IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Risiko Produksi Sayuran Organik di Dusun Kaliduren, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang = Production Risk

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis dan Topografi Desa Penelitian

Desa Batur merupakan salah satu desa yang sebagian besar penduduknya
bertani. Di Desa Batur terdapat 2 golongan petani yaitu petani organik dan petani
non organik. Jumlah penduduk Desa Batur sampai tahun 2014 adalah sebanyak
6.878 jiwa yang terdiri dari 3.633 laki-laki dan 3.235 perempuan, dengan jumlah
kepala keluarga 4.848 KK. Desa Batur secara administrasi termasuk dalam
wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa
Batur memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara

: Desa Sumogawe

b. Sebelah Selatan

: Gunung Merbabu


c. Sebelah Barat

: Desa Kopeng

d. Sebelah Timur

: Desa Tajuk

Secara geografis, Desa Batur memiliki data orbitrasi (jarak dari pusat
pemerintahan) sebagai berikut:
a. Jarak dari Pusat Kecamatan Getasan

: 3km

b. Jarak dari Pusat Kabupaten Semarang

: 30km

c. Jarak dari Pusat Provinsi Jawa Tengah


: 35km

d. Jarak dari Pusat Ibu Kota Jakarta

: 200km

Berdasarkan data monografi tahun 2014, luas Desa Batur adalah
1.081,750Ha yang terbagi menjadi 19 dusun yang terdiri dari 19 RW, dan 55 RT.
Luas tanah tersebut digunakan untuk berbagai keperluan baik jalan, ladang,
pemukiman, bangunan umum, pemakaman, dan peternakan. Desa Batur
mempunyai keadaan tanah yang masuk dalam golongan dataran tinggi dengan
ketinggian 1.200m2 diatas permukaan laut, sedangkan suhu rata-rata yang dimiliki
adalah 17oC dengan curah hujan sebesar 2.500mm/th.

19

4.1.2. Keadaan Tanah dan Luas Lahan

Luas keseluruhan Desa Batur adalah 1.081,750Ha. Penggunaan lahan Desa

Batur dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Luas dan Penggunaan Lahan Desa Batur
Bentuk penggunaan lahan
Luas (Ha)
Pemukiman, bangunan umum
380
Jalan, makam
173
Tegalan
321
Tanah kritis, tanah bengkok
102
Tanah Negara
105,750
Jumlah
1.081,750

Persentase (%)
35,13
15,99

29,67
9,43
9,78
100

Sumber: Data Monografi Desa Batur, 2014

Dari Tabel 4.1. diketahui bahwa lahan di Desa Batur pada tahun 2014 masih
banyak yang belum digunakan, masih milik Negara. Namun pada tahun 2016 ini
tanah Negara tersebut sudah banyak dimiliki oleh Penduduk Desa Batur dan
digunakan untuk bercocok tanam menanam sayuran. Penggunaan lahan paling
banyak digunakan untuk tempat pemukiman dan bagunan umum yaitu sebesar
389ha atau 35,13%, sedangkan untuk sarana bercocok tanam terbilang masih luas
yaitu menempati urutan kedua setelah pemukiman umum sebesar 321ha atau
29,67%. Hal ini terbukti, dikarenakan mayoritas mata pencaharian penduduk
didaerah Desa Batur adalah sebagai petani sayuran.
4.1.3. Keadaan Pertanian

Lokasi penelitian yaitu Desa Batur, jenis tanaman yang diusahakan petani
adalah tanaman sayuran seperti sawi sendok, selada hujau, selada merah, brokoli,

seledri, daun bawang, dan masih banyak lagi jenis sayuran lainnya. Para petani di
Desa Batur menggunakan pola tanam tumpangsari agar dapat menghasilkan hasil
panen yang berlimpah, meskipun memiliki lahan yang tidak begitu luas. Menurut
Paimin (1991), menyatakan bahwa bagi petani yang menanam sayuran sebagai
penghasilan keluarga, pola tanam menggunakan sistem tumpangsari memang
menguntungkan. Dengan melakukan tumpangsari bersama tanaman lain yang
dapat memberikan penghasilan bagi petani selama menunggu hasil sayuran
lainnya. Pertanian di Desa Batur memiliki pola pergiliran usahatani yang
cenderung tetap setiap tahunnya.

