Makalah Etika Birokrasi Dalam Pelayanan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat
sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan
untuk dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan
pelayanan tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat
memenuhinya. Hal ini dikarenakan pemusatan segala urusan publik hanya kepada
negara dan urusan pelayanan publik yang demikian kompleks mustahil dapat
diurus secara menyeluruh oleh institusi negara (sentralisasi). Oleh karena itulah
kemudian dicetuskan ide desentralisasi, yang mencoba menggugat kelemahan
yang ada pada diskursus sentralisasi tersebut.
Kerangka desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah untuk
melaksanakan pemerintahan sendiri selain dipandang positif dari sisi efektifitas
manajemen pemerintahan, pelaksanaan desentralisasi juga dipandang sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi yang memungkinkan setiap warga negara untuk
menentukan sendiri nasib dan mengapresiasikan keinginannya secara bebas
(Setiyono, 2004: 205). Mengingat tujuan kebijakan desentralisasi sendiri yaitu
untuk menciptakan suatu sistem pembagian kekuasaan antar daerah yang mapan
dimana pemerintah pusat dapat meningkatkan kapasitas, memperoleh dukungan
masyarakat, dan mengawasi pembagian sumber daya dengan adil. Desentralisasi

yang juga merupakan bentuk pelaksanaan dari demokrasi lokal dengan
memanfaatkan keefektifitasan pemerintah daerah pada akhirnya juga diharapkan
dapat mendorong pemerintah daerah agar lebih bertanggung jawab dalam
mengelola dan memberikan pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah.
Namun konsep desentralisasi yang sampai saat ini masih berjalan justru
membuka kesempatan untuk melahirkan “raja-raja kecil” daerah. Sebagai
akibatnya, ide desentralisasi itu tidak lantas memperbaiki kinerja daerah dalam
mengelola

urusan

publiknya,

justru

malah

cenderung mengabaikannya.

Penyelenggaraan urusan publik yang berpindah dari pusat ke daerah juga


1

memberikan kesempatan terjadinya praktek korupsi di daerah. Ini terlihat dari
banyaknya pejabat daerah baik di birokrasi maupun di non birokrasi (lembaga
legislatif) yang terlibat kasus hukum, politisasi birokrasi merajalela, serta
pelayanan di daerah menjadi lahan rebutan antar daerah sehingga pungutan
menjadi berlapis-lapis untuk satu produk barang. Kinerja birokrasi yang masih
kurang baik inilah yang kemudian dinilai sebagai kegagalan dalam semangat
desentralisasi.
Data yang disampaikan oleh Ease Of Doing Business (2011) sebagaimana
yang dikutip dari Bappenas (2011) menyatakan bahwa posisi Indonesia dalam
Kemudahan Melakukan Bisnis pada tahun 2011 menurun dibandingkan tahun
2010. Selama setahun terakhir, Indonesia telah melakukan tiga reformasi positif
di tiga kriteria, yaitu pendirian usaha (pengurangan biaya dan waktu pembuatan
akte pendirian usaha), pengurangan tarif pajak penghasilan serta pengurangan
waktu ekspor dengan NSW. Tetapi indonesia masih buruk dalam pelaksanaan
kontrak (dari segi jumlah prosedur, waktu serta biaya). Secara umum kemudahan
usaha di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata (masih di bawah Vietnam).
Lain halnya dengan data yang disampaikan oleh Global Competitiveness

Index (2011) sebagaimana yang telah dikutip Bappenas (2011), menyatakan
bahwa pada publikasi terbaru tahun 2011-2012, peringkat Indonesia untuk indeks
daya saing global adalah peringkat 44 (score 4,38) dari 142 negara yang disurvei.
Posisi Indonesia tersebut turun 2 peringkat dibanding periode sebelumnya yaitu
peringkat 46 (score 4,43) dari 139 negara. Berdasarkan GCI 2011-2012, Indonesia
masih kurang kompetitif dibanding negara-negara Asia Tenggara yang lain,
seperti: Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand walaupun berada
diatas Vietnam dan Filipina. Daya saing Indonesia yang rendah disebabkan oleh
banyak faktor antara lain infrastruktur yang rusak, inefisiensi birokrasi, korupsi,
ketidakpastian hukum. Inefisiensi birokrasi antara lain ditandai oleh pelayanan
publik yang berbelit-belit, memerlukan prosedur yang panjang, waktu yang lama
serta biaya yang tidak jelas.
Dari gambaran di atas dapat kita ketahui bahwa kinerja birokrasi Indonesia
memang masih mengecewakan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto,

