Kelompok 2 Jalan ke Pengasingan Bab 3

SEJARAH INDONESIA MASA PERGERAKAN
“Jalan ke Pengasingan” karya John Ingleson
Bab 3 dan Bab 4

KELOMPOK 2

Muhammad Alvian Ar-rasyid
Nabilla Yasmin
Putri Fatmawati
Rivanny Kumaladewi
Zulkifli Pelana

Pendidikan Sejarah (A) 2012
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta

BAB 3 - Dari Organisasi ke Agitasi
Pada tanggal 27 Mei 1928, pengurus pusat PNI sibuk mempersiapkan kongres peresmian
partai yang diadakan di Surabaya. Kongres tersebut membahas suatu masalah yang terus
muncul dalam berbagai kesempatan. Salah satu permasalahannya adalah masalah cara
merekrut anggota yang berbeda antara cabang Bandung dengan cabang lainnya, yakni

Surabaya, Yogyakarta dan Batavia. Di tiga cabang selain Bandung, calon-calon anggota
diberi masa percobaan selama tiga bulan sebelum mereka dipertimbangkan menjadi anggota
penuh. Kebanyakan para calon anggota tersebut ditolak karena ada bekas anggota-anggota
PKI, yang keanggotaannya akan mengundang banyak urusan dengan pemerintah Belanda dan
yang dicurigai menjadi polisi atau mata-mata pemerintah setempat. Situasi demikian nampak
berbeda sekali di Bandung yang cenderung lebih longgar dalam merekrut anggota untuk
masuk kedalam PNI. Hal ini terjadi karena cabang-cabang di Yogyakarta dan Batavia
dipimpin oleh ahli-ahli hukum yang menyadari konsekuensi atas kegiatan politik yang
mereka lakukan. Oleh sebab itu, mereka lebih berhati-hati dalam merekrut anggota partai.
Hal ini menunjukan bahwa para ahli hukum tersebut (Sujudi dan Sartono) secara konsisten
membela sikap moderat. Hal yang sebaliknya terjadi di Bandung yang sangat dipengaruhi
oleh Sukarno, mempunyai latar pendidikan dan temperamennya merupakan seorang
pemimpin yang memiliki sifat lebih extrovert dan flamboyan dan hal ini yang menjadi daya
tarik utama partai cabang Bandung banyak diminati oleh masyarakat sekitarnya. Selain
masalah perekrutan calon anggota, pada kongres kali itu juga dibuat dua keputusan lagi, yaitu
penerbitan surat kabar di Bandung di bawah pimpinan Sukarno bernama Persatoean
Indonesia yang terbit tiap dua minggu sekali dan pembentukan sebuah Dana Umum Nasional
Indonesia untuk menolong orang-orang Indonesia yang berada di negeri Belanda.1
Dalam semua persetujuan ini, kongres yang diadakan di Surabaya kali ini merupakan
kongres yang besar dan terorganisir dengan baik sehingga banyak diminati banyak peserta.

Agak mengherankan memang, bahwa Surabaya dipilih oleh PNI sebagai tempat diadakannya
kongres ini. Padahal, jumlah anggota partai kebanyakan berada di Bandung, Batavia dan
Yogyakarta dan menelan banyak ongkos perjalanan serta penginapan. Ternyata, hal ini
merupakan taktik yang dilakukan untuk memperluas pengaruh PNI di Jawa Timur dan
menjadi dorongan yang sangat besar bagi cabang Surabaya yang baru saja dibentuk dengan
pemimpinnya, Anwari.
1

PPO, Maret 1928, hal.5-8, V12 September 1928-115. Dalam: John Ingleson. Jalan ke Pengasingan
Pergerakan Nasionalis Indoneisa Tahun 1927-1934.Jakarata (LP3ES: 1988). Hal.59.

Sebenarnya, kongres dimulai dengan suatu rapat terbuka yang menghasilkan keputusankeputusan tadi, tetapi untuk urusan-urusan yang lebih penting lagi dibicarakan dalam sidang
tertutup yang dihadiri oleh pengurus pusat dan utusan-utusan dari tiap-tiap cabang. Salah satu
yang menjadi acara penting adalah pembahasan Rancangan AD dan program kerja. AD
tersebut yang telah diterima kongres mengusulkan perubahan nama dari Perserikatan
Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia 2. Perubahan nama ini tidak
mencerminkan peranan politik yang dominan tetapi merupakan suatu cara agar PNI dapat
bersaing dengan partai-partai yang lain untuk merebut pengaruh dalam gerakan nasionalis.
Terdapat istilah-istilah “radikal” dan “moderat” yang sering dipakai oleh kaum nasionalis itu
sendiri. Istilah “radikal” dipakai pada akhir tahun 1920-an yang digunakan bukan dalam arti

