Ilham Nurwansah Demonstrativa dalam Baha
Demonstrativa dalam Bahasa Sunda Kuna
(Tinjauan terhadap teks keagamaan abad ke-16)
Oleh
Ilham Nurwansah, S.Pd.
Pendahuluan
Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) adalah sebuah teks keagamaan Sunda kuna
yang digunakan sekitar abad ke-16 M. Bentuk teks yang digunakan adalah prosa dengan pola
kalimat berulang yang menunjukkan penegasan dalam suatu topik bahasan. Secara umum isinya
berupa larangan, perintah dan petunjuk untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dari mulai
pertanian, taktik perang, aturan di dalam keraton, hingga etika dan tatakrama. Dengan demikian
teks ini dapat disebut sebagai ensiklopedia kebudayaan Sunda pada masanya.
Teks SSKK terdapat pada dua buah naskah Sunda kuna koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI). Naskah pertama disimpan pada kropak bernomor 630, ditulis pada
lempiran daun gebang dengan menggunakan aksara Buda/Gunung. Naskah ini pada awalnya
merupakan koleksi milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weteschapen (BGKW) yang
didapatkan dari Raden Saleh. Diumumkan pertama kali oleh K.F. Holle dalam majalah TBG
tahun 1867 (Wartini, dkk. 2010:3). Alih aksara dan terjemahan telah dilakukan oleh Atja dan
Saleh Danasasmita tahun 1981. Naskah kedua disimpan pada kropak bernomor 624, ditulis pada
lempiran daun lontar menggunakan aksara Sunda kuna. Pemerian naskah ini berawal dari
sumbangan bupati Bandung, Wiranatakusumah IV (1846-1846) kepada BGKW yang akhirnya
menjadi koleksi PNRI (Krom 1914 dalam Wartini dkk. 2010:4). Alih aksara dan terjemahan telah
dikerjakan oleh Ilham Nurwansah (2013). Kedua naskah tersebut menggunakan bahasa Sunda
kuna, yaitu bahasa yang digunakan pada teks-teks pra-Islam lain seperti Carita Parahyangan,
Amanat Galunggung, Sanghyang Sasana Maha Guru, Carita Ratu Pakuan, Bujangga Manik,
dan Sri Ajnyana.
Bahasa Sunda kuna adalah bahasa Sunda arkaik yang memiliki ciri khas tersendiri bila
dibandingkan dengan bahasa Sunda modern. Begitupun bila dibandingkan dengan bahasa tua
lainnya, misalnya bahasa Jawa kuna. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kosakata dan struktur
kalimatnya yang masing-masing memiliki perbedaan yang mandiri. Meskipun dalam bahasa
Sunda kuna ditemukan pula penggunaan beberapa kata yang terdapat pada bahasa Jawa kuna,
tetapi tidaklah dominan. Beberapa kosakata lainnya berasal dari bahasa Sangsakerta dan
sebagian lainnya memiliki persamaan kosakata dengan bahasa Melayu kuna.
A. Teeuw dan J. Noorduyn (2009) menyebutkan bahwa bahasa Sunda kuna memiliki
kedekatan dengan bahasa Sunda modern. Sebagian besar kosakata Sunda kuna masih dapat
dikenali dalam bahasa Sunda modern. Begitu pula dengan struktur kalimat dan fungsi-fungsi
gramatikalnya secara umum. Oleh karena itu untuk memaparkan gejala kebahasaan Sunda kuna
di dalam teks SSKK, dilakukan suatu pendekatan sinkronis diakronis berdasarkan bahasa Sunda
modern.
Sebagai teks didaktik, SSKK berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan suatu hal
dan menegaskan suatu aturan berupa larangan atau perintah. Gaya penyampaian isi yang
digunakan dalam teks ini tampak pada penggunaan kata atau kalimat dengan pola yang teratur
pada setiap topik bahasannya. Di dalam teks SSKK ditemukan gaya penyampaian isi dengan
penggunaaan kata penunjuk (demonstrativa) dengan pola yang konsisten. Berdasarkan anggapan
tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis perilaku kata penunjuk dan pola umum yang
digunakan dalam teks SSKK. Hasilnya diharapkan dapat menambah informasi linguistik dalam
khasanah sejarah perkembangan bahasa Sunda.
Analisis
Terdapat enam kata ganti penunjuk dalam bahasa Sunda kuna dalam teks SSKK yaitu ini,
nihan, éta, itu, kitu, dan sakitu. Dari enam kata penunjuk yang digunakan dalam bahasa Sunda
kuna tersebut, hanya dua saja yang tampaknya mengalami perubahan, yaitu pada kata ini dan
nihan menjadi ieu dan kieu dalam bahasa Sunda modern. Sedangkan lima kata lainnya tetap
memiliki bentuk dan arti leksikal yang tidak berubah. Hal ini juga menunjukkan bahwa selama
lebih dari 5 abad penggunaan kata penunjuk dalam bahasa Sunda tidak banyak mengalami
perubahan berarti. Perbedaan demonstrativa sunda Kuna dengan sunda modern dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 1
Perbandingan Demonstrativa
Bahasa Sunda Kuna, Sunda Modern, & Bahasa Indonesia
Sunda Kuna
ini
nihan
éta
itu
kitu
sakitu
Sunda Modern
ieu
kieu
éta
itu
kitu
sakitu
Bhs. Indonesia
ini
ini, begini
itu (agak jauh)
itu (jauh)
begitu
begitulah,
demikianlah,
itu semua
Tampaknya perlu dibahas terlebih dahulu tentang kata ini dan nihan. Dalam terjemahan
yang diberikan oleh Selah Danasasmita dkk. (1987) tampaknya kedua kata tersebut tidak
memiliki perbedaan arti leksikal, namun sama saja: ‘inilah’. Tetapi berdasarkan tinjauan internal
di dalam teks SSKK maupun pada teks-teks berbahasa Sunda kuna lainnya, terdapat perbedaan
arti dan fungsi secara leksikal.
