Pentingnya Pendidikan Agama bagi Anak Us

PENTINGNYA PENDIDIKAN AGAMA BAGI ANAK USIA DINI DALAM
TANTANGAN GLOBALISASI
Anak bukan milik kita, tetapi berupa titipan Allah Swt, yang harus dijaga, dipelihara,
dibina, dididik, dibimbing, dan diarahkan untuk menjadi sosok manusia yang bermanfaat dan
berdaya guna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Karena itu, orang tua
mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap keberhasilan anak menjadi figur
manusia yang baik dan bermartabat, di samping itu

orang tua akan diminta

pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt nanti.
Sabda Rasulullah dalam sebuah hadisnya, “ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah (bersih dan suci). Kedua orangtua yang menjadikan anak itu beragama Nasrani, Yahudi
dan Majusi”. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Hadis ini menunjukkan bahwa peran orang tua sangat penting dalam membentuk anak
memiliki karakter yang baik, sopan, agamis dan memiliki masa depan yang gemilang. Dan
betapa besar peran orang tua dalam mengatur anak-anaknya yang diimplementasikan ke
dalam bentuk bimbingan, pembinaan, dan pendidikan terhadap mereka agar tidak mudah
terjerumus ke jurang yang penuh dengan kehinaan dan terjebak dalam penyesalan yang tidak
kunjung henti.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang pentingnya pendidikan anak usia dini dalam

tantangan globalisasi, maka kita perlu mengetahui pengertian tentang anak usia dini dan
globalisasi. Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun (UndangUndang Sisdiknas tahun 2003) dan sejumlah ahli pendidikan anak memberikan batasan 0-8
tahun.
Anak usia dini didefinisikan pula sebagai kelompok anak yang berada dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan
perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya
(Mansur, 2005).
Pada masa tersebut merupakan masa emas (golden age), karena anak mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat dan tidak tergantikan pada masa
mendatang. Menurut banyak penelitian bidang neurologi ditemukan bahwa 50% kecerdasan
anak terbentuk pada kurun waktu 4 tahun pertama. Setelah usia 8 tahun, perkembangan
otaknya mencapai 80% dan pada usia 18 tahun mencapai 100% (Suyanto, 2005).
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang karakteristik anak usia dini Kartini Kartono
dalam Saring Marsudi (2006: 6) mendeskripsikan anak usia dini menjadi empat kategori.

Pertama, bersifat egoisantris naif, anak memandang dunia luar dari pandangannya sendiri,
sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannya sendiri, dibatasi oleh perasaan dan pikirannya
yang masih sempit. Maka anak belum mampu memahami arti sebenarnya dari suatu peristiwa
dan belum mampu menempatkan diri ke dalam kehidupan orang lain.
Kedua, relasi sosial yang primitif merupakan akibat dari sifat egoisantris naif. Ciri ini

ditandai oleh kehidupan anak yang belum dapat memisahkan antara dirinya dengan keadaan
lingkungan sosialnya. Anak pada masa ini hanya memiliki minat terhadap benda-benda atau
peristiwa yang sesuai dengan daya fantasinya. Anak mulai membangun dunianya dengan
khayalan dan keinginannya sendiri.
Ketiga, kesatuan jasmani dan rohani yang hampir tidak terpisahkan, anak belum dapat
membedakan antara dunia lahiriah dan batiniah. Isi lahiriah dan batiniah masih merupakan
kesatuan yang utuh. Penghayatan anak terhadap sesuatu dikeluarkan atau diekspresikan secara
bebas, spontan dan jujur baik dalam mimik, tingkah laku maupun pura-pura. Anak
mengekspresikannya secara terbuka karena itu janganlah mengajari atau membiasakan anak
untuk tidak jujur.
Keempat, sikap hidup yang fisiognomis, anak bersikap fisiognomis terhadap dunianya,
artinya secara langsung anak memberikan atribut atau sifat lahiriah atau sifat konkrit, nyata
terhadap apa yang dihayatinya. Kondisi ini disebabkan karena pemahaman anak terhadap apa
yang dihadapinya masih bersifat menyatu (totaliter) antara jasmani dan rohani. Anak belum
dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Segala sesuatu yang ada disekitarnya
dianggap memiliki jiwa yang merupakan makhluk hidup yang memiliki jasmani dan rohani
sekaligus, seperti dirinya sendiri.
Sedangkan globalisasi adalah suatu proses yang menyeluruh atau mendunia dimana
setiap orang tidak terikat oleh negara atau batas-batas wilayah, artinya setiap individu dapat
terhubung dan saling bertukar informasi dimanapun dan kapanpun melalui media elektronik

