Dzulhijjah 1330 H/ 18 Nopember 1912. Selain berprofesi sebagai Khatib di Kraton Yogyakarta, Dahlan juga seorang pedagang dan Penasehat Central Sarikat Islam (CSI).Perjalanannya ke daerah luar Yogyakarta tampaknya sangat terkait dengan ketiga profesi itu, sehingga usahanya menyebarkan pembaharuan agama Islam tersamar dalam aktivitasnya sebagai pedagang dan penasehat CSI.10

Pertama kali KH Ahmad Dahlan ke Jatim terjadi sekitar 1916, atau 1 tahun setelah H Mas Mansur sepulang dari Mekkah dan Mesir menemuinya di Yogyakarta (1915). Saksi kedatangan KH Dahlan ke Surabaya ini dua di antaranya adalah tokoh pergerakan nasional Soekarno dan Roeslan Abdulgani. Keduanya tidak hanya menyaksikan, tetapi juga mengikuti pengajiannya di langgar Peneleh, Plampitan, serta di langgar dekat rumah KH Mas Mansur

9

Wawancara pribadi dengan Bapak H. M. Thoyyib Fawwaz Muslim, S.Pdi

10


(34)

(kawasan Ampel). KH.Ahmad Dahlan datang ke Surabaya dan memberikan tabligh di tiga tempat, yaitu di kampong Peneleh, Plampitan, dan Ampel.

Pada tahun yang sama, KH Mas Mansur untuk kedua kalinya datang ke rumah KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Pertemuan kali ini berlangsung lebih lama daripada tahun sebelumnya, dan diisi dengan pembicaraan yang bersifat dialogis. Dari dialog inilah KH Mas Mansur tampaknya amat terkesan dengan kepiawaiannya KH Ahmad Dahlan dalam menafsirkan al-Qur’an.

Kekaguman inilah yang mengantarkan KH Mas Mansur menerima ajakan KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah di Surabaya 4 tahun kemudian, atau 1920, yang secara resmi dideklarasikan pada 1 Nopember 1921. Muhammadiyah Surabaya ditetapkan oleh Surat Ketetapan HB Muhammadiyah No 4/1921. Muhammadiyah Surabaya langsung berstatus Cabang yang diketuai oleh KH Mas Mansur, dibantu oleh H Ali, H Azhari Rawi, H Ali Ismail dan Kyai Usman.

Perjalanan KH Ahmad Dahlan di Jatim tidak berhenti di Surabaya saja, karena dia ternyata juga mengunjungi berbagai kota lainnya. Tempat-tempat yang dikunjungi dan membuahkan hasil adalah Kepanjen (21 Desember 1921), Blitar (1921), Sumberpucung (1922), dan Ponorogo (1922). Tahap selanjutnya, Muhammadiyah juga berdiri di Jombang (1923), Madiun (1924), Ngawi (1925), Jember (1925), Situbondo (1925), Malang (1926), Gresik (1926), Lumajang (1927), Trenggalek (1927), Bondowoso (1927), Bangkalan (1927), Sumenep (1927), Sampang (1927), dan Probolinggo (1928).

Pada tahap selanjutnya, Muhammadiyah juga didirikan di Pamekasan (1928), Kediri (rentang waktu 1927-1933), Tulungagung (1932), Banyuwangi (1933), Magetan (rentang waktu 1932-1933), Nganjuk (1933), Pacitan (1933), Tuban (1933), Mojokerto (1933), Sidoarjo (1935-1936), Bojonegoro (1947), dan Lamongan (1951).


(35)

Kemunculan Muhammadiyah di Bangkalan dimulai dengan adanya perkumpulan al-Ishlah yang dipimpin oleh KH Abdul Manan Hamid, Ulama asal Socah, pada tahun 1930-an.

KH Abdul Manan Hamid mengembangkan Muhammadiyah melalui forum-forum pengajian dan melakukan pendekatan terhadap ulama-ulama di Bangkalan. Melalui dialog-dialog yang intens antara KH Abdul Manan Hamid dengan para Kyai, banyak kemudian Kyai di Bangkalan yang tertarik kepada Muhammadiyah. Dengan sendirinya, karena seorang Kyai biasanya memiliki pengaruh yang kuat kepada masyarakat, kemudian banyak pula masyarakat yang bergabung dengan Muhammadiyah. Secara keorganisasian kondisi kondusif di atas ditunjukkan dengan terbentuknya 13 cabang Muhammadiyah.

Namun seiring perubahan kondisi politik di tanah air, yakni ketika diberlakukannya monoloyalitas, Muhammadiyah cukup terpengaruh. Terjadi penurunan drastis jumlah cabang yang ada, dari 13 cabang menjadi hanya 7 cabang. Kondisi ini memang cukup memprihatinkan.

Tetapi penurunan itu bukan berarti secara umum Muhammadiyah di Bangkalan hilang, tetapi ternyata hingga saat ini masih eksis secara baik. Hal itu dapat kita lihat dari masih berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Umum (SMU). Hanya perlu dicatat untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) kondisi sudah sangat memprihatinkan. Untuk amal usaha di bidang kesehatan, masih berdiri Rumah Bersalin (RB), Balai Pengobatan (BP) dan BKIA.11

Demikianlah hasil penelitian yang Penulis dapat serta yang dibahas tentang organisasi-organisasi yang sangat berpengaruh seperti NU dan Muhammadiyah pada keadaan masyarakat Kabupaten Bangkalan.