Ini berfungsi untuk menunjukkan hal umum, sepadan dengan arti ‘ini’ dalam bahasa
Indonesia. Kata ini juga digunakan pada naskah Sunda kuna lainnya seperti Carita
Parahyangan, Amanat Galunggung, Sanghyang Sasana Maha Guru, Carita Ratu Pakuan, dan
Séwaka Darma yang ditulis antara abad ke-14 sampai abad ke-17. Sedangkan bentuk yang lebih
tua ditemukan pada beberapa prasasti abad ke-7 berbahasa Melayu kuna seperti prasasti Karang
Bahi, Kota Kapur, Palas Pasemah, Kedukan bukit (Boechari, 2012), dengan bentuk yang sama:
ini.
Sedangkan nihan digunakan untuk memaparkan suatu hal yang sepadan dengan
terjemahan ‘begini’. Pembedaan demikian tampaknya juga dipertimbangkan oleh Djajasudarma
dkk. (1995) yang memberikan terjemahan ‘begini’ untuk kata nihan dalam teks Carita
Parahyangan. Seperti salah satu arti yang diberikan dalam Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti
Sunda Abad 11 s.d. 18 untuk kata nihan, yaitu ‘ini’, ‘inilah’, ‘begini’ (Suryani dkk., 2001:128).
Di dalam bahasa Jawa kuna juga terdapat kata nihan yang diartikan ‘lihat! (di) sini!
begini, jadi, demikian (sbg berikut)’ oleh Zoetmulder (2006:698), sedangkan
Mardiwarsito(1990:369) memberikan arti ‘ini(lah); begini(lah); demikian(lah)’. Namun demikian
tidak ditemukan kata ini di dalam bahasa Jawa kuna. Hal ini menjadi menarik, bahwa terdapat
suatu hubungan kebahasaan yang unik antara bahasa Melayu kuna, Sunda kuna dan Jawa kuna.
Berikut ini perbandingan kata penunjuk pada ketiga bahasa tersebut.
Tabel 2
Perbandingan kata penunjuk pada tiga bahasa kuna
(keluarga Melayu-Polinesia)
Bhs.
Indonesia
ini
itu
begini
begitu
Melayu
kuna1
ini
-
Sunda
kuna
ini
itu
nihan
kitu
Jawa
kuna
iki(ng)
iku
nihan
nahan, iti
Pada tabel di atas tampak bahwa penggunaan kata penunjuk dalam bahasa Sunda kuna
berada di antara bahasa Melayu kuna dan Bahasa Jawa kuna. Kata ini sama-sama digunakan
pada bahasa Sunda kuna dan Melayu kuna. Lalu nihan yang sama-sama digunakan dalam bahasa
Sunda kuna dan Jawa kuna. Kedekatan bentuk tersebut tampaknya merupakan salah satu gejala
yang muncul pada bahasa yang berada dalam keluarga Melayu-Polinesia. Seperti pada klasifikasi
bahasa yang disebutkan oleh Harimurti Kridalaksana (2001).
Pertimbangan lainnya yaitu berdasarkan perbandingan morfologis dalam kata penunjuk
bahasa Sunda Modern. Pada bahasa Sunda modern terdapat serangkaian pola bentuk kata ieu,
kieu (ka-ieu), dieu (di-ieu) yang memiliki terjemahan dan bentuk kata yang juga teratur pada
bahasa Indonesia, yaitu ‘ini’, ‘begini’, ‘sini’. Baik dalam bahasa Sunda modern dan bahasa
Indonesia, perubahan kata penunjuk tersebut tetap menyertakan unsur kata ieu ‘ini’ secara
teratur. Dengan kecenderungan seperti itu, tampaknya dapat pula dilakukan pendekatan yang
sama terhadap pembentukan kata ini, nihan, dan dini2 pada bahasa Sunda kuna, dengan
pertimbangan arti leksikal ‘ini’, ‘begini’, dan ‘sini’ (lihat tabel 1).
Letak Kata penunjuk Terhadap Wacana
Berdasarkan letaknya terhadap wacana, kata penunjuk yang digunakan dalam teks SSKK
bersifat endoforis. Kata penunjuk endoforis yaitu kata penunjuk yang menunjukkan kembali
pada hal yang ada di dalam wacana, mencakup anafora dan katafora (Kridalaksana, 2001:51),
(Sudaryat, 2013:67).
a. Kata penunjuk anaforis: éta, itu, kitu, sakitu
Kata penunjuk anaforis (anafora) adalah kata penunjuk endoforis yang menunjukkan
acuan yang ada didepannya(Sudaryat, 2013:67), (Kridalaksana, 2001:89). Di dalam teks
SSKK kata penunjuk anaforis yang digunakan adalah éta, itu, kitu, dan sakitu seperti pada
kalimat berikut ini:
(1) disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan, kena wageuy, kena
kula kadang, kena baraya. éta ulah dipiguna ku urang hulun.
1 Berdasarkan ulasan Boechari (2012). Bahasannya tidak berfokus pada aspek lingustik Melayu kuna, tetapi berupa
transkripsi dan transliterasi dari beberapa prasasti Melayu kuna dan ulasannya secara umum.
2 Kata dini digunakan dalam naskah Carita Parahyangan, Sri Ajnyana, Ramayana
‘disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi
memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara hal itu jangan
dilakukan oleh seorang hulun’
(2) . . . maka nguni di tohaan di maneh, itu leuwih mulah dipiguna dipitwah ku urang hulun.
‘…rumah penguasa atau pada raja. Hal demikian lebih-lebih jangan dilakukan, jangan diperbuat oleh
seorang hulun.’
(3) kalingana ta, sri ma ngaranya omas. kitu na omas, lamun hamo dila(n)ja pelek rupana, lamun kalanja
ma cenang, rampes ja kaopeksa.
‘dikatakan: sri itu namanya emas, adapun emas. bila tidak digosok suram warnanya, kalau digosok
cemerlang indah sebab terpelihara.’
