ETIKA PROFESI HUKUM ADVOCAT ILMIAH

ETIKA PROFESI HUKUM
“ADVOCAT”
Disusun oleh:
firasaputriyanuari@students.unnes.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Profesi adalah pekerjaan tetap bidang tertentu berdasarkan keahlian khusus yang
dilakukan secara bertanggung jawab dengan tujuan memperoleh penghasilan. Apabila
profesi itu berkenaan dengan bidang hukum, maka profesi itu disebut profesi hukum.
Menurut Prof. Subekti, advocat adalah seorang pembela dan penasihat, sedangkan
pengaca adalah seorang ahli hukum acara yang memberikan jasanya dalam mengajukan
perkara ke pengadilan dan mewakili orang-orang yang berperkara di muka pengadilan.1
Sebagai bagian dari elemen penegakan hukum, advokat tentu saja memegang peranan
penting dalam menegakkan hukum yang adil dan tidak pandang bulu. Advokat
berdasarkan yang tertulis dalam Anggaran Dasar Peradi bertanggung jawab untuk
menegakkan hukum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, melindungi hak asasi
manusia, meningkatkan kesadaran hukum, dan berperan memelopori pembaharuan
pembangunan dan pembentukan hukum demi terselenggaranya supremasi hukum.
Kode etik advocat Indonesia menjadi hukum tertinggi yang menjamin dan melindungi

tetapi juga membebankan kewajiban kepada setiap Advocat untuk jujur dan bertanggung
jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau
masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri, dan setiap Advocat yang melanggar
Kode Etik ini dapat diadukan dan dikenai tindakan
Kode etik profesi advokat merupakan instrumen penting untuk mencegah advokat
melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis dan melanggar hukum. Dengan adanya
kode etik profesi advokat, diharapkan advokat dapat menyadari akan pentingnya tugas
dan kewajiban dari profesi advokat bagi penegakan hukum di Indonesia. Atas dasar
inilah, maka pemakalah akan membahas tentang Kode Etik Profesi Advokat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja instrumen kode etik profesi advocat?
2. Bagaimana prosedur pengaduan pelanggaran kode etik profesi advocat?
3. Apakah ada masukan terhadap UU profesi advocat?
1

Sukris Samadi, Advokat Litigasi dan Non Litigasi Pengadilan, (Bandung: Mandar Maju,
2009), Hlm 1-2.

1.3 Tujuan
1. Mengetahui instrumen kode etik profesi advocat

2. Mengetahui prosedur pengaduan pelanggaran kode etik profesi advocat
3. Memberikan masukan terkait UU profesi advocat

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Instrumen Kode Etik Profesi Advocat
Organisasi advokat di Indonesia bermula dari masa kolonialisme. Jumlah advokat
pada masa itu masih sedikit, advokat hanya ditemukan di kota-kota yang memiliki
landraad (pengadilan negeri) dan raad van justitie (dewan pengadilan). Para advokat
yang tergabung dalam suatu organisasi advokat disebut balie van advocaten. Wadah
advokat di Indonesia dibentuk pada tanggal 4 Maret 1963 di Jakarta pada saat Seminar
Hukum Nasional di Universitas Indonesia, yang diberi nama Persatuan Advokat
Indonesia (PAI). Pembentukan wadah atau organisasi advokat di Jakarta tersebut disusul
dengan pembentukan organisasi PAI di daerah-daerah.2 Kemudian, dalam Musyawarah I/
Kongres Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Toba di Solo, pada tanggal 30
Agustus 1964, secara aklamasi diresmikan pendirian Persatuan Advokat Indonesia
(PERADIN), sebagai pengganti PAI. Semenjak itu PERADIN konsisten mengawal
konstitusi, sehingga semua Keppres, Inpres, PP, dan UU yang bertentangan dengan
konstitusi diprotes keberadaannya. Karena kiprahnya tersebut, PERADIN sampai disebut
I’enfant terrible (si anak nakal). Bahkan pernah dianggap disiden.3