radikalisme sosial, melainkan sebagai bentuk penolakan PNI untuk menerima kursi-kursi di
Volksraad atau berbagai bentuk kerjasama dengan pemerintah Belanda, karena PNI dianggap
sebagai suatu partai revolusioner yang ingin menyingkirkan Belanda dari Indonesia. Kongres
yang diadakan secara terbuka dan tertutup ini ternyata telah sangat berhasil untuk menarik
antusianisme massa yang terlibat, sehingga rapat memenuhi jalanan. Bahkan kepala dinas
rahasia untuk urusan politik di Surabaya melaporkan bahwa selama kongres berlangsung,
tercipta suasana yang hidup kembali semacam semangat yang beberapa lama sebelumnya
telah hilang dari pertemuan-pertemuan politik yang pernah diadakan di Surabaya.
Semua ini diakui berkat kecakapan Anwari selaku ketua dan pengurusnya dalam partai
cabang Surabaya. Sebenarnya, tujuan dari menghidupkan kembali semangat para anggota
partai di Surabaya ini adalah untuk memperkuat basis organisasi PNI dan pengurus pusat
diberi ketentuan untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan setempat yang
dilakukan atas nama partai sendiri. Dalam pertumbuhan di tiap cabang PNI dikatakan
cenderung lambat, faktor utama yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya pemimpinpemimpin yang cakap di tiap cabangnya. Dalam mengatasi hal ini, maka diinstruksikan untuk
mulai mengadakan kursus-kursus secara teratur untuk membina pemimpin-pemimpin yang
mempunyai kesadaran politik.3
Dalam pembentukkan kursus tersebut, Sukarno mengemukakan sebuah gagasan untuk
didirikannya sebuah klub debat. Di mana klub tersebut berfungsi sebagai pendidikan umum
dan pembinaan kesadaran yang selaras dengan keyakinan Sukarno, bahwa kaum nasionalis
pertama-tama harus menghilangkan ketergantungan psikologisnya terhadap Belanda.


2
3

Lihat Lengge, op.cit.,hal. 95. Dalam : John Ingleson, Ibid., hal.60
PPO, Mei/Juni 1928, hal.11, V12 September 1928-115. Dalam: John Ingleson, ibid., hal.65

Gagasan dari Sukarno ini disetujui oleh pemerintahan pusat PNI dan akhirnya klub debat
diselenggarakan dengan kursus-kursus cabang yang teratur.
Selanjutnya, dalam menciptakan propagandanya, sepanjang tahun 1928, pemimpinpemimpin PNI tingkat nasional melakukan banyak perjalanan ke seluruh Jawa, berpidato di
depan rapat-rapat umum dan mendorong cabang-cabang untuk bekerja lebih keras. Yang
menjadi daya tarik utama partai adalah kecakapan Sukarno dalam membawakan pidatonya.
Ia menyadari bahwa pendengarnya belum sembuh betul dari tekanan politik setelah
pemberontakkan PKI, maka perlulah dipulihkan kepercayaan diri mereka dengan
menunjukkan bahwa tidaklah mustahil bagi mereka untuk memaksakan perubahan sistem
kolonial yang sedang berlangsung. Itulah sebabnya, Sukarno sengaja menampilkan diri
sebagai seorang politikus yang kuat, percaya diri dan agresif yang siap untuk menentang
pemerintah kolonial. Dengan demikian, Sukarno berhasil membangunkan respon emosional
dari pendengar-pendengarnya dan menembus kekuatan politik mereka. Sukarno sendiri
sebenarnya telah mempunyai kecakapan dalam taktik berpidatonya. Ia telah banyak belajar

sejak tinggal dirumah Tjokroaminoto. Pidato-pidatonya dibumbui retorika dan pikiran
sederhana yang dinyatakan dalam slogan-slogan berulang-ulang dengan imaji-imaji yang
dikenal masyarakatnya. Ia juga memanfaatkan tradisi populer di kalangan masyarakat sekitar,
seperti cerita wayang dan cerita rakyat guna memberikan gambaran yang jelas tentang
pikiran-pikiran nasionalis yang ada dalam PNI.
PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia)
Optimisme akan suatu kesuksesan luar biar biasa dari terbentuknya federasi berbagai
gerakan nasionalis cenderung memudar pada tahun 1928 terlihat dengan adanya dominasi
PNI.
Pada awalnya federasi itu merangsang kerja sama pada tingkat lokal dalam bidang
kegiatan seperti rapat-rapat umum dan kegiatan pendidikan. Berlanjut pada kerja sama yang
makin meningkat, yang tak hanya nampak dari organisasi resmi federasi, melainkan
hubungan pribadi yang baik antar pemimpin politik lokal di beberapa kota. Kerja sama
tersebut terbuktikan salah satunya oleh adanya kesamaan latar belakang para pemimpin 3
partai di Yogyakarta (Singgih dan Supomo dari Budi Utomo, Sukiman dari PSI, serta Sujudi
dan Sunarjo dari PNI) yang semuanya adalah mantan anggota PI. Meski dalam PPPKI
mereka saling bersaing saat itu.
Pada Januari, diadakan rapat di rumah Sukiman yang dihadiri oleh Sujudi, Supomo, dan
Sukiman untuk membahas usul Sujudi agar 3 organisasi tersebut mengadakan kursus-kursus
politik bersama untuk anggota mereka. Wakil-wakil Budi Utomo tak berminat pada kursus