maupun cetak. Pengertian globalisasi menurut bahasa yaitu suatu proses yang mendunia.
Globalisasi dapat menjadikan suatu negara lebih kecil karena kemudahan komunikasi
antarnegara dalam berbagai bidang seperti pertukaran informasi dan perdagangan.
Terjadinya globalisasidi dunia ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti perkembangan teknologi informasi komunikasi yang berperan
untuk kemudahan dalam transaksi ekonomi antar negara, kerja sama ekonomi Internasional
yang memudahkan terjadinya kesepakatan-kesepakatan antarnegara yang terjalin dengan erat,
dan majunya ilmu pengetahuan pada teknologi transportasi yang mempermudah dalam jasa
transportasi dan pengiriman barang keluar negeri.

Setiap pengetahuan atau ilmu mempunyai dasar-dasarnya. Dasar pendidikan Islam
adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits (sunah Nabi). Di atas kedua pilar ini dibangun konsep dasar
pendidikan Islam. Menuntut ilmu adalah instruksi agama, karena ilmu merupakan salah satu
bekal manusia di alam kubur agar tidak tersiksa di alam baqa’.
Dalam pendidikan agama Islam terdapat tujuan yang ingin dicapai agar anak dapat
memberikan konstribusi untuk perkembangan ilmu agama baik untuk diri sendiri, masyarakat
maupun bangsa, yaitu mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Allah di muka bumi
dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai
dengan aturan-aturan dan kehendak Allah Swt, mengarahkan manusia agar tugas
kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt,

mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi
kekhalifahannya, membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia
memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan untuk mendukung tugas pengabdian dan
kekhalifahanya, dan mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Selain itu, pendidikan Islam mempunyai fungsi yang sangat penting untuk pembinaan
dan penyempurnaan kepribadian dan mental anak, karena pendidikan agama Islam
mempunyai dua aspek terpenting, yaitu aspek pertama yang ditujukan kepada jiwa atau
pembentukan kepribadian anak, dan kedua, yang ditujukan kepada pikiran yakni pengajaran
agama Islam itu sendiri.
Aspek pertama dari pendidikan Islam adalah yang ditujukan pada jiwa atau
pembentukan kepribadian. Artinya bahwa melalui pendidikan agama Islam ini anak diberikan
keyakinan tentang adanya Allah swt.
Aspek kedua dari pendidikan Agama Islam adalah yang ditujukan kepada aspek
pikiran (intelektualitas), yaitu pengajaran Agama Islam itu sendiri. Artinya, bahwa
kepercayaan kepada Allah swt, beserta seluruh ciptaan-Nya tidak akan sempurna manakala
isi, makna yang dikandung oleh setiap firman-Nya (ajaran-ajaran-Nya) tidak dimengerti dan
dipahami secara benar. Di sini anak tidak hanya sekedar diinformasikan tentang perintah dan
larangan, akan tetapi justru pada pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana beserta
argumentasinya yang dapat diyakini dan diterima oleh akal.