11

Disarikan dari penuturan Bapak Muhammad Amin, Bendahara PDM Kab.Bangkalan periode 1995-2000.


(36)

3. MUI

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendikiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 juli 1975 M di Jakarta, sebagai

hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datanag

dari berbagai penjuru tanah air.12

Dari hasil penelitian ini, MUI di kabupaten Bangkalan itu terletak antara di pusat kota Bangkalan tepatnya daerah Jhunuk yaitu daerah di timurna dari pusat kota Bangkalan. penulis tidak begitu banyak mendapatkan hasil mengenai MUI di Kabupaten Bangkalan. Hanya saja dari hasil yang penulis dapatkan keadaan sosialnya di Bangkalan sekarang yaitu mengenai Ahmadiyah yang sekarang-sekarang ini gencar di perbincangkan baik lisan maupun media. Dari hasil pengamatan penulis mengenai MUI di Kabupaten Bangkalan ini mengatasi agama Ahmadiyah yang dianggap oleh orang Islam ini sesat, yaitu dengan cara dibicarakan baik-baik agar tidak menimbulkan kekerasan sesama organisasi yang ada.

Dari yang pernah terjadi di beberapa daerah yang lain penulis sendiri tidak mengerti kenapa orang yang dinyatakan sesat harus diamuk seperti itu? Ibaratnya, ada orang Semarang bertujuan ke Jakarta, tapi ternyata tersesat ke Surabaya, masak kita yang tahu bahwa orang itu sesat menempelenginya. Aneh dan lucu.

Konon orang-orang yang ngamuk itu adalah orang-orang Indonesia yang beragama Islam.Artinya, orang-orang yang berketuhanan Allah Yang Maha esa dan berkemanusiaan adil dan beradab. Kita lihat imam-imam mereka yang beragitasi dengan garang di layar kaca itu kebanyakan mengenakan busana Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

12


(37)

Kalau benar mereka orang-orang Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, mengapa mereka tampil begitu sangar, mirip preman? Seolah-olah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka, Rasulullah SAW.

Kalau massa yang hanya makmum, itu masih bisa dimengerti. Mereka hanyalah mengikuti telunjuk imam-imam mereka.Tapi, masak imam-imam yang mengaku pembela Islam itu tidak mengerti misi dan ciri Islam yang rahmatan lil ’aalamiin, tidak hanya rahmatan lithaaifah makhshuushah (golongan sendiri). Masa mereka tidak tahu bahwa pemimpin agung Islam, Rasulullah SAW, adalah pemimpin yang akhlaknya paling mulia dan diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Masak mereka tidak pernah membaca, misalnya ayat “Ya ayyuhalladziina aamanuu kuunuu qawwamiina lillah syuhadaa-a bilqisthi…al-aayah” (Q. 5: 8).Artinya, “wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu penegak-penegak kebenaran karena Allah dan saksi-saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum menyeret kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa. Takwalah kepada Allah.Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan.”

Apakah mereka tidak pernah membaca kelembutan dan kelapangdadaan Nabi Muhammad SAW atau membaca firman Allah kepada beliau, “Fabimaa rahmatin minaLlahi linta lahum walau kunta fazhzhan ghaliizhal qalbi lanfaddhuu min haulika… al-aayah” (Q. 3: 159).Artinya, “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berperangai lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau kasar dan berhati kejam, niscaya mereka akan lari menjauhimu…”

Tak mengerti sungguh penulis tidak mengerti jalan pikiran atau apa yang merasuki pikiran mereka sehingga mereka tidak mampu bersikap tawaduk penuh pengayoman seperti diajarkan Rasulullah SAW di saat menang. Atau, sekadar membayangkan bagaimana seandainya mereka yang merupakan pihak minoritas (kalah) dan kelompok yang mereka hujat berlebihan itu mayoritas (menang).

Sebagai kelompok mayoritas, mereka tampak sekali -seperti kata orang Jawa tidak tepa salira. Apakah mereka mengira bahwa Allah senang dengan orang-orang yang tidak tepo saliro, tidak menenggang rasa? Yang jelas Allah, menurut Rasul-Nya, tidak akan merahmati mereka yang tidak berbelas kasihan kepada orang.


(38)

Penulis heran mengapa ada atau malah tidak sedikit orang yang sudah dianggap atau menganggap diri pemimpin bahkan pembela Islam, tapi berperilaku kasar dan pemarah. Tidak mencontoh kearifan dan kelembutan Sang Rasul, pembawa Islam itu sendiri. Mereka malah mencontoh dan menyugesti kebencian terhadap mereka yang dianggap sesat.

Apakah mereka ingin meniadakan ayat dakwah?Ataukah, mereka memahami dakwah sebagai hanya ajakan kepada mereka yang tidak sesat saja?

Di Bangkalan mayoritas memang menganut NU, tapi dalam menyelesaikan masalah seperti ini tidak harus dengan kekerasan seperti yang telah terjadi dibeberapa daerah sekitarnya. Sifat halus dan damai membuat para tokoh terkemuka disana bisa dijadikan contoh dalam menghadapi masalah yang akan datang suatu saat. Dari hasil wawancara serta pengamatan penulis disana bahwa mereka melakukan Ahmadiyah itu dengan sikap biasa saja yang sehingga pihak Ahmadiyah tersebut tidak merasa dipojokkan oleh pihak yang tidak menyukai akan agamanya yang dianggap sesat itu. Dengan demikian agama itupun akhirnya tidak diperbolehkan untuk melakukan aktifitasnya seperti yang dilakukannya setiap waktu.