20

4.2.

Gambaran Umum Usahatani Brokoli dan Selada Hijau

4.2.1. Tahapan Budidaya Brokoli dan Selada Hijau
Berikut ini adalah tahapan dalam budidaya brokoli dan selada hijau. Proses
budidaya dimulai dari persiapan media persemaian sampai dengan panen. Di
tempat penelitian, semua tahapan dalam proses budidaya dilakukan, tetapi hanya

proses pembibitan yang tidak semua petani lakukan. Alasan dari proses
pembibitan tidak dilakukan oleh petani karena ketersediaan waktu untuk
melakukan proses pembibitan tersebut. Untuk tahapan proses budidaya yang
lainnya semua petani melakukannya sesuai dengan prosedur yang sudah
ditetapkan oleh Kelompok Tani Bangkit Merbabu.

Gambar 2. tahapan proses budidaya

Gambar 4.1. Tahapan budidaya brokoli dan selada hijau

Rata-rata bedengan yang digunakan petani adalah 10 m x 1m. dalam 1
bedengan terdapat 2 jenis tanaman yang diusahakan. Tanaman yang diusahakan
adalah brokoli dan selada hijau. Jarak tanam untuk brokoli adalah 40cm x 40cm,
sedangkan untuk selada adalah 20cm x 20cm. Pengaturan tanamannya yaitu
selada hijau berada di antara brokoli. Bentuk pola tanam usahatani brokoli dan
selada hijau berbentuk segitiga. Gambaran petak lahan usahatani brokoli dan
selada hijau dapat dilihat pada Gambar 4.2.

21


Gambar 4.2. Petak Lahan Brokoli dan Selada Hijau
4.2.2. Penggunaan Sarana Produksi
Penggunaan pupuk kandang dalam proses budidaya selada hijau adalah 50%
dan untuk budidaya brokoli adalah sebesar 50% dari total pupuk yang digunakan
oleh petani dalam sekali musim tanam. Karena setiap kali menanam selada selalu
dilakukan penambahan pupuk kandang, sehingga pupuk kandang yang digunakan
sama. Selada bisa ditanam 2 kali dalam setiap 1 musim tanam brokoli, dan pupuk
yang digunakan untuk budidaya selada hijau yang ke 2 dilakukan penambahan.
Maka dari itu, biaya pupuk yang dikeluarkan untuk brokoli dan selada hijau tidah
berbeda jauh. Bibit yang digunakan dalam proses budidaya brokoli dan selada
hijau didapat dari tempat pembibitan. Ada beberapa petani yang membibitkan
sendiri. Alasan petani membeli bibit ditempat pembibitan karena tidak ada waktu
untuk melakukan proses pembibitan.
Penggunaan mulsa yang dilakukan petani dalam budidaya brokoli dan
selada hijau adalah bersamaan, tetapi untuk biaya mulsa tidak semuanya masuk
dalam biaya penggunaan saprodi untuk brokoli, melainkan 25% dari total biaya
mulsa masuk kedalam biaya selada hijau. Alasannya yaitu karena 25% dari total
luasan lahan yang dimiliki petani digunakan untuk budidaya selada hijau dan 75%
digunakan untuk budidaya brokoli.
Penggunaan tenaga kerja, untuk brokoli ada 6 orang dan untuk selada hijau

ada 4 orang. Tenaga kerja yang digunakan dalam proses budidaya adalah tenaga
kerja dalam keluarga. Tenaga kerja yang digunaan pada proses mencangkul lahan
untuk brokoli dan selada hijau dilakukan secara bersama-sama, sehingga akan
meminimalkan tenaga kerja yang digunakan dalam proses tersebut. Begitu pula
dengan proses pemeliharaan yang dilakukan bersama-sama.