2

dkk bahkan dijelaskan nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas
kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi kita
juga masih sangat rendah. Bahkan sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto dkk,

menurut The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks
competitiveness birokrasi kita berada pada urutan terendah dari segi kualitas
pelayanan publik dibandingkan dengan 100 negara lain di dunia. Hal ini terbukti
dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa dari segi orientasi pelayanan
birokrasi, kita masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaga
untuk menjalankan tugas melayani rakyat. Hampir 40% birokrat yang menjadi
responden dalam penelitian itu menyatakan bahwa mereka memiliki pekerjaan
lain di luar pekerjaaannya sebagai aparatur negara. Kondisi ini otomatis
mengurangi konsentrasi mereka dalam bekerja sehingga tidak fokus mengerjakan
tugas-tugasnya (Setiyono, 2004: 131). Hal ini tentu saja menambah daftar panjang
buruknya birokrasi (selain prosedur birokrasi yang berbelit-belit, lama, kurang
peka terhadap tuntutan masyarakat, dll.) di negeri ini yang membuat masyarakat
juga semakin tidak percaya kepada kinerja aparat untuk dapat memenuhi tuntutantuntutan publik tersebut.
Menarik untuk diketahui, pada Hari Air Sedunia yang diadakan di alunalun Kabupaten Pacitan, Jawa Timur beberapa waktu yang lalu, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyatakan kegeramannya terhadap kebiasaan para pejabat
dan instansinya yang sering melakukan pemborosan. Akibatnya negara terbebani
oleh pembiayaan yang meliputi kerja tidak produktif aparat hingga Rp 7 triliun
per bulannya. Hal ini menambah daftar panjang dari kinerja birokrasi yang buruk
dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem birokrasi di Indonesia.


B. Rumusan Masalah
Selama ini, terjadinya kesan negatif dan krisis kepercayaan terhadap
pemerintah (birokrasi) diakibatkan karena birokrasi selama ini tidak bisa
merespon keinginan warga masyarakat. Kultur birokrasi yang didesain untuk
bekerja lambat, berhati-hati, dan menyelewengkan kewenangan dan jabatannya
untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun kelompoknya sudah tidak dapat

3

diterima oleh konsumen ataupun masyarakat yang memerlukan pelayanan cepat,
efisien, tepat waktu, dan akuntabel. Hal ini menambah daftar panjang mengenai
rendahnya persoalan etika birokrasi di Indonesia, mengingat pada kepemerintahan
yang bersih (clean good governance) yaitu pemerintahan yang tidak melakukan
tindakan-tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal
administration).
Di bidang administrasi negara di Indonesia khususnya, masalah etika
dalam birokrasi dan pelayanan publik menjadi keprihatinan yang sangat besar,
karena perilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat
banyak. Selain itu, birokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang
birokrat bekerja untuk negara dan berarti juga untuk rakyat. Wajarlah apabila

rakyat mengharapkan adanya jaminan bahwa para birokrat yang dibiayainya harus
mengabdi kepada kepentingan umum menurut standar etika yang selaras dengan
kedudukannya.
Dari uraian dan kenyataan di atas, maka rumusan masalah ini yakni :
1) Bagaimanakah sejarah etika pelayanan publik di Indonesia ?
2) Apakah pentingnya etika dalam pelayanan publik ?
3) Bagaimanakah etika pelayanan publik Indonesia ?
4) Apakah prinsip etika pelayanan publik menurut ASPA ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas take home
UAS dalam rangka pengembilan nilai.

4

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Etika Pelayanan Umum (Publik)
Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi,
penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga

sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan
atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh
karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian
bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk.
Pemikiran tentang etika kaitannya dengan pelayanan publik mengalami
perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994: 5051). Leys berpendapat: “bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia
menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam
pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada
kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”. Kemudian Tahun 1950-an, muncul
perkembangan pemikiran baru. Hal ini terlihat dalam karya Anderson (dalam
Keban, 1994: 51) menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam
pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah suatu point baru, bahwa
standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat
mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani.
Di tahun 1960-an, muncul lagi pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam
Keban, 1994: 51) menambah elemen baru yaitu standar etika mungkin mengalami
perubahan dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus mampu
memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku
tersebut.
Pada


permulaan

tahun

1970-an,

beberapa

tulisan

merefleksikan

kecenderungan baru, tulisan Hart (dalam Keban, 1994) mempromosikan nilainilai social equity sebagai pedoman dasar administrasi negara, dan menyarankan
teori keadilan dan rawls sebagai pedoman etika bagi masyarakat maupun
administrator sebagai individu. Kecenderungan baru juga terlihat pada tulisan