Penduduk Bangkalan merupakan penduduk yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat sangat penting karena agama merupakan unsur mutlak dalam mencapai keadaan masyarakat yang aman dan nyaman serta damai dan tentram dalam membina masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan beragama di Bangkalan dapat dikatakan berjalan lancar dan baik sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan penduduk setempat mayoritas beragama Islam. Dalam menunjang pendidikan di bidang keagamaan telah diupayakan pembinaan-pembinaan berupa pengajian baik untuk anak-anak, remaja maupun orang dewasa yang diadakan musholla-musholla, masjid, ataupun majlis ta’lim yang diadakan setiap seminggu atau sebulan sekali.


(39)

Dengan demikian berharap hubungan antar umat beragama berjalan dengan baik sehingga tercipta suasana yang kondusif, terjalinnya hubungan yang harmonis antara ulama dan umaro.

4. KUA

Sejarah KUA yang ada di Bangkalan, yang penulis teliti yaitu berada di Galis yang terletak kira-kira 27 kilometer dari kota Bangkalan kea rah timur (jalan terusan Sumenep). Di sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Tanah Merah, di sebelah timur kecamatan Blega, di sebalah utara kecamatan Geger dan Konang dan di sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Modung. Tepatnya beralamat di Jl. Raya Galis no. 72 Galis Bangkalan Telp. 031 70971140 e-mail: Kuagalis@yahoo.co.id.

Kantor Urusan Agama kecamatan Galis adalah salah satu dari 18 KUA yang ada di kabupaten Bangkalan terdiri dari 21 desa yaitu:

1. Desa Pakaan Laok 2. Desa Pakaan Dajah 3. Desa Sadah

4. Desa Banjar 5. Desa Kelbung 6. Desa Tlagah

7. Desa Kranggan Timur 8. Desa Pekadan

9. Desa Daleman 10. Desa Separah 11. Desa Bangpendah 12. Desa Tellok


(40)

13. Desa Kajuanak 14. Desa Galis 15. Desa Longkek 16. Desa Lantek Timur 17. Desa Lantek Barat 18. Desa Paterongan

Dengan jumlah penduduk total 57.225 orang. Sebagian mata pencaharian penduduk adalah bertani dan sebagian yang lain berdagang dan merantau.

Pegawai KUA Galis terdiri dari: Kepala : Drs. H. M. Hasan B Penghulu : Achmad Syakiri, S.Ag Sukwan : Bahruddin

Abd. Fattah13

Penulis mengambil pembahasan ini karena dalam pembahasan ini jarang yang mengetahui bagaimana kondisi sosialnya di daerah-daerah khususnya di Kabupaten Bangkalan. Dari hasil penelitian yang penulis dapat bahwa KUA di Kabupaten Bangkalan ini di setiap daerah pasti ada kantor KUA sehingga bisa memudahkan bagi penduduk Bangkalan itu sendiri dalam melaksanakan pernikahannya. Bahkan setiap tahunnya bisa mencapai ribuan dalam melakukan acara pernikahan dengan bantuan dari KUA itu sendiri. Di Bangkalan itu sendiri sudah menjadi tradisi setiap tahunnya bahkan di setiap bulan haji itu mereka selalu mengadakan acara pernikahan anak mereka karena bulan haji itu mereka menganggap bulan yang berkah, sebenarnya mereka juga tahu bahwa bulan-bulan yang lainnya itu adalah bulan yang baik tapi mereka lebih menganggap bulan haji itu adalah bulan yang memiliki berkah tersendiri karena bulan itu bulan yang banyak para Kyai berangkat ke Tanah Suci jadi mereka

13


(41)

berharap bisa mendapatkan keberkahan dalam pernikahan putra-putri mereka,dengan didatangkan para Kyai tersebut. Itu mereka lakukan karena sifat kereligiusannya yang begitu lekat pada diri mereka.Oleh karena itu KUA di Kabupaten Bangkalan begitu penting bagi penduduk disana.


(42)

BAB III

BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MUHAMMAD CHOLIL BANGKALAN

A.Sejarah Hidup 1. Kelahiran

Kyai Cholil Bangkalan lahir pada Selasa, 11 Jumadil Akhir 1225 H, bertepatan dengan tahun 1835 M. Kedua orang tuanya sangat gembira akan kelahiran anaknya tersebut, terutama sang ayah, KH. Abdul Lathif, di dalam jiwanya membahana dalam dan amat bersyukur. Lantunan pujian dipanjatkan kepada Allah SWT, sebagai rasa syukur atas anugerah yang didapat hari itu.