yang tertutup, meski mereka berminat dalam kursus pendidikan yang terbuka, sedangkan
wakil-wakil PSI dan PNI setuju terhadap kursus-kursus politik tersebut.
Kongres PPPKI pertama diadakan dari 30 Agustus sampai 2 September 1928 di
Surabaya. Para pemimpin organisasi politik dan non-politik berharap bahwa kongres ini akan
menjadi era baru bagi gerakan kebangsaan. Lalu, yang terpenting, suatu komisi yang terdiri
dari Tjokroaminoto (PSI), Sukarno (PNI), Otto Subrata (Pasundan) dan Thamrin (kaum
Betawi) ditugaskan untuk mempersiapkan satu program aksi jangka pendek selekas mungkin.
Terpilihnya Sutomo sebagai Ketua Majelis Pertimbangan PPPKI dan Anwari sebagai
sekretaris/bendahara, menyebabkan bahwa tempat badan pengurusan berpindah dari Batavia
ke Surabaya. Lalu, adanya tindakan Sutomo yang mendesakkan pikiran dan kecenderungan
pribadinya terhadap federasi memicu perpecahan yang semakin berkembang antara partaipartai anggota. Selain itu, terdapat hambatan serius terkait kecenderungan memainkan
peranan akibat perpindahan pusat kepengurusan yang mana pojok-memojokkan dalam usaha
perebutan percaturan dilakukan masing-masing partai di federasi.
Namun demikian, kepemimpinan Sutomo disambut hangat dengan adanya suatu artikel
dalam Persatoean Indonesia, yang mana Sutomo diharapkan akan menjadi jembatan antara
golongan radikal dan moderat.
Adanya rapat yang membicarakan terkait pembentukan seksi-seksi lokal memicu isu
yang dapat mengancam federasi yang rapuh itu. Di mana adanya perselisihan akibat seksiseksi lokal menggambarkan adanya berbagai perbedaan kepentingan dalam federasi
organisasi tersebut.

Pemerintah Hindia Belanda dan PNI
Perkembangan PNI secara cermat diamati oleh pemerintah Hindia Belanda. Terlihat dari
pidato Gubernur Jenderal De Graeff dalam suatu sidang Volksraad dua minggu sebelum
Kongres PNI pertama pada Mei 1928. Pidato De Graeff pada 15 Mei itu berakibat panjang
bagi kaum nasionalis. Pidato itu menandai perubahan dalam sikap mereka terhadap gambaran
perkembangan politik Indonesia selama 12 tahun terakhir. De Graeff memulai pidato dengan
berkata bahwa situasi politik telah sangat berubah, sebab bahaya pemberontakan komunis
telah berkurang. Lebih lanjut, ia membagi kaum nasionalis menjadi dua kelompok (nasionalis
evolusioner dan nasionalis revolusioner) seraya memperingatkan bahwa pemerintah secara
ketat mengawasi kelompok kedua. Akhirnya, ia menetapkan peranan tetap Belanda di negeri
jajahan:
Hanya dengan melalui damai dan ketertiban, pemerintah dapat menjamin kepemimpinan Belanda, yang
akan tetap diperlukan hingga ke masa depan yang tak terjangkau dan menjalankan tugas luhur

menyebarkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kepemimpinan sosial, ekonomi,
dan politik sampai ke suatu tingkat di mana kepemimpinan Belanda dapat ditarik kembali.

Pidato itu harus dilihat dalam hubungan dengan harapan-harapan besar banyak pemimpin
gerakan kebangsaan Indonesia kepada De Graeff. Harapan itu mungkin naif, tapi De Graeff
tidak pernah menolaknya. Pidato ini dipandang sebagai perubahan kebijaksanaan yang

penting. De Graeff yakin bahwa pidato itu dimaksudkan untuk menghilangkan
kesalahpahaman tentang politiknya sebab “orang mulai mengira dan percaya bahwa saya
sungguh-sungguh pemimpin suatu gerakan ‘bebas dari Belanda’ di sini.”
Pidato De Graeff tersebut dipengaruhi laporan Charles van der Plas, tentang bagaimanna
caranya melawan propaganda revolusioner di negeri jajahan. Salah satu saran Van der Plas
yang utama adalah hendaknya pemerintah menjalankan politik pemisahan kaum nasionalis
moderat dari kaum nasionalis ekstrim. Akan tetapi, hal itu makin membuat kaum nasionalis
bersatu guna menentang taktik devide et impera dalam kebijakan pemerintah tersebut.
Kemudian timbul reaksi kaum nasionalis yang terlihat dari surat kabar Kelompok Studi
Indonesia, Soeloeh Ra'jat Indonesia, berpendapat bahwa pidato tersebut menunjukkan
kuatnya pengaruh orang Belanda di negeri jajahan. Surat kabar itu menyimpulkann bahwa
kaum nasionalis tak bisa lagi percaya pada De Graeff.
Semenjak pertengahan kedua tahun 1928, para pemimpin PNI semakin tajam mengkritik
pemerintah kolonial. Hal itu terbukti dari pembicaraan Sukarno tentang prinsip-prinsip dan
program aksi PNI (14 Oktober 1928), dan pendapat Sukarno bahwa “syarat pertama bagi
perbaikan kehidupan sosial di Indonesia ialah . . . kalau kekuasaan Belanda menarik diri.”
Hal itu memicu keberatan dari polisi yang hadir mengawasi. Timbul protes dari kaum
nasionalis, lalu pemerintah melakukan pembelaan, salah satunya terlontar dari pernyataan
Kiewiet de Jonge bahwa pemerintah sungguh makin prihatin terhadap aktivitas PNI.
Pernyataan De Jonge ini menjadi penanda pergeseran politik pemerintah ke arah yang