(4) lamun ka beet ma basana: utun, eten, orok, anak ing, adi ing. ka kolot ma basana: lanceuk ing, suan
ing, euceu ing, aki ing. pangwastu nama sumanger teu(ng)teuing amat sakitu na dasa pasantra,
‘kepada yang masih muda panggillah: utun (buyut), eten (upik), orok (bayi), anaking (anakku), adiing
(adikku). kepada yang tua menyebutlah: lanceuking (kakakku), suaning (uaku), euceuing (kakak
perempuanku), akiing (kakekku). menyebut nama berkesan keterlaluan. demikianlah (yang disebut)
dasa pasanta (sepuluh penenang hati).’
Keempat kata penunjuk tersebut membutuhkan acuan yang disebutkan dalam kalimat
sebelumnya dan hanya muncul bila terdapat kalimat yang menjadi acuan di depannya. Pada
kalimat (1) éta mengacu pada kalimat disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan
gumanti ya ngiseusan yang muncul sebelumnya. Kata itu dalam kalimat (2) mengacu pada maka
nguni di tohaan di manéh ḥ. Pada kalimat (3) kata kitu memiliki acuan dalam kalimat sebelumnya
sri ma ngaranya omas. Kata sakitu dalam kalimat (4) mengacu pada aspek (dasa pasanta3) yang
disebutkan sebelumnya yaitu utun, eten, orok, anaking, adiing, lanceuking, suaning, euceuing,
akiing.
b. Kata penunjuk kataforis: ini, nihan
Kata penunjuk kataforis (katafora) yang digunakan dalam teks SSKK yaitu ini, dan nihan
seperti pada kalimat berikut:
(5) ini sanghyang dasa kreta kundangeun urang reya.
‘inilah sanghiyang dasa kreta untuk pegangan orang banyak.’
(6) nihan ujar sang sadu ngagelarkeun sanghyang siksakandang karesian.
‘inilah ujar sang budiman memaparkan sanghiyang siksakandang karesian.’
Berdasarkan Jarak Terhadap Acuan
Dari jaraknya terhadap acuan, kata penunjuk anaforis pada teks SSKK dapat dibedakan
menjadi kata penunjuk semi proksimal (éta) dan distal (itu, kitu, sakitu). Sedangkan kata
penunjuk kataforis (ini dan nihan) termasuk pada kelompok proksimal (dekat). Berikut ini
ditampilkan dalam bentuk tabel.
Tabel 3
Proksimitas Kata penunjuk Bahasa Sunda kuna
Letak
Jarak dari Acuan
Acuan
Proksimal
Semi-Proksimal
Distal
3 Dasapasantra artinya sepuluh penenang hati. Di dalam teks SSKK 630 hanya disebutkan sembilan saja, tetapi di
dalam teks 624 disebutkan lengkap dengan kaponakan.
Anafori
s
katafori
s
éta
itu, kitu, sakitu
ini, nihan
Meskipun di dalam teks kata éta dan itu seringkali dipertukarkan dalam penggunaannya,
tetapi ditemukan contoh kalimat yang dapat dijadikan gambaran tentang proksimitas
demonstrativa dalam bahasa Sunda kuna. Berikut ini contoh kalimatnya:
(7) disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan, kéna wageuy, kena
kula kadang, kena baraya. éta ulah dipiguna ku urang hulun. bogoh di kaceuceub, ceuceub di
kabogoh. itu tan yogya dipitwah ku urang hulun.
‘Disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi
memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara Hal itu jangan
dilakukan oleh seorang hulun.’
Éta mengacu pada kalimat disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan
gumanti ya ngiseusan. Lalu itu mengacu pada kalimat yang sama dengan acuan untuk éta, yaitu
disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan. Hal ini
menunjukkan kata penunjuk itu digunakan untuk menunjukkan kata yang lebih jauh dari
acuannya. Dalam contoh kalimat di atas, meskipun éta dan itu mengacu pada kalimat yang sama
tetapi terdapat perbedaan jarak klausa (kalimat). Éta mengacu pada klausa pertama di depannya,
sedangkan itu mengacu pada klausa kedua di depannya. Dengan kata lain terdapat klausa yang
dilangkahi untuk diacu oleh kata penunjuk itu.
Pola Umum Penggunaan Demonstrativa
Untuk menyampaikan suatu topik baru digunakan kata penunjuk ini dan nihan yang
berarti ‘ini, inilah’ dan ‘begini, beginilah’. Sedangkan untuk menegaskan topik yang telah
dibahas sebelumnya digunakan kata éta, itu, kitu, sakitu yang berarti ‘itu, itulah, demikianlah,
begitulah’.
Pola penggunan kata penunjuk di dalam teks SSKK seringkali secara berganda, yaitu
perpaduan antara kata penunjuk anafora dan katafora sekaligus. Kedua jenis kata penunjuk
tersebut digunakan dalam sebuah wacana. Hal ini berfungsi sebagai penegasan tentang aspek
yang menjadi fokus bahasan. Meski demikian ditemukan juga pola tunggal penggunaan kata
penunjuk kataforis tanpa disertai oleh kata penunjuk anaforis.
Pola 1
Ini/nihan+
topik
(katafora)
(penunjuk topik baru)
Contoh kalimat:
lihat kalimat (5) dan (6)
Pola 2
ini/nihan
+
topik +
(katafora)
(penunjuk topik baru)
kitu/sakitu
(anafora)
(penegas)
Contoh kalimat:
(8) ini guna janma di bwana. ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngamang, ngarombaong. ngangka ma
ngara(n)na angen-angen. nyigi ma ngara(n)na uu(n)tayan, ngiket ma ngara(n)na watek nalikeun.
nyigeung ma ngara(n)na meu(ng)peung meulah, ma(n)cir. midwakeun, ngadar, ngagitaka, ngukur,
nyarwakeun. ngarwang ma ngara(n)na sawatek ngalikeun. ngarombong ma ngara(n)na sawatek
heuleut-heuleut. ya ta sinangguh sadguna ngara(n)na. sakitu guna janma sarean(a).
‘Ini kagunaan manusia di dunia: ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngaruang, ngarombong. Ngangka
berarti cita-cita. Nyigi berani untaian. Ngiket berarti segala jenis pekerjaan mengikat. Nyigeung berarti
meluruskan, membelah, membaji, membagi dua, meratakan, mengetok, mengikur. menyamakan.