Bayi tersebut sangat diharapkan kehadirannya, memang hal ini sudah lama dirindukan. Terbayang dalam benak KH. Abdul Lathif akan jejak leluhur nenek moyangna. Nenek moyang yang sangat berkhidmat kepada Islam ditanah Jawa, yaitu Kanjeng Sunan Gunung Jati. Sang ayah sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin uamt sebagaimana nenek moyangnya, yaitu Sunan Gunung Jati. Maka sesuai dengan ajaran Islam, KH. Abdul Lathif meng-adzani telinga kanan bayi yang baru lahir itu dan mengiqomahi telinga kiri mengikuti sunnah Rasul. Sang ayah memohon kepada Allah SWT. Agar sang

Pencipta mengabulkan permintaannya tersebut. Do’a demi do’a selalu dipanjatkan setiap hari

mengikuti perkembangan hidup sang bayi. Bayi yang diaqiqohi, bayi yang baru lahir itu kemudian diberi nama Muhammad Cholil. Ketika Cholil dilahirkan, Kyai Abdul Lathif tinggal di kampong senenan, Desa Kemayoran, Kec.Bangkalan. Pada saat itu, Kyai Abdul

Lathif sudah menjadi Ulama’ besar dan terkenal di Bangkalan. Menurut riwayat, leluhur Kyai

Abdul Lathif yaitu dari jalur Kyai Asror Karomah, lahir bibit-bibit unggul beberapa Ulama’ dilingkungan Madura.Dalam lingkunganke ulamaan inilah Cholil hidup dan dibesarkan.

30 33


(43)

Sementara itu, ada cerita lain yang menyebutkan bahwa Kyai Abdul Lathif adalah seorang

Da’I keliling. Beliau menjalani kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal keduniaan. Apalagi sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (Ibu Nyai Maryam), sejak saat itu beliau lebih aktif berdakwah ke kampung-kampung, beliau pun jarang pulang ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri.1

Pada suatu hari, setelah beberapa tahun Kyai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan membawa seorang anak laki-laki sekitar umur tujuh tahun. Kyai

Abdul Lathif berkata pada Nyai Maryam, “ Wahai Maryam, aku telah menikah lagi dan ini adalah adikmu. Kutingalkan dia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku mendidikmu

“.Setelah itu Kyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana biasa.Tidak ada yang tahu kapan

persisnya Kyai Cholil dilahirkan.Sebagian sesepuh keturunan Syaikh Cholil ada yang memperkirakan bahwa Syaikh Cholil lahir pada 1252. Atau sekitar tahun 1835 M.

Cerita ini mengingatkan kita pada cerita Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau harus

meninggalkan Isma’il, putra beliau yang masih bayi di sebuah lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus pergi jauh ke Palestina untuk menjalankan tugas dakwah. Siapa yang tidak sedih menyimak cerita ini, seorang ayah yang bersabar meninggalkan anaknya yang masih kecil, padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan bercanda dengan anak seusia Cholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai Maryam, sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah yang mulai senja, ingin Nyai Maryam merawat sang ayah karena mestinya sang ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar bahwa keluarga mereka adalah keluarga pengabdi pada agama,

1

Wawancara pribadi dengan Bapak H. Ikhsan Fadhil ( Selaku Sekretaris Umum Pondok Pesantren Syaikhona Muhammad Kholil Demangan Barat Bangkalan) pada tanggal 28 September 2010


(44)

tidak ada istirahat untuk berdakwah sampai ajal pun tiba.Istirahat mereka adalah di peraduan abadi bersama para leluhur mereka.

Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu Kyai Abdul lathif tidak pernah Pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir beliau melihat Nyai Maryam dan putra sulungnya.2

2. Masa Kecil

Penulis kesulitan untuk menuliskan bagaimana masa kecil Kyai cholil karena hampir bisa dikatakan tidak ada satupun penulis temui data yang meriwayatkan masa tersebut. Minimnya data ini sebenarnya bukan sekedar persoalan sangat aneh, melainkan sangat disayangkan karena penulis menemui banyak data ataupun masih ada beberapa data yang meriwayatkan masa kecilnya para muridnya, seperti masa kecil KH. Hasyim Asy’ari.

Penulis semula melihat ada kemungkinan karena ini berkaitan dengan zamannya. Akan tetapi, jika hal tersebut dijadikan patokan, maka itu sangat tidak masuk akal karena penulisan Biografi Syaikh Nawawi Bantani menurut penulis cukup lengkap. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa kita selama ini kurang memperhatikan dan kurang memiliki kepedulian terhadap Kyai Cholil sehingga tidak merawat baik tradisi oral dan membentuk sebuah penulisan biografinya secara komplit.

Dari sinilah, penulis akhirnya menuliskan masa kecilnya Kyai Cholil dengan data seadanya. Masa kecilnya dilalui seperti halnya anak kecil pada umumnya, suka bermain. Akan tetapi, karena orang tuanya yang begitu menyayanginya dan berharap besar pada anak tersebut, memberikan pendidikan yang sangat ketat sejak kecil. Jadi selain berdo’a tiap hari, sejak kecil Kyai Cholil sudah di didik oleh kedua orang tuanya tentang ajaran Islam.

2


(45)

Nyai Maryam bersama sang suami, Kyai Kaffal mulai merawat dan mendidik Cholil kecil, mengaji membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Cholil kecil, Kyai Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah Pesantren agar Cholil kecil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka, mereka pun memilih Pesantren Bunga, Gresik yang diasuh oleh Kyai Sholeh.3

3. Silsilah

Kyai Muhammad Cholil Bangkalan masih keturunan Sunan Gunung Jati, salah seorang Wali Songo di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Barat, tempat Sunan Gunung Jati mendapat tugas syiar Islam. Di bawah ini adalah silsilah Kyai Cholil menurut catatan resmi KH. R.