22

4.2.3. Gambaran Pola Tanam
Semua petani menerapkan pola tanam tumpangsari dalam budidaya sayuran
organik. Pola tanam tumpangsari ini bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan
tiap bedengan agar lebih efektif, untuk memutus siklus hama, dan menghindari
terjadinya kompetisi hara. Selain itu petani memilih pola tanam tumpangsari, agar
dapat dilakukan pemanenan secara berkala dalam satu luasan lahan dan
mendapatkan pendapatan usahatani secara lebih rutin.
Petani memilih menanam brokoli dan selada hijau karena brokoli memiliki
harga jual tinggi meskipun masa tanam yang cukup panjang yaitu kurang lebih
selama 3 bulan, sedangkan selada hijau dipilih karena komoditi ini memiliki umur
tanam yang pendek yaitu kurang lebih 2 bulan, dan juga komoditi ini bisa tumbuh
berdampingan dengan brokoli tanpa petani harus mengusahakan tambahan pupuk

dan yang lainnya dalam jumlah yang relatif banyak untuk menanam komoditi ini.
Gambaran pola tanam usahatani sayuran organik dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Gambaran Pola Tanam Usahatani Sayuran Organik
Bulan
komoditas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Brokoli
V
V
V
V
V V V

Selada Hijau
V
V
V
V
V V
V
Keterangan: (V) = tanam, (-) = bero

10
V

11
V
V

12
V
V


4.3. Karakteristik Responden
4.3.1. Umur
Umur merupakan usia petani sejak dilahirkan hingga saat penelitian
dilakukan. Berdasarkan pada data hasil penelitian yang telah dilakukan,
diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan usia memiliki keragaman
yang cukup tinggi dimana mayoritas responden memiliki usia rata-rata dibawah
45-54 tahun dengan persentase mencapai 43,33% (13 orang) dari total 30 orang
responden yang ada. Sementara persentase terkecil responden ialah pada kisaran
usia ≥65 tahun dengan persentase sebesar 6,67% (2 orang) dari jumlah total
responden.

Gambaran

keseluruhan

distribusi responden berdasarkan usia

responden dapat dilihat pada Tabel 4.3.

23

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Jumlah Sampel
Umur (tahun)
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
35-44
9
30
45-54
13
43.33
55-64
6
20
≥65
2
6.67
Total
30
100
Rata-rata usia
47
Sumber: Analisis Data Primer, 2016
4.3.2. Jenis Kelamin
Gambaran keseluruhan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah sampel
Jenis kelamin
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
Laki-laki
21
70
Perempuan
9
30
Total
30
100
Sumber: Analisis data primer, 2016
Berdasarkan Tabel 4.4, dapat diambil kesimpulan bahwa dari total 30
orang responden yang ada, sebagian besar dari responden adalah berjenis kelamin
laki-laki dengan persentase se3besar 70% (21 orang), sementara sisanya yaitu
30% (9 orang) adalah responden dengan jenis kelamin perempuan.
4.3.3. Pendidikan
Pendidikan merupakan pendidikan formal petani terakhir yang pernah
ditempuh.
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Jumlah Sampel
Pendidikan
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
SD
15
50
SMP
8
26,67
SMA
7
23,33
Total
30
100
Rata-rata Pendidikan
SD
Sumber: analisis data primer, 2016

24

Berdasarkan Tabel 4.5, responden dengan tingkat pendidikan SD paling
mendominasi yaitu sebanyak 15 orang (50%). Responden dengan tingkat
pendidikan SMP sebanyak 8 orang (26,67%), dan SMA yaitu 7 orang (23,33%).
Sedangkan responden yang tidak menempuh pendidikan formal yaitu 0 orang
(0%). Wahyuniarti (2011) dalam penelitiannya mendapatkan responden dengan
lama pendidikan 6 tahun mendominasi dari seluruh responden. Hal ini dapat
diartikan kebanyakan responden menempuh jenjang pendidikan hanya sampai
jenjang Sekolah Dasar (SD).
4.3.4. Luas Lahan Usahatani
Luas usahatani merupakan luas penguasaan lahan usahatani baik milik
sendiri atau kontrak lahan.
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Usahatani
Jumlah Sampel
Luas Usahatani (ha)
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
0,2
1
3,33
Jumlah
30
100,00
Rata-rata
0,123
Sumber: analisis data primer, 2016
Tabel 4.6, menunjukkan mayoritas respoden memiliki luas usahatani dengan
luas 0,1-0,14ha sebanyak 15 orang (50%). Responden dengan luas lahan usahatani
0,15-0,2ha sebanyak 11 orang (36,67%), responden yang memiliki luas lahan
usahatani 0,2ha ada 1 orang (3,33%). Lahan yang dimaksud
meliputi lahan sewa maupun kepemilikan sendiri yang ditanami sayuran organik.