lebih intervensionis terhadap gerakan nasionalis. Ini pun memicu kesulitan para nasionalis
untuk mengetahui secara pasti batas antara politik yang diperbolehkan dan yang tidak.
Sukarno dan Para Pengritiknya
Terkait arus utama gerakan kaum nasionalis yang mengalami perkembangan cukup
besar, ada suatu kritik dari Mohammad Hatta melalui 4 karangannya dalam surat kabar PNI
“Persatoean Indonesia” dari Januari sampai April 1929.
Dalam berbagai karangan tersebut, Hatta menganalisa perkembangan gerakan
kebangsaan dan memulai dengan kritik terhadap PPPKI, yang dinilainya belum merupakan

suatu badan yang kuat dan terorganisir, serta menganjurkan agar PPPKI menjadi suatu
Dewan Ra’jat yang mewakili semua aliran politik dalam gerakan nasionalis.
Selain itu, Hatta pun menyesalkan bahwa PNI masih berada pada “tahap demonstrasi”
dan menyarankan agar PNI segera beralih ke tahap organisasi yang lebih tinggi. Lalu, kritik
utama Hatta pada saat pembentukan PNI tahun 1927 ialah bahwa PNI tidak cukup
menekankan pentingnya peranan pendidikan, tapi pada awal 1929, ia mendesak PNI agar
betul-betul menjadi partai rakyat yang besar. Di samping itu, dari pengamatannya, ada ribuan
orang yang menghadiri rapat PNI, mereka sebetulnya bukanlah anggota, dan inilah yang
Hatta nilai sebagai suatu kelemahan organisasi yang fundamental. Kemudian, Hatta juga
menganggap bahwa PNI kekurangan para pemimpin eselon dua yang akan menjadi
penghubung pemimpin pusat yang terdidik dengan rakyat.

Karangan-karangan Hatta tersebut merupakan usaha untuk memecahkan persoalan yang
pernah dihadapi baik oleh PSI maupun PKI dan kini dihadapi oleh PNI, yaitu kesulitan
memperoleh anggota massal yang juga terjamin kesadaran politiknya, dan pemikirannya
sejalan pula dengan pemikiran pimpinan pusatnya.
Selain Hatta, Tjipto Mangunkusumo ikut memberi saran agar kaum nasionalis berusaha
bekerja sama dengan pemerintah di bawah pimpinan De Graeff. Lalu, pada November 1928,
ia menulis surat kepada Sukarno, yang mana isi suratnya menyarankan agar Sukarno
memperlunak kegiatannya sehingga terhindar dari benturan dengan pemerintah.
Usaha-usaha untuk membujuk Sukarno agar menggunakan pendekatan yang lebih hatihati tidak membawa suatu hasil. Sukarno pun tetap yakin bahwa dengan agitasi (pidato yang
mampu meluapkan gelora semangat) terus-menerus dapat membangkitkan suatu revolusi
dalam ketergantungan psikologis rakyat kepada kekuasaan kolonial.
Meski berbagai kritik telah terlontar, kedudukan Sukarno dalam PNI tak tergoyahkan dan
ia pun tetap meneruskan kegiatan politiknya seperti semula.
Ternyata, pembentukan PPPKI yang diharapkan akan menyatukan berbagai organisasi
nasionalis kemudian hanya tinggal fatamorgana. Hal itu di antaranya disebabkan oleh:
perbedaan prinsip antara PSI (nasionalisme Islam) dan PNI (nasionalis sekuler);
konservatisme-nya Budi Utomo yang dibarengi ketakutan PSI terhadap dominasi PNI dalam
federasi.
Dalam hal ini, Sukarno (selaku salah satu pimpinan partai) terbilang gagal merangkul
persatuan federasi partai dalam PPPKI guna melawan Belanda, meskipun berkat retorikanya

PNI mampu berkembang secara pesat. Hal itu juga ditambah dengan adanya sikap para
pemimpin organisasi dalam federasi mementingkan kepentingan partainya masing-masing.