As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo Asembagus Situbondo.4

1. Sunan Gunung Jati

2. Sayyid Sulaeman Mojoagung (cucu Sunan Gunung Jati) 3. Kyai Abdullah

4. Kyai Asror Karomah 5. Kyai Muharrom 6. Kyai Abdul Karim 7. Kyai Hamim 8. Kyai Abdul Lathif

9. Kyai Muhammad Cholil Bangkalan

Bahkan jika ditelaah lebih jauh, silsilah Kyai Cholil akan bersambung pada Rasulullah, Muhammad SAW. Menurut catatan KH. Abdullah Sachal, silsilahnya adalah sebagai berikut:

3

Wawancara pribadi dengan Bapak H. Ikhsan Fadhil

4

Ibnu Assayuti Arrifa’I, Korelasi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan dan NU;


(46)

1. Sayyidina Fathimah az-Zahro binti Rasulullah SAW 2. Sayyidina Husain bin Fatimah, wafat di Karbala 3. Sayyidina Ali Zainal Abidin, wafat di Madinah 4. Sayyidina Muhammad Baqir, wafat di Madinah 5. Sayyidina Ja’far Shodiq, wafat di Madinah 6. Sayyidina Ali al-Uraidi, wafat di Madinah 7. Sayyidina Muhammad Tsaqib, wafat di Basroh 8. Sayyidina Isa, wafat di Basroh

9. Sayyidina Ahmad Muhajir, wafat di Sahab 10. Sayyidina Abdullah, wafat di al-Ardibur 11. Sayyidina Alwi, wafat di Sahal

12. Sayyidina Muhammad, wafat di Bait Khabir 13. Sayyidina Alwi, wafat di Bait Khabir

14. Sayyidina Ali Kholil Qosim, wafat di Tarim Hadramaut 15. Sayyidina Muhammad Shahib Mirbad, wafat di Dhifar 16. Sayyidina Ali, wafat di Tarim Hadramaut

17. Sayyidina Abdul Malik, wafat di Hindustan

18. Sayyidina Abdullah Adhimah Khan, wafat di Hindustan 19. Sayyidina Ahmad Syah Jalal, wafat di Hindustan 20. Maulana Jamaluddin Akbar, wafat di Bukis 21. Maulana Ali Nuruddin

22. Maulana Umdaduddin Abdullah, wafat di China 23. Syarif Hidayatullah, wafat di Gunung Jati, Cirebon 24. Sayyid Sulaeman, wafat di Mojoagung Jombang 25. Kyai Abdullah


(47)

26. Kyai Asror 27. Kyai Hamim 28. Kyai Abdul Lathif

29. Kyai Muhammad Cholil Bangkalan5

Sekali lagi kita disuguhi data sejarah, terutama berkaitan dengan penulisan biografi seorang tokoh selalu dikaitkan dengan tokoh yang lebih besar, dan lebih besar lagi. Kevalidan data seperti ini memang sering kali diragukan oleh banyak kalangan intelektual ataupun sejarawan.

Akan tetapi, apakah kita tidak bisa membacanya secara lebih arif? Pertama, karena data ini tentunya lebih bekaitan dengan penggunaan data sejarah oral, mulut ke mulut, atau tutur ke tutur yang sudah menjadi tradisi dari masyarakat tersebut dan di dalam ajaran Islam, seperti dalam penggunaan hadits, yang mungkin di Pulau Jawa hal ini kurang ketat karena kurang pengorganisasian dan ideologinya, sementara di Islam hal ini dijaga secara ketat. Kedua, intelektual dan sejarawan hanya meragukan, tetapi tidak melakukan pendekatan dengan empati. Jadi, jika sebuah data itu dianggap meragukan, maka langsung diberi garis pemisah sebagai hal yang tidak ilmiah, bukan sebagai sebuah kemungkinan kebenaran.

Hal itu perlu dicermati karena jika kita melihat pola masyarakat tempo dulu, kebanyakan adalah bersifat patriaki, yaitu kebanyakan laki-laki memiliki lebih dari satu istri, dan mungkin bisa lebih jika laki-laki tersebut adalah seorang tokoh, semisal raja, yaitu bukan hanya memiliki permaisuri dan selir-selir yang sah, terkadang ia juga mengambil istri dari kalangan petani ataupun buruh walaupun kemungkinan tidak diperhatikan nasibnya. Maka, tidak berlebihan jika banyak orang Jawa di Pedesaan dalam sebuah keluarga sering membuat

5

Saifur Rahman, Biografi dan Karamah Kyai Kholil Bangkalan: Surat Kepada Anjing Hitam,


(48)

silsilah yang kemudian menghubungkan diri mereka pada suatu tokoh tertentu, entah itu Wali, Sunan, ataupun seorang prajurit sebuah kerajaan. Ini berkaitan pula dengan banyak nama desa yang sama di Pulau Jawa, seperti nama Desa Purworejo, Desa Pati, dan lain sebagainya.