Ngaruang berarti segala macam kerja menggali. Ngarombong berarti segala jenis pekerjaan
memenggal-menggal (memberi batas). Itulah yang disebut sadguna (enam kegunaan). Sekian
kagunaan manusia semuanya.’
Pola 3
Ini/nihan
+
topik +
(katafora)
(penunjuk topik baru)
éta/itu
(anafora)
(penjelas)
Contoh kalimat:
(9) ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir,
caang buruan. anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan
karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana sama wong (sa)rat. sangkilang di lamba, trena taru
lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung tahun, tumuwuh
daek, maka hurip na urang reya. inya éta sanghyang sasana kreta di lamba nga-rana.
‘Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang, 5
bersih halaman bclakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi. kandang
ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup. selalu6 sehat. sumbernya terletak pada
manusia sedunia. Seluruh penopang kehidupan; Rumput, pohon-pohonan, rambat. semak, hijau subur
tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya,
memberikan kehidupan kepada orang banyak. Ya itulah (sanghiyang) sarana kesejahteraan dalam
kehidupan namanya.’
Pola 4
ini/nihan
+
topik +
(katafora)
(Penunjuk topik baru)
sakitu
(anafora)
(penegas)
+ éta
(anafora)
(penjelas)
Contoh kalimat:
(10) nihan muwah. jaga rang kadatangan ku samé pangurang dasa, calagara, upeti panggeres reuma
maka suka geui(ng) urang, maka rasa kadatangan ku kula kadang, ku baraya, ku adi lanceuk anak
mitra suan kaponakan. sakitu éta kangken ngan lamun aya panghaat urang, kicap inum si(m)but
cawet suka drebya.
‘Ini lagi. Kalau kita kedatangan oleh semua pangurang dasa, calagara, upeti, panggeres reuma,
tunjukkanlah rasa suka dalam tingkah kita, anggaplah seperti kedatangan sanak-keluarga, saudara,
adik, kakak, anak, sahabat, suan atau keponakan. Demikianlah ibaratnya. Namun bila ada rasa sayang
pada kita, sediakanlah makanan, minuman, selimut, kain yang kita miliki.’
Kesimpulan
Kata penunjuk bahasa Sunda kuna mengalami perubahan pada bahasa Sunda modern. hal
ini ditunjukkan oleh perubahan bentuk kata penunjuk kataforis proksmal ini dan nihan yang
berubah menjadi ieu dan kieu. Sedangkan empat kata penunjuk anaforis semi proksimal éta dan
distal itu, kitu dan sakitu, tidak mengalami perubahan selama sekitar 5 abad baik dari bentuk,
peletakan dalam kalimat, maupun maknanya.
Bahasa Sunda memiliki hubungan dekat dengan bahasa Melayu kuna dan Jawa kuna. hal
ini terlihat dari penggunaan kata penunjuk ini yang juga digunakan dalam bahasa Melayu kuna.
Kedekatan dengan bahasa Jawa kuna terlihat dari penggunaan nihan yang juga digunakan dalam
bahasa Sunda kuna.
Pola penggunaan kata penunjuk pada teks keagamaan SSKK menggambarkan penekanan
terhadap topik yang dibahas. Hal ini tampak pada intensitas penggunaan kata penunjuk yang
tinggi dalam sebuah wacana. Pada beberapa bagian teks terdapat penggunaan lebih dari satu kata
penunjuk dalam sebuah wacana, yaitu penggunaan di awal dan digunakan lagi di akhir wacana.
Contohnya dapat diliht pada kalimat (8), (9) dan (10). Pola demikian tampaknya memiliki fungsi
untuk menegaskan pengtingnya topik yang dimaksud.
Berdasarkan analisis pada tulisan ini, menurut hemat penulis, perlu dilakukan peninjauan
ulang terhadap edisi terjemahan naskah-naskah Sunda kuna dan prasasti-prasasti yang
menggunakan bahasa Sunda kuna, salah satunya dari aspek penggunaan kata penunjuk. Hal ini
penting dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan keotentikan dan konsistensi isi kandungan
yang terdapat dalam teks-teks Sunda kuna.
Daftar Pustaka
Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuna Indonesia Melalui Prasasti. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Coolsma, S. 1913. Sondaaneesch-Hollandsch Woordenboek. Leiden: A.W. Sijhoffs UitgeversMaatschappij.
Danadibrata, R.A. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama
Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma (Koropak 408), Sanghyang Siksakandang
Karesian (Koropak 630), Amanat Galunggung (Koropak 632), Transkripsi dan
Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
(Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud.
Darsa, Undang A. 2012. Séwaka Darma Peti Tiga Ciburuy Garut. Bandung: Yayasan Pusat Studi
Sunda.
Djajasudarma, Fatimah, dkk. 1995. Carita Parahyangan: Satu Kajian Struktur Bahasa Sunda
Dialek Temporal.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Lingustik Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Mardiwarsito, L & Kridalaksana, Harimurti. 2012. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Depok:
Komunitas Bambu & Ecole française d’Extrême-Orient.
Mardiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
Nurwansah, Ilham. 2013. “Naskah Lontar Sunda Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian
(624) dalam Sundalana 12: Memelihara Sunda (Bahasa Seni dan Sastra). Seri Sundalana.
Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.
Ruhaliah. 1997. Kajian Diakronis Struktur Bahasa Sunda Bihari dan Bahasa Sunda Kiwari.
Bandung: IKIP (tidak diterbitkan).
Sudaryat, Yayat, dkk. 2013. Tata Basa Sunda Kiwari. Bandung: Yrama Widya.
Sudaryat, Yayat. 2005. Kamus Istilah Elmuning Basa Sunda. Bandung: CV Karya Iptek.
Suryani, Elis, dkk. 2001. Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda Abad 11 s.d. 18. Bandung:
Komunitas Pernaskahan Sunda Purbatisti & Pemerintah Kota Bandung.
Teeuw, A. & Noorduyn, J. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wartini, Tien, dkk. 2010. Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna. Jakarta: Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia-Yayasan Pusat Studi Sunda.