Bab 4 - Reaksi Pemerintah
Kongres PNI di Batavia bulan Mei 1929 semakin memantapkan gerak partai menuju ke
tahap kedua perkembangannya. Kongres kedua ini memusatkan perhatian pada cara-cara
bagaimana memperluas pengaruh partai. Pada masa berikutnya, semakin banyak tekanan
diberikan kepada pembentukan serikat buruh dan organisasi kaum tani agar diperoleh
keanggotaan massa. Problem utama bagi PNI dalam tahun 1929 ialah bagaimana memperluas
partai sekaligus namun tetap legal. Hal ini sungguh sulit karena tak adanya tujuan jangka
pendek yang dapat menyalurkan energi anggota-anggotanya. Kelemahan program-program
PNI ialah kurangnya tujuan yang segera dapat dicapai oleh Indonesia Merdeka itu sendiri.
Sikap Sukarno yang mendahulukan politik daripada isu ekonomi dan sosial hanya menambah
persoalan. Gerakan politik di Indonesia juga hanya sebatas rapat-rapat umum dan
pembicaraan tentang suatu masa depan yang belum pasti, tatkala negeri ini akan merdeka.
Setelah kongres kedua tersebut mereka tidak lagi ragu-ragu menyatakan secara terbuka
bahwa PNI telah beralih ke tahap kegiatan yang lebih lanjut. Dalam sebuah suratnya kepada
Tjipto Mangunkusumo bulan Juni Sukarno menyatakan pendapatnya bahwa kongres tersebut
telah menanamkan kepercayaan diri yang lebih besar kepada rakyat Indonesia dan membawa
PNI lebih dekat lagi kepada tujuannya menciptakan suatu gerakan massal.
Kebanyakan pers Eropa dikejutkan oleh kegiatan-kegiatan PNI yang mutakhir dan
bayangan tentang perkembangannya. Setelah kongres kedua tersebut sikap tak senangnya
kepada PNI menjadi semakin keras. Misalnya, Bataviasch Nieuwsblad dan harian
Locomotief. Harian Locomotief yang menyatakan keprihatinannya yang dalam terhadap PNI:
Mulai saat ini, laporan-laporan tentang kelancangan PNI akan muncul dalam surat kabar kami secara
teratur, agar supaya jelaslah apa saja yang diizinkan oleh pemerintah sekarang mulai tergelincir ke dalam
kesalahan-kesalahan lama seperti yang dibuat oleh pemerintah sebelumnya –terlalu lambat untuk campur
tangan terlalu lambat untuk melangkah lebih lanjut dan terlalu lambat untuk menghentikan demagogi yang
provokatif ini.

Kegegabahan pers Eropa dalam laporan mengenai kongres PNI telah memaksa pejabat
pemerintah menuduh bahwa mereka memberikan kesan yang berbahaya terhadap kongres.
Namun demikian, laporan pers Eropa tentang kongres tersebut merupakan tanda tumbuhnya
ketidaksenangan kelompok luas masyarakat Eropa terhadap aktivitas PNI. Dan laporan
tersebut mengakibatkan meningkatnya tekanan kepada Gubernur Jenderal De Graeff untuk
mengakhiri semua kegiatan kaum nasionalis.

PNI bukan merupakan suatu partai yang monopolitik dapat ditujukan lebih lanjut oleh
perbedaan tekanan yang diberikan oleh cabang Surabaya dan Bandung kepada bidang
kegiatan organisasi buruh. Untuk cabang Bandung, organisasi buruh merupakan masalah
kedua yang berada di bawah kepentingan kegiatan-kegiatan politik yang terbuka. Sebaliknya,
bagi cabang Surabaya keterlibatan organisasi buruh menjadi penting sebagai suatu masalah
tersendiri yaitu sebagai bagian dari usaha memperkuat secara umum posisi ekonomi orang
Indonesia. Tujuan utama PNI untuk melibatkan diri dalam organisasi buruh ialah
menyebarkan propagandanya kepada kalangan yang lebih luas dengan harapan bahwa dalam
pada itu ia dapat mempolitisir tokoh-tokoh serikat buruh. Di bawah pimpinan Anwari pada
cabang Surabaya berpendapat bahwa tekanan politik menjadi yang utama yang diterapkan
oleh Bandung adalah salah menurutnya pemberian perhatian terhadap ekonomi negara adalah
penting, karena kekuatan ekonomi orang Indonesia merupakan syarat pertama yang perlu
bagi kemerdekaan ekonomi. Tapi usaha Anwari gagal dalam meyakinkan Sukarno tentang
pendapatnya.
Keprihatinan Pemerintah
Selama tahun 1929 kekhawatiran yang menghinggapi para pejabat daerah, gubernur
setempat dan pemerintah Batavia adalah mengenai kemungkinan bahaya yang ditimbulkan
oleh PNI dan bukannya bahaya lain. Hal ini dapat diihat dalam desakan panglima komando
militer agar gubernur jenderal pada bulan Februari melarang semua anggota militer menjadi
anggota PNI atau mengikuti rapat-rapat PNI. Ia khawatir bila PNI berhasil menyusupkan
pengaruhnya ke dalam lingkungan militer akan timbul sikap tidak setia pada pemerintah.
Rekomendasi ini tidak disetujui oleh De Graeff, tetapi terdapat laporan yang diterima bahwa
PNI cabang Batavia telah menunjuk dua orang anggotanya untuk menyebarkan propaganda
di kalangan militer, tapi De Graeff belum bersedia bertindak yang lebih keras dan menolak
usul dari pejabat pemerintah, baik dari gubernur Jawa Barat yang melarang semua pegawai
negeri menjadi anggota PNI, maupun usul anglima komando militer tentang larangan total
kegiatan politik bagi personil militer. De Graeff menerima saran jaksa agungnya bahwa PNI
bukan merupakan suatu bahaya bagi negara dan laporan-laporan tentang PNI dalam
lingkungan militer bersifat samar dan kurang tegas.
Dalam bulan Juli, pemerintah secara terbuka mengemukakan kembali garis-garis besar
kebijaksanaannya di Volksraad, kali ini dengan menunjuk secara khusus PNI. Pemerintah
melukiskan sikapnya sebagai suatu obsevasi yang hati-hati, tetapi sekaligus memperingatkan
bahwa ketertiban umum berdasarkan pertimbangan pemerintah mulai terancam, maka
pemerintah tidak akan ragu-ragu melakukan campur tangan.