5

Henry (dalam Keban, 1994) yang menekankan tanggung jawab atau keharusan

administrator publik untuk memperhatikan aspek etika, dan tidak hanya melekat
pada aspek efesiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi. Menurut Henry,
teori rawls tentang justice al fanicres sangat bermanfaat untuk dipertimbangkan
dalam praktek administrasi negara. Dengan demikian aspek yang ditambahkan
dalam permulaan tahun 1970-an ini adalah aspek keadilan dan tanggung jawab.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat
mempengaruhi etika administrator publik, dua diantaranya adalah John Rohr dan
Terry

L.Cooper.

Rohr

(dalam

Keban,1994:

51-52)

menyarankan


agar

administrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan,
persamaan, dan kebebasan sebagai pengambilan keputusan terhadap berbagai
alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara
demikian, administrator negara dapat menjadi etis (being ethical). Namun,
menurut Cooper (dalam Keban,1994: 51) etika sangat melibatkan substantive
reasoning tentang kewajiban, konsekwensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis
(doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai
yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran
Cooper menunjukkan administrator yang etis adalah administrator yang selalu
terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia
menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.

B. Pentingnya Etika Dalam Pelayanan Publik
Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi
dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral,
bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi
kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun

1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para
administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat
ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika”
yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang
administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian

6

kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga
kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau
kepentingan umum (lihat Henry, 1995: 400).
Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah
adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh
pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung jawab” atau
responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah diharapkan secara
profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat
mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dsb. Padahal,
kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan
kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah
adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau
masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa
kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih
tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan.
Birokrat dalam hal ini tidak memiliki “independensi” dalam bertindak etis, atau
dengan kata lain, tidak ada “otonomi dalam beretika”. Alasan lain lebih berkenaan
dengan lingkungan didalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri.
Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi
(organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literature
tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar
manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota
organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap
manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya
peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan.
Alasan berikut berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang
terkadang

begitu

variatif

sehingga

membutuhkan

perlakuan

khusus.

Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip “kesesuaian antara
orang dengan pekerjaannya” merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara
etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidakadilan, dimana calon yang
dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif

lebih maju.

7

Kebijakan affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada
etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin,
tidak berdaya, dsb., untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini
merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat
pemerintah berdasarkan prinsip justice – as – fairness sesuai pendapat John Rawls
yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil
bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan
khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan
mengutamakan “putera daerah” merupakan salah satu contoh yang populer saat
ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika yang berlaku dalam pemberian pelayanan publik sangat
besar. Pelayanan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan
kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian
pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan publik
itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pemberi
pelayanan publik mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan
kepada “keleluasaan bertindak” (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering
menjerumuskan pemberi pelayanan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak
tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan
program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain
organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas)
yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan
publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis,
pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak dari
sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb. Dan
tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan
sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita. Alasan utama yang
menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan
hukum dan perundangundangan kita, sikap mental manusia, nilai-nilai sosial

8

budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latarbelakang kenegaraan,
globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan, kedewasaan dalam
berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini
masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan
moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan “beban besar” di
masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses
“pembusukan” terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.
C. Etika Pelayanan Publik Indonesia
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam
pelayanan yaitu :
1) Pelayanan dengan lisan
2) Pelayanan melalui tulisan
3) Pelayanan dengan perbuatan
Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat
selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan
tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintah.
Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah
lemahnya etika sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus
berorientasi

kepada

kepentingan

masyarakat

berdasar

asas

transparansi

(keterbukaan dan kemudahan akses bagi semua pihak) dan akuntabilitas
(pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan perundang-undangan) demi
kepentingan masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran
moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu
(pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas
kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi,
dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses

9

manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari
perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, informasi,dsb.)
yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak
akuntabel, tidak adil, dsb, sehingga tidak dapat memberikan kualitas pelayanan
yang unggul kapada masyarakat.
Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak
adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini
sudah mulai luntur oleh tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur negara.
Tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut diantaranya adalah :
1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna
jasa,

terkadang

terkesan

berbelit-belit

dan

akhirnya

para

aparatur

berkesempatan untuk mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang
menguntungkan, misalkan dapat menyelesaikan pembuatan KTP dengan
cepat, namun dengan sedikit imbalan atas usaha yang dilakukannya.
2. Aparat belum menunjukkan sikap ramah, sopan, dan santun pada pengguna
jasa. Sikap semena-mena yang ditunjukkan sebagian aparatur terkesan seperti
merajai atau menggurui, meskipun dengan orang yang lebih tua. Sikap
tersebut dikarenakan oleh derajat yang dia miliki dia rasakan sebagai derajat
yang paling tingggi, meski sebenarnya dia tahu bahwa dia merupakan pelayan
bagi masyarakat.
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya
kosong disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya „Bolos‟ kerja
yang dilakukan aparatur membuat masyarakat merasa dirugikan, tak jarang
masyarakat yang ingin meminta bantuan jasa merupakan masyarakat yang
datang dari jauh dan ternyata setelah sampai ditempat pelayanan, para pelayan
masyarakat sedang tidak ada ditempat.
4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu
tunduk dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya tidak
boleh dicampur dengan urusan pribadi agar tidak adanya kekacauan dalam
pekerjaan terhadap mayarakat. Jika pelayan masyarakat terlalu tunduk dengan

10

atasan maka tak jarang pekerjaan untuk melayani masyarakat menjadi
terbengkalai, karena dia lebih menjadi pelayan pimpinan daripada pelayan
masyarakat.
5. Aparat belum tanggap terhadap keluhan pengguna jasa.
Maka dari itu sudah seharusnya diterapkan pelayanan publik yang
profesional, pelayanan publik yang professional adalah pelayanan publik yang
dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan yaitu
aparatur pemerintah. (Widodo, 2001: 270-271). Ciri-cirinya yaitu :
1. Efektif lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan
sasaran.
2. Sederhana mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan
kepastian mengenai :


Prosedur tata cara pelayanan



Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun persyaratan administratif



Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan



Rincian biaya/tartif pelayanan dan tata cara pembayarannya



Jadwal waktu penyelesaian pelayanan

4. Keterbukaan

mengandung

arti

prosedur/tatacara

persyaratan,

satuan

kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian,
rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan
wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh
masyarakat, baik diminta maupun tidak.
5. Efisiensi mengandung arti :


Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung
dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan
keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan

11



Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

6. ketepatan waktu kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan
masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
7. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang
menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani.
8. Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan,
keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami
tumbuh kembang.
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan
sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya, yakni :
1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan
birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut
Darwin (1999) mereka akan menggunakan dana publik (public resources)
secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi
publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat
memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan
sebuah prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi,
tapi bertanyalah apa yang dapat saudara berikan kepada organisasi”.
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan supaya
birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik
pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan
hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara
orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh
organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan impersonal perlu
ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam
organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi
selayaknya mendapat penghargaan.

12

4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai,
hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai
atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan
pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan
pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang
bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawab, dan bukan “spoil system”.
5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich dalam
Darwin (1988), responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar
profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi
publik) dalam menjalankan tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan
sepak terjang administrator harus memiliki standar penilaian sendiri yang
bersifat administratif atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu,
pertanggungjawaban administratif menuntut administrator harus bertindak
berdasarkan moral. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak
membedakan client, peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam
masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga
dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan mampu
memberikan layanan publik yang baik dan profesional.
6. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu istilah
yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara
tepat dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan Herman Finner (1941)
dalam Muhadjir (1993) nilai accountable merupakan konsep yang berkenaan
dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh
birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang
bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka
dinilai objektif oleh orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat
mempertanggungjawaban segala macam perbuatan, sikap, dan sepak
terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu
berasal. Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala

13

mereka mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang
profesional dan dapat memberikan kepuasan publik).
7. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik
dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi
masyarakat. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan
berusaha untuk memenuhinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu,
memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi
mengabaikan substansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan
baik apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi
terhadap tuntutan, masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah
kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih
banyak, dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan
dan pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor
pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika
pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi,
yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang
harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait
dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan
seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk
mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini
melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut
menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang merugikan negara dan
masyarakat, misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