Pada akhirnya IKADIN yang merupakan pengganti PERADIN tidak dapat bertahan
lama, karena tidak ditindaklanjuti secara konsisten oleh pendirinya. Terjadi perpecahan
di tubuh IKADIN sebagai akibat dari pengurus IKADIN tidak setuju terhadap beleid
(kebijakan) Dewan Pimpinan Pusat IKADIN, puncaknya adalah insiden pada saat
berlangsungnya Kongres sekitar tahun 1990 di Hotel Horison.4
Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo 5 berpendapat
bahwa agar hukum dapat bekerja sesuai dengan fungsinya, maka harus ada tiga elemen
yaitu struktur, substansi, dan kultur hukum yang berinteraksi dengan baik sebagai sebuah
sistem. Seperti wadah independen yaitu Perhimpunan Advocat Indonesia (PERADI).
Maka organisasi advokat yang terdiri dari beberapa organisasi advokat sepakat untuk
membentuk sebuah komite yang akan bertugas untuk membentuk kode etik advokat
Indonesia. Kesepakatan advokat tersebut melahirkan sebuah komite yang disebut Komite
Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang bertugas membentuk satu kode etik yang akan
2

Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989), Hlm. 89-90.
Frans Hendra Winarta, Advokasi dengan Hati Nurani, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional
RI, 2010), Hlm. 69.
4
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1995), Hlm.

80.
5
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan ke-5, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), Hlm
153.
3

diberlakukan untuk semua advokat Indonesia. Organisasi advokat yang menandatangani
Kode Etik Advokat Indonesia dan sekaligus terlibat dalam Komite Kerja Advokat
Indonesia (KKAI) adalah6:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN);
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI);
Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (HAPI);

Serikat Pengacara Indonesia (SPI);
Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI);
Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI);
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHM).

Beberapa instrumen hukum kode etik profesi advocat:
a. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 81);
c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3879);

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3316);
f. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3327);
g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344);

6

Supriadi, S.H., M.Hum., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cet.
Ketiga (Jakarta: Sinar Grafka, 2010), Hlm. 85.

h. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3400);
i. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3713);
j. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778);
k. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).
Undang-undang yang mengatur tentang keadvokatan adalah Undang-undnag No. 18
Tahun 2003 Tentang Advokat. Undang-undang ini dibuat karena mempertimbangkan
bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari
luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk
terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi
semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi
manusia di Indonesia. Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung
jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh produk hukum

berupa undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum yang
kuat.
Dalam Undang-undang No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat ini diatur berbagai
ketentuan mengenai advokat, di antaranya mengenai pengangkatan, sumpah, status,
penindakan, serta pemberhentian advokat. Untuk lebih lengkapnya silakan pelajari
Undang-undang tentang advokat ini lebih lanjut.
Di dalam provesi adokat juga terdapat kode etik yang harus ditaati oleh setiap
advocat. Dalam pembukaan Kode Etik Keadvokatan Indonesia disebutkan secara jelas
bahwa:
"...setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan
menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh
Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui
setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi
anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan
kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku"
2.2 Prosedur Pengaduan Pelanggaran Kode Etik Profesi Advocat
Profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab, yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dalam penyelenggaraan
peradilan ialah guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemandirian dan kebebasan yang


dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus diikuti oleh adanya tanggungjawab masingmasing advokat dan Organisasi Profesi yang menaunginya. Ketentuan UU Nomor 18
Tahun 2003 telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai
dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Undang-undang advokat tersebut
memuat landasan pijakan berupa hak dan kewajiban yang melekat pada seorang advokat.
Kewajiban advokat yang diatur dalam UU Advokat meliputi:
1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap
klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial
dan budaya.
2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh
pihak yang berwenang dan/atau oleh masyarakat.
3. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau peroleh dari kliennya
karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
4. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas
dan martabat profesinya.
5. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa
sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam
menjalankan tugas profesinya.
6. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi advokat
selama memangku jabatan tersebut.
Undang-Undang Advokat telah memberikan aturan tentang pengawasan, tindakantindakan terhadap pelanggaran, dan pemberhentian advokat, yakni ketentuan Pasal 6