Zoetmulder, P.J. & Robson, S.O. 2006. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
(Tinjauan terhadap teks keagamaan abad ke-16)
Oleh
Ilham Nurwansah, S.Pd.
Pendahuluan
Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK) adalah sebuah teks keagamaan Sunda kuna
yang digunakan sekitar abad ke-16 M. Bentuk teks yang digunakan adalah prosa dengan pola
kalimat berulang yang menunjukkan penegasan dalam suatu topik bahasan. Secara umum isinya
berupa larangan, perintah dan petunjuk untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dari mulai
pertanian, taktik perang, aturan di dalam keraton, hingga etika dan tatakrama. Dengan demikian
teks ini dapat disebut sebagai ensiklopedia kebudayaan Sunda pada masanya.
Teks SSKK terdapat pada dua buah naskah Sunda kuna koleksi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI). Naskah pertama disimpan pada kropak bernomor 630, ditulis pada
lempiran daun gebang dengan menggunakan aksara Buda/Gunung. Naskah ini pada awalnya
merupakan koleksi milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weteschapen (BGKW) yang
didapatkan dari Raden Saleh. Diumumkan pertama kali oleh K.F. Holle dalam majalah TBG
tahun 1867 (Wartini, dkk. 2010:3). Alih aksara dan terjemahan telah dilakukan oleh Atja dan
Saleh Danasasmita tahun 1981. Naskah kedua disimpan pada kropak bernomor 624, ditulis pada
lempiran daun lontar menggunakan aksara Sunda kuna. Pemerian naskah ini berawal dari
sumbangan bupati Bandung, Wiranatakusumah IV (1846-1846) kepada BGKW yang akhirnya
menjadi koleksi PNRI (Krom 1914 dalam Wartini dkk. 2010:4). Alih aksara dan terjemahan telah
dikerjakan oleh Ilham Nurwansah (2013). Kedua naskah tersebut menggunakan bahasa Sunda
kuna, yaitu bahasa yang digunakan pada teks-teks pra-Islam lain seperti Carita Parahyangan,
Amanat Galunggung, Sanghyang Sasana Maha Guru, Carita Ratu Pakuan, Bujangga Manik,
dan Sri Ajnyana.
Bahasa Sunda kuna adalah bahasa Sunda arkaik yang memiliki ciri khas tersendiri bila
dibandingkan dengan bahasa Sunda modern. Begitupun bila dibandingkan dengan bahasa tua
lainnya, misalnya bahasa Jawa kuna. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kosakata dan struktur
kalimatnya yang masing-masing memiliki perbedaan yang mandiri. Meskipun dalam bahasa
Sunda kuna ditemukan pula penggunaan beberapa kata yang terdapat pada bahasa Jawa kuna,
tetapi tidaklah dominan. Beberapa kosakata lainnya berasal dari bahasa Sangsakerta dan
sebagian lainnya memiliki persamaan kosakata dengan bahasa Melayu kuna.
A. Teeuw dan J. Noorduyn (2009) menyebutkan bahwa bahasa Sunda kuna memiliki
kedekatan dengan bahasa Sunda modern. Sebagian besar kosakata Sunda kuna masih dapat
dikenali dalam bahasa Sunda modern. Begitu pula dengan struktur kalimat dan fungsi-fungsi
gramatikalnya secara umum. Oleh karena itu untuk memaparkan gejala kebahasaan Sunda kuna
di dalam teks SSKK, dilakukan suatu pendekatan sinkronis diakronis berdasarkan bahasa Sunda
modern.
Sebagai teks didaktik, SSKK berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan suatu hal
dan menegaskan suatu aturan berupa larangan atau perintah. Gaya penyampaian isi yang
digunakan dalam teks ini tampak pada penggunaan kata atau kalimat dengan pola yang teratur
pada setiap topik bahasannya. Di dalam teks SSKK ditemukan gaya penyampaian isi dengan
penggunaaan kata penunjuk (demonstrativa) dengan pola yang konsisten. Berdasarkan anggapan
tersebut, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis perilaku kata penunjuk dan pola umum yang
digunakan dalam teks SSKK. Hasilnya diharapkan dapat menambah informasi linguistik dalam
khasanah sejarah perkembangan bahasa Sunda.
Analisis
Terdapat enam kata ganti penunjuk dalam bahasa Sunda kuna dalam teks SSKK yaitu ini,
nihan, éta, itu, kitu, dan sakitu. Dari enam kata penunjuk yang digunakan dalam bahasa Sunda
kuna tersebut, hanya dua saja yang tampaknya mengalami perubahan, yaitu pada kata ini dan
nihan menjadi ieu dan kieu dalam bahasa Sunda modern. Sedangkan lima kata lainnya tetap
memiliki bentuk dan arti leksikal yang tidak berubah. Hal ini juga menunjukkan bahwa selama
lebih dari 5 abad penggunaan kata penunjuk dalam bahasa Sunda tidak banyak mengalami
perubahan berarti. Perbedaan demonstrativa sunda Kuna dengan sunda modern dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 1
Perbandingan Demonstrativa
Bahasa Sunda Kuna, Sunda Modern, & Bahasa Indonesia
Sunda Kuna
ini
nihan
éta
itu
kitu
sakitu
Sunda Modern
ieu
kieu
éta
itu
kitu
sakitu
Bhs. Indonesia
ini
ini, begini
itu (agak jauh)
itu (jauh)
begitu
begitulah,
demikianlah,
itu semua
Tampaknya perlu dibahas terlebih dahulu tentang kata ini dan nihan. Dalam terjemahan
yang diberikan oleh Selah Danasasmita dkk. (1987) tampaknya kedua kata tersebut tidak
memiliki perbedaan arti leksikal, namun sama saja: ‘inilah’. Tetapi berdasarkan tinjauan internal
di dalam teks SSKK maupun pada teks-teks berbahasa Sunda kuna lainnya, terdapat perbedaan
arti dan fungsi secara leksikal.