Ada 3 pertimbangan khusus yang akan dapat diambil atau tidak: Pertama, apakah PNI
menggunakan kekuatan yang telah dibangun melalui propaganda itu untuk kerja-kerja sosial
yang konstruktif dan apakah kekuatan-kekuatan itu dijaga sehingga tidak menjadi destruktif.
Kedua, apakah para pemimpin PNI dapat mempertahankan disiplin yang memadai dalam
partainya sehingga dapat mencegah setiap gerakan perlawanan aktif dari anggota-anggotanya.
Ketiga, apakah PNI cukup berhati-hati dengan keterlibatannya dalam organisasi-organisasi
buruh akhir-akhir ini.
Dalam hubungan tersebut, pemerintah memuji keputusan kongres PNI yang baru-baru ini
mengetatkan disiplin dalam partai. Akhirnya, pemerintah menunjukkan bahwa ia mengamati
secara saksama hubungan antara PNI dengan PI dan Komintern yang disponsor i oleh Liga
Anti Imperialisme. Pemerintah secara konsisten menjelaskan kepada semua organisasi
Indonesia bahwa hubungan langsung dengan liga tidak akan ditolerir. Ini merupakan suatu
kesempatan, bukan saja untuk melenyapkan suatu organisasi yang berbahaya, tetapi ini
merupakan peringatan tegas untuk semua partai politik. Untungnya PNI tidak melakukan
hubungan pendekatan dengan SKBI.
Pembubaran SKBI dan penahanan para pemimpinnya merupakan pertanda awal dari
ketidaksabaran pemerintah terhadap kaum nasionalis. Dalam bulan Agustus, Kiewet de
Jonge, pejabat pemerintah mengenai masalah-masalah umum Volksraad mengeluarkan
penjelasan lebih lanjut tentang kebijakan pemerintah dengan mengulangi tuntutan-tuntuan
terhadap kaum nasionalis yang dikeluarkan pada bulan Juli. Ia menjelaskan tentang situasi
yang dihadapi pemerintah kolonial bahwa masalah utama saat ini adalah benturan dua
perasaan keadilan, di mana di satu pihak pemerintah yakin bahwa ia mempunyai tugas moral
di Indonesia, sementara di lain pihak kaum nasionalis menganggap bahwa kemerdekaan
merupakan hak mereka. Kemudian ia juga mengeluarkan kritik yang keras terhadap kaum
ekstrimis yang destruktif dengan ultimatum:
Dalam hubungan dengan ekstrimisme ini pemerintah secara serius memperingatkan PNI untuk terakhir
kalinya. Jika harapan-harapan pemerintah ini dikecewakan maka pemerintah harus mengadakan campur
tangan dan mengambil tindakan-tindakan yang keras terhadap para pemimpin ini dan barangkali juga
terhadap gerakan itu sendiri.

Propaganda PNI
Sementara PNI aktif dalam organisasi-organisasi buruh, terutama di Surabaya dan
Bandung, dan anggota-anggotanya mengajar di sekolah-sekolah nasional dan terlibat dalam
organisasi organisasi pemuda, maka hal yang menjengkelkan masyarakat Eropa adalah rapatrapat umum yang besar. Amanat dalam pidato masih sama, tetapi dengan lebih langsung