Undang-undang Advokat yang menentukan bahwa advokat dapat dikenai tindakan dengan
alasan7:
1. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
2. Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
3. Bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundangundangan, atau
pengadilan;
4. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan
martabat profesinya;
5. Melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan dan atau perbuatan
tercela;
6. Melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
menetapkan bahwa “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas
Penasihat Hukum dan Notaris.” Kemudian berdasarkan Pasal 36 ini, dikeluarkan peraturan
7

Sinaga Harlen, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), Hlm.
105.


pelaksana berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 6 Juli 1987 tentang Tata Cara
Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum. Berdasarkan SKB ini,
maka advokat selain berada di bawah pengawasan badan yudikatif (Pengadilan Negeri
sampai Mahkamah Agung), juga berada di bawah pengawasan badan eksekutif
(Pemerintah/Menteri Kehakiman). Loekman Wiriadinata, mantan Menteri Kehakiman RI
pernah menyatakan bahwa SKB ini tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.8
Pedoman yang digunakan dalam mengadili seorang advokat diatur dalam Keputusan
Dewan Kehormatan Pusat PERADI Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memeriksa
dan Mengadili Pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia, yang ditetapkan pada tanggal 5
Desember 2007. Beberapa bagian penting dari Keputusan tersebut diringkas di bawah ini.
1. Legal Standing
Pengadu KEAI menetapkan pada Pasal 11 ayat (1) bahwa pengaduan dapat diajukan
oleh “pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan.” Pasal ini dijabarkan lebih
rinci oleh Pasal 2 ayat (1) Keputusan Dewan Kehormatan Pusat PERADI No. 2 tahun
2007 bahwa yang dapat mengajukan pengaduan adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Klien;
Teman sejawat;
Pejabat Pemerintah;
Anggota Masyarakat;
Komisi Pengawas;
Dewan Pimpinan Nasional PERADI;
Dewan Pimpinan Daerah PERADI di lingkungan mana berada Dewan
Pimpinan
Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota;
h. Dewan Pimpinan Cabang PERADI dimana Teradu terdaftar sebagai anggota.
Dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum serta
hal
lain
yang
dipersamakan
untuk
itu,
Dewan
Pimpinan
Nasional/Daerah/Cabang PERADI dapat juga bertindak sebagai Pengadu.
Jika melihat cakupannya yang begitu luas dengan memasukkan “Anggota Masyarakat”
sebagai pihak yang berhak mengadu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
prinsipnya setiap orang yang “berkepentingan dan merasa dirugikan” oleh malpraktik
seorang advokat boleh mengadu ke PERADI.
2. Tahap Pengaduan
Pengaduan harus disampaikan secara tertulis dan jelas mengenai identitas para pihak,
hal yang diadukan dan alasannya, tuntutan yang dimohonkan serta bukti-bukti yang
dianggap perlu. Pengaduan ditujukan kepada:
a. Dewan Kehormatan Daerah yang wilayahnya mencakup Dewan Pimpinan
Daerah/Cabang; dan/atau
b. Dewan Pimpinan Daerah/Cabang dimana Teradu terdaftar sebagai anggota;
dan/atau
8

Loekman Wiriadinata, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, editor Paul S. Baut dan
Luhut M.P. Pangaribuan, cetakan pertama, (Jakarta: YLBHI, 1989), Hlm. 60-64.

c. Dewan Pimpinan Nasional.
3. Tahap Persidangan
4. Putusan Tingkat Pertama
Putusan Majelis diambil secara mufakat namun apabila tidak tercapai mufakat maka
Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Anggota Majelis yang kalah dalam
pemungutan suara dapat membuat dissenting opinion yang dimuat di dalam Putusan.
Dalam putusan yang tidak dapat diterima, penggugat masih dapat mengajukan gugatannya
lagi. 9Majelis dapat mengambil Putusan berupa:
-