Fungsi pendidikan Agama Islam di sini dapat menjadi inspirasi dan pemberi kekuatan
mental yang akan menjadi bentuk moral yang mengawasi segala tingkah laku dan petunjuk
jalan hidupnya serta menjadi obat anti penyakit gangguan jiwa. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa fungsi pendidikan Agama Islam adalah memperkenalkan dan mendidik

anak agar meyakini ke-Esaan Allah Swt, pencipta semesta alam beserta seluruh isinya,
biasanya dimulai dengan menuntunnya mengucapkan la ilaha illallah, memperkenalkan
kepada anak apa dan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang (hukum halal dan
haram), menyuruh anak agar sejak dini dapat melaksanakan ibadah, baik ibadah yang
menyangkut hablumminallah maupun ibadah yang menyangkut hablumminannas, mendidik
anak agar mencintai Rasulullah Saw, mencintai ahlu baitnya dan cinta membaca al-Qur’an,
dan mendidik anak agar taat dan hormat kepada orang tua dan tidak merusak lingkungannya.
Selama ini kita mengenal beragam makna dan fungsi globalisasi. Pada masa ini,
seorang manusia mulai bisa belajar dari beragam cara, sumber, media, menerobos batas-batas
ruang, rumah, dan lingkungan sosial tradisional. Pendidikan tidak lagi bisa berfungsi sebagai
media tunggal pelahiran kepribadian dan penumbuhan kemampuan profesional seseorang di
tengah persaingan yang semakin sengit.
Realitas pendidikan

Islam saat ini bisa dibilang telah mengalami intellectual


deadlock. Di antara indikasinya adalah , pertama minimnya upaya pembaharuan. Kedua,
praktik pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara warisan yang lama , dan tidak banyak
melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual. Akibatnya, ilmu-ilmu
yang dipelajari adalah ilmu-ilmu klasik, sementara ilmu-ilmu modern nyaris tak tersentuh
sama seklai.
Ketiga, model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan pada pendekatan
intelektualisme-verbalistik dan menghasilkan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi
humanistik. Keempat, orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan hamba
Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim sebagai pemimpin di
bumi.
Arus global bukanlah kawan maupun lawan bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai
dinamisator bagi pendidikan Islam. Apabila pendidikan Islam mengambil posisi antiglobal,
maka pendidikan Islam akan macet dan mengalami penutupan intelektual. Sebaliknya, bila
pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya lagi identitas keislaman sebuah proses
pendidikan akan tertindas. Karenanya, pendidikan Islam menarik ulur arus global, yang sesuai
ditarik bahkan dikembangkan, sementara yang tidak sesuai diulur, dilepas atau ditinggalkan.
Mastuhu berpendapat bahwa menutup diri atau bersifat eksklusif akan ketinggalan zaman,
sedangkan membuka diri beresiko kehilangan jati diri atau kepribadian (Mastuhu, 2003:126).
Globalisasi, langsung atau tidak, dapat membawa paradoks bagi praktik pendidikan

Islam, seperti terjadinya kontra-moralitas antara apa yang diidealkan dalam pendidikan Islam
(das solen) dengan realitas di lapangan (das sein), maka gerakan pembaharuan dalam

pendidikan Islam hendaknya melihat kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu, sehingga
ajaran agama Islam yang hendak diajarkan sesuai dengan kondisi masyarakat.
Globalisasi merupakan suatu entitas, betapa pun kecilnya, yang bilamana disampaikan
oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, akan dapat menyebar ke seluruh pelosok dunia
(Mastuhu, 2003:10). Apabila entitas telah menjadi gaya hidup dan simbol kemoderenan, maka
dapat mengubah kebiasaan hidup seseorang, bahkan tak jarang menilai ajaran agama sebagai
ketinggalan zaman.
Kekacauan arus global bagi pendidikan Islam terjadi apabila fungsi dalam masyarakat
berubah. Mark Haynes Daniel berpendapat bahwa kekeacauan terjadi bila terdapat perubahan
dramatis dalam lingkungan, variabel penentu, atau berbagai fungsi yang ada dalam sebuah
sistem (Daniel, 2000:63). Tiga hal yang merupakan tema sentral hadirnya kekacauan arus
global bagi pendidikan Islam dewasa ini adalah: food, fun, and fashion.
Akidah Islam mempunyai enam aspek keimanan, yaitu: Iman kepada Allah Swt, para
malaikat-Nya, kitab-kitab yang diturunkan-Nya, para rasul-Nya, hari kahir, dan iman kepada
takdir baik atau buruk yang menjadi ketentuan Allah. Semua aspek ini merupakan hal yang
gaib, di mana umat manusia tidak mempunyai kemampuan menangkapnya dengan pancaindra
yang dimiliki. Karena itu, masalah ini dinilai bisa membingungkan seseorang untuk