menunjuk pemerintah dan masyarakat Eropa, sebagiannya sebagai reaksi terhadap karangankarangan yang kritis dalam pers Eropa yang mengusulkan penumpasan PNI. Di mana saja
Sukarno berpidato, ia menarik sejumlah besar pendengar, yang seringkali banyak dari mereka
itu mengikutinya ke mana ia berpidato lagi. Pada 15 September, PNI cabang Bandung
menyelenggarakan dua rapat sekaligus di dua gedung bioskop di Bandung. Dua minggu
sebelumnya iklan rapat tersebut disebarluaskan di seluruh pelosok kota dan daerah
sekitarnya.
Suasana emosional yang serasi terbina dalam gedung bioskop tersebut merupakan hasil
perencanaan PNI. Kedua gedung bioskop tersebut dihiasi dengan bendera-bendera merah
putih serta foto pemimpin pemimpin PNI dan para pahlawan nasional seperti Dipenogoro dan
Ki Hajar Dewantara. Di pintu gerbang, wanita-wanita yang memakai pakaian tradisional
menjual kembang merah putih yang mungkin berasal dari pengusaha bunga yang sama, yang
keuntungannya dipakai untuk memperbaiki keuangan partai. Sambil menunggu dimulainya
pidato-pidato kegembiraan dan harapan yang meliputi para pendengar semakin meningkat
oleh nyanian lagu-lagu patriotik. Gatot Mangkupraja atau Iskaq menghangatkan suasana
rapat yang memuncak dengan kedatangan Sukarno. Ketika datang ke rapat yang kedua, ia
disambut dengan gemuruh tepuk tangan yang tak berkeputusan sampai ia tiba di podium.
Dalam suasana emosional semacam itulah Sukarno mencapai kondisi terbaik dibuai oleh
hangatnya sambutan. Imperialisme dikutuk, Belanda dilecehkan dan kemurnian dan
nasionalisme Indonesia dipuja-puja. Ia dengan penuh keyakinan memberikan jaminan kepada
para pendengarnya bahwa meskipun pihak sana menalncarkan rekasi namun PNI akan terus
tumbuh.
Rapat-rapat serupa itu di seluruh Priangan didahului dengan pidato Sukarno, sementara
perjalanan-perjalanan di luar Priangan yang diadakan secara teratur, diorganisir cabangcabang lainnya, agar di sana pun Sukarno dapat menyampaikan amanatnya dalam berbagai
pertemuan. Yang menjadi duri bagi pihak pejabat pemerintah bukan hanya pidato-pidato
Sukarno dalam rapat-rapat umum PNI. Mereka juga jengkel oleh tindakan-tindakan yang
lebih simbolis seperti nyanyian lagu Indonesia Raya pada permulaan dan penutupan setiap
rapat. Hal ini oleh beberapa kalangan masyarakat Eropa dianggap sebagai suatu tantangan
kepada kekuasaan Belanda. Semenjak dinyanyikan pertama kali pada bulan Oktober 1928,
lagu ini telah menjadi pokok-pangkal keluhan yang terus menerus dari pejabat pejabat
setempat kepada jaksa agung dan gubernr jenderal.
Sebagai sumber kejengkelan, lagu itu memberikan suatu sengatan baru pada rapat ulang
tahun Kelompok Studi Indonesia pada bulan Juli, sewaktu Sutomo mengejek para pejabat

yang hadir dan tetap duduk sewaktu lagu itu dinyanyikan. Di kemudian hari, Sutomo
menjelaskan bahwa dengan ungkapan tersebut dia hanya mau menyatakan bahwa mereka
belum berbudaya. Yang sangat menjengkelkan pemerintah ialah bahwa ungkapan-ungkapan
Sutomo membekas dalam ingatan para pemimpin PNI, dan ejekan-ejekan yang disengaja
serupa itu ditujukan pada polisi dan pejabat resmi yang menghadiri rapat-rapat umum, lalu
menjadi peristiwa yang berulang kembali secara teratur.
Para pemimpin PNI cukup sadar bahwa pemerintah mengamati mereka secara ketat dan
siap mengambil tindakan bila mereka lengah melakukan pengawasan terhadap kegiatan
cabang. Dalam sebuah pertemuan kursus untuk para anggota di Yogyakarta pada bulan
Agustus, Sujudi memperingatkan bahwa pemerintah bukan hanya menentang orang komunis
saja. Ia minta dengan sangat agar para anggotanya berhati-hati untuk tidak melewati garisgaris partai yang sudah diumumkan dan agar mereka tidak terlibat dalam aksi-aksi yang
berlawanan dengan prinsip-prinsip partai.
Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan pimpinan mengenai sikap
flamboyan Sukarno di depan umum, orang rupanya cukup mempertimbangkan kesediaan
Sukarno untuk membuat pidatonya dan penampilannya di depan publik lebih moderat, sesuai
dengan garis-garis yang dianjurkan pada akhir 1928 dan awal 1929. Sejak Mei, diumumkan
bahwa PNI telah memasuki tahap kedua, yaitu tahap pemantapan dirinya sebagai partai
massa, bahwa ia mulai merekrut anggota baru dan meningkatkan propagandanya.
Hal itu akan sungguh merusak kepercayaan terhadap PNI di mata orang-orang yang telah
dibangunkan dari kejumudan politik oleh seruan-seruan lantang dari partai agar mereka
bersatu melawan Belanda untuk mencapai Indonesia Merdeka. Mereka diminta memperkuat
organisasi dan meningkatkan propagandanya agar dapat menarik sejumlah cabang baru di
wilayah yang berdekatan dengan cabang-cabang yang telah ada. Para anggota partai ini
dilarang secara resmi untuk berpidato di rapat-rapat umum atau menyebarkan propaganda
atas nama partai, kecuali kalau mereka telah memperoleh izin tertulis dari pengurus pusat
atau pengurus cabang.
Reaksi Pemerintah
Karena PNI meningkatkan propagandanya dan berusaha menarik sejumlah besar
anggota, maka pemerintah Hindia-Belanda pun semakin terdesak untuk melakukan campur
tangan. Pada bulan Mei, semua pegawai negeri dilarang menjadi anggota PNI. Gubernur
Jawa Tengah, Hartelust prihatin terhadap propaganda PNI yang sangat meningkat beberapa
bulan ini, sehingga jumlah anggotanya di Batavia dan Bandung berlipat ganda. Menurut