Sementara itu, ada data lain yang sedikit memiliki perbedaan mengenai persoaln silsilah. Akan tetapi, perbedaan ini lebih pada konteks keturunan yang berada di Bangkalan, Madura. Penulis hanya memberikan data lain. Data-data tersebut adalah sebagai berikut;

Di Desa Langgundih, Keramat, Bangkalan ada seorang Kyai bergelar Sayyid bernama Asror bin Abdullah bin Ali Al-Akbar bin Sulaiman Basyaiban. Ibu Sayyid Sulaiman adalah Syarifah Khadijah binti Hasanuddin bin Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau dikenal

dengan “ Kyai Asror Keramat “, dinisbatkan pada kampung beliau. Kemudian, oleh sebagian

orang diubah menjadi “ Asror Keramat “, mungkin dalam rangka mengarabkan kata „ Keramat „. Beliau menurunkan ulama-ulama besar Madura dan Jawa. Kyai Asror memiliki putra dan putri. Di antara mereka adalah Kyai Khotim, ayah dari Kyai Nur Hasan, pendiri Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Di antara mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini belum diketahui nama aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari mereka dinikahkan dengan Kyai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan).6

Melalui Kyai Abbas, Kyai Asror memiliki cucu bernama Kyai Kaffal dan melalui Kyai Hamim beliau memiliki cucu bernama Kyai Abdul Lathif. Kyai abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah.Kemudian, Nyai Maryam dinikahkan dengan Kyai

Kaffal dan Nyai Sa’diyah dinikahkan dengan seorang Kyai dari Socah, Bangkalan.

6


(49)

Sementara itu, KH. Ali bin Badri Azmatkhan, salah seorang keluarga Kyai Cholil Bangkalan memberikan versi lain dalam silsilah, yang hal itu tertuang dalam bukunya berjudul dari Kanjeng Sunan Sampai Romo Kyai Syaikhona Muhammad Cholil Bangkalan. Dalam tulisan tersebut, KH. Ali bin Badri Azmatkhan menyebutkan bahwa silsilah Kyai Cholil merupakan pertemuan beberapa Sunan, yaitu Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, yang silsilah itu dikaitkan dengan penggunaan marga Azmatkhan.7

B. Karir Pendidikan

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa karena saking cintanya sang ayah kepada anaknya, Kyai Cholil maka sejak kecil anak tersebut dididik secara ketat. Pendidikan pertama kali yang diberikan ayahnya berkaitan dengan persoalan ajaran Islam, terutama bagaimana Islam mengatur kehidupan sehari-hari manusia. Hal ini tentu berkaitan dengan ajaran kemanusiaan, moral, dan budi pekerti.

Setelah bertambah usianya dan menginjak remaja, Kyai Cholil sudah menunjukkan minat dan bakat istimewa terhadap ilmu dan agama. Kehausan akan ilmu agama, terutama ilmu fiqih dan ilmu nahwu (tata bahasa Arab) sangat luar biasa. Kyai Cholil sangat mencintai pelajaran ini pada masa itu, terutama ilmu tata bahasa Arab. Jadi dengan mudahnya beliau menghafal kitab Alfiyah, sebuah kitab ilmu nahwu yang bernadzam 1000 bait karangan Ibnu Malik. Seorang santri belum dikatakan dapat menguasai tata bahasa Arab jika belum dapat memahami kitab Alfiyah Ibnu Malik ini. Kyai Cholil tidak hanya menguasai, tetapi juga menghafal 1000 bait itu. Oleh karenanya, dalam masyarakat tersebar persepsi terhadap Pesantren Kyai Cholil yang identik dengan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Beliau mempunyai tradisi yang sangat unik, yaitu semua santri yang dibinanya tidak diperbolehkan pulang

7


(50)

meninggalkan pesantrennya sebelum teruji menghafal 1000 bait nadzam itu. Dengan metode mengajar yang unik, ternyata hamper semua santri Kyai Cholil sangat ahli dalam membaca kitab kuning atau kitab gundul.Sistem inilah yang hingga kini dijadikan sebagian besar pesantren-pesantren salaf di Indonesia. Kyai Cholil memang memiliki kegandrungan mendalam akan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Beliau menulis sendiri kitab Alfiyah Ibnu Malik, kemudian berdasarkan kitab itulah diajarkan kepada seluruh murid-muridnya. Dan dalam setiap dakwahnya maupun dalam hal menerima pengaduan permasalahan selalu dikaitkan dengan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Jika seseorang menanyakan persoalan tentang akidah, maka Kyai Cholil akan menjawab dengan bait-bait Alfiyah. Demikian juga jika seseorang bertanya tentang fiqih ataupun tasawuf, maka akan dijawab dengan bait-bait Alfiyah. Bahkan pernah terjadi suatu ketika Kyai Cholil bersama para Kyai dalam suatu majelis undangan, Kyai Cholil memakan hidangan langsung dengan memakai tangannya tidak dengan sendok lantas Kyai Cholil pun menuai kritik dari orang lain, kontan saja dengan senyuman dan jawaban yang terlontar, tak lain dikutip dari salah satu bait-bait Alfiyah Ibnu Malik pula.8

Sementara itu, ada cerita lain yang menunjukkan bahwa sejak kecil Kyai Cholil diasuh oleh kakak tiri dan kakak iparnya, beda ibu satu ayah. Dalam data tersebut, disebutkan bahwasannya Kyai Cholil pertama kali belajar Pesantren di Gresik. Beliau mengenyam 2 masa pendidikan; yaitu pertama dihabiskan hari-harinya di pendidikan Pesantren, dan kedua pendidikan dilanjutkan di Makkah.

1. Mengenyam Pendidikan di Pesantren Madura dan Pulau Jawa

Kyai Abdul Lathif sadar akan bakat ilmu agama dan ilmu itu pengetahuan yang luar biasa dari anaknya. Sudah menjadi tradisi dalam dunia pesantren, pandangan seorang Kyai

8


(51)

kebanyakan menginginkan anaknya melakukan penjelajahan dan pengembaraan serta menuntut pengetahuan ke pesantren lainnya walaupun sebenarnya mereka mampu mendidik anaknya di rumahnya atau pesantren miliknya.