menjelaskan kepada anak-anaknya.
Imam Al-Ghazali menjelaskan secara khusus cara menanamkan keimanan pada anak
sejak dini. Beliau berpendapat bahwa langkah pertama yang sebaiknya diberikan kepada
mereka menekankan pada hafalan. Karena metode hafalan merupakan proses awal untuk
menapaki pada proses berikutnya, yaitu proses pemahaman. Seorang anak yang hafal terhadap
sesuatu kemudian berusaha memahaminya, akan tumbuh dalam dirinya sebuah keyakinan
kukuh yang pada akhirnya anak tersebut akan membenarkan apa yang telah diyakini
sebelumnya. Ini merupakan proses pembenaran dalam sebuah keimanan yang dialami anak
pada umumnya.
Memang diakui juga, bahwa Allah Swt memberikan keutamaan pada sebagian anak
dengan menanamkan keimanan langsung ke dalam jiwanya tanpa harus melalui proses
pendidikan dan pembinaan melalui langkah-langkah semacam di atas. (Al-Ghazali, Ihyaa’
Uluum ad-diin, jil.1, hal. 94).
Selain cara di atas anak juga disibukkan dengan banyak membaca Al-Quran dan
tafsirnya, serta hadis-hadis Rasulullah Saw. Karena ketika anak tengah membaca Al-Quran
dan hadis, serta mempelajari artinya, secara tidak langsung , keimanan yang sudah tertanam

dalam jiwanya semakin bertambah. Dan dengan melakukan berbagai ibadah keseharian,
secara tidak disadari, sinar keimanan dan cahaya hidayah akan meresap ke dalam jiwanya.
Untuk itu, terdapat lima pola dasar pembinaan akidah yang harus dilakukan untuk

menanamkan kedalam jiwa mereka yang pertama adalah dengan mendiktekan kalimat tauhid,
menurut Ibnu Al-Qayyim, sebagaimana yang termaktub dalam bukunya Ahkaamu alMauluud, apabila anak telah mampu mengucapkan kata-kata, maka ditekan pada mereka
kalimat Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullaah. Jadikan suara yang didengar
pertama kali oleh mereka adalah pengetahuan tentang Allah, keesaan-Nya, dan Allah selalu
mengawasi dan mendengarkan perkataan mereka.
Kedua, dengan menanamkan kecintaan anak kepada Allah Swt, memberikan
pengertian bahwa Allah yang akan memberikan pertolongan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya, dan Allah selalu mengawasi setiap apa yang dilakukan umat manusia, serta
menanamkan keyakinan pada anak tentang adanya takdir baik atau buruk semata-mata dari
Allah.
Ketiga, menanamkan cinta pada Rasulullah Saw, para ulama besar terdahulu dan
generasi penerusnya memberikan perhatian yang sangat serius dalam menanamkan rasa cinta
pada Rasulullah Saw ke dalam jiwa dan kalbu anak-anak mereka. Karena rasa cinta yang
mendalam kepada Rasulullah Saw memberikan dampak positif pada pertumbuhan dan
perkembangan jiwa anak. Sehingga perasaan mereka mudah tergetar dan bertambah rasa
cintanya pada agama Islam, mendorong mereka untuk selalu berbuat baik, serta tidak mudah
panik menghadapi kesulitan dan mencari penyelesaian masalah dengan mudah.
Keempat, dengan mengajarkan Al-Quran pada anak. Setiap orangtua mempunyai
tanggung jawab mengajar Al-Quran kepada anak-anaknya sejak dini. Langkah semacam ini
memberikan pengaruh yang cukup besar dalam menanamkan akidah pada jiwa anak. Dengan