pandangannya, propaganda PNI terutama bermaksud untuk merendahkan kekuasaan dan
aparat pemerintah.
Suatu pandangan lain dikemukakan oleh Direktur Binnenlands Bestuur, Muhlenfeld.
Dalam kerangka tindakan-tindakan keras menentang PNI dalam bulan Desember, maka
pendapatnya menjadi penting. Pertama, ia mempertanyakan sikap pemerintah terhadap
oragnisasi-organisasi politik di Indonesia, dengan mengatakan bahwa pemerintah seharusnya
juga prihatin terhadap organisasi politik dan pers Eropa yang juga menyebarkan kebencian di
antara kelompok masyarakat. Ia setuju bahwa larangan umum terhadap semua kegiatan
politik adalah jauh lebih baik, daripada hanya melarang bergabung dengan satu partai politik
tertentu, tetapi ia mempunyai keberatan serius tentang perlunya dan efektifnya tindakan
tersebut, kecuali dalam keadaan yang sangat sulit. Pada 2 Oktober, Gubernur Hartelust
memberitahukan kepada gubernur jenderal bahwa ia bermaksud melarang semua polisi di
Jawa Barat untuk menjadi atau tetap menjadi anggota PNI.
Nampaknya, ada instruksi tambahan yang dikirimkan kepada Residen Priangan Tengah,
yang menguasai daerah kantor PNI cabang Bandung, dengan perintah agar diadakan
penahanan yang bersifat preventif terhadap Sukarno, Gatot Mangkupraja, Inu Perbatasari,
dan Maskun. Besar kemungkinan instruksi-instruksi serupa telah dikirim juga kepada
Residen Pekalongan.
Rumah dan kantor di seluruh Jawa diperiksa dan beratus pemimpin PNI cabang,
propagandis dan anggota biasa ditahan. Kebanyakan mereka dilepaskan setelah ditahan
selama semalam dan setelah menandatangani pernyataan mengenai aktivitas partai.
Ekspansi PNI dan Penahanan-penahanan
Para pemimpin PNI pun cukup sadar bahwa mereka diawasi oleh pemerintah sehingga
pengawasan terhadap cabang ditingkatkan. Mereka berusaha membina hubungan erat antara
kamu intelektual dengan rakyat sehingga tercipta gerakan massa yang kuat. Para anggota
partai kini dilarang secara resmi berpidato di rapat-rapat umum tanpa seizin tertulis dari
partai.
Karena perkembangan PNI dan anggapan bahwa pada tahun 1930 PNI akan melakukan
pemberontakan, maka pemerintah Hindia Belanda pun semakin terdesak untuk melakukan
campur tangan. Terbukti kembali kebijakan tentang pelarangan pegawai negeri untuk
menjadi anggota PNI dicetuskan kembali, dan pada tanggal 29 Desember pemerintah di Jawa
Tengah mendapat telegram untuk mengadakan penggeledahan rumah dan kantor para
pemimpin PNI. Setiap dokumen yang ada hubungannya dengan PNI disita. Dan di cabang
lain dilakukan penahanan terhadap Sukarno, Gatot Mangkupradja, Inu Perbatsari dan

Maskun. Rumah-rumah dan kantor kantor PNI di seluruh Jawa diperiksa dan para anggotaangota ditangkap dan kebanyakan mereka dilepas setelah menandatangani pernyataan
mengenai aktivitas partai.
Kegagalan Penggeledahan Rumah-rumah
Intruksi dari jaksa agung kepada kepala pemerintahan daerah yang menyatakan bahwa
para pemimpin PNI dicurigai telah melanggar pasal-pasal (seperti pasal 169 dan 108 UU
Hukum Pidana) dan pengeledahan akan menghasilkan bukti-bukti untuk menghancurkan
PNI. Namun bukti-bukti tidak menenemui harapan bahwa PNI telah melanggar pasal-pasal.
Semua pemimpin PNI, kecuali Sukarno, Maskun Gatot dan Supriadinata dapat dibebaskan.
Dengan keputusan meneruskan pengadilan secara terbuka bagi 4 pemimpin tersebut, De
Graeff menginginkan agar proses tersebut menjadi suatu peringatan bagi kaum nasionalis
yang non koperatif agar tidak menjalankan politik yang agitatif seperti tahun 1928-1929. Ia
tidak pasti apakah akan dihukum dan atau tidak seandainya mereka terbukti bersalah, ia
mengharapkan hanya dapat hukuman ringan. Hal ini dikarenakan dapat menyinggung
perasaan keadilan mereka. Selain memelihara dukungan mereka yang dinamakan kaum
nasionalis moderat.
Referensi
Ingleson, John. 1988. Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1927 –
1934. Jakarta: LP3ES