4.4. Analisis Usahatani
Menurut Rukmana (2000), analisis usahatani dapat memberikan gambaran
mengenai besarnya biaya yang diperlukan dan besarnya pemasukkan serta
keuntungan yang diperoleh dalam usahatani sayuran organik. Pada bagian ini,
diuraikan mengenai analisis usahatani brokoli dan selada hijau organik dalam
satuan rupiah per hektar yang dapat dilihat pada Tabel 4.7.
25

Tabel 4.7. Analisis Biaya Usahatani Brokoli dan Selada Hijau
Jenis
Usahatani Brokoli
Usahatani Selada Hijau
Produktivitas (Kg/Ha/Th)
15.691,05
40.799,46
Harga Jual (Rp/Kg)
10.000
8.000
Penerimaan (Rp/Ha/Th)
156.910.500
326.395.680
Biaya (Rp/Ha/Th)
Pupuk kandang
12.441.920
12.411.924
Bibit
9.087.263
86.487.805
Mulsa
6.141.373
6.240.741
Total biaya
27.640.560
105.140.470
Pendapatan (Rp/Ha/Th)
129.269.940
221.225.210
Sumber: analisis data primer, 2016
Pada Tabel 4.7, biaya usahatani selada hijau lebih tinggi dibandingkan biaya
usahatani brokoli. Selada hijau memiliki biaya yang cukup tinggi dibandingkan
dengan brokoli dikarenakan, selada hijau dapat ditanam 10 kali dalam satu tahun
sedangkan brokoli hanya 3 kali dalam satu tahun, sehingga biayanya akan lebih
tinggi. Menurut Paimin (1991), mengatakan besarnya penerimaan diperoleh dari
hasil kali produktivitas dengan harga. Berdasarkan hasil perhitungan dari Tabel
4.7 diketahui rata-rata penerimaan usahatani brokoli Rp156.910.500/ha/th dan
selada hijau Rp326.395.680/ha/th. Hal ini disebabkan pada harga jual brokoli
Rp10.000/kg lebih tinggi dibandingkan harga jual selada hijau Rp8.000. Menurut
Mandaka dan Hutagaol (2005) pendapatan merupakan selisih antara penerimaan
dengan biaya selama kurun waktu tertentu. Berdasarkan Tabel 4.7 usahatani
brokoli memiliki pendapatan Rp129.269.940/ha/th dan pendapatan usahatani
selada hijau adalah Rp221.225.210/ha/th. Hal ini dikarenakan penerimaan
usahatani brokoli lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan usahatani selada
hijau.

Menurut

Wijaya,

dkk

(2012)

pendapatan

brokoli

adalah

Rp104.476.608,9/ha/th. Pendapatan brokoli ditempat penelitian lebih tinggi
karena harga brokoli di tempat penelitian lebih tinggi dari pada harga brokoli
menurut Wijaya. Menurut Anonim (2016c) pendapatan selada hijau adalah
Rp150.500.550/ha/th. Pendapatan selada hijau ditempat penelitian lebih tinggi
daripada Rp150.500.550/ha/th karena produksi dan harga ditempat penelitian
lebih tinggi dan biayanya juga lebih rendah.
Menurut Anonim (2016c), produktivitas tanaman selada secara monokultur
dapat mencapai 15-20 ton per hektar per musim. Pada kenyataannya produktivitas
selada hijau di Dusun Kaliduren adalah 53.799,46kg/ha/th (53,799ton/ha/th).
26

Tanaman Selada ini biasanya ditanam oleh petani di Dusun kaliduren sebanyak 10
kali dalam 1 tahun, sehingga produktivitas selada hijau sebesar 5.977,72kg/ha/th
(5,977ton/musim). Produktivitas selada yang ada tidak sesuai dengan referansi
yang ada, produktivitas yang didapat oleh petani hanya 0,33 (1/3) dari
produktivitas menurut Anonim (2016c). Hal tersebut bisa terjadi karena tanaman
selada hijau ditanam secara tumpangsari, sehingga produksinya tidak maksimal
dan populasi tanamannya tidak sebanyak yang ditanam secara monokultur.
Produktivitas brokoli di Dusun Kaliduren adalah sebesar 21.691,05kg/ha/th
(21,691ton/ha/th). Tanaman brokoli biasanya ditanam 3 kali dalam 1 tahun,
sehingga