Maka Cholil remaja pun segera dikirim ke pesantren di sekitar Bangkalan. Belum ada data yang pasti tentang nama pesantren, nama Kyai yang mengajar, dan waktu beliau belajar pada masa itu. Data yang ada hanya menyebutkan bahwasannya pada proses belajar di pesantren Bangkalan ini Cholil belajar berbagai kitab kuning seperti kitab tauhid, fiqih, nahwu dan shorof. Setelah beberapa lama belajar di pesantren Bangkalan, dan dirasa cukup, Cholil remaja melanjutkan belajarnya di Pulau seberang, yaitu Pulau Jawa. Perantauannya ke Pulau Jawa ini dimulai sekitar tahun 1850-an.9

Ada beberapa pesantren yang dijadikan tempat belajar oleh beliau, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Pesantren Langitan Tuban Jawa Timur dengan pendiri dan pengasuhnya Kyai Muhammad Noer

2. Pesantren Cangaan Bangil Jawa Timur dengan pendiri dan pengasuhnya Kyai Asyik 3. Pesantren Darussalam Kebon Candi Pasuruan dengan pengasuh dan pendirinya Kyai

Arif

4. Pesantren Sidogiri Pasuruan dengan pengasuh dan pendirinya Kyai Nur Hasan.10

Selama di Kebon Candi, Cholil juga belajar pada Kyai Nur Hasan, yang masih terhitung familinya. Jarak antara Kebon Candi dan Sidogiri sekitar 7 kilometer. Ia melakukan perjalanan tersebut dengan jalan kaki setiap harinya. Itu semua dilakoninya hanya untuk

9

Wawancara pribadi dengan Bapak H. Ikhsan Fadhil

10


(1)

74

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

Tak terlepas dari itu semua, Kyai Cholil Bangkalan seorang yang lahir pada Selasa, 11 Jumadil Akhir 1225 H, adalah sosok inspiratory terlahirnya ulama-ulama besar dan kharismatik di Nusantara ini.

Beliau Kyai Cholil kita kenal dengan kezuhudannya, lakunya yang prihatin dan pola hidup sederhana, dimana pola hidup yang demikian sangat penting kita terapkan di zaman seperti ini.Zaman ketika konsep materialisme dan kapitalisme telah merasuk bukan hanya di kota-kota besar, melainkan juga di desa-desa.

Sikap zuhud dan perilaku prihatin cukup menarik untuk dikembangkan di tengah kondisi perekonomian Negara dan dunia yang tidak stabil saat ini.Kyai Cholil mencontohkan kita untuk makan secara wajar, tidak perlu mewah dan memanjakan.Makan seadanya asal sehat, begitulah seharusnya kita merasa diingatkan oleh Kyai Cholil asal Bangkalan ini. Beliau tiada lain adalah guru dari para pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Walaupun kita tidak banyak menjumpai tulisan dari Kyai Cholil layaknya peninggalan catatn tertulis, seperti para Kyai lain atau muridnya yang banyak menulis kitab, sehingga kita sangat sulit menelusuri jejak perjuangan beliau. Minimnya tulisan yang beliau tinggalkan itu bisa jadi karena keterbatasan waktu beliau yang lebih banyak dicurahkan untuk memikirkan kemaslahatan umat. Beliau lebih suka menulis di atas tanah daripada menulis di atas kertas.

Perjuangan beliau juga bisa dilihat dalam kiprahnya dalam membidani berdirinya organisasi santri tradisional NU. Walaupun Kyai Cholil tidak termasuk pengurus, bahkan tidak dimasukkan dalam tim penasehat organisasi tersebut, tetapi semua tokoh NU mengetahui besarnya sumbangsih Kyai Cholil atas berdirinya NU. Bisa jadi, ia memang

89 74


(2)

75

sengaja tidak mau dimasukkan dalam kepengurusan NU, dan memilih perjuangan dan kerja lainnya, selain memberi wadah para Kyai untuk berjuang pada wilayah organisasi pergerakan atau perjuangan politik.

Latar belakang sejarah berdirinya NU tidak mudah. Untuk mendirikannya, para ulama meminta izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Permohonan petunjuk yang diprakarsai oleh Kyai Hasyim Asy’ari rupanya tidak datang langsung kepada beliau. Akan tetapi petunjuk datang melalui Kyai Cholil, sang guru. Jadi, kedudukan Kyai Cholil didalam perjalanan sejarah proses berdirinya NU adalah sebagai inspirator. Syaikhona Cholil Bangkalan yang bersahaja.Betapa istiqomahnya beliau dalam menuntun umat, menggembleng santri hingga keberkahan ilmunya kita rasakan hingga masa sekarang. Kebesaran NU tak luput dari peran utamanya, karena beliau lah sang guru dari para pendiri dan ilustrator berdirinya Jam’iyyah terbesar di dunia.

Sebagaimana diketahui bersama, organisasi NU adalah organisasi para ulama, Kyai dan santri yang berada di kalangan orang kecil pedesaan, para petani dan buruh. Organisasi ini juga melakukan advokasi pendidikan kepada kalangan masyarakat pedesaan, membela kepentingan masyarakat bawah akan kehidupan sosial dan budayanya, dan organisasi ini juga memberikan sumbangsih perjuangan melawan penjajah.