Ini berfungsi untuk menunjukkan hal umum, sepadan dengan arti ‘ini’ dalam bahasa
Indonesia. Kata ini juga digunakan pada naskah Sunda kuna lainnya seperti Carita
Parahyangan, Amanat Galunggung, Sanghyang Sasana Maha Guru, Carita Ratu Pakuan, dan
Séwaka Darma yang ditulis antara abad ke-14 sampai abad ke-17. Sedangkan bentuk yang lebih
tua ditemukan pada beberapa prasasti abad ke-7 berbahasa Melayu kuna seperti prasasti Karang
Bahi, Kota Kapur, Palas Pasemah, Kedukan bukit (Boechari, 2012), dengan bentuk yang sama:
ini.
Sedangkan nihan digunakan untuk memaparkan suatu hal yang sepadan dengan
terjemahan ‘begini’. Pembedaan demikian tampaknya juga dipertimbangkan oleh Djajasudarma
dkk. (1995) yang memberikan terjemahan ‘begini’ untuk kata nihan dalam teks Carita
Parahyangan. Seperti salah satu arti yang diberikan dalam Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti
Sunda Abad 11 s.d. 18 untuk kata nihan, yaitu ‘ini’, ‘inilah’, ‘begini’ (Suryani dkk., 2001:128).
Di dalam bahasa Jawa kuna juga terdapat kata nihan yang diartikan ‘lihat! (di) sini!
begini, jadi, demikian (sbg berikut)’ oleh Zoetmulder (2006:698), sedangkan
Mardiwarsito(1990:369) memberikan arti ‘ini(lah); begini(lah); demikian(lah)’. Namun demikian
tidak ditemukan kata ini di dalam bahasa Jawa kuna. Hal ini menjadi menarik, bahwa terdapat
suatu hubungan kebahasaan yang unik antara bahasa Melayu kuna, Sunda kuna dan Jawa kuna.
Berikut ini perbandingan kata penunjuk pada ketiga bahasa tersebut.
Tabel 2
Perbandingan kata penunjuk pada tiga bahasa kuna
(keluarga Melayu-Polinesia)
Bhs.
Indonesia
ini
itu
begini
begitu
Melayu
kuna1
ini
-
Sunda
kuna
ini
itu
nihan
kitu
Jawa
kuna
iki(ng)
iku
nihan
nahan, iti
Pada tabel di atas tampak bahwa penggunaan kata penunjuk dalam bahasa Sunda kuna
berada di antara bahasa Melayu kuna dan Bahasa Jawa kuna. Kata ini sama-sama digunakan
pada bahasa Sunda kuna dan Melayu kuna. Lalu nihan yang sama-sama digunakan dalam bahasa
Sunda kuna dan Jawa kuna. Kedekatan bentuk tersebut tampaknya merupakan salah satu gejala
yang muncul pada bahasa yang berada dalam keluarga Melayu-Polinesia. Seperti pada klasifikasi
bahasa yang disebutkan oleh Harimurti Kridalaksana (2001).
Pertimbangan lainnya yaitu berdasarkan perbandingan morfologis dalam kata penunjuk
bahasa Sunda Modern. Pada bahasa Sunda modern terdapat serangkaian pola bentuk kata ieu,
kieu (ka-ieu), dieu (di-ieu) yang memiliki terjemahan dan bentuk kata yang juga teratur pada
bahasa Indonesia, yaitu ‘ini’, ‘begini’, ‘sini’. Baik dalam bahasa Sunda modern dan bahasa
Indonesia, perubahan kata penunjuk tersebut tetap menyertakan unsur kata ieu ‘ini’ secara
teratur. Dengan kecenderungan seperti itu, tampaknya dapat pula dilakukan pendekatan yang
sama terhadap pembentukan kata ini, nihan, dan dini2 pada bahasa Sunda kuna, dengan
pertimbangan arti leksikal ‘ini’, ‘begini’, dan ‘sini’ (lihat tabel 1).
Letak Kata penunjuk Terhadap Wacana
Berdasarkan letaknya terhadap wacana, kata penunjuk yang digunakan dalam teks SSKK
bersifat endoforis. Kata penunjuk endoforis yaitu kata penunjuk yang menunjukkan kembali
pada hal yang ada di dalam wacana, mencakup anafora dan katafora (Kridalaksana, 2001:51),
(Sudaryat, 2013:67).
a. Kata penunjuk anaforis: éta, itu, kitu, sakitu
Kata penunjuk anaforis (anafora) adalah kata penunjuk endoforis yang menunjukkan
acuan yang ada didepannya(Sudaryat, 2013:67), (Kridalaksana, 2001:89). Di dalam teks
SSKK kata penunjuk anaforis yang digunakan adalah éta, itu, kitu, dan sakitu seperti pada
kalimat berikut ini:
(1) disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan, kena wageuy, kena
kula kadang, kena baraya. éta ulah dipiguna ku urang hulun.
1 Berdasarkan ulasan Boechari (2012). Bahasannya tidak berfokus pada aspek lingustik Melayu kuna, tetapi berupa
transkripsi dan transliterasi dari beberapa prasasti Melayu kuna dan ulasannya secara umum.
2 Kata dini digunakan dalam naskah Carita Parahyangan, Sri Ajnyana, Ramayana
‘disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi
memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara hal itu jangan
dilakukan oleh seorang hulun’
(2) . . . maka nguni di tohaan di maneh, itu leuwih mulah dipiguna dipitwah ku urang hulun.
‘…rumah penguasa atau pada raja. Hal demikian lebih-lebih jangan dilakukan, jangan diperbuat oleh
seorang hulun.’
(3) kalingana ta, sri ma ngaranya omas. kitu na omas, lamun hamo dila(n)ja pelek rupana, lamun kalanja
ma cenang, rampes ja kaopeksa.
‘dikatakan: sri itu namanya emas, adapun emas. bila tidak digosok suram warnanya, kalau digosok
cemerlang indah sebab terpelihara.’