produktivitas

brokoli

dalan

1

kali

musim

tanam

adalah

7.230,35kg/ha/musim (7,230ton/ha/musim). Produktivitas brokoli tersebut tidak
sesuai dengan pendapat dari Salsacahyani (2014) yang menyebutkan bahwa secara
umum, produktivitas brokoli per hektar per musim adalah 15-40 ton, tetapi
produksi brokoli sangat bergantung pada varietas tanaman dan populasi tanaman
per satuan luas lahan. Hal ini terjadi karena tanaman brokoli ditanam secara
tumpangsari, sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal. Produktivitas brokoli
yang ada di Dusun Kaliduren hanya mencapai kurang lebih 0,5 (1/2) dari hasil
yang seharusnya diperoleh sesuai dengan pendapat Salsacahyani (2014). Referensi
produktivitas brokoli tersebut adalah produktivitas brokoli secara monokultur.

4.5. Analisis Risiko Produksi
Risiko merupakan kemungkinan kejadian yang akan menimbulkan dampak
kerugian. Dalam menjalankan suatu bisnis, setiap keputusan selalu mengandung
risiko. Oleh karena itu perlu adanya suatu kegitan yang harus dilakukan untuk
meminimalkan sebuah risiko. Adanya risiko produksi dapat mempengaruhi
produktivitas sayuran menjadi rendah dan berakibat pada pendapatan petani yang
akan semakin kecil, jika hal ini tidak ditangani maka dapat berakibat fatal bagi
petani. Pada penelitian ini risiko produksi yang akan dibahas adalah risiko
produksi brokoli dan selada hijau.
Pada dasarnya dari hasil wawancara yang dilakukan, risiko yang sering
dihadapi petani adalah kondisi cuaca yang tidak menentu, serangan hama dan
penyakit, sehingga menyebabkan pendapatan para anggota kelompok tani menjadi

27

menurun. Kelompok Tani Bangkit Merbabu dalam menjalankan kegiatan
usahanya menghadapi beberapa risiko, salah satu risiko yang dihadapi adalah
risiko produksi. Risiko produksi ini menyebabkan fluktuasi produksi sayuran
organik, sehingga akan mempengaruhi penerimaan kelompok. Dimana, semakin
tinggi risiko produksi yang dihadapi kelompok maka tingkat penerimaan akan
semakin kecil. Risiko produksi yang dibahas dalam penelitian ini adalah risiko
produksi pada tanaman brokoli dan selada hijau.
4.5.1. Perhitungan Produktivitas dan Pendapatan Tertinggi, Normal, dan
Terendah
Tabel 4.8 menunjukkan perhitungan produktivitas dan pendapatan tertinggi,
normal dan terendah untuk menghitung peluang. Peluang tertinggi, normal dan
terendah diukur dari proporsi frekuensi atau berapa kali kelompok pernah
mencapai produktivitas tertinggi, terendah atau normal selama periode siklus
produksi berlangsung. Pada tahap awal ditentukan nilai pada tingkat normal
berdasarkan nilai rata-rata produktivitas dan pendapatan dari 30 sampel petani,
dan selanjutnya nilai diatas nilai rata-rata dikategorikan sebagai nilai tinggi dan
nilai yang berada di bawah rata-rata dikatakan rendah. Dengan adanya
produktivitas dan pendapatan yang berubah-ubah maka peluang perusahaan
memperoleh produktivitas dan pendapatan tertinggi, normal dan terendah dapat
diamati dengan mempertimbangkan periode waktu selama proses produksi
berlangsung.
Tabel 4.8. Produktivitas dan Pendapatan Tertinggi, Normal, dan Rendah Pada
Usahatani Brokoli dan Selada Hijau
Komoditas
Brokoli

Selada hijau

Produktivitas (kg/ha/Th)
Kategori
Jumlah
Tinggi > 1957,77
18
Normal = 1957,77
0
Rendah < 1957,77
12
Tinggi > 5317
16
Normal = 5317
0
Rendah < 5317
14

%
0,60
0,00
0,40
0,53
0,00
0,47

Pendapatan (Rp/ha/Th)
Kategori
Jumlah
Tinggi >201.325.167
18
Normal =201.325.167
0
Rendah 348.427.500
16
Normal =348.427.500
0
Rendah

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20