Menyatakan pengaduan dari Pengadu tidak dapat diterima;
Menerima pengaduan dari Pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi
kepada Teradu.
Menolak pengaduan dari Pengadu;

Sanksi yang diberikan dalam Putusan dapat berupa:
-

Teguran lisan sebagai peringatan biasa;
Teguran tertulis sebagai peringatan keras;
Pemberhentian sementara dari profesi selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas)
bulan;
Pemberhentian tetap dari profesinya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi
profesi.

5. Pemeriksaan Tingkat Banding
6. Putusan Tingkat Banding
Majelis Kehormatan Pusat mengeluarkan Putusan Tingkat Banding berupa:
a. Menguatkan putusan Dewan Kehormatan Daerah;
b. Mengubah atau memperbaiki putusan Dewan Kehormatan Daerah; atau
c. Membatalkan putusan Dewan Kehormatan Daerah denga mengadili sendiri.
7. Pemeriksaan Prorogasi
Pemeriksaan Prorogasi adalah pemeriksaan perkara langsung ke tingkat akhir oleh
Majelis Kehormatan Pusat yang bersifat final, tanpa melalui pemeriksaan tingkat pertama
oleh Majelis Kehormatan Daerah.
2.3 Masukan Terhadap UU Terkait Profesi Advocat
Peraturan Magang
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) terus berupaya merampungkan tugasnya
mengantar ribuan calon advokat baru untuk menjadi advokat sesuai dengan ketentuan UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pekerjaan yang saat ini tengah fokus dilaksanakan
9

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:
Liberty, 1982), Hlm. 77-78.

PERADI adalah pelaksanaan magang sebagai syarat untuk menjadi advokat sebagaimana
digariskan Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat.
Melengkapi peraturan-peraturan menyangkut magang sebelumnya, pada 11 Desember
2006 lalu, PERADI menerbitkan Petunjuk Teknis (Juknis) Pelaksanaan Peraturan PERADI
No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat. Sebelumnya, selain
Peraturan No. 1 Tahun 2006, PERADI juga menerbitkan Peraturan No. 2 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2006.
Pada petunjuk teknisnya didominasi oleh pengaturan mengenai kantor hukum yang
akan dijadikan tempat magang, termasuk di dalamnya lembaga bantuan hukum cuma-cuma.
Menilik substansinya, Juknis yang terdiri dari 16 butir ini diantaranya mengatur tentang
kewajiban-kewajiban administratif yang harus dipenuhi kantor advokat tempat magang tanpa
menyertakan sanksinya.
Menurut Kanter dan Sianturi berpendapat bahwa tugas sanksi adalah:10
a. Merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati
oleh setiap orang, sifatnya preventif.
b. Merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum, sifatnya
represif.
Kantor advokat, misalnya, diwajibkan mengajukan surat permohonan untuk menjadi
tempat magang yang disertai dengan fotokopi Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) atau
Nomor Induk Advokat (NIA) pendirinya, daftar advokat pendamping, dan surat pernyataan
tentang kesediaan memberikan laporan dan surat keterangan magang. Kewajiban yang sama
juga diberlakukan bagi lembaga bantuan hukum cuma-cuma yang ingin dipersamakan dengan
kantor advokat.
Ketentuan yang terkesan membebani kantor advokat yang dijadikan tempat magang,
ada kewajiban tetapi tidak ada sanksi. Aturan magang yang banyak membebankan kewajiban
kepada kantor advokat tetapi tanpa disertai sanksi. PERADI terkesan setengah hati
menerbitkan peraturan magang karena mencantumkan klausul kewajiban tanpa disertai
sanksi. Ketidaktegasan ini dapat diartikan PERADI tidak melindungi kepentingan para calon
advokat. Sangat mungkin, kantor advokat tempat magang hanya karena like or dislike (suka
atau tidak suka, red.) tidak mau mengeluarkan surat keterangan magang.
Jika ditelusuri, beberapa peraturan magang yang diterbitkan PERADI memang tidak
menetapkan sanksi bagi kantor advokat yang lalai atau tidak memenuhi kewajiban yang
dibebankan. Sanksi tegas justru ditimpakan kepada advokat pendamping dan calon advokat.
Pasal 11 ayat (2) Peraturan No. 1 Tahun 2006 menyatakan:
“Jika ternyata isi Surat Keterangan Magang dan atau Laporan Berkala dan/atau Laporan
Sidang ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, misalnya Calon Advokat
ternyata tidak pernah melakukan magang atau melakukan magang kurang dari jangka waktu
yang disebutkan dalam Surat Keterangan Magang, baik Advokat Pendamping yang
menerbitkan Surat Keterangan Magang dimaksud maupun Calon Advokat yang
menggunakannya akan dikenai sanksi berupa diberhentikan dari profesi advokat secara
tetap. Apabila Calon Advokat dimaksud belum diangkat sebagai Advokat, yang bersangkutan
tidak akan pernah dapat diangkat sebagai Advoka”.
10