D. Prinsip Etika Pelayanan Menurut ASPA
Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik
yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah
direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para
anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara
lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian,

14

keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan
lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan
transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk
kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya
dirahasiakan, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action.
Adapun bentuk dari Etika administrasi negara menurut American society
for Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara),
menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut.
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan
2. Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik
secara mutlak bertanggung jawab kepadanya
3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau
peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk
memberi pelayanan publik
4. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator
publik. Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan
tidak dapat ditolerir
5. Sistem

merit

dan

kesempatan

kerja

yang

sama

harus

didukung,

diimplementasikan dan dipromosikan
6. Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat
dibenarkan
7. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy
merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus
dipromosikan
8. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif
keputusan
9. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan,
tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.
Selanjutnya asas-asas etika itu dituangkan dalam sebuah kode etika yang
memuat 5 asas etika dan 7 asas mutu yang wajib di indahkan dan dijalankan oleh

15

para anggota perhimpunan yang menjadi administrator negara, yaitu sebagai
berikut :
1. Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak pribadi,
kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar
supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap pranatapranata negara
2. Menghindari sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam
pertentangan dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban resmi
3. Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja
menurut penilaian kecakapan serta tata-acara tindakan yang tidak membedabedakan guna menjamin kesempatan yang sama pada penerimaan, pemilihan,
dan kenaikan pangkat terhadap orang-orang yang memenuhi persyaratan dari
segenap unsur masyarakat
4. Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah pengurusan
keuangan negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam
kesulitan

karena

usaha

yang

bertanggungjawab

untuk

memperbaiki

pembedaan, kecurangan, salah urus, atau salah penggunaan yang demikian
5. Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap
dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas
pelayanan terhadap diri sendiri
6. Berjuang kearah keunggulan berkeahlian perseorangan dan menganjurkan
pengembangan berkeahlian dan termasuk mereka yang berusaha memasuki
bidang administrasi negara
7. Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan suatu
sikap yang positif dan secara membangun mendukung tata hubungan yang
terbuka, daya cipta, pengabdian, dan welas asih
8. Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang
dapat diperoleh dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi
9. Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut hukum
untuk memajukan kepentingan umum atau masyarakat

16

10. Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti
perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan
menangani urusan masyarakat dengan kecakapan berkeahlian, kelayakan,
sikap tak memihak, efisiensi, dan daya guna
11. Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu berusaha untuk
menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara serikat dan negara bagian serta
hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan diantara badanbadan pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga
negara.

17

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Isu tentang etika dalam pelayanan publik di Indonesia kurang dibahas
secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah
disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia
adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang
berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur tentang
pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen
yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan
organisasi pelayanan publik itu sendiri.
Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase pelayanan publik mulai
dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan,
sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan
tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor birokrasi yang
terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut – apakah
para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas
kepentingan-kepentingan yang lain.
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah
kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih
banyak, dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan
dan pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor
pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika
pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi,
yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang
harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait
dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan
seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk
mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini
melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut

18

menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang merugikan negara dan
masyarakat, misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

B. Saran
Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada pihak-pihak
yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar pelayan
masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat. Sebagian
mungkin masih belum mengetahui bagaimana seharusnya tindakan untuk
melayani masyarakat sehinggga dia melakukan kesalahan dalam melakukan
pelayanan atas ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika kesalahan dalam
pelayanan dilakukan karena kebutaan akan bagaimana seharusnya etika yang
diterapkan kepada masyarakat. Saran selanjutnya berikanlah penghargaan jika
aparatur melakukan tindakan sesuai etika dan sebaliknya, berikanlah sanksi yang
tegas kepada pelanggar etika pelayanan apalagi yang melakukan dengan sengaja.
Diharapkan dengan adanya tindakan seperti itu para pelayan masyarakat
termotivasi untuk mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat sehingga
tindakannya dapat sesuai dengan kehendak rakyat. Akhirnya, yang teramat
penting adalah keteladanan, tidak ada orang yang dapat mencapai tingkat
kebajikan ideal, karena itu dalam etika kebajikan, yang penting adalah proses
untuk menginternalisasikannya dibandingkan dengan hasilnya.

19

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas, 2011 (Edisi III), Perkembangan Perdagangan dan Investasi, Jakarta.
Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kartasasmita, Ginandjar, 2004, Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:
Greenwood Press.

20