mempelajari Al-Quran, secara tidak langsung , anak akan mengetahui dan meyakini bahwa
tiada Tuhan selain Allah, serta meyakini bahwa lafal-lafal yang sedang dipeajari itu adalah
firman-firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai utusan-Nya.
Proses pengajaran Al-Quran pada anak-anak sejak dini juga diharapkan untuk
menanamkan makna-makna hakiki Al-Quran ke dalam jiwa serta hati mereka, dan pola pikir
mereka bisa diarahkan pada pola yang terdapat dalam Al-Quran. Di samping itu, secara
perlahan-lahan akan tumbuh dan berkembang pada jiwa mereka untuk mencintai Al-Quran,
sehingga hati mereka terikat pada segala apa yang tersurat dan tersirat dalam Al-Quran.
Kemudian mereka akan mulai mengenal dan memahami perintah dan larangan yang terdapat

dalam Al-Quran, serta menjadikan Al-Quran sebagai pedoman dalam berperilaku dan jalan
hidup dalam mengarungi kehidupan yang fana ini.
Mengajarkan Al-Quran pada anak-anak, menurut Al-Hafizh As-Suyuti, merupakan
dasar pendidikan Islam yang pertama yang harus mendapat prioritas utama. Karena, pada usia
itu masih dalam keadaaan fitrah (suci dari dosa) dan merupakan masa yang paling mudah
untuk mendapatkan cahaya hikmah yang terdapat dalam Al-Quran, sebelum hawa nafsu yang
terkandung dalam jiwa anak mulai menggerogoti dan mengarahkan pada kemaksiatan dan
kesesatan. (Syaikh AbdullahSirajuddin, Tilawaah al-Quraan al-Majiid).
Penanaman akidah pada anak kecil sejak dini merupakan sarana pendidikan yang
sangat efektif bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak. Dan diakui bahwa akidah yang

tertanam dalam jiwa anak akan semakin kokoh apabila anak bersangkuatan memiliki nilainilai perjuangan dan pengorbanan dalam dirinya untuk membela akidah yang diyakini
kebenaranny, bahkan tidak peduli terhadap risiko yang mengancam dirinya. Semakin kuat
nilai perjuangan dan pengorbanan seseorang, akan semakin kokoh pula akidah yang dimiliki.
Dewasa ini, banyak fasilitas pendidikan yang sangat mendasar yang telah tersedia
(play group, taman kanak-kanak dan semacamnya yang bernuansa Islami) yang mendukung
dan mendorong anak-anak dari keluarga muslim agar memiliki akidah yang kuat. Penanaman
akidah terhadap anak kecil lewat lembaga semacam ini akan membuka pikiran mereka
terhadap nilai-nilai perjuangan dan pengorbanan di jalan Allah Swt, sehingga mereka benarbenar bisa menikmati manisnya iman dan bertambah kokoh akidah yang tertanam dalam
jiwanya.
Pendidikan ibadah terhadap anak kecil merupakan fase penyempurnaan pada fase
pendididkan dan pembinaan akidah yang telah ditanamkan sebelumnya. Karena makna hakiki
dalam pelaksanaan ibadah yang dipraktekkan oleh anak-anak dalam kehidupan sehari-harinya
akan menambah kebenaran akidah yang diyakini. Dan pelaksanaan ibadah yang dilakukan
anak-anak bisa dijadikan barometer adanya akidah yang tertanam secara kokoh pada jiwa
mereka. Semakin tinggi nilai-nilai ibadah yang mereka milliki, akan semakin tinggi pula
keimanan yang tertanam dalam jiwa mereka.
Apabila nilai akidah benar-benar sudah tertanam dalam jiwa seorang anak, maka anak
yang bersangkutan akan selalu memenuhi panggilan Sang Pencipta berupa mengerjakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan bentuk pengabdian semacam ini sebenarnya
merupakan insting yang bersifat fitrah yang seharusnya dilakukan oleh setiap hamba terhadap
Sang Khaliq. Karena itu, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk mengarahkan fitrah yang