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
cetakan ke 3, (Jakarta: Storia Grafka, 2002), Hlm 30.

Kelemahan aturan magang ini berpangkal pada peraturan induknya, UU Advokat.
Pelibatan kantor advokat dalam pelaksanaan magang memang dimulai ketika UU Advokat
lahir. Sayangnya, kata kewajiban' dalam ayat tersebut juga tidak dibarengi dengan sanksi
Pasal 29 ayat (5) UU Advokat menyatakan:
“Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima calon
Advokat yang akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
g.”.

BAB III
KESIMPULAN
Advokat tunduk kepada UU Advokat dan KEAI, dan setiap dugaan pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh seorang advokat dapat dilaporkan kepada Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat. Jika terbukti melanggar UU Advokat dan KEAI, advokat
tersebut dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian
sementara untuk waktu tertentu, atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Akan
tetapi, perlu digarisbawahi bahwa pelanggaran yang dimaksud terkait kepada Pelanggaran
Kode Etik saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan Pasal 11 ayat (3) KEAI advokat tunduk
kepada UU Advokat dan KEAI, dan setiap dugaan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh seorang advokat dapat dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Organisasi Advokat. Jika
terbukti melanggar UU Advokat dan KEAI, advokat tersebut dapat dikenai sanksi mulai dari
peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, atau
pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa
pelanggaran yang dimaksud terkait kepada Pelanggaran Kode Etik saja. Hal ini sebagaimana
dinyatakan Pasal 11 ayat (3) KEAI. Salah satu aturan yang menurut penulis tidak bagus ialah
aturan mengenai advocat yang tidak disertai dengan sanksi. Kelemahan aturan magang ini
berpangkal pada peraturan induknya, UU Advokat. Pelibatan kantor advokat dalam
pelaksanaan magang memang dimulai ketika UU Advokat lahir. Kata kewajiban dalam ayat
tersebut juga tidak dibarengi dengan sanksi

DAFTAR PUSTAKA
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
cetakan ke 3, (Jakarta: Storia Grafika, 2002).
Frans Hendra Winarta, Advokasi dengan Hati Nurani, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI,
2010).
Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1995).
Lasdin Wlas, Cakrawala Advokat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989).
Loekman Wiriadinata, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, editor Paul S. Baut dan Luhut
M.P. Pangaribuan, cetakan pertama, (Jakarta: YLBHI, 1989).
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan ke-5, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000).
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1982).
Sukris Samadi, Advokat Litigasi dan Non Litigasi Pengadilan, (Bandung: Mandar Maju,
2009).
Sinaga Harlen, Dasar-dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011).
Supriadi, S.H., M.Hum., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cet.
Ketiga (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).