(4) lamun ka beet ma basana: utun, eten, orok, anak ing, adi ing. ka kolot ma basana: lanceuk ing, suan
ing, euceu ing, aki ing. pangwastu nama sumanger teu(ng)teuing amat sakitu na dasa pasantra,
‘kepada yang masih muda panggillah: utun (buyut), eten (upik), orok (bayi), anaking (anakku), adiing
(adikku). kepada yang tua menyebutlah: lanceuking (kakakku), suaning (uaku), euceuing (kakak
perempuanku), akiing (kakekku). menyebut nama berkesan keterlaluan. demikianlah (yang disebut)
dasa pasanta (sepuluh penenang hati).’
Keempat kata penunjuk tersebut membutuhkan acuan yang disebutkan dalam kalimat
sebelumnya dan hanya muncul bila terdapat kalimat yang menjadi acuan di depannya. Pada
kalimat (1) éta mengacu pada kalimat disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan
gumanti ya ngiseusan yang muncul sebelumnya. Kata itu dalam kalimat (2) mengacu pada maka
nguni di tohaan di manéh ḥ. Pada kalimat (3) kata kitu memiliki acuan dalam kalimat sebelumnya
sri ma ngaranya omas. Kata sakitu dalam kalimat (4) mengacu pada aspek (dasa pasanta3) yang
disebutkan sebelumnya yaitu utun, eten, orok, anaking, adiing, lanceuking, suaning, euceuing,
akiing.
b. Kata penunjuk kataforis: ini, nihan
Kata penunjuk kataforis (katafora) yang digunakan dalam teks SSKK yaitu ini, dan nihan
seperti pada kalimat berikut:
(5) ini sanghyang dasa kreta kundangeun urang reya.
‘inilah sanghiyang dasa kreta untuk pegangan orang banyak.’
(6) nihan ujar sang sadu ngagelarkeun sanghyang siksakandang karesian.
‘inilah ujar sang budiman memaparkan sanghiyang siksakandang karesian.’
Berdasarkan Jarak Terhadap Acuan
Dari jaraknya terhadap acuan, kata penunjuk anaforis pada teks SSKK dapat dibedakan
menjadi kata penunjuk semi proksimal (éta) dan distal (itu, kitu, sakitu). Sedangkan kata
penunjuk kataforis (ini dan nihan) termasuk pada kelompok proksimal (dekat). Berikut ini
ditampilkan dalam bentuk tabel.
Tabel 3
Proksimitas Kata penunjuk Bahasa Sunda kuna
Letak
Jarak dari Acuan
Acuan
Proksimal
Semi-Proksimal
Distal
3 Dasapasantra artinya sepuluh penenang hati. Di dalam teks SSKK 630 hanya disebutkan sembilan saja, tetapi di
dalam teks 624 disebutkan lengkap dengan kaponakan.
Anafori
s
katafori
s
éta
itu, kitu, sakitu
ini, nihan
Meskipun di dalam teks kata éta dan itu seringkali dipertukarkan dalam penggunaannya,
tetapi ditemukan contoh kalimat yang dapat dijadikan gambaran tentang proksimitas
demonstrativa dalam bahasa Sunda kuna. Berikut ini contoh kalimatnya:
(7) disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan, kéna wageuy, kena
kula kadang, kena baraya. éta ulah dipiguna ku urang hulun. bogoh di kaceuceub, ceuceub di
kabogoh. itu tan yogya dipitwah ku urang hulun.
‘Disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi
memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara Hal itu jangan
dilakukan oleh seorang hulun.’
Éta mengacu pada kalimat disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan
gumanti ya ngiseusan. Lalu itu mengacu pada kalimat yang sama dengan acuan untuk éta, yaitu
disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan. Hal ini
menunjukkan kata penunjuk itu digunakan untuk menunjukkan kata yang lebih jauh dari
acuannya. Dalam contoh kalimat di atas, meskipun éta dan itu mengacu pada kalimat yang sama
tetapi terdapat perbedaan jarak klausa (kalimat). Éta mengacu pada klausa pertama di depannya,
sedangkan itu mengacu pada klausa kedua di depannya. Dengan kata lain terdapat klausa yang
dilangkahi untuk diacu oleh kata penunjuk itu.
Pola Umum Penggunaan Demonstrativa
Untuk menyampaikan suatu topik baru digunakan kata penunjuk ini dan nihan yang
berarti ‘ini, inilah’ dan ‘begini, beginilah’. Sedangkan untuk menegaskan topik yang telah
dibahas sebelumnya digunakan kata éta, itu, kitu, sakitu yang berarti ‘itu, itulah, demikianlah,
begitulah’.
Pola penggunan kata penunjuk di dalam teks SSKK seringkali secara berganda, yaitu
perpaduan antara kata penunjuk anafora dan katafora sekaligus. Kedua jenis kata penunjuk
tersebut digunakan dalam sebuah wacana. Hal ini berfungsi sebagai penegasan tentang aspek
yang menjadi fokus bahasan. Meski demikian ditemukan juga pola tunggal penggunaan kata
penunjuk kataforis tanpa disertai oleh kata penunjuk anaforis.
Pola 1
Ini/nihan+
topik
(katafora)
(penunjuk topik baru)
Contoh kalimat:
lihat kalimat (5) dan (6)
Pola 2
ini/nihan
+
topik +
(katafora)
(penunjuk topik baru)
kitu/sakitu
(anafora)
(penegas)
Contoh kalimat:
(8) ini guna janma di bwana. ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngamang, ngarombaong. ngangka ma
ngara(n)na angen-angen. nyigi ma ngara(n)na uu(n)tayan, ngiket ma ngara(n)na watek nalikeun.
nyigeung ma ngara(n)na meu(ng)peung meulah, ma(n)cir. midwakeun, ngadar, ngagitaka, ngukur,
nyarwakeun. ngarwang ma ngara(n)na sawatek ngalikeun. ngarombong ma ngara(n)na sawatek
heuleut-heuleut. ya ta sinangguh sadguna ngara(n)na. sakitu guna janma sarean(a).
‘Ini kagunaan manusia di dunia: ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngaruang, ngarombong. Ngangka
berarti cita-cita. Nyigi berani untaian. Ngiket berarti segala jenis pekerjaan mengikat. Nyigeung berarti
meluruskan, membelah, membaji, membagi dua, meratakan, mengetok, mengikur. menyamakan.