sudah tertanam dalam jiwa anak-anaknya secara benar dan sesuai dengan konsep Islam agar
memiliki akidah yang kuat sehingga tidak mudah goyah oleh rayuan bentuk apa pun.
Dr. Said Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya Tajribah at-Tarbiyah al-Islaamiyah
(hal.40) menjelaskan hubungan antara penanaman akidah dengan pembinaan ibadah terhadap
anak. Dia berpendapat bahwa proses penanaman akidah pada anak agar terus-menerus
berkembang tumbuh dengan kokoh dalam jiwanya adalah hendaknya anak bersangkuatan
diarahkan untuk selalu mengerjakan ibadah sesuai dengan kemampuannya. Langkah semacam
ini diharapkan bahwa akidah yang sudah tertanam dengan kokoh di hati mereka itu bisa
menahan gelombang arus kehidupan yang negatif dan destruktif, serta tegar menghadapi
terpaan badai dan cobaan hidup.
Harus diakui juga bahwa masa kanak-kanak bukan masa pembebanan atau
menangguang kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan, latihan, dan pembiasaan. Karena
itu, anak-anak harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan sebagai bekal mereka ketika sudah
memasuki usia dewasa (baligh), di mana pada masa ini mereka susah mendapatkan kewajiban
dalam beribadah, sehingga pelaksanaan ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt bukan
menjadi beban yang memeberatkan bagi kehidupan mereka sehari-hari, bahkan setiap jenis
ibadah apa pun dinilai sangat mudah pelaksanaannya dan mempunyai kenikmatan tersendiri.
Pelaksanaan ibadah merupakan pekerjaan yang sangat menakjubkan bagi jiwa anak
kecil. Karena ketika anak kecil melaksanakan salah satu ibadah, secara tidak disadari, mereka
melakukan hubungan batin dengan Allah Swt sehingga dalam menjalani kehidupannya selalu
merasa tenang, aman dan tentram. Pelaksanaan ibadah semisal shalat, akan mendorong anakanak untuk tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya, terlatih
dalam menahan nafsu amarah dan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya selalu berada di
bingkai ajaran agama. Adapun dampak pelaksanaan ibadah puasa bagi anak-anak akan terlatih
dalam mengendalikan hawa nafsunya. Ini bisa terlihat ketika akan berbuaka puasa, mereka
harus bisa menahan diri sebelum waktunya tiba. Dan ketika anak bermunajat kepada Allah
Swt, mereka akan merasakan arti kekhusyukan dalam beribadah yang memberikan
kenikmatan tersendiri dalam jiwanya, baik ketika mereka membaca Al-Quran , melaksanakan
sholat, maupun mendengarkan azan ketika menjelang berbuka puasa.
Ibadah shalat merupakan rukun Islam yang kedua yang harus dilaksanakan oleh setiap
umat Islam. Tetapi tidak sedikit umat Islam yang lalai melaksanakan kewajiban ini. Karena
itu, orangtua harus memberikan pengertian kewajiban melaksanakan shalat dan berani
memerintahkan anaknya melaksanakannya. Dan cara pembinaan yang terbaik adalah