Karakteristik kepemimpinan KH. Muhammad Cholil yang kharismatik mampu mewarnai perkembangan agama islam di Bangkalan, sehingga ia dikategorikan sebagai ulama yang sangat sukses pada zamannya, dan mampu mencetak ulama-ulama besar di bumi Indonesia, hal ini karena ia memiliki keilmuan yang luas serta mempunyai sikap dan sifat yang mulia di samping ada factor yang lain yang menopang keberhasilannya sehingga menjadi panutan para santri khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dengan kebesaran NU ini, diharapkan sosok Syaikhona Cholil dapat tergambar dengan jelas, yang akhirnya kita sekalian akan berupaya mengikuti jejak dan perjuangan luhurnya.


(3)

76

B. Saran

Untuk menutup penulisan skripsi ini, penulis akan membicarakan tentang suatu hal yang selama ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat pesantren berhubungan dengan status Ahlulbayt.

Selama ini, Ahlulbayt selalu diidentikkan dengan jamaah Habib yang baru datang dari Arab.Padahal, tidak sedikit dari masyarakat pesantren itu yang tahu dan meyakini nasab Kyai semisal Syeikh Cholil.Penulis rasa, hal ini akibat dari tertutupnya para Kyai selama ini untuk membicarakan soal nasab.

Apapun alasannya, semua itu kembali kepada kepada para Kyai, baik untuk mereka, manfaat untuk mereka, dan pahala untuk mereka.Semoga kita semua, siapapun kita, dapat menikmati cinta kepada Rasulullah dan cinta kepada Ahlulbayt.Dan kita semua, siapapun kita, berlindung kepada Allah SWT dari rasa tidak simpati kepada Ahlulbayt.

Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kehadirat Rasulullah, semua Ahlulbayt dan sahabat beliau. Saran dari penulis yaitu marilah kita jaga nama baik sejarah para leluhur kita agar bisa diketahui oleh para penerus kita yang akan datang. Semoga kita selalu diindungi oleh-Nya. Aamin


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Glasse, Cyril, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000

Hubsky, Badruddin, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, Gema Insani Press,

Jakarta: Gema Insani Press, 1995, cet. I

Al-Badri, Aziz, Abdul, Peran Ulama dan Penguasa, Penterjemah: Salim Muhammad

Wahid, cet. Ke-2, Solo Indonesia: Pustaka Mantiq, 1987

Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Sekolah, cet. I, Bandung:

Sinar Baru Grasindo, T.t

Al-Tirmidzi, Al-Imam dan Sutarmadi, H Ahmad, Peranannya dalam Pengembangan

Hadits dan Fiqh, cet I, Jakarta: Logos, 1998

Azra, Azyumardi,

Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, cet I, Jakarta:

Logos Wacana Ilmu, 1998

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003

Hasil Dari Data Statistik Kabupaten Bangkalan

Harun Handiwijoyo, Kebatinan Islam Abad XIV, (Jakarta: Gunung Agung, 1985)

Bakhri, Syaiful, Mokh,

Syaikhona Kholil Bangkalan; Ulama Legendaris dari

Madura, cet I, Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, September, 2006


(5)

Ma’sum, Saifullah,

Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung:

Mizan, 1998

www.google.com

http://azmatkhanalhusaini.com

Arrifa’I, Ibnu Assayuti,

Korelasi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan dan NU;

Mengenang dan Menghayati Perjuangan Sang Inspirator, cet I, al-Haula Press,

T.t: Juni, 2010

Onong Uchjana Efendi, Kepemimpinan dan Komunikasi, (Bandung: CV Masdar Maju, 1992)

Rahman, Saifur, Biografi dan Karamah Kyai Kholil Bangkalan; Surat Kepada Anjing

Hitam, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999

Azmatkhan, Badri, bin KH Ali,

Dari Kanjeng Sunan Sampai Romo Kiai; Syaikhona

Muhammad Kholil Bangkalan, Telaah Sejarah dan Riwayat Hidup, cet I,

Penerbit: IKAZI ( Ikatan Keluarga Azmatkhan Indonesia), Maret, 2007

www.pondokpesantren.com

Amin, Bachri, Moch, Tesis:

Kepemimpinan KH. Moch. Kholil dalam Sistem

Pendidikan (Study Histories tentang Pola Pendidikan Santri Pondok Pesantren

Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura, Jawa Timur), Pascasarjana IAIN Sunan

Ampel Surabaya.


(6)

Hasil Wawancara:

1.

Wawancara pribadi dengan Bapak H. M. Thoyyib Fawwaz Muslim, S.Pdi,

Selaku Jubir KH. Fachrillah Aschal (Pengasuh Pondok Pesantren Syaikhona

Muhammad Kholil Demangan Barat Bangkalan) dan Selaku Wakil Sekretariat

I PCNU Bangkalan tahun 2007- sampai sekarang.

2.

Wawancara pribadi dengan Bapak H. Ikhsan Fadhil, Selaku Sekretaris Umum

Pondok Pesantren Syaikhona Muhammad Kholil Demangan Barat Bangkalan.

3.

Wawancara pribadi dengan Bapak Abdullah AS, Selaku Warga Masyarakat

Bangkalan.

4.

Wawancara dengan Bapak Muhammad Amin, Selaku Bendahara PDM

Kabupaten Bangkalan periode 1995-2000.