Ngaruang berarti segala macam kerja menggali. Ngarombong berarti segala jenis pekerjaan
memenggal-menggal (memberi batas). Itulah yang disebut sadguna (enam kegunaan). Sekian
kagunaan manusia semuanya.’
Pola 3
Ini/nihan
+
topik +
(katafora)
(penunjuk topik baru)
éta/itu
(anafora)
(penjelas)
Contoh kalimat:
(9) ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir,
caang buruan. anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan
karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana sama wong (sa)rat. sangkilang di lamba, trena taru
lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung tahun, tumuwuh
daek, maka hurip na urang reya. inya éta sanghyang sasana kreta di lamba nga-rana.
‘Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang, 5
bersih halaman bclakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi. kandang
ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup. selalu6 sehat. sumbernya terletak pada
manusia sedunia. Seluruh penopang kehidupan; Rumput, pohon-pohonan, rambat. semak, hijau subur
tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya,
memberikan kehidupan kepada orang banyak. Ya itulah (sanghiyang) sarana kesejahteraan dalam
kehidupan namanya.’
Pola 4
ini/nihan
+
topik +
(katafora)
(Penunjuk topik baru)
sakitu
(anafora)
(penegas)
+ éta
(anafora)
(penjelas)
Contoh kalimat:
(10) nihan muwah. jaga rang kadatangan ku samé pangurang dasa, calagara, upeti panggeres reuma
maka suka geui(ng) urang, maka rasa kadatangan ku kula kadang, ku baraya, ku adi lanceuk anak
mitra suan kaponakan. sakitu éta kangken ngan lamun aya panghaat urang, kicap inum si(m)but
cawet suka drebya.
‘Ini lagi. Kalau kita kedatangan oleh semua pangurang dasa, calagara, upeti, panggeres reuma,
tunjukkanlah rasa suka dalam tingkah kita, anggaplah seperti kedatangan sanak-keluarga, saudara,
adik, kakak, anak, sahabat, suan atau keponakan. Demikianlah ibaratnya. Namun bila ada rasa sayang
pada kita, sediakanlah makanan, minuman, selimut, kain yang kita miliki.’
Kesimpulan
Kata penunjuk bahasa Sunda kuna mengalami perubahan pada bahasa Sunda modern. hal
ini ditunjukkan oleh perubahan bentuk kata penunjuk kataforis proksmal ini dan nihan yang
berubah menjadi ieu dan kieu. Sedangkan empat kata penunjuk anaforis semi proksimal éta dan
distal itu, kitu dan sakitu, tidak mengalami perubahan selama sekitar 5 abad baik dari bentuk,
peletakan dalam kalimat, maupun maknanya.
Bahasa Sunda memiliki hubungan dekat dengan bahasa Melayu kuna dan Jawa kuna. hal
ini terlihat dari penggunaan kata penunjuk ini yang juga digunakan dalam bahasa Melayu kuna.
Kedekatan dengan bahasa Jawa kuna terlihat dari penggunaan nihan yang juga digunakan dalam
bahasa Sunda kuna.
Pola penggunaan kata penunjuk pada teks keagamaan SSKK menggambarkan penekanan
terhadap topik yang dibahas. Hal ini tampak pada intensitas penggunaan kata penunjuk yang
tinggi dalam sebuah wacana. Pada beberapa bagian teks terdapat penggunaan lebih dari satu kata
penunjuk dalam sebuah wacana, yaitu penggunaan di awal dan digunakan lagi di akhir wacana.
Contohnya dapat diliht pada kalimat (8), (9) dan (10). Pola demikian tampaknya memiliki fungsi
untuk menegaskan pengtingnya topik yang dimaksud.
Berdasarkan analisis pada tulisan ini, menurut hemat penulis, perlu dilakukan peninjauan
ulang terhadap edisi terjemahan naskah-naskah Sunda kuna dan prasasti-prasasti yang
menggunakan bahasa Sunda kuna, salah satunya dari aspek penggunaan kata penunjuk. Hal ini
penting dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan keotentikan dan konsistensi isi kandungan
yang terdapat dalam teks-teks Sunda kuna.
Daftar Pustaka
Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuna Indonesia Melalui Prasasti. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Coolsma, S. 1913. Sondaaneesch-Hollandsch Woordenboek. Leiden: A.W. Sijhoffs UitgeversMaatschappij.
Danadibrata, R.A. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama
Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma (Koropak 408), Sanghyang Siksakandang
Karesian (Koropak 630), Amanat Galunggung (Koropak 632), Transkripsi dan
Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
(Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud.
Darsa, Undang A. 2012. Séwaka Darma Peti Tiga Ciburuy Garut. Bandung: Yayasan Pusat Studi
Sunda.
Djajasudarma, Fatimah, dkk. 1995. Carita Parahyangan: Satu Kajian Struktur Bahasa Sunda
Dialek Temporal.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Lingustik Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Mardiwarsito, L & Kridalaksana, Harimurti. 2012. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Depok:
Komunitas Bambu & Ecole française d’Extrême-Orient.
Mardiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.
Nurwansah, Ilham. 2013. “Naskah Lontar Sunda Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian
(624) dalam Sundalana 12: Memelihara Sunda (Bahasa Seni dan Sastra). Seri Sundalana.
Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.
Ruhaliah. 1997. Kajian Diakronis Struktur Bahasa Sunda Bihari dan Bahasa Sunda Kiwari.
Bandung: IKIP (tidak diterbitkan).
Sudaryat, Yayat, dkk. 2013. Tata Basa Sunda Kiwari. Bandung: Yrama Widya.
Sudaryat, Yayat. 2005. Kamus Istilah Elmuning Basa Sunda. Bandung: CV Karya Iptek.
Suryani, Elis, dkk. 2001. Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda Abad 11 s.d. 18. Bandung:
Komunitas Pernaskahan Sunda Purbatisti & Pemerintah Kota Bandung.
Teeuw, A. & Noorduyn, J. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wartini, Tien, dkk. 2010. Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna. Jakarta: Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia-Yayasan Pusat Studi Sunda.
Zoetmulder, P.J. & Robson, S.O. 2006. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.