mengajak anaknya melaksanakan sholat berjamaah. Dan anak mulai bisa diperintahkan
melaksanakan shalat ketika dia sudah bisa membedakan antara tangan kanan dan kirinya.
Setelah anak tahu kewajiban melaksanakan shalat, maka orangtuanya sebagai pendidik
yang paling utama mulai mengajarkan syarat sahnya shalat, rukun dan yang membatalkan.
Rasulullah Saw memberikan batasan usia tujuh tahun sebagai awal yang paling baik bagi anak
untuk diajarkan masalah yang berkaitan dengan shalat. Selain itu, mengajarkan anak dengan
cara memberikan contoh yang baik bahwa anak kecil yang melihat tata cara beribadah orang
dewasa, semisal wudhu dan lainnya, memberikan pengaruh yang sangat besar sebagai suatu
pelajaran untuk dipraktikkan sehingga tata cara beribadah anak yang bersangkutan menjadi
baik dan sempurna.
Adapun peran orang tua terhadap anaknya di dalam Islam yaitu dengan
memperkenalkan anak terhadap agama sejak di dalam rahim seperti memperbanyak ibadah
terutama ibunya, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sholawat, berdzikir, melakukan
segala sesuatu yang di anjurkan Islam saat mengandung, dan lain sebagainya. Karena janin
dalam rahim pada usia kandungan 4 bulan sudah mulai bisa merasakan dan mendengar apa
yang dilakukan ibunya. Olah karenanya ada cara-cara menstimulasi kecerdasan anak saat
dalam kandungan.
Bagaimana anak terbentuk, itu tergantung bagaimana orang tuanya membentuk. Nabi
bersabda yang diriwayatkan dari H.R Muslim yang artinya: “Tidak seorang pun yang
dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka akibat orang tuanyalah yang menjadikan
mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Muslim).
Oleh karenanya, didiklah anak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan ajarkan mereka
tentang agama Islam. Seperti cara makan yang baik dengan menggunakan tangan kanan,
sebelum makan dan sesudah makan hendaknya berdoa, mengajarkan cara mandi yang benar,
bertutur kata yang baik dan sopan, bertingkah laku yang sesuai norma dan akhlak dalam Islam
dan lain sebagainya. Tidak hanya usia dini, orang tua mendidik dan mengajarkan anak, tapi
sampai mereka benar-benar mampu dan bisa menjadi anak yang sholih dan sholihah.
Jangan sampai ketika orang tua sakaratul maut, sang anak berlari-lari mencari orang
untuk mentalqinkan orang tuanya, membacakan yasin, sedangkan ia tidak bisa, memandikan
jenazah orang tuanya tak mengerti, apalagi mendoakannya. Karena doa yang sampai adalah
doa anak yang sholih.
Menanamkan iman dan nilai-nilai keislaman sejak anak masih usia dini. Ketika
mereka mulai berkembang dan mengenal tulisan, gambar, lingkungan dan lain-lain, maka
tanamkan keimanan dan keislaman dengan memberikan contoh-contoh yang baik kepadanya.

Karena orang tua akan menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya ketika ia masih kecil. Mereka
akan sedikit demi sedikit mengikuti apa yang ia lihat, yang ia dengar, dan apa-apa yang biasa
orang tuanya lakukan.
Membangun kepribadian dan mengembangkan pengetahuan agama anak. Orang tua
lebih utama dalam perannya membangun kepribadian anak, karakter sifat anak turun tidak
jauh dari keduanya. Maka bangunlah kepribadiannya sesuai syariat Islam dan kembangkanlah
pengetahuan agamanya setiap waktu dengan memberikan dan mengajarkan serta membantu
anak dalam mengembangkan kemampuannya. Seperti gemar mengikuti MTQ, lomba-lomba
agama di sekolah (tartil Qur’an, pidato, hafidz Qur’an, dls).
Mengontrol kepribadian anak saat anak diluar rumah. Ini yang biasanya banyak
dilalaikan oleh para orang tua. Mereka kurang memperhatikan kepribadian anak di luar
rumah. Orang tua tidak boleh lepas tangan atau lepas tanggung jawab, meskipun anak sedang
berada di lingkungan sekolah atau madrasah. Jangan membiarkan mereka keluar batasan yang
seharusnya dipatuhi oleh anak. Seperti membiarkan anak pulang sekolah mampir dan bermain
terlebih dahulu bersama teman-temannya entah kemana, mengontrol kesehariannya di sekolah
dan lain sebagainya.
Memberikan sandang, pangan dan papan yang layak kepada anak. Orang tua yang
memberikan makan kepada anaknya itu terhitung sedekah. Allah tidak akan menyia-nyiakan
kebaikan orang tua kepada anaknya dengan memberikan pahala yang berlipat-lipat. Maka
berikanlah kehidupan yang layak untuk mereka. Makanan yang sehat akan menghasilkan
tubuh yang kuat, pakaian yang bersih dan rapi akan menyamankan hati karena Allah
mencintai keindahan juga rumah yang layak dengan para penghuni yang taat kepada Allah,
InsyaAllah “rumahku itulah surgaku di dunia” akan dirasakan dalam keluarga.
Memberikan perhatian, kasih sayang, dan pengertian. Anak pasti membutuhkan
perhatian, tidak hanya diusianya yang masih kecil saja, tetapi sampai kapanpun anak akan
membutuhkan perhatian dari orang tuanya, apalagi kasih sayang. Mengajarkan dia kepada
agama dengan penuh kelembutan dan kasih sayang akan lebih mudah diterima oleh anak. Dan
berikan pengertian saat anak membutuhkannya. Contoh saat dia sedang banyak tugas sekolah,
saat sedih, saat mereka tertekan dan lain sebagainya, berikanlah pengertian kepadanya. Jangan
memaksakan kehendak, karena merekapun memiliki hak untuk diberikan pengertian oleh
orang tuanya.
Orang tua sebagai motivator bagi anak-anak. Dalam menumbuhkan motivasi anak
untuk tekun dan giat beribadah, rajin belajar, takut kepada Allah, belajar sabar, tidak mudah

putus asa, itu semua akan lebih efektif jika dilakukan oleh orang tuanya sebagai motivator
terbaik untuk anak-anaknya.
Tempat fasilitator bagi anak. Orang tua wajib memberikan yang terbaik untuk anakanaknya. Apa yang orang tua inginkan jangan hanya menyuruh dan meminta anaknya untuk
melakukan apa yang dibutuhkan, akan tetapi disamping menyuruh, meminta dan memerintah,
berikanlah fasilitas untuknya. Contohnya, berikan anak Al-Qur’an untuk belajar dan
membacanya, berikan kitab atau buku-buku keislaman dan sumber informasi lainnya yang
dibutuhkan, sekolahkan sampai setinggi mungkin di tempat-tempat yang layak dan tepat
untuk anaknya, dan lain sebagainya.
Peran orang tua dalam penyaring informasi bagi anak-anaknya. Tidak semua informasi
mentah-mentah diberikan kepada anak, ada yang harus mereka ketahui dan ada juga yang
seharusnya belum layak mereka ketahui. Pintar-pintarlah menyaring informasi untuk anakanak dan keluarga. Jangan berikan mereka tontonan yang tidak mendidik, berikan buku
bacaan yang bagus dan bermanfaat, tidak menyampaikan perkataan kotor dari orang lain
kepada anak, apalagi anaknya masih kecil yang belum bisa menyaring perkataan mana yang
baik dan tidak baik.

DAFTAR PUSTAKA

Mastuhu. 2003. Menata Ulang pemikiran sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21.
Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Machali, Imam dan Musthofa. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Hafid, Mohammad Nur Abdul. 2004. Mendidik Anak Usia Dua Tahun Hingga Baligh Versi
Rasulullah. Yogyakarta: Darussalam.
Hendro. 2005. Fungsi Pendidikan Islam. Diakses dari http://hendro-suhaimi.blogspot.co.id/p/
blog-page-2481.html pada tanggal 2 Desember 2016.
Benefacto, Agenk. 2011. Pendidikan Islam di Era Globalisasi. Di akses dari
http://illsionst.blogspot.co.id/2011/06/pendidikan-islam-di-era-globalisasi.html pada tanggal 2
Desember 2016.
Anonim.

2015.

Pengertian

dan

Karakteristik

Anak

Usia

Dini.

Diakses

dari

http://tipsserbaserbi.blogspot.co.id/2015/07/pengertian-karakteristik-anak-usia-dini.html pada
tanggal 2 Desember 2016.
Anonim.

2015.

Peran

Orang

Tua terhadap

Anak

dalam

Islam. Diakses

http://www.catatanmuslimah.com/2015/10/peran-orang-tua-terhadap-anak-dala.html
tanggal 2 Desember 2016.

dari
pada